Latar Belakang Masalah Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB I

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem peradilan pidana dapat digam-barkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan dengan diaju-kannya si pelaku ke muka sidang pengadilan dan mendapat hukuman. Namun gambaran diatas bukanlah sebagai keseluruhan tugas dari sistem peradilan pidana itu karena sebagian tugas yang lain adalah bagaimana mencegah mereka yang sedang ataupun telah melakukan perbuatan pidana itu tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang melanggar hukum itu. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem yang terbuka, seperti yang dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface interaksi, interkoneksi dan interpendensi dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta subsistem- 2 subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri subsystem of criminal justice system 1 Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem tentunya memiliki subsistem-subsistem seperti pendapat Sidik Sunaryo sebagai berikut: Di dalam sistem peradilan pidana terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan dan merupakan satu kesatuan totalitas berusaha mentransformasikan masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan sistem peradilan. 2 Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai salah satu subsistem peradilan pidana memiliki tugas yang salah satu tugas tersebut adalah melakukan penyidikan. Penyidikan sendiri diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 1 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP Undip, hlm. 5 2 Sidik Sunaryo, 2005. Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, hlm. 256 3 Menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. 3 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketetertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, penga-yoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya 3 Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hlm. 114 4 ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia 4 . Tindakan kepolisian adalah setiap tindakan atau perbuatan kepolisian berdasarkan wewe- nangnya dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum. Tindakan kepolisian memposisikan polisi sebagai subyek hukum artinya sebagai drager van de rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban di mana kepolisian sebagai lembaga maupun fungsi melakukan berbagai tindakan yang bersifat tindakan hukum rechtelijkhandelingen maupun tindakan yang berdasarkan faktanyata feitelijkhandelingen. Di dalam melaksanakan tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut Kepolisian selalu melaksanakannya berdasarkan atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan hukum sendiri memiliki pengertian sebagai berikut: Tindakan hukum adalah suatu tindakan yang menimbulkan akibat hukum tertentu seperti tindakan dalam rangka penegakan hukum penangkapan, pemeriksaan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan lain-lain atau 4 Kelik Pramudya, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Pustaka Yustisia, Jakarta. hlm. 52-53. 5 tindakan penertiban masyarakat pemakai jalan, unjuk rasa, pertunjukan dan lain-lain, sedangkan tindakan berdasarkan faktanyata artinya tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum, oleh karena itu, tidak menimbulkan akibat-akibat hukum seperti penyelenggaraan upacara, peresmian kantor atau gedung-gedung kepolisian, dan lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh pejabat pemerintahan 5 . Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan kepolisian khususnya di dalam proses penyidikan selalu menimbulkan akibat hukum tertentu, sehingga segala tindakan kepolisian di dalam proses penyidikan haruslah memiliki sandaran hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam menangani kasus yang dilakukan oleh anak di antaranya adalah diversi, di mana pengertian diversi adalah: Pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijak-sanaan dalam menangani atau menye-lesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikanmenyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, pe-nuntutan, pemeriksaan pada sidang pe-ngadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini dimaksudkan 5 Sadjijono, 2010, Memahami Hukum Kepolisian, LaksBangPresindo, Yogyakarta, hlm. 140. 6 un-tuk mengurangi dampak negative ke-terlibatan anak dalam proses peradilan tersebut 6 . Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu. 7 Sehingga upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mung-kin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 delapan belas tahun. 8 6 Purniati, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak Juvenile Justice System di Indonesia, Departemen Kriminologi Universitas Indonesia UNICEF, hlm. 4. 