❏ Oktavianus
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 56
Seseorang yang berkedudukan sebagai pemimpin suatu organisasi, ninik mamak,
penghulu, kepala rumah tangga dituntut bersikap hati-hati dan arif dalam menyelesaikan setiap
persoalan yang dialami oleh konstituennya. Kehati-hatian dan kearifan itu diibaratkan dengan
menghela jala dalam air. Jika tidak hati-hati, jala bisa putus atau rusak. Cara seperti itu dilakukan
agar konstituennya tidak tercerai-berai. Dengan demikian, orang berperilaku seperti ini
dicitrapositifkan oleh para konstituennya.
Untuk konsep kearifan, bahasa Inggris memiliki kata wise yang oleh Hornby 1985: 987
dikonotasikan dengan showing experience, knowledge, good judgement, and prudence.
Konsep kearifan ini juga ditemukan dalam ungkapan. Berikut beberapa contoh.
7 a.
Look before you leap b. Out of fryingpan into fire
Kedua ungkapan di atas menggambarkan suatu situasi atau keadaan yaitu a sikap kehati-
hatian dan b kesulitan ganda. Di samping berisi peringatan, keduanya sebenarnya juga
mencerminkan nilai kearifan. Dalam suatu konteks pertuturan, kedua ungkapan di atas dapat muncul
dengan konstruksi yang lebih lengkap sehingga peringatan dan nilai kearifan yang terkandung
dalam ungkapan itu dicermati dengan mudah. Hal dapat dilihat pada contoh berikut.
7
c. Look before you leap [to avoid trobles]
d. Out of fryingpan into fire [so be
careful] Bila dicermati, kedua ungkapan di atas
hampir setara pula dengan ungkapan Minangkabau berikut.
7e Bajalan salangkah maadok suruik
‘melakukan sesuatu dengan hati-hati’ 7f
Lapeh dari muluik rimau masuak ka muluik buayo
‘lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya’
7g Sudah jatuah diimpok janjang
‘sudah jatuh ditimpa tangga’ Nilai kearifan dan kehati-hatian dalam
ungkapan di atas memang tidak disampaikan secara eksplisit. Situasi yang digambarkan oleh
ungkapan itu sebenarnya secara tidak langsung membawa dan berisi pesan kearifan dan kehati-
hatian kepada penuturnya. Jadi, makna dan nilai ungkapan itu dipahami secara terbalik.
Konsep lainnya yang juga terkait dengan kearifan adalah raso dan pareso. Dalam bahasa
Minangkabau ada ungkapan, raso dibao naiak dan pareso dibao turun. Konsep ini mengandung
pengertian bahwa segala sesuatu yang diperbuat dan diperkatakan harus dipertimbangkan secara
matang terlebih dahulu agar tidak menimbulkan efek negatif lihat Hakimy, 1977. Konsep raso
dan pareso erat kaitannya dengan suatu keyakinan untuk senantiasa menjaga hubungan sosial
antarsesama. Ungkapan seperti lamak di awak katuju di urang; dan penggunaan istilah urang
awak, dun sanak, adalah bentuk-bentuk lingual yang mencerminkan pentingnya hubungan sosial
bagi masyarakat Minangkabau. Pentingnya raso jo pareso dalam masyarakat Minangkabau
diungkapkan pula melalui pantun ibarat berikut.
Rarak kalikih dek bindalu ‘lerak kelikis karena benalu
Tumbuah sarumpun di tapi tabek ’tumbuh serumpun di tepi tebat’
Kok abih raso jo malu ’kalau habis rasa dengan malu’
8
Bak kayu lungga pangabek ’bak kayu longgar pengikat’
DT-KPS 1999
Seseorang yang tidak memiliki raso ‘rasa’ diibaratkan dengan kayu yang longgar
pengikat. Jika kayu longgar pengikat, sangat susah membawanya. Jika dipikul kayu itu berserakan
satu sama lain dan mendatangkan kesusahan kepada orang yang membawanya. Ungkapan ini
diperkirakan muncul dari pengalaman penutur dalam proses mencari kayu api di rimba sehingga
seseorang mengalami sendiri bagaimana susahnya membawa kayu api yang longgar pengikat. Kayu
itu berserakan sepanjang jalan. Pengalaman seperti inilah yang menjadi penyebab munculnya
ungkapan di atas.
