Efektifitas Pemberian Infus dan Bubuk Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) terhadap Penampilan dan Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang diinfeksi Eimeria maxima

EFEKTIFITAS PEMBERIAN INFUS DAN BUBUK TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza ROXB.) TERHADAP PENAMPILAN DAN
KAJIAN EKONOMI AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI
Eimeria maxima

AGUNG ADI CANDRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektifitas Pemberian Infus dan
Bubuk Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Penampilan dan
Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria maxima adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Agung Adi Candra
NRP. B151060021

3

ABSTRACT
AGUNG ADI CANDRA. Efectivity Supplementation of Infuse and Powder
Curcuma xanthorrhiza Roxb. for Performance and Economic Analysis
Broiler During Eimeria maxima Infection. Under direction of UMI
CAHYANINGSIH and WIWIN WINARSIH
Coccidiosis is common disease in poultry industry. For fast growing and
coccidiosis prevention, bird were given with antibiotics that in a long period will
result in resistency to antibiotics and problems of product safety for consumer. A
search for new alternatives for Eimeria control, like supplementation with natural

medicine. Curcuma xanthorrhiza Roxb., one of traditional medicine of Indonesia
known as treatment for inflammation. The aim of this research was to know the
activities of supplementation Curcuma xanthorriza Roxb. in broiler during Eimeria
maxima infection
Research was done by completely randomize design using 200 birds were
devided into 10 group; drug control, positive control, negative control, curcuma
control, infuse curcuma 90, 180, and 360 mg.kg -1 body weight in water drink, and
90, 180, and 360 mg.kg -1 body weight in feed. Challenge infection used Eimeria
maxima
were were 14th day old bird with 1 x 104 oocysts per oral.
Supplementation of Curcuma xanthorrhiza Roxb were given 1st until 6th day after
infection. Parameter was examined were performance, body weight gain, feed
conversion ratio, economic analysis and histomorfometry analysis.
The result showed that infection of Eimeria maxima decrease body weight
gain, feed conversion and efficiency of feed. Supplementation of infuse Curcuma
xanthorrhiza Roxb. can improve feed conversion, feed efficiency.
Supplementation of infuse Curcuma xanthorrhiza Roxb. 180 and 360 mg kg-1 body
weight can improve feed conversion and eficiency of feed and also decrease
number oocyst per gram feses on 7th day after infection. But Supplementation of
infuse and powder Curcuma xanthorriza Roxb powder no affected to carcass

percentage. Supplementation by infuse and powder Curcuma xanthorriza Roxb.
can help decrease lost profit because infection of Eimeria maxima and 360 mg.kg1
body weight give best IOFCC Rp. 2.108 dan gross income Rp. 340.842 per
hundred birds. Supplementation of infuse Curcuma xanthorriza Roxb 90, 180 and
360 mg.kg-1 body weight no affect to ileum histomorfometry analysis.
Supplementation of infuse Curcuma xanthorriza Roxb. 360 mg.kg-1 body weights
gave the best effect to broiler performance during Eimeria maxima infection.
Key word : Curcuma xanthorrhiza Roxb., Performance, Eimeria maxima

4

RINGKASAN
AGUNG ADI CANDRA. Efektifitas Pemberian Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) Terhadap Penampilan dan Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang Diinfeksi
Eimeria maxima. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan WIWIN WINARSIH
Penyakit koksidiosis merupakan salah satu kendala dalam usaha
peningkatan produksi daging di Indonesia. Untuk mengatasi kerugian yang akan
muncul akibat koksidiosis, dalam pelaksanaannya peternak lebih suka mencegah
dengan cara menambahkan koksidiostat dalam ransum atau air minum yang
dapat menyebabkan terjadinya resistensi dan dapat membahayakan kosumen.

Koksidiostat yang terus menerus dapat menimbulkan residu pada produk daging
dan telur. Terobosan tentang penggunaan bahan yang relatif aman dan
seminimal mungkin meninggalkan residu dalam daging perlu dicari.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
menggunakan 200 ekor ayam pedaging yang didistribusikan kedalam 10
kelompok perlakuan; kontrol obat, kontrol positif, kontrol negatif, kontrol
temulawak, kelompok ayam yang diinfeksi E maxima dengan infus temulawak;
90, 180, dan 360 mg.kg -1 bobot badan di air minum dan temulawak bubuk 90,
180, dan 360 mg.kg -1 bobot badan pada ransum. Ayam perlakuan diinfeksi
dengan E. maxima 1x104 ookista/ekor pada hari ke-14 pemeliharaan.
Pemeriksaan ookista per gram feses (OPG) diperiksa sampai hari ke-14 dengan
menggunakan kamar hitung Mc master. Penampilan ayam pedaging diukur
dengan menghitung pertambahan bobot badan (PBB), Feed Conversion Ratio
(FCR), efisiensi ransum, persentase karkas, dan analisis ekonomi dengan
menghitung pendapatan diluar harga bibit dan ransum serta pendapatan kotor.
Pengamatan histomorfometri terhadap tinggi vili, kedalaman kripta, jumlah vili per
milimeter dan luas permukaan villi dilakukan terhadap preparat usus halus yang
diambil hari ke 3, 6 dan 9 setelah infeksi.
Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa temulawak mengandungs
enyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid dan kuinon. Infeksi E.

