Embriogenesis Somatik Tidak Langsung Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Hasil Perlakuan Kolkisin

EMBRIOGENESIS SOMATIK TIDAK LANGSUNG JERUK
KEPROK BATU 55 (Citrus reticulata L) HASIL PERLAKUAN
KOLKISIN

MOHAMAD PRAYOGI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Embriogenesis Somatik
Tidak Langsung Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L) Hasil Perlakuan
Kolkisin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya ini kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Mohamad Prayogi
NIM A24100120

ABSTRAK
MOHAMAD PRAYOGI. Embriogenesis Somatik Tidak Langsung Jeruk Keprok
Batu 55 (Citrus reticulata L) Hasil Perlakuan Kolkisin. Dibimbing oleh AGUS
PURWITO dan MIA KOSMIATIN.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode regenerasi melalui
embriogenesis somatik kalus jeruk keprok batu 55 hasil poliploidisasi dengan
kolkisin. Penelitian ini terdiri dari kegiatan: proliferasi kalus, pendewasaan embrio
somatik, perkecambahan embrio somatik, pemanjangan akar dan tunas.
Konsentrasi pemadat phytagel terbaik untuk proliferasi kalus adalah 2.5 g/l dengan
media dasar MS modifikasi dengan pertambahan Vitamin MW, dan 500 mg/l
ekstrak malt. Pendewasaan embrio somatik dengan konsentrasi ABA 0.5 mg/l pada
media dasar MS modifikasi dengan pertambahan, vitamin MW, 100 mg/l ekstrak

malt merupakan media terbaik untuk menghasilkan ES dewasa (kotiledon). Media
MS dengan penambahan vitamin MS + 2.5 mg/l GA3 + 500 mg/l ekstrak malt
merupakan media terbaik untuk pembentukan planlet dengan persentase
perkecambahan ES 43%. Pemanjangan akar dan tunas dapat menggunakan media
MS dengan penambahan vitamin MS + IBA 0.5 mg/l + 500 mg/l ekstrak malt untuk
mendapatkan hasil yang terbaik.
Kata kunci: ekstrak malt, protein, vitamin , zat pengatur tumbuh

ABSTRACT
MOHAMAD PRAYOGI. Indirect Somatic Embryogenesis of Mandarin Citrus Var
Batu 55 (Citrus reticulata L) Derived from Colchicine Treatment. Supervised by
AGUS PURWITO and MIA KOSMIATIN.
This study was aimed to find the best method of regeneration through
somatic embryogenesis Mandarin var Batu 55 best as results of in vitro
poliploidization by colchicine. This study consists of: the proliferation of callus,
maturation of somatic embryo, germination of somatic embryos, elongation of roots
and shoots. The best concentration of phytagel for callus proliferation was 2.5 g/l
with MS modified Vitamin MW, and 500 mg/l of malt extract. Maturation of
somatic embryos with ABA concentration of 0.5 mg/l on MS basic medium,
vitamins MW, 100 mg/l malt extract was the best medium to produce cotyledons.

MS modified by the addition of vitamin MS + 2.5 mg/l GA3 + 500 mg/l malt extract
was the best medium for the formation of plantlets with a percentage of 43%.
Elongation of roots and shoots can use MS medium with vitamins MS + IBA 0.5
mg/l + 500 mg/l malt extract to get the best results.
Key words: malt extract, plant growth regulator, protein, vitamin

EMBRIOGENESIS SOMATIK TIDAK LANGSUNG JERUK
KEPROK BATU 55 (Citrus reticulata L) HASIL PERLAKUAN
KOLKISIN

MOHAMAD PRAYOGI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Judul : Embriogenesis Somatik Tidak Langsung Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus
reticulata L) Hasil Perlakuan Kolkisin
Nama : Mohamad Prayogi
NIM : A24100120

Disetujui oleh,

Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr
Dosen Pembimbing I

Dr Mia Kosmiatin, SSi MSi
Dosen Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr
Ketua Departemen


Tanggal lulus:

i

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Maret 2014 hingga September 2014 ini adalah bioteknologi, dengan judul
Embriogenesis Somatik Tidak Langsung Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata
L) Hasil Perlakuan Kolkisin.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr
dan Dr Mia Kosmiatin, SSi MSi selaku dosen pembimbing skripsi, Prof Dr Ir
Slamet S, MSc selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penelitian ini. Selain itu, ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada kediua orang tua, teman-teman, yang telah membantu dalam
memberi dukungan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Desember 2014

Mohamad Prayogi

i

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

2

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L)

2

Kultur Jaringan

3

Media Kultur Jaringan

3

Poliploid

4

Kolkisin

5


Embriogenesis Somatik

5

METODE PENELITIAN

6

Lokasi dan Waktu Percobaan

6

Bahan Penelitian

6

Peralatan Penelitian

6


Prosedur Percobaan

6

Rancangan Percobaan

8

Prosedur Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Proliferasi Kalus Embriogenik

9


Pendewasaan Embrio Somatik

11

Perkecambahan Embrio Somatik

15

Pemanjangan Akar dan Tunas

20

SIMPULAN DAN SARAN

24

Simpulan

24

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

29

ii

DAFTAR TABEL
1 Jumlah ES fase globular jeruk keprok hasil poliploidisasi pada media proliferasi 9
kalus embriogenik, sampai minggu ke-7 setelah pengkulturan
2 Rata-rata jumlah embrio somatik yang membentuk fase jantung sampai minggu 11
ke-9 setelah pengkulturan pada media pendewasaan dengan penambahan ABA
3 Pengaruh ZPT terhadap pertambahan tinggi tunas dan pertambahan panjang 20
akar pada 4 MST

DAFTAR GAMBAR
1 (a) Globular pada kalus, (b) Perlakuan Phytagel 2.5 g/l, (c) Perlakuan Phytagel
3 g/l, (d) Perlakuan Phytagel 3.5 g/l, (e) Perlakuan Phytagel 4 g/
2 Grafik rata-rata jumlah embrio somatik pada fase torpedo sampai minggu ke-9
setelah pengkulturan pada media pendewasaan dengan penambahan ABA
3 Grafik rata-rata jumlah embrio somatik pada fase kotiledon sampai minggu ke9 setelah pengkulturan pada media pendewasaan dengan penambahan ABA
4 Jumlah embrio somatik pada media pendewasaan dengan penambahan ABA, 9
minggu setelah pengkulturan
5 (a) ES Fase Jantung, (b) ES Fase Terpedo, (c) ES Fase Kotiledon, (d) Kotiledon
abnormal
6 Persentase perkecambahan ES pada media perkecambahan dengan penambahan
vitamin yang berbeda
7 Persentase planlet yang terbentuk setiap minggu pada media perkecambahan
dengan penambahan vitamin yang berbeda.
8 Persentase kotiledon yang berkecambah, kecambah abnormal dan kecambah
normal pada media perkecambahan dengan penambahan vitamin yang berbeda
9 (a) Kondisi akar pada perlakuan vitamin MS, (b) Kondisi akar pada perlakuan
vitamin MW, (c) Perkecambahan pada perlakuan vitamin MS, (d) Planlet yang
mulai muncul pada perlakuan vitamin MS, (e) Perkecambahan pada perlakuan
vitamin MW, (f) Planlet yang mulai muncul pada perlakuan vitamin MW.
10 (a) Planlet pada media perlakuan vitamin MS di minggu kesepuluh, (b) Planlet
pada media perlakuan vitamin MW di minggu ke-10
11 Pengaruh vitamin dan ZPT terhadap pertambahan tinggi tunas pada 4 MST`
12 Pengaruh vitamin dan ZPT terhadap pertambahan panjang akar pada 4 MST
13 Kondisi planlet di perlakuan vitamin MS dengan ZPT; (a) NAA, (b) IAA, (c)
IBA di perlakuan vitamin MW dengan ZPT; (d) NAA, (e) IAA, (f) IBA pada 4
MST pada 4 MST.