2.2 Sopan Santun Selain dari raso jo pareso ‘rasa dan periksa’, baso-
basi ‘basa-basi’ adalah hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam bertindak dan bertutur. Konsep
baso-basi di Minangkabau hampir setara dengan phatic communion dalam budaya Inggris. Baso-
basi merupakan adat sopan santun dalam pergaulan antarindividu dan masyarakat. Baso-basi
bahkan dianggap sebagai pakaian dan dijadikan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam
konteks tertentu, dalam ritual-ritual tertentu, jika seseorang diberikan suatu tugas yang ia sendiri
memang memiliki keterampilan atau keahlian tentang itu, ungkapan berikut sering digunakan
untuk membuka pembicaraan.
❏ Oktavianus
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 57
Darah nan baru satampuak pinang, ‘darah yang baru setampuk pinang’
umua nan baru sataun jaguang. ’umur yang baru setahun jagung’
Kok salah kami tolong ditunjuki, ’kalau salah kami tolong ditunjuki’
kok tagamang tolong dipapah. ’kalau tergamang, tolong dipapah’
Kami ketek mudo matah, ’kami masih muda’
9
aka singkek pangalaman jauh sakali. ‘pengalaman masih sedikit’
DL-K.13, 2004
Ungkapan darah nan baru satampuak pinang, umua nan baru sataun jaguang ‘darah
baru setampuk pinang, umur baru setahun jagung’ tidak hanya mengandung makna pada tataran
semantis tetapi lebih dari itu, ungkapan tersebut mencerminkan baso-basi penuturnya yang tidak
menonjolkan diri sama sekali. Ungkapan darah nan baru satampuak pinang ‘darah baru setampuk
pinang’ mengandung pengertian bahwa darahnya masih setetes kecil dan belum berpengalaman
karena masih muda. Kemudaan dan belum berpengalaman juga disimbolkan dengan ungkapan
umua baru sataun jaguang ‘umur baru setahun jagung’. Setahun jagung memiliki rentang waktu lebih
kurang tiga bulan. Penggunaan leksikon pinang, jaguang dan pengalaman penuturnya tentang pinang
dan jaguang memberikan gambaran lingkungan pertanian yang ada di Minangkabau. Pinang dan
jaguang merupakan dua komoditas penting di Minangkabau. Pinang, sebagai contoh, tidak hanya
memiliki fungsi ekonomis, tetapi juga digunakan dalam aktivitas budaya dengan beragam makna simbolik.
Ungkapan ini juga ditopang oleh ungkapan dengan makna yang hampir sama seperti
berikut. Mandi di ilia-ilia, manyauak di bawah-
bawah, ‘mandi di hilir-hilir, menyauk air di
bawah-bawah’ lawik sati rantau batuah, capek kaki kok
talangkahan, ‘lautan sakti rantau bertuah, cepat kaki
kalau terlangkahkan’ 10
ringan tangan kok tajangkauan. ‘ringan tangan kalau terjangkaukan’
DL-K.13, 2004
Ungkapan di atas mengisyaratkan kepada seseorang atau individu dalam masyarakat untuk
menahan diri dan tidak terlalu cepat mengambil tindakan. Bertindak yang terlalu cepat dan tidak
dipikirkan secara matang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Perilaku seperti ini
digambarkan pula oleh ungkapan berikut. 11
Capek cotok, bangkak paruah terlalu cepat mengambil keputusan,
berakibat buruk’ DL-L.50, 2004
Ungkapan di atas masih merupakan ungkapan yang mengandung nilai-nilai yang dapat
dipedomani terutama sekali dalam rangka mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya. Dalam masyarakat Minangkabau, pelanggaran terhadap tatanan sosiokultural seperti
sikap arif, raso jo pareso ‘rasa dan periksa’, baso- basi ‘basa-basi menjadikan orang-orang yang
bersikap dan berperilaku demikian terisolasi dalam masyarakatnya sendiri. Di Flores Timur, Kewoko
‘nenek moyang’ menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran adat Vatter, 1984: 94-95. Di
Minangkabau, orang yang tidak memiliki raso jo pareso dan baso-basi juga mendapat sangsi sosial
yang dicemooh dengan ungkapan berikut.
