Dinamika Perantauan Dan Identitas Perempuan Minang Di Jakarta.
DINAMIKA PERANTAUAN DAN IDENTITAS PEREMPUAN
MINANG DI JAKARTA
SINTA OKTAVIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Perantauan dan
Identitas Perempuan Minang di Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Sinta Oktavia
NIM I353120061
RINGKASAN
SINTA OKTAVIA. Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di
Jakarta. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI dan NURMALA K PANDJAITAN.
Etnis Minangkabau memandang merantau sebagai upaya mengubah nasib
agar terangkat harkat dan martabat. Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika
perantauan perempuan Minang di daerah tujuan rantau, mengkaji bagaimana
rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan dampaknya pada nilai-nilai
asli (identitas) perempuan Minang, serta mengkaji interaksi sosial antar perantau
yang membentuk kemampuan ekonomi perantau. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif yang terdiri atas 60 responden dan didukung data kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Perantau perempuan Minang
sejumlah 35 persen transit di daerah lain sebelum menetap di Jakarta; mereka
yang merantau di atas 5 (lima) tahun umumnya mengalami perubahan
penghidupan, yaitu: tingkat pendidikan, status pernikahan, serta jenis pekerjaan;
(2) Perantauan perempuan Minang didasarkan oleh rasionalitas tujuan, agar dapat
mempertahankan serta memperjuangkan harkat dan martabat sebagai perempuan
Minang; sekali memutuskan merantau, sebuah keharusan untuk mengubah nasib
atau mengangkat harkat dan martabat; meskipun telah terjadi dinamika
(perubahan) penghidupan, atau bahkan telah menjadi orang Jakarta (ditandai
dengan 38 persen responden telah menetap di Jakarta di atas 10 tahun), identitas
mereka sebagai perempuan Minang tidak berubah; dan (3) Interaksi sosial
perantau perempuan Minang adalah closed system (kinship system), karena tetap
menjaga hubungan kekeluargaan atau kekerabatan di daerah tujuan rantau.
Kata kunci: perantau perempuan Minang, harkat dan martabat perempuan Minang,
dan nilai-nilai merantau
SUMMARY
SINTA OKTAVIA. Dynamic and identity of Minang‟s womens migrant in
Jakarta. Supervised by TITIK SUMARTI and NURMALA K PANDJAITAN.
Minangkabau ethnic view migration as an effort to change their fate to be
better so it could improve their dignity. This research was aimed to studied the
Minang women migration dynamics in migration destination, studied how does
the rationality action of Minang‟s womens migrant and it‟s impacts to the
indigenous values of Minang‟s women, and also studied social interaction
between migrants which create economics power. This research use quantitative
approach with 60 respondents which supported by qualitative data.
Research show that: (1) 35 percent of Minang‟s women migrant were
transit in other destination area before come and stay in Jakarta; Minang‟s women
migrant who has migration above five years, had experience some live changes,
in: education level, marital status, and kind of job; (2) The migration of Minang‟s
women were based on their purposes rationalities in order to maintain and work
for their dignity as Minang‟s women; once they decided to migrate, they will not
come back before success to the principle. Once they decided to migrate, they
should to ensure that they can change their dignity; although there were a life
dynamics (changes), or even they have been Jakarta‟s society it‟s means that they
had been Jakarta peoples (marked by 38 percent of respondent had live in Jakarta
more than 10 years), their identity and had experience the life dynamics (changes),
but it does‟nt change indigenous values (identity) as Minang womens never
change; and (3) Social interaction of Minang‟s women is a closed system (kinship
system), since they keep their relations either their kinship in destination area .
Key words: Minang‟s womens migrant, Minang‟s women dignitys, migration‟s
values.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DINAMIKA PERANTAUAN DAN IDENTITAS PEREMPUAN
MINANG DI JAKARTA
SINTA OKTAVIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Ekawati S Wahyuni, MS
Judul Tesis : Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di Jakarta
Nama
: Sinta Oktavia
NIM
: I353120061
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Titik Sumarti, MS
Ketua
Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 31 Desember 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah
merantau, dengan judul Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di
Jakarta.
Terimakasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Dr Titik Sumarti, MS dan Ibu Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA
selaku pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis.
2. Ibu Dr Ir Ekawati S Wahyuni, MS selaku dosen penguji luar komisi
sekaligus revewer jurnal yang telah banyak memberikan masukan yang
sangat membangun.
3. Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan.
4. Staf pengajar serta staf Tata Usaha Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat.
5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa yang diberikan.
6. Responden (perantau perempuan Minang di Jakarta) yang telah membantu
selama penelitian.
7. Teman-teman sesama alumni Univeritas Andalas Padang yang sama-sama
menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, teman-teman Sosiologi
Pedesaan 2012, teman-teman Maharlika Atas, serta teman sepembimbing
atas persahabatannya.
Penghargaan terbesar penulis persembahkan untuk kedua orang tua dan saudara
tercinta atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama ini. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Sinta Oktavia
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan tentang Migrasi
Tinjauan tentang Merantau
Masyarakat Minang sebagai Masyarakat yang Dinamis
Identitas Sosial dan Identitas Diri
Penelitian Terdahulu: Kasus Merantaunya Perempuan
Teori Tindakan Sosial: Tindakan Rasional Weber
Interaksi Sosial
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Defenisi Operasional
3 METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
Metode Pengambilan Responden
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5 DINAMIKA PERANTAUAN PEREMPUAN MINANG
Perubahan Daerah Tujuan Rantau
Perubahan Tingkat Pendidikan Perantau Perempuan Minang
Perubahan Status Pernikahan Perantau Perempuan Minang
Perubahan Jenis dan Status Pekerjaan Perantau Perempuan
Minang dalam Proses Merantau
6 RASIONALITAS TINDAKAN PERANTAU PEREMPUAN
MINANG DAN DAMPAKNYA PADA NILAI-NILAI ASLI
PEREMPUAN MINANG
Rasionalitas yang Berhubungan dengan Alasan Merantaunnya
Perempuan Minang
Rasionalitas Perempuan Minang yang Berhubungan dengan
Perubahan Pekerjaan
7 INTERAKSI SOSIAL YANG DIBANGUN OLEH PERANTAU
PEREMPUAN MINANG DI DAERAH TUJUAN RANTAU
Pola interaksi perantau perempuan Minang
Hubungan status perkawinan dengan interaksi
di daerah tujuan rantau
i
ii
1
1
3
5
5
5
5
5
8
13
15
20
22
23
25
25
28
28
28
28
30
30
31
36
36
42
45
47
54
54
61
73
73
79
Hubungan jenis pekerjaan perantau perempuan Minang dengan
Interaksi di daerah tujuan rantau
8 IDENTITAS PEREMPUAN MINANG YANG DIPELIHARA
SELAMA PROSES MERANTAU
Identitas yang dipelihara semenjak perjalanan merantau
Identitas tetap dipelihara setelah menetap di rantau
9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
80
82
82
90
97
97
98
98
101
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Data penelitian, deskripsi, alat analisa, metode analisa, dan sumber data
Karakteristik responden ketika meninggalkan daerah asal
Karakteristik responden setelah menetap di daerah tujuan rantau
Pola merantau perempuan Minang
Hubungan periode dan pola merantau perempuan Minang
Hubungan transportasi yang digunakan dengan periode
merantaunya perempuan Minang
Hubungan tingkat pendidikan terhadap pola merantau perempuan
Minang
Hubungan status perkawinan perempuan Minang terhadap keputusan
akan daerah tujuan rantau yang dipilih
Hubungan interaksi yang terbentuk terhadap daerah tujuan rantau
Hubungan Pola merantau dan perubahan tingkat pendidikan perantau
perempuan Minang
Hubungan periode merantau dengan tingkat pendidikan perantau
perempuan Minang
Hubungan status pernikahan awal merantau dengan periode merantau
Hubungan lama merantau dan perubahan status perkawinan
perantau perempuan Minang
Hubungan Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang dimasuki
Perubahan pekerjaan perantau perempuan Minang
Hubungan perubahan status pernikahan dan perubahan pekerjaan
Hubungan lamanya merantau dan perubahan jenis pekerjaan
Hubungan keberadaan keluarga atau kerabat di daerah tujuan rantau
dengan perubahan pekerjaan perantau perempuan Minang
Hubungan periode merantau dan alasan merantau
Perbedaan kedudukan perempuan Minang di rantau dengan
di daerah asal
Pola interaksi perempuan Minang di Jakarta
Pihak yang memberi tempat tinggal di rantau
Pihak yang membantu perantau perempuan Minang dalam
mendapatkan pekerjaan
Pengaruh status perkawinan terhadap pola interaksi yang terbangun
di daerah tujuan rantau
Hubungan jenis pekerjaan dengan pola interaksi yang terbentuk
Hubungan identitas perempuan Minang dengan periode merantau
Hubungan status pernikahan dengan identitas sebagai perempuan
Minang ketika meninggalkan daerah asal
Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas sebagai perempuan
Minang ketika meninggalkan daerah asal
Hubungan pola merantau dengan identitas sebagai perempuan Minang
ketika meninggalkan daerah asal
30
34
35
36
36
37
41
41
42
43
44
45
45
47
47
48
52
52
56
65
74
75
75
80
81
83
83
86
88
30. Hubungan lamanya merantau dengan identitas perempuan Minang
31. Hubungan pola interaksi yang terbangun dengan identitas
perempuan Minang
32. Hubungan status perkawinan dengan identitas sebagai
perempuan Minang
33. Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas perempuan Minang
selama di rantau
34. Hubungan jenis pekerjaan dengan identitas sebagai
perempuan Minang
91
91
92
93
95
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Perkembangan Masyarakat
Kerangka pemikiran
Peta kota Jakarta
Proses memotong bahan kain
Proses menjahit
Pakaian jadi yang siap dipasarkan
Proses pemasaran
Posisi responden dalam keluarga di daerah asal
Aktifitas sehari-hari orang Jawa yang bekerja sama dengan
bu AY di konveksinya
8
24
31
49
49
49
50
54
79
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain merupakan
konsekuensi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan tidak meratanya fasilitas
pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain, penduduk yang tinggal di
daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah akan berpindah ke
daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi (Statistik Indonesia
2014). Suku bangsa Indonesia yang tinggi tingkat perpindahan penduduk atau
tingkat merantaunya berdasarkan sensus penduduk tahun 1961 yaitu Minangkabau,
Batak, Banjar, Bugis, Menado, Ambon, Bawean, Jawa, Bali dan Aceh (Naim
1973). Bandiyono (2006) juga menemukan bahwa etnis Minangkabau masih
menjadi salah satu etnis yang tinggi tingkat mobilitasnya, dan kebanyakan dari
mereka merantau ke daerah perkotaan di luar Sumatera Barat, terutama Jawa,
Riau, serta Malaysia.
Adat Minangkabau menganjurkan laki-laki Minang untuk merantau (Naim
1973). Kato (1982) juga mengemukakan bahwa secara matrilineal memang lakilaki Minang lah yang seharusnya terdorong untuk merantau, karena mereka tidak
punya bekal di daerah asal. Akan tetapi, pada kenyataannya perempuan Minang
yang dinilai sudah punya bekal1 di daerah asal pun juga banyak ditemukan hidup
di rantau. Mursini (2009) menemukan perempuan etnis Minangkabau merantau ke
Batam lebih banyak dibandingkan dengan etnis lainnya.
Aktifitas merantaunya perempuan Minang, dahulunya dianggap sebagai
suatu yang tidak wajar atau salah. Hakimy (2004) mengemukakan bahwa berjalan
sendirian untuk perjalanan jauh merupakan salah satu perilaku sumbang bagi
perempuan Minang 2 . Naim (1983; 1989) mengemukakan bahwa banyaknya
perempuan yang merantau untuk bekerja merupakan bukti telah memudar dan
berubahnya sendi-sendi (nilai-nilai) dasar tentang perempuan Minang, yakni
bergesernya peran dan fungsi perempuan Minang dari yang seharusnya (salah
satunya ditandai dengan banyaknya perempuan yang menyamai dan memasuki
ranah atau pekerjaan yang seharusnya dimasuki oleh laki-laki). Hakimy (2004)
juga mengemukakan sebelumnya bahwa perempuan yang mengerjakan pekerjaan
yang umumnya dikerjakan laki-laki (pekerjaan berat), dinilai sebagai suatu
pekerjaan yang sumbang atau salah. Permasalahan utama perempuan yang bekerja
menurut Naim (1991; 2004) adalah ketika mereka mulai lupa dengan
tanggungjawab pokoknya untuk memberikan perhatian lebih kepada anakanaknya. Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa kaum perempuan sangat
menentukan dalam pembinaan generasi bangsa. Ini bermakna bahwa Naim dan
Hakimy sangat menekankan pada prinsip bahwa perempuan sejatinya bekerja di
rumah. Akan tetapi, Syafrizal dan Meiyenti (2012) mengemukakan bahwa sistem
matrilineal di Minangkabau telah mengalami pergeseran dan perubahan meskipun
1
Harta kaum (rumah dan tanah) di Minangkabau di turunkan ke perempuan
Disamping itu, perempuan di Minangkabau mempunyai batas-batas dalam bertindak dan bergaul,
terutama dengan lawan jenis. Jangankan dengan laki-laki asing (yang tidak ada hubungan
keluarga) dengan laki-laki yang memiliki hubungan kekeluargaan saja Perempuan minang punya
batas-batas yang harus dijaganya sebagai orang yang memiliki malu.