10
12
12
14
16
16
17
18
19

20
21
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi media dasar kultur, vitamin dan komponen lainya

28

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman jeruk (Citrus.sp) berasal dari China, sedangkan jeruk yang ada di
Indonesia diintroduksi oleh peneliti Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan
keprok dari Amerika dan Italia (Prihatman 2000). Sekitar 70-80% jeruk yang
dikembangkan di Indonesia adalah jeruk siam, dan sisanya adalah jeruk keprok
unggulan daerah dan jeruk lainnya (Suyamto et al. 2005) dengan produksi total
jeruk mencapai 1 411 229 ton pada tahun 2013 (BPS 2014). Jeruk siam memiliki
bentuk yang lebih kecil, biji yang lebih banyak, kulit buah yang tidak menarik bila
dibandingkan dengan jeruk keprok.
Jeruk impor di Indonesia hanya menguasai pasar domestik dengan jumlah
total 240 000 ton pada tahun 2013-2014 (BPS 2014). Apabila jumlah total produksi
jeruk di Indonesia dibandingkan dengan jeruk impor, jeruk impor hanya sebesar
17% dari total jeruk yang diproduksi. Namun impor buah jeruk tetap dilakukan
karena kualitas yang lebih unggul dibandingkan jeruk lokal sehingga permintaan
jeruk impor tinggi. Salah satu jeruk yang diimpor adalah jeruk keprok mandarin.
Jeruk keprok mandarin merupakan jeruk yang banyak diminati masyarakat karena
memiliki penampilan yang menarik, rasa yang manis, kulit yang mudah terkelupas
(Merigo 2011).
Impor jeruk keprok yang mendominasi pasar modern di Indonesia
mengharuskan jeruk keprok lokal ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu
bersaing dengan produk impor dan dapat diterima pada pasar internasional. Salah
satu inovasi untuk meningkatkan kualitas jeruk yang dapat dilakukan adalah
membuat tanaman jeruk lokal tipe baru yaitu jeruk tanpa biji (seedless) dengan
warna yang menarik (pigmented). Buah yang tidak membentuk biji, dapat
meningkatkan produktivitas, mutu buah, dan daya saing di pasar global (Khan
2008).
Buah jeruk tanpa biji dapat dirakit dengan beberapa cara dan diantaranya
adalah teknik pemuliaan (konvensional), non konvensional, dan gabungan dari
kedua teknik tersebut (Martasari 2008). Teknik konvensional relatif murah dan
mudah bila dibandingkan dengan non konvensional, namun waktu yang dibutuhkan
pada teknik non konvensional lebih singkat dibandingkan dengan konvensional
sehingga akan lebih cepat mengetahui hasil akhir dari perakitan jeruk tanpa biji
pada teknik non konvensional. Teknik non konvensional yang dapat dilakukan
adalah fusi protoplas, mutasi dengan radiasi, kultur endosperm, dan poliploidisasi.
Hasil poliploidisasi (penggadaan kromosom) in vitro yang diregenerasikan
melalui embriogenesis somatik dapat menghasilkan tanaman dengan jumlah
kromosom yang diharapkan tetraploid (4n). Teknik poliploidisasi berbeda dengan
teknik non konvensional lainnya karena untuk menghasilkan jeruk tanpa biji, hasil
dari teknik poliploidisasi berupa tanaman jeruk (tetraploid) dijadikan sebagai
tanaman induk untuk persilangan dengan tanaman jeruk lainnya (diploid) sehingga
dapat menghasilkan buah jeruk tanpa biji (triploid). Teknik poliploidisasi in vitro
dapat dilakukan secara efektif apabila sistem regenerasi eksplan (jeruk keprok)
melalui embriogenesis somatik menjadi tanaman baru (tetraploid) sudah tersedia

2

(Husni 2007). Embriogenesis somatik adalah sistem regenerasi sel in vitro yang
memungkinkan untuk meregenerasikan 1 sel menjadi tanaman lengkap (Kosmiatin
et al. 2014). Sehingga sel yang sudah berubah, dalam hal ini poliploid, akan
beregenerasi menjadi tanaman poliploid juga.
Metode regenerasi dan mikropropagasi tanaman jeruk telah banyak
dilakukan untuk mendapatkan tanaman seedless, (Ali dan Mirza 2006). Metode
regenerasi tanaman melalui somatic embryogenesis (ES) dengan keberhasilan yang
tinggi dapat membantu dalam mendapatkan varietas atau genotipe unggul melalui
pemuliaan non konvensional. Embriogenesis somatik memiliki beberapa tahapan
dan faktor penting yang mempengaruhinya seperti, tahap proliferasi yang dapat
dipengaruhi oleh konsentrasi pemadat, tahap pendewasaan yang dapat dipengaruhi
dari konsentasi ABA, tahap perkecambahaan yang dapat dipengaruhi oleh
penggunaan konsentrasi GA3 dan formulasi vitamin, serta tahap pemanjangan akar
dan tunas yang dapat dipengaruhi oleh konsentrasi auksin seperti IAA, NAA, IBA.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode regenerasi melalui
embriogenesis somatik (proliferasi kalus embriogenik, pendewasaan embrio
somatik, perkecambahan embrio somatik, pemanjangan akar dan tunas) terbaik
jeruk keprok batu 55 hasil perlakuan kolkisin.

Hipotesis
1. Terdapat konsentrasi pemadat (phytagel) yang tepat untuk memperbanyak
embrio somatik fase globular pada proliferasi kalus embriogenik.
2. Terdapat konsentrasi ABA terbaik pada formulasi media untuk mendewasakan
embrio somatik sehingga mendapat ES fase kotiledon yang banyak.
3. Terdapat komposisi vitamin yang tepat dalam media perkecambahan sehingga
persentasi pembentukan planlet dapat terjadi dengan optimal.
4. Terdapat minimal satu jenis ZPT yang tepat untuk pemanjangan akar dan tunas.

