Dampak Redenominasi terhadap Kinerja Perekonomian: Pendekatan Percobaan Ekonomi dan Data Historis

DAMPAK REDENOMINASI TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN: PENDEKATAN PERCOBAAN EKONOMI
DAN DATA HISTORIS

DANTI ASTRINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Redenominasi
Terhadap Kinerja Perekonomian: Pendekatan Percobaan Ekonomi dan Data
Historisadalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Danti Astrini
H151110111

RINGKASAN
DANTI ASTRINI. Dampak Redenominasi Terhadap Kinerja Perekonomian:
Pendekatan Eksperimental dan Data Historis. Dibimbing oleh BAMBANG
JUANDA dan NOER AZAM ACHSANI.
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai nominal mata uang dengan
mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai riil mata uang tersebut. Bank
Indonesia mempunyai rencana untuk melakukan redenominasi Rupiah, dan
rencana tersebut telah diwacanakan semenjak tahun 2010. Rencana tersebut
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Banyak dari masyarakat
mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan jika kebijakan redenominasi ini jadi
dilakukan.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: (1)Mengkaji dampak
kebijakan redenominasi terhadap perubahan harga, jumlah transaksi dan nilai
transaksi; (2) Mengkaji persepsi masyarakat terhadap kebijakan redenominasi;
dan (3) Mengevaluasi dampak kebijakan redenominasi terhadap kinerja

perekonomian yang dilihat dari indikator tingkat inflasi.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan
data primer diperoleh dengan menggunakan metode percobaan ekonomi dan
survei. Penelitian dengan percobaan ekonomi menggunakan responden sebanyak
48 orang mahasiswa sebagai subjek penelitian. Sistem transaksi yang digunakan
dalam percobaan ekonomi adalah sistem posted offer (transaksi jual beli mobil).
Data sekunder diperoleh dari data-data historis negara-negara yang pernah
melakukan redenominasi mata uang. Jumlah negara yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 14 negaradan digunakan 11 tahun pengamatan (lima tahun
sebelum hingga lima tahun setelah redenominasi). Analisis regresi data panel
digunakan untuk menguji dampak dari redenominasi terhadap kinerja inflasi.
Sementara itu, data primer yang dihasilkan melalui desain eksperimen dianalisis
menggunakan uji uji beda nilai rata-rata dari dua populasi independen dan untuk
menganalisis hasil dari survei digunakan analisis deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
percobaan ekonomi, redenominasi akan mengubah harga jual. Jika redenominasi
dilakukan akan ada penurunan harga barang elastis baik kondisi inflasi yang tinggi
atau kondisi inflasi yang rendah. Secara umum, redenominasi akan menyebabkan
penurunan harga jual barang elastis. Redenominasi juga akan menyebabkan
perubahan pada nilai transaksi pada barang elastis. Hasil penelitian menunjukkan

saat redenominasi dilakukan dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah
akan menyebabkan penurunan nilai transaksi, sedangkan jika redenominasi
dilakukan dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menyebabkan
peningkatan nilai transaksi. Pada kondisi ekonomi yang berbeda, kebijakan
redenominasi tidak secara signifikan memengaruhi jumlah perubahan transaksi.
Tidak ada perubahan dalam jumlah transaksi sebelum dan sesudah redenominasi
itu.
Hasil survei menunjukkan persepsi publik yang cukup baik atas kebijakan
redenominasi, dilihat dari pola konsumsi yang tidak akan berubah dengan
kebijakan redenominasi dan produsen tidak akan menaikkan harga pada saat
redenominasi diterapkan. Namun, survei mengungkapkan bahwa sebagian besar

responden tidak percaya bahwa pemerintah akan mampu mengendalikan laju
inflasi setelah redenominasi. Hasil analisis regresi data panel memperlihatkan
bahwa tingkat inflasi setelah redenominasi akan lebih rendah daripada sebelum
redenominasi. Hasil tersebut juga memperlihatkan bawah pengaruh dari money
growth terhadap inflasi akan lebih besar setelah dilakukannya redenominasi.
Hal yang penting dalam pelaksanaan kebijakan redenominasi mata uang
adalah kondisi perekonomian pada saat dilakukan kebijakan tersebut. Akan lebih
baik jika redenominasi diterapkan ketika perekonomian berada dalam kondisi

yang baik dan stabil, seperti tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Kata kunci: Eksperimental, Inflasi, Pertumbuhan, Redenominasi, Panel

SUMMARY
DANTI
ASTRINI.
Impact
of
Redenomination
to
Economic
Performance:Experimental Approach andHistorical Data. Supervised by
BAMBANG JUANDA and NOER AZAM ACHSANI.
Redenomination is a simplification of the nominal value of the currency
by reducing the digit (number zero) without reducing the real value of the
currency.Bank Indonesia plans to conduct Rupiah redenomination,and the plan
has been under consideration since 2010. The plan raises pros and cons in the
community. A lot of people are worried about the impact of the redenomination
policy.

This study has the following objectives: (1) to assess the impact of
redenomination policy in changes the selling price, the number of transactions and
value of transactions. (2) to assess public perception of the redenomination policy,
and
(3)
to
evaluate
the
impact
of
economic
policies
on
theredenominationperformance seen from inflation level indicators.
This study uses primary data and secondary data. The primary data are
collected by using economic experimental and survey method. The member of
respondent in economic experiment were 48 students. The transaction systems
used in economic experiments is posted offer system (buying and selling cars).
Secondary data was obtained from historical data states that have done the
currency redenomination. The number of countries used in this study were 14

countriesand used 11 years of observations (five years before to five years after
the redenomination). The analysis of panel data regression is used to examine the
impact of redenomination on inflation performance. Meanwhile, primary data
generated through experimental design were analyzed using test different test
mean value of two independent populations and descriptive analysis is used to
describe the public perception of redenomination policy.
Based on the results of research conducted using economic experiments,
redenomination would change the selling price. If redenomination is done there
will be a decrease in the price of elastic goods either high inflation conditions or
low inflation conditions. In general, redenomination would cause a decrease in the
selling price of elastic goods. Redenomination will also lead to changes in the
value of transactions in goods elastic. The results showed when redenomination is
carried out under conditions of low economic growth will lead to a decline in the
value of the transaction, whereas if the redenomination carried out under
conditions of high economic growth will lead to an increase in the value of the
transaction. In different economic conditions, redenomination policy did not
significantly affect the changes number of transaction. There is no changes in the
number of transactions before and after the redenomination.
The survey results showed a fairly good public perception of the
redenomination policy, seen from the patterns of consumption that will not

changes with the redenomination policy and the producer will not increase the
price at the time of redenomination implemented. But, the survey revealed that
most respondents did not believe that the government will be able to control the
inflation rate after redenomination. The results of the panel data regression
analysis showed that the rate of inflation after the redenomination will be lower

than before the redenomination. The results also showed the effect of money
growth on inflation will greater after redenomination.
The important thing in implementing the currency redenomination policy
was economic conditions at the time of policy implementation. It would be better
if the redenomination implemented when the economy is in good and stable
condition, such as low inflation rate and high economic growth.
Keywords: Experimental, Inflation, Growth, Redenomination, Panel