maxima menyebabkan penurunan PBB, meningkatkan nilai konversi ransum
(FCR) serta menurunkan tingkat efisiensi penggunaan ransum. Pemberian Infus
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) 180 dan 360 mg kg-1 bobot badan,
mampu memperbaiki konversi ransum dan efisiensi penggunaan ransum dan
secara nyata mampu menurunkan jumlah ookista per gram feses pada puncak
produksi ookista E. maxima pada hari ke-7 setelah infeksi namun pemberian
infus dan bubuk temulawak tidak mempengaruhi persentase karkas.
Infeksi Eimeria menyebabkan ayam menjadi tumbuh lebih lambat dan
menyebabkan kematian. Pemberian infus temulawak mampu meningkatkan
bobot badan, sebaliknya penambahan bubuk temulawak dalam ransum secara
deskriptif tidak mampu meningkatkan bobot badan, hal ini mengindikasikan
bahwa penambahan infus temulawak yang makin tinggi memberikan pengaruh
positif dengan memperbaiki kemampuan ayam meningkatkan bobot badan. Infus
temulawak merupakan hasil ekstraksi temulawak sehingga lebih mudah diserap
oleh tubuh ayam dibandingkan dengan bubuk. Infeksi E. maxima menyebabkan
peningkatan NO2- + NO3- dalam plasma. Radikal bebas tersebut dihasilkan
sebagai respon kekebalan tubuh tingkat selular akibat infeksi parasit. Produksi
radikal bebas akan menyebabkan keseimbangan antara anti oksidan dan reaktif
oksigen akan menghasilkan stress oksidatif yang memicu kerusakan sel.
Flavonoid yang terkandung dalam temulawak akan membantu menjaga

keseimbangan akibat reaksi ini. Dalam penelitian ini nampak bahwa pemberian

5

infus temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima mampu meringankan
kerusakan usus ayam tersebut sehingga mempertahankan pertambahan bobot
badan pada minggu 1 sampai minggu 3 setelah infeksi.
Pemberian infus dan bubuk temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
mampu menekan kerugian ekonomis akibat infeksi E. maxima pengaruh terbaik
pada pemberian infus temulawak 360 mg.kg-1 bobot badan dengan memberikan
pendapatan diluar ransum dan bibit (Income Over Feed And Chick Cost/IOFCC)
sebesar Rp. 2.108 per ekor dan nilai pendapatan kotor (gross income) Rp.
340.842 per seratus ekor ayam. Pemberian infus dan bubuk temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) semua dosis tidak berpengaruh pada histomofometri usus.
Dosis infus temulawak 360 mg. kg-1bobot badan merupakan dosis terbaik dalam
penelitian ini dengan meningkatkan bobot badan mingguan, konversi ransum,
efisiensi ransum, mampu menekan nilai ookista per gram feses pada puncak
produksi ookista, dan memiliki nilai IOFCC dan gross income tertinggi diantara
kelompok perlakuan
Kata kunci : Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), Penampilan Ayam,

Eimeria maxima

6

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang- Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7

EFEKTIFITAS PEMBERIAN INFUS DAN BUBUK TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza ROXB.) TERHADAP PENAMPILAN DAN
KAJIAN EKONOMI AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI
Eimeria maxima


AGUNG ADI CANDRA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

8

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. Sri Utami Handajani, MS

9

HALAMAN PENGESAHAN


Judul Tesis

: Efektifitas Pemberian Infus dan Bubuk Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb) terhadap Penampilan dan
Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang diinfeksi
Eimeria maxima

Nama

: Agung Adi Candra

NRP

: B151060021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, M.Si

Anggota

Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi
Sains Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Drh. Bambang Pontjo P., MS

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 6 Agustus 2008

Tanggal Lulus :


10

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari sampai April 2008 adalah tentang penggunaan
temulawak sebagai terapi berak darah pada ayam, dengan judul Efektifitas
Pemberian Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Penampilan dan
Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria maxima.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS
dan Dr. Drh. Wiwin Winarsih, M.Si selaku pembimbing serta Dr. Drh. Bambang
Pontjo P., MS selaku ketua program studi Sains Veteriner. Penghargaan penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya
tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Sugiat
Kuntadi, BA dan Ibunda Sukartini, Astria R, Adrian AK serta Ayu Chendra atas
segala doa, semangat dan kasih sayangnya.
Semoga karya ini bemanfaat.

Bogor, Agustus 2008

Agung Adi Candra

11

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro tanggal 21 Oktober 1981 dari Ayah Sugiat
Kuntadi, BA dan Ibu Sukartini. Penulis merupakan putra kedua dari 3 bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri I Metro dan melanjutkan
pendidikan Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
melalui jalur UMPTN. Tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana
dengan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.KH). Tahun 2006 penulis diterima di
program studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Pascasarjana DIKTI.
Sejak tahun 2003 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Politeknik Negeri Lampung sebagai dosen pada Jurusan Peternakan program
studi Teknologi Produksi Ternak

12

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
Manfaat Penelitian ............................................................................ 2
TINJAUN PUSTAKA ............................................................................... 3
Eimeria maxima ............................................................................. 3
Klasifikasi .......................................................................................... 3
Morfologi ........................................................................................... 3
Siklus Hidup ...................................................................................... 4
Perubahan Organ ............................................................................ 6
Patogenesis Eimeria ......................................................................... 7
TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb.) ................................ 8
Klasifikasi .......................................................................................... 8
Deskripsi ........................................................................................... 8
Komposisi Rimpang Temulawak ...................................................... 10
Manfaat tanaman .............................................................................. 11
BAHAN DAN METODA
Waktu dan tempat ............................................................................ 14
Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ 14
Metode
Persiapan Kandang Pemeliharaan .......................................... 14
Pembuatan Bubuk dan infus temulawak ................................. 15
Penapisan Fitokimia ................................................................ 15
Persiapan Ookista Eimeria maxima ......................................... 16
Kelompok Percobaan .............................................................. 17
Infeksi Eimeria maxima pada hewan coba ............................. 17
Pelaksanaan Penelitian ........................................................... 18
Teknik Penghitungan Jumlah Ookista per gram feses ........... 18
Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi .............................. 19
Peubah yang Diamati ....................................................................... 20
Analisis data ..................................................................................... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 23
Penapisan fitokimia .........................................................................
Penampilan Ayam ..........................................................................
Jumlah Ookista Per Gram Feses ...................................................
Analisis Ekonomi ............................................................................
Histomorfometri Usus .....................................................................

