Tinjauan Pustaka T1 672006130 Full text

3 di Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan variabel Angka Bebas Jentik ABJ, House Index HI dan Incidence Rate IR periode tahun 2005 –2009, untuk menentukan persebaran penyakit DBD. Metode yang digunakan adalah metode Moran’s I yang dibagi menjadi dua, yaitu global dan lokal [11]. Moran’s I merupakan metode yang digunakan sebagai identifikasi karakteristik pola spasial dalam tiga bentuk, yang meliputi pemusatan clustering, acak random atau terpisah uniform. Metode Morans’ I dibagi menjadi dua, yaitu Morans’ I global dan Moran’s I lokal. Morans’ I global adalah analisis pola asosiasi spasial pada skala yang luas. Moran’s I lokal atau Local Indicator Spasial Association LISA adalah kuantifikasi autokorelasi spasial dalam wilayah yang lebih kecil dibanding dengan Morans’ I global [12].

2. Tinjauan Pustaka

Dalam Penelitian sebelumnya yang berjudul “Model Spasial Klasifikasi Wilayah Resiko Demam Berdarah Dengue DBD Menggunakan Fungsi Gi Statistik”, disebutkan fungsi Gi digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antar wilayah dan menghasilkan pengelompokan wilayah dengan hotspot sebagai penentu tinginya keterkaitan antar wilayah. Metode Gi memiliki nilai autokorelasi antara +2 hingga -2. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini menggunakan metode Moran’s I untuk menunjukkan keterkaitan antar wilayah. Metode Moran’s I memiliki nilai autokorelasi antara +1 hingga -1 [13]. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Arma Christina Naftali berjudul “Pemodelan Pola Spasial Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan Fungsi Moran’s I” memiliki kesamaan penghitungan dalam pencarian pola dan ditampilkan dalam pemetaan. Pada penelitian sebelumnya Moran’s I global digunakan untuk menunjukkan pengelompokan cluster secara global dan LISA digunakan untuk menunjukkan jenis korelasi tinggi atau rendah. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan pemodelan dengan perhitungan Moran’s I dapat digunakan untuk menggambarkan pola kejadian DBD yang terjadi di lapangan [14]. Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan tiga variabel yang terdiri dari Angka Bebas Jentik ABJ, House Index HI dan Incidence Rate IR untuk menggambarkan pola kejadian DBD yang terjadi di lapangan. Demam Berdarah Dengue DBD adalah penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes, dengan ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan shock dan kematian. Terjadinya shock bergantung pada jenis tipe virus dengue dikenal dengan serotipe, yakni Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan Dengue 4. Selain itu tingkat kekebalan tubuh ikut mempengaruhi terjadinya shock atau tidak pada tubuh penderita. Infeksi virus dengue memperlihatkan gejala klinis penyakit yang bervariasi dari derajat ringan sampai derajat berat. Infeksi dengue yang paling ringan hampir tidak menimbulkan gejala atau demam tanpa manifestasi klinis yang jelas. Infeksi dengue yang ringan akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan [15]. Penyakit DBD memiliki beberapa gejala klinis, yaitu : 1 Demam tinggi yang mendadak selama 2 - 7 hari 38 o C - 40 o C, 2 Adanya bintik- 4 bintik perdarahan pada tubuh penderita, 3 Terjadi perdarahan di kelopak mata bagian dalam konjungtiva, mimisan epitaksis, buang air besar dengan kotoran feses berupa lendir tercampur darah melena, 4 Tekanan darah menurun hingga menyebabkan shock, 5 Terjadi pembesaran hati hepatomegali [16]. Kepadatan Vektor digunakan untuk monitoring kepadatan populasi aedes aegypti. Hal ini sangat penting untuk memantau ancaman DBD di setiap kabupatenkota, sehingga pemberantasan nyamuk sebagai vektor utama DBD dapat ditingkatkan. Hal ini dilakukan dengan cara pemantauan vektor DBD yang mencakup survei nyamuk dewasa dan survei jentik. Survei nyamuk dewasa digunakan untuk mengetahui densitas vektor dengan melihat