TINJAUAN PUSTAKA

Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata L)
Tanaman jeruk (Citrus sp.) merupakan tanaman buah tahunan yang berasal
dari Asia. Cina dipercaya sebagai tempat jeruk pertama kali tumbuh (Central of
Origin). Tanaman jeruk telah tumbuh di Indonesia baik secara alami (tanpa
dibudidayakan) atau dibudidayakan semenjak ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia
tanaman jeruk merupakan peninggalan Belanda yang mendatangkan jeruk manis
dan jeruk keprok dari Amerika dan Itali. Saat ini jeruk keprok memiliki varietas-

3

varietas komersial seperti Batu 55, Garut, SoE, dan Konde. Perbaikan sifat melalui
kultur jaringan telah lama dikembangkan dan terbukti memberikan hasil yang baik
(Husni 2010).
Jeruk keprok batu 55 merupakan jeruk yang banyak disukai karena sifat
unggul yang secara alami telah dimiliki seperti aroma dan rasa yang khas yang tidak
terdapat pada jeruk umumnya. Jeruk keprok batu 55 memiliki penampilan yang
menarik dengan warna kulit jingga dan warna daging buah kemerahan serta rasa
yang manis. Selain penampilan yang menarik jeruk keprok batu 55 memiliki
manfaat lain dari kulitnya yang mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder
(Copriady et al. 2005). Senyawa pada kulit jeruk keprok ini memiliki aktivitas
antikanker seperti tangeritin dan nobelitin. Tangeritin merupakan senyawa
methoxyflavone yang mempunya potensi sebagai gen antikanker (Ardiani et al.
2008).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan teknik menumbuh dan mengembangkan bagian
tanaman baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro
(Yusnita 2003). Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara,
yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis
somatik. Perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh lebih tinggi dari cara
konvensional (Mariska dan Sukmadjaja 2003). Karena teknologi ini lebih
menjamin keseragaman, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang lebih
murah.
Kultur jaringan pada tanaman jeruk merupakan cara untuk mendapatkan
tanaman atau bibit dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, tanaman yang
bebas penyakit, pemeliharaan plasma nutfah yang bebas penyakit (Alkhyari dan
Albahrany 2001). Keberhasilan teknik kultur jaringan pada tanaman jeruk sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kondisi bahan tanaman (eksplan), media
tumbuh, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan asam amino (Carimi 2005). Menurut
Yuwono (2008) Perbaikan sifat jeruk melalui kultur jaringan dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti teknik embriogenesis somatik, induksi mutasi, fusi
protoplas, variasi somaklonal, dan seleksi in vitro.
Media Kultur Jaringan
Media dasar Murashige Skoog (MS) merupakan media kultur yang
komposisi unsurnya lebih lengkap dibandingkan media dasar lainnya, walaupun
demikian perlu ditambah suplemen untuk mendorong pertumbuhan jaringan.
Komposisi dalam media Murashige Skoog meliputi unsur-unsur makro, mikro,
vitamin, gula, asama mino dan ZPT, yang penting untuk diferensiasi sel. Pada
teknik kultur jaringan, penambahan ZPT dalam media dasar dan pemilihan eksplan
sebagai bahan eksplan awal yang ditanam dalam media perlu diperhatikan karena
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan tersebut menjadi bibit
(Suryowinoto 1996). Zat pengatur tumbuh sangat besar peranannya di dalam
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan sel tanaman. Kombinasi ZPT yang
tepat akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan sel yang optimal
(Wattimena 1992). Media merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan

4

perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Media kultur secara fisik dapat
berbentuk cair atau padat (Yusnita 2003). Penambahan ZPT pada media kultur
merupakan salah satu kunci keberhasilan baik pada tahap induksi maupun elongasi
tunas.
Zat pengatur tumbuh merupakan faktor yang menentukan arah pertumbuhan
dan perkembangan eksplan. Zat pengatur tumbuh memainkan peranan yang sangat
penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan, pembelahan, pembesaran dan
diferensiasi sel (Zulkarnain 2009). Tanpa ZPT pertumbuhan dan perkembangan
tanaman dapat terganggu sebab untuk pembelahan sel dan pembesaran volume sel
suatu jaringan memerlukan ZPT tertentu terutama dari golongan auksin dan
sitokinin (Wattimena 1998). Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan
dalam media dan yang diproduksi secara endogen menentukan arah perkembangan
suatu kultur. Pemberian auksin yang lebih tinggi dari sitokinin akan menyebabkan
diferensiasi mengarah kepada pertumbuhan akar, sebaliknya jika sitokinin lebih
tinggi dari auksin, diferensiaisi akan mengarah kepada pertumbuhan tunas (Santoso
dan Nursandi 2001). Zat Pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan
nutrisi yang dalam konsentrasi rendah dapat bersifat mendorong, menghambat atau
secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Watimena
1992). Zat pengatur tumbuh dapat menstimulasi pembelahan dan perkembangan
sel, terkadang jaringan atau eksplan dapat memproduksi ZPT sendiri (endogen).
Penggunaan konsentrasi ZPT yang tepat dapat menghasilkan perkembangan sel ke
arah yang dikehendaki. Auksin (NAA, IBA, IAA, 2,4D) biasa digunakan untuk
menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, dengan memacu
pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik 1987),
Sitokinin (BA, Kinetin, Zeatin) digunakan untuk pembentukan tunas, Zat
penghambat seperti ABA berfungsi sebagai penghambat pembelahan sel pada
embrio sehingga pendewasaan sel terjadi dengan perkecambahan yang terhambat
dan inhibitor tanaman. Giberelin (GA) untuk pembentukan tunas bersama-sama
dengan auksin (Lestari 2011).
Poliploid
Poliploid merupakan kondisi susunan kromosom yang menjadi lebih dari
dua set kromosom. Sel-sel pada tanaman poliploidi menjadi lebih besar sehingga
ukuran tanaman poliploidi biasanya lebih besar dari tanaman normal pada
umumnya. Hal ini dapat meningkatkan nilai produktivitas dibandingkan tanaman
yang tidak mengalami poliploidi. Tanaman poliploidi juga lebih subur dan memiliki
pertumbuhan yang cepat (Griffith 2000).
Poliplodisasi banyak digunakan untuk meningkatkan produktivitas pada
tanaman seperti Solanum, Citrus, Scutelia baicalansis, Alocasia, Allium cepa, dan
Azalia. Poliploidisasi dilakukan dengan berbagai alasan seperti, menghasilkan
tanaman tanpa biji, meningkatkan senyawa metabolit sekunder, mendapatkan
varietas baru dan meningkatkan plasma nutfah untuk memenuhi kebutuhan pangan
(Madon et al. 2006).
Susunan kromosom yang menjadi lebih dari dua set kromosom akibat
poliploidisasi menghasilkan daun yang lebih besar, batang lebih tebal, bunga dan
buahnya juga lebih besar dibandingkan dengan tanaman asal yang diploid (Dermen
dan Bain 1994). Poliploidisasi dapat terjadi melalui pembentukan sel-sel gamet

