Pengaruh ABA dalam Pendewasaan Embrio Somatik Jeruk Keprok Batu 55 dan Garut

PENGARUH ABA DALAM PENDEWASAAN EMBRIO
SOMATIK JERUK KEPROK BATU 55 DAN GARUT

NURUL ANISA BUDIYASTUTI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh ABA dalam
Pendewasaan Embrio Somatik Jeruk Keprok Batu 55 dan Garut adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Nurul Anisa Budiyastuti
NIM A24062764

ABSTRAK
NURUL ANISA BUDIYASTUTI. Pengaruh ABA dalam Pendewasaan Embrio
Somatik Jeruk Keprok Batu 55 dan Garut. Dibimbing oleh AGUS PURWITO dan
ALI HUSNI.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ABA yang tepat
untuk pendewasaan embrio somatik jeruk keprok Batu 55 dan Garut. Penelitian
ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Februari
sampai Juli 2012. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah varietas jeruk
keprok (Batu 55 dan Garut) dan faktor kedua adalah konsentrasi ABA (0.0, 0.1,
0.5, 1.0, 1.5, 2.0, 2.5, 3.0, 3.5, 4.0 mg L-1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
fase kotiledon terbaik pada jeruk Batu 55 dilakukan melalui media kontrol dan
jeruk Garut dilakukan melalui penggunaan konsentrasi 1.5 mg L-1 ABA.
Penggunaan ABA untuk pendewasaan tidak menghasilkan embrio somatik fase

jantung dan fase torpedo.
Kata kunci: asam absisat, embriogenesis somatik, kalus embriogenik, nuselus

ABSTRACT
NURUL ANISA BUDIYASTUTI. Influence ABA for Maturation of Somatic
Embryo of Citrus Keprok Batu 55 and Garut. Supervised by AGUS PURWITO
and ALI HUSNI.
The objective of the research was to obtain optimum concentration of ABA
on maturation of somatic embryo of citrus keprok Batu 55 and Garut. The study
was conducted in Tissue Culture Laboratory, Department of Agronomy and
Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University from February
until July 2012. This research was arranged on Randomized Completely Block
Design (RCGD) with two factors. The first factor were varieties of citrus (Keprok
Batu 55 and Garut) and the second factor were concentration of ABA (0.0, 0.1,
0.5, 1.0, 1.5, 2.0, 2.5, 3.0, 3.5, 4.0 mg L-1). The result of the research showed that
the best cotyledonary phase of citrus Batu 55 be done by medium control and
citrus Garut be done by using 1.5 mg L-1 concentration of ABA. Using ABA, the
somatic embryo developed to cotyledonary phase, without heart and torpedo
phase.
Keywords: absisic acid, embryogenic callus, nucellar, somatic embryogenesis


PENGARUH ABA DALAM PENDEWASAAN EMBRIO
SOMATIK JERUK KEPROK BATU 55 DAN GARUT

NURUL ANISA BUDIYASTUTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Pengaruh ABA dalam Pendewasaan Embrio Somatik J eruk Keprok
Batu 55 dan Garut

Nama
: Nurul Anisa Budi yastuti
NIM
: A24062764

Disetujui oleh

Dr Ir

Tanggal Lulus:

Dr Ali Husni, MSi
Pembimbing II

.2
dセc@

I.,j

Judul Skripsi : Pengaruh ABA dalam Pendewasaan Embrio Somatik Jeruk Keprok

Batu 55 dan Garut
Nama
: Nurul Anisa Budiyastuti
NIM
: A24062764

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Pembimbing I

Dr Ali Husni, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 sampai Juli 2012 ini ialah
Pengaruh ABA dalam Pendewasaan Embrio Somatik Jeruk Keprok Batu 55 dan
Garut.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada yang terhormat Bapak Dr Ir Agus Purwito, MScAgr dan Bapak Dr Ali
Husni, MSi selaku pembimbing yang telah memberi dukungan, waktu, tenaga,
nasehat, dan pikiran-pikiran sampai selesainya penulisan skripsi ini. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr Ir Yudiwanti W.E.K, MS yang telah
banyak memberi saran dan dukungan selama penulis menjalani studi dan Ibu Dr
Eny Widajati, MS selaku penguji. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada
Ibu Juju selaku staf Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB yang telah banyak membantu penulis
selama menjalankan penelitian. Di samping itu, penghargaan yang tidak terhingga
penulis ucapkan kepada kedua orangtuaku tersayang, Bapak Drs Untung Slamet
dan Ibu Bodoriyah, adikku Muhammad Armen Badilah, suami dan anakku
tersayang Slamet Prayitno, MBA dan Falisha Zahiya Hunaifa yang selalu

memberi doa, dukungan, dan perhatian hingga selesainya skripsi ini. Penulis tidak
lupa ucapkan terima kasih kepada Candra Catur, Faiqotul Hima, Paramyta Nila
Permanasari, Monica CW, dan Mbak Ratna Dewi Eskundari yang telah memberi
dukungan dan tenaga, serta kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi.
Penulis menyadari akan segala kekurangan dalam penyusunan skripsi ini,
namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan perkembangan kemajuan penelitian.

Bogor, Desember 2013
Nurul Anisa Budiyastuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jeruk Keprok

Kultur Jaringan Tanaman Jeruk
Embriogenesis Somatik pada Jeruk
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Perbanyakan Kalus Embriogenik
Pendewasaan Embrio Somatik
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
1
1

2
2
2
4
6
7
7
7
7
8
8
11
12
19
19
19
20
23

DAFTAR TABEL

1 Persentase kontaminasi oleh cendawan pada varietas Batu 55
2 Persentase kontaminasi oleh cendawan pada varietas Garut
3 Rekapitulasi hasil pengamatan pada sidik ragam varietas, ABA, dan
interaksi terhadap jumlah fase globular, jumlah fase kotiledon, dan
diameter kalus
4 Pengaruh ABA terhadap rata-rata jumlah fase globular, jumlah fase
kotiledon, dan diameter kalus pada Batu 55 dan Garut pada 5 MST
5 Pengaruh ABA terhadap rata-rata jumlah fase globular, jumlah fase
kotiledon, dan diameter kalus pada Batu 55 dan Garut pada 7 MST
6 Pengaruh interaksi antara varietas dan ABA terhadap jumlah fase
kotiledon pada 9 MST

10
11

12
13
14
16


DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5
6

7

8

9
10
11

Penampilan warna kulit jeruk keprok: A) Jeruk keprok Batu 55; B)
Jeruk keprok Garut (sumber Balitjestro)
Struktur kimia asam absisik (ABA)
Kondisi umum perbanyakan kalus di ruang kultur Laboratorium
Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor
Kalus umur 4 MST bersifat remah dan embriogenik dengan warna
putih kekuningan
Kontaminasi kultur yang diakibatkan oleh cendawan
Kalus embriogenik umur 4 MST hasil perbanyakan pada media MS
+ vitamin MS: A) Kalus berwarna putih kekuningan; B) Kalus yang
tumbuh PEM
Pertumbuhan embrio somatik dewasa umur 7 MST: A dan B) Fase
globular jeruk Garut dan Batu 55 konsentrasi 1.0 mg L-1 ABA; C dan
D) Fase kotiledon jeruk Garut konsentrasi 4.0 mg L-1 ABA dan Batu
55 0.1 mg L-1 ABA.
Pertumbuhan embrio somatik dewasa fase kotiledon umur 9 MST: A
dan B) Jeruk Garut konsentrasi 1.5 mg L-1 ABA; C dan D) Jeruk
Batu 55 konsentrasi 1.0 mg L-1 ABA.
Jumlah embrio somatik fase globular rata-rata setiap minggu pada
konsentrasi ABA yang berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST
Jumlah embrio somatik fase kotiledon rata-rata setiap minggu pada
konsentrasi ABA yang berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST
Diameter kalus rata-rata setiap minggu pada konsentrasi ABA yang
berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST

4
5

9
9
10

11

15

17
18
18
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura yang paling banyak
digemari oleh masyarakat. Rasanya yang manis dan segar menjadi daya tarik
konsumen untuk mengonsumsinya baik dalam bentuk segar maupun olahan.
Industri makanan mengolah jeruk menjadi produk olahan seperti jus, sirup, atau
suplemen. Tingginya kebutuhan konsumen terhadap buah yang dikonsumsi dalam
bentuk segar menjadikan jeruk keprok sebagai salah satu komoditas jeruk unggul
di Indonesia. Namun, dalam ketersediaan produksi belum memenuhi permintaan
konsumen yang disebabkan oleh rendahnya produksi nasional buah jeruk di
Indonesia.
Sejak adanya perdagangan bebas secara global dimulai tahun 2003, buah
jeruk lokal tergeser oleh adanya buah jeruk impor. Kebutuhan permintaan trend
pasar global terhadap buah jeruk semakin berkembang. Karakter buah jeruk yang
diinginkan pasar yaitu memiliki kulit yang mudah dikupas, tidak berbiji, warna
menarik, dan kandungan gula yang tinggi (Khan 2008). Karakter mutu tersebut
ada pada buah jeruk impor. Hal tersebut ditandai dengan adanya permintaan
impor buah jeruk di Indonesia yang masih tinggi. Jumlah impor buah jeruk pada
tahun 2012 sebesar 179 000 ton (BPS 2013). Upaya untuk menekan kegiatan
impor dapat dilakukan dengan adanya penerapan ketentuan keamanan pangan
internasional melalui Codex yang mengatur batas ambang maksimum,
meningkatkan mutu dan ketersediaan jeruk lokal, dan menggiatkan “Program
Keproknisasi Nasional” (Balitbangtan 2007).
Masalah lain yang menyebabkan masih adanya impor jeruk yaitu kondisi
produksi buah jeruk di Indonesia yang belum stabil. Hal itu ditandai dengan
adanya penurunan produksi nasional buah jeruk dari 2 028 904 ton pada tahun
2010 menjadi 1 818 949 ton pada tahun 2011 (BPS 2013). Kondisi tersebut
disebabkan oleh masa panen yang terganggu dan serangan penyakit CVPD (Citrus
Vein Phloem Degeneration). Masa panen buah jeruk di Indonesia umumnya
dimulai pada bulan Februari-September dengan puncaknya pada bulan Mei-Juli
(BPS 2013).
Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
dan mutu buah jeruk lokal adalah tersedianya bibit unggul dan bermutu.
Ketersediaan bibit seperti cangkok, stek, dan okulasi masih memiliki kelemahan.
Perbanyakan secara konvensional pada tanaman jeruk memiliki kelemahan yaitu
memerlukan bahan perbanyakan yang banyak, waktu yang dibutuhkan sangat
lama, dan biaya yang mahal. Bioteknologi merupakan salah satu cara untuk
mendapatkan bibit unggul dan bermutu.
Pemuliaan melalui cara bioteknologi memerlukan sistem regenerasi yang
handal. Embriogenesis somatik merupakan salah satu sistem regenerasi tanaman
secara in vitro. Embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio secara
aseksual dari sel somatik dalam kultur in vitro. Sistem regenerasi tanaman melalui
embriogenesis somatik memiliki beberapa kelebihan, antara lain dapat dihasilkan
tanaman regeneran dalam jumlah banyak, dapat menghindari terbentuknya
tanaman kimera, dan dapat diperbanyak dalam waktu lebih singkat.

2
Pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik banyak dipengaruhi oleh
asam absisat (ABA), jenis eksplan, sumber nitrogen, dan gula. Selain itu,
ditentukan juga oleh media tanam dan lingkungan fisik (Lestari 2008). ABA
merupakan salah satu dari enam kelompok zat pengatur tumbuh yang terdapat di
dalam jaringan tanaman berperan sebagai inhibitor pertumbuhan dan
perkembangan (Wattimena et al. 1992). Penggunaan ABA dapat membantu
meningkatkan pendewasaan embrio somatik.
Pendewasaan embrio somatik melalui embriogenesis somatik pada jeruk
keprok Batu 55 dan Garut perlu dikuasai untuk meregenerasikan tanaman lebih
lanjut sehingga berpeluang mendapatkan jeruk yang unggul. Tanaman jeruk yang
unggul diperoleh dengan melakukan perbaikan sifat tanaman. Perbaikan tanaman
melalui bioteknologi dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti peningkatan
keragaman somaklonal, fusi protoplas, rekayasa genetik, dan induksi mutasi
(Yuwono 2008).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ABA yang tepat
dalam pendewasaan embrio somatik jeruk keprok Batu 55 dan Garut
menggunakan eksplan kalus embriogenik.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jeruk Keprok
Jeruk merupakan tanaman buah tahunan yang sudah ratusan tahun tumbuh
di Indonesia baik secara alami maupun dibudidayakan. Tanaman ini berasal dari
Asia, terutama India dan Indo-Cina (Chapot 1975). Tanaman jeruk didatangkan
dari Amerika dan Italia yang dibawa oleh Belanda (Khan 2007).
Jenis jeruk lokal yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia adalah
jeruk siem (Citrus microcarpa L.) antara lain Siem Pontianak, Siem Garut, Siem
Lumajang, Siem Purworejo; jeruk keprok (Citrus reticulata) antara lain keprok
batu 55, keprok Garut, keprok Tejakula, keprok Satsuma; jeruk manis (Citrus
auranticum L.); jeruk sitrun/lemon (Citrus medica); jeruk besar/pamelo (Citrus
maxima Herr.) antara lain jeruk Nambangan-Madiun dan jeruk Bali; jeruk nipis
(Citrus aurantifolia); jeruk purut (Citrus hystrix); dan jeruk sambal (Citrus hystrix
ABC) (Menegristek 2000).
Jeruk keprok merupakan salah satu jeruk yang sudah lama dibudidayakan.
Buahnya bundar dengan permukaan kulitnya tidak terlalu licin. Buahnya ada yang
berbentuk bulat, oval atau lonjong sedikit memanjang (Kanisius 1994). Klasifikasi
tanaman jeruk sebagai berikut: (1) Divisi: Spermatophyta, (2) Sub divisi:
Angiospermae, (3) Kelas: Dicotyledone, (4) Ordo: Rutales, (5) Famili: Rutaceae,
(6) Sub famili: Aurantioidae, (7) Genus: Citrus, (8) Spesies: Citrus sp. (Steenis
1975).

