Hasil Penelitian dan Pembahasan

9 merupakan data masukan pada proses Application Layer. Pada bagian Application Layer, dilakukan proses pemodelan ABJ, HI dan IR menggunakan metode Moran’s I dengan pemrosesan data menggunakan tool R untuk menggambarkan pola kejadian variabel yang kemudian divisualisasikan pada Vizuallization Layer. Pada bagian Vizualization Layer hasil pemodelan divisualisasikan dalam bentuk Moran Scatterplot dan peta LISA. Hasil visualisasi ini dianalisis untuk menentukan persebaran penyakit DBD tingkat kecamatan di Kabupaten Semarang.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Jumlah kasus DBD di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selama ini telah dilakukan pengendalian penyakit dengan memberantas nyamuk yang merupakan vektor utama penular penyakit DBD. Sulitnya pengendalian penyakit DBD disebabkan oleh kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk pemberantasan vektor, sehingga dibutuhkan sarana pendeteksian dini guna meningkatkan pengendalian penyakit DBD. Informasi keruangan atau wilayah sangat diperlukan dalam penyampaian fenomena yang akan disampaikan, dalam hal ini persebaran penyakit DBD dilihat dari pola spasial ABJ, HI dan IR. Metode Moran’s I merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pola spasial dan hubungan keruangan antar wilayah dengan keluaran output diagram pancang Moran Scatterplot dan peta LISA. Hubungan antara variabel ABJ, HI dan IR dengan pemodelan spasial persebaran DBD disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 Hubungan Variabel dengan Persebaran DBD Berdasarkan Gambar 6, hubungan variabel ABJ, HI dan IR dapat dijelaskan sebagai berikut, variabel ABJ dan HI yang merupakan ukuran kepadatan vektor dipilih sebagai indikator pemodelan spasial persebaran DBD karena kepadatan vektor dapat digunakan untuk memantau persebaran DBD. Jika semakin tinggi angka kepadatan vektor, maka semakin tinggi pula resiko persebaran DBD. IR digunakan sebagai salah satu variabel pemodelan spasial persebaran DBD karena IR dapat mewakili gambaran frekuensi persebaran penyakit DBD. Dengan mengetahui gambaran frekuensi persebaran penyakit DBD diharapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang mengetahui tindakan yang harus dilakukan sebagai pencegahan. Pada penelitian ini Moran Scatterplot digunakan untuk analisis perilaku variabilitas data dalam keruangan, sedangkan peta LISA digunakan untuk menunjukkan lokasi daerah studi yang signifikan statistik terjadinya pengelompokan nilai atribut cluster atau terjadinya pencilan 10 outlier. Hasil yang disajikan dalam Moran Scatterplot dapat dilihat persebaranya melalui peta LISA. Tujuan penggunaan metode analisis Moran’s I global dalam penelitian adalah untuk menentukan derajad keterhubungan variabel persebaran DBD pada suatu kecamatan dengan kecamatan lain yang ada di sekelilingnya. Data awal yang dihitung pada penelitian ini adalah data ABJ tingkat kecamatan Kabupaten Semarang yang terdiri dari 19 kecamatan periode tahun 2005-2009. Hasil perhitungan Moran’s I global divisualisasikan secara grafis menggunakan Moran Scatterplot, berikut ini adalah Moran Scatterplot tahun 2005-2007 yang disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Moran Scatterplot ABJ Tahun 2005-2009 Gambar 7 menunjukkan diagram Moran Scatterplot tahun 2005, diketahui bahwa Kecamatan Ambarawa masuk pada kuadran II yang menunjukkan wilayah bernilai ABJ rendah dikelilingi wilayah bernilai ABJ tinggi. Kecamatan Banyubiru pada kuadran III yang menunjukkan wilayah yang bernilai ABJ rendah dikelilingi wilayah bernilai ABJ rendah, sedangkan Kecamatan Kaliwungu berada pada kuadran IV yang menunjukkan wilayah bernilai ABJ tinggi dikelilingi wilayah bernilai ABJ rendah. Tahun 2006, Kecamatan Tuntang masuk pada kuadran II, dimana pada tahun sebelumnya ditempati oleh Ambarawa, Kecamatan Getasan masuk pada kuadran II dan Kecamatan Kaliwungu tetap pada kuadran VI. Tahun 2007, Kecamatan Bringin masuk pada kuadran I yang menunjukkan wilayah bernilai ABJ tinggi dikelilingi wilayah bernilai ABJ tinggi, sedangkan Kecamatan Tuntang dan Banyubiru masuk pada kuadran II dan Kecamatan Kaliwungu pada kuadran III. Pada tahun 2008 dan 2009, Kecamatan Tuntang yang sebelumnya masuk pada kuadran II berpindah menjadi kuadran I, sedangkan Kecamatan Bawen masuk pada kuadran II dan Kecamatan Kaliwungu tetap masuk pada kuadran III. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis Moran’s I lokal dengan menggunakan peta LISA. Peta LISA digunakan untuk mengetahui wilayah yang mengalami pola spasial pemusatan cluster atau pencilan outlier. Gambar peta LISA persebaran ABJ pada tahun 2005 –2007 disajikan pada Gambar 8. 11 Gambar 8 Peta LISA ABJ 2005-2007 Gambar 8 menunjukkan bahwa tahun 2005 Kecamatan Ambarawa memiliki karakteristik Low High LH dan Kecamatan Kaliwungu memiliki karakteristik High Low HL yang merupakan asosiasi spasial negatif. Hal ini merupakan identifikasi terjadinya pencilan outlier. Pada tahun 2006 muncul wilayah pencilan baru, yaitu Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik Low High LH dan Kecamatan Kaliwungu yang memiliki karakteristik High Low HL. Tahun 2007 terjadi perluasan wilayah persebaran dengan munculnya wilayah yang semula tidak signifikan terjadinya pencilan menjadi wilayah dengan karakteristik Low High LH pada Kecamatan Banyubiru, selain itu Kecamatan Tuntang tetap berkarakteristik Low High LH. Pada tahun 2007 terjadi pemusatan cluster dengan munculnya wilayah dengan karakteristik High High HH, yaitu Kecamatan Bringin. Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi perubahan pola statistik pada Kecamatan Tuntang yang semula berkarakteristik Low High LH menjadi berkarakteristik High High HH dan muncul pencilan outlier baru pada Kecamatan Bawen yang berkarakteristik Low High LH. Data kedua yang diolah pada penelitian ini adalah data HI. Data HI diolah dengan Moran’s I global yang divisualisasikan seperti pada data ABJ. Visualisasi Moran Scatterplot data HI pada tahun 2005-2007 disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 Moran Scatterplot HI Tahun 2005-2007 Berdasarkan Moran Scatterpllot pada Gambar 9, tahun 2005 diketahui bahwa Kecamatan Ambarawa masuk pada kuadran I. Tahun 2006, kuadran I yang sebelumnya ditempati oleh Kecamatan Ambarawa berpindah menjadi Kecamatan 12 Tuntang dan Getasan, sedangkan Kecamatan Banyubiru masuk pada kuadran II. Pada tahun 2007, Kecamatan Tuntang yang sebelumnya masuk pada kuadran I berpindah menjadi kuadran IV dengan Kecamatan Ungaran Barat dan Bandungan yang menunjukkan wilayah bernilai HI tinggi dikelilingi wilayah bernilai HI rendah. Tahun 2008, Kecamatan Ungaran Barat tetap masuk pada kuadran IV dengan Kecamatan Suruh, sedangkan pada tahun 2009 Kecamatan Bergas masuk pada kuadran II dan Ungaran Timur masuk pada kuadran IV. Tahap selanjutnya adalah