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK REDENOMINASI TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN : PENDEKATAN PERCOBAAN EKONOMI
DAN DATA HISTORIS

DANTI ASTRINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Prof Dr Ir Hermanto Siregar, M.Ec

Judul Tesis :Dampak Redenominasi terhadap Kinerja Perekonomian: Pendekatan
Percobaan Ekonomi dan Data Historis
Nama
: Danti Astrini
NIM
: H151110111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Ketua

ProfDrIr Noer Azam Achsani, MS
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

DrIr RNunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 7 April 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini adalah

redenominasi, dengan judul Dampak Redenominasi terhadap Kinerja
Perekonomian: Pendekatan Percobaan Ekonomi dan Data Historis.
Proses pembuatan tesis ini tentunya tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan tesis ini, khususnya kepada Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS selaku
Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima
kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada Prof Dr Hermanto Siregar, M.Ec
(penguji luar komisi), Dr Ir Lukytawati Anggraeni, MSi (penguji perwakilan dari
program studi), dan Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi (Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi), pengajar, pengelola program studi, serta teman-teman reguler lima
Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.
Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada ayahanda
Bambang Mandoyoreno dan Ibunda Sriwiati yang telah banyak mendukung
penulis, dan kepada Yudawan Aji Pratomo. Tanpa dukungan keluarga, penulis
tidak akan bisa berbuat yang terbaik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014
Danti Astrini

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

GLOSARIUM

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
9
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Nilai Rupiah
Keterkaitan Redenominasi dengan Kinerja Perekonomian
Keterkaitan Redenominasi dengan Perilaku Pelaku Ekonomi
Percobaan Ekonomi
Percobaan Ekonomi dalam Kajian Kebijakan Ekonomi
Teori Inflasi
Sumber-sumber Inflasi
Kerangka Pemikiran
Hipotesis

10
10
11
11
14
15
14
15
16
17

3 METODE
Metode Pengambilan Sample Metode Percobaan Ekonomi
Metode Pengambilan Sample Metode Survei
Rancangan Simulasi Percobaan
Prosedur Simulasi Percobaan
Uji Beda Nilai Tengah Dua Populasi
Analisis Regresi Data Panel

17
18
18
18
20
21
24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Gambaran Umum Hasil Simulasi Percobaan Sistem Transaksi Pasar Posted
Offer
27
Pengaruh Kebijakan Redenominasi terhadap Perubahan Harga Transaksi 29
Pengaruh Kebijakan Redenominasi terhadap Perubahan Jumlah Transaksi
33
Pengaruh Kebijakan Redenominasi terhadap Perubahan Nilai Transaksi 34
Persepsi Masyarakat Mengenai Kebijakan Redenominasi
36
Dampak Redenominasi terhadap Inflasi
41
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
43

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

46

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Sepuluh Mata Uang dengan Nilai Tukar Tertinggi di Dunia
Tingkat Hiperinflasi di Indonesia
Penelitian Terdahulu Terkait Redenominasi
Penjabaran Kondisi Perlakuan dalam Simulasi Percobaan Ekonomi
Hipotesis untuk Uji Beda Nilai Tengah
Gambaran Umum Hasil Simulasi Percobaan pada Komoditas Barang
Elastis
Uji Beda Nilai Tengah Persentase Harga Jual Setelah Redenominasi
Uji Beda Nilai Tengah Persentase Nilai Transaksi Setelah
Redenominasi
Hasil Analisis Koefisien pada Model Data Panel Variabel Dependent
Inflasi
Hasil Uji Regresi Data Panel terhadap Variabel Dependent Inflasi
dengan Pooled Least Square

2
6
13
19
23
28
31
34
41
42

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan Tingkat Inflasi (%) di Turki dan RumaniaTahun 19992011
2 Perkembangan Tingkat Inflasi (%) di Brazil Tahun 1981-1994
3 Tingkat Inflasi di Indonesia Tahun 1999-2013 (%)
4 Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1999-2013 (%)
5 Pergerakan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah terhadap 1 Dollar AS tahun
1999-2013
6 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
7 Rataan Harga Jual Sebelum dan Sesudah Redenominasi
8 Persentase Perubahan Perilaku Responden Eksperimental Setelah
Terjadinya Redenominasi
9 Persentase Perubahan Perilaku Responden Eksperimental Setelah
Terjadi Redenominasi pada Kondisi Inflasi Tinggi dan Pertumbuhan
Rendah
10 Persentase Perubahan Harga Setelah Redenominasi pada Pertumbuhan
Ekonomi Rendah dan Pertumbuhan Ekonomi Tinggi (Inflasi Rendah)
11 Persentase Perubahan Harga Setelah Redenominasi pada Inflasi Rendah
dan Inflasi Tinggi (Pertumbuhan Rendah)
12 Persentase Perubahan Harga Setelah Redenominasi pada Pertumbuhan
Ekonomi Rendah dan Pertumbuhan Tinggi (Inflasi Tinggi)
13 Rataan Jumlah Transaksi Sebelum dan Sesudah Redenominasi
14 Rataan Nilai Transaksi Sebelum dan Sesudah Redenominasi
15 Persentase Perubahan Nilai Transaksi Setelah Redenominasi pada
Kondisi Pertumbuhan Rendah dan Pertumbuhan Tinggi

3
4
7
7
8
17
29
30

31
32
32
33
33
34
35

16 Persentase Perubahan Nilai Transaksi Setelah Redenominasi pada
Pertumbuhan Rendah dan Pertumbuhan Tinggi (Inflasi Tinggi)
17 Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah akan
Pelaksanaan Redenominasi
18 Persepsi Masyarakat akan Ketidakmampuan Pemerintah Tidak Dapat
Mengendalikan Inflasi Sebagai Akibat Redenominasi
19 Persepsi Masyarakat akan Kemampuan Pemerintah Dapat
Mengendalikan Inflasi Sebagai Akibat Redenominasi
20 Bagaimana Perubahan Perilaku Masyarakat Terhadap Kekayaannya
Sebagai Akibat Kebijakan Redenominasi
21 Persepsi Masyarakat Mengapa Mereka akan Mengalihkan Kekayaannya
Menjadi Aset Rill Seandainya Redenominasi Terjadi
22 Persepsi Masyarakat Mengapa Mereka Tidak akan Merubah Pola
Konsumsinya Seandainya Redenominasi Terjadi
23 Persepsi Produsen Terhadap Perubahan Harga Seandainya Kebijakan
Redenominasi Terjadi