indeks nyamuk dewasa. Survei jentik digunakan untuk melihat ada atau tidak jentik di setiap genangan air tanpa mengambil jentik. Ukuran yang digunakan untuk mengetahui kepadatan jentik yaitu: 1 Angka Bebas Jentik ABJ, 2 House Index HI, 3 Container Index CI, 4 Breteau Index BI [17]. Kepadatan vektor yang menjadi acuan dalam pembuatan pemodelan spasial penyebaran DBD ini adalah survei jentik dengan ukuran ABJ dan HI. Hal ini disebabkan karena ABJ dan HI dianggap dapat mewakili kepadatan vektor di suatu wilayah. Angka Bebas Jentik ABJ merupakan rumah atau tempat-tempat umum yang tidak ditemukan jentik pada pemeriksaan jentik [18]. Keberadaan jentik suatu wilayah dapat diketahui dengan indikator ABJ atau Larva Free Index. Angka Bebas Jentik ABJ memiliki indikator nasional sebesar 95 [19]. ABJ yang rendah pada suatu wilayah memungkinkan semakin banyak peluang untuk proses transmisi virus. Angka Bebas Jentik dapat didefinisikan dengan persamaan 1 [20]: Angka Bebas Jentik ABJ = Jumlah Rumah Tanpa Jentik Jumlah Rumah Periksa × 100 1 House Index HI merupakan rumah atau tempat-tempat umum ditemukannya jentik pada pemeriksaan jentik. ABJ dan HI menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah. Berbanding terbalik dengan ABJ, House Index HI yang rendah dalam suatu wilayah memungkinkan sedikitnya peluang proses transmisi virus. HI memiliki indikator nasional sebesar 5. HI dapat didefinisikan dengan persamaan 2 [21]: = Jumlah Rumah Ditemukan Jentik Jumlah rumah Periksa × 100 2 Incidence Rate IR adalah jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan dalam jangka waktu tertentu umumnya satu tahun dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit tersebut pada pertengahan jangka waktu yang bersangkutan. Incidence Rate IR dapat didefinisikan dengan persamaan 3 : �� � = Jumlah Penderita Baru Jumlah Penduduk yang Mungkin Terkena × K 3 5 Dimana : K : Konstanta 100, 1000 atau 1000 penduduk IR mempunyai beberapa manfaat dalam epidemologi, antara lain: 1 Mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi, 2 Mengetahui resiko atau dampak dari masalah kesehatan yang dihadapi dan 3 Mengetahui beban tugas yang harus diselenggarakan oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan [22]. Autokorelasi Spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang jarak, waktu dan wilayah [23]. Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial menunjukkan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait dengan nilai atribut pada daerah lain yang letaknya berdekatan bertetangga. Gambar 1 merupakan gambaran pola autokorelasi spasial. Gambar 1 Contoh Pola Autokorelasi Spasial Gambar 1 menunjukkan autokorelasi spasial dikatakan bernilai positif, apabila daerah di dekatnya atau tetangga memiliki kesamaan. Bernilai negatif, apabila menggambarkan pola dimana daerah tetangga tidak seperti atau berbeda pada pengelompokan wilayah. Jika pola yang terbentuk adalah acak random, maka tidak menunjukkan autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial berasal dari prinsip terbentuknya poligon, garis dan titik pada dua dimensi spasial. Setiap satu set sel kumpulan titik-titik yang bersebelahan atau berdekatan memiliki dua dimensi spasial, sedangkan setiap satu sel memiliki nilai titik koordinat x,y yang membentuk satu sel untuk satu piksel kumpulan sel. Prinsip kedekatan dan jarak ketetanggaan dihitung melalui titik-titik koordinat yang dimiliki oleh satu piksel. Pola poligon, garis dan titik yang terbentuk dari satu set sel yang berdekatan akan membentuk pola autokorelasi spasial. Moran’s I merupakan salah satu indikator tertua autokorelasi spasial [24]. Moran’s I pada awalnya merupakan metode untuk menentukan korelasi non– spasial, kemudian dikembangkan dalam kontek spasial. Moran’s I digunakan untuk menentukan tingkat kesamaan atau kemiripan nilai atribut suatu variabel tertentu. Prinsip kerja dari metode ini adalah