23
24
30
33
35

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 40
LAMPIRAN ............................................................................................... 44

13

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil penapisan fitokimia temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) ... 23
2. Bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, feed conversion ratio,
efisiensi ransum dan persentase karkas pada berbagai penambahan
temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima (35 hari) ................. 24
3. Perkembangan bobot badan mingguan pada berbagai penambahan
temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima ................................ 28
4. Perkembangan pertambahan bobot badan mingguan pada berbagai
penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima .......... 28
5. Perkembangan Feed convertion Ratio mingguan pada berbagai penambahan
temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima ................................ 28
6. Jumlah ookista per gram feses kelompok perlakuan dari hari ke-5
sampai hari ke-13 setelah infeksi E. maxima dengan pemberian
infus dan bubuk temulawak dosis bertingkat ....................................... 31
7. Pendapatan diluar ransum dan bibit (Income Over Feed and Chick
Cost /IOFCC) selama penelitian ........................................................ 33
8. Pendapatan kotor per 100 ekor ayam (Sun et al. 2005) kelompok
perlakuan yang diinfeksi E maxima dengan pemberian infus dan
bubuk temulawak dosis bertingkat ...................................................... 35

9. Histomorfometri kelompok perlakuan ayam yang diinfeksi
E maxima dengan pemberian infus dan bubuk temulawak
dosis bertingkat ................................................................................... 36

14

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ookista E. maxima......................................................................... 4
2. Siklus hidup E. maxima pada ayam............................................... 6
3. Tanaman dan rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) . 9
4. Pengamatan mikroskop cahaya pada pengukuran
histomorfometri vili usus. ............................................................... 21
5. Perkembangan bobot badan mingguan pada berbagai
penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima .... 29
6. Perkembangan Feed Conversion Ratio mingguan pada berbagai
penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E maxima ..... 30
7. Grafik perkembangan jumlah ookista per gram feses kelompok
perlakuan dari hari ke-5 sampai hari ke-13 setelah infeksi
E maxima dengan pemberian infus dan bubuk temulawak
dosis bertingkat ............................................................................. 32

15

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
pertambahan bobot badan ayam pedaging yang diinfeksi E maxima......... 44
2. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
feed convertion ratio ayam pedaging yang diinfeksi E maxima................... 45
3. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
efisiensi ransum ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ......................... 46
4. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
persentase karkas ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ...................... 47
5. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
persentase karkas ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah diinfeksi
E maxima .................................................................................................... 48
6. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
pertambahan bobot badan ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah
diinfeksi E maxima ...................................................................................... 50
7. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
feed convertion ratio ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah diinfeksi
E maxima .................................................................................................... 52
8. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
tinggi vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ............................. 54
9. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
kedalaman kripta usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ............... 56
10. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
jumlah vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ........................... 58
11. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
luas vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ............................... 60

12. Hasil identifikasi tumbuhan .......................................................................... 61

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan taraf hidup
serta pemahaman penduduk tentang arti pentingnya kesehatan menyebabkan
terjadinya perubahan pola konsumsi yang lebih memperhatikan keseimbangan
asupan gizi. Protein hewani yang dahulu menjadi asupan mewah dan hanya
dikonsumsi oleh golongan tertentu saja kini menjadi sebuah kebutuhan yang
sangat penting, salah satunya yang berasal dari daging khususnya ayam
pedaging. Perubahan pola konsumsi ini belum dapat diimbangi dengan
peningkatan produksi ayam pedaging. Kenaikan harga sarana produksi
peternakan (sapronak) terutama ransum menyebabkan banyak peternak yang
terpaksa harus menutup usahanya sehingga kebutuhan daging belum dapat
tercukupi. Selain itu adanya penyakit yang bersifat klinis maupun subklinis masih
menjadi permasalahan peternak saat ini. Hal ini menjadi tantangan peternak
untuk meningkatkan produksi unggas untuk mencukupi kebutuhan daging.
Penyakit koksidiosis merupakan salah satu kendala dalam usaha
peningkatan produksi daging di Indonesia. Williams (1999) menyatakan bahwa
tingkat kerugian akibat pengendalian koksidiosis pada peternakan unggas di UK
adalah 38.5 juta pounsterling. Mc Dougald (2003) melaporkan biaya pencegahan
dan medikasi koksidiosis lebih dari 90 juta dolar di United States dan lebih dari
300 juta dolar diseluruh dunia. Untuk mengatasi kerugian yang akan muncul
akibat koksidiosis, dalam pelaksanaannya peternak lebih suka mencegah dengan
cara menambahkan koksidiostat dalam ransum atau air minum yang dapat
menyebabkan terjadinya resistensi dan dapat membahayakan kosumen bila tidak
bijaksana dalam penggunaannya. Terobosan tentang penggunaan bahan yang
relatif aman dan seminimal mungkin meninggalkan residu dalam daging perlu
dikembangkan.
Alternatif pilihan yang dilakukan sebagai terobosan dalam pencegahan
penyakit koksidiosis adalah menggunakan tanaman tradisional. Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang secara
empiris dipercaya dapat dipergunakan sebagai obat dan relatif aman tanpa
meninggalkan residu pada produk akhir. Beberapa laporan penggunaan
temulawak sebagai pengobatan telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah
sebagai anti bakteri, menurunkan kadar kolesterol, menghilangkan nyeri, anti

2

radang, dan menurunkan panas serta menghaluskan kulit. Selain itu, juga
bermanfaat mencegah penyakit hati dan melancarkan air seni. Khasiat temulawak
dapat digunakan untuk mengurangi gangguan penyakit: hepatitis, batu empedu,
sakit maag, ginjal, asma, bisul, kolesterol, eksem, menambah nafsu makan, bau
badan, sembelit, memperbanyak ASI, sariawan, menghilangkan nyeri haid, dan
batuk, anti diare, dan anti inflamasi.
Kemampuan anti diare dan anti inflamasi serta manambah nafsu makan
ini diharapkan temulawak dapat menjadi alternatif bagi pengobatan dan
pencegahan koksidiosis di Indonesia.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap penampilan ayam pedaging
yang diinfeksi Eimeria maxima.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi peternak
dalam penggunaan bahan obat tradisional untuk mengatasi permasalahan
koksidiosis pada ayam.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Eimeria maxima
Klasifikasi
Menurut Levine (1985), Eimeria maxima diklasifikasikan sebagai berikut ;
Kingdom