5

yang terbentuk dari proses mitosis. Sel-sel yang mengalami penggandaan
kromosom, fase S tidak akan terlewati pada siklus sel dan gamet diploid akan
terbentuk (Segraves et al. 1999). Poliploidisasi dapat dilakukan dalam laboratorium
dengan menginduksi sel yang akan membelah dengan berbagai zat kimia salah
satunya kolkisin.
Kolkisin
Kolkisin adalah senyawa alkaloid yang berasal dari tanaman Colchicum
autumnale Linn yang memiliki sifat sangat toksik (Eigisti dan Dustin 1995).
Larutan kolkisin yang mengganggu depolimerisasi protein mikrotubulus,
mencegah terbentuknya benang-benang spindel sehingga pemisahan kromosom
pada anaphase tidak terjadi, akibatnya terjadi penggandaan kromosom tanpa
pembentukan dinding sel (Griffith 2000).
Larutan kolkisin dapat mengakibatkan penundaan pertumbuhan akibat
jaringan yang rusak dan memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh. Konsentrasi
kolkisin yang tidak sesuai akan memberikan pengaruh berbeda pada pertumbuhan
tanaman seperti jumlah daun, berat basah tunas, berat basah akar, berat kering
tunas, dan berat kering akar. Rendahnya kalus yang beregenerasi pada perlakuan
kolkisin diduga karena pemberian kolkisin dengan konsentrasi yang tinggi pada
awal perlakukan dan mengakibatkan kerusakan fisiologis pada tanaman (Mariska
1996) sehingga konsentrasi yang tepat diperlukan untuk regenerasi yang baik.
Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik merupakan proses berkembangnya sel-sel somatik
(haploid maupun diploid), berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan
perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Tahapannya terdiri
dari pembentukan kalus embrionik, pendewasaan, dan tahap pengecambahan
(Yuwono 2008). Pierik (1987) menyatakan bahwa embrio somatik dapat terjadi
secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung terjadi dengan terbentuknya
embrio tanpa melalui proses pembentukan kalus sedangkan untuk yang tidak
langsung terjadi karena pembentukan embrio melalui proses pembentukan kalus.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan embriogenesis somatik adalah jenis
eksplan, sumber nitrogen, dan gula serta ZPT (Purnamaningsih 2002)
Teknik embriogenesis somatik pada tanaman jeruk telah banyak diteliti
untuk mendapatkan tanaman yang seragam dan bebas virus serta sebagai bahan
untuk perbaikan sifat genetik. Sawy et al. (2006) menyatakan bahwa bibit jeruk
yang bebas penyakit terutama virus penting didapatkan sehingga embrio somatik
pada jeruk terus berkembang. Konsep regenerasi tanaman melalui embrio somatik
pada tanaman jeruk tidak berbeda dengan tanaman dikotil lainnya. Namun
keberhasilan regenerasi embrio somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:
eksplan, zat pengatur tumbuh, media tanam dan lingkungan pengkulturan (Yujin
dan Xiuyin 2002).
Peningkatan konsentrasi gula untuk pendewasaan embrio somatik telah
dilakukan pada jeruk (Kosmiatin et al. 2014), dan telah dilaporkan bahwa
peningkatan konsentrasi gula akan memacu pendewasaan ES. Pendewasaan ES
yang berhasil diinduksi dari jaringan endosperma meningkat pada media dengan

6

penambahan ABA, tetapi jumlahnya menurun bila ABA yang ditambahkan lebih
dari 0.5 mg/l (Kosmiatin et al. 2014).

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Percobaan
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium In vitro Kelompok Peneliti
Biologi Sel dan Jaringan BB - BIOGEN, Bogor. Percobaan ini dilaksanakan pada
bulan Maret 2014 sampai dengan bulan September 2014.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah kalus Jeruk Keprok
Batu 55 (Citrus reticulata L) hasil poliplodisasi dengan kolkisin berkonsentrasi 0.2
ml. Media dasar yang digunakan adalah Murashige dan Skoog dengan kombinasi
ZPT (ABA, GA, IAA, NAA, dan IBA) dan ekstrak Malt. Vitamin yang digunakan
meliputi vitamin MS, dan MW (Morel dan Weitmore).
Peralatan Penelitian
Alat yang digunakan saat di laboratorium adalah peralatan gelas (botol
kultur, botol ukur, gelas piala, cawan petri, gelas ukur, dan corong gelas), autoclaf,
laminar airflow cabinet, dan peralatan-peralatan seperti pinset, gunting, dan
sclapel, lampu spiritus, rak kultur, botol sprayer, plastik, dan karet gelang.
Prosedur Percobaan
Botol dan alat tanam yang akan digunakan, dicuci bersih dengan
menggunakan air bersih dan detergen, kemudian disterilkan dalam oven pada
temperatur 150°C selama 3 jam. Alat tanam yang disterilkan sebelum penanaman
adalah pinset, scalpel, pisau tanam, dan cawan petri.
Pembuatan media MS dilakukan dengan mengambil larutan baku dari setiap
larutan stok media (Makro MS, Mikro MS, myoinositol, vitamin, biotin) yang telah
dibuat sesuai dengan volume yang diperlukan serta ditambah dengan ekstrak malt
kombinasi vitamin MS, MW, ZPT sesuai dengan perlakuan masing-masing. Setelah
larutan dimasukkan ke dalam labu takar ditambahkan gula dengan konsentrasi 30
g/l. Kemudian ditera sampai tanda tera dengan aquades dan dilakukan pengukuran
pH dengan alat pengukur pengatur pH sampai pH media 5.8. Larutan media yang
telah diukur pH dimasukkan kedalam erlenmeyer lalu ditambahkan agar (phytagel)
dengan konsentrasi 2.5 g/l, setelah itu dimasak sampai mendidih agar semua bahan
tercampur homogen. Larutan media lalu dimasukkan ke dalam botol kultur sekitar
25 ml/botol. Lalu botol ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang.

7

Semua media disterilkan dalam autoclaf pada suhu 121°C dengan tekanan 0.15
MPA selama 15 menit. Media yang telah dibuat disimpan didalam ruang kultur.
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan kegiatan yaitu proliferasi
kalus embriogenik, pendewasaan embrio somatik, perkecambahan embrio somatik
dan pemanjangan akar dan tunas.
Proliferasi Kalus Embriogenik
Tahap proliferasi kalus bertujuan untuk memperbanyak embrio somatik
(ES) fase globular. Eksplan yang digunakan pada percobaan ini merupakan kalus
yang didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya (Yulianti 2014). Kalus ini
disubkultur pada media perlakuan proliferasi kalus. Tahap proliferasi kalus
menggunakan media dasar MS modifikasi dengan penambahan Vitamin MW +
Ekstrak Malt 500 mg/l dan perlakuan konsentrasi pemadat (phytagel) 2.5 g/l, 3 g/l,
3.5 g/l, 4 g/l. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali sehingga terdapat 20 satuan
percobaan. Setiap ulangan terdiri dari satu botol kultur yang berisikan 3 clump yang
berdiameter 1-2 cm. Pengamatan pada tahap ini dilakukan setiap minggu dan yang
diamati adalah jumlah ES fase globular pada kalus. Rancangan yang digunakan
pada percobaan ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 1 faktor.
Pendewasaan Embrio Somatik
Pendewasaan yang bertujuan untuk mendapatkan populasi embrio dewasa
(fase kotiledon). Pada tahap ini media dasar yang digunakan adalah MS + Vitamin
MW + Ekstrak Malt 100 mg/l dengan perlakuan konsentrasi ZPT ABA sebesar 0,
0.1, 0.3, dan 0.5 mg/l. Eksplan yang digunakan pada tahap ini adalah ES fase
globular hasil dari percobaan proliferasi kalus. Setiap perlakuan ZPT diulang
sebanyak 6 kali sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Setiap ulangan terdiri dari
1 botol dengan 5 eksplan. Pengamatan pada tahap ini dilakukan setiap minggu dan
yang diamati adalah jumlah fase jantung, torpedo, dan kotiledon yang terbentuk.
Rancangan yang digunakan pada percobaan ini adalah rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial dengan 1 faktor.
Perkecambahan Embrio Somatik
Perkecambahan bertujuan untuk menghasilkan planlet yaitu ES yang
berkecambah sehingga memiliki akar dan tunas. Pada tahap ini digunakan media
dasar MS + Ekstrak malt 500 mg/l GA3 2.5 ml/l dengan formulasi perlakuan
vitamin MS dan vitamin MW. Eksplan yang digunakan pada tahap ini adalah ES
dewasa (kotiledon) hasil dari percobaan pendewasaan embrio somatik. Setiap
perlakuan vitamin diulang sebanyak 16 kali sehingga terdapat 32 satuan percobaan.
Setiap ulangan terdiri dari 1 botol dengan 4 eksplan. Pengamatan pada tahap ini
dilakukan setiap minggu dan yang diamati adalah persentase perkecambahan dan
pembentukan planlet. Rancangan yang digunakan pada percobaan ini adalah
rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 1 faktor.
Pemanjangan Akar dan Tunas
Pemanjangan akar dan tunas bertujuan untuk memanjangkan akar dan tunas
yang telah tumbuh sehingga dapat diaklimatisasi. Pada tahap ini digunakan media
dasar MS + Vitamin MS + Ekstrak malt 500 mg/l dan MS + Vitamin MW + Ekstrak
malt 500 mg/l dengan ZPT IAA, NAA, IBA pada konsentrasi 0.5 mg/l . Eksplan