36
36
37
38
39
39
40
40

DAFTAR LAMPIRAN
24 Instruksi Percobaan Ekonomi
25 Kuisioner Perspektif Dampak Kebijakan Redenominasi Rupiah pada
Perekonomian Nasional Terhadap Konsumen
26 Kuisioner Perspektif Dampak Kebijakan Redenominasi Rupiah pada
Perekonomian Nasional Terhadap Produsen
27 Data Hasil Percobaan
28 Uji Kesamaan Ragam
29 Uji Beda Dua Nilai Tengah
30 Daftar Unit Cost dan Unit Value
31 Negara yang Melakukan Redenominasi
32 Lembar Keputusan Penjual dan Pembeli
33 Plot Data
34 Regresi Data Panel Variabel Dependent Inflasi

46
51
53
54
55
59
62
64
65
67
73

GLOSARIUM
Desentralisasi
Sistem transaksi dimana pembeli dan penjual bebas dan aktif mencari
pasangannya untuk melakukan tawar-menawar harga atas suatu barang
dagangan. Sistem transaksi ini agak tertutup, karena informasi tentang
penawaran penjual (offers), permintaan pembeli (bids) dan harga yang
disepakati (contract price) tidak diketahui oleh semua pelaku pasar atau
publik.
Double auction
Sistem pelelalang dua arah, yaitu semua penjual dan pembeli sama-sama
melakukan tawar-menawar harga terhadap suatu barang sehingga semua
informasi diketahui oleh publik atau semua penjual dan pembeli dalam
pelelangan tersebut
Garbage money
Mata Uang dengan nilai tukar terlemah terhadap dollar AS.
Money illution
Dampak psikologi karena adanya perubahan nominal mata uang. Adanya
tendensi atau kecenderungan seseorang untuk menilai uang dalam bentuk
nominal lebih dari pada nilai yang sesungguhnya.
Posted offer
Sistem transaksi yang biasa ditemui dalam bidang usaha retail dan industri
yaitu harga yang telah dipasang oleh penjual kemudian ditawarkan kepada
pembeli (posted-offer price), dan pembeli tinggal memilih barang yang
diinginkan sesuai dengan anggaran yang dimilikinya.
Re-learning
Mengingat harga yang baru dari barang konsumen secara satu persatu
Re-scaling
Mengubah semua harga pada mata uang lama ke nilai pada mata uang baru
pada waktu yang sama
Trivialization
Adanya kenaikan harga – harga barang- barang setelah redenominasi
karena para penjual tidak mempunyai pecahan mata uang yang bernilai
lebih kecil untuk uang kembalian, sehingga para konsumen cenderung
membiarkan kenaikan tersebut

Unit Cost
Kesediaan harga minimum yang ditetapkan penjual atas sebuah komoditi
yang dijualnya.
Unit Value
Kesediaan harga maksimum yang ditetapkan pembeli atas sebuah mobil
yang akan dibelinya

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rencana Bank Indonesia (BI) untuk melakukan redenominasi Rupiah telah
banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan pelaku ekonomi. Redenominasi
adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan Rupiah tanpa
mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar Rupiah terhadap harga barang
dan/atau jasa. Redenominasi menurut Priyono (2013) adalah penyederhanaan
mata uang suatu negara. Redenominasi berbeda dengan Sanering, namun masih
banyak masyarakat Indonesia yang salah mengartikan antara kedua istilah
tersebut. Sanering adalah pemotongan terhadap nilai uang tetapi harga barangbarangnya tidak mengalami perubahan. Dasar pemikiran dari pengajuan
redenominasi mata uang Rupiah ini adalah dalam rangka menghadapi tantangan
ke depan berupa integrasi perekonomian regional1.
Alasan lain nilai Rupiah perlu disederhanakan adalah pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang relatif tinggi akan meningkatkan perputaran uang dengan
nilai yang semakin meningkat. Peningkatan ini berdampak pada pencatatan digit
yang makin banyak di setiap transaksi yang terjadi sehingga menyulitkan
sejumlah pihak dalam pencatatan keuangannya. Semakin banyak digit dalam mata
uang, maka semakin tinggi kendala teknis dalam transaksi pembayaran tunai dan
non tunai. Jika dibandingkan dengan mata uang lainnya, Rupiahtermasuk ke
dalam 10 garbage money atau memiliki nilai tukar terhadap Dollar Amerika
Serikat (US $) tertinggi ketiga di dunia, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Nilai nominal yang terlalu besar ditengarai bahwa di masa lalu suatu
negara pernah mengalami tingkat inflasi yang tinggi atau pernah mengalami
kondisi fundamental perekonomian yang kurang baik (Kesumajaya, 2011).
Apabila suatu negara mengalami hal yang demikian, maka masyarakat akan
kurang percaya untuk memegang mata uang domestik serta rendahnya kredibilitas
kebijakan pemerintah baik fiskal maupun moneter. Selain sebagai alat
pembayaran, mata uang diyakini juga merupakan salah satu simbol kedaulatan
atau sovereignity sebuah bangsa dan negara. Oleh karena itu, mata uang perlu
dihormati secara nasional maupun internasional. Saat ini Rupiah memiliki
pecahan tertinggi sebesar Rp 100000, kedua tertinggi setelah mata uang Vietnam
yang mencetak 500000 Dong. Apabila Indonesia terus mengalami inflasi yang
tinggi tiap tahunnya secara terus menerus maka diperkirakan akan butuh pecahan
yang belih besar Rp 200000 bahkan Rp 1000000. Apabila hal itu terjadi maka
nilai uang terhadap barang akan semakin rendah (Amir, 2011).

