Kearifan dan Kehati-hatian Di Minangkabau, ada istilah raso jo pareso ‘rasa

❏ Oktavianus Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 55 sedangkan pelimbahan menjadi lambang kias untuk orang tua. Dalam bahasa Inggris, apel menjadi lambang kias bagi anak, sedangkan pohon apel menjadi lambang kias bagi orang tua. Berikut adalah ungkapan dengan makna yang sama dengan ungkapan di atas. 4a BM Kok kuriak induaknyo, rintiak anaknyo ‘kalau kurik induknya, burik anaknya’ DT-AKU 2002 Ungkapan 4a diderivasi dari proses beternak ayam atau itik. Jika seekor induk ayam berwarna kurik, anaknya setidak-tidaknya berbulu rintik ‘burik’. Fenomena seperti ini menunjukkan adanya pewarisan sifat dan perilaku induk kepada anaknya. Ungkapan 1-4a menggambarkan dua bahasa yang berbeda menampilkan makna dan nilai budaya dengan cara yang tidak persis sama. Makna dan nilai budaya yang demikian dapat dijadikan pedoman bagi penutur masing-masing bahasa. Di samping itu, masing-masing model budaya itu menampilkan nilai-nilai universal dan nilai-nilai yang bersifat spesifik yang merupakan cerminan sikap, sudut pandang, dan keyakinan yang dianut. Selanjutnya, nilai budaya bahkan cenderung pula secara implisit diungkapkan atau terefleksikan melalui interaksi dan komunikasi sehari-hari. Kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi memiliki banyak lapis makna yang mengacu ke objek, peristiwa, dan hal-hal yang bersifat simbolik-metaforik. Oleh sebab itu, model-model budaya dan makna budaya membentuk suatu worldview yang unik yang dimiliki oleh setiap penutur bahasa. Fenomena seperti ini dimungkinkan terjadi karena setiap individu atau kelompok mengungkapkan ide atau gagasan dengan caranya masing-masing karena bahasanya menfasilitasi hal yang demikian. Inilah yang kemudian melahirkan konsep relativitas bahasa yang dikenal dengan hipotesis Sapir- Whorf. Dunia realitas ada dan tumbuh dalam suatu konteks makna budaya dan perilaku sosial yang bisa diidentifikasi Bonvillain 1997. Sapir dalam Hymes 1964: 128 bahkan juga mengatakan bahwa semua pengalaman manusia dimediasi melalui budaya dan bahasa. Dengan demikian, nilai budaya yang dimiliki oleh suatu etnis dapat ditelusuri melalui berbagai bentuk lingualnya. Bentuk-bentuk lingual itu dikemas sedemikian rupa sehingga tampil dengan varian- varian yang mencerminkan kedinamisan budaya yang sekaligus merupakan cerminan kedinamisan masyarakatnya dan cara pandang masyarakat itu terhadap dunia realitas.

