PENGARUH PROFESIONALITAS DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT KABUPATEN PRINGSEWU

PENGARUH PROFESIONALITAS DAN BUDAYA KERJA
TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA BADAN
KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT DAERAH
KABUPATEN PRINGSEWU

Oleh
MUHAMMAD RIZA FAHLEVY

Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
MAGISTER MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

ABSTRAK
PENGARUH PROFESIONALITAS DAN BUDAYA KERJA TERHADAP
KUALITAS PELAYANAN PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAN

DIKLAT KABUPATEN PRINGSEWU
Oleh
MUHAMMAD RIZA FAHLEVY PRATAMA
Rendahnya kualitas pelayanan publik yang ditandai oleh prosedur berbelit
ketika harus mengurus suatu urusan tertentu, serta ditemuinya beberapa hal yang
mencerminkan adanya masalah kualitas pelayanan yaitu 1). Lebih cepat dan
mudahnya proses pelayanan yang diberikan bagi pegawai yang memiliki unsur
kekerabatan dengan pejabat; 2). Lebih cepat dan mudahnya proses pelayanan yang
diberikan bagi pegawai yang memberikan imbalan; serta 3). Adanya informasi
yang tidak dipublikasikan secara terbuka mengenai hal-hal khusus yang berkaitan
dengan pengurusan administrasi kepegawaian, menuntut keberadaan sumber daya
aparatur Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional dan berkompeten.
Mempertimbangkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Profesionalitas dan Budaya Kerja Terhadap
Kualitas Pelayanan Pada Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten
Pringsewu.”
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis pengaruh profesionalitas
dan budaya kerja terhadap kualitas pelayanan. Sedangkan alat analisis yang
digunakan adalah analisis regresi linear berganda, dengan menggunakan uji t dan
uji F.

Hasil analisis kualitatif menunjukkan pada variabel profesionalitas (X1)
indikator responsifitas menjadi kekuatan dominan, sedangkan indikator kreatifitas
menjadi kelemahan; Pada variabel budaya kerja (X2) indikator dialog memiliki
kontribusi yang lebih dominan, sedangkan kesenangan merupakan kelemahan;
Dan pada variabel kualitas pelayanan (Y) kekuatan terbesar teletak pada indikator
kepedulian, sedangkan yang menjadi kelemahan adalah kehandalan. Secara
parsial maupun simultan/bersama-sama profesionalitas (X1) dan budaya kerja (X2)
berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan (Y) pada BKD Kabupaten
Pringsewu. Kesimpulan ini diperoleh dari nilai Fhitung yang diperoleh sebesar
8,644 lebih besar dari nilai Ftabel sebesar 3,255, serta nilai thitung (X1) = 2,396 dan
3,063 (X2) yang lebih besar dibandingkan dengan nilai t tabel sebesar 2,040.
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis, maka untuk mencapai kualitas
pelayanan yang efektif dan efisien, disarankan kepada pegawai maupun
pimpinan/pejabat pada BKD Kabupaten Pringsewu beberapa hal sebagai berikut :
(1) Berusaha meningkatkan daya kreatifitas, kesenangan dan kehandalan pegawai
yang merupakan kelemahan, selanjutnya berusaha mempertahankan dan lebih

MUHAMMAD RIZA FAHLEVY PRATAMA

meningkatkan sikap responsifitas, kemampuan dialog, kepedulian pegawai serta

parameter lainnya dalam meningkatkan profesionalitas, budaya kerja dan kualitas
pelayanan; (2) Secara bertahap merubah mind set atau pola pikir pegawai sebagai
pelayan publik melalui pemberian pemahaman kepada pegawai untuk dapat
mengubah paradigma yang selama ini terbentuk menjadi paradigma baru yang
lebih sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat. (3) Menjadikan visi dan misi
organisasi sebagai acuan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi pelayanan
kepada masyarakat secara responsif dan inovatif ; dan (4) Budaya kerja pegawai
sebagai faktor kritis internal sebaiknya lebih di tumbuh kembangkan lagi melalui
sistem penilaian prestasi kerja yang mengacu pada sistem reward and punishment
atau imbalan terhadap prestasi kerja dan hukuman terhadap pelanggaran atau
kesalahan yang lebih jelas dan terarah.

Kata kunci : Profesionalitas, Budaya Kerja, dan Kualitas Pelayanan

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bergulirnya otonomi daerah di Indonesia pada satu dekade terakhir telah

membawa perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia. Nuansa ini tidak saja dirasakan oleh Pemerintah Pusat, namun juga pada
level Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beralihnya sistem
sentralisasi menjadi sistem desentralisasi yang ditandai dengan perubahan UU Nomor
5 tahun 1974 ke UU Nomor 22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU Nomor
32 Tahun 2004, mengubah sistem pemerintahan dari monolitik sentalistik di
Pemerintah Pusat menjadi lokal demokrasi di Pemerintah Daerah.
Bertambahnya wewenang pemerintahan yang diterima Pemerintah Daerah
pada satu sisi merupakan suatu bentuk pemberdayaan Pemerintah Daerah, disisi lain
juga menuntut kesiapan dari Pemerintah Daerah dalam menerima wewenang tersebut.
Konsekuensi inipun harus diterima secara bersama-sama sebagai bentuk kemandirian
daerah, bukan saja kewenangan tapi juga tanggungjawab pengelolaannya.
Berbagai isyu telah menghadang kemandirian daerah untuk dapat diakomodir
dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Bukan saja menyangkut sumber daya saja,
namun secara utuh isu strategis dalam otonomi daerah ini adalah menyangkut

terbentuknya kelembagaan yang kuat, pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas dan adanya prosedur kerja yang sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Sumber daya manusia sebagai salah satu isu strategis otonomi daerah
memegang peranan penting dalam upaya mewujudkan kemandirian daerah dengan

sifatnya yang dimanis dan aktif. Di dalam pemerintahan, sumber daya manusia ini
tercermin pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparat (aktor) pelaksana
pemerintahan. Sehingga pemberdayaan PNS juga menjadi hal yang penting dalam
pelaksanaan otonomi daerah.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
memberikan pengaruh terhadap tugas dan tanggung jawab Pegawai Negeri Sipil.
Sebagai manifestasi dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna
dan berhasil guna, diperlukan keberadaan pegawai negeri sipil yang profesional.
Untuk itu diperlukan kesiapan sumber daya manusia dalam hal pengetahuan,
keahlian, dan perilaku di tempat kerja sehingga yang bersangkutan bertanggung
jawab, dan memiliki keunggulan kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Untuk mendapatkan kualitas pegawai negeri sipil yang demikian ini
perlu dilakukan pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan pada perpaduan sistem
prestasi kerja dan sistem karier yang obyektif.
Perubahan-perubahan disegala bidang yang terjadi sebagai akibat dari
pemberlakuan otonomi daerah mendorong untuk dilakukannya penyelarasan
penyelenggaraan tugas pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna. Salah satu
2


upaya yang dilakukan adalah pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan
struktural.

Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2002

tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002. Peraturan
Pemerintah tersebut ditujukan untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan Pegawai
Negeri Sipil dalam jabatan struktural daerah, yang pada akhirnya akan mendorong
pemerintah daerah lebih mampu membina pegawai yang didasarkan pada prestasi
kerja. Kenyataan yang ditemui dihampir semua elemen masyarakat mengatakan
bahwa di negara kita belum terjadi reformasi birokrasi untuk mendukung
pemerintahan yang kita harapkan. Birokrasi yang ada masih dianggap kelanjutan
pemerintahan yang lama.
Adanya masalah serius dalam proses birokrasi yang dirasakan oleh
masyarakat seperti pelayanan yang cenderung lambat, mahal, tidak tepat waktu dan
prosedur yang panjang serta berbelit-belit. Oleh karena itu pegawai negeri sipil
sebagai aparatur negara dan sebagai abdi masyarakat harus mampu menjawab
tuntutan masyarakat tersebut. Sejalan dengan tuntutan perubahan tersebut, maka

pemerintah daerah harus meningkatkan kemampuan dan profesionalitas pegawai
dibarengi dengan kualitas pelayanan dan budaya kerja yang kondusif. Sebaliknya
peran yang besar itu justru akan menjadi bumerang bila tidak dibarengi dengan
perbaikan kinerja.
Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur pemerintah yang memiliki peran
strategis dalam melaksanakan dan mengembangkan tugas umum pemerintahan,
perlu memiliki kemampuan dan kompetensi yang tinggi sehingga dapat dengan
3

mudah memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kemampuan tersebut merupakan bagian dari kinerja yang dapat diberikan
pegawai kepada organisasinya. Namun pada kenyataannya tantangan yang
dihadapi aparatur negara cukup memprihatinkan terutama karena masih ada
aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh
sebab itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya
kesejahteraan dan pelayanan masyarakat yang baik.
Untuk kelancaran pelayanan administrasi kepegawaian dan manajemen
pegawai negeri sipil daerah, dibentuklah Badan Kepegawaian dan Diklat yang
merupakan salah satu organisasi lembaga teknis daerah di Kabupaten Pringsewu.
Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu sebagai lembaga teknis

yang mengelola pelayanan bidang administrasi kepegawaian

pada Pemerintah

Kabupaten Pringsewu, menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 159 Tahun 2000, tentang Pedoman Pembentukan Badan
Kepegawaian dan Diklat (BKD), yang dipertegas dengan Peraturan Peraturan Daerah
Kabupaten Pringsewu Nomor : 8 Tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan
daerah Nomor 3 tahun 2010 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Tekhnis Daerah Kabupaten Pringsewu, dan Peraturan Bupati Pringsewu
Nomor : 38 Tahun 2012 tentang Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian
dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu.
Di lingkungan Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu
seperti halnya dengan lembaga publik lainnya, juga memiliki kondisi kualitas
pelayanan tersendiri. Kualitas pelayanan di Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD)
4

sangat dipengaruhi oleh visi dan misi organisasi yang jelas dan terarah. Badan
Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu yang memiliki Visi
“Pringsewu Unggul, dinamis dan Agamis Berbasis Ekonomi Kerakyatan”, selalu

berusaha secara optimal untuk memenuhi tuntutan pegawai dalam mendapatkan
pelayanan yang terbaik apabila melakukan pengurusan administrasi kepegawaian di
Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu. (Renstra BKD
Kabupaten Pringsewu Tahun 2011-2015)
Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu sebagai
lembaga teknis dalam menjalankan tugas dan fungsinya memberikan pelayanan
kepada pegawai senantiasa mengedepankan azas pelayanan prima yang tepat waktu
dan tepat sasaran. Berbagai jenis pelayanan yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian
dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu dalam Peraturan Bupati Pringsewu
Nomor : 38 Tahun 2012 yang didasarkan pada sub bidang dan struktur organisasi
antara lain meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Pembuatan kartu pegawai
Pembuatan kartu istri/Pembuatan kartu suami
Penyusunan formasi PNS dan Pengadaan PNS
Pembuatan duplikat SK CPNS dan SK PNS
Pelaksanaan kenaikan gaji berkala dan kenaikan pangkat PNS
Pembuatan duplikat SK kenaikan pangkat PNS
Pelaksanaan ujian penyesuaian kenaikan pangkat
Pelaksanaan ujian dinas
Pelaksanaan tugas belajar dan izin belajar PNS
Pelaksanaan seleksi calon Praja IPDN
Pelayanan administrasi mutasi/alih tugas

Pelaksanaan mutasi jabatan struktural
Pelaksanaan pengangkatan PNS dalam jabatan fungsional
Panduan pelaksanaan sisten informasi kepegawaian
Pelayanan cuti PNS
Pemberian penghargaa Satya Lencana Karya Satya
Pelayanan Bapertarum
5

18.
19.
20.
21.
22.
23.