1

Siaran Pers Bank Indonesia No. 12/ 38 /PSHM/Humas

2
Tabel 1.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Sepuluh Mata Uang dengan Nilai Tukar Terlemah di Dunia

Mata Uang (Negara)
Rial (Iran)
Dong (Vietnam)
Rupiah (Indonesia)
Rubel (Belarusia)
Bolivar (Venezuela)
Kwacha (Zambia)
Guaran (Paraguay)
Shilling (Uganda)
Franc (Madagascar)
Sum (Uzbekistan)

Nilai Tukar terhadap 1 US $
25 395
21 167
11 403
9 869
6 296
5 244
4 434
2 533
2 326
2 227

Sumber: http://id.rateq.com diakses 30 Maret 2014

Sejak tahun 1923, terdapat 55 negara yang telah melakukan redenominasi,
diantaranya ada yang dianggap sukses dan gagal dalam pelaksanaannya. Negaranegara yang dianggap berhasil menerapkan redenominasi adalah Turki (Priyono,
2013), Rumania dan Polandia (Daniel, 2013). Negara-negara yang gagal
meredenominasi mata uang diantaranya adalah Rusia, Argentina dan Zimbabwe
(Purwanto, 2013). Ada beberapa negara yang melakukan redenominasi dalam
beberapa tahap, seperti Brazil dan Serbia Montenegro sebanyak empat kali serta
Israel dan Argentina sebanyak enam kali (Mosley, 2005). Salah satu indikator
keberhasilan penerapan redenominasi adalah tingkat inflasi setelah kebijakan
tersebut diterapkan. Sebagai contoh, tingkat inflasi di Turki dan Rumania menjadi
lebih rendah (satu digit/creeping inflation) dan stabil dibandingkan sebelumnya.
Redenominasi akan dianggap gagal jika mengalami inflasi tinggi atau hiperinflasi
setelah kebijakan diterapkan.
Turki dan Rumania adalah beberapa contoh negara yang tergolong sukses
atau berhasil melakukan redenominasi. Turki dan Rumania dikatakan sukses
melakukan redenominasi terutama terlihat dari sisi ekonomi makronya. Rumania
memiliki tingkat inflasi hanya satu digit sejak tahun 2005 (saat eliminasi empat
angka nol pada mata uang Lei dimulai) dan berlanjut sampai sekarang. Turki dan
Rumania berhasil melaksanakan redenominasi karena pada saat melakukan
redenominasi tingkat perekonomiannya berada dalam keadaan yang stabil (Chairil
et al. 2010). Pengangguran di Rumania juga cukup rendah yaitu berada di sekitar
empat persen. Pada tahun 2007, nilai tukar mata uang Rumania menguat terhadap
Dollar AS (Amerika Serikat) menjadi 2.98 Lei dan terhadap Euro menjadi 3.6 Lei.
Sebagai perbandingan, sebelum redenominasi diterapkan pada 30 Juni 2005 nilai
tukar terhadap dollar AS sebesar 29.891 Lei dan terhadap Euro sebesar 36.050
Lei. Negara Turki setelah menghapus enam angka nol di mata uangnya pada 1
Januari 2005, keadaan perekonomiannya tetap terjaga. Inflasi negara Turki pada
tahun 2005-2011 tetap terjaga stabil dikisaran 6–10 persen per tahunnya,
dibandingkan sebelum tahun 2005 berada di kisaran 20–60 persen. Gambar 1
adalah perkembangan tingkat inflasi sebelum dan sesudah redenominasi dilakukan
di Turki dan Rumania.

3

Gambar 1.

Perkembangan Tingkat Inflasi (%) di Turki dan Rumania
Tahun 1999-2012

Sumber: World Bank 2013

Sementara itu, Brazil dan Zimbabwe adalah contoh negara yang tergolong
gagal dalam melakukan redenominasi. Sebagai contoh, pada saat Brazil
melakukan redenominasi mata uang pada tahun 1986 dan 1989, kurs mata
uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap US $ hingga mencapai ribuan
Cruzado untuk setiap US $. Pemerintah Brazil pada saat itu juga tidak mampu
mengelola tingkat inflasi sehingga mengalami hiperinflasi bahkan mencapai lebih
dari 500 persen per tahunnya dimana puncaknya pada tahun 1990 yang mencapai
hampir 3000 persen, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan bagi
Zimbabwe, langkah memotong tiga digit nominal Dollar Zimbabwe pada
pertengahan 2006 mengakibatkan hiperinflasi sebesar 1097 persen dibandingkan
tahun sebelumnya sebesar 302 persen. Dapat dikatakan, melakukan redenominasi
pada saat tingkat inflasi tinggi dapat membuat inflasi menjadi semakin tinggi.
Sedangkan, keberhasilan Turki dan Rumania dikarenakan redenominasi dilakukan
pada saat tingkat inflasi yang rendah.
Pemilihan waktu yang tepat menjadi kunci suksesnya pelaksanaan
redenominasi di suatu negara.Pemilihan waktu yang tidak tepat terbukti menjadi
sumber kegagalan redenominasi di beberapa negara seperti Brazil, Rusia, Korea
Utara, dan Zimbabwe. Mereka melakukan redenominasi di waktu yang salah
dimana perekonomian negara tersebut belum mapan dalam menjaga stabilitas
perekonomian dan kepercayaan publik. Selain itu pelaksanaan redenominasi tidak
dapat dilaksanakan sekaligus pada satu waktu, namun memerlukan masa
transisi/tahapan, yang dimulai dengan pemberlakuan dua jenis mata uang dan
pencantuman dua harga dalam dua nilai transaksi (mata uang lama dan mata uang
sementara), diikuti dengan penarikan mata uang lama dan pemberlakuan mata
uang sementara, hingga akhirnya penarikan mata uang sementara dan
pemberlakuan sepenuhnya mata uang yang baru.

4

Gambar 2.

Perkembangan Tingkat Inflasi (%) di Brazil Tahun 1981-1994

Sumber: World Bank 2013

Bank Indonesia menilai bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk
melakukan redenominasi Rupiah karena perekonomian Indonesia dalam kondisi
yang sehat dan stabil. Redenominasi mata uang diharapkan dapat digunakan
sebagai instrumen untuk meningkatkan martabat bangsa di tingkat nasional dan
internasional. Semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat untuk
memegang mata uang Rupiah, secara langsung BI akan semakin efektif dalam
mengendalikan jumlah uang beredar dan kebijakan moneter lainnya akan menjadi
semakin kredibel.
Menurut Bank Indonesia dalam Chairil et al. 2010, syarat dilakukannya
redenominasi adalah (1) Stabilitas ekonomi negara yang ingin melakukan
redenominasi dalam lima tahun terakhir cenderung stabil. Stabilitas perkonomian
dapat dilihat dari segi tingkat inflasi dan kurs mata uang. (2) Adanya Dukungan
yang penuh dari seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah, parlemen,
otoritas terkait, dan pelaku bisnis. (3) Tersedianya landasan hukum yang cukup
kuat yang mengatur redenominasi dan mekanisme pendukung lainnya untuk
menjamin stabilitas harga dan ketersediaan barang. (4) Sosialisasi kepada publik
dan edukasi yang intensif agar tidak terjadi kenaikan harga-harga secara
berlebihan akibat tindakan pelaku ekonomi yang memanfaatkan struktur pasar
oligopolistik (spekulan) untuk sejumlah barang kebutuhan pokok masyarakat.
Sosialisasi juga diperlukan agar masyarakat tidak menganggap redenominasi
sebagai sanering. Sosialisasi juga penting dilakukan untuk mengatasi kepanikan
pada masyarakat yang selanjutnya mendorong terjadinya inflasi dan (5) Pemilihan
waktu (timing) dan urutan pelaksanaan (sequencing) yang tepat.
Nilai baru dari satu Rupiah baru akan memiliki nilai 1 000 pada Rupiah
lama sehingga rasio antara Rupiah baru dengan Rupiah lama adalah 1:1 000 dan
akan ada dua desimal untuk mewakili pecahan sen. Nilai dari satu Rupiah sama
dengan 100 sen. Berdasarkan perusulan perundang-undangan no tujuh tahun 2011
pasal 42 bab satu, pelaksanaannya akan dimulai pada 17 Agustus 2014. Tapi ada
beberapa langkah sebelum pelaksanaan akhir kebijakan redenomiasi. Kebijakan
ini akan dimulai dengan sosialisasi pada periode 2011-2012, dan dilanjutkan
dengan masa transisi (penggunaan mata uang bernilai ganda) pada tahun 2013–
2015. Uang Rupiah "lama" akan ditarik dari sirkulasi sekitar tahun 2016-2018.
Tanda "baru" akan dihapus dari uang yang baru dicetak, menandakan bahwa
proses redenominasi selesai.