2
2
tidak radikal dengan masih dijaganya beberapa hal prinsipiil, seperti harta pusaka
yang masih menjadi milik bersama (perempuan memiliki kekuasaan atas harta
pusaka milik bersama). Tanah yang dapat digarap untuk keperluan keluarga
tersebut semakin sedikit karena jumlahnya memang tidak bertambah, sementara
jumlah anggota kerabat semakin bertambah. Ini bermakna bahwa tanah (hasil
sawah dan ladang) tidak lagi sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan keluarga
karena kebutuhan pun berkembang seiring berkembangnya masyarakat.
Sebetulnya bukan hanya perempuan Minang yang memiliki keterbatasan
untuk merantau, di beberapa daerah lain juga ditemukan perempuan dibatasi
merantau, meskipun belum dikemukakan secara jelas terkait norma yang
melarang. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, aktifitas merantaunya
perempuan untuk bekerja dianggap kurang baik. Mursini (2009) yang meneliti
tentang migran perempuan ke kota Batam mengemukakan, bahwa ada beberapa
orang migran perempuan yang mengaku dipandang sinis oleh masyarakat di
daerah asalnya ketika pertama kali merantau. Pandjaitan (1990) menemukan
perempuan (terutama perawan) di desa Purwaraja, kecamatan Raja Desa, Ciamis,
Jawa Barat yang terbatas keluar dari desanya lebih karena kehawatiran orang tua.
Pandjaitan (1977), terkait perempuan Batak Toba yang merantau, menemukan
bahwa Batak Toba mengenal yang namanya pekerjaan yang pantas dan tidak
pantas untuk perempuan, terutama menyangkut apakah pekerjaan tersebut
membuat perempuan tersebut harus berdekatan dengan orang lain yang bukan
keluarga dekat atau suami, yang dianggap tabu dan melanggar adat Batak, karena
secara adat tempat tinggal orang Batak Toba terbagi atas tempat tinggal untuk
anak laki-laki, anak perempuan, orang tua, anak-anak yang masih kecil, dan
tempat tinggal bagi tamu.
Apa yang dikemukakan Naim dan Hakimy dalam tulisannya tentang
perempuan Minang menyiratkan bahwa bukan hanya soal identitas mereka
sebagai perempuan makanya perempuan Minang terbatas untuk merantau (seperti
halnya perempuan asal Purwaraja, Jawa Barat dan Batak Toba), tapi juga karena
keutamaan serta martabat mereka sebagai perempuan Minang. Naim (1991; 2004)
mengemukakan bahwa secara adat perempuan Minang merupakan figur sentral
dalam rumah tangga. Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa perempuan
Minang adalah seorang Bundo Kanduang, yakni seseorang yang memiliki prestise
atau martabat yang tinggi (mulia) serta memiliki “rasa malu” (malu berbuat hal
yang sumbang atau salah menurut adat dan agama). Akan tetapi sebagaimana
yang dikemukakan sebelumnya, bagaimanapun perempuan Minang telah banyak
yang ditemukan tinggal dan bekerja di luar daerah asalnya. Agustin (2007) bahkan
menemukan perempuan Minang bekerja sebagai buruh dan PRT di luar negeri
meskipun tidak banyak, dan umumnya meninggalkan daerah asal pada usia muda
dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah. Agustin menambahkan bahwa mereka
yang statusnya ilegal, sempat mengalami kekerasan fisik (jam kerja yang panjang
dan menggunakan waktu libur sebagai jam kerja, dilarang makan serta dipaksa
bekerja walau dalam keadaan sakit) dan psikis (direndahkan dengan kata-kata
kasar dan bentakan, ancaman pelecehan seksual). Ini menandakan bahwa dalam
perantauan (terutama keluar negeri), perempuan Minang telah mempertaruhkan
martabat (harga diri dan nama baik)nya.
Perempuan Minang dari apa yang dikemukakan Hakimy jelas akan lebih
terbatas untuk keluar dari daerah asalnya dibandingkan suku lainnya di Indonesia,
3
karena bukan saja soal kekhawatiran orang tua dan pandangan sinis masyarakat
sekitar, tapi juga karena keutamaan dan martabat wanita Minang itu sendiri. Studi
perempuan yang ada sejauh ini lebih banyak mengungkap sisi tidak pantas
sekaligus akibat dari aktifitas merantau mereka, namun masih sangat sedikit yang
mencoba memahami dan mempertanyakan dinamika (perubahan) yang terjadi
selama proses perantauan perempuan Minang tersebut, khususnya dinamika
ekonomi atau jatuh bangunnya mereka di perantauan, apakah mereka yang
berhasil di rantau karena mereka perempuan Minang (dengan nilai-nilai yang
masih mereka pegang), atau justeru karena profesionalitas (pendidikan,
keterampilan, modal, dan lain-lain) yang mereka miliki.
Naim baru fokus pada ibu-ibu muda (mereka yang berstatus menikah) yang
bekerja dan belum sampai pada perempuan Minang yang berstatus belum
menikah, sementara yang merantau justru kebanyakan yang berusia muda dan
berstatus belum menikah. Mursini meskipun memasukkan perempuan Minang
dalam kajiannya, dan sempat mengungkapkan bahwa ada perantau yang
dipandang sinis ketika awal merantau, namun baru sebatas pandangan
keseluruhan, bukan terhadap perempuan Minang secara khusus. Penelitian untuk
mengkaji secara khusus terkait nilai-nilai asli (identitas) perempuan Minang,
apakah benar identitas perempuan Minang telah lemah bahkan hilang seiring
perjalanan dan menetapnya mereka di rantau atau sebaliknya tetap kuat, perlu
dilakukan.
Wiyono (2000) mengemukakan bahwa suku Minang merupakan salah satu
suku yang ketika di daerah tujuan migrasi memiliki peluang kerja lebih tinggi
dibandingkan suku yang lain. Wiyono baru sebatas menemukan bahwa suku
Minangkabau paling mudah dalam memperoleh pekerjaan, sehingga perlu untuk
mengkaji apakah ada yang membantu mereka sehingga mudah memperoleh
pekerjaan atau secara khusus perlu mengkaji tentang interaksi sosial perantau
perempuan Minang tersebut di daerah tujuan.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana
dinamika perantauan perempuan Minang; mengkaji bagaimana tindakan rasional
perantau perempuan Minang dan dampaknya pada nilai-nilai asli (identitas)
perempuan Minang; serta mengkaji bagaimana interaksi sosial di antara perantau
Minang membentuk kemampuan ekonomi perantau perempuan Minang.
Perumusan Masalah
Perempuan Minang paling banyak ditemukan dibandingkan suku lain di
Batam (Mursini 2009). Naim (1983) mengemukakan bahwa perempuan sering
dijadikan warga kelas dua dan bekerja layaknya alat, namun kenyataannya
perempuan Minang tetap memasuki dunia kerja. Agustin (2007) menemukan
bahwa perempuan Minang yang menjadi bekerja di luar negeri bahkan mengalami
kekerasan fisik dan psikis. Naim (1990) kembali mengemukakan bahwa boleh
saja perempuan Minang merantau asalkan harkat dan martabat (kedudukan)
mereka lebih tinggi dibandingkan perempuan di daerah asal. Perempuan Minang
sebagai pribadi yang diharuskan dapat meningkatkan harkat dan martabat dengan
merantau, bagaimana sebetulnya dinamika (perubahan) yang dialami perantauan
perempuan Minang di daerah tujuan?
4
Hakimy (2004) mengemukakan bahwa perempuan di Minang memiliki
banyak keutamaan serta merupakan figur sentral di Minangkabau. Aktifitas
merantau untuk bekerja yang dilakukan seseorang perempuan Minang dengan
harapan untuk memperoleh imbalan di masa yang akan datang (berupa perubahan
nasib, hingga terangkatnya harkat dan martabat sebagai perempuan Minang),
jika digunakan konsepnya Weber, maka hal tersebut merupakan suatu pilihan
tindakan yang memiliki makna, yang sebelumnya telah melalui pertimbangan
yang matang karena akan berhadapan dengan identitas yang melekat pada diri
perempuan Minang tersebut. Ini berada dalam kerangka bahwa dalam memahami
identitas perempuan Minang apakah telah lemah ataupun hilang atau justeru
sebaliknya identitas tersebut masih kuat. Untuk memahami nilai yang sedang
diupayakan terwujud melalui merantau, harus memiliki variasi rasional dan bukan
hanya didominansi oleh perasaan dan tradisi mengenai perempuan Minang
duhulunya. Tujuan yang ingin dicapai (imbalan berupa perubahan nasib)
merupakan suatu yang diprioritaskan oleh perempuan Minang di perantauan,
ditengah nilai-nilai lainnya (identitas) yang harus tetap mereka pegang sebagai
simbol harga diri mereka, maka bagaimana sebetulnya rasionalitas tindakan
perempuan Minang perantau dan sejauhmana telah berdampak pada identitas
perempuan Minang?
Wiyono (2003) mengemukakan bahwa perempuan Minang dan Jawa di
daerah tujuan rantau memiliki peluang kerja yang lebih tinggi dibandingkan suku
lainnya. Wiyono menambahkan, bahwa adanya peningkatan dari peluang bekerja
perempuan Minang itu sendiri. Ini bermakna bahwa, kesempatan perempuan
Minang untuk berhasil di rantau lebih besar dibandingkan suku lainnya.
Asumsinya, ada faktor pendukung sehingga perempuan Minang memiliki peluang
kerja yang lebih tinggi di bandingkan suku yang lainnya. Sementara itu, secara
sosiologi faktor pendukungnya adalah karena adanya solidaritas antar perantau,
yakni adanya perasaan tanggungjawab untuk saling membantu dan perasaan
merasa berhak untuk memperoleh bantuan dari keluarga (kerabat) atau teman
yang lebih dulu merantau, dengan adanya nilai adat yang mengajarkan bahwa
sebagai orang Minang harus memiliki empati yang tinggi dan harus menjadi
pribadi yang mampu melahirkan rasa kekeluargaan di rantau. Sikap saling
membantu atau rasa solidaritas merupakan upaya untuk pencapaian tujuan
bersama. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebetulnya interaksi sosial
diantara perantau Minang tersebut, sehingga mampu membentuk kemampuan
ekonomi perantau perempuan Minang?
Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini ingin menjawab beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dinamika perantauan perempuan Minang?
2. Bagaimanakah rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan
dampaknya pada identitas mereka sebagai perempuan Minang?
3. Bagaimana interaksi sosial di antara perantau Minang membentuk
kemampuan ekonomi perantau?
5
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum ingin memberikan pemahaman mengenai
dinamika perantauan perempuan pedesaan terutama terkait migrasi internal,
karena sejauh ini masih banyak fokus pada migrasi Internasional. Secara khusus
penelitian ini bertujuan menjawab setiap permasalahan yang telah dirumuskan,
yakni:
1. Mengkaji dinamika perantauan perempuan Minang.
2. Mengkaji bagaimana rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan
dampaknya pada identitas mereka sebagai perempuan Minang.
3. Mengkaji interaksi sosial antar perantau yang telah berhasil membentuk
kemampuan ekonomi perantau.
Manfaat Penelitian
Mengacu pada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian
ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Pada ranah akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi ilmiah khususnya pada sosiologi ekonomi, dapat menambah
pengetahuan terkait pengembangan ekonomi suatu komunitas atau etnis
Minang dengan berbasiskan pada kinship (kekerabatan) meskipun telah
menetap di daerah tujuan rantau; khususnya bagi perantau perempuan
Minang asli Sumatera Barat yang secara nilai (simbol) memiliki kedudukan
sosial yang tinggi di daerah asal.
2. Pada tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan
sebagai: (a) Sarana untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan di daerah
pedesaan, karena Statistik Indonesia mengemukakan bahwa aktifitas
merantau merupakan salah satu konsekuensi ketimpangan pembangunan
antara desa dan kota; (b) Bahan rujukan bagi perempuan merantau dari
manapun daerahnya, bahwa ada peluang sukses dengan nyaman di negara
sendiri dengan menjadi pengusaha (apapun tingkat pendidikannya),
sehingga tidak lagi harus mengadu nasib di negara lain dengan segala
ketidakadilan dan pertaruhan harga diri yang harus di tanggung.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan tentang Migrasi
Rusli (2012) mengemukakan bahwa seseorang baru bisa dikatakan
melakukan migrasi apabila: (1) adanya perpindahan tempat tinggal secara
permanen atau relatif permanen (untuk jangka waktu minimal tertentu) dan jarak
minimal tertentu; (2) adanya perpindahan dari unit geografis (unit administratif
pemerintahan) ke unit geografis lainnya; (3) melakukan gerak geografis, spasial
atau teritorial antara unit-unit geografis dengan melibatkan perubahan tempat
tinggal (dari tempat asal ke tempat tujuan). Statistik Indonesia (2014) juga
mengemukakan bahwa konsep migrasi merupakan perpindahan penduduk dari
6
suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau
batas politik atau negara (migrasi internasional) untuk tujuan menetap atau relatif
permanen.