analisis Moran’s I lokal menggunakan peta LISA yang disajikan pada Gambar 10. Jumlah LISA sebanding dengan Moran’s I global, hal ini dapat dibuktikan dengan peta LISA yang terbentuk. Gambar 10 Peta LISA HI Tahun 2005 – 2007 Gambar 10 menunjukkan bahwa tahun 2005 Kecamatan Ambarawa memiliki karakteristik High High HH yang merupakan asosiasi spasial positif dan identifikasi terjadinya pemusatan cluster. Tahun 2006 terjadi perluasan wilayah persebaran dengan muncul wilayah pemusatan cluster baru secara tiba- tiba, yaitu Kecamatan Tuntang dan Getasan yang berkarakteristik High High HH, selain itu muncul pencilan outlier baru pada Kecamatan Banyubiru yang memiliki karakteristik Low High LH. Tahun 2007, Kecamatan Tuntang yang sebelumnya berkarakteristik High High HH berubah menjadi High Low HL dan wilayah yang semula tidak signifikan terjadi persebaran berubah menjadi wilayah dengan karakteristik High Low, yaitu Kecamatan Ungaran Barat dan Bandungan. Pada tahun 2008 Kecamatan Ungaran Barat tetap berkarakteristik High Low HL dan muncul wilayah baru dengan karakteristik High Low HL, yaitu Kecamatan Suruh. Tahun 2009 muncul daerah persebaran baru, yaitu Kecamatan Bergas yang berkarakteristik Low High LH dan Kecamatan Ungaran Timur yang berkarakteristik High Low HL. Data ketiga yang akan diolah pada penelitian ini adalah data IR yang merupakan data gambaran frekuensi penderita DBD di Kebupaten Semarang. Analisis Moran’s I global tahun 2005-2007 divisualisasikan dengan Moran Scatterplot sebagaimana disajikan pada Gambar 11. 13 Gambar 11 Moran Scatterplot IR Tahun 2005-2007 Berdasarkan Moran Scatterplot pada Gambar 11, tahun 2005 diketahui bahwa Kecamatan Bergas dan Kaliwungu masuk pada kuadran IV yang menunjukkan wilayah bernilai IR tinggi dikelilingi wilayah bernilai IR rendah. Tahun 2006, Kecamatan Ungaran Barat masuk pada kuadran I yang menunjukkan wilayah bernilai IR tinggi dikelilingi dengan wilayah bernilai IR tinggi. Tahun 2007 Kecamatan Ungaran Timur dan Pringapus masuk pada kuadran I, dimana pada tahun sebelumnya ditempati oleh Kecamatan Ungaran Barat. Tahun 2008 dan 2009, Kecamatan Ungaran Barat dan Ungaran Timur masuk pada kuadran I dan Kecamatan Pringapus bergeser menjadi kuadran II. Analisis Moran’s I lokal divisualisasikan menggunakan peta LISA yang disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Peta LISA IR tahun 2005-2007 Gambar 12 menunjukkan bahwa pada peta LISA tahun 2005 terjadi indikasi pencilan outlier karena ditemukan wilayah dengan karakteristik High Low HL yang memiliki asosiasi spasial negatif, yaitu Kecamatan Bergas dan Kaliwungu. Tahun 2006 muncul wilayah pemusatan cluster baru secara tiba- tiba, yaitu Kecamatan Ungaran Barat dengan karakteristik High High HH. Tahun 2007 Kecamatan Ungaran Timur dan Pringapus yang sebelumnya tidak signifikan terjadi persebaran berubah menjadi wilayah berkarakteristik High High HH yang mengidentifikasi terjadinya pemusatan cluster. Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi perluasan pusat persebaran dengan munculnya Kecamatan Pringapus yang sebelumnya berkarakteristik High High HH berubah menjadi Low High 14 LH dan Kecamatan Ungaran Timur tetap berkarakter High High HH, selain itu muncul pemusatan cluster baru, yaitu Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High HH. Hubungan Pola Spasial Variabel ABJ, HI dan IR dengan Kejadian DBD di dunia nyata dapat diketahui dengan membandingkan antara pola spasial setiap variabel dan pola spasial kasus DBD Kabupaten Semarang periode 2005-2009 yang terbentuk pada peta LISA. Hasil perbandingan digunakan untuk menentukan pengaruh antara variabel ABJ, HI dan IR dengan pola persebaran kejadian DBD di Kabupaten Semarang setiap tahunnya. Gambar 13 merupakan perbandingan antara peta LISA ABJ tahun 2005 –2007 dengan peta LISA data kasus DBD Kabupaten Semarang periode 2005 –2007. Gambar 13 Hubungan Pola Spasial ABJ dengan Pola Spasial DBD 2005 – 2008 Tahun 2005 pola spasial DBD yang terbentuk pada peta LISA mengindikasi terjadinya pencilan outlier di Kecamatan Bergas dan Kecamatan Ambarawa yang berkarakteristik High Low HL. Hal ini memiliki kemiripan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA ABJ tahun 2005 yang mengindikasi terjadinya pencilan outlier pada kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Ambarawa yang berkarakteristik Low High LH dan Kecamatan Kaliwungu yang berkarakteristik High Low HL. Kecamatan Ambarawa yang berkarakteristik Low High LH menunjukkan bahwa Kecamatan Ambarawa memiliki nilai ABJ rendah, dimana saat ABJ rendah nilai DBD tinggi. Peta LISA DBD tahun 2006 menujukkan terjadi pemusatan cluster baru di Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High HH. Hal ini berbeda dengan peta LISA ABJ tahun 2006, dimana pola spasial yang terbentuk menunjukkan terjadi pencilan outlier baru di Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik Low High LH dan Kecamatan Kaliwungu yang tetap berkarakteristik High Low HL. Pada tahun 2007 pola spasial yang terbentuk pada peta LISA menunjukkan perluasan wilayah persebaran DBD dengan muncul dua kecamatan yang sebelumnya tidak signifikan terjadi persebaran berubah menjadi kecamatan 15 dengan karakteristik High High HH, yaitu Kecamatan Ungaran Timur dan Kecamatan Pringapus. Hal ini memiliki kemiripan dengan peta LISA ABJ tahun 2007, dimana pola spasial yang terbentuk menunjukkan perluasan wilayah persebaran pada kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Bringin yang berkarakteristik High High HH, Kecamatan Tuntang dan Banyubiru yang berkarakteristik Low High LH. Pola spasial DBD yang terbentuk pada peta LISA tahun 2008 dan 2009 menunjukkan terjadinya perluasan wilayah persebaran dengan munculnya pemusatan cluster baru di Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High HH, selain itu muncul daerah pencilan outlier pada Kecamatan Pringapus yang sebelumnya berkarakteristik Low High LH dan Kecamatan Ungaran Timur yang tetap berkarakteristik High High HH. Hal ini memiliki kemiripan pola spasial ABJ yang terbentuk pada tahun 2008 dan 2009, dimana terdapat perubahan pola spasial pada kecamatan yang berkarakteristik Low High LH menjadi High High HH, yaitu Kecamatan Tuntang, selain itu muncul daerah pencilan outlier baru pada Kecamatan Bawen dengan karakteristik Low High LH. Kecamatan Bawen yang berkarakteristik Low High LH mempengaruhi laju pertumbuhan DBD, dimana Kecamatan Pringapus memiliki nilai kasus DBD rendah. Gambar 14 merupakan perbandingan antara peta LISA HI tahun 2005- 2007 dengan peta LISA data kasus DBD Kabupaten Semarang tahun 2005 –2007. Gambar 14 Hubungan Pola Spasial HI dengan Pola Spasial DBD 2005 – 2008 Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa pola spasial DBD yang terbentuk pada tahun 2005 mengindikasi terjadinya pencilan outlier, dimana Kecamatan Bergas dan Kecamatan Ambarawa