5
Beberapa kritik juga muncul ketika wacana redenominasi digulirkan oleh
Bank Indonesia, salah satunya datang dari staf khusus presiden bidang ekonomi,
Firmansyah, yang menyatakan perlu ada antisipasi peningkatan inflasi jika
redenominasi diterapkan2. Ini terkait dengan adanya potensi perubahan perilaku
produsen dan pedagang yang akan membulatkan harganya ke atas untuk
menyesuaikan dengan nilai Rupiah yang baru, khususnya bagi barang-barang
yang berharga di bawah Rp 1 000. Jika hal ini terjadi, redenominasi akan memicu
inflasi dan efek psikologisnya sangat merugikan. Selanjutnya ini dapat menekan
daya beli masyarakat kelas bawah dan bahkan dapat menghilangkan fungsi uang
receh.
Dewan Pertimbangan Presiden, Ginandjar Kartasasmita dalam Gatra
(2013) , juga menyampaikan redenominasi belum perlu dilakukan karena kondisi
perekonomian Indonesia yang timpang antar wilayah dan masih rentan terhadap
guncangan eksternal. Penguatan Rupiah sebagai pengaruh dari redenominasi juga
akan berdampak semakin lemahnya daya saing ekspor industri serta hanya
menguntungkan bagi barang-barang impor3. Jika demikian, kebijakan ini hanya
memperkuat nilai tukar secara semu dan hanya akan menimbulkan gejolak yang
tidak perlu.
Walaupun saat ini Bank Indonesia bersama pemerintah sudah dalam tahap
penyusunan RUU (Rancangan Undang-Undang), masih banyak kalangan yang
menganggap RUU Perubahan Harga Rupiah tidak perlu menjadi prioritas. Pro dan
kontra terhadap wacana kebijakan redenominasi mencerminkan suatu spekulasi
publik terhadap ketidakpastian dampak yang akan terjadi jika dilakukan
redenominasi pada mata uang Rupiah. Perdebatan ini sulit untuk dipecahkan
dengan metode survei atau kajian data sekunder, karena data belum ada di lapang.
Oleh karena itu, kajian mengenai dampak yang akan ditimbulkannya perlu dikaji
secara ilmiah melalui metode percobaan. Metode percobaan adalah cara yang
sangat baik untuk membangkitkan data yang kualitasnya lebih baik dari metode
survei dan mampu mengendalikan faktor-faktor yang mengganggu hubungan
sebab akibat (Juanda, 2010). Pada metode percobaan, interaksi antara para pelaku
ekonomi dalam membuat keputusan dapat memberikan gambaran mengenai
dampak kebijakan redenominasi, karena menurut Juanda (2010) data hasil
percobaan akan lebih mudah diinterpretasi dalam menyimpulkan hubungan sebab
akibat dibandingkan data hasil survei atau data historis (sekunder).
Perumusan Masalah
Studi yang dilakukan oleh Mosley (2005), teridentifikasi bahwa yang
menjadi pertimbangan bagi beberapa negara untuk melakukan redenominasi
adalah kombinasi dari faktor-faktor ekonomi serta politik, seperti inflasi, perhatian
pemerintah terhadap kredibilitas, dan dampak mata uang terhadap identitas
nasional. Mosley menyebutkan bahwa kebijakan redenominasi juga terkait dengan
2

Dapat diakses pada
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/01/29/21135591/Redenominasi.Tak.Bisa.Terlaksana.di.2014
3

Dapat diakses pada http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/98536-%5B_Konten_%5DRedenominasi%20Rupiah.pdf

6
faktor-faktor politik seperti rentang waktu pemerintahan, ideologi partai
pemerintah, fraksinalisasi dalam pemerintah dan parlemen, serta derajat
keberagaman sosial.
Ketika suatu negara berencana menerapkan redenominasi, ada tiga faktor
penting yang menjadi pertimbangan yaitu: nilai tukar, tingkat inflasi, dan bentuk
pemerintahan. Dari ketiga faktor tersebut, tingkat inflasi yang tinggi merupakan
faktor utama (most dominant driving factor) yang mendorong suatu negara
memutuskan untuk melakukan redenominasi mata uang (Suhendra dan Handayani,
2012). Jika negara mengalami hiperinflasi, pemerintah akan sulit dalam
mendapatkan kepercayaan dari pasar domestik dan internasional. Tingkat inflasi
yang tinggi akan menyebabkan semakin rendahnya nilai mata uang, sehingga akan
dibutuhkan denominasi (nilai) mata uang yang besar dalam setiap transaksi
perekonomian. Dengan kata lain, inflasi yang tinggi menjadi indikasi
ketidakmampuan pemerintah dalam menyeimbangkan anggaran dan bank sentral
dalam melakukan kebijakan moneter.
Penerapan redenominasi dapat berhasil bila perekonomian dalam keadaan
inflasi dan ekspektasi inflasi yang stabil dan rendah. Menurut Lianto dan
Suryaputra (2011) beberapa kondisi awal (initial condition) yang akan membuat
kebijakan redenominasi sukses diterapkan adalah: 1) tingkat inflasi yang rendah
sebelum, saat, dan sesudah redenominasi diterapkan; 2) pertumbuhan ekonomi
yang stabil; 3) adanya jaminan kestabilan harga-harga barang dan jasa; serta 4)
sosialisasi dan edukasi yang baik kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Ioana (2005) yang menyebutkan bahwa redenominasi
mata uang hanya akan sukses dilakukan hanya jika memenuhi dua kondisi berikut:
1) tingkat inflasi yang rendah dengan kecenderungan yang menurun; dan 2)
berhasilnya program reformasi dan restrukturisasi ekonomi, seperti pertumbuhan
PDB riil yang tinggi. Jika kondisi terebut tidak terpenuhi maka redenominasi
menjadi tidak berguna.
Indonesia yang saat ini berencana melakukan redenominasi telah
mengalami beberapa kali guncangan dan ketidakstabilan dalam nilai mata uang
maupun tingkat inflasi. Sebelum Indonesia merdeka, pada tahun 1944, nilai
Rupiah memiliki nilai yang hampir seimbang dengan dollar AS, yaitu Rp 1.88 per
dollar AS (Idris dan Setiawan, 2012). Lalu pada 7 Maret 1946 nilai Rupiah
pertama kali menurun sebesar 30 persen menjadi Rp 2.65 per dollar AS. Tahun
1950 pemerintah melakukan sanering dari pecahan Rp 5 ke atas, sehingga nilainya
menjadi setengah dari nilai semula. Kemudian sanering kedua berlanjut pada
tahun 25 Agustus 1959 pemerintah kembali melakukan pemangkasan nilai
Rupiah.
Tabel 2.
No
1
2
3
4
5
6
7