: Protista

Phylum

: Apicomplexa

Class

: Conoidasida

Subclass

: Coccidiasina

Order

: Eucoccidiorida

Family

: Eimeriidae

Genus

: Eimeria

Species

: Eimeria maxima

Morfologi
Coccidia memiliki berbagai macam tahap perkembangan yaitu : ookista,
sporokista, tropozoit, skizon, merozoit, dan gametosit. Ookista berbentuk seperti
bola, oval atau elips dengan dinding terdiri dari dua lapis yang bersifat transparan.
Dinding sebelah dalam tersusun dari senyawa protein tanin dan kinin, sedangkan
dinding sebelah luar terdiri dari dua lapis yaitu lapis protein dan lemak (Levine
1985). Ookista Eimeria maxima lebar, berbentuk ovoid lebar dan tidak ada
perbedaan nyata dari lebar kedua belah ujungnya. Ukuran ookista bervariasi
antara 21,5-42,5 µm, lebar 16,5-29,8 µm dengan rataan panjang 29,3 µm dan
lebar 22,6 µm. Ookista merupakan tahapan dalam siklus hidup E. maxima yang
paling kuat. Pada tahap ini coccidia tahan terhadap pengaruh suhu maupun obatobatan. Ookista E. maxima bersporulasi mempunyai empat sporokista yang
masing-masing berisi dua sporozoit.
E. maxima menginfeksi pada bagian tengah usus terutama dekat dengan
Meckel's diverticulum sampai ke duodenum. Pada infeksi ganas kerusakan dapat
menyebar di distal ileum sampai pada perbatasan sekum. Masa prepaten E.
maxima adalah 121 jam ( 6 hari ) setelah infeksi terjadi (Calnek et al. 1994).

4

Gambar 1. Ookista E. maxima (Levine 1985)
Siklus Hidup
Parasit ini akan menyerang pada sepanjang usus halus, sebagian besar
terdapat pada pertengahan usus halus. Fase aseksual terjadi di permukaan usus
halus kemudian masuk ke dalam inti sel epitel dan masuk kedalam fase seksual
yang sangat besar jika dibandingkan dengan fase aseksual. Hal ini terjadi karena
ukuran pada fase seksual ini lebih besar dari fase aseksual sehingga fase
seksual berada pada tempat yang lebih dalam dari sel epitel yaitu pada dasar
lapis retikuler epitel usus. Ookista dikeluarkan pada hari ke-6 (Morgan & Hawkins
1949)
Siklus hidup Eimeria maxima terdiri dari dua stadium, yaitu stadium
endogenous dan eksogenous. Stadium endogenous terjadi dalam tubuh induk
semang

meliputi

fase

aseksual

(merogoni/skizogoni)

dan

fase

seksual

(gametogoni). Stadium eksogenus terjadi di luar induk semang (Levine 1985).
Fase aseksual dimulai dari masuknya ookista bersporulasi sampai terbentuk
makrogamon dan mikrogamon yang akan berkembang menjadi makrogamet dan
mikrogamet (McDauglad & Reid 1997) dilanjutkan dengan fase seksual
(fertilisasi) hingga menjadi ookista.
Infeksi koksidiosis pada ayam terjadi karena ayam memakan makanan
yang terkontaminasi ookista bersporulasi. Ookista yang keluar bersama tinja
belum bersporulasi, berisi satu sel yang disebut sporont dan tidak infektif. Ookista
bersporulasi memerlukan oksigen, temperatur, dan kelembapan yang sesuai
(Levine 1985). Ookista E. maxima akan bersporulasi 30 jam setelah keluar

5

bersama feses (Calnek et al. 1994). Tampubolon (1996) suhu optimum agar
terjadi proses sporulasi berkisar antara 25-29oC.
Mekanisme terjadinya infeksi E. maxima diawali ketika ayam menelan
ookista bersporulasi. Dinding ookista akan dihancurkan secara mekanik oleh
gizard. Proses ini disebut ekskistasi; ekskistasi adalah proses pecahnya dinding
ookista dan sporokista yang dimakan oleh ayam. Sporozoit yang ada di dalam
sporokista akan keluar. Keluarnya sporozoit diaktivasi oleh enzim kemotripsin,
lipase dan empedu. Proses ini berlangsung setelah sporokista mencapai epitel
usus halus ayam (Calnek et al. 1994). Sporozoit akan masuk ke dalam epitel vili
dan masuk kedalam intra epitelial lymposit. Sporozoit selanjutnya membulat dan
tumbuh menjadi meron generasi I (skizon/skizogoni). Meron generasi I
memproduksi 900 merozoit generasi I yang kemudian melepaskan diri keluar dari
sel induk semang. Merozoit generasi I ini kemudian memasuki sel-sel epitel usus
yang baru dan berkembang menjadi meron generasi kedua (Levine 1985). Proses
lepasnya merozoit generasi I yang kemudian masuk ke sel epitel baru ini terjadi
pada hari ke-3 setelah infeksi (Calnek et al. 1994). Meron generasi II selanjutnya
menghasilkan 350 merozoit generasi II dan keluar dari sel induk semang (Levine
1985) hal ini terjadi pada hari ke-5 setelah infeksi (Calnek et al. 1994). Beberapa
merozoit generasi II masuk kedalam epitel usus baru dan membulat membentuk
merozoit III yang menghasilkan 4-30 merozoit generasi III. Merozoit-merozoit
generasi II juga masuk ke sel epitel usus induk semang dan memulai fase
seksual yang dikenal sebagai gametogoni (Levine 1985).
Merozoit

generasi

III

mengalami

gametogoni,

yaitu

membentuk

makrogamon yang berkembang menjadi makrogamet (penghasil gamet betina)
dan beberapa menjadi mikrogamon yang berkembang menjadi mikrogamet
(penghasil gamet jantan). Makrogamet dibuahi oleh mikrogamet dan terbentuklah
zigot. Zigot melindungi dirinya dengan sebuah dinding yang tebal dan menjadi
ookista muda. Ookista memecah sel induk semang kemudian keluar bersama
tinja pada hari ke-6 setelah infeksi (Morgan & Hawkins 1949). Bila lingkungan
sesuai dan memungkinkan maka dapat terjadi sporulasi dan siklus hidup ini akan
kembali berulang (Levine 1985).

