Kisaran Inang Squash mosaic comovirus Isolat Oyong (Luffa acutangula L. Roxb)

KISARAN INANG Squash mosaic comovirus ISOLAT OYONG
(Luffa acutangula L. Roxb)

EGI PUSPITA SARI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kisaran Inang Squash
mosaic comovirus Isolat Oyong (Luffa acutangula L. Roxb) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Egi Puspita Sari
NIM A34100060

ABSTRAK
EGI PUSPITA SARI. Kisaran Inang Squash mosaic comovirus Isolat Oyong
(Luffa acutangula L. Roxb). Dibimbing oleh TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Squash mosaic virus (SqMV) (Comoviridae: Comovirus) merupakan salah
satu virus yang menginfeksi tanaman Cucurbitaceae dan dilaporkan merugikan
secara ekonomi. SqMV telah banyak dilaporkan di berbagai negara di dunia
namun di Indonesia virus ini relatif baru ditemukan, sehingga penelitian maupun
informasi mengenai virus ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui salah satu sifat biologi virus yaitu kisaran inangnya.
Pengamatan lapangan dilakukan di daerah Bogor untuk mengetahui tingkat
kejadian penyakit dan koleksi sampel. Kisaran inang SqMV diuji melalui
penularan secara mekanis terhadap 16 spesies dari 5 famili tanaman yang berbeda.
Peubah yang diamati yaitu masa inkubasi, tipe gejala, dan kejadian penyakit.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa gejala mosaik ditemukan pada semua
lokasi budidaya tanaman oyong yang diamati (Leuwikopo, Cikabayan, dan Bantar

Jaya) dengan persentase kejadian penyakit antara 51.11% sampai 63.33%. Uji
kisaran inang menunjukkan bahwa SqMV isolat oyong dapat menginfeksi
sistemik tiga famili tanaman yaitu Cucurbitaceae (timun, melon, paria, dan labu
siam), Solanaceae (tembakau, ciplukan, dan kecubung), dan Amaranthaceae
(bunga kenop) serta menimbulkan infeksi lokal pada famili Chenopodiaceae
(Chenopodium amaranticolor dan C. quinoa). Tanaman yang tidak terinfeksi
SqMV yaitu famili Cucurbitaceae (labu kuning), Solanaceae (cabai, tomat, dan
tembakau cleveland), dan famili Leguminosae (kacang panjang dan buncis).
Kata kunci: kisaran inang, oyong, SqMV

ABSTRACT

EGI PUSPITA SARI. Host Range of Squash mosaic comovirus Ridged Gourd
Isolate (Luffa acutangula L. Roxb). Supervised by TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Squash mosaic virus (SqMV) (Comoviridae: Comovirus) is one of plant
virus that infect Cucurbitaceae which caused economically yield loss. SqMV had
been reported in various countries in the world, however it is newly found in
Indonesia. Thus, the research and information related with it’s biological character
such as it’s host range is few. Therefore, the aim of the study is to determine the
host range of SqMV ridged gourd isolate. The disease incidence and samples

collection are conducted by field observation in several ridged gourd cultivation
areas in Bogor. Host range of SqMV is tested by mechanical inoculation of 16
plants species from 5 different families. The incubation period, the type of
symptom, and the disease incidence were observed. Results showed that the
mosaic symptoms found in all cultivation areas in Bogor (Leuwikopo, Cikabayan,
dan Bantar Jaya) with the disease incidence ranges from 51.11% to 63.33%.
SqMV isolate ridged gourd could infect sistemically of several plants such as
Cucurbitaceae (Cucumis sativus, C. melo, Sechium edule, and Momordica
charantia), Solanaceae (Nicotiana tabacum, Physalis floridana, and Datura
stramonium), and Amaranthaceae (Gomphrena globosa). SqMV could infect
locally on Chenopodiaceae (Chenopodium amaranticolor and C. quinoa), whereas
some plants species unable to be infected by SqMV such as Cucurbitaceae
(Cucurbita pepo), Solanaceae (Lycopersicon esculentum, Capsicum annuum, and
N. clevelandii) and Leguminosae (Vigna sinensis and Phaseolus vulgaris)
Keywords : host range, ridged gourd, SqMV

KISARAN INANG Squash mosaic comovirus ISOLAT OYONG
(Luffa acutangula L. Roxb)

EGI PUSPITA SARI


Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

10

11

Judul Skripsi : Kisaran Inang Squash mosaic comovirus Isolat Oyong
(Luffa acutangula L. Roxb)
Nama

: Egi Puspita Sari
NIM
: A34100060

Disetujui oleh

Dr Ir Tri Asmira Damayanti MAgr
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Abjad Asih Nawangsih MSi
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

12

13


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir dengan
judul “Kisaran Inang Squash mosaic comovirus Isolat Oyong (Luffa acutangula L.
Roxb)” sebagai salah satu syarat mendapat gelar Sarjana Pertanian, di Departemen
Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama proses penyelesaian tugas akhir, khususnya kepada keluarga,
Ibunda Latifah, Ayahanda Djoko Suratno, kakak, serta adik yang selalu
memberikan doa dan dukungan dalam penyelesaian tugas akhir. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Tri Asmira Damayanti MAgr selaku
dosen pembimbing tugas akhir yang telah banyak memberi masukan dan saran
selama penelitian hingga penyusunan tugas akhir, serta Dr Ir Yayi Munara
Kusuma MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama periode akademik berlangsung. Terima kasih penulis
sampaikan pula kepada Endang Sri Ratna PhD selaku dosen penguji tamu.
Rasa terimakasih juga penulis sampaikan kepada kepada Dayang Diani
Putri, Gita Sri Lestari, dan Titah Nurjannah yang telah membantu penulis selama
proses pengumpulan data. Terimakasih kepada Sari Nurulita SP MSi,
Fitrianingrum Kurniawati SP MSi, seluruh anggota laboratorium Virologi

Tumbuhan dan teman-teman Proteksi Tanaman angkatan 47.
Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Egi Puspita Sari

14

15

16

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode

Pengamatan Gejala dan Kejadian Penyakit Mosaik Pada
Tanaman Oyong
Sumber Inokulum dan Perbanyakan Virus
Persiapan Media Tanam dan Tanaman Uji
Komposisi Media Tanam
Persiapan Tanaman Uji
Penularan Virus Secara Mekanis
Parameter Pengamatan.
Deteksi Serologi dengan DIBA (Dot Immunobinding Assay)
Blotting.
Blocking
Antibodi 1
Antibodi 2
Pewarnaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengamatan Kejadian Penyakit
Sumber Inokulum Virus
Kisaran Inang
Pembahasan

SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

1
1
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
4
5
5

5
5
5
5
5
6
6
6
7
8
14
16
16
17
19

17

18


DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Spesies tanaman yang digunakan pada uji kisaran inang
Hasil pengamatan kejadian penyakit mosaik di daerah Bogor, Jawa Barat
Hasil deteksi virus terhadap isolat tanaman oyong dari tiga lokasi berbeda
Hasil penularan mekanis SqMV isolat oyong pada 16 spesies tanaman uji

4
6
7
8

DAFTAR GAMBAR

1 Gejala mosaik yang ditemukan pada tiga lokasi pertanaman oyong. a:
Cikabayan (bercak klorosis), b: Leuwikopo (mosaik hijau gelap-terang),
dan c: Bantar Jaya (mosaik hijau-kuning dan vein clearing). ............................ 6
2 Gejala fenotip tanaman oyong yang terinfeksi virus SqMV hasil penularan
secara mekanis. a: bercak klorosis, b: mosaik hijau-kuning dan vein
clearing, c: moasik hijau gelap-terang dan lepuhan, d: tanaman sehat. ............ 7
3 Gejala hasil penularan mekanis pada (a-c) timun, (d-f) melon, (g-i) pare
dan (j-l) labu siam. a,d,g,j: tanaman sehat; b: mosaik hijau gelap terang
berat, c: mosaik hijau gelap-terang ringan, e: vein clearing, f: mosaik
hijau gelap-terang ringan, h: bercak klorosis sistemik dan vein clearing, i:
mosaik hijau gelap-terang berat, k: bercak klorosis sistemik, l: mosaik
hijau-kuning. .................................................................................................... 10
4 Gejala hasil penularan mekanis pada (a-c) kecubung, (d-f) tembakau, (g-i)
ciplukan. a,d,g: tanaman sehat, b: daun menggulung dan kaku, c: mosaik
hijau gelap-terang, e: daun lebih lanset dan kaku, f: vein banding dan
klorosis sistemik, h: mosaik hijau-kuning, i: mosaik hijau-kuning dan
mengering. ........................................................................................................ 11
5 Gejala hasil penularan mekanis pada (b-c) C. amaranticolor, (e-f) C.
quinoa. a,d: tanaman sehat, b: klorosis lokal ringan kuning, c: lesio lokal
nekrotik (LLN) berat dengan halo merah keunguan, e: klorosis lokal
ringan, f: lesio lokal nekrotik (LLN) berat....................................................... 12
6 Gejala hasil penularan mekanis pada G. globosa. a: tanaman sehat, b: daun
menggulung dan bergelombang, c: mosaik hijau gelap-terang dan keriting. .. 12
7 Tanaman yang tidak menunjukkan gejala setelah diinokulasi SqMV(a,b)
labu kuning, (c,d) kacang panjang, (e,f) buncis, (g,h) tomat, (i,j) cabai,
(k,l) tembakau cleveland. (a,c,e,g,i,k) kontrol, (b,d,f,h,j,l) daun tanaman
yang diinokulasi. .............................................................................................. 13

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Oyong (Luffa acutangula L. Roxb) merupakan salah satu tanaman
monoecious yang tergolong ke dalam famili Cucurbitaceae dengan genus Luffa
(Stephen 2012). Selain di Indonesia, oyong banyak dibudidayakan di berbagai
negara di dunia seperti China, Korea, India, Jepang, dan Amerika. Selain dapat
digunakan sebagai bahan makanan, oyong juga dapat dijadikan sebagai bahan
baku obat tradisional (diabetes, enteritis, dan demam), bahan baku industri
pembuatan alas bagian dalam sepatu, bahan baku kosmetik dan bahan pembuatan
spons (Dashora et al. 2013).
Oyong berupa tanaman rambat yang biasanya dibudidayakan dengan cara
dililitkan pada sandaran tegak. Tanaman ini menghasilkan buah yang berbentuk
silindris memanjang dengan garis longitudinal berwarna hijau dengan permukaan
yang kasar. Satu individu tanaman dapat menghasilkan 15 sampai 20 buah atau 8
sampai 12 ton per hektar dengan ukuran buah berkisar 27 cm sampai 30 cm (Oboh
dan Aluyor 2009). Tanaman ini dapat tumbuh secara optimal di daerah yang
bersuhu 18 °C sampai 24 °C dengan kelembaban 50% sampai 60%. Lahan
budidaya harus memiliki sistem aerasi dan drainase yang baik, subur, dan gembur
dengan pH antara 5.5-6.8 (Edi dan Bobihoe 2010).
Gangguan OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merupakan salah satu
faktor yang dapat menurunkan hasil produksi. Berbagai penyakit tanaman yang
pernah dilaporkan menyerang tanaman ini diantaranya busuk sclerotium
(Sclerotinia sclerotiorum), embun tepung (Erysiphe cichoracearum), embun bulu
(Pseudoperonospora cubensis), nematoda (Meloidogyne spp.), dan virus tanaman
(Soladoye dan Adibisi 2004; Mondal et al. 2014).
Squash mosaic comovirus (SqMV; Comovirus) merupakan salah satu virus
yang dapat menimbulkan gejala mosaik pada tanaman Cucurbitaceae. SqMV
berhasil diidentifikasi dan dipublikasikan secara resmi pertama kali di California
pada tahun 1934, dimana virus ini menjadi masalah pada pertanaman hortikultura
di California (Nelson dan Knuhtsen 1973). SqMV pertama kali dilaporkan di Iran
(Izadpanah 1987), kemudian di Australia, Selandia Baru (Envirologix 1998),
Israel, Jepang, Cina (Han et al. 2002), dan terdeteksi secara serologi di Indonesia
pada timun (Rezania 2005), melon (Purba 2011), dan benih Cucurbitaceae
(Lestari 2011).
SqMV merupakan virus dengan RNA utas tunggal yang terdiri atas RNA1 (5900 nt) dan RNA-2 (3600 nt), bentuk partikel isometrik dengan diameter 28
nm sampai 30 nm. Partikel virus tidak terbungkus (tanpa amplop) tanpa susunan
capsomer yang mencolok. Partikel virus dapat ditemukan pada tiap bagian
tanaman yang terinfeksi (Haudenshield dan Palukaitis 1998). Sifat fisik SqMV
secara in vitro: titik panas inaktivasi (thermal inactivation point) antara 70 °C
sampai 80 °C, ketahanan in vitro (longevity in vitro) selama 30 hari, dengan titik
batas pengenceran (dilution end point) sebesar log10-4 sampai log 10-6 (Campbell
1985).
SqMV dapat menginfeksi hampir sebagian besar tanaman yang termasuk
dalam famili Cucurbitaceae seperti melon, mentimun, dan labu kuning dengan
tipe gejala yang bervariasi, tetapi SqMV sangat jarang ditemukan menginfeksi