3
Tanaman ini merupakan jenis pohon dengan tinggi 2 - 8 meter. Tangkai
daun bersayap sangat sempit sampai tidak bersayap dengan panjang 0.5 - 1.5 cm.
Daunnya berbentuk bulat telur memanjang atau berbentuk lanset dengan ujung
tumpul. Tepinya bergerigi beringgit sangat lemah dengan panjang 3.5 - 8 cm.
Bunganya berdiameter 1.5 - 2.5 cm, berkelamin dua, daun mahkota berwarna
putih, bersifat poliembrioni. Buahnya yang sudah jadi berbentuk menyerupai bola
tertekan dengan panjang 5 - 8 cm. Kulitnya mudah dikupas dengan ketebalan 0.2 0.3 cm dan daging buahnya berwarna oranye (Balitbangtan 2005).
Tanaman jeruk dapat tumbuh baik pada dataran tinggi yaitu lebih dari 700 m
dpl dan pada pH tanah 5 - 6. Tanah yang mengandung kadar garam dan boron
yang tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman jeruk kurang baik.
Kelembaban optimum pertumbuhan jeruk keprok sekitar 70 - 80 % (Khan 2007).
Penyebaran daerah tanam jeruk keprok antara lain Jawa Barat, Sulawesi Tenggara,
Bali, Sumatera Barat, Jawa Timur (Batu dan Madura), dan Nusa Tenggara Timur.
Buah jeruk memiliki rasa yang manis dan segar serta bermanfaat baik bagi
tubuh karena mengandung vitamin. Bahan yang bermanfaat untuk kesehatan yang
terkandung pada jeruk keprok adalah tangeritin, tangeraxanthin, tryptophan,
tyrosine, nobiletin, cis-3-hexenol, cis-carveol, dan citric acid. Senyawa tangeritin
dan nobiletin berpotensi sebagai antikanker (Tang et al. 2007). Kandungan
lainnya berupa vitamin B1, C, glukosa, fruktosa, sukrosa, karoten, asam sitrat, dan
glukosida. Jeruk ini bermanfaat sebagai pertahanan tubuh, anti kanker,
menurunkan kadar kolesterol, dan memerangi infeksi virus (Ball 1997).
Jeruk keprok merupakan salah satu spesies yang sudah lama dikenal dan
dibudidayakan di Indonesia. Karakter dari jeruk keprok yang tidak dimiliki oleh
jeruk lainnya adalah daging buahnya yang berwarna oranye memiliki kandungan
air yang tinggi dengan rasa manis agak asam, harum, dan segar, serta kulit mudah
dikupas (Balitjestro 2013). Jeruk Batu 55 dan Garut merupakan varietas unggul
jeruk keprok komersial buah Nusantara. Jeruk Batu 55 atau yang disebut juga
dengan nama jeruk Punten berasal dari Batu, Jawa Timur. Jeruk ini dapat tumbuh
dengan baik pada dataran tinggi, yaitu 800 - 1200 m dpl (Balitjestro 2013).
Jeruk Garut disebut juga keprok Paseh. Jeruk Garut berasal dari Garut, Jawa
Barat. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 760 tahun 1999 menetapkan jeruk
keprok Garut sebagai varietas unggul (Balitbangtan 1999). Jeruk ini dapat tumbuh
dengan baik pada 400 - 700 m dpl (Balitjestro 2013). Masa kejayaan tanaman
jeruk Garut pada tahun 1987, populasinya mencapai 1 300 000 pohon pada luasan
areal 2 600 ha. Penurunan populasi menjadi 52 000 pohon pada tahun 1992.
Peningkatan populasi yang terjadi pada tahun 2005 mencapai 381 850 pohon
dengan luasan areal 763.70 ha (Permana 2006).
Jeruk keprok Batu 55 dan Garut memiliki warna kulit yang berbeda. Kulit
jeruk Batu 55 berwarna kuning oranye sedangkan jeruk Garut berwarna hijau
kekuningan (Gambar 1). Kandungan vitamin C sebanyak 32.27 mg/100 gram
pada Batu 55 dan 33.13 mg/100 gram pada Garut (Balitjestro 2013). Kandungan
biji pada jeruk Batu 55 sekitar 10 - 30 biji/buah dan 12 - 15 biji/buah pada jeruk
keprok Garut (Balitbangtan 2006 dan Balitbangtan 1999).

4

Gambar 1 Penampilan warna kulit jeruk keprok: A) Jeruk keprok Batu 55; B)
Jeruk keprok Garut (sumber Balitjestro)
Kultur Jaringan Tanaman Jeruk
Kultur jaringan merupakan teknik mengisolasi sel, jaringan, dan organ dari
tanaman serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga dapat
memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman kembali (Gunawan 1992).
Keuntungan perbanyakan tanaman secara in vitro melalui kultur jaringan adalah
mendapatkan bibit secara massal dalam waktu yang singkat, bebas penyakit, dan
seragam (Zulkarnain 2009). Beberapa penelitian telah dilakukan kultur jaringan
pada jeruk. Penggunaan teknik regenerasi tanaman jeruk secara kultur jaringan
telah dilakukan, diantaranya yaitu dari bagian daun dan batang, serta embrio
somatik (Yeoman 1986), bagian bakal buah (Carimi et al. 1998), dan bagian
protoplas (Mendes-Da-Gloria 2000).
Eksplan adalah bagian jaringan tanaman yang digunakan sebagai bahan
kultur. Eksplan merupakan faktor yang penting dalam menentukan tingkat
keberhasilan suatu regenerasi (Wattimena et al. 2011). Ada lima faktor yang harus
diperhatikan dalam pemilihan eksplan untuk regenerasi tanaman, yaitu organ
sumber eksplan, umur organ, musim pada saat pengambilan eksplan, ukuran
eksplan, dan kualitas tanaman asal (Merigo 2011). Eksplan yang sering digunakan
adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif karena sel-sel masih aktif untuk
membelah, dinding sel tipis karena belum terjadi penebalan lignin dan selulosa
yang menyebabkan kekakuan pada sel (Wulandari et al. 2004).
Eksplan dari jaringan muda (juvenil) biasanya memiliki kapasitas regenerasi
yang tinggi dan sering digunakan sebagai bahan penelitian (Zulkarnain 2009).
Eksplan tanaman yang masih muda menghasilkan tunas maupun akar adventif
lebih cepat dibandingkan jaringan tua. Eksplan dari jaringan tanaman tua
kemampuan regenerasinya menurun (Yusnita 2003). Beberapa contoh jaringan
tanaman yang dapat dijadikan eksplan adalah sel meristematik, kambium, dan
parenkim daun (Gunawan 1992). Bagian tanaman yang dapat dijadikan sebagai
eksplan adalah tunas bunga, daun muda, cabang, akar, umbi, kotak sari, dan
embrio (Wattimena et al. 2011). Eksplan kalus nucellar juga telah digunakan pada
beberapa varietas jeruk untuk membentuk embrio dan planlet (Rangan et al. 1969).
Eksplan nuselus merupakan eksplan yang paling baik menghasilkan kalus
embriogenik pada embriogenesis somatik jeruk siam Pontianak dan Simadu
(Husni et al. 2010). Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, faktor
lingkungan seperti cahaya, suhu, pH, dan kelembaban juga menjadi perhatian
dalam kultur jaringan tanaman dalam usaha perbaikan kualitas jeruk.