memiliki karakteristik High Low HL yang menunjukkan daerah dengan kasus DBD tinggi dikelilingi daerah dengan kasus DBD rendah. Hal ini memiliki kemiripan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA HI tahun 2005, dimana Kecamatan Ambarawa berkarakteristik High High HH menjadi daerah pemusatan cluster yang menunjukkan daerah dengan kasus HI tinggi dikelilingi daerah dengan kasus HI rendah. Tahun 2006 diketahui pola spasial DBD yang terbentuk mengindikasi 16 terjadinya pemusatan pada Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High HH, sedangkan pola spasial HI yang terbentuk mengindikasi terjadinya pemusatan pada kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Tuntang dan Kecamatan Getasan, selain itu muncul daerah pencilan outlier baru dengan karakteristik Low High LH di Kecamatan Banyubiru. Pada tahun 2007 tidak ditemukan kemiripan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA DBD dengan peta LISA HI, dimana pola spasial DBD mengindikasi terjadinya pemusatan cluster di Kecamatan Ungaran Timur dan Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High HH, sedangkan pola spasial HI mengindikasi terjadinya pencilan oulier di Kecamatan Ungaran Barat, Kecamatan Bandungan dan Kecamatan Tuntang yang berkarakteristik High Low HL. Tahun 2008 ditemukan kemiripan antara pola spasial yang terbentuk pada peta LISA ABJ dengan peta LISA HI, dimana pola spasial DBD dan HI pada tahun 2008 menunjukkan Kecamatan Ungaran Barat memiliki kasus DBD dan HI yang tinggi dibandingkan dengan daerah disekelilingnya. Pada tahun 2009 pola spasial DBD dan pola spasial HI ditemukan kemiripan, dimana pola spasial DBD dan HI menunjukkan Kecamatan Ungaran Timur memiliki kasus DBD dan HI yang tinggi dibandingkan dengan daerah disekelilingnnya. Perbandingan antara peta LISA IR tahun 2005-2007 dengan peta LISA data kasus DBD Kabupaten Semarang periode 2005 –2007 disajikan dalam Gambar 15. Gambar 15 Hubungan Pola Spasial IR dengan Pola Spasial DBD 2005 – 2008 Gambar 15 menunjukkan bahwa pola spasial yang terbentuk pada peta LISA DBD tahun 2005 memiliki kemiripan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA IR tahun 2005, dimana pola spasial yang terbentuk mengidentifikasi terjadinya pencilan outlier di Kecamatan Bergas yang berkarakteristik High Low HL. Tahun 2006 pola spasial yang terbentuk pada peta LISA DBD dan IR memiliki kesamaan yang menunjukkan terjadi pemusatan cluster baru di Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High HH. Pada tahun 2007 juga terdapat kesamaan pada pola spasial dan daerah 17 pesebaran yang terbentuk pada peta LISA DBD dan IR, dimana meluasnya daerah pemusatan cluster dengan munculnya pemusatan cluster baru di Kecamatan Ungaran Timur dan Kecamatan Pringapus yang berkarakteristik High High HH. Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi perluasan wilayah persebaran dengan munculnya pemusatan cluster baru pada wilayah yang sebelumnya tidak signifikan terjadinya persebaran dan perubahan pola spasial pada peta LISA DBD. Hal ini memiliki kesamaan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA IR pada tahun 2008 dan 2009, dimana muncul wilayah pemusatan baru pada Kecamatan Ungaran Barat yang berkarakteristik High High HH, Kecamatan Ungaran Timur tetap berkarakteristik High High HH dan Kecamatan Pringapus yang sebelumnya berkarakteristik High High HH berubah menjadi karakteristik Low High LH.

5. Simpulan