2
tanaman semangka. Gejala awal pada tanaman labu kuning berupa bercak
berwarna kuning pada daun muda, kemudian berkembang menjadi mosaik hijau
gelap dan terang. Pada tanaman timun bercak kuning pada daun pertama
berkembang menjadi penebalan tulang daun (vein-banding). Pada daun yang tua
gejala sulit diamati seperti tanpa gejala (no symptom), sehingga virus ini sulit
diketahui jika hanya melihat gejalanya saja (Hull 2002). Gejala awal SqMV pada
tanaman melon, timun, kabocha, labu kuning, dan semangka berupa mosaik
sistemik ringan dan bercak kekuningan pada daun muda, gejala lanjut berupa
mosaik disertai dengan malformasi bentuk daun dan buah serta penurunan
produksi tanaman. Selain SqMV, beberapa virus lain yang dapat berasosiasi dan
menimbulkan gejala mosaik yang serupa pada Cucurbitaceae diantaranya
Cucumber mosaic virus (CMV), Papaya ringspot virus (PRSV), Watermelon
mosaic virus (WMV), Zucchini yelow mosaic virus (ZYMV), dan Tobacco
ringspot virus (TRSV) (Coutts 2006; Babadoost 1999).
SqMV dapat ditularkan secara non persisten di lapangan dengan bantuan
serangga vektor kumbang, yaitu Acalymma trivittata (Mam), Epilachna
paunelata, Henosepilachna vigintiocto punctata, Diabrotica balteata Le Conk,
Acalymma thiemei thiemei Buly, Epilachna chrysomelina (Babadoost 1999;
Coutts 2006). Vektor menjadi infektif setelah 5 menit makan akuisisi pada
tanaman terinfeksi (Babadoost 1999).
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
93/Permentan/OT.140/12/2011 menyatakan bahwa SqMV masih tergolong ke
dalam OPTK A1. Penelitian terkait respon ketahanan galur melon, timun, dan
efisiensi tular benih SqMV pada Cucurbitaceae pernah dilakukan sebelumnya
(Rezania 2005; Purba 2011; Lestari 2011), namun sampai saat ini informasi
terkait sifat biologi SqMV khususnya isolat oyong belum ada, sehingga perlu
dilakukan penelitian terkait hal tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan mengetahui kisaran inang SqMV
isolat tanaman oyong untuk mendapatkan informasi dasar sifat biologi virus.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi
sifat biologi SqMV isolat oyong yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
menentukan strategi pengendalian.

3

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan dan
Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan dari bulan
Januari sampai Mei 2014.
Metode
Pengamatan Gejala dan Kejadian Penyakit Mosaik Pada Tanaman Oyong
Pengamatan dilakukan terhadap berbagai tipe gejala mosaik yang
ditunjukkan tanaman pada pertanaman oyong di Desa Leuwikopo, Cikabayan, dan
Bantar Jaya Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Persentase kejadian penyakit mosaik
dihitung menggunakan rumus:
KP =

x 100%

dengan,
KP
= Kejadian Penyakit (%)
n
= Jumlah tanaman yang menunjukkan gejala
N
= Total keseluruhan tanaman yang diamati
Sumber Inokulum dan Perbanyakan Virus
Sumber inokulum dikumpulkan dari pertanaman oyong di Desa Leuwikopo,
Cikabayan, dan Bantar Jaya. Sumber inokulum diperbanyak pada tanaman oyong
sehat kultivar Pagoda dengan tujuan untuk mengeliminasi virus lain yang hanya
dapat ditularkan melalui serangga vektor. Hasil perbanyakan inokulum kemudian
dideteksi secara serologi menggunakan antiserum CMV dan SqMV dengan
metode DIBA (Dot Immunobinding Assay), serta dilakukan konfirmasi deteksi
asam nukleat dengan RT-PCR menggunakan primer spesifik SqMV dan CMV
serta primer universal Potyvirus. Inokulum yang terdeteksi positif terinfeksi
tunggal oleh SqMV dan negatif terhadap virus lain kembali diperbanyak dengan
cara diinokulasikan secara mekanis pada tanaman oyong sehat lain dan dijadikan
sebagai sumber inokulum.
Persiapan Media Tanam dan Tanaman Uji
Komposisi Media Tanam. Media tanam yang digunakan terdiri atas
campuran tanah dan pupuk kandang steril dengan perbandingan 2:1 dan
ditempatkan pada polybag berukuran 20 cm x 25 cm.
Persiapan Tanaman Uji. Pengujian kisaran inang mengggunakan enam
belas spesies tanaman dari lima famili berbeda yaitu dari famili Solanaceae antara
lain cabai (Capsicum annuum L.), tomat (Lycopersicon esculentum L.), ciplukan
(Physalis floridana Rydb), kecubung (Datura stramonium L.), tembakau clevelan
(Nicotiana clevelandii A. Gray), dan tembakau (Nicotiana tabacum L. Cv. White
Burley), famili Leguminosae yaitu kacang panjang (Vigna sinensis L.) dan buncis
(Phaseolus vulgaris L.), famili Cucurbitaceae yaitu tanaman timun (Cucumis
sativus L.), labu kuning dengan warna daging buah kuning dan kulit buah orange
(Cucurbita pepo L.), labu siam (Sechium edule Jacq. Swartz), pare (Momordica