5
Faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur
adalah media. Dalam kultur jaringan dikenal ada tiga jenis fisik media yang
digunakan, yaitu media padat, semi padat, dan cair. Pertumbuhan eksplan sangat
dipengaruhi oleh kandungan media tanam (Hendaryono dan Wijayani 1994).
Media dasar MS merupakan media yang umum digunakan pada hampir semua
jenis tanaman baik untuk regenerasi maupun perkembangan planlet (Reinert and
Bajaj 1989). Media MS kaya akan kandungan nitrat, kalium, dan amonium
(Wetter and Constabel 1992). Merigo (2011) telah melaporkan media terbaik
untuk pendewasaan embrio somatik pada tanaman jeruk keprok Batu 55 adalah
MS. Karyanti et al. (2012) juga telah melaporkan pendewasaan embrio somatik
jeruk keprok Garut hasil induksi mutasi sinar Gamma berhasil menggunakan
media MS.
Media tanam tidak hanya mengandung komponen hara makro dan mikro
tetapi juga sukrosa sebagai sumber karbon dan zat pengatur tumbuh (Pierik 1987).
Pelengkap lainnya dari bagian media tanam adalah vitamin, asam amino, bahan
organik, dan bahan pemadat (agar). Beberapa bahan organik yang biasa
ditambahkan dalam media tanam adalah air kelapa, pisang, tomat, kentang,
ekstrak ragi, alpukat, pepaya, dan jeruk (Hendaryono dan Wijayani 1994).
Sukrosa atau glukosa 2 - 4% merupakan sumber karbon yang paling cocok
sehingga penggunaan gula pasir dapat digunakan sebagai sumber energi dalam
media kultur (Lestari 2008). Gula pasir digunakan sebagai bahan tambahan dalam
pembuatan media karena mengandung 99.9 % sukrosa. Asam amino seperti prolin,
glisin, asparagin, dan glutamin terkadang diperlukan. Myoinositol merupakan
heksitol atau gula alkohol berkarbon yang sering ditambahkan pada media karena
dapat merangsang pertumbuhan jaringan yang dikulturkan.
Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam media tanam sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan menjadi bibit.
ZPT merupakan senyawa organik yang jika dalam konsentrasi rendah bersifat
mendorong, menghambat, atau mengubah pertumbuhan dan perkembangan suatu
tanaman (Wattimena 1992). Zat pengatur tumbuh digolongkan dalam enam
golongan, yaitu auksin, sitokinin, asam absisik (ABA), giberelin, etilen, dan
retardan (Wattimena 1992).
ABA merupakan suatu zat yang mengatur pertumbuhan tanaman yang
terlibat dalam induksi embrio somatik (Suganthi et al. 2012). Asam absisik
tergolong kedalam inhibitor tanaman karena perannya umumnya berlawanan
dengan hormon pendorong seperti auksin, sitokinin, dan giberelin. Gambar 2
merupakan struktur kimia asam absisik (ABA).

Gambar 2 Struktur kimia asam absisik (ABA)

6
Keberhasilan tahapan perkembangan embrio somatik untuk aplikasi ABA
terbaik pada saat tahap globular (Vahdati et al. 2006). Pada tahap tersebut embrio
merespon ABA dengan baik. ABA merangsang embrio menjadi dewasa sehingga
berhenti mengalami proliferasi dan akan membesar mengakumulasi cadangan
nutrisi (Merigo 2011). ABA berperan membantu proses embriogenesis secara
normal dan mencegah terhadap pertumbuhan prematur pada embrio. Husni (2010)
telah melaporkan berhasil mendewasakan embrio somatik hasil fusi jeruk siam
Simadu dengan Mandarin Satsuma dengan menambahkan konsentrasi ABA
sebanyak 0.5 mg L-1. Pendewasaan embrio somatik pada tanaman jeruk siam
Pontianak dan Simadu dengan penggunaan ABA juga telah diteliti oleh Husni et
al. (2010).
Embriogenesis Somatik pada Jeruk
Embriogenesis somatik merupakan proses regenerasi tanaman yang dapat
digunakan untuk membantu program pemuliaan tanaman dalam perbaikan
karaktek suatu varietas. Embriogenesis somatik adalah proses dimana sel somatik
berkembang membentuk tanaman baru melalui tahapan perkembangan embrio
yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Lestari 2008). Teknik ini merupakan
teknologi yang lebih efisien dan perbanyakan secara massal dengan biaya yang
murah.
Embriogenesis somatik pada tanaman jeruk telah banyak digunakan dalam
program pemuliaan tanaman. Teknik embriogenesis somatik pada tanaman jeruk
telah banyak diteliti dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman yang seragam
dalam jumlah banyak, tanaman bebas penyakit, dan untuk perbaikan sifat suatu
varietas. Embriogenesis somatik untuk mendapatkan tanaman jeruk yang bebas
penyakit telah diteliti oleh D’Onghia et al. (2001) yang berhasil menghilangkan
penyakit virus Citrus Psorosis Virus (CPsV) pada jeruk Common Mandarin,
Sweet Orange, dan Sweet Tangor. Husni (2010) telah melaporkan embriogenesis
somatik berhasil memperbaiki sifat tanaman dengan metode hibrida somatik pada
tanaman jeruk siam Simadu dan Mandarin Satsuma. Penelitian lain juga telah
dilaporkan Kosmiatin (2013) dalam keberhasilannya membentuk tunas triploid
jeruk siam Simadu menggunakan endosperm melalui embriogenesis somatik.
Embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Embriogenesis langsung yaitu terbentuknya embrio tanpa melalui tahap kalus,
sedangkan yang tidak langsung yaitu pembentukan embrionya melalui tahapan
kalus. Proses embrio somatik dimulai dari terbentuknya sel-sel embriogenik yang
berukuran kecil dengan isi sitoplasma penuh, nukleus yang besar, vakuola yang
kecil dan kaya akan butiran pati, kemudian sel tersebut berkembang menjadi pre
embrio dan berkembang menjadi fase globular, fase hati, fase jantung, dan fase
kotiledon. Embrio somatik mempunyai ciri bipolar, yaitu meritem tunas dan
meristem akar (Husni et al. 2010).
Pendewasaan embrio somatik dalam embriogenesis somatik memerlukan
tambahan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah ABA.
Merigo (2011) melaporkan konsentrasi ABA terbaik untuk pendewasaan embrio
somatik jeruk keprok Batu 55 adalah 2.5 mg L-1 ABA. Karyanti et al. (2012) juga
telah melaporkan konsentrasi 2.5 mg L-1 ABA memberikan keberhasilan dalam

7
pendewasaan embrio somatik tanaman jeruk keprok Garut hasil induksi mutasi
sinar Gamma. Hal itu sesuai dengan Wattimena et al. (2011) yang telah
melaporkan konsentrasi ABA yang tinggi, yaitu sekitar 5 - 50 mg L-1 berperan
menghambat pertumbuhan kalus sedangkan pada beberapa jenis tanaman seperti
nam-nam dan jeruk dengan konsentrasi 0.05 - 5.00 mg L-1 dapat mempercepat
pertumbuhan kalus atau mendorong pertumbuhan tunas dari kalus.