Tingkat Hiperinflasi di Indonesia
Tahun
1962
1963
1964
1965
1966
1967
1968

Sumber : World Bank, 2013

Tingkat Inflasi (%)
131
146
109
307
1 136
106
129

7
Tingkat inflasi yang tinggi akan berdampak pada pelemahan nilai mata
uang. Hal ini terlihat pada tahun 1960-an dimana Indonesia mengalami
hiperinflasi yang sangat tinggi yang puncaknya terjadi pada tahun 1966 sebesar
1136 persen, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Selanjutnya pada tahun 1971 nilai
Rupiah terdepresiasi hingga mencapai Rp 415 per dollar AS. Setelah 68 tahun
merdeka, Rupiah sekarang telah berada di sekitar level Rp 11 000 per dollar AS.
Karena nilai yang semakin melemah itulah menjadi salah satu alasan pemerintah
ingin meningkatkan martabat Rupiah. Saat ini dianggap sebagai waktu yang tepat
karena tingkat inflasi di Indonesia relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir
bahkan dapat dikatakan bertipe creeping inflation atau berada di sekitar satu digit
tiap tahunnya. Inflasi yang stabil mencerminkan kestabilan harga pada beberapa
barang yang membentuk tingkat harga konsumen. Kondisi ini dapat dilihat pada
Gambar 3

Gambar 3.

Tingkat Inflasi di Indonesia Tahun 1999-2013 (%)

Sumber: World Bank 2013

Selain indikator tingkat inflasi, stabilitas perekonomian dalam suatu
negara merupakan tujuan utama pembuat kebijakan dalam mengarahkan berbagai
instrumen fiskal dan moneter. Stabilitas perekonomian adalah prasyarat bagi
tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kepastian dalam
memberikan jaminan investasi di suatu negara. Dengan demikian stabilitas
pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kegiatan perekonomian dalam bentuk
perdagangan barang/jasa dan transaksi keuangan. Pertumbuhan ekonomi di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini dapat dikatakan stabil berada di
sekitar 5–6 persen per tahunnya serta memiliki kecenderungan yang meningkat,
hal ini diperlihatkan pada Gambar 4. Keadaan yang baik ini juga harus diimbangi
dengan tersedianya mata uang sebagai alat tukar pembayaran atas barang dan jasa
dalam jumlah yang memadai.

Gambar 4.

Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1999-2013 (%)

Sumber: World Bank 2013

8
Nilai kurs Rupiah yang stabil juga dapat menggambarkan kekuatan
perekonomian dalam negeri dalam menghadapi tekanan ekonomi global. Stabilitas
Rupiah mencerminkan kekuatan otoritas moneter dalam mengendalikan nilai mata
uang dan membuktikan meningkatnya daya saing perekonomian dalam negeri
dimata dunia. Pada kurun waktu tiga tahun terakhir pergerakan Rupiah cenderung
stabil di kisaran Rp 8 000-9 000 per dollar AS. Meski pada tahun 2009 terjadi
depresiasi Rupiah hingga mencapai Rp 10 000 per dollar AS dikarenakan
pengaruh krisis global. Gambar 5 menggambarkan pergerakan kurs Rupiah
terhadap US $ beberapa tahun terakhir.

Gambar 5.

Pergerakan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah terhadap 1 Dollar
AS Tahun 1999-2013

Sumber: Bank Indonesia

Dampak positif dari redenominasi seperti meningkatnya kredibilitas
Rupiah yang dijadikan tujuan oleh pemerintah, terdapat juga dampak negatif yang
akan terjadi jika diterapkan kebijakan redenominasi. Salah satunya adalah
kemungkinan masyarakat salah persepsi dengan mengira meredenominasi adalah
sanering. Sanering adalah kebijakan penghilangan angka nol pada mata uang,
namun pemotongan tersebut tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga
daya beli masyarakat menurun. Pemahaman mengenai redenominasi yang salah
pada masyarakat dapat menimbulkan kepanikan yang dapat membuat situasi
ekonomi mengalami gejolak.
Jika redenominasi dilaksanakan akan terjadi peningkatanbiaya operasional
perusahaan dan perbankan karena mengganti sistem informasi dan teknologinya.
Pergantian sistem tersebut membutuhkan waktu penyesuaian dalam penerapan
teknologi akuntansi untuk menyesuaikan dengan penyederhanaan nominal. Bank
Indonesia juga akan mengeluarkan biaya yang besar untuk mencetak uang baru
setelah redenominasi dan sosialisasi publik. Selain itu dampak sosial lain berupa
ketidakpercayaan masyarakat terhadap Rupiah (Kesumajaya, 2011).
Berdasarkan pernyataan Wibowo (2013), dampak yang akan muncul
karena perubahan nominal mata uang adalah munculnya bias psikologis yang
disebut money illusion. Sebagian besar masyarakat akan mempersepsikan bahwa
harga barang menjadi lebih murah karena dihilangkannya nilai nol dari mata uang
sebelum redenominasi. Sebagai contoh, misalkan terjadi kenaikan harga barang
sebesar Rp 7 000, hal tersebut dirasakan sangat berat oleh konsumen. Namun
ketika setelah terjadinya redenominasi kenaikan Rp 7 dirasakan lebih ringan oleh
masyarakat. Padahal kenaikan tersebut mempunyai nilai yang sama. Konsumen
kurang memperhatikan proses re-scaling dari nominal Rupiah yang lama ke