4
charantia L.), dan melon (Cucumis melo L.), famili Chenopodiaceae
(Chenopodium amaranticolor Coste et Reyn) dan (Chenopodium quinoa), serta
tanaman dari famili Amaranthaceae yaitu bunga kenop (Gomphrena globosa L.).
Benih tanaman tembakau, tembakau cleveland, tomat, cabai, kecubung,
ciplukan, C. quinoa, C. amaranticolor, dan bunga kenop disemai terlebih dahulu,
setelah berkecambah bibit kemudian dipindah (transplanting) kedalam polybag
yang berdiameter 20 cm. Buah labu siam ditanam langsung dalam polybag yang
berisi media tanam sampai berkecambah. Benih kacang panjang, buncis, timun,
pare, labu kuning, dan melon ditanam 2 sampai 3 benih tiap polybag. Setelah
benih tumbuh, dipilih satu bibit tanaman yang tumbuh paling baik untuk dijadikan
tanaman uji. Tanaman dipelihara pada rumah kaca yang dikondisikan kedap
serangga sampai tanaman siap diinokulasi. Setiap spesies tanaman masing-masing
terdiri atas sepuluh tanaman uji. Inokulasi mekanis dilakukan pada bagian
tanaman dan umur yang berbeda sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan oleh
Walkey (1991) untuk tiap jenis tanaman uji (Tabel 1).
Tabel 1 Spesies tanaman yang digunakan pada uji kisaran inang
Bagian tanaman yang
Spesies tanaman
Umur saat inokulasi
diinokulasi
Cucurbitaceae
C. sativus
10 hari
Kotiledon
C. melo
2 minggu
Daun muda
C. pepo
2 minggu
Daun muda
S. edule
2 minggu
Daun muda
M. charantia
2 minggu
Daun muda
Solanaceae
C.annuum
2 minggu
Daun muda
L. esculentum
2 minggu
Daun muda
N. tabacum
5 minggu
Daun muda
N. clevelandii
5 minggu
Daun muda
P. floridana
4 minggu
Daun muda
D. stramonium
4 minggu
Daun muda
Leguminosae
V. sinensis
1 minggu
Daun muda
P. vulgaris
1 minggu
Daun muda
Chenopodiaceae
C. amaranticolor
2 bulan
Daun tua
C. quinoa
2 bulan
Daun tua
Amaranthaceae
G. globosa
10 minggu
Daun muda
Sumber : Walkey 1991

Penularan Virus Secara Mekanis
Penularan virus dilakukan secara mekanis. Sap tanaman dengan
perbandingan 1:10 (b/v) disiapkan dengan cara daun oyong bergejala mosaik
digerus menggunakan mortar, kemudian ditambahkan bufer fosfat pH 7 yang
mengandung 1% β-mercaptoethanol. Bufer fosfat pH 7 dibuat dengan
mencampurkan sebanyak 61.5 ml K2HPO4 1M dan 38.5 ml KH2PO4 1M yang

5
dilarutkan dalam 900 ml aquades. Permukaan jaringan daun tanaman oyong yang
akan diinokulasi dilukai dengan karborundum 600 mesh terlebih dahulu untuk
memudahkan virus masuk ke dalam sel (Nordam 1973). Sap dioleskan pada daun
yang telah dilukai, kemudian dibilas dengan air untuk menghilangkan sisa
karborundum.
Parameter Pengamatan. Setelah diinokulasi, tanaman uji dipelihara pada
rumah kaca yang kedap serangga, kemudian dilakukan pengamatan terhadap masa
inkubasi, tipe gejala, dan kejadian penyakit. Gejala penyakit diamati sampai satu
bulan setelah inokulasi mekanis dilakukan. Tanaman yang tidak menunjukkan
gejala, dideteksi secara serologi untuk konfirmasi kejadian penyakit dengan
metode DIBA menggunakan antiserum SqMV (Agdia).
Deteksi Serologi dengan DIBA (Dot Immunobinding Assay)
Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode yang dideskripsikan
Mahmood et al. (1997) dengan modifikasi minor terhadap suhu inkubasi antibodi
ke-1 seperti yang dilakukan oleh Kadwati (2013). DIBA digunakan untuk
mendeteksi sumber inokulum, dan tanaman yang tidak menunjukkan gejala pada
uji kisaran inang.
Blotting. Jaringan daun tanaman digerus dalam tris buffer saline (TBS: TrisHCl 0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7.5) dengan perbandingan 1:10 (b/v). Cairan
perasan tanaman selanjutnya diteteskan ke atas kertas membran nitroselulosa
membran (ukuran 3 cm × 3 cm) sebanyak 2 μl.
Blocking. Tetesan sampel yang telah kering pada kertas membran direndam
di dalam 3 ml larutan blocking (3 ml TBS dicampur dengan 0.06 g skim milk dan
60 µl Triton X-100). Membran kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil
digoyang dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam dengan menggunakan shaker
(EYELA multishaker MMS). Membran kemudian dicuci 5 kali dengan akuades,
tiap pencucian berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm.
Antibodi 1. Membran selanjutnya direndam dalam 5 ml larutan antibodi ke1 (TBS yang mengandung 2% skim milk dan antiserum SqMV) dengan
perbandingan 1:2 500 (v/v), kemudian membran diinkubasi semalam pada suhu 4
°C. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan TBST (TBS yang
mengandung Tween 0.05%), tiap pencucian berlangsung selama 5 menit sambil
digoyang dengan kecepatan 100 rpm.
Antibodi 2. Membran nitroselulosa selanjutnya direndam dalam 5 ml
antibodi ke-2 (TBS yang mengandung 2% skim milk dan goat anti rabbit-IgG,
Agdia) dengan perbandingan 1:3 000 (v/v), kemudian membran diinkubasi selama
60 menit sambil digoyang menggunakan shaker dengan kecepatan 50 rpm.
Membran selanjutnya dicuci 5 kali dengan TBST. Tiap pencucian berlangsung 5
menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm.
Pewarnaan. Membran direndam dalam 3 ml bufer alkaline phosphate (TrisHCl 0.1 M, NaCl 0.1 M dan MgCl 5 mM, pH 9.5) yang mengandung NBT (nitro
blue tetrazolium, 50 mg/ml yang dilarutkan dalam 100% Dimethylformamide)
sebanyak 13.5 μl dan BCIP (5-bromo 4-chloro 3-indolyl phosphate, 50 mg/ml
yang dilarutkan dalam 70% Dimethylformamide) sebanyak 10.5 μl. Bila reaksi
positif, akan terjadi perubahan warna menjadi ungu pada sampel uji. Reaksi
pewarnaan dihentikan dengan merendam membran nitroselulosa kedalam
aquades.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengamatan Kejadian Penyakit
Pengamatan kejadian penyakit dilakukan pada tiga lokasi berbeda di daerah
Bogor, yaitu di daerah Leuwikopo, Cikabayan, dan Bantar Jaya. Gejala mosaik
ditemukan pada setiap lahan budidaya yang diamati, dengan persentase kejadian
penyakit antara 51.11% sampai 63.33% (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil pengamatan kejadian penyakit mosaik di daerah Bogor, JawaBarat
Populasi
Lokasi
Umur
Jumlah tanaman
Kejadian
tanaman yang
pertanaman
Tanaman
bergejala
penyakit
diamati
(MST*)
(n)
(%)
oyong
(N)
Leuwikopo
8
53
94
56.38
Cikabayan
6
38
60
63.33
Bantar Jaya
4
184
360
51.11
*) MST: minggu setelah tanam