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari
bulan Februari sampai Juli 2012.
Bahan dan Alat
Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalus embriogenik
yang telah berumur sekitar 3 tahun yang berasal dari nuselus jeruk keprok Batu 55
dan Garut yang telah tersedia di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Media tumbuh yang digunakan adalah media MS (Murashige and Skoog)
dan vitamin MW (Morel and Wetmore). Zat pengatur tumbuh (ZPT) yang
menjadi perlakuan adalah ABA. Bahan lain yang digunakan adalah agar-agar,
aquades, alkohol, dan spirtus. Alat yang digunakan terdiri dari autoklaf, botol
kultur, botol ukur, petri dish, gelas ukur, laminar air flow cabinet, gunting, pH
meter, stirrer, kompor, mikroskop, pinset, pipet, scalpel, dan timbangan analitik.
Metode Percobaan
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap kegiatan, yaitu perbanyakan kalus
embriogenik yang dilanjutkan dengan pendewasaan embrio somatik.
Perbanyakan Kalus Embriogenik
Perbanyakan kalus embriogenik pada penelitian ini menggunakan media
MS + vitamin MW. Bahan eksplan perbanyakan berasal dari kalus embriogenik.
Setiap botol kultur diisi dengan 3 clam kalus berdiameter ± 0.5 cm. Semua botol
kultur untuk perbanyakan disusun pada rak dan diinkubasi dalam ruang kultur
pada suhu 25˚C selama 4 MST (minggu setelah tanam). Selanjutnya kalus-kalus
tersebut disubkultur ke dalam media perlakuan.
Pendewasaan Embrio Somatik
Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan embrio dewasa sampai fase
kotiledon. Bahan yang digunakan adalah kalus embriogenik jeruk keprok Batu 55
dan Garut dari tahapan pertama dan disubkultur ke dalam media perlakuan dengan

8
penambahan beberapa konsentrasi ABA. Perlakuan diinkubasi dalam ruang kultur
pada suhu 25˚C selama 9 MST. Peubah yang diamati adalah jumlah fase globular,
jumlah fase jantung, jumlah fase torpedo, jumlah fase kotiledon, dan diameter
kalus.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) faktorial. Faktor pertama, yaitu varietas jeruk keprok
(Batu 55 dan Garut). Faktor kedua adalah konsentrasi ABA (0.0, 0.1, 0.5, 1.0, 1.5,
2.0, 2.5, 3.0, 3.5, 4.0 mg L-1). Setiap perlakuan diulang sebanyak 20 kali. Data
yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam dengan uji F dan apabila
hasilnya berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range
Test) pada taraf 5 %.
Model linier yang digunakan adalah:
Yijk = µ + Ki + αj + βk + αjβk + εijk
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan pada varietas ke-j, konsentrasi ABA ke-k, dan kelompok
ke-i
µ = nilai tengah pengamatan
Ki = pengaruh kelompok ke-i (i=1, 2, 3, 4)
αj = pengaruh varietas ke-j (keprok Batu 55 dan Garut)
βk = pengaruh perlakuan konsentrasi ABA ke-k (0.0, 0.1, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0, 2.5,
3.0, 3.5, 4.0 mg L-1)
αjβk = pengaruh interaksi varietas ke-j dan perlakuan konsentrasi ABA ke-k
εijk = pengaruh galat percobaan ke-ijk

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Kalus jeruk keprok Batu 55 dan Garut yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu kalus yang telah tersedia di laboratorium Kultur Jaringan, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kalus
tersebut berasal dari nuselus yang telah diisolasi dari buah jeruk keprok. Kalus
embriogenik didapatkan dengan subkultur pada media MS + vitamin MW tanpa
penambahan zat pengatur tumbuh.
Media MS umum digunakan untuk pembentukan kalus embriogenik pada
tanaman jeruk. Gambar 3 menunjukkan kondisi umum perbanyakan kalus di
ruang kultur Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

9

Gambar 3 Kondisi umum perbanyakan kalus di ruang kultur Laboratorium Kultur
Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Kalus yang diperoleh dari hasil perbanyakan kalus bersifat remah dan
embriogenik dengan warna putih kekuningan (Gambar 4).

Gambar 4 Kalus umur 4 MST bersifat remah dan embriogenik dengan warna
putih kekuningan
Kontaminasi merupakan salah satu masalah yang terjadi pada eksplan yang
ditanam secara in vitro. Kontaminasi pada media mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan eksplan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Kontaminasi yang terjadi pada penelitian ini disebabkan oleh tumbuhnya
cendawan.
Kontaminasi terjadi pada permukaan media dan sekeliling eksplan.
Kontaminasi yang disebabkan oleh cendawan ditandai dengan munculnya
cendawan pada permukaan media (Gambar 5). Botol kultur yang terkontaminasi
oleh cendawan dipisahkan dari botol kultur yang masih steril untuk menekan
tingkat kontaminasi yang diakibatkan oleh penyebaran spora.

10

Gambar 5 Kontaminasi kultur yang diakibatkan oleh cendawan
Persentase kontaminasi setiap minggu semakin meningkat. Hal itu terlihat
dari Tabel 1 yang menunjukkan persentase kontaminasi oleh cendawan pada Batu
55. Kontaminasi pada minggu pertama berkisar 5 - 20 %, sedangkan pada minggu
kesembilan berkisar 40 - 70 %. Persentase kontaminasi terbesar pada varietas
Batu 55 mencapai 70 %.
Tabel 1 Persentase kontaminasi oleh cendawan pada varietas Batu 55
Kontaminasi (%)
Varietas
Batu 55

ABA
(mg L-1)
0.0
0.1
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0

1
2
3
4
5
6
7
8
9
.............................................MST.....................................................
5
5
20
10
10
5
15
10
15
5

20
30
35
25
30
15
30
15
15
15

25
35
45
30
30
15
30
15
20
20

55
30
40
45
30
25
30
40
30
30

70
35
30
45
30
30
30
45
35
35

70
35
30
45
30
40
30
50
40
45

70
40
30
45
30
45
30
50
40
45

70
40
50
45
40
50
40
50
45
45

70
40
50
45
40
50
40
50
45
45

Tabel 2 menunjukkan persentase kontaminasi pada varietas Garut
meningkat setiap minggu. Kontaminasi pada minggu pertama berkisar 5 - 10 %,
sedangkan pada minggu kesembilan berkisar 30 - 70 %. Persentase kontaminasi
terbesar pada varietas Garut sama seperti pada Batu 55, yaitu 70 %. Persentase
kontaminasi yang cukup besar pada varietas Batu 55 dan Garut disebabkan antara
lain kebersihan ruang kultur, cara penanaman atau alat yang dipergunakan kurang
steril.