6

Gambar 2. Siklus hidup E. maxima pada ayam (Calnek et al. 1994)
Perubahan Organ
Infeksi Eimeria maxima tidak seperti Eimeria tenella yang menyebabkan
kematian yang sangat tinggi, namun menyebabkan penurunan bobot badan dan
meningkatkan konversi ransum sehingga menyebabkan kerugian yang sangat
besar. E. maxima menyebabkan perbarahan berupa enteritis kataralis. Kondisi
perbarahan akibat infeksi E. maxima lebih sulit diidentifikasikan dengan skor lesio
yang terjadi dibandingkan dari temuan ookista pada kerokan mukosa usus.
Karakteristik lesio adalah ptekia atau perdarahan titik yang lebih mudah untuk
dikenali pada membran serosa dibandingkan pada membran mukosa. Adanya
infeksi E. maxima ditandai dengan kehadiran usus yang menggelembung dengan
mukus berwarna orange (merah bata) (Calnek et al. 1994).
Calnek et al. (1994) menyatakan bahwa infeksi Eimeria menyebabkan
kerusakan ringan pada siklus aseksual karena pada fase ini siklus terjadi di
permukaan sel epitel mukosa. Kerusakan usus ini semakin parah pada fase
seksual (hari ke-5 dan ke-8 setelah infeksi) karena siklus berjalan pada bagian
lebih dalam usus dibanding fase aseksual. Lesio pada usus yang terjadi adalah
edema, infiltrasi sel radang, dan penebalan mukosa. Hemoragi di dekat ujung vili
dan fokus infeksi terdapat pada lapisan serosa. Usus ayam terinfeksi E. maxima
berisi cairan berwarna kuning atau merah bata dan darah, akibatnya usus akan
menggelembung (balloning).

7

Patogenesis Eimeria
Koksidiosis pada ayam terjadi karena ayam peka memakan ookista
bersproulasi dalam jumlah besar. Penularan koksidiosis dapat melalui kotoran
ayam, makanan, minuman, peralatan, dan lalu lintas pekerja yang terkontaminasi
ookista. Faktor yang mendukung terjadinya penularan adalah kandungan air pada
litter yang melebihi 30% dan adanya penyakit imunosupresif seperti marek,
gumboro dan mikotoksikosis.
Koksidiosis terjadi pada unggas muda terutama yang berumur hingga
empat minggu, sedangkan unggas lebih tua sebagai pembawa penyakit. Ayam
sembuh mempunyai kekebalan, tetapi hanya berlangsung dalam waktu pendek
kecuali bila terjadi kontak terus menerus dengan agen penyebab penyakit. Levine
(1985) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi patogenitas
Eimeria yaitu jumlah sel induk semang yang rusak, besar dosis infeksi ookista,
patogenitas galur koksidia, ras, umur ayam, status gizi, agen penyakit lainnya,
adanya stress, derajat dan waktu reinfeksi, serta derajat imunitas induk semang.
Sedangkan menurut Kennedy (2001) faktor yang mempengaruhi patogenitas
Eimeria adalah jumlah ookista yang termakan, galur koksidia, faktor lingkungan
yang mempengaruhi masa tumbuh ookista, umur ayam, kualitas pakan, dan
kondisi induk semang untuk perkembangan coccidia.
Patogenitas dimulai saat sporozoit dikeluarkan dari ookista yang telah
bersporulasi dan kemudian menembus lamina propia usus. Saat yang
menentukan dalam infeksi adalah saat perkembangan skizon generasi II yang
telah matang, terjadi pada hari ke-4 setelah infeksi. Sebagian besar protozoa
penyebab enteritis termasuk Eimeria yang menyerang mukosa usus dan
menginduksi terjadinya kerusakan sel epitel, inflamasi dan atropi vili (Pout 1967).
Tanda-tanda koksidiosis akibat infeksi genus Eimeria berbeda-beda tergantung
spesies yang menginfeksi; umumnya terjadi dalam bentuk diare (E. acervulina)
atau diare hemoragi (E. tenella), perdarahan titik dan eksudat mukus (E.
maxima), dehidrasi, kehilangan bobot badan, prolapsus rektal dan disentri.
Perdarahan

di

sekum

merupakan

karakteristik

infeksi

E.

tenella

yang

mengakibatkan kehancuran ektensif dari mukosa dengan lesio pada jaringan
(Witlock et al. 1975). Hewan muda lebih rentan terhadap koksidiosis dan lebih
mudah menunjukkan gejala klinis, hewan tua relatif resisten terhadap infeksi
(Lillehoj & Choi 1998). Hewan muda yang sembuh dari infeksi Eimeria kemudian

8

hari bila terpapar lagi akan mengalami kehilangan bobot badan saja sedangkan
ketahanan tubuhnya relatif akan terjaga.
Infeksi Eimeria menginduksi imunitas protektif yang bersifat spesifik
spesies. Ookista dalam jumlah banyak secara umum akan menginduksi reaksi
imun yang tinggi pula, beberapa pengecualian adalah E maxima yang dapat
menginduksi imunitas yang tinggi walaupun terinfeksi ookista yang relatif sedikit.
Tahap merozoit dalam siklus hidup Eimeria lebih imunogenik dibandingkan fasefase seksual berikutnya (Rose & Hesketh 1976; Rose et al. 1984; Calnek et al.
1994)

walaupun

demikian,

dilaporkan

bahwa

gamet

(makrogamet

dan

mikrogamet) E. maxima menunjukan imunogenitas yang tinggi dan mampu
menginduksi proteksi terhadap uji tantang dengan parasit hidup (Wallach et al.
1992).

TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Klasifikasi
Menurut Purgeslove et al. (1981), tumbuhan temulawak diklasifikasikan
sebagai berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledonae

Ordo

: Zingiberales

Keluarga

: Zingiberaceae

Genus

: Curcuma

Spesies

: Curcuma xanthorrhiza Roxb.

Deskripsi
Tanaman ini merupakan tanaman monokotil yang tidak memiliki akar
tunggang melainkan memiliki rimpang (rhizoma), berbatang semu dengan tinggi
kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk
dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Setiap batang
mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun
lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang
daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm dengan panjang tangkai daun 43–80 cm.