12 Indak tau atah takunyah
‘tidak tahu di antah terkunyah’ Indak tau di ampek
‘tidak tahu di yang empat’ DL-K.13, 2004
Untuk konsep sopan santun sebagaimana dikemukakan di atas, bahasa Inggris memiliki
istilah politeness. Konsep ini juga diidentikkan dengan indirectenss. Di samping itu, bahasa
Inggris memiliki istilah request dan polite request. Ungkapan berikut digunakan untuk menyatakan
kesopanan dalam bahasa Inggris.
13 Would you mind opening the window?
Perhaps you would like to help me with this luggage
Hornby 1975: 197
Menarik membandingkan ungkapan 9 dalam bahasa Minangkabau dengan ungkapan 13
dalam bahasa Inggris. Nilai kesopanan pada ungkapan 9 dinyatakan dengan merendahkan diri di
pihak penutur yaitu dengan mendeskripsikan kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya.
Nilai kesopanan pada ungkapan 13 ditunjukkan dengan memberikan penghormatan dan keuntungan
kepada lawan tutur melalui penggunaan would you mind dan perhaps you’d like. Dengan demikian,
kesantunan dalam berbahasa diwujudkan dengan menempatkan kerugian di pihak penutur dan
keuntungan di pihak lawan tutur.
Dalam hal bersopan santun, ada kecenderungan orang Amerika suka dipuji,
sedangkan orang Perancis kurang suka dipuji karena hal itu dianggap mencampuri urusan
pribadi privacy. Kramsch 1998: 7 memberikan contoh sebagai berikut.
❏ Oktavianus
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 58
13a Amerika A:
I like your sweater B:
Oh, thank you 13b Perancis
A: I like your sweater
B: Oh, really ? It’s already quite old
Kedua ujaran di atas mencerminkan perbedaan persepsi dan keyakinan antara dua
budaya tentang hal puji-memuji. Bercermin kepada contoh di atas, rata-rata orang Minangkabau juga
kurang suka dipuji. Hal itu paling tidak dapat pula dicermati dari dialog berikut.
13c Minangkabau
A: Onde lah sudah se rumah ibuk.
Bilo pulo awak ka dapek co iko B:
Antahlah. Jo pitih bautang Pada ungkapan di atas, A memuji rumah
temannya yang sudah siap, sedangkan B memberikan respons bahwa rumah itu disiapkan
dengan uang yang dihutang walaupun sebenarnya rumah itu dibangun dengan uangnya sendiri. Di
Minangkabau sendiri ada istilah manyuruakan kuku Oktavianus 2002, 2003. Artinya, ada
kecenderungan tidak suka menonjolkan diri. Walaupun orang Perancis dan orang Minang sama-
sama tidak suka dipuji, tetapi implikasinya tetap tidak sama. Orang Perancis tidak suka dipuji
karena pujian dianggap mencampuri urusan pribadi seseorang. Orang Minang tidak suka dipuji
karena orang yang suka dipuji dicitranegatifkan. Namun, orang Inggris yang suka menerima pujian
tidak pula berarti mereka dicitranegatifkan. Senang dipuji mengandung pesan bahwa segala sesuatu
pencapaian mereka ingin mendapat pengakuan dari pihak lain.
2.3 Kewaspadaan Seseorang juga tidak dapat terlalu berbuat baik