11
Tabel 2 Persentase kontaminasi oleh cendawan pada varietas Garut
Kontaminasi (%)
Varietas
Garut

ABA
(mg L-1)
0.0
0.1
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0

1
2
3
4
5
6
7
8
9
.............................................MST.....................................................
0
5
10
0
5
0
5
10
0
0

5
15
10
10
30
20
5
15
5
0

20
30
15
20
25
20
15
15
10
5

30
40
30
35
30
35
35
25
15
5

30
40
35
40
30
40
45
25
15
10

35
45
35
40
30
45
45
30
20
15

45
50
40
45
30
45
45
45
40
25

50
50
50
65
40
55
60
50
45
30

50
40
50
70
40
55
65
30
55
30

Perbanyakan Kalus Embriogenik
Perbanyakan kalus selama empat minggu diperoleh kalus yang bersifat
embriogenik yang ditandai oleh adanya PEM (pro embrio) pada populasi kalus
yang dihasilkan (Gambar 6). PEM yang dihasilkan merupakan sel embriogenik
yang akan berkembang menjadi embrio somatik tahap globular. PEM akan
berkembang menjadi tanaman baru setelah ditumbuhkan dalam media
pendewasaan. PEM yang dihasilkan berupa butiran-butiran berwarna putih
kekuningan.

Gambar 6 Kalus embriogenik umur 4 MST hasil perbanyakan pada media MS +
vitamin MS: A) Kalus berwarna putih kekuningan; B) Kalus yang
tumbuh PEM
Perbanyakan kalus sangat dipengaruhi oleh media tanam yang digunakan.
Media dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah MS dan ditambah vitamin
MW. Kalus yang diperbanyak dengan media MS tanpa zat pengatur tumbuh
menghasilkan struktur PEM.

12
Pendewasaan Embrio Somatik
Dalam pendewasaan embrio somatik memerlukan media yang tepat dengan
penambahan ABA. Hal itu bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan
perkembangan PEM dan embrio somatik globular yang dihasilkan menjadi
embrio somatik dewasa. Embrio somatik dewasa adalah perkembangan dari fase
globular ke tahap pendewasaan menjadi fase kotiledon.
Media yang digunakan untuk pendewasaan embrio somatik sama dengan
media perbanyakan kalus dan ditambah dengan ABA. Terdapat empat fase
diferensiasi jaringan embrio somatik menjadi planlet tanaman dalam
perkembangan embrio somatik, yaitu fase globular, fase jantung, fase torpedo, dan
fase kotiledon. Tahap pembentukan embrio (fase globular, fase jantung, fase
torpedo, dan fase kotiledon) sulit diamati secara detail. Pengamatan dilakukan
secara visual dan tahap yang paling mudah teramati dari luar botol kultur adalah
tahap fase globular yang berwarna hijau muda hingga hijau dan tahap fase
kotiledon.
Tabel 3 menunjukkan rekapitulasi hasil pengamatan pada sidik ragam
varietas, ABA, dan interaksi terhadap jumlah fase globular, jumlah fase kotiledon,
dan diameter kalus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat
adanya interaksi antara varietas dengan konsentrasi ABA terhadap jumlah fase
globular dan diameter kalus. Adanya interaksi antara kedua faktor hanya
ditunjukkan pada parameter jumlah fase kotiledon, yaitu 9 MST. Sehingga dari
fase kotiledon umur 9 MST didapat adanya konsentrasi ABA yang tepat untuk
masing-masing varietas.
Tabel 3 Rekapitulasi hasil pengamatan pada sidik ragam varietas, ABA, dan
interaksi terhadap jumlah fase globular, jumlah fase kotiledon, dan
diameter kalus
MST

5
7
9
5
7
9
5
7
9

Varietas

ABA

Varietas*ABA

...................................Jumlah fase globular...............................
**
tn
tn
**
tn
tn
tn
tn
tn
...................................Jumlah fase kotiledon.............................
tn
tn
tn
*
tn
tn
**
**
*
................................Diameter kalus.........................
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn

Keterangan: tn= tidak nyata, * = nyata pada taraf 5 %, ** = sangat nyata pada taraf 1 %

Jumlah fase globular hanya dipengaruhi oleh faktor varietas. Hal tersebut
ditunjukkan pada umur 5 dan 7 MST yang memberikan hasil adanya pengaruh

13
sangat nyata terhadap jumlah fase globular yang dihasilkan. Faktor ABA tidak
berpengaruh nyata sehingga tidak terjadi interaksi antara kedua faktor terhadap
jumlah fase globular umur 5, 7, dan 9 MST. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan jumlah fase globular tidak dipengaruhi oleh ABA, tetapi oleh
varietas itu sendiri.
Umur 5 MST faktor varietas dan ABA tidak berpengaruh terhadap jumlah
fase kotiledon yang dihasilkan. Umur 7 MST hanya faktor varietas saja yang
berperan dalam menambah jumlah fase kotiledon. Jumlah fase kotiledon yang
dipengaruhi oleh faktor varietas dan ABA hanya terjadi pada umur 9 MST.
Interaksi antara kedua faktor tersebut menunjukan adanya pengaruh nyata
terhadap jumlah fase kotiledon.
Diameter kalus hanya dipengaruhi oleh faktor varietas saja yaitu pada umur
7 MST. Berdasarkan pengamatan terhadap jumlah fase globular, jumlah fase
kotiledon, dan diameter kalus didapatkan hasil bahwa faktor varietas lebih
berperan dalam pendewasaan embrio somatik. Hal itu diduga bahwa varietas
sangat membantu proses pendewasaan embrio somatik tanpa menggunakan ABA.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada umur 5 MST varietas Batu 55
dan Garut menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah fase
globular (Tabel 4). Nilai rata-rata jumlah fase globular pada varietas Batu 55
sebanyak 1.93 globular, sedangkan pada Garut sebanyak 3.18 globular.
Hasil rata-rata jumlah fase globular menunjukkan bahwa varietas Garut
lebih banyak menghasilkan globular. Faktor varietas tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah fase kotiledon dan diameter kalus. Rata-rata jumlah fase
kotiledon yang dihasilkan pada jeruk Batu 55 sebesar 0.30 kotiledon dan jeruk
Garut 0.39 kotiledon. Sedangkan diameter kalus pada jeruk Batu 55 sebesar 0.85
cm dan jeruk Garut 0.92 cm.
Tabel 4 Pengaruh ABA terhadap rata-rata jumlah fase globular, jumlah fase
kotiledon, dan diameter kalus pada Batu 55 dan Garut pada 5 MST
ABA
(mg L-1)
0.0
0.1
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Rata-rata
KK (%)

Jumlah fase globular
Batu 55
Garut
2.42
2.80
4.77
2.67
1.11
3.00
1.83
3.58
1.73
2.56
0.99
2.98
1.87
3.40
1.92
2.94
2.08
3.30
1.06
4.38
3.18 A
1.93 B
31.42

31.42

Jumlah fase kotiledon
Batu 55
Garut
0.75
0.22
1.67
0.08
0.00
0.25
0.17
0.42
0.20
0.78
0.00
0.69
0.00
0.44
0.00
0.06
0.38
0.35
0.00
0.68
0.30 a
0.39 a
31.18

31.18

Diameter kalus
Batu 55
Garut
1.13
1.10
0.61
0.87
0.76
0.98
0.97
0.98
0.92
0.69
1.04
0.91
0.43
0.93
0.96
0.85
0.84
0.92
0.79
0.91
0.85 a
31.88

0.92 a
31.88

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada rata-rata setiap peubah yang
sama, berbeda sangat nyata pada taraf 1 % dan huruf kecil yang berbeda pada rata-rata
setiap peubah yang sama, berbeda nyata pada taraf 5 % berdasarkan uji DMRT