9

Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai
9–23 cm dan lebar 4–6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi
atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu,
panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang
keseluruhan 4.5 cm, helai bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih
dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25–2 cm dan
lebar 1 cm (Sidik et al. 1995).
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) banyak ditemukan di hutanhutan daerah tropis. Temulawak juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar
pemukiman, terutama pada tanah gembur, sehingga buah rimpangnya mudah
berkembang menjadi besar. Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai
bahan ramuan obat. Aroma dan warna khas dari rimpang temulawak adalah
berbau tajam dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan. Daerah
tumbuhnya selain di dataran rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada
ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut.

Gambar 3. Tanaman dan rimpang Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Anonim 2007)
Temulawak

banyak

dikembangbiakkan

karena

nilai

komersialnya

menyebabkan permintaan akan rimpang ini cukup tinggi. Pada bagian bawah
rimpang biasanya tumbuh akar serabut yang panjangnya dapat mencapai 25 cm.
Terdapat dua jenis rimpang temulawak, yaitu rimpang induk yang berukuran
sebesar telur ayam ras, dan lainnya berukuran lebih kecil. Dibandingkan
keluarga jahe, rimpang temulawak tergolong paling besar. Biasanya dari rimpang

10

induk, tumbuh tiga atau empat rimpang anakan yang bentuknya memanjang. Bila
rimpang diiris, maka akan menebarkan aroma khas temulawak. Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tumbuhan tahunan yang hidup
merumpun dan berbatang semu berupa gabungan beberapa pangkal daun yang
terpadu.

Komposisi Rimpang Temulawak
Kandungan

kimia

rimpang

temulawak

yang

memberi

arti

pada

penggunaannya sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan
baku obat menurut Sidik et al. (1995) dapat dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu
: (a) Fraksi pati, merupakan fraksi terbesar berbentuk serbuk warna putih
kekuningan; (b) Fraksi kurkuminoid, merupakan komponen yang memberi warna
kuning pada rimpang temulawak yang memiliki khasiat medis; (c) Fraksi minyak
atsiri, terdiri atas senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen. Rimpang
temulawak

segar mengandung air sekitar 75%. Selain air,

temulawak

mengandung minyak atsiri, lemak, zat warna, protein, resin, selulosa, pentosan,
pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Komposisi rimpang
temulawak segar berumur 9 bulan, berdasarkan bahan kering terdiri atas 75,18%
air; 27,62% pati; 5,38% lemak; 10,96% minyak atsiri; 1,93% kurkumin; 6,44%
protein; 6,89% serat dan 3,96% abu (Sidik et al. 1995).
Fraksi pati pada rimpang temulawak merupakan salah satu kandungan
dalam jumlah besar, berbentuk serbuk warna putih kekuningan karena
mengandung sesepora kukuminoid. Kadar pati dalam rimpang temulawak
bervariasi antara 48–54% tergantung pada tempat tumbuh, makin tinggi tempat
tumbuh, makin rendah kadar patinya. Potensi rimpang temulawak sebagai bahan
pangan sangat tinggi bila dilihat dari kadar protein pati (1,5%) yang lebih tinggi
dari jagung (0,8%), kentang (0,4%) dan gandum (0,6%) (Sidik et al. 1995).
Fraksi kurkuminoid yang terdapat pada rimpang temulawak terdiri dari dua
komponen, yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin. Hal ini bebeda dengan
kandungan kurkumin pada rimpang kunyit (Curcuma domestica Vahl.) yang selain
mengandung kedua komponen tersebut, masih terdapat satu komponen lain yaitu
bisdesmetoksikurkumin. Sifat dari bisdesmetoksikurkumin ini memiliki aktivitas
terhadap

sekresi

empedu

yang

antagonis

dengan

kurkumin

dan

desmetoksikurkumin yaitu menekan sekresi cairan empedu (Puseglove et al.
1981). Memperhatikan hal tersebut, maka penggunaan rimpang temulawak

11

sebagai sumber kurkuminoid lebih menguntungkan dibandingkan dengan
rimpang kunyit walaupun kandungan kurkuminoid temulawak lebih kecil dari
rimpang kunyit. Kandungan kurkumin dalam kurkuminoid rimpang temulawak
berkisar antara 58–71 % sedangkan kadar desmetoksikurkumin berkisar antara
29–42%. Keberadaan kurkumin dalam temulawak relatif stabil. Sukrasno et al.
(2003) menyatakan bahwa kandungan kurkuminoid pada rimpang temulawak
stabil pada berbagai perlakuan penyimpanan dengan melakukan penyimpanan
rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) utuh dan serbuk kering
terhadap kandungan kurkuminoidnya. Penyimpanan dilakukan dalam ruangan
suhu 25o–30oC dan kelembaban 50–61% selama 16 minggu. Rimpang utuh
disimpan dalam besek terbuka dan besek tertutup, sedangkan serbuk rimpang
kering disimpan dalam kantung plastik, kantung terigu dan dalam besek.
Kurkuminoid ditentukan kadarnya secara relatif dengan kromatografi cair kinerja
tinggi.
Fraksi minyak atsiri merupakan fraksi zat berbentuk cair yang terkandung
dalam simplisia nabati atau hewani, berbau harum dan segar dan berguna untuk
pengobatan, bumbu, kosmetika atau pewangi. Kadar atsiri temulawak termasuk
besar dibanding tumbuhan lain, yaitu 3–12 % (Maiwald & Schwantes 1991).
Persyaratan standar kadar minyak atsiri untuk ekspor minimum adalah 5%
Anonim 1979). Oei (1985) dengan metode kromatografi gas dapat mendeteksi
bahwa terdapat 31 komponen yang terkandung dalam minyak atsiri rimpang
temulawak. Beberapa komponen khas yang dikandung oleh minyak atsiri
temulawak

yaitu

isofuranogermakren,

Trisiklin,

Allo-Aromadendren

dan

Xanthorrizol.
Manfaat Tanaman
Penggunaan rimpang temulawak di Indonesia disamping sebagai campuran obat
tradisional juga digunakan sebagai makanan, minuman dan kosmetika. Rimpang
temulawak memiliki kemampuan aktivitas kolagoga, yaitu meningkatkan produksi
dan sekresi empedu (Hendrawati 1999). Ozaki & Oei (1988) membandingkan
aktivitas kolagoga minyak atsiri rimpang temulawak dan minyak atsiri rimpang
kunyit yang diberikan secara oral pada tikus percobaan. Kedua minyak tersebut
ternyata mempunyai aktivitas meningkatkan sekresi cairan empedu. Kandungan
minyak atsiri temulawak paling tinggi diantara jenis Curcuma, mempunyai bau
dan rasa yang tajam dan dapat bersifat anti septik.