Pemberian bantuan uang duka dan tunjangan cacat bagi PNS
Pelaksanaan pemberhentian dan pensiunan PNS
Pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin PNS
Pemberian penghargaan bagi PNS yang memasuki masa purna bhakti.
Pelaksanaan diklat struktural dan prajabatan
Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional
Kualitas pelayanan yang masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk

diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu,
merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Hal ini juga
sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan
oleh masyarakat. Disamping itu, adanya kecenderungan ketidakadilan dalam
pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan
pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang berstatus sosial menengah ke atas dengan
sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan.
Langkah untuk memperbaiki pelayanan administrasi kepegawaian pada
Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten pringsewu sebagai implementasi
pelaksanaan Visi “Pringsewu Unggul, Dinamis dan Agamis Berbasis Ekonomi
Kerakyatan”, harus dilakukan oleh pegawai dengan cara meningkatkan kualitas
pelayanan dan menciptakan budaya kerja yang kondusif. Kurang optimalnya kualitas
pelayanan pegawai disamping akibat profesionalitas dan budaya kerja yang kurang
optimal dan kondusif, juga disebabkan oleh factor antara lain masalah kurangnya
sarana dan prasarana yang memadai, pengawasan yang kurang, penempatan pegawai
yang belum sesuai dengan keahliannya, keadaan lingkungan baik internal dan
eksternal yang kurang mendukung. Semua faktor-faktor di atas merupakan

6

penghambat bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menciptakan peningkatan kualitas
pelayanan pada Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.
Luas dan banyaknya dimensi pelayanan yang diberikan Badan Kepegawaian
dan Diklat Kabupaten Pringsewu, serta keterbatasan kemampuan dan waktu yang
penulis miliki, maka penulis hanya menfokuskan penelitian pada 2 bidang yaitu
bidang pendidikan dan latihan serta bidang mutasi dan kepangkatan pegawai, yang
menjalankan 3 (tiga) dimensi atau aspek layanan yaitu : pelayanan izin belajar,
pelayanan alih tugas dan pelayanan kenaikan pangkat yang dilakukan oleh pegawai
Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu (Populasi I) terhadap pegawai
Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu (Populasi II) sebagai objek penelitian.
Tabel 1.1 Klasifikasi dan Jumlah Pegawai Penerima Pelayanan Izin Belajar
Pelayanan Alih Tugas dan Pelayanan Kenaikan Pangkat
Kenaikan
Pangkat
I
0
0
17
Januari 2012

II
63
78
217
Mei 2013
III
35
115
353
IV
0
47
198
Jumlah
98
240
785
Sumber : Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu (2013)
Periode

Golongan

Izin Belajar

Alih Tugas

Jumlah
17
358
503
245
1123

Tabel 1.1 memperlihatkan jumlah pegawai di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Pringsewu yang menerima pelayanan izin belajar, alih tugas dan
kenaikan pangkat dari Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.
Jumlah total pegawai yang menerima pelayanan periode Januari 2012 sampai
dengan Mei 2013 sebanyak 1123 pegawai, yang terdiri 98 pegawai yang

7

menerima pelayanan izin belajar, 240 pegawai penerima pelayanan alih tugas, dan
785 pegawai penerima pelayanan kenaikan pangkat.
Mengingat kompleksitas dan pluralitas kondisi pegawai di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Pringsewu, maka pegawai Badan Kepegawaian dan Diklat
Kabupaten Pringsewu dalam melaksanakan tugas harus senantiasa meningkatkan
kualitas moral, akhlak, iman dan tentunya juga diikuti peningkatan profesionalitas
dan komitmen yang didasari dengan semangat pengabdian yang berlandaskan
kejujuran dan keikhlasan dalam pelayanan publik.

Faktor lain yang akan

mempengaruhi pelayanan administrasi kepegawaian adalah budaya kerja yang
merupakan faktor pendukung terciptanya pelayanan prima.
Aparat birokrasi perlu menciptakan pelayanan yang baik dengan menghindari
diskriminasi dalam upaya melakukan pelayanan. Beberapa hal yang ditemui dan
mencerminkan adanya indikasi diskriminasi adalah : 1). Lebih cepat dan mudahnya
proses pelayanan yang diberikan bagi pegawai yang memiliki unsur kekerabatan
dengan pejabat; 2). Lebih cepat dan mudahnya proses pelayanan yang diberikan bagi
pegawai yang memberikan imbalan; serta 3). Adanya informasi yang tidak
dipublikasikan secara terbuka mengenai hal-hal khusus yang berkaitan dengan
pengurusan administrasi kepegawaian.
Guna mengatasi kondisi demikian, perlu adanya peningkatan kemampuan
pegawai melalui sikap responsifness, akuntabilitas profesionalisme pada pemberi
pelayanan publik dalam penerapan etika pelayanan publik. Aparat birokrasi
diharapkan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan kesungguhan dan keteguhan

8

hati tanpa adanya tindakan diskriminatif. Jika kondisi demikian diterapkan melalui
penerapan variabel kualitas pelayanan yang baik dan benar kepada pegawai, maka
pelayanan administrasi kepegawaian pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Pringsewu dapat berjalan sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan dan akan
dicapai.
Sejalan dengan dengan tuntutan tersebut, dalam meningkatan kualitas
pelayanan langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menganalisis serta
mengukur tingkat kualitas pelayanan yang telah dilakukan, untuk selanjutnya
dijadikan dasar dalam menganalisis sekaligus memutuskan apa saja yang perlu
diubah; dan mengembangkan serta mengimplementasikan strategi perubahan
tersebut.

Dekonstruksi kualitas pelayanan tersebut dapat terbentuk jika seluruh

komponen di BKD Kabupaten Pringsewu bersedia mengubah dirinya dalam konstruk
budaya kerja yang kondusif, serta dukungan pimpinan puncak untuk memudahkan
penyebaran nilai-nilai yang diarahkan kepada terciptanya pegawai negeri sipil
profesional, bermoral dan bertanggung jawab serta memiliki persepsi tepat terhadap
pekerjaannya, dengan demikian kualitas pelayanan yang baik secara objektif dapat
tercapai. Aparatur di BKD Kabupaten Pringsewu perlu menciptakan pelayanan yang
baik dengan menghindari diskriminasi dalam upaya melakukan pelayanan.
Untuk mengetahui kondisi riil pegawai di Badan Kepegawaian dan Diklat
Kabupatn Pringsewu, berikut data mengenai karakteristik pegawai berdasarkan data
golongan dan esselon sampai dengan 31 Mei 2013 berjumlah 40 orang, dengan
rincian sebagai berikut :

9

Tabel 1.2 Karakteristik Pegawai Pada BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan
Golongan s.d. 31 Mei 2013

JML

1

0

1

1

4

5

3

18

0

3

4

0

0

0

0

0

40

Sumber : BKD Kabupaten Pringsewu Per 31 Mei 2013 (data diolah)
Tabel 1.2 memperlihatkan jumlah total pegawai di BKD Kabupaten
Pringsewu berdasarkan golongan per 31 Mei 2013 sebanyak 40 pegawai, dengan
mayoritas pegawai memiliki golongan III/a sejumlah 18 pegawai.
Tabel 1.3 Karakteristik Pegawai Pada BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan
Esselon s.d. 31 Mei 2013
JENIS JABATAN
No