9
nominal Rupiah yang baru. Money Illusion akan semakin memberikan efek ketika
konsumen akan melihat kembali nilai riil dari barang yang telah mereka beli
akibat berubahnya harga nominal secara serentak. Apabila kenaikan harga tidak
terjadi secara seragam setelah terjadinya redenominasi, konsumen akan mencoba
melakukan perhitungan kembali dalam nilai riil pada barang yang akan mereka
beli dalam nominal Rupiah yang baru, proses ini disebut re-learning.
Redenominasi mendorong perilaku konsumsi menjadi lebih besar. Harga
baru yang dirasakan lebih murah karena terjadinya money illusion membuat
willingness to pay (kemauan untuk membayar) dari konsumen menjadi meningkat.
Melihat perubahan dari perilaku masyarakat tersebut, produsen barang akan
meningkatkan harga hingga batas yang masih ditolelir oleh konsumen. Produsen
sebagai individual yang dianggap rasional akan melakukan pembulatan harga
barang tersebut ke atas. Namun di sisi lain, redenominasi dapat mengurangi
konsumsi karena adanya ketakutan adanya inflasi sehingga menyebabkan orang
mengalihkan untuk memegang barang terutama yang nilainya tahan terhadap
inflasi. Hal ini menyebabkan penukaran Rupiah dengan mata uang yang lebih kuat
menyebabkan penurunan nilai Rupiah terhadap mata uang lain.
Berdasarkan latar belakang dan berbagai kondisi terkait dengan kebijakan
redenominasi yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak redenominasi terhadap perubahan harga, jumlah transaksi
dan nilai transaksi?
2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan redenominasi?
3. Bagaimana dampak redenominasi terhadap kinerja perekonomian yang dapat
dilihatindikator tingkat inflasi?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji dampak kebijakan redenominasi terhadap perubahan harga, jumlah
transaksi dan nilai transaksi.
2. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap kebijakan redenominasi.
3. Mengevaluasidampak kebijakan redenominasi terhadap kinerja perekonomian
yang dilihat dari indikator tingkat inflasi.
Manfaat dan kontribusi hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan kepada Bank Indonesia dan pemerintah khususnya Badan Kebijakan
Fiskal Kementerian Keuangan dalam penyusunan RUU Perubahan Harga Rupiah
sehingga dapat bermanfaat bagi perekonomian nasional saat ini dan masa yang
akan datang.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini akan terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama untuk mengkaji dampak kebijakan redenominasi terhadap
perubahan harga, jumlah transaksi dan nilai transaksi digunakan data yang
diperoleh dari data primer hasil metode percobaan ekonomi (eksperiment).

10
Redenominasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan penghapusan
tiga angka nol pada nilai mata uang Rupiah, unit harga, unit upah serta segala
sesuatu yang dimiliki dengan nominal Rupiah. Tujuan penelitian yang kedua
menggunakan data yang didapatkan dari data primer dengan metode survei.
Dalam mengevaluasi dampak dari kebijakan redenominasi terhadap kinerja
perekonomian menggunakan data sekunder yang berasal dari data historis negara–
negara yang telah melakukan redenominasi.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Nilai Rupiah

Redenominasi merupakan penyederhanaan denominasi (pecahan) mata
uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan mengurangi angka tanpa mengurangi
nilai mata uang tersebut. Redenominasi merupakan penyederhanaan dari nilai atau
nominal yang tertera pada mata uang tertentu tanpa memotong nilai tukar uang itu
sendiri, disertai dengan penyesuaian harga komoditas di pasaran dan nilai tukar
dengan valuta asing (valas). Uang Rupiah mempunyai pecahan terbesar kedua di
dunia sehingga sudah tidak efisien untuk bertransaksi. Bank Indonesia
mewacanakan rencana redenominasi Rupiah ini dengan tujuan efisiensi
penyederhanaan penghitungan dalam sistem pembayaran.
Berdasarkan Kesumajaya (2011) tahapan rencana pelaksanaan
redenominasi Rupiah adalah sebagai berikut: (a) Tahun 2011-2012 akan dilakukan
sosialisasi serta persiapan sistem akuntansi dan pencatatan seluruh kegiatan
perekonomian; (b) Tahun 2013-2015 adalah masa transisi. Pada masa transisi
digunakan dua mata uang Rupiah dengan istilah Rupiah lama dan Rupiah baru.
Pada masa ini masyarakat juga bisa menggunakan dua jenis mata uang; (c) Tahun
2016-2018 dilaksanakan proses penarikan uang lama dilakukan; (d) Tahun 20192020 tahap keterangan baru dalam uang redenominasi akan dihapus dan sejak saat
itu semua masyarakat akan melakukan transaksi jual beli dengan uang baru yang
telah di redenominasi.
Redenominasi berbeda dengan sanering. Redenominasi mata uang tidak
akan menyebabkan kenaikan harga karena harganya juga ikut terpotong. Lain
halnya dengan sanering. Mata uang yang mengalami sanering akan berkurang
nilainya namun harga-harga barang tidak dijamin untuk ikut turun. Sanering
merupakan upaya memotong Rupiah karena melejitnya angka inflasi yang tak
kunjung turun atau inflasi tidak terkendali. Dengan demikian, sanering akan
mengurangi daya beli uang sedangkan redenominasi tidak mengurangi daya beli.
Sanering dilakukan saat kinerja ekonomi memburuk, sedangkan redenominasi
dijalankan saat kinerja ekonomi prima. Indonesia sendiri pernah melakukan
sanering pada tahun 1965. Pada saat itu, Rupiah dipotong nilainya dari 1 000
menjadi 1 Rupiah di mana harga barang tidak ikut turun. Akibatnya adalah inflasi
yang sangat tinggi. Indonesia memiliki pengalaman tiga kali melakukan sanering.
Pertama, sanering dilakukan pada 19 Maret 1950 dengan memangkas Rp 5
menjadi Rp 2. Sanering kedua dilakukan pada 25 Agustus 1959 dengan
memangkas Rp 1 000 menjadi Rp 100. Sanering terakhir terjadi pada 13
Desember 1965 dengan memotong Rp 1 000 menjadi Rp 1.