2.1 Kearifan dan Kehati-hatian Di Minangkabau, ada istilah raso jo pareso ‘rasa

dan periksa’, baso-basi ‘basa-basi’, tau mambaco nan ndak tampak ‘memahami sesuatu yang implisit’ dan paham di eriang jo gendiang ‘mengerti dengan ereng dan gendeng’. Raso jo pareso adalah pertimbangan antara yang pantas dan tidak pantas dilakukan dalam berinteraksi dengan orang lain lihat Usman 2002: 467. Baso- basi terkait dengan sopan santun dalam bertindak dan berperilaku. Ungkapan idiomatis itu merupakan refleksi dari sifat arif dan bijak. Sikap seperti ini biasanya menimbulkan rasa simpati dan apresiasi dari kelompok lain. Dalam berinteraksi sikap seperti ini menjadikan seseorang dihargai dan sebagai panutan. Dalam hal kearifan, ungkapan pada pertuturan berikut menggambarkan citra positif. 5 Maadoi inyo bak maelo jalo di aia, raso ka tagang dikanduakan. Raso ka kandua ditagangkan. Tagang bandantiang indak putuih. Kandua manjelo indak kusuik. ‘menghadapi dia sebaiknya bak menghela jala dalam air, jika terasa tegang dikendurkan tegang berdenting tidak putus, kendur berjela tidak kusut’ DT-KPS 1999 Kearifan seseorang diibaratkan dengan menarik jala di dalam air yang dilakukan dengan hati-hati agar jala tidak robek atau putus. Sumber inspirasi ungkapan adalah proses menarik jala dari air. Penggunaan sumber inpirasi ini sebagai pembentuk ungkapan menggambarkan lingkungan fisik yang ada di Minangkabau seperti sungai dan danau. Dari sungai dan danau inilah orang menangkap ikan sebagai mata pencarian mereka. Jala lebih cenderung dipakai untuk menangkap ikan di sungai atau batang air. Pengalaman penutur bahasa Minangkabau dalam menangkap ikan dengan jala yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari membuat mereka melahirkan ungkapan di atas. Orang yang sudah terbiasa menjala mengetahui dengan persis cara menghela jala yang masih terbenam dalam air sehingga jala tidak putus dan ikan juga tidak lepas. Pada konteks tertentu, fenomena seperti ini dikiaskan kepada seseorang terutama yang memiliki kedudukan sedikit lebih tinggi di tengah- tengah masyarakat yang disebut dengan ungkapan berikut. 6 Ditinggian sarantiang didauluan salangkah ‘ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah’ DT-KPS 1999 ❏ Oktavianus Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 56 Seseorang yang berkedudukan sebagai pemimpin suatu organisasi, ninik mamak, penghulu, kepala rumah tangga dituntut bersikap hati-hati dan arif dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dialami oleh konstituennya. Kehati-hatian dan kearifan itu diibaratkan dengan menghela jala dalam air. Jika tidak hati-hati, jala bisa putus atau rusak. Cara seperti itu dilakukan agar konstituennya tidak tercerai-berai. Dengan demikian, orang berperilaku seperti ini dicitrapositifkan oleh para konstituennya. Untuk konsep kearifan, bahasa Inggris memiliki kata wise yang oleh Hornby 1985: 987 dikonotasikan dengan showing experience, knowledge, good judgement, and prudence. Konsep kearifan ini juga ditemukan dalam ungkapan. Berikut beberapa contoh. 7 a. Look before you leap b. Out of fryingpan into fire Kedua ungkapan di atas menggambarkan suatu situasi atau keadaan yaitu a sikap kehati- hatian dan b kesulitan ganda. Di samping berisi peringatan, keduanya sebenarnya juga mencerminkan nilai kearifan. Dalam suatu konteks pertuturan, kedua ungkapan di atas dapat muncul dengan konstruksi yang lebih lengkap sehingga peringatan dan nilai kearifan yang terkandung dalam ungkapan itu dicermati dengan mudah. Hal dapat dilihat pada contoh berikut. 7 c. Look before you leap [to avoid trobles] d. Out of fryingpan into fire [so be careful] Bila dicermati, kedua ungkapan di atas hampir setara pula dengan ungkapan Minangkabau berikut. 7e Bajalan salangkah maadok suruik ‘melakukan sesuatu dengan hati-hati’ 7f Lapeh dari muluik rimau masuak ka muluik buayo ‘lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya’ 7g Sudah jatuah diimpok janjang ‘sudah jatuh ditimpa tangga’ Nilai kearifan dan kehati-hatian dalam ungkapan di atas memang tidak disampaikan secara eksplisit. Situasi yang digambarkan oleh ungkapan itu sebenarnya secara tidak langsung membawa dan berisi pesan kearifan dan kehati- hatian kepada penuturnya. Jadi, makna dan nilai ungkapan itu dipahami secara terbalik. Konsep lainnya yang juga terkait dengan kearifan adalah raso dan pareso. Dalam bahasa Minangkabau ada ungkapan, raso dibao naiak dan pareso dibao turun. Konsep ini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang diperbuat dan diperkatakan harus dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu agar tidak menimbulkan efek negatif lihat Hakimy, 1977. Konsep raso dan pareso erat kaitannya dengan suatu keyakinan untuk senantiasa menjaga hubungan sosial antarsesama. Ungkapan seperti lamak di awak katuju di urang; dan penggunaan istilah urang awak, dun sanak, adalah bentuk-bentuk lingual yang mencerminkan pentingnya hubungan sosial bagi masyarakat Minangkabau. Pentingnya raso jo pareso dalam masyarakat Minangkabau diungkapkan pula melalui pantun ibarat berikut. Rarak kalikih dek bindalu ‘lerak kelikis karena benalu Tumbuah sarumpun di tapi tabek ’tumbuh serumpun di tepi tebat’ Kok abih raso jo malu ’kalau habis rasa dengan malu’ 8 Bak kayu lungga pangabek ’bak kayu longgar pengikat’ DT-KPS 1999 Seseorang yang tidak memiliki raso ‘rasa’ diibaratkan dengan kayu yang longgar pengikat. Jika kayu longgar pengikat, sangat susah membawanya. Jika dipikul kayu itu berserakan satu sama lain dan mendatangkan kesusahan kepada orang yang membawanya. Ungkapan ini diperkirakan muncul dari pengalaman penutur dalam proses mencari kayu api di rimba sehingga seseorang mengalami sendiri bagaimana susahnya membawa kayu api yang longgar pengikat. Kayu itu berserakan sepanjang jalan. Pengalaman seperti inilah yang menjadi penyebab munculnya ungkapan di atas.

2.2 Sopan Santun Selain dari raso jo pareso ‘rasa dan periksa’, baso-