GRAND
TOTAL

Eselon
II a

Eselon
II b

Eselon
III a

Eselon
III b

Eselon
IV a

Eselon
IV b

Fungsional

Pelaksana

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

JML

0

1

1

3

9

0

0

26

40

Sumber : BKD Kabupaten Pringsewu Per 31 Mei2013 (data diolah)
Tabel 1.3 memperlihatkan jumlah total pegawai di BKD Kabupaten
Pringsewu berdasarkan esselon sampai dengan 31 Mei 2013 sebanyak 40 pegawai,
dengan mayoritas pegawai memiliki esselon IV/a sejumlah 9 pegawai dan jumlah
pegawai terkecil memiliki esselon II/b dan III/a sejumlah 1 orang pegawai.
Tabel 1.4 memperlihatkan jumlah total pegawai di BKD Kabupaten
Pringsewu berdasarkan pendidikan sampai dengan 31 Mei 2013 sebanyak 40
pegawai, dengan mayoritas pegawai memiliki pendidikan sarjana sejumlah 30
pegawai.
10

Tabel 1.4 Karakteristik Pegawai BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Pendidikan
S.d. 31 Mei 2013

01 SD Sederajat

02 SLTP UMUM

3 SLTP KEJURUAN

04 SLTA UMUM

05 SLTA KEJURUAN

06 SLTA
KEGURUAN

07 DIPLOMA I

08 DIPLOMA II

09 DIPLOMA III

10 DIPLOMA IV

11 SARJANA

12 AKTA IV
PENDIDIKAN

13 PASCA SARJANA

14 SPESIALIS I

15 DOKTOR

JENJANG PENDIDIKAN

GRAND
TOTAL

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

JML

0

0

0

0

0

0

0

0

3

0

30

0

7

0

0

40

No

Sumber : BKD Kabupaten Pringsewu Per 31 Mei 2013 (data diolah)
Hasil identifikasi terhadap beberapa aspek penilaian kualitas pelayanan
yang dipengaruhi oleh variabel-variabel profesionalitas dan budaya kerja antara
lain adalah standar-standar yang dipergunakan dalam memberikan pelayanan,
antara lain bukti langsung (tangible), kehandalan (reliability), daya tanggap
(responsiveness), jaminan (assurance) dan kepedulian (empati). Semua faktor
tersebut sejatinya juga dipengaruhi oleh cara, kondisi, dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi di lingkungan sosio politik, hukum, ekonomi, teknologi, fisik dan
lainnya dimana penelitian dilakukan. Selain itu budaya kerja yang berjalan belum
mendukung pelayanan yang ada, hal ini ditandai dengan aspek inisiatif pada pegawai
Badan Kepegawaian Daerah yang belum tumbuh dengan sendirinya, masih
menunggu arahan, perintah dan dukungan dari pimpinan pada levelnya masingmasing.

Namun demikian, hingga saat ini belum banyak diketahui tentang

bagaimana pengaruh faktor profesionalitas dan budaya terhadap kualitas pelayanan.
Oleh karena itu, penekanan dan pemahaman secara komprehensif terhadap pengaruh
antara variabel profesionalitas dan budaya kerja terhadap kualitas pelayanan,

11

merupakan prasyarat dalam memahami dengan baik cara lingkungan mempengaruhi
organisasi.

Dalam hal ini, penilaian profesonalitas terkait permasalahan tersebut

dipandang sebagai suatu proses sosial dan proses komunikasi daripada hanya sebagai
alat pengukur yang bersifat psiko atau ekonometrik, sehingga akan menjawab
pertanyaan seberapa penting peran profesionalitas dan budaya kerja terhadap
peningkatan kualitas pelayanan.
Mempertimbangkan hal tersebut, penulis menganggap perlu untuk melakukan
pengamatan langsung terhadap Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten
Pringsewu sebagai pelaksana pelayanan administrasi kepegawaian di Kabupaten
Pringsewu, dan penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan judul “Pengaruh
Profesionalitas dan Budaya Kerja Terhadap Kualitas Pelayanan Pada Badan
Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu.”

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
1.2.1

Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, secara teoritis profesionalitas dan budaya

kerja dapat mempengaruhi kualitas pelayanan. Adanya persepsi yang terbentuk pada
sebagian pegawai tentang prosedur pelayanan Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD)
Kabupaten Pringsewu yang terkesan : (1) Rumit dan berbelit-belit dalam pengurusan
administrasi kepegawaian; (2) Bersifat manual dan sulit diakses; (3) Adanya ketidak
transparanan pelayanan; (4) kurangnya sarana dan prasarana yang memadai; (5)
pengawasan yang kurang; (6) penempatan pegawai yang belum sesuai dengan

12

keahliannya; dan (7) keadaan lingkungan baik internal dan eksternal yang kurang
mendukung

mendasari

penulis

untuk

mengetahui

lebih

lanjut

pengaruh

profesionalitas dan budaya kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan pada Badan
Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.
1.2.2

Perumusan Masalah Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah, maka permasalahan yang akan dibahas

dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah profesionalitas berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan pada
Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu ?
2. Apakah budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan pada
Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu?
3. Apakah profesionalitas dan budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap kualitas
pelayanan pada Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah ;
1. Untuk mengetahui pengaruh profesionalitas dan budaya kerja terhadap kualitas
pelayanan

pada

BKD

Kabupaten

Pringsewu,

dan

bagaimana

tingkat

signifikansinya;
2. Untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kualitas pelayanan
pegawai ditinjau dari variabel profesionalitas dan budaya kerja di BKD
Kabupaten Pringsewu.

13

1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.

Sebagai masukan dan pertimbangan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Pringsewu dalam menerapkan nilai-nilai profesionalitas, budaya kerja dan
kualitas pelayanan di bidang administrasi kepegawaian dalam membentuk
persepsi positif pegawai Kabupaten Pringsewu tentang kinerja BKD;

2.

Sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan pada umumnya dan
pengembangan sumber daya manusia pada khususnya;

3.

Sebagai masukan bagi peneliti berikutnya dalam mengembangkan penulisan
yang sejenis.