Gejala yang ditunjukkan dari hasil pengamatan di lapangan beragam. Tipe
gejala yang ditemukan pada tanaman oyong di Cikabayan berupa ukuran daun
mengecil, terdapat bercak klorosis pada permukaan daun dan pertulangan daun
mengalami klorosis (Gambar 1a). Gejala isolat di Leuwikopo berupa daun
mengeras dan kaku, pertulangan daun mengalami klorosis (vein clearing), serta
terlihat mosaik hijau terang-gelap (Gambar 1b), sedangkan gejala isolat Bantar
Jaya gejala berupa mosaik hijau-kuning, daun menggulung dan mengerut,
pertulangan daun mengalami klorosis, dan terdapat lepuhan (Gambar 1c).

a

b

c

Gambar 1 Gejala mosaik yang ditemukan pada tiga lokasi pertanaman oyong. a:
Cikabayan (bercak klorosis), b: Leuwikopo (mosaik hijau gelapterang), dan c: Bantar Jaya (mosaik hijau-kuning dan vein clearing).

7
Sumber Inokulum Virus
Hasil deteksi terhadap tiga sumber inokulum menunjukkan bahwa isolat asal
Leuwikopo dan Bantar Jaya terdeteksi positif mengandung SqMV, namun hanya
isolat Leuwikopo yang menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan virus lain.
Sehingga isolat asal Leuwikopo dijadikan sebagai sumber inokulum untuk
pengujian kisaran inang (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil deteksi virus terhadap isolat tanaman oyong dari tiga lokasi
berbeda.
Deteksi serologi
Asal inokulum
a
SqMV
CMVa
Potyvirusb
Leuwikopo
+
Cikabayan
+
Bantar Jaya
+
+
a

deteksi dilakukan dengan metode DIBA dan RT-PCR, bdeteksi dengan metode RT-PCR

Inokulasi SqMV secara mekanis pada tanaman oyong sehat kultivar Pagoda
menunjukkan semua tanaman oyong bergejala antara 7 sampai 14 hari setelah
inokulasi jika tanaman dipelihara di lapangan. Masa inkubasi SqMV pada
tanaman oyong yang dipelihara dirumah kaca berlangsung lebih singkat yaitu
berkisar 5 sampai 10 hari setelah inokulasi.
Gejala yang muncul pada tanaman oyong yang terinfeksi SqMV diawali
dengan ukuran daun tanaman yang lebih kecil dari ukuran normal, munculnya
bercak klorosis pada daun muda (Gambar 2a), gejala lanjut berupa pemucatan
tulang daun (vein clearing), malformasi, dan mosaik hijau-kuning pada daun
(Gambar 2b). Gejala kemudian berkembang menjadi mosaik hijau gelap-terang,
melepuh dan disertai malformasi daun (Gambar 2c).

a
Gambar 2

b

c

d

Gejala fenotip tanaman oyong yang terinfeksi virus SqMV hasil
penularan secara mekanis. a: bercak klorosis, b: mosaik hijau-kuning
dan vein clearing, c: moasik hijau gelap-terang dan lepuhan, d:
tanaman sehat.

8
Kisaran Inang
Hasil penularan SqMV isolat oyong menunjukkan sepuluh spesies tanaman
uji dari empat famili tanaman berbeda yaitu Cucurbitaceae, Solanaceae,
Chenopodiaceae, dan Amaranthaceae dapat diinfeksi dan dijadikan tanaman inang
SqMV (Tabel 4).
Tabel 4 Hasil penularan mekanis SqMV isolat oyong pada 16 spesies tanaman uji
Masa
Kejadian penyakit
Tipe
inkubasi
Tanaman uji
Ket
n/N (%)
gejala
(hari)
Cucurbitaceae
C. sativus cv Daria
9
10/10 (100)
Ms
+
C. melo cv Renjana
9
10/10 (100)
Vc
+
C. pepo cv Giant
0/10 (0)
Tg
S. edule
8
10/10 (100)
Ms
+
M. charantia cv Cigar*
10
6/6 (100)
Ms
+
Solanaceae
C.annuum cv Oktav
0/10 (0)
Tg
L. esculentum
0/10 (0)
Tg
N. tabacum
49
10/10 (100)
Vb
+
N. clevelandii
0/10 (0)
Tg
P. floridana
8
3/10 (30)
Ms
+
D. stramonium
12
5/10 (50)
Ms
+
Leguminosae
V. sinensis cv Wulung
0/10 (0)
Tg
P. vulgaris cv Ladju
0/10 (0)
Tg
Chenopodiaceae
C. amaranticolor
14
10/10 (100)
Kl
+
C. quinoa
14
10/10 (100)
Kl
+
Amaranthaceae
G. globosa
12
10/10 (100)
Ms
+
Ket: n
N
MS
LL
TG

: Jumlah tanaman bergejala
: Total tanaman yang diinokulasi
: Mosaik Sistemik
: Klorosis lokal
: Tanpa Gejala

VB
VC
(+)
(-)
(*)

: Vein Banding
: Vein Clearing
: positif terinfeksi SqMV (DIBA)
: negatif terinfeksi SqMV (DIBA)
: 4 tanaman mati karena damping off