8

yang digunakan pada tahap ini adalah planlet yang terbentuk dari percobaan
perkecambahan ES. Setiap kombinasi media diulang sebanyak 5 kali sehingga
terdapat 30 satuan percobaan. Setiap ulangan terdiri dari 1 botol dengan 1 planlet.
Pengamatan pada tahap ini dilakukan setiap minggu dan yang diamati adalah
pertumbuhan dari akar dan tunas di minggu keempat. Rancangan yang digunakan
pada percobaan ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan pada percobaan proliferasi kalus, pendewasaan
embrio somatik, perkecambahan embrio somatik adalah rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial satu faktor dengan konsentrasi pemadat (phytagel), ABA, dan
formulasi vitamin sebagai faktor.
Model rancangan yang digunakan :
Yik
= μ + αi + εik
Yik = respon pengaruh konsentrasi pemadat (phytagel), ABA, formulasi vitamin
ke-i pada ulangan ke-k
μ
= rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan konsentrasi pemadat (phytagel), ABA, formulasi
vitamin klon ke-i
εik
= galat pada perlakuan konsentrasi pemadat (phytagel), ABA, fomulasi
vitamin ke-i pada ulangan ke-k.
i
= 1,2,3,4
k
= 1,2,3,4,5
Rancangan yang digunakan dalam percobaan pemanjangan akar dan tunas
adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dua faktor yaitu vitamin dengan
dua taraf yaitu MS dan MW dan jenis ZPT dengan tiga taraf yaitu IAA, NAA, IBA.
Model rancangan yang digunakan :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Yijk = respon pengaruh tipe vitamin ke-i, jenis ZPT ke-j, dan ulangan ke-k
μ
= rataan umum
αi
= pengaruh tipe vitamin ke-i
βj
= pengaruh jenis ZPT ke-j
εik
= galat pada tipe vitamin ke-i, jenis ZPT ke-j, dan ulangan
ke-k.
i
= 1,2
k
= 1,2,3
k
= 1,2,3,4,5

Prosedur Analisis Data
Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji sidik ragam
(uji F) pada taraf 5%. Apabila hasil sidik ragam (uji F) menunjukkan pengaruh nyata
pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan
(DMRT).

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Proliferasi Kalus Embriogenik
Proliferasi kalus embriogenik merupakan salah satu tahap embriogenesis
somatik yang bertujuan untuk memperbanyak ES fase globular. Jumlah ES fase
globular yang terbentuk pada kalus merupakan salah satu indikasi kapabilitas atau
kemampuan regenerasi pada kalus. Tingkat kepadatan media regenerasi dengan
cekaman air dapat mempengaruhi frekuensi regenerasi (Jian et al. 1996). Pada
percobaan ini kalus diproliferasi pada media dasar MS + Vitamin MW + 500 mg/l
ekstrak malt dengan penambahan bahan pemadat phytagel berkonsentrasi 2.5 g/l, 3
g/l, 3.5 g/l, dan 4 g/l. Phytagel dengan konsenstrasi 2.5 g/l merupakan konsentrasi
yang sering digunakan, karena bila konsentrasinya dibawah 2.5 g/l dikhawatirkan
media tidak memiliki kepadatan yang baik sehingga mudah hancur.
Tabel 1 Jumlah ES fase globular jeruk keprok hasil poliploidisasi pada media
proliferasi kalus embriogenik, sampai minggu ke 7 setelah pengkulturan.
Perlakuan
phytagel
(gr/l)
2.5
3.0
3.5
4.0
Uji F

Minggu ke1

3

5

7

17.6 a
8.0 b
13.6 ab
9.8 b
*

16.0
11.6
11.0
12.6
tn

16.6
14.6
12.0
12.8
tn

18.8a
7.8 b
10.4b
10.8b
*

aAngka

pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji
5% (uji DMRT) dengan menggunakan transformasi data √� + 0.5.

Analisis data dilakukan pada minggu 1, 3 , 5, dan 7. Sebelum dilakukannya
analisis data dengan uji F, data ditransformasi terlebih dahulu untuk mengurangi
koefisien keragaman dan menormalkan data. Tabel 1 menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi pemadat phytagel mempengaruhi jumlah ES fase globular
yang dihasilkan. Jumlah globular yang dihasilkan perlakuan pemadat phytagel
dengan konsentrasi 2.5 g/l berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/l, 3.5 g/l, dan 4 g/l
pada minggu pertama dan ketujuh. Uji F pada Tabel 1 menunjukkan bahwa minggu
ketiga dan kelima antar konsentrasi perlakuan phytagel tidak ada perbedaan jumlah
globular. Meski demikian, bila melihat jumlah globular yang dihasilkan antar
perlakuan pada minggu ketiga dan kelima, pemadat phytagel 2.5 g/l memiliki hasil
yang terbaik. Tabel 1 menunjukan bahwa perlakuan phytagel dengan konsentrasi
2.5 g/l memiliki jumlah globular terbanyak di setiap minggunya. ES globular juga
dapat berkembang setiap minggunya membentuk ES dewasa (jantung, torpedo,
kotiledon). Terutama pada media dengan konsentrasi phytagel yang lebih tinggi.
Kalus dengan perlakuan phytagel berkonsentrasi 3 g/l menghasilkan ES fase
globular paling baik pada minggu kelima sebesar 14.6 dan berkembang ke ES
dewasa pada minggu ketujuh. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan jumlah ES fase
globular dari 14.6 ke 7.8. Perlakuan phytagel 3.5 g/l menghasilkan ES fase globular
terbaik pada minggu pertama dan konsentrasi 4 g/l pada minggu kelima. Kedua