1.5 Kerangka Pemikiran
Penilaian kualitas pelayanan merupakan suatu kegiatan yang penting, karena
dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan atau tingkat pencapaian hasil oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi. Dekonstruksi kualitas
pelayanan tersebut hanya akan terbentuk dengan baik jika seluruh komponen bersedia
mengubah dirinya dalam konstruk budaya kerja baru, serta adanya dukungan
pimpinan puncak untuk memudahkan penyebaran nilai-nilai yang diarahkan kepada
terciptanya pegawai negeri sipil yang profesional dan bertanggung jawab terhadap
pekerjaan.
Kualitas pelayanan erat kaitannya dengan profesionalitas maupun budaya
kerja pegawai. Baik tidaknya pelayanan yang diberikan akan terlihat dari tinggi
rendahnya tingkat kepuasan yang dirasakan oleh pegawai penerima pelayanan.

14

Semakin baik kualitas pelayanan yang dirasakan, semakin tinggi persepsi pegawai
tersebut terhadap rasa puas yang ia rasakan.

Dalam konteks lokus penelitian ini

profesionalitas adalah sebagai kemampuan pegawai untuk bertindak secara
professional dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya, dan
parameter yang digunakan adalah tingkat kreatifitas, inovasi dan responsifitas
pegawai. Sedangkan budaya kerja adalah cara pandang seseorang terhadap bidang
yang ditekuninya dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki, dan parameter yang
dipergunakan adalah inisiatif, kepercayaan, kesenangan, individualitas, kesetaraan,
dialog, hubungan kerja, dan pilihan tempat kerja
Profesionalitas dan budaya kerja dikatakan dapat mempengaruhi kualitas
pelayanan apabila mampu memberikan kontribusi maupun informasi yang tepat
kepada anggota kelompok/individu-individu dalam organisasi untuk dapat bekerja
lebih efektif dan efisien, tidak hanya bekerja sesuai dengan imbalannya, tetapi
diharapkan mampu bekerja melebihi apa yang seharusnya dilakukan secara optimal.
Identifikasi terhadap faktor-faktor profesionalitas dan budaya kerja kerja yang
mendasari penelitian ini adalah ditemuinya fakta pada sebagian pegawai di
lingkungan

Pemerintah

Kabupaten

Pringsewu

yang

mempunyai

persepsi

bahwasannya pegawai BKD dalam memberikan pelayanan cenderung berbelit, tidak
transparan, mendahulukan yang memberikan imbalan, dan lebih mendahulukan
pegawai yang memiliki unsur kekerabatan dengan unsur pimpinan. Guna mengatasi
hal ini diperlukan kemauan dari semua pihak untuk melakukan perubahan besar
dalam organisasi birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif.
Bertitik tolak dari identifikasi tersebut, peneliti tertarik untuk menelaah lebih jauh
15

bagaimana kaitan langsung profesionalitas dan budaya kerja yang dimiliki pegawai
BKD Kabupaten Pringsewu terhadap kualitas pelayanan yang dirasakan pegawai di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Pringsewu.
Berdasarkan uraian tersebut, maka skema kerangka pemikiran dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Profesionalitas (X1)
1. Kreatifitas
2. Inovasi
3. Responsifitas
Kualitas Pelayanan (Y) :
1.
2.
3.
4.
5.

Bukti langsung
(Tangibles)
Keandalan (Reliability)
Daya tanggap
(Responsiveness)
Jaminan (Assurance)
Kepedulian (Empaty)

Budaya Kerja (X2) :
1. Inisiatif (Initiative)
2. Kepercayaan (Trust)
3. Kesenangan (Joy)
4. Individualitas
(Individuality)
5. Kesetaraan (Equality)
6. Dialog (Dialogue)
7. Hubungan Kerja
(Conectivity)
8. Pilihan Tempat Kerja
(Workplace Options)

Ket :
= Pengaruh

16

1.5 Hipotesis
Hipotesis menurut Arikunto (2006:71) dapat diartikan sebagai ”suatu jawaban
yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui
data yang terkumpul”. Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Profesionalitas berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan pada Badan
Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.
2. Budaya kerja berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan pada Badan
Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.
3. Profesionalitas dan budaya kerja berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan
pada Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.

17

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia adalah suatu bidang yang khusus
mempelajari hubungan dan peranan manusia dalam suatu organisasi.

Unsur

manajemen sumber daya manusia adalah manusia yang merupakan tenaga kerja
pada organisasi. Dengan demikian, fokus yang dipelajari manajemen sumber daya
manusia ini hanyalah masalah yang berhubungan dengan tenaga kerja
manusia saja.
Manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap kegiatan
organisasi, karena manusia menjadi perencana, pelaku dan penentu terwujudnya
tujuan organisasi. Tujuan tidak mungkin terwujud tanpa peran aktif karyawan
meskipun alat-alat yang dimiliki begitu canggihnya.

Alat-alat canggih yang

dimiliki tidak ada manfaatnya bagi organisasi, jika peran aktif karyawan tidak
diikutsertakan.
Manajemen sumber daya manusia adalah bagian dari manajemen, oleh
karena itu teori-teori manajemen umum menjadi dasar dalam pengaturan peranan
manusia dalam mewujudkan tujuan yang optimal.

Pengaturan ini meliputi

masalah perencanaan (human resources planning), pengorganisasian, pengarahan,
pengendalian,

pengadaan,

pengembangan,

kompensasi,

pengintegrasian,

pemeliharaan, kedisiplinan dan pemberhentian tenaga kerja untuk membantu
terwujudnya tujuan organisasi, karyawan, dan masyarakat.
Menurut Flippo yang dikutip oleh Hasibuan, (2000) definisi manajemen
sumber daya manusia adalah sebagai berikut :
“Personel Management is the planning, organizing, directing and
controlling of the procurement, development, compensation, integration,
maintenance, and separation of human resources to the end that
individual, organizational and societal objectives are accomplished”.
Artinya :
Manajemen

personalia

merupakan

perencanaan,

pengorganisasian,

pengarahan dan pengendalian dari pengadaan, pengembangan, kompensasi,
pengintegrasian, pemeliharaan dan pemberhentian karyawan, dengan maksud
terwujudnya tujuan perusahaan, individu, karyawan dan masyarakat.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
manajemen sumber daya manusia adalah suatu fungsi operasional dalam
organisasi yang mengusahakan pengelolaan sumber daya manusia dalam rangka
mencapai tujuan individu, organisasi dan masyarakat secara seimbang.
Manusia adalah sumber daya yang paling penting dalam usaha mencapai
tujuan sebuah organisasi. Dimana sumber daya manusia merupakan satu-satunya
sumber daya yang dimiliki akal, perasaan keinginan, kemampuan, keterampilan,
pengetahuan, dorongan daya dan karya, sehingga betapapun sempurnanya aspek
kemajuan

teknologi,

berkembangnya

informasi,

tersedianya

modal

dan

memadainya bahan, namun jika tanpa sumber daya manusia, maka akan sulit bagi
organisasi dalam mencapai tujuan.
Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia, sebagaimana di
ketahui bahwa manajemen itu sendiri dikenal sebagai “seni untuk menyelesaikan

