1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem peradilan pidana dapat digam-barkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan
untuk menanggulangi kejahatan. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan
keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan
dengan diaju-kannya si pelaku ke muka sidang pengadilan
dan mendapat
hukuman. Namun
gambaran diatas bukanlah sebagai keseluruhan tugas dari sistem peradilan pidana itu karena sebagian tugas
yang lain adalah bagaimana mencegah mereka yang sedang ataupun telah melakukan perbuatan pidana
itu tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang melanggar hukum itu.
Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem yang terbuka, seperti yang dikemukakan oleh
Muladi, bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system,
dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface interaksi,
interkoneksi dan interpendensi dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi,
politik, pendidikan dan teknologi serta subsistem-
2 subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri
subsystem of criminal justice system
1
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem tentunya
memiliki subsistem-subsistem
seperti pendapat Sidik Sunaryo sebagai berikut:
Di dalam sistem peradilan pidana terkandung gerak
sistemik dari
subsistem-subsistem pendukungnya
yakni kepolisian,
kejaksaan, pengadilan,
lembaga pemasya-rakatan
dan advokat yang secara ke-seluruhan dan merupakan
satu kesatuan
totalitas berusaha
mentransformasikan masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan sistem peradilan.
2
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai salah satu subsistem peradilan pidana memiliki tugas
yang salah satu tugas tersebut adalah melakukan penyidikan. Penyidikan sendiri diatur dalam Pasal 1
butir 1 dan 2 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang
untuk melakukan
penyidikan. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang untuk
mencari serta
mengumpulkan bukti
yang terjadi
dan guna
menemukan tersangkanya.
1
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP Undip, hlm. 5
2
Sidik Sunaryo, 2005. Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, hlm. 256
3 Menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang
dimaksud dengan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format
tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas
pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi,
mengayomi dan melayani masyarakat.
3
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketetertiban masyarakat,
tertib dan
tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, penga-yoman dan pelayanan
kepada masyarakat
serta terbinanya
3
Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hlm. 114
4 ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia
4
. Tindakan kepolisian adalah setiap tindakan atau
perbuatan kepolisian berdasarkan wewe- nangnya dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan di
bidang pemeliharaan
keamanan dan
ketertiban masyarakat, pemberian perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum. Tindakan kepolisian memposisikan polisi
sebagai subyek hukum artinya sebagai drager van de rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan
kewajiban-kewajiban di mana kepolisian sebagai lembaga
maupun fungsi
melakukan berbagai
tindakan yang
bersifat tindakan
hukum rechtelijkhandelingen
maupun tindakan
yang berdasarkan faktanyata feitelijkhandelingen.
Di dalam
melaksanakan tugas
pemeliharaan keamanan
dan ketertiban
masyarakat tersebut
Kepolisian selalu melaksanakannya berdasarkan atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan hukum sendiri memiliki pengertian sebagai berikut:
Tindakan hukum adalah suatu tindakan yang menimbulkan akibat hukum tertentu seperti
tindakan dalam
rangka penegakan
hukum penangkapan,
pemeriksaan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan dan lain-lain atau
4
Kelik Pramudya, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Pustaka Yustisia, Jakarta. hlm. 52-53.
5
tindakan penertiban masyarakat pemakai jalan, unjuk rasa, pertunjukan dan lain-lain, sedangkan
tindakan berdasarkan
faktanyata artinya
tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan
hukum, oleh
karena itu,
tidak menimbulkan
akibat-akibat hukum
seperti penyelenggaraan upacara, peresmian kantor atau
gedung-gedung kepolisian, dan lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh pejabat pemerintahan
5
.
Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan kepolisian khususnya di dalam proses penyidikan
selalu menimbulkan akibat hukum tertentu, sehingga segala tindakan kepolisian di dalam proses penyidikan
haruslah memiliki sandaran hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam menangani kasus yang dilakukan oleh anak di
antaranya adalah diversi, di mana pengertian diversi adalah:
Pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada aparat
penegak hukum
untuk mengambil
tindakan-tindakan kebijak-sanaan
dalam menangani
atau menye-lesaikan
masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan
formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan melepaskan dari proses peradilan
pidana atau mengembalikanmenyerahkan kepada masyarakat
dan bentuk-bentuk
kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat
dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, pe-nuntutan, pemeriksaan
pada sidang pe-ngadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini dimaksudkan
5
Sadjijono, 2010,
Memahami Hukum
Kepolisian, LaksBangPresindo, Yogyakarta, hlm. 140.
6
un-tuk mengurangi dampak negative ke-terlibatan anak dalam proses peradilan tersebut
6
.
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon
pemimpin bangsa di masa yang akan datang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu,
perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara
rohani, jasmani dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan
masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan
bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya,
maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.
7
Sehingga upaya
perlindungan anak
perlu dilaksanakan sedini mung-kin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 delapan belas tahun.