Rusli (2012) berangkat dari apa yang dikemukakan Lee mengemukakan
bahwa baik migrasi jarak dekat maupun migrasi jarak jauh senantiasa melibatkan
faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, serta faktor
pribadi (seperti cepat lambatnya menerima perubahan), dan rintangan-rintangan
antara (seperti jarak dan biaya transportasi); Setiap daerah memiliki faktor-faktor
plus (faktor-faktor yang bersifat mengikat orang dalam suatu daerah atau memikat
orang terhadap daerah tersebut; (2) faktor-faktor minus (faktor-faktor yang
cenderung menolak mereka); dan (3) faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh
menolak ataupun mengikat. Statistik Indonesia (2014) terkait faktor-faktor yang
menyebabkan orang melakukan migrasi juga mengemukakan konsep terkait faktor
pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor); faktor pendorong
tersebut antara lain : (1) semakin berkurangnya sumber-sumber kehidupan (seperti
menurunnya daya dukung lingkungan); (2) menyempitnya lapangan pekerjaan
(seperti semakin sempitnya lahan); (3) adanya tekanan-tekanan politik, agama,
dan suku yang mengganggu hak asasi di daerah asal; (4) alasan pendidikan,
pekerjaan atau perkawinan; dan (5) bencana alam; sementara faktor penarik
adalah : (1) adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk mempebaiki
taraf hidup; (2) kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik; (3) kondisi
lingkungan dan kehidupan yang menyenangkan (seperti fasilitas-fasilitas publik);
(4) daya tarik kota besar. Data Statistik Indonesia juga berangkat dari empat faktor
yang menjadi penyebab orang mengambil keputusan bermigrasinya Lee
sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya.
Portes (2010) dalam bukunya yang berjudul “Economic Sociology” terkait
aktifitas migrasi mengemukakan tentang kelompok imigrant, artinya Portes
mencoba menekankan pada pola migrasi berkelompok. Portes juga membuktikan
dengan ditemukannya para migran di daerah tujuan yang sering berkelompok,
baik secara ekonomi (usaha yang digeluti rata-rata sama, hingga membentuk
enclave ekonomi) maupun secara tempat tinggal (tinggal berkelompok pada suatu
kawasan tertentu, hingga membentuk enclave tempat tinggal).
Hugo (1981) berangkat dari apa yang dikemukakan Germani Tahun 1965
mengemukakan bahwa karakteristik individu mempengaruhi keputusannya untuk
berpindah; Karakteristik individu memiliki dua tipe, yakni : (1) sosial budaya
(mencakup aspek umur dan jenis kelamin, serta aspek pekerjaan dan pendidikan)
yang akan berhubungan dengan status sosial ekonomi; (2) kecerdasan dan ciri
psikologi-sosial lainnya (berhubungan dengan sikap inovasi, aspirasi yang tinggi,
kepemimpinan, dan kegemaran). Hugo menambahkan bahwa peran informasi
(faktor informasi) merupakan “pendorong” yang sangat kuat dalam proses migrasi
terkait sumberdaya serta kesempatan kerja di kota besar. European Communities
(2000) juga mengemukakan yang berangkat dari apa yang disampaikan Hugo
bahwa yang menentukan keputusan seseorang untuk bermigrasi atau tidak
bermigrasi adalah karakteristik individu (jenis kelamin, latar belakang pendidikan,
dan latar belakang kehidupan) serta informasi (sifat, jumlah, dan sumber).
European Communities menegaskan bahwa keberadaan informasi penting untuk
mengetahui biaya yang dibutuhkan dan manfaat dari migrasi itu sendiri, selain itu
berdasarkan berbagai sumber (salah satunya dari apa yang ditemukan Hugo),
7
European Communities juga menambahkan bahwa keberadaan keluarga, teman
dan hubungan sosial lainya juga erat hubungannya dengan informasi terutama
terkait informasi perumahan, pekerjaan dan bantuan biaya perjalanan. Hugo
(2003), dalam tulisannya tentang “Urbanisation in Asia (An Overview)”, juga
memukan bahwa kesempatan kerja di kota menjadi faktor penarik tersendiri bagi
masyarakat desa untuk datang ke kota.
Tinjauan tentang Merantau
Konsep merantau
Hugo (1981) mengemukakan bahwa merantau merupakan bentuk gerak
penduduk (keluar dari desa) yang sifatnya non-permanent. Hugo juga menegaskan
bahwa merantau ini soal lamanya ketidakhadiran seseorang di daerah asal, yang
dimaksud ketidakhadiran berlanjut untuk jangka waktu 6 (enam) bulan atau untuk
jangka waktu yang lebih lama.
Naim (1984) mengemukakan bahwa merantau merupakan suatu tipe
tertentu dari migrasi yang cukup khas bagi situasi di Indonesia yang menjadikan
daerah rantau sebagai alat untuk menjamin, memperbaiki dan memperkokoh
kedudukan seseorang di daerah asalnya. Dari sudut sosiologi, menurut Naim
seseorang baru dikatakan merantau apabila yang bersangkutan meninggalkan
kampung halamannya (daerah asal) atas kemauan sendiri. Merantaunya orang
Minang menurut Naim baik dalam jangka waktu yang lama maupun tidak,
umumnya dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau untuk tujuan
mencari pengalaman. Namun merantau dalam konsepnya Naim adalah merantau
yang biasanya dengan maksud kembali pulang, sebagaimana yang diungkapkan
Naim bahwa merantau telah melembaga di tengah-tengah kehidupan sosial di
Minang, artinya aktifitas merantau telah membudaya, dan dengan merantau lakilaki Minang diharapkan mampu “memberi guna” di kampung. Pelembagaan
merantau membedakan antara perantau Minang dengan perantau dari suku
lainnya. Naim (1984) juga mengemukakan bahwa “merantau” sendiri sebetulnya
berarti “migrasi”, tapi merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi
budaya tersendiri yang tidak mudah didefenisikan ke dalam bahasa inggris atau
bahasa Barat mana pun. Ciri khas merantau adalah atas dasar kemauan sendiri,
oleh Rusli (2012) dikemukakan bahwa mereka yang meninggalkan tempat
tinggalnya karena keputusan sendiri biasanya lebih karena alasan pekerjaan atau
mencari pekerjaan serta ada juga untuk alasan pendidikan dan lain-lain.
Istilah merantau tidak hanya ditemukan pada suku Minang, tapi juga pada
suku lain sebagaimana yang dikemukakan Naim (1984) dalam buku “merantau”
nya, yakni selain suku Minang ada 9 daerah lain yang disebutkan Naim, yaitu ;
Batak, Banjar, Bugis, Menado, Ambon, Bawean, Jawa, Bali dan Aceh. Akan
tetapi hanya Minangkabau yang merantau karena alasan pelembagaan sosial dan
dengan intensitas merantau paling tinggi.
Sebagai salah satu tipe migrasi, dari apa yang dikemukakan Rusli (2012)
dapat dipahami bahwa seseorang baru bisa dikatakan melakukan migrasi apabila
adanya perpindahan tempat tinggal secara permanen atau relatif permanen (untuk
jangka waktu minimal tertentu) dengan jarak minimal tertentu atau pindah dari
unit geografis (unit administratif pemerintahan) ke unit geografis lainnya. Rusli
menambahkan bahwa migrasi sendiri merupakan suatu bentuk gerak penduduk
8
geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis dengan melibatkan
perubahan tempat tinggal (dari tempat asal ke tempat tujuan). Data Statistik
Indonesia mengemukakan bahwa konsep migrasi merupakan perpindahan
penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi
internal) atau batas politik atau negara (migrasi internasional) untuk tujuan
menetap atau relatif permanen.
Benang merah yang dapat diambil bahwa yang dikategorikan sebagai
perantau jika ditinjau dari daerah tujuan rantau adalah: (1) mereka yang tempat
kelahirannya berbeda dengan daerah tempat tinggalnya sekarang, dan sudah
tinggal di sana dalam jangka waktu yang lama ataupun sebentar; (2) memiliki
tujuan dan harapan tertentu terhadap daerah tujuan; (3) memiliki alasan yang
membuat mereka harus pergi ke (tinggal di) daerah tujuan.
Masyarakat Minang sebagai Masyarakat yang Dinamis
Makna dinamika masyarakat
Soekanto (1990) mengemukakan bahwa dinamika berbicara soal
perkembangan serta perubahan, baik yang sifatnya (1) tidak mencolok (stabil), (2)
cepat dan tanpa pengaruh dari luar, (3) cepat karena pengaruh dari luar, dan (4)
mencolok (tidak stabil). Perubahan tersebut bisa terjadi karena perubahan situasi
(keadaan tempat hidup). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dinamika secara
umum menggambarkan perkembangan yang ditandai dengan adanya perubahanperubahan dikarenakan perubahan situasi (tempat hidup). Abdullah et.al (2009)
mengemukakan bahwa masyarakat adalah sebuah entitas yang bergerak tanpa
henti, dan tidak mungkin ada masyarakat yang tidak memiliki tendensi untuk
selalu berreposisi untuk menentukan masa depannya. Jenkins (2001) cit Abdullah
et al. (2009) menambahkan bahwa menurut istilah Pierre Bourdieu, dinamika
mencerminkan adanya sebuah struktur yang mengalami proses in dan out
sehingga struktur tersebut berada pada posisi yang tidak stagnan. Adapun
masyarakat dalam teori modernisasinya Thomas Khun (1970) dalam Ritzer dan
Goodman (2008) adalah seperti gambar 1.
Orientasi masa depan
Orientasi masa sekarang/hari ini
Orientasi masa lalu
Gambar 1 Perkembangan masyarakat
Berubahnya suatu kehidupan sosial mencakup banyak hal yang salah
satunya berkaitan dengan fenomena sosial, baik yang direncanakan maupun yang
tidak direncanakan. Adapun enam komponen yang berubah yakni: (1) identitas
9
(terkait apa yang berubah); (2) level (Individu, kelompok, organisasi, institusi,
community); (3) Time atau lamanya perubahan (long-term/short-term); (4) Arah
perubahan (Progress (maju/berkembang), decline (menurun/menolak), linear
(datar), cycles (siklus), stages (bertahap); (5) besaran/ magnitude (besar, kecil);
dan (6) kecepatan/laju (cepat atau lambat). 3 Selain komponen tersebut, maka
perubahan tersebut juga berfokus pada pada perubahan nilai (culture/simbol).
Dapat diambil benang merah bahwa dalam memahami suatu dinamika masyarakat
yang perlu diamati adalah perubahan yang ingin dilihat dalam masyarakat yang
bersangkutan (dengan terlebih dahulu membuat batasan waktu), dalam hal
struktur sosial (berangkat dari posisi, status dan peran) dan culture (nilai, norma).
Dinamika suatu masyarakat perlu dipelajari untuk mengetahui realitas kehidupan
masyarakat yang bersangkutan, terutama untuk melihat perkembangan dan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Simbol keutamaan dan martabat perempuan minang sebagai lambang
kedinamisan masyarakat minangkabau
Pepatah adat yang menggambarkan susunan masyarakat di Minangkabau
sebagai berikut:
“Inggirih bakarek kuku, pangarek pisau sirawik, pangarek batuang tuonyo,
batuang tuo ambiak ka lantai. Nagari bakampek suku, dalam suku babuah
paruik, kampuang diagiah batuo, rumah dibari batungganai” (Hakimy
2004:119)
Masyarakat merupakan himpunan atas suku-suku atau beberapa keluarga saparuik
(seibu), dengan ketentuan:
“Kemenakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, penghulu
barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo, nan
manuruik aluah jo patuik” (Hakimy 2004:119)
Pepatah adat tersebut menurut Hakimy (2004) memberi makna bahwa suatu kaum
disetiap paruik di Minangkabau diurus oleh mamak, dan di atas mamak ada
penghulu (datuak) yang keputusannya adalah keputusan bersama (musyawarah),
karena penghulu berpedoman kepada syara‟ (agama).
Masyarakat dibangun untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan, dan
keadilan, seperti yang tergambar dalam pepatah adat:
“Bumi sanang padi manjadi, padi kuniang jaguang maupiah, taranak
bakambang biak, anak buah sanang santoso, bapak kayo mandeh barameh,
mamak disambah urang pula” (Hakimy 2004:119)
Pepatah-petitih merupakan salah satu peraturan adat teradat, yang dibuat
bersama-sama oleh para ninik mamak (pemangku adat dalam suatu nagari).