Hasil uji kisaran inang menunjukkan bahwa masa inkubasi SqMV rata-rata
berlangsung selama 14 hari, paling singkat terjadi pada tanaman labu siam dan
ciplukan, gejala muncul selama 8 hari setelah inokulasi dan yang terpanjang pada
tanaman tembakau yaitu selama 49 hari setelah inokulasi. Untuk tanaman dari
famili Cucurbitaceae rata-rata masa inkubasi selama 9 hari.
Tanaman Cucurbitaceae yang dapat diinfeksi SqMV yaitu timun, melon,
labu siam, dan pare (Gambar 3). Pada timun gejala berupa mosaik hijau gelapterang dan ukuran daun menjadi lebih kecil (Gambar 3b-c). Pada melon gejala
berupa daun melekuk, mengerut disertai dengan pemucatan pada tulang daun
(vein clearing) (Gambar 3e), kemudian gejala berkembang menjadi mosaik hijau
gelap-terang (Gambar 3f). Gejala pada paria berupa bercak klorosis (Gambar 3h),

9
kemudian menjadi mosaik hijau gelap-terang (Gambar 3i). Gejala pada tanaman
labu siam berupa klorosis pada daun yang diinokulasi (Gambar 3k) dilanjutkan
dengan mosaik hijau gelap-terang disertai dengan daun yang mengerut dan lebih
kaku dibandingkan dengan daun sehat (Gambar 3l). Gejala pada tanaman
Cucurbitaceae jelas terlihat ketika tanaman masih dalam fase vegetatif awal,
namun saat tanaman memasuki fase generatif gejala menjadi tidak jelas.
Tanaman Solanaceae yang dapat diinfeksi SqMV diantaranya tembakau,
kecubung, dan ciplukan (Gambar 4). Gejala pada kecubung berupa daun
menggulung dan lebih kaku dibandingkan dengan tanaman sehat (Gambar 4b),
kemudian berkembang menjadi mosaik hijau gelap-terang (Gambar 4c). Pada
tembakau, daun lebih lanset dan tebal dibandingkan pada daun sehat (Gambar 4e),
tulang daun menjadi lebih tebal, daun mengerut, dan keriting (Gambar 4f). Pada
ciplukan gejala berupa mosaik hijau-kuning (Gambar 4h), daun menggulung,
memuntir, dan mengering (Gambar 4i).
Semua tanaman Chenopodiaceae (C. amaranticolor dan C. quinoa) dapat
diinfeksi SqMV secara lokal (Gambar 5). Gejala pada C. amaranticolor berupa
klorosis lokal pada daun yang diinokulasi (Gambar 5b), berkembang menjadi
lesio lokal nekrotik (LLN) dengan tepi lesio merah keunguan (Gambar 5c). Pada
C. quinoa gejala awal berupa klorosis lokal pada daun yang diinokulasi (Gambar
5e), kemudian berkembang menjadi LLN (Gambar 5f).
Bunga kenop (Amaranthaceae) dapat diinfeksi SqMV (Gambar 6). Gejala
berupa tepian daun melekuk dan bergelombang (Gambar 6b), kemudian
berkembang menjadi mosaik hijau gelap-terang (Gambar 6c).
Tanaman yang tidak bergejala setelah diinokulasi SqMV diantaranya labu
kuning dengan warna daging buah kuning dan kulit buah orange (Gambar 7a-b),
kacang panjang (Gambar 7c-d), buncis (Gambar 7e-f), tomat (Gambar 7g-h),
cabai (Gambar 7i-j), dan tembakau cleveland (Gambar 7k-l). Pada tanaman yang
tidak bergejala ini, SqMV tidak terdeteksi secara serologi dengan DIBA.

10

a

b

c

d

e

f

g

h

i

j

k

l

Gambar 3 Gejala hasil penularan mekanis pada (a-c) timun, (d-f) melon, (g-i)
pare dan (j-l) labu siam. a,d,g,j: tanaman sehat; b: mosaik hijau gelap
terang berat, c: mosaik hijau gelap-terang ringan, e: vein clearing, f:
mosaik hijau gelap-terang ringan, h: bercak klorosis sistemik dan
vein clearing, i: mosaik hijau gelap-terang berat, k: bercak klorosis
sistemik, l: mosaik hijau-kuning.

11

a

b

c

d

e

f

g

h

i

Gambar 4 Gejala hasil penularan mekanis pada (a-c) kecubung, (d-f) tembakau,
(g-i) ciplukan. a,d,g: tanaman sehat, b: daun menggulung dan kaku, c:
mosaik hijau gelap-terang, e: daun lebih lanset dan kaku, f: vein
banding dan klorosis sistemik, h: mosaik hijau-kuning, i: mosaik
hijau-kuning dan mengering.

12

a

b

c

d

e

f

Gambar 5 Gejala hasil penularan mekanis pada (b-c) C. amaranticolor, (e-f) C.
quinoa. a,d: tanaman sehat, b: klorosis lokal ringan kuning, c: lesio
lokal nekrotik (LLN) berat dengan halo merah keunguan, e: klorosis
lokal ringan, f: lesio lokal nekrotik (LLN) berat.

a

b

c

Gambar 6 Gejala hasil penularan mekanis pada G. globosa. a: tanaman sehat, b:
daun menggulung dan bergelombang, c: mosaik hijau gelap-terang
dan keriting.

13

a

b

c

d

e

f

g

h

i

j

k

l

Gambar 7 Tanaman yang tidak menunjukkan gejala setelah diinokulasi SqMV
(a,b) labu kuning, (c,d) kacang panjang, (e,f) buncis, (g,h) tomat, (i,j)
cabai, (k,l) tembakau cleveland. (a,c,e,g,i,k) kontrol, (b,d,f,h,j,l) daun
tanaman yang diinokulasi.