19

pekerjaan melalui orang lain” atau untuk saat ini pengertian itu lebih ditekankan
pada arti mengurus, mengatur, melaksanakan dan mengelola sehingga dalam arti
yang lebih luas manajemen ini dihadapkan pada kenyataan bahwa yang ditangani
itu adalah sumber daya manusia bukan material ataupun finansial yang berarti
memerlukan suatu strategi dengan pertimbangan yang diselaraskan dengan
nilai-nilai manusiawi (Human values) yang dikembangkan dalam melaksanakan
suatu aktivitas.
Menurut Flippo (Handoko, 2001) bahwa Manajemen Sumber Daya
Manusia, adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
kegiatan, pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan
individu, organisasi dan masyarakat.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada dasarnya manajemen sumber daya manusia, mempunyai
sasaran-sasaran :
1. Mengatur mengenai pembagian tugas dalam melaksanakan pekerjaan dimana
para pimpinan harus mengarahkan para karyawan agar mereka bekerja dengan
efisien dan efektif.
2. Meningkatkan prestasi kerja yang dicapai oleh setiap karyawan sehingga
tercapai peningkatan produktivitas organisasi.
3. Mengatur manusia dalam fungsinya

sebagai pelaksanaan dan penggerak

organisasi.

20

2.2. Fungsi-Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Pada dasarnya tujuan dari manajemen sumber daya manusia adalah
menyediakan tenaga kerja yang efektif bagi organisasi. Untuk pencapaian tujuan
ini, manajemen sumber daya manusia mempelajari bagaimana memperoleh,
mengembangkan, memanfaatkan, mengevaluasi dan mempertahankan tenaga
kerja dalam jumlah dan tipe yang tepat. Manajemen sumber daya manusia dapat
berhasil bila mampu menyediakan tenaga kerja yang efektif untuk melaksanakan
pekerjaan yang harus dilakukan.
Dalam menjalankan pekerjaan seharusnya organisasi memperhatikan
fungsi-fungsi manajemen dan fungsi operasional yang dikemukakan oleh
Flippo (1996) :
2.2.1 Fungsi-Fungsi Manajemen :
a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan mempunyai arti penentuan lebih lanjut mengenai program
tenaga kerja (meliputi penetapan jumlah dan kuantitas tenaga kerja) yang
akan mendukung pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan
atau organisasi.
b. Pengorganisasian (Organizing)
Setelah menetapkan rencana, maka perlu dibentuk suatu organisasi untuk
melaksanakannya. Organisasi dibentuk dengan merancang struktur
hubungan yang mengkaitkan antara pekerjaan, karyawan dan faktor-faktor
fisik sehingga dapat terjalin kerjasama satu dengan yang lainnya.

21

c. Pengarahan (Directing)
Pengarahan terdiri dari fungsi staffing dan leading penempatan
orang-orang dalam struktur organisasi dilakukan dalam fungsi staffing. Di
sini diperlukan adanya kejelasan tugas dan kualifikasi tenaga kerja yang
dibutuhkan. Dalam fungsi leading dilakukan pengarahan sumber daya
manusia agar dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Fungsi pengarahan ini berhubungan dengan cara memotivasi dan
mengarahkan pegawainya agar memiliki keamanan untuk bekerja dan
dapat mengerjakan pekerjaannya dengan efektif.
d. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah fungsi manajerial yang mengatur aktivitas-aktivitas
agar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan organisasi sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai, bila terjadi penyimpangan dapat diketahui dan
segera dilakukan perbaikan.
2.2.2 Fungsi-Fungsi Operasional terdiri dari :
a. Pengadaan (Procurement)
Pengadaan adalah usaha untuk memperoleh sejumlah pegawai dengan
jenis tenaga kerja yang sesuai den gan yang dibutuhkan terutama
berhubungan dengan penentuan kebutuhan tenaga kerja, penarikan,
seleksi, orientasi dan penempatan.
b. Pengembangan (Development)
Setelah mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan yang dibutuhkan maka
harus dilakukan usaha untuk meningkatkan keahlian karyawan melalui

22

program pendidikan dan latihan atau training yang tepat agar karyawan
atau pegawai dapat melakukan tugasnya dengan baik. Aktivitas ini begitu
penting dan akan terus berkembang karena adanya perubahan teknologi,
penyesuaian pekerjaan dan meningkatnya tingkat kesulitan tugas manajer.
c. Kompensasi
Fungsi kompensasi diartikan sebagai usaha untuk memberikan balas jasa
atau imbalan yang memadai kepada pegawai sesuai dengan kontribusi
yang telah disumbangkan kepada perusahaan.
d. Integrasi (Integration)
Merupakan usaha untuk menyelaraskan kepentingan individu organisasi,
instansi maupun masyarakat, oleh karena itu harus dipahami sikap dan
prinsip-prinsip pegawai.
e. Pemeliharaan (Maintenance)
Setelah keempat fungsi dijalankan dengan baik maka diharapkan
organisasi instansi mendapatkan pegawai yang baik.

Maka fungsi

pemeliharaan yang telah dicapai dengan memelihara sikap-sikap pegawai
yang menguntungkan organisasi atau instansi.
e. Pemutusan Hubungan Kerja (Separation)
Usaha terakhir dari fungsi operasional ini adalah tanggungjawab
organisasi atau instansi untuk mengembalikan pegawainya ke lingkungan
masyarakat dalam keadaan sebaik mungkin, bila organisasi atau instansi
mengadakan pemutusan hubungan kerja.

23

2.3 Profesionalisme Pegawai
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti profesionalisme yaitu perihal
profesi;

keprofesian;

kemampuan

untuk

bertindak

secara

professional.

Profesionalitas erat kaitannya dengan profesionalisme yang berhubungan dengan
istilah profesi dan profesional. Profesi berasal dari kata “proffesion” yang berarti
“mampu atau ahli dalam suatu pekerjaan.