14
Faktor varietas umur 7 MST menunjukkan hasil adanya pengaruh yang
sangat nyata terhadap jumlah fase globular (Tabel 5). Varietas Garut
menghasilkan rata-rata jumlah fase globular terbanyak sebanyak 3.65 globular,
sedangkan Batu 55 sebanyak 1.79 globular. Jumlah fase globular yang dihasilkan
oleh Batu 55 pada minggu ini mengalami penurunan dari umur 5 MST. Penurunan
jumlah fase globular pada minggu ini disebabkan oleh adanya perkembangan fase
globular menuju fase berikutnya (fase jantung, fase torpedo, dan fase kotiledon).
Varietas Garut mengalami peningkatan jumlah fase globular pada umur 7 MST.
Faktor varietas pada umur 7 MST menunjukkan hasil berpengaruh nyata
terhadap jumlah fase kotiledon dan diameter kalus. Rata-rata jumlah fase
kotiledon pada jeruk Batu 55 sebanyak 0.93 kotiledon dan jeruk Garut sebanyak
1.38 kotiledon. Diameter kalus yang dihasilkan pada jeruk Batu 55 sebesar 0.92
cm dan jeruk Garut 1.11 cm. Penambahan diameter kalus diduga oleh peran
auksin endogen dalam sel suatu varietas. Auksin pada tanaman berperan dalam
pembesaran sel, menghambat terbentuknya klorofil, dan induksi kalus (Wattimena
1998).
Tabel 5 Pengaruh ABA terhadap rata-rata jumlah fase globular, jumlah fase
kotiledon, dan diameter kalus pada Batu 55 dan Garut pada 7 MST
ABA
(mg L-1)
0.0
0.1
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Rata-rata
KK (%)

Jumlah fase globular
Batu 55
Garut
1.67
2.42
2.42
4.92
1.17
2.75
3.50
5.91
2.23
3.78
1.05
4.00
1.35
2.63
1.63
3.15
1.24
2.60
1.79
4.37
1.79 B
3.65 A
38.60

38.60

Jumlah fase kotiledon
Batu 55
Garut
1.46
0.92
3.33
1.00
0.00
0.73
1.28
1.58
1.12
2.11
0.00
1.37
0.70
1.21
0.25
1.35
0.96
1.08
0.33
2.61
0.93 b
1.38 a
33.39

33.39

Diameter kalus
Batu 55
Garut
1.27
1.32
0.78
1.13
0.62
1.23
0.81
1.17
0.79
0.84
1.27
1.09
0.54
1.12
1.14
1.02
1.02
1.09
0.98
1.08
0.92 b
40.38

1.11 a
40.38

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada rata-rata setiap peubah yang
sama, berbeda sangat nyata pada taraf 1 % dan huruf kecil yang berbeda pada rata-rata
setiap peubah yang sama, berbeda nyata pada taraf 5 % berdasarkan uji DMRT

Faktor lain yang mempengaruhi pertambahan diameter kalus terdapatnya
embrio sekunder. Semakin lama waktu kultur dapat menyebabkan embrio
globular sekunder muncul pada permukaan embrio primer. Pada proses proliferasi,
satu sel atau sekelompok kecil sel di permukaan embrio primer akan membentuk
embrio somatik sekunder (Pardal 2002). Gambar 7 menunjukkan pertumbuhan
embrio somatik dewasa umur 7 MST pada varietas Batu 55 dan Garut.

15

Gambar 7 Pertumbuhan embrio somatik dewasa umur 7 MST: A dan B) Fase
globular jeruk Garut dan Batu 55 konsentrasi 1.0 mg L-1 ABA; C dan
D) Fase kotiledon jeruk Garut konsentrasi 4.0 mg L-1 ABA dan Batu
55 0.1 mg L-1 ABA.
Berdasarkan pengamatan tersebut didapatkan hasil bahwa faktor varietas
sangat berperan dalam menghasilkan fase globular, fase kotiledon, dan diameter
kalus. Kedua varietas memiliki potensi yang berbeda dalam pendewasaan embrio
somatik. Setiap varietas mempunyai genotipe yang berbeda. Varietas Garut
diduga memiliki genotipe yang lebih baik dari Batu 55 dalam menghasilkan lebih
banyak fase globular, fase kotiledon, dan diameter kalus. Jenis eksplan, genotipe,
keadaan fisiologis, dan komposisi media merupakan faktor yang menentukan
regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik (Ozcan et al. 2001).
Pada umur 9 MST varietas tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah fase
globular dan diameter kalus, sedangkan memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap jumlah fase kotiledon. Penggunaan ABA memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap jumlah fase kotiledon. Kedua faktor saling berinteraksi
yang ditunjukkan dengan adanya pengaruh yang nyata terhadap jumlah fase
kotiledon yang dihasilkan.
Tabel 6 menunjukkan interaksi antara varietas dan ABA terhadap jumlah
fase kotiledon pada 9 MST. Pada jeruk Batu 55 konsentrasi ABA yang
menghasilkan jumlah fase kotiledon terbaik dengan nilai yang tidak berbeda nyata
yaitu 1.0, 1.5, dan 3.5 mg L-1 ABA. Dari ketiga konsentrasi tersebut, 1.0 mg L-1
ABA menghasilkan jumlah fase kotiledon terbanyak sebesar 2.11 kotiledon. Hal
itu berlainan dengan penelitian Merigo (2011) yang melaporkan bahwa
konsentrasi ABA terbaik untuk pendewasaan embrio somatik pada jeruk Batu 55
adalah 2.5 mg L-1 ABA. Penambahan ABA dengan konsentrasi 1.0 mg L-1 ABA
menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan media tanpa penambahan
ABA (media kontrol) sebesar 1.67 kotiledon. Jadi pendewasaan embrio somatik
pada jeruk Batu 55 menggunakan media tanpa ABA lebih efisien.

16
Tabel 6 Pengaruh interaksi antara varietas dan ABA terhadap jumlah fase
kotiledon pada 9 MST
ABA (mg L-1)

KK (%)

Jumlah fase kotiledon
Batu 55

Garut

0.0

1.67 abc

0.96 bc

0.1

0.88 bc

1.50 abc

0.5

0.33 c

0.92 bc

1.0

2.11 abc

2.42 abc

1.5

1.17 abc

5.33 a

2.0

0.25 c

1.92 abc

2.5

0.87 bc

1.21 abc

3.0

0.38 c

1.33 abc

3.5

1.29 abc

1.62 abc

4.0

0.33 c

3.54 ab

................................30.17..............................