14
Pembahasan
Hasil penularan mekanis mengonfirmasi bahwa SqMV selain terbawa benih
dan ditularkan melalui serangga vektor di alam, juga dapat ditularkan secara
mekanis pada bagian kotiledon maupun daun pertama yang muncul pada fase
vegetatif tanaman inang. Inokulasi virus secara mekanis tidak mampu menularkan
virus tanaman yang hanya dapat tersebar melalui pembuluh angkut, karena
inokulasi mekanis hanya mampu mengintroduksi virus ke sel epidermis tanaman
(Walkey 1991). Keberhasilan penularan virus secara mekanis dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya konsentrasi virus yang terkandung di dalam sap,
sumber inokulum yang digunakan, media dan cara penyimpanan sumber
inokulum, ketahanan virus didalam sap maupun faktor lingkungan, seperti cahaya
maupun suhu (Hull 2002).
Tanaman melon, timun, pare, labu siam, ciplukan, tembakau, kecubung, dan
bunga kenop dapat terinfeksi sistemik, sedangkan pada tanaman C. amaranticolor
dan C. quinoa muncul infeksi lokal berupa klorosis. Gejala sistemik muncul dan
terlihat pada daun dibagian pucuk, bukan pada daun yang diinokulasi. Virus
ditransfer bersamaan dengan nutrisi yang diangkut tanaman melalui jaringan
pembuluh angkut pada tanaman (floem) menuju ke bagian akar. Virus yang
berada pada akar tanaman kembali diangkut (xilem) dan menginfeksi daun baru
pada tanaman. Siklus berlangsung berulang kali hingga keseluruhan bagian
tanaman terinfeksi dan menimbulkan gejala sistemik (long distance movement),
sedangkan gejala lokal muncul terbatas pada bagian tanaman yang terinfeksi virus
(situs infeksi). Gejala lokal yang banyak dijumpai biasanya berupa nekrosis
sebagai akibat dari terganggunya proses pembentukan klorofil, maupun karena
kematian sel tanaman. Reaksi ini sering disebut sebagai reaksi hipersensitif
tanaman sebagai bentuk ketahanan tanaman terhadap infeksi virus (Agrios 2005).
Tingkat ketahanan kultivar tanaman terhadap virus tumbuhan ditentukan
oleh genotipe tanaman. Beberapa tanaman inang memiliki mekanisme pertahanan
tersendiri untuk mencegah infeksi virus yang terdiri atas mekanisme aktif seperti
kemampuan mendeteksi partikel asing dan mendegradasi sel yang telah terinfeksi
virus agar tidak semakin meluas, serta mekanisme pasif seperti menghentikan
pembentukan beberapa faktor yang dapat mendukung perkembangan maupun
penyebaran virus dalam sel tanaman inang. Reaksi pertahanan tanaman terhadap
virus terlihat dengan munculnya gejala pada tanaman (Gergerich dan Dolja 2006).
Tipe gejala yang ditunjukkan pada tanaman yang terinfeksi SqMV sangat
beragam. Menurut Walkey (1991), variasi tipe gejala dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya tanaman inang dan strain virus. Sumber inokulum yang
terinfeksi lebih dari satu virus juga dapat mempengaruhi respon tanaman inang.
Virus juga dapat mempengaruhi baik jumlah maupun bentuk sel dan organel
tanaman sehingga menimbulkan tipe gejala yang berbeda pada tiap jenis tanaman
yang diinfeksi (Hull 2002). Gejala juga disebutkan muncul sebagai respon
tanaman terhadap keberadaan virus akibat digunakannya hasil metabolisme dan
nutrisi tanaman untuk sintesis virus, sehingga tanaman yang terinfeksi virus
mengalami kekurangan beberapa metabolit yang dibutuhkan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan seperti asam amino, energi (ATP), nukleotida,
dan enzim. Gejala penyakit juga dapat disebabkan oleh penumpukan bagian
partikel virus seperti protein selubung, genom virus, dan komponen lainnya yang
menimbulkan reaksi patologis pada tanaman inang (Agrios 2005).

15
Menurut Nameth et al. (1986) secara alami hampir semua tanaman dari
famili Cucurbitaceae dapat menjadi inang SqMV. Selain Cucurbitaceae,
experimentally SqMV dapat menginfeksi Amaranthaceae, Chenopodiaceae,
Hydrophyllaceae, Leguminosae, dan Umbelliferae (Freitag 1956).
Hasil uji kisaran inang menunjukkan tanaman melon, timun, pare, labu
siam, tembakau, kecubung, dan ciplukan dapat menjadi inang SqMV, namun
dalam penelitian ini tanaman labu kuning kultivar Giant (berdaging dan berkulit
oranye) tidak dapat diinfeksi SqMV. Lestari (2011), melaporkan tanaman labu
kuning kultivar Golden Mama menunjukkan gejala mosaik berat jika terinfeksi
SqMV isolat labu kuning, sedangkan oyong kultivar Jaka menunjukkan gejala
mosaik ringan bahkan tidak bergejala. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan
karena perbedaan isolat SqMV, ketahanan tanaman, dan kultivar yang digunakan.
Tanaman tomat, cabai, tembakau cleveland, kacang panjang, dan buncis pada
penelitian ini tidak dapat diinfeksi SqMV. Hal ini sesuai dengan laporan VIDE
(1996).
Menurut Hull (2002), kisaran inang dapat digunakan untuk mempelajari
strain suatu virus. Perbedaan strain virus mempengaruhi jenis tanaman yang dapat
diinfeksi dan dijadikan sebagai inang. Menurut Nelson dan Knuthsen (1973),
terdapat dua kelompok besar SqMV dengan enam biotipe yang berbeda yang
diklasifikasikan berdasarkan karakteristik gejala dan kisaran inangnya.
Berdasarkan reaksi serologi SqMV terdiri dari dua grup, yaitu I dan II. Beberapa
anggota grup I menginfeksi semangka (Citrullus vulgaris; watermelon),
menyebabkan gejala berat pada melon (cantaloupe) dan gejala ringan pada labu
kuning (Cucurbita pepo; pumpkin) dengan gejala awal berupa ringspot pada daun.
SqMV grup II tidak menginfeksi semangka, menyebabkan gejala ringan pada
melon (cantaloupe) dan gejala berat pada labu kuning (pumpkin) yang diawali
dengan gejala distorsi berat pada daun. Tanaman kisaran inang yang dapat
diinfeksi SqMV isolat oyong tidak menunjukkan gejala awal berupa mosaik
cincin (ring-mosaic), melainkan klorosis dan distorsi daun. SqMV di Maroko
isolat Chenopodium album dapat menginfeksi sistemik C. quinoa, C. pepo dan
Pisum sativum tergolong dalam serotipe I (Lockhart 1982). SqMV isolat oyong
menunjukkan gejala yang berbeda berupa LLN pada C. quinoa dan C.
amaranticolor, vein clearing dan distorsi daun pada melon dan tidak dapat
menginfeksi C. pepo var Giant. Perbedaan ini menyebabkan SqMV isolat oyong
belum diketahui serotipenya, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Kisaran inang yang diperoleh juga dapat mempengaruhi cara budidaya
tanaman. Setelah mengetahui kisaran inang suatu virus tanaman maka diketahui
tempat bertahan virus di lapangan selain pada inang utamanya. SqMV dapat
menginfeksi sistemik tanaman timun, melon, pare, labu siam, tembakau,
kecubung, ciplukan, dan bunga kenop. Oleh karena itu dianjurkan untuk tidak
menanam jenis tanaman tersebut dalam suatu areal lahan budidaya pada waktu
yang bersamaan.