Profesionalisme terkait dengan sikap

atau prilaku seseorang sehubungan dengan profesi yang dimilikinya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1996:786) dinyatakan bahwa
profesionalisme berarti mutu, kualitas dan tindak-tanduk yang merupakan ciri
suatu profesi atau orang yang profesional.
Istilah profesional itu berlaku untuk semua personil mulai dari tingkat atas
sampai tingkat bawah. Profesional dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan
keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan

menurut bidang dan

tingkatan masing-masing.
Terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan
tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian
dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh
sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan
pelayanan publik secara prima

maka organisasi tersebut

mendasarkan

profesionalisme terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Dalam pandangan (Tjokrowinoto,1996;191) dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan profesionalisme adalah sebagai berikut:
Kemampuan untuk merencanakan, mengkordinasikan, dan melaksanakan
fungsinya secara efisien, inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi.

24

Menurut pendapat tersebut, kemampuan aparatur lebih diartikan sebagai
kemampuan melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi,
kemampuan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dengan mengacu
kepada misi yang ingin dicapai dan kemampuan dalam meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk tumbuh kembang dengan kekuatan sendiri secara efisien,
melakukan inovasi yang tidak terikat kepada prosedur administrasi, bersifat
fleksibel, dan memiliki etos kerja tinggi.
Pandangan lain seperti (Siagian, 2002;163) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan profesionalisme adalah :
Kehandalan dan kemampuan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana
dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang
mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat .
Terbentuknya aparatur profesional menurut pendapat diatas memerlukan
pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan
pelatihan sebagai instrumen pemutakhiran. Dengan pengetahuan dan keterampilan
khusus yang dimiliki oleh aparat memungkinnya untuk menjalankan tugas dan
menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan
prosedur yang sederhana. Terbentuknya kemampuan dan keahlian juga harus
diikuti dengan perubahan iklim dalam dunia birokrasi yang cenderung bersifat
kaku dan tidak fleksibel.
Sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi aparat untuk bekerja secara
profesional serta mampu merespon perkembangan global dan aspirasi masyarakat
dengan mengedepankan nilai-nilai pelayanan yang responsif, inovatif, efektif, dan
mengacu kepada visi dan nilai-nilai organisasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh
(Ancok, 2000:65) yang dimaksud dengan profesionalisme adalah:

25

Kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang cepat berubah
dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan mengacu kepada visi dan
nilai-nilai organisasi (control by vision dan values).
Kemampuan untuk beradaptasi menurut pendapat tersebut merupakan
jawaban terhadap dinamika global yang tumbuh dan berkembang secara cepat.
Pesatnya kemajuan teknologi merupakan salah satu diantara dinamika global yang
membuat birokrasi harus segera beradaptasi jika tidak ingin ketinggalan zaman
dan terbelakang dalam hal kemampuan. Kemampuan beradaptasi merupakan
jawaban bagi dinamika global yang tidak pasti sehingga dalam menjalankan
tugasnya, aparat tidak lagi terikat secara kaku kepada petunjuk dan teknis
pelaksanaan tapi terikat kepada apa yang ingin dicapai oleh organisasi
(organization-mission). Fleksibilitas aparat dalam menjalankan tugas dan
berorientasi kepada hasil dan visi yang ingin dicapai oleh organisasi merupakan
langkah positif untuk meninggalkan cara kerja yang kaku dan reaktif.
Setelah mencermati dan memahami berbagai pendapat dan pandangan
para pakar tentang konsep profesionalisme,

maka dapat ditarik sebuah

kesimpulan bahwa profesionalisme tidak hanya berbicara tentang soal kecocokan
antara keahlian dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang saja tetapi juga
menyangkut kemampuan dalam mengantisipasi segala perubahan lingkungan
termasuk kemampuan dalam merespon aspirasi publik dan melakukan inovasi
yang pada akhirnya membuat pekerjaan menjadi mudah dan sederhana.
2.3.1 Pengukuran Profesionalisme.
Upaya

untuk

mencari

paradigma

baru

dalam

meningkatkan

profesionalisme aparatur yang berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi
bukanlah pekerjaan mudah maka kemampuan aparatur untuk beradaptasi dengan

26

fenomena yang terjadi merupakan jawaban bagi permasalahan tersebut.
Pentingnya kemampuan aparatur dalam beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan eksternal dan internal organisasi dijadikan tolak-ukur dalam melihat
profesionalisme birokrasi. Menurut (Ancok, 2000:68) dijelaskan tentang
pengukuran

profesionalisme

sebagai

berikut;

Kemampuan

beradaptasi,

Kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan fenomena global dan fenomena
nasional;

Mengacu

kepada

misi

dan

nilai

(mission

&

values-driven

professionalism), Birokrasi memposisikan diri sebagai pemberi pelayanan kepada
publik dan dalam mewujudkan tujuan organisasi yang berorientasi kepada hasil
yang ingin dicapai organisasi.
Profesionalisme diukur melalui keahlian yang dimiliki oleh seseorang
yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang dibebankan organisasi kepada
seseorang. Alasan pentingnya kecocokan antara disiplin ilmu atau keahlian yang
dimiliki oleh seseorang karena jika keahlian yang dimiliki seseorang tidak sesuai
dengan tugas yang dibebankan kepadanya akan berdampak kepada in-efektifitas
organisasi.
Sedangkan dalam pandangan (Tjokrowinoto,1996;190) birokrasi dapat
dikatakan profesional atau tidak, diukur melalui kompetensi sebagai berikut;
a. Profesionalisme yang Wirausaha (Entrepreneurial-Profesionalism).
Kemampuan

untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi peningkatan

pertumbuhan ekonomi nasional, keberanian mengambil risiko dalam
memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari
kegiatan yang berproduktifitas rendah ke produktifitas tinggi yang terbuka dan

27

memberikan peluang bagi terciptanya lapangan kerja dan peningkatan
pendapatan nasional.
b. Profesionalisme yang Mengacu Kepada Misi Organisasi (Mission-driven
Profesionalism).
Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah langkah yang perlu
dan

mengacu

kepada

misi

yang

ingin

dicapai

(mission-driven

professionalism), dan tidak semata mata mengacu kepada peraturan yang
berlaku (rule-driven professionalism).
c. Profesionalisme Pemberdayaan (Empowering-Profesionalism.)
Kemampuan ini diperlukan

untuk aparatur pelaksana atau jajaran bawah

(grassroots) yang berfungsi untuk memberikan pelayanan publik (service
provider).