membandingkan nilai variabel tertentu pada setiap lokasi dengan nilai pada semua lokasi lain [25]. Metode Moran’s I dapat digunakan untuk menentukan pola spasial global dan pola spasial lokal. Pola spasial global dapat didefinisikan sebagai Global Moran’s I dengan persamaan 4 : = − − − 2 4 6 Dimana : n :Jumlah kasus atau jumlah wilayah studi yang diidentifikasi : Berat spasial matrik atau elemen spatial weight matrix : Nilai unit analisis i : Nilai unit analisis tetangga : Nilai rata-rata Pembobot yang merupakan berat spasial matrik mempunyai aturan bernilai 1 apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berdekatan, sedangkan bernilai 0 apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berjauhan. Pembobot dapat ditampilkan dalam matrik kedekatan contiguity matrics yang sesuai dengan hubungan spasial antar lokasi yang menggambarkan hubungan antar daerah. Nilai koefisien Moran’s I berkisar antara -1 dan +1. Autokorelasi akan bernilai negatif tidak memiliki korelasi ketika bernilai antara 0 dan -1, sedangkan autokorelasi akan bernilai positif memiliki korelasi ketika bernilai antara 0 dan +1. Nilai Moran’s I yang negatif dan positif memiliki asosiasi secara spasial dengan wilayah sekelilingnya. Visualisasi besarnya asosiasi data dalam keruangan dilakukan menggunakan Moran Scatterplot. Visualisasi ini bertujuan untuk menyediakan analisis perilaku variabilitas data dalam keruangan. Cara kerja Moran Scatterplot adalah dengan membandingkan nilai atribut dalam wilayah studi dengan nilai rerata atribut sekeliling wilayah studi dalam bentuk grafik dua dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran. Contoh Moran Scatterplot disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Moran Scatterplot Gambar 2 menunjukkan Moran’s Scatterplot dibagi menjadi empat bagian yang disebut dengan kuadran. Wilayah studi dikatakan memiliki kesamaan nilai atribut dengan nilai rerata wilayah sekitarnya dan memiliki nilai autokorelasi spasial positif ketika data berada pada kuadran I dan kuadran III. Data yang berada pada kuadran I mempunyai arti bahwa nilai atribut pada wilayah studi dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi positif High High. Data yang berada pada kuadran III mempunyai arti bahwa nilai atribut pada wilayah studi dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi negatif Low Low. Wilayah studi dikatakan tidak memiliki kesamaan nilai atribut dengan nilai rerata wilayah sekitarnya dan memiliki nilai autokorelasi spasial negatif ketika data berada pada kuadran II dan kuadran IV. Data yang berada pada kuadran II mempunyai arti bahwa nilai atribut 7 wilayah studi negatif dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi positif Low High. Data yang berada pada kuadran IV mempunyai arti nilai atribut wilayah studi positif dan rerata nilai atribut sekeliling wilayah studi negatif Low High. Pola spasial lokal dapat didefinisikan sebagai Local Moran’s I atau Local Indicator Spasial Association LISA. LISA dapat didefinisikan dengan persamaan 5 : = − − 2 − 5 Dimana : : Nilai unit analisis i : Nilai rata-rata variabel i : Nilai unit analisis tetangga n :Jumlah kasus atau jumlah wilayah studi yang diidentifikasi : Berat spasial matrik atau elemen spatial weight matrix Autokorelasi spasial lokal dapat ditentukan dengan analisis Moran Scatterplot dan Local Indicator Spasial Association LISA. LISA divisualisasikan menggunakan peta yang digunakan untuk menunjukkan lokasi daerah studi yang signifikan statistik terjadinya pengelompokan nilai atribut cluster atau terjadinya pencilan outlier. Pola spasial menunjukkan signifikan lokal cluster ketika data berkarakteristik High High HH atau Low Low LL, sedangkan pola spasial menunjukkan signifikan lokal outlier ketika data berkarakteristik High Low HL atau Low High LH. Jumlah LISA untuk setiap wilayah studi sebanding atau sama dengan Moran’s I global.

3. Metode Penelitian