16

SIMPULAN
SqMV isolat oyong dapat ditularkan secara mekanis dan menginfeksi
sistemik pada timun, pare, melon, labu siam, tembakau, kecubung, ciplukan, dan
bunga kenop, serta hanya menginfeksi lokal pada C. amaranticolor dan C.
quinoa. Tanaman labu kuning, tomat, cabai, tembakau cleveland, kacang panjang,
dan buncis tidak dapat diinfeksi SqMV

SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait kajian molekuler untuk
mengetahui identitas dan kekerabatan SqMV isolat oyong.

17

DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York (US): Academic Press.
Babadoost M. 1999. Mosaic diseases of cucurbits [internet]. Urbana Champaign
(US): University of Illionis. [diunduh 2013 Januari 10]. Tersedia pada
http://web.aces.uiuc.edu/vista/pdf_ pubs/926.pdf.
Campbell RN. 1985. Squash mosaic comovirus. [internet]. [diunduh 2013
November 21]. Tersedia pada http://image.fs.uidaho.edu/vide/descr753.htm
Coutts B. 2006. Virus disease of cucurbit crops. Farmnote 166: 1-3.
Dashora N, Chauhan LS, Kumar N. 2013. Luffa acutangula L. Roxb. var. Amara
(Roxb.) A consensus review. International Journal of Pharma and Bio
Sciences 4(2):835 – 846.
Edi S, Bobihoe J. 2010. Budidaya Tanaman Sayuran. Jambi (ID): Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Envirologix. 1998. Squash mosaic virus background [internet]. [diunduh 2013
November 15]. Tersedia pada http://www.envirologix.com/artman/publish
/article_291.shtml.
Freitag. 1956. Beetle transmision, host range, and properties of Squash mosaic
virus. Phytopathology 46(2):73-81
Gergerich RC, Dolja VV. 2006. Introduction to plant virus, the invisible foe
[internet]. The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI-I-2006-0414-01.
Han SS, Yoshida K, Karasev AV, Iwanami T. 2002. Nucleotide sequence of a
Japanese isolate of Squash mosaic virus. Archives of Virology 147: 437443.
Haudenshield JS, Palukaitis P. 1998. Diversity among isolates of squash mosaic
virus. Journal of General Virology 79(1):2331-2341.
Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Ed ke-4. San Diego (US): Elsevier
Academic Press.
Izadpanah K. 1987. Squash mosaic virus as the cause of melon vein banding
mosaic in Iran. Phytopathology 120(3): 276-282.
Kadwati. 2013. Deteksi virus-virus utama bawang merah (Allium cepa L.) dan
bawang putih (A. sativum L.) dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lestari, SM. 2011. Keberadaan beberapa virus dan efisiensi tular benih Squash
mosaic comovirus pada Cucurbitaceae [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Lockhart BEL. 1982. Squash mosaic virus in Morocco. Plant Disease 66:11911193.
Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures
for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single
wheat curl mite. Plant Disease 81:250-253.
Mondal B, Khatua DC, Hansda S, Ray SK. 2014. Sclerotinia rot of ridge gourd
and pointed gourd in Lateritic Zone of West Bengal, India. Scholars
Academic Journal Biosciences 2(4):251-254.
Nameth ST, Dudds JA, Paulus AO, Laemmlen FF. 1986. Cucurbit viruses of
California. Plant Disease 70(1): 8-12.
Nelson MR, Knuhtsen HK. 1973. Squash mosaic virus variability: review and
serological comparisons of six biotypes. Phytopathology 63: 920-926.

18
Nordam D. 1973. Identification of Plant Viruses: Methods and Experiments.
Wegeningen (NL): Centre for Agricultural Publishing and Documentations.
Oboh IO, Aluyor EO. 2009. Luffa cylindrica – an emerging cash crop. African
Journal of Agricultural Research 4(8):684-688.
Purba ERD. 2011. Pengaruh infeksi Squash mosaic comovirus terhadap
perkembangan penyakit mosaik pada lima varietas mentimun (Cucumis
sativus L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rezania F. 2005. Tingkat ketahanan sembilan galur Cucumis melo L. terhadap
Squash mosaic comovirus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[RI] Menteri Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Jenis Organisme Penggangu
Tumbuhan Karantina. Jakarta (ID): RI.
Soladoye MO, Adebisi AA. 2004. Luffa acutangula L. Roxb. Plant Resources of
Tropical Africa [Internet]. [diunduh 2013 Nov 11]. Tersedia pada:
http://www.prota4u.org/search.asp.
Stephen JM. 2012. Gourd, Luffa - Luffa cylindrica L. Roem., Luffa aegyptica
Mill., and Luffa acutangula L. Roxb. Gainesville (US): IFAS University of
Florida.
VIDE. 1996. Squash mosaic comovirus [internet]. [diunduh 2013 Nov 15].
Tersedia pada http://pvo.bio-mirror.cn/descr753.htm.
Walkey David GA. 1991. Applied Plant Virology. Ed ke-2. London (GB):
Chapman and Hall.

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Djoko Suratno dan Ibu Latifa yang dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1992 di
Kotabumi, Lampung Utara.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Sawah Lama
(2004), sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Bandar lampung (2007), dan
sekolah menengah atas di SMA Negeri 9 Bandar Lampung (2010), serta diterima
di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Proteksi Tanaman pada tanggal 28
Juni 2010 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus pada divisi
Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) di Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Pertanian IPB periode 2011-2012, peserta magang di
Laboratorium Nematologi Tumbuhan pada tahun 2012, aktif pada Organisasi
mahasiswa daerah Lampung (KEMALA) dan mengikuti berbagai kegiatan
kepanitiaan di fakultas dan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman
(HIMASITA). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada matakuliah
Dasar-dasar Proteksi Tanaman tahun (2012), Pengendalian Hayati dan
pengelolaan Habitat serta Biologi Cendawan tahun (2013), dan Ilmu Penyakit
Tumbuhan Dasar tahun (2014).