Profesionalisme

yang

dibutuhkan

dalam

hal

ini

adalah

profesionalisme-pemberdayaan (empowering-prefesionalism) yang sangat
berkaitan dengan gaya pembangunan. Dalam konsep ini birokrasi berperan
sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh
berkembang

dengan

kekuatan

sendiri

(enabler),

lihat

(Osborne

&

Gaebler,1990:23).
Menurut

(Siagian,

2002:162)

profesionalisme

diukur

dari

segi

kecepatannya dalam menjalankan fungsi dan mengacu kepada prosedur yang telah
disederhanakan. Menurut pendapat tersebut, konsep profesionalisme dalam diri
aparat dilihat dari segi;
a. Kreatifitas (creativity).
Kemampuan aparatur untuk menghadapi hambatan dalam memberikan
pelayanan kepada publik dengan melakukan inovasi. Hal ini perlu diambil

28

untuk mengakhiri penilaian miring masyarakat kepada birokrasi publik yang
dianggap kaku dalam bekerja. Terbentuknya aparatur yang kreatif hanya dapat
terjadi apabila; terdapat iklim yang kondusif yang mampu mendorong aparatur
pemerintah untuk mencari ide baru dan konsep baru serta menerapkannya
secara inovatif; adanya kesediaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan
antara lain melalui partisipasi dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut pekerjaan, mutu hasil pekerjaan, karier dan penyelesaian
permasalahan tugas.
b. Inovasi (innovasi),
Perwujudannya

berupa hasrat dan tekad untuk mencari, menemukan dan

menggunakan cara baru, metode kerja baru, dalam pelaksanaan tugasnya.
Hambatan yang paling mendasar dari perilaku inovatif adalah rasa cepat puas
terhadap hasil pekerjaan yang telah dicapai.
c. Responsifitas (responsivity).
Kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru,
perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru, birokrasi harus
merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalitas.
Salah satu faktor yang menghambat kelancaran dan efektifitas birokrasi
publik adalah tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik dalam menjalankan
fungsi dan tugas. Tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik Indonesia dapat
dilihat dari banyaknya temuan para pakar dan pengalaman pribadi masyarakat di
lapangan tentang pelayanan publik yang diselenggarakan birokrasi. Lambannya

29

birokrasi dalam merespon aspirasi publik serta pelayanan yang terlalu prosedural
merupakan sedikit contoh diantara sekian banyak ketidakberesan dalam dunia
birokrasi publik Indonesia.
Menurut (Siagian,2002,164) faktor-faktor yang menghambat terciptanya
aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan:
Profesionalisme aparatur sering terbentur dengan tidak adanya iklim yang
kondusif dalam dunia birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat
dan tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan.
Pendapat tersebut meyakini bahwa sistem kerja birokrasi publik yang
berdasarkan juklak dan juknis membuat aparat menjadi tidak responsif serta juga
karena tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) dan
pemberdaya bagi bawahan.
Menurut (Tjokrowinotono,1996;193) menyatakan bahwa:
Profesionalisme tidak hanya cukup dibentuk dan dipengaruhi oleh
keahlian dan pengetahuan agar aparat dapat menjalankan tugas dan fungsi
secara efektif dan efisien,akan tetapi juga turut dipengaruhi oleh filsafatbirokrasi, tata-nilai, struktur, dan prosedur-kerja dalam birokrasi
Untuk mewujudkan aparatur yang professional diperlukan political will
dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi birokrasi
publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan
kebutuhan publik. Perubahan tersebut meliputi perubahan dalam filsafat atau cara
pandang organisasi dalam mencapai tujuan yang dimulai dengan merumuskan visi
dan misi yang ingin dicapai dan dijalankan oleh organisasi, membangun struktur
yang flat dan tidak terlalu hirarkis serta prosedur kerja yang tidak terlalu terikat
kepada aturan formal.

30

Sedangkan menurut (Numberi, 2000:4) sebagai upaya untuk merespon
aspirasi publik yang juga sebagai bagian dari perubahan lingkungan maka perlu
diambil tindakan sebagai berikut:
Serangkaian tindakan yang perlu ditempuh pemerintah untuk merespon
aspirasi publik dan perkembangan lingkungan dengan serangkaian
tindakan efisiensi yang meliputi pemghematan struktur organisasi,
penyederhanaan prosedur, peningkatan profesionalisme aparatur menuju
peningkatan pelayanan publik.
Upaya untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan penerapan
manajemen

modern

untuk

penataan

kelembagaan

sebagai

salah

satu

kecenderungan global.
Dalam pandangan (Osborne & Plastrik1997:16) dijelaskan : Bahwa untuk
membangun dan melakukan tranformasi sistem organisasi pemerintah secara
fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efisiensi,
dan kemampuan melakukan inovasi maka harus dicapai melalui: perubahan
tujuan, sistem insentif, pertanggung-jawaban, struktur kekuasaan, dan budaya
sistem serta organisasi pemerintah.
Menurut pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk
melakukan perubahan dalam organisasi dan meningkatkan profesionalisme
aparatur maka penting untuk meredefinisikan kembali apa yang hendak di capai
oleh organisasi, membangun sistem penggajian yang yang mengedepankan nilai
keadilan serta membangun struktur organisasi yang memungkinkan untuk
terjadinya proses pengambilan keputusan yang cepat.
Secara keseluruhan, dengan mendasarkan kepada kenyataan yang ada pada
dunia birokrasi yang diperkuat oleh argumen dan temuan para teorisi seperti diatas
maka di tarik kesimpulan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi

31

profesionalisme aparatur antara lain yaitu budaya organisasi yang timbul dan
mengkristal dalam rutintas birokrasi, tujuan organisasi, struktur organisasi,
prosedur kerja dalam birokrasi, sistem insentif dan lain lain.
2.3.3 Konsep Responsifitas.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perubahan lingkungan yang terjadi
seperti perubahan sikap dan tuntutan masyarakat yang meningkat serta kemajuan
teknologi yang demikian pesatnya telah menimbulkan perubahan dalam berbagai
segi dan aspek kehidupan. Konsekuensi terhadap perubahan lingkungan tersebut
menuntut aparat untuk bekerja lebih profesional antara lain dengan cara merespon
dan mengakomodasi aspirasi publik kedalam kegiatan da