8
6
Purniati, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak Juvenile Justice
System di Indonesia, Departemen Kriminologi Universitas Indonesia UNICEF, hlm. 4.
7
Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung;
Refika Aditama, hlm. 33
8
Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
7 Pengertian anak dirumuskan di dalam Pasal 1
Ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak
sebagai seseorang yang berlum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak meng-artikan Perlindungan Anak sebagai
segala kegiatan
untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang
dan berpartisipasi
secara optimal
sesuai dengan
harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Mengenai penanganan anak yang berkonflik
dengan hukum disebutkan dalam Pasal 16 ayat 3 Undang-Undang
Perlindungan Anak
bahwa “penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara
anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terkhir”
Proses hukum formal merupakan jalan terakhir dalam menangani Anak Konflik Hukum
9
. Dalam penanganan Anak Konflik Hukum dikenal adanya
konsep Restorative Justice, yang merupakan konsep penanganan Anak Konflik Hukum dengan melibatkan
9
Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, hlm.12
8 semua pihak, termasuk pelaku sendiri
10
. Polri tidak sesegera mungkin untuk membawa kasus yang
kecilringan ke jalur penyidikan, namun lebih memprioritaskan untuk menyelesaikan perma-salahan
tersebut dengan melibatkan pranata sosial yang ada di masyarakat dengan mengedepankan prinsip kemitraan
partnership dan
pemecahan masalah
Problem solving.
Fiat justisia ruat coelum, pepatah Latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus
ditegakkan ”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat
populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah
sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah di-implementasikan
dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit berdalih penegakan dan kepastian hukum. Dan
pendekatan Restorative Justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi
terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Sistem pemidanaan
seakan tidak
lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak
pidana,RumahTahanan dan Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity malah berimbas
pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam
10
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm.23
9 lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah
tidak berimbang dengan banyaknya jumlah tahanan narapidana. Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat
yang tepat dalam memasyarakatkan kembali para narapidana
tersebut, malah
seolah lapas telah
bergeser fungsinya se-bagai academy of crime, tempat dimana
para narapidana
lebih “diasah”
kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana
11
. Bagaimana dengan kepentingan korban dan
korban, apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai
pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku.
Dalam sebuah kasus misalnya, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris
sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan
bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang
terjadi hanyalah sebuah kesalah pahaman yang melibatkan para pelaku yang masih berusia anak-
anak. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara
pidana, kilah penegak hu-kum pada umumnya. Pendekatan
Restorative Justice
dalam penanganan terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh anak juga telah dikuatkan melalui Putusan
11
Ibid
10 Mahkamah Konstitusi No. 1PUU-VIII2010 yang telah
memberikan pencerahan
baru dalam
upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak
terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum children in conflict with the law.
Uji materiil
yang diajukan
oleh Komisi
Perlindungan Anak IndonesiaKPAI dan Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat 1, Pasal
5 ayat 1, Pasal 22, Pasal 23 ayat 2 huruf a, dan Pasal 31 ayat 1 dikabulkan sebagian oleh Mahkamah
Konstitusi. Di
dalam putusan
Mahkamah Konstitusi
tersebut mengamanatkan bahwa Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tin-dakan
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang pengadilan Anak tidak ada perubahan kemudian
pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
Di dalam
Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut menjelaskan bahwa pidana pokok yang dapat
dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: pidana penjara, pidana
kurungan, pidana
denda atau
pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan dapat
dijatuhkan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Ketentuan
11 mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga
memutuskan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang
tua asuh; 2.
Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau
Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan
oleh Hakim. Pendekatan
Restorative Justice
di dalam
penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana di Polres Tegal salah satunya adalah di dalam proses
penyidikan terhadap tindak pidana penganiayaan terhadap anak di bawah umur dengan Tersangka
Panggi bin Rasman atas Laporan Polisi Nomor LPB259VIII2013 JatengRes Tegal, di mana di
dalam uraian sing-kat kejadian disebutkan bahwa benar pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 Pukul
16.30 WIB telah terjadi kekerasan terhadap anak di
mana kejadian berawal pada saat korban Samuel Matahelumual bin Abraham Yosef Mata- helumual,
umur 12 tahun sedang bermain bersama teman-
temannya di belakang rumah Sdri. Surip, tiba-tiba
korban didatangi oleh Ter-sangka dari arah sungai dan
12 langsung mendorong korban hingga terjengkang,
kemudian korban ditendang perutnya sebanyak 2 dua kali dan ditampar pipi sebelah kanan sebanyak 1
satu kali hingga merasakan sakit. Atas perkara tersebut pihak Kepolisian Resor
Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice terhadap Tersangka dengan berusaha menghubungi
korban dan perkara ini dapat diselesaikan melalui pendekatan Restorative Justice.
A. Rumusan Masalah