10

perlakuan konsentrasi pemadat ini juga menunjukkan adanya perkembangan ES
fase globular ke ES dewasa. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan jumlah ES pada
minggu berikutnya pada kedua perlakuan tersebut. Penurunan jumlah ES fase
globular menunjukkan bahwa sebagian ES mengalami pendewasaan pada
peningkatan konsentrasi phytagel sebesar 1-2 g/l. Hasil secara keseluruhan
menunjukkan bahwa ES fase globular paling banyak dihasilkan pada konsentrasi
pemadat phytagel 2.5 g/l dibandingkan yang konsentrasi yang lain dengan jumlah
globular dari 16-18.8.
Konsentrasi pemadat phytagel 2.5 g//l merupakan konsentrasi yang
optimum karena diduga media memiliki kepadatan yang baik sehingga cekaman air
pada media tidak tinggi (Inez et al. 1997), dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan
eksplan dapat diserap dengan baik. Pemadat phytagel dengan konsentrasi 2.5 g/l
juga baik untuk mempertahankan ES pada fase globular karena memiliki ES fase
globular terbanyak dan belum berkembang menjadi ES dewasa. Media dengan
peningkatan konsentrasi gel pemadat akan menurunkan potensial matriks media
sehingga ketersediaan air untuk diserap berkurang dan menyebabkan kandungan air
dalam ES menjadi rendah, kondisi ini baik untuk pendewasaan ES (Kosmiatin et
al. 2014). Media dengan peningkatan konsentrasi pemadat lebih baik digunakan
untuk pendewasaan ES daripada untuk proliferasi kalus embriogenik.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 1 Kondisi eksplan pada minggu ke-7 (a) Globular pada kalus, (b) Perlakuan
Phytagel 2.5 g/l, (c) Perlakuan Phytagel 3 g/l, (d) Perlakuan Phytagel 3.5
g/l, (e) Perlakuan Phytagel 4 g/l.
Gambar 1 mempelihatkan terbentuknya globular pada kalus (a). Keragaman
pembentukan globular pada media dengan konsentrasi phytagel terlihat pada
Gambar 1. Kalus dengan perlakuan pemadat phytagel berkonsentrasi 2.5 g/l
(Gambar 1b) terlihat lebih banyak menghasilkan globular (spot hijau) dibandingkan
kalus dengan perlakuan pemadat yang lain. Kalus dengan perlakuan pemadat
phytagel berkonsentrasi 3 g/l (Gambar 1c) terlihat tidak sebaik pada pemadat
phytagel berkonsentrasi 3.5 g/l (Gambar 1d) dan 4 g/l (Gambar 1e) yang relatif
sama dalam membentuk ES fase globular. Embrio somatik dewasa (jantung,

11

torpedo, kotiledon) dapat langsung terbentuk pada media yang sama yaitu pada
semua perlakuan terutama pada media dengan konsentrasi pemadat lebih tinggi.
Hal ini menguntungkan karena proliferasi dan pendewasaan embrio dapat
berlangsung dalam satu tahap pengkulturan.
Media dasar sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus.
Sehingga komposisi media dasar menjadi faktor penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan kalus. Vitamin Morel dan Weitmore (MW) adalah vitamin yang
lebih lengkap komposisinya dibandingkan dengan vitamin MS, karena
mengandung Ca-pantotenat dan biotin yang dapat memacu pertumbuhan jaringan
(Merigo 2011). Shanty et al. (2004) dan Badawy et al. (2009) menyatakan bahwa
pemberian biotin mempengaruhi perkembangan kalus embrionik.
Ekstrak malt menjadi salah satu komposisi media dasar yang digunakan
dalam pertumbuhan dan perkembangan kalus, karena ekstrak malt merupakan
bahan organik yang mudah diserap oleh kalus. Penambahan bahan organik (Casein
Hidrolisat atau Ekstrak Malt) pada tanaman Dianthus dapat meningkatkan 1.5 kali
pembentukan embrio somatik (Pareek dan Kothari 2003). Ketersediaan bahan
organik yang tinggi dalam medium dapat meningkatkan akumulasi asam amino
sebagai penyusun protein, sehingga akumulasi protein juga turut meningkat
(Kosmiatin et al. 2014). Pembentukan protein terutama protein simpanan dalam sel
dibutuhkan untuk membentuk ES (Deo et al. 2010).

Pendewasaan Embrio Somatik
Pendewasaan embrio somatik merupakan perkembangan ES fase globular
sampai menjadi kotiledon. Globular berkembang menjadi fase jantung, torpedo,
dan terakhir ke fase kotiledon. Pendewasaan embrio somatik merupakan tahapan
penting dalam keberhasilan embriogenesis somatik (Kosmiatin et al. 2014).
Pendewasaan embrio somatik pada tanaman jeruk sangat tergantung pada
komposisi ZPT yang diberikan kepada eksplan (Husni 2010). Pendewasaan embrio
somatik dipengaruhi beberapa faktor yang salah satunya adalah konsentrasi dari
ABA (Anjaneyulu dan Giri 2008). Asam absisik (ABA) merangsang embrio
menjadi dewasa dengan menghambat pembelahan sel dan mendewasakan sel
(Egerstsdotter 1999).
Tabel 2 Rata-rata jumlah embrio somatik yang membentuk fase jantung sampai
minggu ke-9 setelah pengkulturan pada media pendewasaan dengan
penambahan ABA.
Perlakuan
ABA (mg/l)
0.0
0.1
0.3
0.5
Uji F
aAngka

Minggu ke3
0.6b
2.8a
3.0a
2.0a
*

5
4.5 ab
2.8 b
4.1 ab
7.3 a
*

7
6.3
6.5
8.5
10.6
tn

9
5.5
5.2
6.2
7.6
tn

pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji

5% (uji DMRT) dengan menggunakan transformasi data √� + 0.5.

12

JUMLAH ES FASE TERPEDO

1.4
1.2
1.0

ABA 0 mg/l

0.8

ABA 0.1 mg/l

0.6

ABA 0.3 mg/l

0.4

ABA 0.5 mg/l

0.2
0.0
3

5
7
MINGGU KE-

9

Gambar 2 Grafik rata-rata jumlah embrio somatik fase torpedo pada setiap
konsentrasi ABA sampai minggu ke-9 setelah pengkulturan pada
media pendewasaan (Uji F tidak nyata)

JUMLAH ES FASE KOTILEDON

4.5
4.0
3.5
3.0
2.5

ABA 0 mg/l

2.0

ABA 0.1 mg/l

1.5

ABA 0.3 mg/l

1.0

ABA 0.5 mg/l

0.5
0.0
3

5

7

9

MINGGU KEGambar 3 Grafik rata-rata jumlah embrio somatik fase kotiledon pada setiap
konsentrasi ABA sampai minggu ke-9 setelah pengkulturan pada
media pendewasaan (Uji F tidak nyata).