11
Keterkaitan Redenominasi dengan Kinerja Perekonomian
Hingga saat ini belum banyak studi yang mengkaji peranan redenominasi
terhadap kinerja perekonomian. Namun ada beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa keputusan suatu negara dalam melakukan kebijakan redenominasi sangat
dipengaruhi oleh kondisi perekonomian sebelumnya. Selain itu, perubahan
indikator-indikator ekonomi di suatu negara juga dapat dipengaruhi oleh
penerapan kebijakan redenominasi mata uangnya.
Suhendra dan Handayani (2012) mengkaji keterkaitan kebijakan
redenominasi dengan tingkat inflasi, nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan nilai
ekspor. Dengan menggunakan data indikator-indikator ekonomi dari 27 negara
yang melakukan redenominasi, terlihat bahwa inflasi dan pertumbuhan ekonomi
adalah variabel yang secara signifikan terpengaruh oleh redenominasi mata uang.
Sementara itu, tingkat inflasi yang tinggi merupakan faktor utama (most dominant
driving factor) yang mendorong suatu negara memutuskan untuk melakukan
redenominasi mata uang. Temuan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Mosley (2005) yang menyatakan inflasi saat ini dan masa lalu adalah prediktor
terpenting dari dilakukan atau tidaknya redenominasi.
Ioana (2005) melakukan studi mengenai manfaat jangka panjang dari
redenominasi, alasan pemilihan waktu untuk implementasi redenominasi, dan
pengaruhnya terhadap harga. Hasil kajian menunjukkan dampak jangka panjang
dari redenominasi adalah: 1) terbangunnya kepercayaan publik terhadap mata
uang domestik; 2) meningkatnya tabungan dalam mata uang domestik; serta 3)
uang yang disimpan di luar sistem keuangan nasional akan masuk ke dalam pasar.
Redenominasi mata uang akan sukses dilakukan hanya jika memenuhi dua kondisi
berikut: 1) tingkat inflasi yang rendah dengan kecenderungan yang menurun; dan
2) berhasilnya program reformasi dan restrukturisasi ekonomi, seperti
pertumbuhan PDB riil yang tinggi. Jika kondisi terebut tidak terpenuhi maka
redenominasi menjadi tidak berguna. Ioana (2005) juga menyatakan indikatorindikator yang perlu dimonitor untuk menilai dampak redenominasi yaitu Indeks
Harga Konsumen, daya beli masyarakat, nilai tukar, rata-rata deposito 1-bulan,
Indeks Kepercayaan Konsumen, dan Indeks Kepercayaan Bisnis.
Keterkaitan Redenominasi dengan Perilaku Pelaku Ekonomi
Dampak yang paling sering muncul terjadi dalam penerapan redenominasi
adalah munculnya bias psikologis yang disebut money illusion (Wibowo, 2013).
Ilusi ini dapat muncul karena perubahan nominal harga barang akibat
redenominasi. Sebagian besar masyarakat akan mempersepsikan bahwa harga
barang menjadi lebih murah karena dihilangkannya nilai nol dari mata uang
terdahulu. Hobijn et al. (2006) juga menunjukkan bahwa telah terjadi money
illusion di negara Eropa yang telah melakukan perubahan mata uang menjadi Euro.
Euro yang nominalnya lebih sedikit dibandingkan mata uang sebelumnya
dirasakan lebih murah oleh masyarakat. Hobijn et al. (2006) berpendapat
peningkatan harga setelah redenominasi dapat dijelaskan dangan model umum
dari biaya harga menu, dengan memasukkan keputusan perusahaan ketika mereka
mengadopsi mata uang yang baru.

12
Selanjutnya konsumen akan mengevaluasi kembali manajemen strategi
uang mereka untuk beradaptasi dengan mata uang baru terutama ketika
diperkenalkan mata uang yang baru khususnya ketika mata uang yang baru dan
mata uang yang lama dipergunakan secara bersama-sama, menunggu waktu untuk
menghilangkan mata uang yang lama. Marques dan Dehaene (2004)
mengemukakan bahwa terdapat dua proses utama yang dapat terjadi ketika sebuah
negara mengadaptasi mata uang yang baru : rescaling (mengubah semua harga
pada mata uang lama ke nilai pada mata uang yang baru pada waktu yang sama)
atau re-learning ( mengingat harga yang baru dari barang konsumen secara satu
persatu). Proses pertama diprediksikan akan mengalami penyesuaian yang mudah
pada mata uang yang baru, sementara proses kedua akan mengalami penyesuaian
yang lebih lama dan rumit.
Sementara itu Money/Euro Illution memperlihatkan persepsi harga dalam
denominasi baru yang lebih kecil dan mata uang yang lebih rendah daripada
ketika dinyatakan dalam bentuk mata uang yang lama jika memiliki nilai nominal
yang lebih tinggi. (Gambleet al,2002). Hal ini menunjukkan bahwa individu
menyesuaikan diri dengan mata uang baru dengan nilai nominal yang lebih kecil,
setidaknya, mereka mengalami kesulitan dalam memahami nilai sebenarnya dari
barang dan jasa. Efek money Illusion pun dapat terjadi pada barang-barang yang
harganya murah atau kenaikan harganya hanya beberapa koin sen saja. Apabila
ketersediaan koin sen tidak dicukupi oleh pemerintah, konsumen akan cenderung
membiarkan kenaikan harga tersebut tanpa menuntut adanya uang kembalian dari
penjual, hal tersebut disebut trivialization.
Kasus trivalization dapat dilihat pada Ghana dimana tingkat inflasinya
meningkat sebesar lima persen dalam satu tahun setelah redenominasi. Salah satu
faktor penyebab kegagalan redenominasi di Ghana adalah 70 persen uang beredar
yang di Ghana berada di luar sistem perbankan.Transaksi tunai di Ghana lebih
dominan dibandingkan dengan transaksi melalui perbankan. Kondisi ini
diperparah oleh pemerintah yang belum juga dapat mengganti mata uang yang
baru dengan mata uang yang lama setelah dua tahun redenominasi. Mehdi dan
Motiee (2012) juga mengungkapkan bahwa pengurangan nilai nominal mata uang
akan mempunyai pengaruh secara psikologi dan sosial. Ketika mata uang
memiliki nilai nominal yang rendah, maka masyarakat akan merasa mata uang
tersebut bernilai kuat.
Lianto dan Suryaputra (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui
dampak dari implementasi redenominasi di Indonesia berdasarkan perspektif
masyarakat Indonesia. Dari data yang diperoleh dengan metode survei sebanyak
100 orang yang paham akan redenominasi dan dianalisis menggunakan Structural
Equation Modelling, terlihat bahwa dampak terbesar dari redenominasi adalah
dapat meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata negara lain. Temuan lainnya
adalah masyarakat Indonesia menganggap redenominasi akan dapat
menguntungkan mereka. Jika redenominasi sukses diimplementasikan, mata uang
Rupiah akan menjadi semakin kuat dan menambah kepercayaan diri masyarakat
terhadap mata uangnya. Tabel 3merupakan beberapa literatur terdahulu terkait
dengan re