14 kendalanya dalam penanganan tindak pidana anak di
dalam proses penyidikan.
E. Landasan Teori
Landasan teori
yang digunakan
sebagai pendekatan approach untuk menganalisis dan
menerapkan pendekatan restorative justice dalam kasus penyelesaian tindak pidana anak adalah teori
keadilan restorative, teori hukum progresif dan teori hukum kritis.
1. Teori Keadilan Restorasi
Jim Consedine, salah seorang pelopor keadilan restoratif dari New Zealand berpendapat bahwa konsep
keadilan reributif dan restitutif yang berlandaskan hukuman,
balas dendam
terhadap pelaku,
pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi,
pemulihan korban, integrasi dalam ma-syarakat, pemaafan dan pengampunan
12
. Nilai-nilai keadilan memberikan perhatian yang sama terhadap korban
dan pelaku. Otoritas untuk menentukan rasa keadilan ada di tangan para pihak bukan pada negara. Mereka
tidak mau lagi menjadi korban kedua kali oleh negara dan menentukan derajat keadilan yang tidak sesuai
dengan keinginan mereka seperti dalam keadilan retributif
dan restitutif.
Considine mendorong
12
Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 16
15 penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif yang
memi-nimalkan peran
negara dan
fokus pada
pemulihan korban dan pelaku. Consedine mendefinisikan keadilan restoratif
sebagai:
Crime is no longer defined as an attack on the stage but rather an offence by
one person against another. It is based on recognition of the humanity of both
offender and victim. The goal of the restorative proccess is to heal the
wounds of every person affected by the offence, including the victim and the
offender, Option are explored that focus on repairing the damage.
Tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai serangan terhadap negara,
tetapi kejahatan
yang dilakukan
seseorang terhadap
orang lain.
Keadilan restoratif berlandaskan pada kemanusiaan
kedua belah
pihak, pelaku dan korban. Tujuan dari proses
restoratif adalah untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan
oleh kejahatan
yang di-lakukan
termasuk korban
dan penjahat.
Alternatif solusi dieksplorasi dengan fo- kus untuk memperbaiki kerusakan
yang ditimbulkan
13
Munculnya keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian sengketa merupakan jawaban dari kritik
terhadap kelemahan sistem peradilan pidana yang ada sekarang yakni:
13
Jim Consedine, 1995, Restorative Justice; Healing the Effects of crime, Lyttelton, Ploughshares Publications, hlm. 11
16 a.
ketidakefektifan dan kegagalan untuk mencapai tujuannya sendiri yakni perbaikan diri pelaku
dan pencegahan tindak kriminal; b.
mengambil pusat konflik dari para pihak dan meminggirkan peran mereka;
c. kegagalan untuk membuat pelaku bertanggung
jawab secara tepat dan berguna dan kurang tanggap terhadap kebutuhan korban;
d. ketergantungan pada penjatuhan hukum-an
sebagai balasan terhadap penderitaan akibat kejahatan.
Sebagai hasilnya
pen-deritaan dibalas
dengan penderitaan
lain yang
meningkatkan penderitaan dalam masyarakat, bukan menguranginya;
e. terpisah secara waktu, ruang dan hubungan
sosial dari
kejahatan yang
dilakukan, permasalahannya dan para individu yang
memperngaruhi terjadinya
pengulangan kejahatan;
f. ketergantungan terhadap kontrol sosial formal
bukan informal; g.
ketidaksensitifan terhadap keragaman budaya dan etnis;
h. tidak efisien, terutama terkait dengan lamanya
waktu dalam memperoses per-kara; dan i.
biaya tinggi dalam makna sosial dan ekonomi.
14
14
Adan Crawford and Tim Newburn, 2001, Youth Offending and Restorative Justice Implementing Reform in Youth Justice, Portland,
Willan Publishing, hlm. 20-12
17 2.