12

Aktivitas anti inflamasi rimpang temulawak telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti; Ozaki (1990) melakukan penelitian anti inflamasi ekstrak metanol
rimpang temulawak dengan dosis 3 gram per kilogram bobot badan menunjukkan
aktivitas

penghambatan

pembengkakan

yang

disebabkan

oleh

induksi

karagenan. Hasil penelitian Ozaki ini menunjukkan bahwa aktivitas anti inflamasi
ekstrak metanol rimpang temulawak dengan dosis 3 gram per kilogram bobot
badan setara dengan aktivitas anti inflamasi indometasin dosis 10 mg per
kilogram bobot badan. Pemberian ekstrak pada dosis rendah yaitu 1 gram per
kilogram bobot badan tidak menunjukkan aktivitas anti inflamasi. Ozaki
mendapatkan bahwa komponen aktif dalam ekstrak metanol rimpang temulawak
yang mempunyai aktivitas anti inflamasi adalah germakron.
Selain germakron, dalam rimpang temulawak juga terkandung zat warna
kurkuminoid yang secara kimia merupakan turunan diferoloilmetan. Ghatak &
Basu (1972) dalam Sidik (1995) melaporkan bahwa garam natrium dari
kurkuminoid mempunyai aktivitas anti inflamasi yang lebih tinggi dibanding
dengan aktivitas anti inflamasi kurkuminoidnya sendiri. Nilai ED50 natrium
kurkuminoid pada percobaan Ghatak & Basu ini

menunjukkan 0,36 mg per

kilogram bobot badan, sedangkan kurkumonoid mempunyai nilai ED50 sebesar
2,1 mg per kilogram bobot badan, bahkan hidrokortison sebagai pembanding
hanya dapat menghambat pembengkakan sebesar 47,8 % pada dosis 10 mg per
kilogram bobot badan yang diberikan secara intra peritoneral.
Srimal & Dhawan (1973) dalam Sidik (1995) melaporkan penelitian
aktivitas kurkumin sebagai anti inflamasi pada mencit dan tikus sebagai hewan
coba, dengan menggunakan fenilbutazon dan kortison sebagai pembanding.
Srimal dan Dhawan (1973) menyatakan bahwa kurkumin mempunyai aktivitas
anti inflamasi yang sama dengan fenilbutazon dan kortison, yaitu mencegah
timbulnya oedema pada peradangan akut maupun kronis. Srimal & Dhawan juga
mengamati bahwa kadar SGOT dan SGPT darah hewan coba yang cenderung
meningkat ketika proses inflamasi menunjukkan nilai yang mengarah kembali ke
normal setelah pemberian perlakuan. Daya anti inflamasi kurkumin dan
fenilbutazon serta kortison menurut Srimal & Dhawan (1973) menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata secara statistik. Selain itu dinyatakan pula bahwa
toksisitas kurkumin tergolong rendah dibandingkan dengan toksisitas fenilbutazon
karena kurkumin tidak bersifat ulserogenik dan non toksik terhadap sel darah.

13

Matsuura et al. (2007) menyatakan bahwa (12R)- dan (12S)-12,13dihydro-12,13-dihydroxyxanthorrhizols, yang diisolasi dari Curcuma xanthorrhiza
memiliki kemampuan sebagai anti Babesia. Hal serupa dilaporkan pula oleh
Kasahara (2007) tentang penggunaan Curcuma zoedaria (temu putih) yang
memiliki aktivitas sebagai anti Babesia. Penelitian lain tentang manfaat tanaman
temulawak dilaporkan oleh Rukayadi et al. (2006), dilaporkan kemampuan
Xanthorrhizol yang diisolasi dari ekstrak methanol Curcuma xanthorrhiza Roxb.
memiliki potensi aktivitas anti kandidiasis terhadap Candida albicans, Candida
glabrata, Candida guilliermondii, Candida krusei, Candida parapsilosis, dan
Candida tropicalis. Penelitian tentang penggunaan kurkumin sebagai komponen
kurkuminoid temulawak dilaporkan oleh

Koide (2002) dan Saleheen (2002).

Kedua peneliti meneliti kemampuan kurkumin sebagai Leismanicidal. Koide
(2002) dan Saleheen (2002) menyatakan bahwa kurkumin memiliki kemampuan
sebagai Leishmanicidal secara in vitro dan ditemukan bahwa kurkumin memiliki
kemampuan yang lebih baik dibanding pentamidin.
Di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang
temulawak untuk dibuat jamu godog. Manfaat tanaman ini adalah sebagai obat
jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti
oksidan, pencegah kanker, dan anti mikroba. Bagian yang sering dimanfaatkan
adalah rimpangnya. Adanya kandungan minyak atsiri dan juga kurkumin pada
temulawak, dimungkinkan sebagai anti bakteri, menurunkan kadar kolesterol,
menghilangkan nyeri, anti radang, dan menurunkan panas serta menghaluskan
kulit. Selain itu, juga bermanfaat mencegah penyakit lever dan melancarkan air
seni. Khasiat temulawak dapat digunakan untuk mengurangi gangguan penyakit:
hepatitis, batu empedu, sakit maag, ginjal, asma, bisul, kolesterol, eksem,
menambah nafsu makan, bau badan, sembelit, memperbanyak ASI, sariawan,
menghilangkan nyeri haid, dan batuk (Anonim 2007). Temulawak juga bersifat
anti bakteri terhadap kuman tertentu, sebab kurkumin yang dikandungnya bersifat
antioksidan dan antiendemik. Kandungan lain seperti minyak atsiri dan flavonoid,
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus. Kedua bakteri inilah penyebab diare. Khasiat temulawak untuk mengobat
diare diduga disebabkan oleh sifat antibakteri yang dimilikinya.

14

BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat
Penelitian

ini

dilaksanakan

di

Laboratorium

Protozologi,

Bagian

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat dan Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Januari-April 2008.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang ayam,
sekam, sekat, tempat ransum (feeder), tempat minum (drinker), indukan buatan
(brooder), nomor ayam, spuit, mikroskop cahaya, timbangan, gelas ukur, gelas
objek, kamar hitung Mc Master, alat untuk pembuatan preparat histologi dan alat
penghitung (counter), pengukuran histomorfometri menggunakan mikroskop
Olympus BX51 divisualisasi dengan IV-560 Video Measuring Gove.
Bahan yang digunakan antara lain; ayam pedaging sebanyak 200 ekor,
ransum ayam, air minum, koksidostat, infus temulawak pelarut air, garam jenuh,
serbuk temulawak, alkohol, dan xylol.

Metode
Persiapan kandang pemeliharaan
Tahapan persiapan kandang percobaan adalah sebagai berikut :
1. Kandang dibersihkan dari kotoran, debu, sekam, dan sarang laba-laba
dengan sapu
2. Kandang dicuci bersih dengan air dan campuran detergen sampai bersih,
demikian pula dengan tempat ransum dan tempat minum yang akan
digunakan dalam penelitian
3. Persiapan kandang tahap dua dilaksakan satu minggu sebelum masuk
ayam perlakuan dengan menggunakan kapur panas yang disapukan
merata pada permukaan kandang
4. Selama tahap persiapan kedua dilakukan penyemprotan desinfektan,
termasuk tempat ransum dan tempat minum

15

5. Sehari sebelum ayam masuk, sekam ditabur merata 3-5 cm. Koran digelar
merata menutup 2-3 lapis untuk persiapan masa indukan buatan
6. Pemanas (brooder) dipersiapkan dengan menggunakan lampu dengan
standar 120 watt untuk 100 ekor DOC dengan penyebaran merata dengan
suhu 39oC.

Pembuatan Bubuk dan Infus Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Rimpang tanaman temulawak yang telah diidentifikasi di Herbarium
Bogoriense LIPI dibersihkan dari tanah yang melekat dan dicuci. Temulawak
bersih diiris memanjang dengan ketebalan 7–8 mm dan dikeringkan dengan sinar
matahari sampai rimpang kering (Sidik et al. 1995). Rimpang kering dihaluskan
dengan grinder hingga halus dan berbentuk bubuk. Bubuk inilah yang sebagian
digunakan untuk perlakuan dan sebagian lagi digunakan untuk pembuatan infus
temulawak.
Temulawak bubuk yang telah disiapkan dibuat bahan infus temulawak
dengan metode maserasi yaitu dengan merendam bubuk temulawak dengan
aquades selama 24 jam dengan perbandingan 1 : 5 (b/b). Hasil perendaman
disaring dengan kertas saring dan ditampung dalam sebuah wadah/jerigen. Hasil
maserasi inilah yang akan digunakan dalam perlakuan infus temulawak.
Penapisan Fitokimia
Identifikasi kualitatif metabolit sekunder dilakukan dengan metode identifikasi
pendahuluan senyawa metabolit sekunder (Darwis 2000) sebagai berikut:
1. Metode

yang

dilakukan

untuk

identifikasi

alkaloid

adalah

metode

pendahuluan Culvenor Fitgerald. Sebanyak 4 gram sampel digerus halus
dengan bantuan pasir bersih yang dibasahi 10 ml kloroform. Sampel
ditambahkan dengan kloroform amoniak 0,05 M lalu digerus kembali dan
saring dalam tabung reaksi. Kedalam tabung reaksi ditambahkan 0,5 ml
asam sulfat 2 N kemudian dikocok dan akan terjadi 2 lapisan. Lapisan asam
sulfat diambil dan ditambahkan 1 tetes pereaksi meyer. Apabila ditemukan
adanya endapan putih menandakan adanya alkaloid dalam sampel.
2. Analisis untuk senyawa terpenoid, steroid, fenol, flavonoid, dan saponin
dilakukan dengan cara; 4 g sampel dididihkan dalam 25 ml etanol selama
20 menit, kemudian disaring dalam keadaan panas, dan pelarut etanol
diuapkan sampai kering. Ekstrak dikocok kuat dengan kloroform lalu

16

tambahkan air suling, akan terjadi 2 lapisan yaitu lapisan kloroform dan
lapisan air. Lapisan kloroform diteteskan pada plat tetes dan dibiarkan
sampai kering, tambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat dan asam
sulfat pekat (pereaksi Libermann Burchard). Apabila terbentuk warna merah
atau merah muda (pink) menandakan adanya terpenoid, terbentuk warna
biru menandakan adanya steroid. Satu mililiter lapisan air dikocok sampai
berbusa, jika busa tidak hilang selama 5 menit menandakan adanya
saponin. Beberapa tetes lapisan air diteteskan pada tabung reaksi dan
ditambah besi (III) klorida apabila terdapat hijau sampai ungu menandakan
adanya senyawa fenolik. Beberapa tetes lapisan air dit

Dokumen yang terkait

Analisis Ekonomi Pemanfaatan Tepung Daun Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata) Dalam Ransum Ayam Pedaging Umur 1-42 Hari

0 36 57

EFEKTIFITAS EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb) DENGAN LEVEL YANG BERBEDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN PADA IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus Bleeker) YANG DIINFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophilla

4 17 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KUNYIT (Curcuma domestica val) DAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza roxb) TERHADAP STATUS FISIOLOGIK DARAH AYAM PEDAGING

1 6 1

Pengaruh Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat terhadap Penampilan Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria tenella

2 27 61

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb.) Pada Aktivitas Dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Peritoneal Ayam Petelur (Gallus Sp.)

0 17 87

Karakteristik Pengeringan Beku Sari Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

1 10 43

Gambaran Histologis Bursa Fabricius dan Limpa Ayam Broiler yang Diberi Ekstrak Temulawak Plus (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

0 6 33

PENGARUH EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak(Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Daya Antiinflamasi Natrium Diklofenak Pada Tikus.

0 2 13

PENGARUH PEMBERIAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb) YANG DIPERKAYA DENGAN VITAMIN C DAN VITAMIN E TERHADAP GAMBARAN DARAH AYAM BROILER YANG MENGALAMI STRES PANAS.

0 0 14

SENSITIVITAS TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aeromonas hydrophila

0 0 7