3
Dari bahan presentasi Rilus Kinseng, 2013 dan dari bahan presentasi dan Ravik Karsidi, 2010
pada mata kuliah Perubahan Sosial dan Politik Pemberdayaan
10
Peraturan adat teradat harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, seperti yang
disebut dalam pepatah:
“Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain belalangnyo, baadat sapanjang
jalan, bacupak sapanjang batuang” (Hakimy 2004:120)
Rumah gadang adalah tempat bermufakat atau tempat lahirnya filsafat alam
pikiran Minangkabau yang mashur (petatah-petitih), serta demokrasi menurut
“alua jo patuik ” (alur dan patut atau seharusnya) sebagai lambang konsekwen
dalam melaksanakan demokrasi. Atap Rumah Gadang Minangkabau bergaya
“tajam dan runcing ke atas” merupakan gaya pergas yang tangkas dalam seni
bangunan khas alam Minangkabau yang melambangkan sifat rakyatnya yang
dinamis, bekerja keras dan bercita-cita luhur untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur. Rumah gadang yang merupakan lambang adat di Minangkabau
diperuntukkan untuk perempuan, sehingga perempuan Minang harus mampu
mengkoordinir segala yang ada di dalam maupun di luar, bahkan sekelilingnya.
Hal ini merupakan salah satu simbol (norma) tingginya posisi dan peranan serta
sangat diutamakannya perempuan di Minangkabau.4
Kedudukan perempuan di Minang
Parameter kedudukan perempuan Minang adalah: kedudukan sosial,
kedudukan politik, kedudukan ekonomi dan pemilikan harta, penguasaan
terhadap anak dan keturunan, pengaturan rumah tangga, pemilikan hak asasi,
pemilikan harga diri, kebebasan menentukan pilihan sendiri, serta kebebasan
bergerak. Perempuan Minang secara fungsional berada pada posisi (kedudukan)
tinggi atau memiliki harkat dan martabat yang tinggi secara simbol (norma) di
Minangkabau. Perempuan Minang dikenal dengan istilah bundo kandung yang
artinya “ibu sejati”, melambangkan sifat keibuan dan kepemimpinan (Naim 1989).
Harkat dan martabat perempuan Minang yang dikemukakan Naim tersebut,
banyak diterangkan oleh Hakimy.
“Nan gadang basa batuah, kaunduang-kaunduang ka Madinah, ka payuang
panji ka sarugo” (Hakimy 2004: 24); menurut Hakimy perempuan dipandang
mulia dan memegang fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau; perempuan adalah lambang kebanggaan dan kemuliaan yang
dihormati, diutamakan, serta dipelihara; perempuan sebagai orang yang dihormati
dan dimuliakan pun harus bertanggungjawab memelihara diri dan mendudukkan
diri sendiri, seperti yang tertuang dalam pepatah.
“Ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka rusak, jago limbago nan ka
sumbiang” (Hakimy 2004: 81); menurut Hakimy bermakna bahwa perempuan
adalah anggota yang melengkapi suatu masyarakat yang tanpanya tidak akan
semarak; perempuan Minang kedudukannya sangat penting untuk menyambung
keturunan, agar lingkungan yang bertali darah tidak punah; perempuan Minang
sebagai penyambung keturunan harus menjaga nama baiknya (martabatnya).
“Jan taruah bak katidiang, jan baserak bak anjalai, kok ado rundiang
banan batin, patuik baduo jan batigo, nak jan lahia di danga urang” (Hakimy
2004: 82); menurut Hakimy pepatah tersebut bermakna bahwa seorang perempuan
di Minangkabau harus memiliki faham, pandai dan berhati-hati dalam bergaul; hal
4
http://kerjasamarantau.sumbarprov.go.id/ oleh Rini Kustia sih
11
ini harus dihayati baik dalam kehidupan di dalam maupun di luar rumah tangga;
tingginya prestise dan martabat seorang wanita dalam pandangan umum
dilambangkan dengan sikap kehati-hatian dalam segala perbuatan dan tingkah
laku, sehingga mampu mempertahankan rasa malu di dalam dirinya; perempuan
Minang juga harus berilmu pengetahuan dan bermakrifat (taat beragama).
“Maha tak dapek dibali, murah tak dapek dimintak, takuik paham ka
tagadai, takuik di budi ka tajua...” (Hakimy 2004: 83); menurut Hakimy
perempuan menurut adat di Minangkabau harus ramah dan rendah hati, serta tidak
angkuh dan sombong. Perempuan Minang harus mampu menjaga kehormatannya
yang dibentengi sifat malu dan sopan serta budi pekerti yang mulia.
Hakimy (2004) mengemukakan bahwa bundo kanduang dengan kaum lakilaki punya hak yang sama dalam bermusyawarah di Minangkabau; Pendapat
wanita menurut adat sangat menentukan lancar tidaknya suatu yang akan
dilaksanakan di dalam lingkungan kaum dan pesukuan; Perempuan berperan
dalam menyepakati atau menyetujui setiap keputusan dalam musyawarah, belum
sah jika salah seorang dari anggota kaum belum menyetujui; Keputusan yang
memerlukan musyawarah seperti kenduri untuk mengawinkan anak, mendirikan
gelar pusaka (gelar penghulu) dalam kaum, serta dalam mempergunakan harta
pusaka sesuai dengan fungsinya guna kepentingan bersama (seperti: gadai dan
hibah).
Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa sumber ekonomi (sawahladang) diutamakan bagi perempuan di Minangkabau, karena laki-laki punya
kemampuan dan kebebasan yang lebih luas dibandingkan perempuan, maka lakilaki ditugaskan mengurus dan mengawasi sawah-ladang; Pemanfaatan sumbersumber ekonomi yang diserahkannya kepada perempuan yang dalam
pelaksanaannya dibantu laki-laki, adalah demi terjaminnya kelangsungan hidup
matrilineal di Minangkabau; ini juga menjadi lambang penghormatan dalam
memuliakan kaum perempuan.
“Sigai mancari anau, anau tatap sigai baranjak” (Hakimy 2004:72);
menurut Hakimy ini bermakna bahwa peraturan adat mengutamakan rumah
tempat kediaman untuk perempuan yang menjadi bukti keutamaan perempuan di
Minangkabau; Orang Minang erat dengan istilah pulang kerumah urang gaek
(rumah ibu) atau ke rumah istri, seperti yang digambarkan pepatah; Perempuan
tidak diperbolehkan tidur sembarangan, karena dikhawatirkan akan terjadi hal-hal
yang akan merusak nama baik kaum; Lebih dari itu, mengingat pentingnya peran
wanita dalam hidup dan kehidupan di Minangkabau, maka adat mengutamakan
perlindungan terhadap kaum wanita, sesuai dengan ketentuan adat yang
dikemukakan Hakimy (2004 :73) yaitu “Nan lamah ditueh, nan condong
ditungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang”.
Perempuan Minang secara matrilineal adalah tempat menarik tali keturunan
manusia di Minangkabau; Perempuan menurut keturunan alam takambang jadi
guru, diciptakan oleh pencipta sebagai penyimpan pranatal, melahirkan dan
beberapa proses maha penting, hingga tugas-tugas keibuan setelah melahirkan;
Perempuan Minang sebagai pengantar keturunan, mempunyai tugas pokok dalam
membentuk dan menentukan watak manusia, sehingga ketika seorang ibu bersuku
Caniago, anak yang dilahirkan pun harus bersuku caniago (baik anak laki-laki
maupun perempuan), bukan menurut suku bapak; Perempuan punya peran yang
sangat penting dalam membentuk generasi yang akan dating; Perempuan harus di
12
muliakan, segala perbuatan asusila terhadap perempuan merupakan kesalahan
yang sangat besar dan tercela sekali, bahkan laki-laki (suami) yang berbuat
kesalahan (misalnya selingkuh) dan telah menyakiti hati perempuan, akan diusir
oleh kaum yang perempuan dari rumah serta dari lingkungan kaum perempuan
tersebut, dan akan sulit menemui anaknya; Perempuan di Minangkabau sejatinya
bertanggungjawab sebagai istri, pendidik, dan sebagai penyambung keturunan,
sehingga seorang perempuan di Minang harus memelihara, mempersiapkan dan
melatih dirinya agar dihormati dalam kaum; seorang perempuan menurut adat
Minangkabau lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkannya, mau
jadi apa generasinya kedepannya perempuan adalah penentunya, seperti pepatah
yang disampaikan Hakimy (2004:72): Kalau karuah aia di hulu, sampai ka muaro
karuah juo, kalau kuriek induaknyo, rintiak anaknyo, tuturan atap jatuah ka
palambahan”.
Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa perempuan adalah pengatur
keuangan (bendahara rumah), karena perempuan terkenal lebih ekonomis dalam
kesehariannya dibandingkan laki-laki, sehingga oleh hukum adat dipercayakan
untuk memegang dan menyimpan hasil sawah dan ladang, serta pada perempuan
pulalah terpegang kunci ekonomi tersebut; Keberadaan rangkiang sebagai tempat
menghimpun dan menyimpan hasil sawah dan ladang di depan rumah gadang
yang ditempati oleh bundo kanduang merupakan lambang bahwa perempuan di
Minang di posisikan sebagai pengelola harta kaum.
Posisi perempuan di Minangkabau ini, tergambar dalam pepatah adat yang
disampaikan Hakimy (2004:74): “umbun puruak pegangan kunci, umbun puruak
aluang bunian...”, menurut Hakimy perempuan sebagai penyimpan hasil ekonomi
(bendahara) atau perempuan pengatur keuangan keluarga. Laki-laki sendiri
merupakan tulang punggung yang kuat bagi kaum wanita. Perempuan juga punya
peranan sebagai seorang istri, yakni menghadapi suami lahir dan batin, sebagai
teman hidup di dunia dan akhirat, mengikuti perkembangan jiwa suami, serta
mendorongnya untuk giat mencapai kebahagiaan bersama.
“...manyurua babuek baik, malarang babuek nan mungka...” (Hakimy 2004:
96); menurut Hakimy ini bermakna bahwa perempuan sebagai seorang ibu
merupakan pendidik utama bagi anak-anaknya, seperti yang diungkapkan pepatah:.
Perempuan punya tanggungjawab untuk menghasilkan generasi yang pintar dan
beraklak mulia, yang dilambangkan dengan Limpapeh rumah nan gadang. Ini
bermakna bahwa perempuan sebagai pendidik, pembimbing dan penggembleng
anak dan semua anggota keluarga dalam rumah tangga dan tali temali (seperti
bako, baki, handan pasumandan, dan sebagainya). Hal ini juga dikarenakan
perempuan sebagai pusat terhimpunnya atau terpusatnya beberapa fungsi ilmu,
sifat dan kecakapan secara bulat, yang dilambangkan dengan pusek jalo kumpulan
tali.
Batasan perempuan Minang dalam bersikap dan bergerak
“Habih sandiang dek bageso, habih miang dek bagisiah, habih bisa dek
biaso, habih gali dek galitiak. Sikua kabau bakubang, Sado kanai luluaknyo,
surang makan cubadak, Sado kanai gatahnyo” (Hakimy 2004:82); menurut
Hakimy ini bermakna bahwa perempuan harus menjaga nama baiknya sebagai
perempuan Minang; Adat Minangkabau mengajarkan perempuan Minang untuk
bisa menjaga nama baik (martabat), dengan membatasi perempuan Minang dalam
13
pergaulan; Perempuan Minang harus berhati-hati dalam segala perbuatan dan
tingkahlaku yang dapat menghilangkan rasa malu di dalam diri; Seorang
perempuan yang jatuh martabatnya dalam pandangan umum, menurut adat di
Minangkabau akan merusak nama perempuan secara keseluruhan.
”...Manaruah malu jo sopan, manjauhi sumbang jo salah... manaruah malu
dengan sopan..., labih kapado pihak laki-laki..., takuik di budi katajua, malu di
paham katagadai...” (Hakimy 2004:106); menurut Hakimy ini bermakna bahwa
perempuan Minang harus sopan dan menjauhi sikap yang tidak pada tempatnya,
terutama harus mengetahui batas-batas pergaulan dengan laki-laki; Perempuan
Minangkabau diajarkan untuk takut akan harga diri (wibawa) akan jatuh;
Perempuan (terutama yang masih gadis) dalam pergaulan harus hati-hati terutama
pergaulan dengan laki-laki, perempuan jangan bergaul bebas; Perempuan Minang
terkenal memiliki malu, jangankan dengan laki-laki yang bukan keluarganya,
dengan saudara laki-laki kandungnya perempuan Minang punya batas-batas
tersendiri, seperti yang diajarkan adat: (a) tapakai taratik dengan sopan (sikap
yang baik dan sopan), (b) memakai baso jo basi (tahu dengan basa basi), (c)
memakai raso jo pareso (punya rasa kepedulian), (d) manaruah malu jo sopan
manjauhi sumbang jo salah (menanamkan rasa malu dan sopan), (e) muluik manih
baso katuju (mulut manis), (f) pandai bagaua samo gadang (pandai bergaul sama
besar), (g) mamakai malu samo gadang, lebih kapado laki-laki (memakai malu
dengan yang sama besar, terutama dengan laki-laki), (h) takuik di budi katajua,
takuik di
MINANG DI JAKARTA
SINTA OKTAVIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Perantauan dan
Identitas Perempuan Minang di Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Sinta Oktavia
NIM I353120061
RINGKASAN
SINTA OKTAVIA. Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di
Jakarta. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI dan NURMALA K PANDJAITAN.