7 Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung; Refika Aditama, hlm. 33 8 Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 7 Pengertian anak dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berlum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meng-artikan Perlindungan Anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mengenai penanganan anak yang berkonflik dengan hukum disebutkan dalam Pasal 16 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa “penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terkhir” Proses hukum formal merupakan jalan terakhir dalam menangani Anak Konflik Hukum 9 . Dalam penanganan Anak Konflik Hukum dikenal adanya konsep Restorative Justice, yang merupakan konsep penanganan Anak Konflik Hukum dengan melibatkan 9 Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, hlm.12 8 semua pihak, termasuk pelaku sendiri 10 . Polri tidak sesegera mungkin untuk membawa kasus yang kecilringan ke jalur penyidikan, namun lebih memprioritaskan untuk menyelesaikan perma-salahan tersebut dengan melibatkan pranata sosial yang ada di masyarakat dengan mengedepankan prinsip kemitraan partnership dan pemecahan masalah Problem solving. Fiat justisia ruat coelum, pepatah Latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan ”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah di-implementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit berdalih penegakan dan kepastian hukum. Dan pendekatan Restorative Justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana,RumahTahanan dan Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam 10 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm.23 9 lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan banyaknya jumlah tahanan narapidana. Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam memasyarakatkan kembali para narapidana tersebut, malah seolah lapas telah bergeser fungsinya se-bagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana 11 . Bagaimana dengan kepentingan korban dan korban, apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam sebuah kasus misalnya, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang terjadi hanyalah sebuah kesalah pahaman yang melibatkan para pelaku yang masih berusia anak- anak. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara pidana, kilah penegak hu-kum pada umumnya. Pendekatan Restorative Justice dalam penanganan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak juga telah dikuatkan melalui Putusan 11 Ibid 10 Mahkamah Konstitusi No. 1PUU-VIII2010 yang telah memberikan pencerahan baru dalam upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum children in conflict with the law. Uji materiil yang diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak IndonesiaKPAI dan Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat 1, Pasal 5 ayat 1, Pasal 22, Pasal 23 ayat 2 huruf a, dan Pasal 31 ayat 1 dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Di dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan bahwa Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tin-dakan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang pengadilan Anak tidak ada perubahan kemudian pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan dapat dijatuhkan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Ketentuan 11 mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memutuskan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: 1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh; 2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau 3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Pendekatan Restorative Justice di dalam penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana di Polres Tegal salah satunya adalah di dalam proses penyidikan terhadap tindak pidana penganiayaan terhadap anak di bawah umur dengan Tersangka Panggi bin Rasman atas Laporan Polisi Nomor LPB259VIII2013 JatengRes Tegal, di mana di dalam uraian sing-kat kejadian disebutkan bahwa benar pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 Pukul 16.30 WIB telah terjadi kekerasan terhadap anak di mana kejadian berawal pada saat korban Samuel Matahelumual bin Abraham Yosef Mata- helumual, umur 12 tahun sedang bermain bersama teman- temannya di belakang rumah Sdri. Surip, tiba-tiba korban didatangi oleh Ter-sangka dari arah sungai dan 12 langsung mendorong korban hingga terjengkang, kemudian korban ditendang perutnya sebanyak 2 dua kali dan ditampar pipi sebelah kanan sebanyak 1 satu kali hingga merasakan sakit. Atas perkara tersebut pihak Kepolisian Resor Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice terhadap Tersangka dengan berusaha menghubungi korban dan perkara ini dapat diselesaikan melalui pendekatan Restorative Justice.

A. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN ANTAR ANAK DENGAN PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE Penyelesaian Tindak Pidana Kesusilaan Antar Anak Dengan Pendekatan Restorative Justice.

0 2 16

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN ANTAR ANAK DENGAN PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE Penyelesaian Tindak Pidana Kesusilaan Antar Anak Dengan Pendekatan Restorative Justice.

0 2 12

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN ANTAR ANAK Penyelesaian Tindak Pidana Kesusilaan Antar Anak Dengan Pendekatan Restorative Justice.

0 3 18

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DENGAN PELAKU ANAK (STUDI Implementasi Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Dengan Pelaku Anak (Studi Kasus Di Polresta Surakarta).

0 2 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB II

0 0 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB IV

0 0 9

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN ANTAR ANAK DENGAN PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE

0 0 8

Implementasi Restoratif / Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Di Polres Rembang

0 0 12

BAB II PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK 2.1. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak - RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 36