13

Analisis data dilakukan pada minggu 3, 5, 7, dan 9. Uji F dilakukan setelah
data ditransformasi agar nilai koefisien keragam tidak melebihi 20%. Tabel 2
menunjukkan bahwa media pendewasaan embrio somatik dengan perlakuan ABA
berpengaruh terhadap pembentukan ES fase jantung dibandingkan media
pedewasaan tanpa perlakuan ABA pada minggu ketiga dan kelima. Minggu
pertama menunjukan ketiga media pendewasaan perlakuan ABA berbeda nyata bila
dibandingkan dengan media pendewasaan tanpa perlakuan ABA. Minggu kelima
menunjukkan bahwa perlakuan ABA dengan konsentrasi 0.5 mg/l berbeda nyata
dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi ABA lainnya. Minggu ketujuh dan
kesembilan ES fase jantung yang terbentuk tidak berbeda nyata antar perlakuan
konsentrasi ABA, meski demikian perlakuan ABA berkonsentrasi 0.5 mg/l
memiliki jumlah ES fase jantung terbanyak pada minggu ketujuh dan kesembilan.
Media pendewasaan tanpa ABA memiliki jumlah ES fase jantung yang relatif sama
dengan perlakuan ABA 0.1 mg/l pada minggu ketujuh dan kesembilan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa penambahan 0.5 mg/l ABA memiliki hasil
terbaik hampir disetiap minggunya pada ES fase jantung. Embrio somatik pada ES
fase jantung yang terbentuk diduga berkembang ke fase selanjutnya pada minggu
ke-9 karena terjadi penurunan jumlah ES fase jantung. Hasil terbaik jumlah embrio
somatik fase jantung terlihat pada minggu ke-7 dengan rata-rata jumlah 6.3 – 10.6.
Analisis data pada perlakuan media pendewasaan dengan ABA tidak
berpengaruh nyata terhadap pembentukan ES fase torpedo dan ES fase kotiledon.
Meski demikian Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa penambahan 0.5
mg/l ABA memiliki hasil rata-rata terbaik hampir disetiap minggunya dalam
membentuk ES fase torpedo dan ES fase kotiledon. Berdasarkan Gambar 2, setiap
minggunya torpedo yang dihasilkan berbeda-beda dan cenderung menurun. Hal ini
diduga karena ES fase torpedo berkembang menjadi ES fase selanjutnya yaitu
kotiledon. Rata-rata jumlah ES fase torpedo yang terbentuk berkisar dari 0.1 – 1.3.
Minggu ke-7 merupakan minggu terbaik pada rata-rata jumlah ES fase torpedo
yang terbentuk dari media pendewasaan dengan perlakuan ABA berkonsentrasi 0.5
mg/l. Media pendewasaan dengan perlakuan ABA berkonsentrasi 0.3 mg/l
menghasilkan ES fase torpedo terbaik pada minggu ke-5. Sedangkan perlakuan
ABA berkonsentrasi 0.1 mg/l dengan media tanpa ABA terlihat menghasilkan ES
fase torpedo yang sama pada minggu ke-9.
Gambar 3 menunjukkan bahwa ES pada fase kotiledon mulai terbentuk pada
minggu ke-5 dan meningkat secara signifikan setelah minggu ke-7. Hal ini diduga
karena pengaruh ABA terhadap pendewasaan embrio terjadi pada minggu ke-7.
Pada minggu ke-5 rata-rata ES fase kotiledon pada konsenstrasi ABA 0, 0.1, 0.3,
0.5 adalah 0.5, 0.3, 0.3, 0.6. Pembentukan di minggu ke-5 rata-rata ES fase
kotiledon tidak mencapai 1, artinya banyak botol yang tidak membentukan ES fase
kotiledonnya. Perlakuan ABA 0.5 mg/l terlihat memiliki rata-rata ES fase kotiledon
yang paling baik dibandingkan dengan ABA 0.3, 0.1, 0 mg/l pada minggu ke-9
yang berturut-turut sebesar 4.1, 3.3, 2.8, 3. Gambar 3 juga menunjukkan bahwa
media kultur tanpa penambahan ABA terlihat lebih baik dibandingkan dengan yang
ditambahkan ABA berkonsentrasi 0.1 mg/l diminggu ke-9 sebesar 3.

14

JUMLAH EMBRIO SOMATIK

8
7

∑ Fase Jantung

6
5

∑ Fase Terpedo

4
3
2

∑ Fase Kotiledon

1
0
0

0.1

0.3

0.5

KONSENTRASI ABA (MG/L)
Gambar 4 Jumlah embrio somatik pada media pendewasaan dengan penambahan
ABA, 9 minggu setelah pengkulturan (Uji F tidak nyata)
Pada Gambar 4 terlihat bahwa perkembangan embrio somatik membentuk
fase jantung, torpedo, dan kotiledon meningkat seiring dengan penambahan
konsentrasi ABA. Pemberian ABA 0.5 mg/l terlihat memiliki hasil yang terbaik
dari fase jantung, fase torpedo, dan fase kotiledon. Pemberian konsentrasi 0.5 mg/l
ABA pada kalus yang diinduksi dari nuselus menunjukkan adanya fase
pendewasaan embrio somatik yang dimulai dari globular kemudian jantung dan
kotiledon (Cardoza et al. 2002). Penambahan ABA 0.5 mg/l dalam media dapat
mendewasakan embrio somatik (Husni 2010). Pada penelitian ini persentase
pendewasaan (∑ kotiledon/∑ total ES x 100%) terbaik diperoleh pada formulasi
media dengan penambahan ABA 0.5 mg/l sebesar 82%. Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan bahwa peningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik dapat
dilakukan dengan penambahan etilen antagonis seperti ABA, spermidine, dan
AgNO3 pada konsentrasi tinggi (10 μM) (Renukdas et al. 2006)
Pemberian ABA pada embrio somatik bertujuan untuk menyeragamkan fase
pendewasaan sehingga didapatkan kotiledon yang siap dikecambahkan. Pemberian
ABA juga dapat menekan terjadinya pertumbuhan embrio yang prematur (Merigo
2011). Gambar 4 memperlihatkan rata-rata jumlah ES fase jantung yang berkisar
dari 5.5 - 7.6, ES fase torpedo dari 0.1 – 0.6, dan ES fase kotiledon dari 3.0 – 4.1.
Rata-rata jumlah ES fase torpedo terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah ES
fase jantung, dan ES fase kotiledon. Hal ini menunjukkan bahwa ES fase jantung
berkembang ke fase kotiledon pada minggu terakhir, sedangkan ES fase torpedo
sudah berkembang menjadi kotiledon pada minggu sebelumnya.

15

(a)

(b)

(d)

(c)

Gambar 5 (a) ES Fase Jantung, (b) ES Fase Terpedo, (c) ES Fase Kotiledon, (d)
Kotiledon abnormal pada minggu ke-9.
Gambar 5 menunjukan bentuk dari ES fase jantung, ES fase torpedo, dan
ES fase kotiledon yang dihasilkan melalui proses pendewasaan embrio somatik.
Embrio somatik fase jantung (Gambar a) merupakan struktur awal dari
pembentukan kotiledon dimana fase ini memiliki struktur awal bipolar, yang akan
berkembang menjadi fase terpedo (Gambar b). Saat ES fase torpedo terbentuk, sel
akan mengarahkan pertumbuhannya kearah bawah dan membentuk meristem akar
yang ditandai dengan terbentuknya struktur akar. Pematangan embrio akan berakhir
pada bentuk kotiledon sempurna dimana meristem akar dan meristem tunas mulai
terbentuk (Gambar c). Beberapa ES fase kotiledon berukuran abnormal dan
membentuk lebih dari 2 kotiledon (Gambar d).
Pada perlakuan ABA 0.5 mg/l pada minggu ke-9 didapatkan kotiledonkotiledon yang banyak, namun morfologinya abnormal karena memiliki ukuran
yang lebih besar dari kotiledon normal (Gambar d). Morfologi abnormal ini diduga
karena adanya akumulasi protein simpanan yang berlebih pada aktivitas biotin yang
terdapat pada formulasi vitamin MW serta ekstrak malt sebagai bahan organik yang
mudah diserap oleh tanaman (Dodeman et al. 1997). Akumulasi protein simpanan
yang berlebih akan menghambat akumulasi protein LEA (Late Embryogenesis
Abundant) yang berperan dalam pendewasaan embrio somatik sehingga embrio
somatik menjadi abnormal.

Perkecambahan Embrio Somatik
Perkecambahan merupakan fase setelah fase pendewasaan dan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan (suhu dan cahaya) serta
komposisi ZPT yang terdapat pada media perkecambahan (Merigo 2011). Zat
pengatur tumbuh diperlukan pada tanaman karena merupakan senyawa organik
yang mampu mendorong, mengatur, dan menghambat fase fisiologis tanaman

16

% PERKECAMBAHAN

sehingga pertumbuhan tanaman dapat dikendalikan. Menurut Davies (2004) salah
satu ZPT yang berperan dalam proses perkecambahan embrio somatik adalah GA3.
Vitamin memiliki fungsi yaitu untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
eksplan. Formulasi vitamin MS pada umumnya digunakan untuk perkecambahan
induk, sedangan formulasi vitamin MW biasa digunakan untuk menyeragamkan
pertumbuhan dari eksplan.
Hasil analisis data dilakukan pada persentase perkecambahan embrio yang
sempurna (akar dan tunas) di minggu ke- 2, 4, 6, 8, dan 10. Perlakuan jenis vitamin
hanya memberikan pengaruh terhadap pembentukan planlet pada minggu
kedelapan. Perlakuan vitamin MS merupakan vitamin yang mampu menghasilkan
planlet lebih baik dibandingkan dengan perlakuan vitamin MW pada minggu
kedelapan. Namun pada minggu terakhir tidak ada perbedaan dari kedua perlakuan
vitamin. Hal ini diduga karena pengaruh vitamin dalam perkecambahan dan
pembentukan planlet tidak berpengaruh, berbeda dengan ZPT seperti GA3 yang
sangat berperan penting dalam pembentukan akar dan planlet.
Vitamin berguna untuk merangsang perkembangan jaringan yang berbeda
fungsinya dengan ZPT yang mampu menginduksi perakaran dan tunas.
Perkecambahan embrio somatik mempunyai proses yang perlu waktu. Minggu
kesepuluh perkecambahan menghasilkan jumlah planlet sebanyak 53 planlet dari
128 total embrio. Hal ini menunjukan bahwa perkecambahan normal memerlukan
waktu lebih dari 9 minggu.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Vitamin MW
Vitamin MS

2

4

6

8

10

MINGGU KEGambar 6 Persentase perkecambahan ES pada media perkecambahan dengan
penambahan vitamin yang berbeda (Uji F tidak nyata)
Pada Gambar 6 terlihat bahwa perlakuan vitamin MW memiliki hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan perlakuan vitamin MS dalam perkecambahan
embrio somatik. Persentase kecambah yang diamati merupakan gabungan antara
kecambah normal dan abnormal. Persentase kecambah yang dihasilkan pada

17

% PLANLET

perlakuan vitamin MW sebesar 67.2% - 85.9%. Sedangkan persentase kecambah
yang dihasilkan pada perlakuan vitamin MS sebesar 55.4% - 80.1%. Peningkatan
persentase kecambah pada perlakuan vitamin MW cenderung lebih stabil
dibandingkan dengan perlakuan vitamin MS pada minggu kedua sampai minggu
keenam. Keduanya menunjukkan adanya peningkatan persentase perkecambahan
hingga minggu kesepuluh.

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

*
Vitamin MW
*

2

4

6
MINGGU KE-

8

Vitamin MS

10

Gambar 7 Persentase planlet yang terbentuk setiap minggu pada media
perkecambahan dengan penambahan vitamin yang berbeda *(Uji f
nyata pada minggu ke-8)
Gambar 7 memperlihatkan bahwa perkecambahan yang sempurna (planlet)
muncul pertama pada minggu keempat. Perlakuan vitamin MW sebesar 5.2%
terlihat lebih baik dibandingkan perlakuan vitamin MS dengan persentase sebesar
4.3% pada minggu keempat. Kedua perlakuan memperlihatkan peningkatan yang
terus terjadi pada stiap 2 minggu. Peningkatan persentase pembentukan kecambah
yang sempurna (planlet) pada perlakuan vitamin MS terlihat normal dimulai dari
minggu keempat. Sedangkan pada perlakuan vitamin MW terjadi peningkatan
persentase kecambah normal yang signifikan pada minggu kedelapan.
Pembentukan planlet pada perlakuan vitamin MS memiliki persentase
sebesar 4.3 – 43.1 %, dan perlakuan vitamin MW memilik persentase sebesar 5.2 –
39.2 %. Perlakuan Vitamin MS terlihat lebih baik dibandingkan dengan vitamin
MW dengan persentase pembentukan planlet diakhir berturut-turut 43.1% dan
39.2%. Hal ini diduga karena adanya biotin pada vitamin MW yang berkombinasi
dengan ekstrak malt pada media dasar. Kombinasi biotin dengan bahan organik
yang ditambahkan secara eksogen akan mengakibatkan akumulasi protein yang
berlebihan dalam sel sehingga justru menghambat proses embriogenesis (Dodeman
et al. 1997).

18

Penelitian Merigo (2011) pada perkecambahan embrio somatik,
menghasilkan planlet dengan persentase yang terbentuk sebesar 84% dengan
perlakuan GA3 berkonsentrasi 2.5 mg/l. Persentase embrio somatik pada fase
kotiledon yang membentuk kecambah sempurna (planlet) , kurang baik hasilnya
diduga karena adanya peningkatan ploidi pada eksplan yang mempengaruhi
perkecambahan embrio somatik.
100
90
80
70

Vitamin MW

60
Vitamin MS

50
40
30
20
10

0
Kotiledon
berkecambah (%)

Kecambah
Kecambah normal
Abnormal (%)
(%)

Gambar 8 Persentase kotiledon yang berkecambah, kecambah abnormal dan
kecambah normal pada media perkecambahan dengan penambahan
vitamin yang berbeda (Uji f tidak nyata)
Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa persentase kotiledon yang hanya
membentuk akar (abnormal) lebih tinggi pada perlakuan vitamin MW
dibandingkan dengan kotiledon yang membentuk akar dan tunas (normal) sebesar
45.5 % dan 39.2%. Namun pada perlakuan vitamin MS, persentase kotiledon yang
berkecambah abnormal lebih kecil dibandingkan dengan kotiledon yang
berkecambah dengan normal sebesar 36.9% dan 43