Teori Hukum Progresif Hukum progresif berupa mengubah paradigma
legalistik yang sudah terdogma dalam pikiran aparat penegak hukum untuk tidak hanya berpedoman pada
teks hukum belaka
15
. Para penegak hukum harus mengamati dan menyesuaikan dengan perubahan
sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat. Gagasan hukum progresif bertolak dari dua
komponen basis dalam hukum yaitu hukum dan perilaku. Jadi hukum sebagai peraturan dan hukum
sebagai perilaku. Peraturan akan membangun suatu system hukum positif sedangkan perilaku atau
manusia akan menggerakan peraturan dan system yang sudah dibangun. Sehingga dapat kita lihat ada
peraturan yang tidak berlaku black letter law, law on paper, law in the book, Hukum hanya menjadi janji-
janji dan akan menjadi kenyataan in action apabila. ada campur tangan manusia. Hukum progresif
berkehendak agar hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif bertumpu
pada manusia yang melakukan mobilisasi hukum, maka penegak hukum menjadi faktor penentu bagi
lahirnya hukum yang berpihak pada keadilan, ketertiban, kemanfaatan perdamaian. Oleh karena itu
perlu ada kebijakan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan perlindungan
hukum secara maksimal. Dalam artian apakah anak
15
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Kompas, hlm. 154
18 apabila berhadapan dengan hukum mesti diproses
secara pidana atau tidak? Kalau diproses secara pidana apa parameternya? Kalau tidak juga perlu
parametemya.Sesungguhnya apabila ada suatu kasus maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Ke-polisian Republik Indonesia . memberikan we- wenang kepada kepolisian untuk menge-luarkan
deskresi. Nonet dan Selnick membedakan tiga keadaan
dasar mengenai hukum dasar ma-syarakat yaitu: Pertama, Hukum represif, yaitu hukum sebagai alat
kekuasaan represif; Kedua, Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu
pranata yang mampu menetralisir represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri.
Ketiga, Hukum responsive, yaitu hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan
sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Hukum responsive terbuka terhadap perubahan-perubahan
masyarakat dengan maksud untuk mengabdi pada usaha meringankan beban kehidupan sosial dan
mencapai sasaran-sasaran kebijakan sosial, seperti keadilan sosial, emansipasi kelompok-kelompok
sosial yang dikesampingkan dan diterlantarkan, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.
3. Teori Hukum Kritis
Teori hukum
kritis juga
bertujuan meningkatkan kondisi sosial golongan yang lemah
vulnerable untuk mendapatkan akses keadilan,
19 termasuk perempuan dan anak. Beberapa konvensi
internasional mema-sukkan perempuan dan anak sebagai
ke-lompok yang
lemah karena
selalu menghadapi banyak resiko dan rentan terhadap
bahaya dari kelompok lain.
16
Menurut pandangan teori hukum kritis, hukum di Indonesia hanya berpaku pada Undang-Undang
tanpa mempertimbangkan
faktor sosiologis.
Semestinya hukum tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus ditopang oleh faktor sosiologis. Penegakan
hukum di Indonesia tersandera oleh banyaknya aturan hukum tanpa memperdulikan esensi hukum tersebut
untuk kepentingan masyarakat. Hukum di Indonesia memenjarakan diri-nya
sendiri pada tujuan keadilan dan kepastian hukum tanpa memerdulikan tujuan kemanfaatan. Bangsa ini
harus menyadari bahwa hukum dibuat untuk manusia sehingga eksistensi hukum harus benar-
benar dimaknai untuk memberikan kemanfaatan bagi seluruh manusia.
Penegakan hukum di Indonesia yang tanpa didasari pemahamaman akan filosofi dari tujuan
pembuatan hukum
itu sendiri
menyebabkan terjadinya disorientasi dalam penegakan hukum.
Disorientasi ini tampak dalam sistem pemidanaan yang hanya mampu memenjarakan orang tetapi tidak
mampu mengembalikan keseimbangan dan persatuan
16
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Bandung: Refika Aditama, hlm. 3
20 di tengah masyarakat yang terganggu akibat suatu
tindak pidana. Sudah saatnya pene-gakan hukum di Indonesia dikembalikan kepada orientasi yang benar.
Orientasi yang didasarkan pada keseimbangan antara faktor keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Pengembalian penegakan hukum di Indonesia pada orientasi yang benar dapat diawali dengan penerapan
restorative justice atau prinsip keadilan restoratif.
F. Metode Penelitian