Etnis Minangkabau memandang merantau sebagai upaya mengubah nasib
agar terangkat harkat dan martabat. Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika
perantauan perempuan Minang di daerah tujuan rantau, mengkaji bagaimana
rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan dampaknya pada nilai-nilai
asli (identitas) perempuan Minang, serta mengkaji interaksi sosial antar perantau
yang membentuk kemampuan ekonomi perantau. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif yang terdiri atas 60 responden dan didukung data kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Perantau perempuan Minang
sejumlah 35 persen transit di daerah lain sebelum menetap di Jakarta; mereka
yang merantau di atas 5 (lima) tahun umumnya mengalami perubahan
penghidupan, yaitu: tingkat pendidikan, status pernikahan, serta jenis pekerjaan;
(2) Perantauan perempuan Minang didasarkan oleh rasionalitas tujuan, agar dapat
mempertahankan serta memperjuangkan harkat dan martabat sebagai perempuan
Minang; sekali memutuskan merantau, sebuah keharusan untuk mengubah nasib
atau mengangkat harkat dan martabat; meskipun telah terjadi dinamika
(perubahan) penghidupan, atau bahkan telah menjadi orang Jakarta (ditandai
dengan 38 persen responden telah menetap di Jakarta di atas 10 tahun), identitas
mereka sebagai perempuan Minang tidak berubah; dan (3) Interaksi sosial
perantau perempuan Minang adalah closed system (kinship system), karena tetap
menjaga hubungan kekeluargaan atau kekerabatan di daerah tujuan rantau.
Kata kunci: perantau perempuan Minang, harkat dan martabat perempuan Minang,
dan nilai-nilai merantau
SUMMARY
SINTA OKTAVIA. Dynamic and identity of Minang‟s womens migrant in
Jakarta. Supervised by TITIK SUMARTI and NURMALA K PANDJAITAN.
Minangkabau ethnic view migration as an effort to change their fate to be
better so it could improve their dignity. This research was aimed to studied the
Minang women migration dynamics in migration destination, studied how does
the rationality action of Minang‟s womens migrant and it‟s impacts to the
indigenous values of Minang‟s women, and also studied social interaction
between migrants which create economics power. This research use quantitative
approach with 60 respondents which supported by qualitative data.
Research show that: (1) 35 percent of Minang‟s women migrant were
transit in other destination area before come and stay in Jakarta; Minang‟s women
migrant who has migration above five years, had experience some live changes,
in: education level, marital status, and kind of job; (2) The migration of Minang‟s
women were based on their purposes rationalities in order to maintain and work
for their dignity as Minang‟s women; once they decided to migrate, they will not
come back before success to the principle. Once they decided to migrate, they
should to ensure that they can change their dignity; although there were a life
dynamics (changes), or even they have been Jakarta‟s society it‟s means that they
had been Jakarta peoples (marked by 38 percent of respondent had live in Jakarta
more than 10 years), their identity and had experience the life dynamics (changes),
but it does‟nt change indigenous values (identity) as Minang womens never
change; and (3) Social interaction of Minang‟s women is a closed system (kinship
system), since they keep their relations either their kinship in destination area .
Key words: Minang‟s womens migrant, Minang‟s women dignitys, migration‟s
values.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DINAMIKA PERANTAUAN DAN IDENTITAS PEREMPUAN
MINANG DI JAKARTA
SINTA OKTAVIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Ekawati S Wahyuni, MS
Judul Tesis : Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di Jakarta
Nama
: Sinta Oktavia
NIM
: I353120061
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Titik Sumarti, MS
Ketua
Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 31 Desember 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah
merantau, dengan judul Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di
Jakarta.
Terimakasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Dr Titik Sumarti, MS dan Ibu Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA
selaku pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis.
2. Ibu Dr Ir Ekawati S Wahyuni, MS selaku dosen penguji luar komisi
sekaligus revewer jurnal yang telah banyak memberikan masukan yang
sangat membangun.
3. Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan.
4. Staf pengajar serta staf Tata Usaha Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat.
5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa yang diberikan.
6. Responden (perantau perempuan Minang di Jakarta) yang telah membantu
selama penelitian.
7. Teman-teman sesama alumni Univeritas Andalas Padang yang sama-sama
menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, teman-teman Sosiologi
Pedesaan 2012, teman-teman Maharlika Atas, serta teman sepembimbing
atas persahabatannya.
Penghargaan terbesar penulis persembahkan untuk kedua orang tua dan saudara
tercinta atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama ini. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Sinta Oktavia
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan tentang Migrasi
Tinjauan tentang Merantau
Masyarakat Minang sebagai Masyarakat yang Dinamis
Identitas Sosial dan Identitas Diri
Penelitian Terdahulu: Kasus Merantaunya Perempuan
Teori Tindakan Sosial: Tindakan Rasional Weber
Interaksi Sosial
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Defenisi Operasional
3 METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
Metode Pengambilan Responden
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5 DINAMIKA PERANTAUAN PEREMPUAN MINANG
Perubahan Daerah Tujuan Rantau
Perubahan Tingkat Pendidikan Perantau Perempuan Minang
Perubahan Status Pernikahan Perantau Perempuan Minang
Perubahan Jenis dan Status Pekerjaan Perantau Perempuan
Minang dalam Proses Merantau
6 RASIONALITAS TINDAKAN PERANTAU PEREMPUAN
MINANG DAN DAMPAKNYA PADA NILAI-NILAI ASLI
PEREMPUAN MINANG
Rasionalitas yang Berhubungan dengan Alasan Merantaunnya
Perempuan Minang
Rasionalitas Perempuan Minang yang Berhubungan dengan
Perubahan Pekerjaan
7 INTERAKSI SOSIAL YANG DIBANGUN OLEH PERANTAU
PEREMPUAN MINANG DI DAERAH TUJUAN RANTAU
Pola interaksi perantau perempuan Minang
Hubungan status perkawinan dengan interaksi
di daerah tujuan rantau
i
ii
1
1
3
5
5
5
5
5
8
13
15
20
22
23
25
25
28
28
28
28
30
30
31
36
36
42
45
47
54
54
61
73
73
79
Hubungan jenis pekerjaan perantau perempuan Minang dengan
Interaksi di daerah tujuan rantau
8 IDENTITAS PEREMPUAN MINANG YANG DIPELIHARA
SELAMA PROSES MERANTAU
Identitas yang dipelihara semenjak perjalanan merantau
Identitas tetap dipelihara setelah menetap di rantau
9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
80
82
82
90
97
97
98
98
101
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Data penelitian, deskripsi, alat analisa, metode analisa, dan sumber data
Karakteristik responden ketika meninggalkan daerah asal
Karakteristik responden setelah menetap di daerah tujuan rantau
Pola merantau perempuan Minang
Hubungan periode dan pola merantau perempuan Minang
Hubungan transportasi yang digunakan dengan periode
merantaunya perempuan Minang
Hubungan tingkat pendidikan terhadap pola merantau perempuan
Minang
Hubungan status perkawinan perempuan Minang terhadap keputusan
akan daerah tujuan rantau yang dipilih
Hubungan interaksi yang terbentuk terhadap daerah tujuan rantau
Hubungan Pola merantau dan perubahan tingkat pendidikan perantau
perempuan Minang
Hubungan periode merantau dengan tingkat pendidikan perantau
perempuan Minang
Hubungan status pernikahan awal merantau dengan periode merantau
Hubungan lama merantau dan perubahan status perkawinan
perantau perempuan Minang
Hubungan Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang dimasuki
Perubahan pekerjaan perantau perempuan Minang
Hubungan perubahan status pernikahan dan perubahan pekerjaan
Hubungan lamanya merantau dan perubahan jenis pekerjaan
Hubungan keberadaan keluarga atau kerabat di daerah tujuan rantau
dengan perubahan pekerjaan perantau perempuan Minang
Hubungan periode merantau dan alasan merantau
Perbedaan kedudukan perempuan Minang di rantau dengan
di daerah asal
Pola interaksi perempuan Minang di Jakarta
Pihak yang memberi tempat tinggal di rantau
Pihak yang membantu perantau perempuan Minang dalam
mendapatkan pekerjaan
Pengaruh status perkawinan terhadap pola interaksi yang terbangun
di daerah tujuan rantau
Hubungan jenis pekerjaan dengan pola interaksi yang terbentuk
Hubungan identitas perempuan Minang dengan periode merantau
Hubungan status pernikahan dengan identitas sebagai perempuan
Minang ketika meninggalkan daerah asal
Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas sebagai perempuan
Minang ketika meninggalkan daerah asal
Hubungan pola merantau dengan identitas sebagai perempuan Minang
ketika meninggalkan daerah asal
30
34
35
36
36
37
41
41
42
43
44
45
45
47
47
48
52
52
56
65
74
75
75
80
81
83
83
86
88
30. Hubungan lamanya merantau dengan identitas perempuan Minang
31. Hubungan pola interaksi yang terbangun dengan identitas
perempuan Minang
32. Hubungan status perkawinan dengan identitas sebagai
perempuan Minang
33. Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas perempuan Minang
selama di rantau
34. Hubungan jenis pekerjaan dengan identitas sebagai
perempuan Minang
91
91
92
93
95
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Perkembangan Masyarakat
Kerangka pemikiran
Peta kota Jakarta
Proses memotong bahan kain
Proses menjahit
Pakaian jadi yang siap dipasarkan
Proses pemasaran
Posisi responden dalam keluarga di daerah asal
Aktifitas sehari-hari orang Jawa yang bekerja sama dengan
bu AY di konveksinya
8
24
31
49
49
49
50
54
79
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain merupakan
konsekuensi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan tidak meratanya fasilitas
pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain, penduduk yang tinggal di
daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah akan berpindah ke
daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi (Statistik Indonesia
2014). Suku bangsa Indonesia yang tinggi tingkat perpindahan penduduk atau
tingkat merantaunya berdasarkan sensus penduduk tahun 1961 yaitu Minangkabau,
Batak, Banjar, Bugis, Menado, Ambon, Bawean, Jawa, Bali dan Aceh (Naim
1973). Bandiyono (2006) juga menemukan bahwa etnis Minangkabau masih
menjadi salah satu etnis yang tinggi tingkat mobilitasnya, dan kebanyakan dari
mereka merantau ke daerah perkotaan di luar Sumatera Barat, terutama Jawa,
Riau, serta Malaysia.
Adat Minangkabau menganjurkan laki-laki Minang untuk merantau (Naim
1973). Kato (1982) juga mengemukakan bahwa secara matrilineal memang lakilaki Minang lah yang seharusnya terdorong untuk merantau, karena mereka tidak
punya bekal di daerah asal. Akan tetapi, pada kenyataannya perempuan Minang
yang dinilai sudah punya bekal1 di daerah asal pun juga banyak ditemukan hidup
di rantau. Mursini (2009) menemukan perempuan etnis Minangkabau merantau ke
Batam lebih banyak dibandingkan dengan etnis lainnya.
Aktifitas merantaunya perempuan Minang, dahulunya dianggap sebagai
suatu yang tidak wajar atau salah. Hakimy (2004) mengemukakan bahwa berjalan
sendirian untuk perjalanan jauh merupakan salah satu perilaku sumbang bagi
perempuan Minang 2 . Naim (1983; 1989) mengemukakan bahwa banyaknya
perempuan yang merantau untuk bekerja merupakan bukti telah memudar dan
berubahnya sendi-sendi (nilai-nilai) dasar tentang perempuan Minang, yakni
bergesernya peran dan fungsi perempuan Minang dari yang seharusnya (salah
satunya ditandai dengan banyaknya perempuan yang menyamai dan memasuki
ranah atau pekerjaan yang seharusnya dimasuki oleh laki-laki). Hakimy (2004)
juga mengemukakan sebelumnya bahwa perempuan yang mengerjakan pekerjaan
yang umumnya dikerjakan laki-laki (pekerjaan berat), dinilai sebagai suatu
pekerjaan yang sumbang atau salah. Permasalahan utama perempuan yang bekerja
menurut Naim (1991; 2004) adalah ketika mereka mulai lupa dengan
tanggungjawab pokoknya untuk memberikan perhatian lebih kepada anakanaknya. Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa kaum perempuan sangat
menentukan dalam pembinaan generasi bangsa. Ini bermakna bahwa Naim dan
Hakimy sangat menekankan pada prinsip bahwa perempuan sejatinya bekerja di
rumah. Akan tetapi, Syafrizal dan Meiyenti (2012) mengemukakan bahwa sistem
matrilineal di Minangkabau telah mengalami pergeseran dan perubahan meskipun
1
Harta kaum (rumah dan tanah) di Minangkabau di turunkan ke perempuan
Disamping itu, perempuan di Minangkabau mempunyai batas-batas dalam bertindak dan bergaul,
terutama dengan lawan jenis. Jangankan dengan laki-laki asing (yang tidak ada hubungan
keluarga) dengan laki-laki yang memiliki hubungan kekeluargaan saja Perempuan minang punya
batas-batas yang harus dijaganya sebagai orang yang memiliki malu.
2
2
tidak radikal dengan masih dijaganya beberapa hal prinsipiil, seperti harta pusaka
yang masih menjadi milik bersama (perempuan memiliki kekuasaan atas harta
pusaka milik bersama). Tanah yang dapat digarap untuk keperluan keluarga
tersebut semakin sedikit karena jumlahnya memang tidak bertambah, sementara
jumlah anggota kerabat semakin bertambah. Ini bermakna bahwa tanah (hasil
sawah dan ladang) tidak lagi sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan keluarga
karena kebutuhan pun berkembang seiring berkembangnya masyarakat.
Sebetulnya bukan hanya perempuan Minang yang memiliki keterbatasan
untuk merantau, di beberapa daerah lain juga ditemukan perempuan dibatasi
merantau, meskipun belum dikemukakan secara jelas terkait norma yang
melarang. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, aktifitas merantaunya
perempuan untuk bekerja dianggap kurang baik. Mursini (2009) yang meneliti
tentang migran perempuan ke kota Batam mengemukakan, bahwa ada beberapa
orang migran perempuan yang mengaku dipandang sinis oleh masyarakat di
daerah asalnya ketika pertama kali merantau. Pandjaitan (1990) menemukan
perempuan (terutama perawan) di desa Purwaraja, kecamatan Raja Desa, Ciamis,
Jawa Barat yang terbatas keluar dari desanya lebih karena kehawatiran orang tua.
Pandjaitan (1977), terkait perempuan Batak Toba yang merantau, menemukan
bahwa Batak Toba mengenal yang namanya pekerjaan yang pantas dan tidak
pantas untuk perempuan, terutama menyangkut apakah pekerjaan tersebut
membuat perempuan tersebut harus berdekatan dengan orang lain yang bukan
keluarga dekat atau suami, yang dianggap tabu dan melanggar adat Batak, karena
secara adat tempat tinggal orang Batak Toba terbagi atas tempat tinggal untuk
anak laki-laki, anak perempuan, orang tua, anak-anak yang masih kecil, dan
tempat tinggal bagi tamu.
Apa yang dikemukakan Naim dan Hakimy dalam tulisannya tentang
perempuan Minang menyiratkan bahwa bukan hanya soal identitas mereka
sebagai perempuan makanya perempuan Minang terbatas untuk merantau (seperti
halnya perempuan asal Purwaraja, Jawa Barat dan Batak Toba), tapi juga karena
keutamaan serta martabat mereka sebagai perempuan Minang. Naim (1991; 2004)
mengemukakan bahwa secara adat perempuan Minang merupakan figur sentral
dalam rumah tangga. Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa perempuan
Minang adalah seorang Bundo Kanduang, yakni seseorang yang memiliki prestise
atau martabat yang tinggi (mulia) serta memiliki “rasa malu” (malu berbuat hal
yang sumbang atau salah menurut adat dan agama). Akan tetapi sebagaimana
yang dikemukakan sebelumnya, bagaimanapun perempuan Minang telah banyak
yang ditemukan tinggal dan bekerja di luar daerah asalnya. Agustin (2007) bahkan
menemukan perempuan Minang bekerja sebagai buruh dan PRT di luar negeri
meskipun tidak banyak, dan umumnya meninggalkan daerah asal pada usia muda
dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah. Agustin menambahkan bahwa mereka
yang statusnya ilegal, sempat mengalami kekerasan fisik (jam kerja yang panjang
dan menggunakan waktu libur sebagai jam kerja, dilarang makan serta dipaksa
bekerja walau dalam keadaan sakit) dan psikis (direndahkan dengan kata-kata
kasar dan bentakan, ancaman pelecehan seksual). Ini menandakan bahwa dalam
perantauan (terutama keluar negeri), perempuan Minang telah mempertaruhkan
martabat (harga diri dan nama baik)nya.
Perempuan Minang dari apa yang dikemukakan Hakimy jelas akan lebih
terbatas untuk keluar dari daerah asalnya dibandingkan suku lainnya di Indonesia,
3
karena bukan saja soal kekhawatiran orang tua dan pandangan sinis masyarakat
sekitar, tapi juga karena keutamaan dan martabat wanita Minang itu sendiri. Studi
perempuan yang ada sejauh ini lebih banyak mengungkap sisi tidak pantas
sekaligus akibat dari aktifitas merantau mereka, namun masih sangat sedikit yang
mencoba memahami dan mempertanyakan dinamika (perubahan) yang terjadi
selama proses perantauan perempuan Minang tersebut, khususnya dinamika
ekonomi atau jatuh bangunnya mereka di perantauan, apakah mereka yang
berhasil di rantau karena mereka perempuan Minang (dengan nilai-nilai yang
masih mereka pegang), atau justeru karena profesionalitas (pendidikan,
keterampilan, modal, dan lain-lain) yang mereka miliki.
Naim baru fokus pada ibu-ibu muda (mereka yang berstatus menikah) yang
bekerja dan belum sampai pada perempuan Minang yang berstatus belum
menikah, sementara yang merantau justru kebanyakan yang berusia muda dan
berstatus belum menikah. Mursini meskipun memasukkan perempuan Minang
dalam kajiannya, dan sempat mengungkapkan bahwa ada perantau yang
dipandang sinis ketika awal merantau, namun baru sebatas pandangan
keseluruhan, bukan terhadap perempuan Minang secara khusus. Penelitian untuk
mengkaji secara khusus terkait nilai-nilai asli (identitas) perempuan Minang,
apakah benar identitas perempuan Minang telah lemah bahkan hilang seiring
perjalanan dan menetapnya mereka di rantau atau sebaliknya tetap kuat, perlu
dilakukan.
Wiyono (2000) mengemukakan bahwa suku Minang merupakan salah satu
suku yang ketika di daerah tujuan migrasi memiliki peluang kerja lebih tinggi
dibandingkan suku yang lain. Wiyono baru sebatas menemukan bahwa suku
Minangkabau paling mudah dalam memperoleh pekerjaan, sehingga perlu untuk
mengkaji apakah ada yang membantu mereka sehingga mudah memperoleh
pekerjaan atau secara khusus perlu mengkaji tentang interaksi sosial perantau
perempuan Minang tersebut di daerah tujuan.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana
dinamika perantauan perempuan Minang; mengkaji bagaimana tindakan rasional
perantau perempuan Minang dan dampaknya pada nilai-nilai asli (identitas)
perempuan Minang; serta mengkaji bagaimana interaksi sosial di antara perantau
Minang membentuk kemampuan ekonomi perantau perempuan Minang.
Perumusan Masalah
Perempuan Minang paling banyak ditemukan dibandingkan suku lain di
Batam (Mursini 2009). Naim (1983) mengemukakan bahwa perempuan sering
dijadikan warga kelas dua dan bekerja layaknya alat, namun kenyataannya
perempuan Minang tetap memasuki dunia kerja. Agustin (2007) menemukan
bahwa perempuan Minang yang menjadi bekerja di luar negeri bahkan mengalami
kekerasan fisik dan psikis. Naim (1990) kembali mengemukakan bahwa boleh
saja perempuan Minang merantau asalkan harkat dan martabat (kedudukan)
mereka lebih tinggi dibandingkan perempuan di daerah asal. Perempuan Minang
sebagai pribadi yang diharuskan dapat meningkatkan harkat dan martabat dengan
merantau, bagaimana sebetulnya dinamika (perubahan) yang dialami perantauan
perempuan Minang di daerah tujuan?
4
Hakimy (2004) mengemukakan bahwa perempuan di Minang memiliki
banyak keutamaan serta merupakan figur sentral di Minangkabau. Aktifitas
merantau untuk bekerja yang dilakukan seseorang perempuan Minang dengan
harapan untuk memperoleh imbalan di masa yang akan datang (berupa perubahan
nasib, hingga terangkatnya harkat dan martabat sebagai perempuan Minang),
jika digunakan konsepnya Weber, maka hal tersebut merupakan suatu pilihan
tindakan yang memiliki makna, yang sebelumnya telah melalui pertimbangan
yang matang karena akan berhadapan dengan identitas yang melekat pada diri
perempuan Minang tersebut. Ini berada dalam kerangka bahwa dalam memahami
identitas perempuan Minang apakah telah lemah ataupun hilang atau justeru
sebaliknya identitas tersebut masih kuat. Untuk memahami nilai yang sedang
diupayakan terwujud melalui merantau, harus memiliki variasi rasional dan bukan
hanya didominansi oleh perasaan dan tradisi mengenai perempuan Minang
duhulunya. Tujuan yang ingin dicapai (imbalan berupa perubahan nasib)
merupakan suatu yang diprioritaskan oleh perempuan Minang di perantauan,
ditengah nilai-nilai lainnya (identitas) yang harus tetap mereka pegang sebagai
simbol harga diri mereka, maka bagaimana sebetulnya rasionalitas tindakan
perempuan Minang perantau dan sejauhmana telah berdampak pada identitas
perempuan Minang?
Wiyono (2003) mengemukakan bahwa perempuan Minang dan Jawa di
daerah tujuan rantau memiliki peluang kerja yang lebih tinggi dibandingkan suku
lainnya. Wiyono menambahkan, bahwa adanya peningkatan dari peluang bekerja
perempuan Minang itu sendiri. Ini bermakna bahwa, kesempatan perempuan
Minang untuk berhasil di rantau lebih besar dibandingkan suku lainnya.
Asumsinya, ada faktor pendukung sehingga perempuan Minang memiliki peluang
kerja yang lebih tinggi di bandingkan suku yang lainnya. Sementara itu, secara
sosiologi faktor pendukungnya adalah karena adanya solidaritas antar perantau,
yakni adanya perasaan tanggungjawab untuk saling membantu dan perasaan
merasa berhak untuk memperoleh bantuan dari keluarga (kerabat) atau teman
yang lebih dulu merantau, dengan adanya nilai adat yang mengajarkan bahwa
sebagai orang Minang harus memiliki empati yang tinggi dan harus menjadi
pribadi yang mampu melahirkan rasa kekeluargaan di rantau. Sikap saling
membantu atau rasa solidaritas merupakan upaya untuk pencapaian tujuan
bersama. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebetulnya interaksi sosial
diantara perantau Minang tersebut, sehingga mampu membentuk kemampuan
ekonomi perantau perempuan Minang?
Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini ingin menjawab beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dinamika perantauan perempuan Minang?
2. Bagaimanakah rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan
dampaknya pada identitas mereka sebagai perempuan Minang?
3. Bagaimana interaksi sosial di antara perantau Minang membentuk
kemampuan ekonomi perantau?
5
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum ingin memberikan pemahaman mengenai
dinamika perantauan perempuan pedesaan terutama terkait migrasi internal,
karena sejauh ini masih banyak fokus pada migrasi Internasional. Secara khusus
penelitian ini bertujuan menjawab setiap permasalahan yang telah dirumuskan,
yakni:
1. Mengkaji dinamika perantauan perempuan Minang.
2. Mengkaji bagaimana rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan
dampaknya pada identitas mereka sebagai perempuan Minang.
3. Mengkaji interaksi sosial antar perantau yang telah berhasil membentuk
kemampuan ekonomi perantau.
Manfaat Penelitian
Mengacu pada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian
ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Pada ranah akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi ilmiah khususnya pada sosiologi ekonomi, dapat menambah
pengetahuan terkait pengembangan ekonomi suatu komunitas atau etnis
Minang dengan berbasiskan pada kinship (kekerabatan) meskipun telah
menetap di daerah tujuan rantau; khususnya bagi perantau perempuan
Minang asli Sumatera Barat yang secara nilai (simbol) memiliki kedudukan
sosial yang tinggi di daerah asal.
2. Pada tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan
sebagai: (a) Sarana untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan di daerah
pedesaan, karena Statistik Indonesia mengemukakan bahwa aktifitas
merantau merupakan salah satu konsekuensi ketimpangan pembangunan
antara desa dan kota; (b) Bahan rujukan bagi perempuan merantau dari
manapun daerahnya, bahwa ada peluang sukses dengan nyaman di negara
sendiri dengan menjadi pengusaha (apapun tingkat pendidikannya),
sehingga tidak lagi harus mengadu nasib di negara lain dengan segala
ketidakadilan dan pertaruhan harga diri yang harus di tanggung.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan tentang Migrasi
Rusli (2012) mengemukakan bahwa seseorang baru bisa dikatakan
melakukan migrasi apabila: (1) adanya perpindahan tempat tinggal secara
permanen atau relatif permanen (untuk jangka waktu minimal tertentu) dan jarak
minimal tertentu; (2) adanya perpindahan dari unit geografis (unit administratif
pemerintahan) ke unit geografis lainnya; (3) melakukan gerak geografis, spasial
atau teritorial antara unit-unit geografis dengan melibatkan perubahan tempat
tinggal (dari tempat asal ke tempat tujuan). Statistik Indonesia (2014) juga
mengemukakan bahwa konsep migrasi merupakan perpindahan penduduk dari
6
suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau
batas politik atau negara (migrasi internasional) untuk tujuan menetap atau relatif
permanen.
Rusli (2012) berangkat dari apa yang dikemukakan Lee mengemukakan
bahwa baik migrasi jarak dekat maupun migrasi jarak jauh senantiasa melibatkan
faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, serta faktor
pribadi (seperti cepat lambatnya menerima perubahan), dan rintangan-rintangan
antara (seperti jarak dan biaya transportasi); Setiap daerah memiliki faktor-faktor
plus (faktor-faktor yang bersifat mengikat orang dalam suatu daerah atau memikat
orang terhadap daerah tersebut; (2) faktor-faktor minus (faktor-faktor yang
cenderung menolak mereka); dan (3) faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh
menolak ataupun mengikat. Statistik Indonesia (2014) terkait faktor-faktor yang
menyebabkan orang melakukan migrasi juga mengemukakan konsep terkait faktor
pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor); faktor pendorong
tersebut antara lain : (1) semakin berkurangnya sumber-sumber kehidupan (seperti
menurunnya daya dukung lingkungan); (2) menyempitnya lapangan pekerjaan
(seperti semakin sempitnya lahan); (3) adanya tekanan-tekanan politik, agama,
dan suku yang mengganggu hak asasi di daerah asal; (4) alasan pendidikan,
pekerjaan atau perkawinan; dan (5) bencana alam; sementara faktor penarik
adalah : (1) adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk mempebaiki
taraf hidup; (2) kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik; (3) kondisi
lingkungan dan kehidupan yang menyenangkan (seperti fasilitas-fasilitas publik);
(4) daya tarik kota besar. Data Statistik Indonesia juga berangkat dari empat faktor
yang menjadi penyebab orang mengambil keputusan bermigrasinya Lee
sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya.
Portes (2010) dalam bukunya yang berjudul “Economic Sociology” terkait
aktifitas migrasi mengemukakan tentang kelompok imigrant, artinya Portes
mencoba menekankan pada pola migrasi berkelompok. Portes juga membuktikan
dengan ditemukannya para migran di daerah tujuan yang sering berkelompok,
baik secara ekonomi (usaha yang digeluti rata-rata sama, hingga membentuk
enclave ekonomi) maupun secara tempat tinggal (tinggal berkelompok pada suatu
kawasan tertentu, hingga membentuk enclave tempat tinggal).
Hugo (1981) berangkat dari apa yang dikemukakan Germani Tahun 1965
mengemukakan bahwa karakteristik individu mempengaruhi keputusannya untuk
berpindah; Karakteristik individu memiliki dua tipe, yakni : (1) sosial budaya
(mencakup aspek umur dan jenis kelamin, serta aspek pekerjaan dan pendidikan)
yang akan berhubungan dengan status sosial ekonomi; (2) kecerdasan dan ciri
psikologi-sosial lainnya (berhubungan dengan sikap inovasi, aspirasi yang tinggi,
kepemimpinan, dan kegemaran). Hugo menambahkan bahwa peran informasi
(faktor informasi) merupakan “pendorong” yang sangat kuat dalam proses migrasi
terkait sumberdaya serta kesempatan kerja di kota besar. European Communities
(2000) juga mengemukakan yang berangkat dari apa yang disampaikan Hugo
bahwa yang menentukan keputusan seseorang untuk bermigrasi atau tidak
bermigrasi adalah karakteristik individu (jenis kelamin, latar belakang pendidikan,
dan latar belakang kehidupan) serta informasi (sifat, jumlah, dan sumber).
European Communities menegaskan bahwa keberadaan informasi penting untuk
mengetahui biaya yang dibutuhkan dan manfaat dari migrasi itu sendiri, selain itu
berdasarkan berbagai sumber (salah satunya dari apa yang ditemukan Hugo),
7
European Communities juga menambahkan bahwa keberadaan keluarga, teman
dan hubungan sosial lainya juga erat hubungannya dengan informasi terutama
terkait informasi perumahan, pekerjaan dan bantuan biaya perjalanan. Hugo
(2003), dalam tulisannya tentang “Urbanisation in Asia (An Overview)”, juga
memukan bahwa kesempatan kerja di kota menjadi faktor penarik tersendiri bagi
masyarakat desa untuk datang ke kota.
Tinjauan tentang Merantau
Konsep merantau
Hugo (1981) mengemukakan bahwa merantau merupakan bentuk gerak
penduduk (keluar dari desa) yang sifatnya non-permanent. Hugo juga menegaskan
bahwa merantau ini soal lamanya ketidakhadiran seseorang di daerah asal, yang
dimaksud ketidakhadiran berlanjut untuk jangka waktu 6 (enam) bulan atau untuk
jangka waktu yang lebih lama.
Naim (1984) mengemukakan bahwa merantau merupakan suatu tipe
tertentu dari migrasi yang cukup khas bagi situasi di Indonesia yang menjadikan
daerah rantau sebagai alat untuk menjamin, memperbaiki dan memperkokoh
kedudukan seseorang di daerah asalnya. Dari sudut sosiologi, menurut Naim
seseorang baru dikatakan merantau apabila yang bersangkutan meninggalkan
kampung halamannya (daerah asal) atas kemauan sendiri. Merantaunya orang
Minang menurut Naim baik dalam jangka waktu yang lama maupun tidak,
umumnya dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau untuk tujuan
mencari pengalaman. Namun merantau dalam konsepnya Naim adalah merantau
yang biasanya dengan maksud kembali pulang, sebagaimana yang diungkapkan
Naim bahwa merantau telah melembaga di tengah-tengah kehidupan sosial di
Minang, artinya aktifitas merantau telah membudaya, dan dengan merantau lakilaki Minang diharapkan mampu “memberi guna” di kampung. Pelembagaan
merantau membedakan antara perantau Minang dengan perantau dari suku
lainnya. Naim (1984) juga mengemukakan bahwa “merantau” sendiri sebetulnya
berarti “migrasi”, tapi merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi
budaya tersendiri yang tidak mudah didefenisikan ke dalam bahasa inggris atau
bahasa Barat mana pun. Ciri khas merantau adalah atas dasar kemauan sendiri,
oleh Rusli (2012) dikemukakan bahwa mereka yang meninggalkan tempat
tinggalnya karena keputusan sendiri biasanya lebih karena alasan pekerjaan atau
mencari pekerjaan serta ada juga untuk alasan pendidikan dan lain-lain.
Istilah merantau tidak hanya ditemukan pada suku Minang, tapi juga pada
suku lain sebagaimana yang dikemukakan Naim (1984) dalam buku “merantau”
nya, yakni selain suku Minang ada 9 daerah lain yang disebutkan Naim, yaitu ;
Batak, Banjar, Bugis, Menado, Ambon, Bawean, Jawa, Bali dan Aceh. Akan
tetapi hanya Minangkabau yang merantau karena alasan pelembagaan sosial dan
dengan intensitas merantau paling tinggi.
Sebagai salah satu tipe migrasi, dari apa yang dikemukakan Rusli (2012)
dapat dipahami bahwa seseorang baru bisa dikatakan melakukan migrasi apabila
adanya perpindahan tempat tinggal secara permanen atau relatif permanen (untuk
jangka waktu minimal tertentu) dengan jarak minimal tertentu atau pindah dari
unit geografis (unit administratif pemerintahan) ke unit geografis lainnya. Rusli
menambahkan bahwa migrasi sendiri merupakan suatu bentuk gerak penduduk
8
geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis dengan melibatkan
perubahan tempat tinggal (dari tempat asal ke tempat tujuan). Data Statistik
Indonesia mengemukakan bahwa konsep migrasi merupakan perpindahan
penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi
internal) atau batas politik atau negara (migrasi internasional) untuk tujuan
menetap atau relatif permanen.
Benang merah yang dapat diambil bahwa yang dikategorikan sebagai
perantau jika ditinjau dari daerah tujuan rantau adalah: (1) mereka yang tempat
kelahirannya berbeda dengan daerah tempat tinggalnya sekarang, dan sudah
tinggal di sana dalam jangka waktu yang lama ataupun sebentar; (2) memiliki
tujuan dan harapan tertentu terhadap daerah tujuan; (3) memiliki alasan yang
membuat mereka harus pergi ke (tinggal di) daerah tujuan.
Masyarakat Minang sebagai Masyarakat yang Dinamis
Makna dinamika masyarakat
Soekanto (1990) mengemukakan bahwa dinamika berbicara soal
perkembangan serta perubahan, baik yang sifatnya (1) tidak mencolok (stabil), (2)
cepat dan tanpa pengaruh dari luar, (3) cepat karena pengaruh dari luar, dan (4)
mencolok (tidak stabil). Perubahan tersebut bisa terjadi karena perubahan situasi
(keadaan tempat hidup). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dinamika secara
umum menggambarkan perkembangan yang ditandai dengan adanya perubahanperubahan dikarenakan perubahan situasi (tempat hidup). Abdullah et.al (2009)
mengemukakan bahwa masyarakat adalah sebuah entitas yang bergerak tanpa
henti, dan tidak mungkin ada masyarakat yang tidak memiliki tendensi untuk
selalu berreposisi untuk menentukan masa depannya. Jenkins (2001) cit Abdullah
et al. (2009) menambahkan bahwa menurut istilah Pierre Bourdieu, dinamika
mencerminkan adanya sebuah struktur yang mengalami proses in dan out
sehingga struktur tersebut berada pada posisi yang tidak stagnan. Adapun
masyarakat dalam teori modernisasinya Thomas Khun (1970) dalam Ritzer dan
Goodman (2008) adalah seperti gambar 1.
Orientasi masa depan
Orientasi masa sekarang/hari ini
Orientasi masa lalu
Gambar 1 Perkembangan masyarakat
Berubahnya suatu kehidupan sosial mencakup banyak hal yang salah
satunya berkaitan dengan fenomena sosial, baik yang direncanakan maupun yang
tidak direncanakan. Adapun enam komponen yang berubah yakni: (1) identitas
9
(terkait apa yang berubah); (2) level (Individu, kelompok, organisasi, institusi,
community); (3) Time atau lamanya perubahan (long-term/short-term); (4) Arah
perubahan (Progress (maju/berkembang), decline (menurun/menolak), linear
(datar), cycles (siklus), stages (bertahap); (5) besaran/ magnitude (besar, kecil);
dan (6) kecepatan/laju (cepat atau lambat). 3 Selain komponen tersebut, maka
perubahan tersebut juga berfokus pada pada perubahan nilai (culture/simbol).
Dapat diambil benang merah bahwa dalam memahami suatu dinamika masyarakat
yang perlu diamati adalah perubahan yang ingin dilihat dalam masyarakat yang
bersangkutan (dengan terlebih dahulu membuat batasan waktu), dalam hal
struktur sosial (berangkat dari posisi, status dan peran) dan culture (nilai, norma).
Dinamika suatu masyarakat perlu dipelajari untuk mengetahui realitas kehidupan
masyarakat yang bersangkutan, terutama untuk melihat perkembangan dan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Simbol keutamaan dan martabat perempuan minang sebagai lambang
kedinamisan masyarakat minangkabau
Pepatah adat yang menggambarkan susunan masyarakat di Minangkabau
sebagai berikut:
“Inggirih bakarek kuku, pangarek pisau sirawik, pangarek batuang tuonyo,
batuang tuo ambiak ka lantai. Nagari bakampek suku, dalam suku babuah
paruik, kampuang diagiah batuo, rumah dibari batungganai” (Hakimy
2004:119)
Masyarakat merupakan himpunan atas suku-suku atau beberapa keluarga saparuik
(seibu), dengan ketentuan:
“Kemenakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, penghulu
barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo, nan
manuruik aluah jo patuik” (Hakimy 2004:119)
Pepatah adat tersebut menurut Hakimy (2004) memberi makna bahwa suatu kaum
disetiap paruik di Minangkabau diurus oleh mamak, dan di atas mamak ada
penghulu (datuak) yang keputusannya adalah keputusan bersama (musyawarah),
karena penghulu berpedoman kepada syara‟ (agama).
Masyarakat dibangun untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan, dan
keadilan, seperti yang tergambar dalam pepatah adat:
“Bumi sanang padi manjadi, padi kuniang jaguang maupiah, taranak
bakambang biak, anak buah sanang santoso, bapak kayo mandeh barameh,
mamak disambah urang pula” (Hakimy 2004:119)
Pepatah-petitih merupakan salah satu peraturan adat teradat, yang dibuat
bersama-sama oleh para ninik mamak (pemangku adat dalam suatu nagari).
3
Dari bahan presentasi Rilus Kinseng, 2013 dan dari bahan presentasi dan Ravik Karsidi, 2010
pada mata kuliah Perubahan Sosial dan Politik Pemberdayaan
10
Peraturan adat teradat harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, seperti yang
disebut dalam pepatah:
“Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain belalangnyo, baadat sapanjang
jalan, bacupak sapanjang batuang” (Hakimy 2004:120)
Rumah gadang adalah tempat bermufakat atau tempat lahirnya filsafat alam
pikiran Minangkabau yang mashur (petatah-petitih), serta demokrasi menurut
“alua jo patuik ” (alur dan patut atau seharusnya) sebagai lambang konsekwen
dalam melaksanakan demokrasi. Atap Rumah Gadang Minangkabau bergaya
“tajam dan runcing ke atas” merupakan gaya pergas yang tangkas dalam seni
bangunan khas alam Minangkabau yang melambangkan sifat rakyatnya yang
dinamis, bekerja keras dan bercita-cita luhur untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur. Rumah gadang yang merupakan lambang adat di Minangkabau
diperuntukkan untuk perempuan, sehingga perempuan Minang harus mampu
mengkoordinir segala yang ada di dalam maupun di luar, bahkan sekelilingnya.
Hal ini merupakan salah satu simbol (norma) tingginya posisi dan peranan serta
sangat diutamakannya perempuan di Minangkabau.4
Kedudukan perempuan di Minang
Parameter kedudukan perempuan Minang adalah: kedudukan sosial,
kedudukan politik, kedudukan ekonomi dan pemilikan harta, penguasaan
terhadap anak dan keturunan, pengaturan rumah tangga, pemilikan hak asasi,
pemilikan harga diri, kebebasan menentukan pilihan sendiri, serta kebebasan
bergerak. Perempuan Minang secara fungsional berada pada posisi (kedudukan)
tinggi atau memiliki harkat dan martabat yang tinggi secara simbol (norma) di
Minangkabau. Perempuan Minang dikenal dengan istilah bundo kandung yang
artinya “ibu sejati”, melambangkan sifat keibuan dan kepemimpinan (Naim 1989).
Harkat dan martabat perempuan Minang yang dikemukakan Naim tersebut,
banyak diterangkan oleh Hakimy.
“Nan gadang basa batuah, kaunduang-kaunduang ka Madinah, ka payuang
panji ka sarugo” (Hakimy 2004: 24); menurut Hakimy perempuan dipandang
mulia dan memegang fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau; perempuan adalah lambang kebanggaan dan kemuliaan yang
dihormati, diutamakan, serta dipelihara; perempuan sebagai orang yang dihormati
dan dimuliakan pun harus bertanggungjawab memelihara diri dan mendudukkan
diri sendiri, seperti yang tertuang dalam pepatah.
“Ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka rusak, jago limbago nan ka
sumbiang” (Hakimy 2004: 81); menurut Hakimy bermakna bahwa perempuan
adalah anggota yang melengkapi suatu masyarakat yang tanpanya tidak akan
semarak; perempuan Minang kedudukannya sangat penting untuk menyambung
keturunan, agar lingkungan yang bertali darah tidak punah; perempuan Minang
sebagai penyambung keturunan harus menjaga nama baiknya (martabatnya).
“Jan taruah bak katidiang, jan baserak bak anjalai, kok ado rundiang
banan batin, patuik baduo jan batigo, nak jan lahia di danga urang” (Hakimy
2004: 82); menurut Hakimy pepatah tersebut bermakna bahwa seorang perempuan
di Minangkabau harus memiliki faham, pandai dan berhati-hati dalam bergaul; hal
4
http://kerjasamarantau.sumbarprov.go.id/ oleh Rini Kustia sih
11
ini harus dihayati baik dalam kehidupan di dalam maupun di luar rumah tangga;
tingginya prestise dan martabat seorang wanita dalam pandangan umum
dilambangkan dengan sikap kehati-hatian dalam segala perbuatan dan tingkah
laku, sehingga mampu mempertahankan rasa malu di dalam dirinya; perempuan
Minang juga harus berilmu pengetahuan dan bermakrifat (taat beragama).
“Maha tak dapek dibali, murah tak dapek dimintak, takuik paham ka
tagadai, takuik di budi ka tajua...” (Hakimy 2004: 83); menurut Hakimy
perempuan menurut adat di Minangkabau harus ramah dan rendah hati, serta tidak
angkuh dan sombong. Perempuan Minang harus mampu menjaga kehormatannya
yang dibentengi sifat malu dan sopan serta budi pekerti yang mulia.
Hakimy (2004) mengemukakan bahwa bundo kanduang dengan kaum lakilaki punya hak yang sama dalam bermusyawarah di Minangkabau; Pendapat
wanita menurut adat sangat menentukan lancar tidaknya suatu yang akan
dilaksanakan di dalam lingkungan kaum dan pesukuan; Perempuan berperan
dalam menyepakati atau menyetujui setiap keputusan dalam musyawarah, belum
sah jika salah seorang dari anggota kaum belum menyetujui; Keputusan yang
memerlukan musyawarah seperti kenduri untuk mengawinkan anak, mendirikan
gelar pusaka (gelar penghulu) dalam kaum, serta dalam mempergunakan harta
pusaka sesuai dengan fungsinya guna kepentingan bersama (seperti: gadai dan
hibah).
Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa sumber ekonomi (sawahladang) diutamakan bagi perempuan di Minangkabau, karena laki-laki punya
kemampuan dan kebebasan yang lebih luas dibandingkan perempuan, maka lakilaki ditugaskan mengurus dan mengawasi sawah-ladang; Pemanfaatan sumbersumber ekonomi yang diserahkannya kepada perempuan yang dalam
pelaksanaannya dibantu laki-laki, adalah demi terjaminnya kelangsungan hidup
matrilineal di Minangkabau; ini juga menjadi lambang penghormatan dalam
memuliakan kaum perempuan.
“Sigai mancari anau, anau tatap sigai baranjak” (Hakimy 2004:72);
menurut Hakimy ini bermakna bahwa peraturan adat mengutamakan rumah
tempat kediaman untuk perempuan yang menjadi bukti keutamaan perempuan di
Minangkabau; Orang Minang erat dengan istilah pulang kerumah urang gaek
(rumah ibu) atau ke rumah istri, seperti yang digambarkan pepatah; Perempuan
tidak diperbolehkan tidur sembarangan, karena dikhawatirkan akan terjadi hal-hal
yang akan merusak nama baik kaum; Lebih dari itu, mengingat pentingnya peran
wanita dalam hidup dan kehidupan di Minangkabau, maka adat mengutamakan
perlindungan terhadap kaum wanita, sesuai dengan ketentuan adat yang
dikemukakan Hakimy (2004 :73) yaitu “Nan lamah ditueh, nan condong
ditungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang”.
Perempuan Minang secara matrilineal adalah tempat menarik tali keturunan
manusia di Minangkabau; Perempuan menurut keturunan alam takambang jadi
guru, diciptakan oleh pencipta sebagai penyimpan pranatal, melahirkan dan
beberapa proses maha penting, hingga tugas-tugas keibuan setelah melahirkan;
Perempuan Minang sebagai pengantar keturunan, mempunyai tugas pokok dalam
membentuk dan menentukan watak manusia, sehingga ketika seorang ibu bersuku
Caniago, anak yang dilahirkan pun harus bersuku caniago (baik anak laki-laki
maupun perempuan), bukan menurut suku bapak; Perempuan punya peran yang
sangat penting dalam membentuk generasi yang akan dating; Perempuan harus di
12
muliakan, segala perbuatan asusila terhadap perempuan merupakan kesalahan
yang sangat besar dan tercela sekali, bahkan laki-laki (suami) yang berbuat
kesalahan (misalnya selingkuh) dan telah menyakiti hati perempuan, akan diusir
oleh kaum yang perempuan dari rumah serta dari lingkungan kaum perempuan
tersebut, dan akan sulit menemui anaknya; Perempuan di Minangkabau sejatinya
bertanggungjawab sebagai istri, pendidik, dan sebagai penyambung keturunan,
sehingga seorang perempuan di Minang harus memelihara, mempersiapkan dan
melatih dirinya agar dihormati dalam kaum; seorang perempuan menurut adat
Minangkabau lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkannya, mau
jadi apa generasinya kedepannya perempuan adalah penentunya, seperti pepatah
yang disampaikan Hakimy (2004:72): Kalau karuah aia di hulu, sampai ka muaro
karuah juo, kalau kuriek induaknyo, rintiak anaknyo, tuturan atap jatuah ka
palambahan”.
Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa perempuan adalah pengatur
keuangan (bendahara rumah), karena perempuan terkenal lebih ekonomis dalam
kesehariannya dibandingkan laki-laki, sehingga oleh hukum adat dipercayakan
untuk memegang dan menyimpan hasil sawah dan ladang, serta pada perempuan
pulalah terpegang kunci ekonomi tersebut; Keberadaan rangkiang sebagai tempat
menghimpun dan menyimpan hasil sawah dan ladang di depan rumah gadang
yang ditempati oleh bundo kanduang merupakan lambang bahwa perempuan di
Minang di posisikan sebagai pengelola harta kaum.
Posisi perempuan di Minangkabau ini, tergambar dalam pepatah adat yang
disampaikan Hakimy (2004:74): “umbun puruak pegangan kunci, umbun puruak
aluang bunian...”, menurut Hakimy perempuan sebagai penyimpan hasil ekonomi
(bendahara) atau perempuan pengatur keuangan keluarga. Laki-laki sendiri
merupakan tulang punggung yang kuat bagi kaum wanita. Perempuan juga punya
peranan sebagai seorang istri, yakni menghadapi suami lahir dan batin, sebagai
teman hidup di dunia dan akhirat, mengikuti perkembangan jiwa suami, serta
mendorongnya untuk giat mencapai kebahagiaan bersama.
“...manyurua babuek baik, malarang babuek nan mungka...” (Hakimy 2004:
96); menurut Hakimy ini bermakna bahwa perempuan sebagai seorang ibu
merupakan pendidik utama bagi anak-anaknya, seperti yang diungkapkan pepatah:.
Perempuan punya tanggungjawab untuk menghasilkan generasi yang pintar dan
beraklak mulia, yang dilambangkan dengan Limpapeh rumah nan gadang. Ini
bermakna bahwa perempuan sebagai pendidik, pembimbing dan penggembleng
anak dan semua anggota keluarga dalam rumah tangga dan tali temali (seperti
bako, baki, handan pasumandan, dan sebagainya). Hal ini juga dikarenakan
perempuan sebagai pusat terhimpunnya atau terpusatnya beberapa fungsi ilmu,
sifat dan kecakapan secara bulat, yang dilambangkan dengan pusek jalo kumpulan
tali.
Batasan perempuan Minang dalam bersikap dan bergerak
“Habih sandiang dek bageso, habih miang dek bagisiah, habih bisa dek
biaso, habih gali dek galitiak. Sikua kabau bakubang, Sado kanai luluaknyo,
surang makan cubadak, Sado kanai gatahnyo” (Hakimy 2004:82); menurut
Hakimy ini bermakna bahwa perempuan harus menjaga nama baiknya sebagai
perempuan Minang; Adat Minangkabau mengajarkan perempuan Minang untuk
bisa menjaga nama baik (martabat), dengan membatasi perempuan Minang dalam
13
pergaulan; Perempuan Minang harus berhati-hati dalam segala perbuatan dan
tingkahlaku yang dapat menghilangkan rasa malu di dalam diri; Seorang
perempuan yang jatuh martabatnya dalam pandangan umum, menurut adat di
Minangkabau akan merusak nama perempuan secara keseluruhan.
”...Manaruah malu jo sopan, manjauhi sumbang jo salah... manaruah malu
dengan sopan..., labih kapado pihak laki-laki..., takuik di budi katajua, malu di
paham katagadai...” (Hakimy 2004:106); menurut Hakimy ini bermakna bahwa
perempuan Minang harus sopan dan menjauhi sikap yang tidak pada tempatnya,
terutama harus mengetahui batas-batas pergaulan dengan laki-laki; Perempuan
Minangkabau diajarkan untuk takut akan harga diri (wibawa) akan jatuh;
Perempuan (terutama yang masih gadis) dalam pergaulan harus hati-hati terutama
pergaulan dengan laki-laki, perempuan jangan bergaul bebas; Perempuan Minang
terkenal memiliki malu, jangankan dengan laki-laki yang bukan keluarganya,
dengan saudara laki-laki kandungnya perempuan Minang punya batas-batas
tersendiri, seperti yang diajarkan adat: (a) tapakai taratik dengan sopan (sikap
yang baik dan sopan), (b) memakai baso jo basi (tahu dengan basa basi), (c)
memakai raso jo pareso (punya rasa kepedulian), (d) manaruah malu jo sopan
manjauhi sumbang jo salah (menanamkan rasa malu dan sopan), (e) muluik manih
baso katuju (mulut manis), (f) pandai bagaua samo gadang (pandai bergaul sama
besar), (g) mamakai malu samo gadang, lebih kapado laki-laki (memakai malu
dengan yang sama besar, terutama dengan laki-laki), (h) takuik di budi katajua,
takuik di