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda sangat nyata pada taraf
1 % berdasarkan uji DMRT

Konsentrasi 1.5 mg L-1 ABA merupakan konsentrasi terbaik jeruk Garut
dalam menghasilkan jumlah fase kotiledon terbanyak yaitu 5.33 kotiledon.
Kemudian diikuti oleh konsentrasi 4.0 mg L-1 ABA dengan 3.54 kotiledon.
Konsentrasi terbaik lainnya yaitu 0.1, 1.0, 2.0, 2.5, 3.0, dan 3.5 mg L-1 ABA.
Media kontrol menghasilkan jumlah fase kotiledon lebih sedikit dari konsentrasi
4.0 dan 1.5 mg L-1 ABA. Oleh karena itu, penambahan ABA sangat membantu
proses pendewasaan embrio somatik jeruk Garut, khususnya fase kotiledon. Hal
tersebut sesuai menurut Renukdas et al. (2006) yang telah melaporkan
peningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dengan
penambahan etilen antagonis pada konsentrasi tinggi (10 µM) seperti spermidine,
ABA, dan AgNO3. Pada proses pendewasaan, embrio somatik berhenti
berproliferasi, ukurannya menjadi meningkat, dan mulai terjadinya akumulasi
cadangan nutrisi seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Embrio dirangsang
menjadi embrio dewasa dengan penggunaan ABA dan meningkatkan potensial
osmotik (Egerstsdotter 1999).
Proses pendewasaan embrio somatik, khususnya pada fase kotiledon, jeruk
Batu 55 dan Garut lebih baik dengan penambahan ABA. Penambahan ABA pada
kedua varietas antara 1.0 - 1.5 mg L-1 ABA. Penelitian sebelumnya juga telah
dilaporkan bahwa penambahan 0.5 mg L-1 ABA dapat meningkatkan efisiensi
pendewasaan embrio somatik jeruk Siam sampai 90 % (Husni 2010). Berdasarkan
hal itu maka kebutuhan konsentrasi ABA setiap jenis jeruk berbeda-beda dalam
proses pendewasaan embrio somatik. Kebutuhan konsentrasi ABA pada jeruk
keprok Batu 55 dan Garut lebih tinggi dari jeruk Siam, yaitu 1.0 - 1.5 mg L-1 ABA.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya bahwa
semakin tinggi konsentrasi ABA yang terkandung dalam media kultur maka
semakin banyak embrio somatik dewasa yang dihasilkan (Husni et al. 2010).

17
Sehingga dapat diduga bahwa konsentrasi yang tepat untuk pendewasaan embrio
somatik jeruk Batu 55 dan Garut, yaitu 1.0 dan 1.5 mg L-1 ABA.
Gambar 8 menunjukkan pertumbuhan embrio somatik dewasa fase
kotiledon umur 9 MST pada varietas Batu 55 dan Garut. Pada fase kotiledon yang
terbentuk pada kedua varietas sudah berwarna hijau.

Gambar 8 Pertumbuhan embrio somatik dewasa fase kotiledon umur 9 MST: A
dan B) Jeruk Garut konsentrasi 1.5 mg L-1 ABA; C dan D) Jeruk Batu
55 konsentrasi 1.0 mg L-1 ABA.
Kotiledon yang sudah terbentuk matang ini segera dikecambahkan ke dalam
media perkecambahan. Sehingga diketahui planlet yang terbentuk dan yang
bertahan sampai tahap perkecambahan.
Gambar 9 menunjukkan jumlah embrio somatik fase globular rata-rata
setiap minggu pada konsentrasi ABA yang berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST.
Pada ketiga minggu tersebut, pemberian ABA tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah fase globular. Pada grafik tersebut didapatkan adanya kecenderungan
penurunan rata-rata jumlah fase globular.
Penurunan rata-rata jumlah pada fase globular umur 7 MST terjadi pada
konsentrasi 0.0, 2,5, 3.0, dan 3.5 mg L-1 ABA. Hal itu diduga karena adanya
perkembangan fase globular menjadi fase kotiledon. Peningkatan rata-rata jumlah
fase globular terjadi pada konsentrasi 0.1, 1.0, 1.5, 2.0, dan 4.0 mg L-1 ABA.

18

Gambar 9 Jumlah embrio somatik fase globular rata-rata setiap minggu pada
konsentrasi ABA yang berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST
Penambahan ABA hanya berpengaruh terhadap peubah jumlah fase
kotiledon pada jeruk Batu 55 dan Garut. Gambar 10 menunjukkan jumlah embrio
somatik fase kotiledon rata-rata setiap minggu pada konsentrasi ABA yang
berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST. Pada umur 9 MST pemberian ABA sangat
berpengaruh nyata terhadap jumlah fase kotiledon jeruk Batu 55 dan Garut (Tabel
6). Pada umur 5 dan 7 MST penambahan ABA tidak menunjukkan adanya
pengaruh nyata.

Gambar 10 Jumlah embrio somatik fase kotiledon rata-rata setiap minggu pada
konsentrasi ABA yang berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST
Pada umur 9 MST mengalami penurunan rata-rata jumlah fase kotiledon
yang ditunjukkan pada konsentrasi 0.1 dan 3.0 mg L-1 ABA. Penurunan rata-rata

19
jumlah fase kotiledon diduga karena tingginya kontaminasi. Konsentrasi yang
menunjukkan rata-rata jumlah fase kotiledon terbaik untuk kedua varietas
ditunjukkan dengan konsentrasi 1.5 mg L-1 ABA yaitu 3.25. Konsentrasi terbaik
selanjutnya diikuti oleh konsentrasi 1.0 mg L-1 ABA yaitu 2.29. Media kontrol dan
media dengan penambahan 3.5 mg L-1 ABA menghasilkan pengaruh yang sama
terhadap pertumbuhan fase kotiledon, sehingga pemberian ABA dibutuhkan untuk
mempercepat fase kotiledon dan menghasilkan lebih banyak kotiledon untuk
kedua varietas.
Gambar 11 menunjukkan diameter kalus rata-rata setiap minggu pada
konsentrasi ABA yang berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST. Diameter kalus
tertinggi untuk kedua varietas sebesar 1.44 pada 0.0 mg L-1 ABA walaupun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan lain. Peningkatan diameter kalus berhubungan
dengan adanya pertumbuhan kalus. Pertumbuhan kalus pada embrio primer
umumnya menghasilkan embrio sekunder. Penurunan diameter kalus dikarenakan
tingkat kontaminasi yang tinggi pada umur 9 MST.

Gambar 11 Diameter kalus rata-rata setiap minggu pada konsentrasi ABA yang
berbeda pada umur 5, 7, dan 9 MST

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan embrio somatik dewasa berupa fase kotiledon.
Pada umur 9 MST diperoleh jumlah fase kotiledon terbaik pada jeruk Batu 55
dihasilkan tanpa penambahan konsentrasi ABA dan jeruk Garut dihasilkan dengan
penggunaan konsentrasi 1.5 mg L-1 ABA. Jumlah rata-rata fase kotiledon jeruk
Batu 55 umur 9 MST sebesar 1.67 dan jeruk Garut sebesar 5.33 kotiledon.
Saran
Pendewasaan embrio somatik pada jeruk keprok Batu 55 dan Garut untuk
menghasilkan fase kotiledon terbaik menggunakan konsentrasi 0.0 dan 1.5 mg L-1

20
ABA.

DAFTAR PUSTAKA
[Balitbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 1999.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 760/kpts/TP.240/6/99 tentang
Pelepasan Jeruk Keprok Garut sebagai Varietas Unggul. Jakarta (ID):
Balitbangtan Departemen Pertanian.
[Balitbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005.
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Jakarta (ID):
Balitbangtan Departemen Pertanian.
[Balitbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan De