Pengaruh Stres Dan Strategi Koping Terhadap Kepuasan Hidup Buruh Perempuan Berstatus Menikah Dan Lajang.

PENGARUH STRES DAN STRATEGI KOPING TERHADAP
KEPUASAN HIDUP BURUH PEREMPUAN BERSTATUS
MENIKAH DAN LAJANG

RIA OKTARINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Pengaruh Stres
dan Strategi Koping terhadap Kepuasan Hidup Buruh Perempuan Berstatus
Menikah dan Lajang” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor

Bogor, September 2015

Ria Oktarina
NIM I251130141

RINGKASAN
RIA OKTARINA. Pengaruh Stres dan Strategi Koping terhadap Kepuasan
Hidup Buruh Perempuan Berstatus Menikah dan Lajang. Dibimbing oleh
DIAH KRISNATUTI dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Buruh perempuan adalah perempuan yang bekerja untuk menerima upah
atau gaji. Buruh perempuan menikah maupun lajang akan menghadapi berbagai
penyesuaian peran baru yaitu di lingkungan keluarga sebagai istri, anak, dan ibu
sedangkan di lingkungan pekerja sebagai buruh. Hal ini berpotensi menimbulkan
krisis. Apabila kedua peran tersebut tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang
bersamaan akan timbul konflik yang berasal dari keluarga maupun yang berasal
dari pekerjaan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya stres di kalangan buruh
perempuan. Strategi koping dan dukungan sosial sangat menentukan dalam
meringankan stres dari lingkungan keluarga dan pekerjaan yang memungkinkan

timbulnya gejala-gejala stres dan berakibat terhadap kepuasan hidup buruh
perempuan. Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh stres
dan strategi koping terhadap kepuasan hidup buruh perempuan berstatus menikah
dan lajang. Tujuan khusus penelitian ini (1) mengidentifikasi perbedaan
karakteristik individu, perasaan stres, gejala stres, dukungan sosial, strategi
koping, dan kepuasan hidup buruh perempuan berstatus menikah dan lajang, (2)
menganalisis pengaruh karakteristik individu, perasaan stres, gejala stres,
dukungan sosial, strategi koping terhadap kepuasan hidup buruh perempuan.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Lokasi penelitian
dipilih secara purposive sampling yaitu di CV. TBG sebagai salah satu perusahaan
yang mempekerjakan buruh perempuan sebanyak 513 orang di Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor. Waktu penelitian dari bulan Maret sampai April 2015. Data
tersebut dipilih secara stratified non proposional random sampling sebanyak 120
buruh perempuan yaitu 60 buruh perempuan berstatus menikah dan 60 buruh
perempuan lajang. Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif, uji beda
independent samples t-tes, dan uji regresi linier berganda.
Usia, pendapatan, pendapatan perkapita buruh perempuan menikah lebih
tinggi dibandingkan dengan buruh perempuan lajang. Hasil uji beda independent
samples t-tes menemukan bahwa perasaan stres buruh perempuan menikah lebih
tinggi dibandingkan buruh perempuan lajang, terdapat hampir tiga perlima buruh

perempuan menikah (55%) dan lebih dari tiga perlima buruh perempuan lajang
(66.7%) perasaan stres berada pada sebaran kategori sedang. Gejala stres buruh
perempuan lajang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh perempuan buruh
menikah, terdapat lebih dari tiga perlima buruh perempuan menikah (65%) dan
separuh dari buruh perempuan lajang (50%) gejala stres berada pada sebaran
kategori rendah. Strategi koping buruh perempuan menikah lebih tinggi
dibandingkan dengan buruh perempuan lajang, terdapat hampir tiga perlima buruh
perempuan menikah (55%) berada pada sebaran kategori tinggi dan kurang dari
separuh buruh perempuan lajang (43.3%) berada pada sebaran kategori sedang.
Dukungan sosial buruh perempuan menikah lebih tinggi dibandingkan dengan
buruh perempuan lajang, terdapat lebih dari tiga perlima buruh perempuan
menikah (70.2%) berada pada sebaran kategori tinggi dan lebih dari separuh

buruh perempuan lajang (50.3%) berada pada sebaran kategori rendah. Tidak
terdapat perbedaan kepuasan hidup antara buruh perempuan menikah dan lajang.
Hasil uji regresi linier berganda menemukan bahwa semakin meningkat
pendapatan dan dukungan sosial berpengaruh terhadap meningkat kepuasan hidup
buruh perempuan. Buruh perempuan yang memiliki gejala stres yang rendah
memiliki skor kepuasan hidup yang lebih tinggi.
Hasil penelitian ini merekomendasikan kepada Pemerintah melalui dinas

Ketenagakerjaan hendaknya melakukan penyuluhan terhadap organisasiorganisasi swasta yang mempekerjakan buruh perempuan agar memenuhi hak dan
kewajiban-kewajiban perusahaan terhadap tenaga kerjanya yang harus dipenuhi
berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan. Bagi buruh perempuan sebaiknya
diberi pengetahuan tentang menyeimbangkan kehidupan dari lingkungan
pekerjaan dan keluarga (balancing work and family). Bagi pasangan atau keluarga
hendaknya memberi dukungan sosial pada buruh perempuan, agar dapat
mencegah terjadinya stres dalam menambah pendapatan ekonomi dalam keluarga
Kata kunci:

perasaan stres, gejala stres, dukungan sosial, strategi koping,
kepuasan hidup

SUMMARY
RIA OKTARINA. The Effect of Stress and Coping Strategy to Life Satisfaction
of Married and Single’s Women Workers. Supervised by DIAH KRISNATUTI
and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Women workers are women who work for a wage or salary. Married and
single women workers will face a variety of adjustments to the new role is in the
family as wives, children, and mothers while working as a laborer in the
environment. This could potentially lead to a crisis. If both these roles can not be

fulfilled at the same time there will be a conflict stemming from family or coming
from work. This is what causes the occurrence of stress among womenworkers.
Coping strategies and social support is crucial in alleviating the stress of family
and work environments that enable the emergence of symptoms of stress and lead
to life satisfaction of women workers. In general, this study aims to analyze the
influence of stress and coping strategies on the life satisfaction of women workers
are married and single. The specific objective of this study (1) identify the
differences in the characteristics of the individual, feelings of stress, symptoms of
stress, social support, coping strategies, and life satisfaction of women workers
are married and single, (2) analyze the influence of individual characteristics,
feelings of stress, symptoms of stress, social support , coping strategies for life
satisfaction of women workers.
This study used cross sectional design. Location research selected by
purposive sampling CV. TBG as one of the companies that employ women
workers as many as 513 people in the sub-district of West Bogor, Bogor city.
When the study from March to April 2015. Data were selected non proportional
stratified random sampling of 120 women workers of 60 working women are
married and 60 single women workers. Analysis of the data used is descriptive
analysis, different test independent samples t-test and multiple linear regression
test.

Age, income, per capita income of married women workers is higher than
the single women workers. The results of different test independent samples ttests found that feelings of stress labor married women was higher than women
workers are single, there are nearly three-fifths of women workers were married
(55%) and more than three-fifths of women workers are single (66.7%) feeling the
stress of being on the medium category. Stress symptoms single women workers
was higher than married women labor workers, there are more than three-fifths of
women workers were married (65%) and half of single women workers (50%) the
symptoms of stress are on the of the low category. Coping strategies married
women workers was higher than single women workers, there are nearly threefifths of women workers were married (55%) are in the of high category and less
than half of working women are single (43.3%) were on the medium category.
Social support of married women workers was higher than single women workers,
there are more than three-fifths of women workers were married (70.2%) are in
the of high category, and more than half of working women are single (50.3%) are
in the of the low category. There is no difference in life satisfaction between
married and single women workers. Multiple linear regression analysis found that

increased income and increased social support affect the life satisfaction of
women workers. Women workers who have symptoms of low stress scores were
higher life satisfaction.
Results of this study recommend to the Government through Employment

agencies should conduct outreach to private organizations that employ women
workers in order to fulfill the rights and obligations of the company towards its
workforce to be met under the Employment Act. For women workers should be
given the knowledge of the life of the environmental balance of work and family
(balancing work and family). For couples or families should provide social
support to women workers, in order to prevent the occurrence of stress in adding
economic income in the family.
Keywords: feelings of stress, symptoms of stress, social support, coping
strategies, life satisfaction

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGARUH STRES DAN STRATEGI KOPING
TERHADAP KEPUASAN HIDUP BURUH PEREMPUAN
BERSTATUS MENIKAH DAN LAJANG

RIA OKTARINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Euis Sunarti, MSi

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang serta sumber dari segala ilmu pengetahuan yang
telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Stres dan Strategi Koping terhadap
Kepuasan Hidup Buruh Perempuan Berstatus Menikah dan Lajang”. Tesis ini
disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini mendapat bantuan,
bimbingan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggitingginya kepada:
1. Dr Ir Diah Krisnatuti, MS selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir
Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah
banyak menyediakan waktu, tenaga, pikiran serta kesabaran dalam
memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya tesis ini.
2. Prof Dr Ir Euis Sunarti, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberi masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak Dr Ir Herien
Puspitawati, MSc, MSc, wakil ketua program studi Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak Dr Ir Dwi Hastuti, MSc beserta para dosen yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuan selama masa perkuliahan.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan sponsor
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) selama proses
perkuliahan S2 di IPB
5. Pabrik Garmen TBG yang telah memberi izin penelitian dan kerja sama yang
baik selama penelitian berlangsung
6. Keluarga tercinta, Ibu dan Bapak, serta saudara-saudara dan keponakankeponakan atas bantuan, do’a dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian
tesis ini.
7. Teman-teman seangkatan yang selalu memberi support dalam masa
penyelesaian tesis ini, kebersamaan dan persahabatan yang tidak terlupakan,
khususnya untuk teman-teman IKK 50 dan teman-teman GM 50
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan dan kontribusi selama masa perkuliahan sampai
selesainya masa studi.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna oleh
sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif dalam
dan untuk dapat menyempurnakan dari penulisan ini. Semoga penulisan ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Bogor, September 2015


Ria Oktarina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Keluarga
Teori Stres
Dukungan Sosial
Strategi Koping
Kepuasan Hidup

5
5
6
11
13
14

3 KERANGKA PEMIKIRAN

16

4 METODE
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional

19
19
19
20
22
23

5 PENGARUH STRES DAN STRATEGI KOPING TERHADAP GEJALA
STRES BURUH PEREMPUAN BERSTATUS MENIKAH DAN LAJANG 24
Abstrak
24
Abstract
24
Pendahuluan
25
Tujuan Penelitian
26
Manfaat Penelitian
26
Metode Penelitian
27
Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
27
Contoh dan Tekni Penarik Contoh
27
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
27
Pengolahan dan Analisis Data
27
Hasil
28
Karakteristik Individu
28
Perasaan stres
28
Strategi Koping
30
Gejala Stres
31
Pengaruh Perasaan stres, Strategi Koping terhadap
TingkatStres Buruh Perempuan Berstatus Menikah dan Lajang
32
Pembahasan
33
Simpulan
35

Saran
6 PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEPUASAN HIDUP
BURUH PEREMPUAN BERSTATUS MENIKAH DAN LAJANG
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Metode Penelitian
Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Contoh dan Tekni Penarik Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Hasil
Karakteristik Individu
Dukungan Sosial
Kepuasan Hidup
Pengaruh Karakteristik Individu dan Dukungan Sosial,
terhadap Kepuasan Hidup
Pembahasan
Simpulan
Saran

35
36
36
36
37
38
38
38
38
38
39
39
39
39
41
42
43
45
46
46

7 PENGARUH STRES DAN STRATEGI KOPING TERHADAP KEPUASAN
HIDUP BURU PEREMPUAN BERSTATUS MENIKAH DAN LAJANG 47
8 PEMBAHASAN UMUM

49

9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

51
51
51

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

52
59
66

DAFTAR TABEL
4.1
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
6.1
6.2
6.3
6.4
6.5
6.6
7.1

Variabel dan skala data yang diteliti
Nilai rata-rata, standar deviasi, dan koefisiensi uji beda karakteristik
individu buruh perempuan berstatus menikah dan lajang
Sebaran buruh perempuan berdasarkan kategori perasaan stres dan
status pernikahan
Sebaran buruh perempuan berdasarkan kategori strategi koping
dan status pernikahan
Sebaran stres buruh perempuan berdasarkan kategori gejala stres dan
status pernikahan
Koefisien regresi karakteristik individu, persepsi sumber stres,
strategi koping terhadap gejala stres buruh perempuan
Nilai minimum, maksimum, dan koefisiensi uji beda karakteristik
individu buruh perempuan berstatus menikah dan lajang
Tingkat pendidkan individu, pekerjaan suami dan status tempat
tinggal buruh perempuan berstatus menikah dan lajang
Sebaran buruh perempuan berdasarkan kategori dukungan sosial
dan status pernikahan
Sebaran tingkat kepuasan hidup buruh perempuan berdasarkan
kategori status pernikahan
Koefisien regresi karakteristik individu, dukungan sosial terhadap
kepuasan hidup buruh perempuan
Koefisien regresi karakteristik individu, dukungan sosial terhadap
kepuasan hidup buruh perempuan menikah
Koefisien regresi karakteristik individu, persepsi sumber stres,
dukungan sosial, strategi koping, tingkat stres terhadap kepuasan
hidup buruh perempuan

21
28
29
31
32
32
40
40
42
43
44
45
48

...............................................................................................................

DAFTAR GAMBAR
2.1
3.1
4.1

Teori Model Stres ABC-X McCubbin dan Paterson
Kerangka pemikiran penelitian
Teknik pengambilan contoh

7
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Hasil uji beda item rataan capaian perasaan stres (%) berdasarkan
status pernikahan
Hasil uji beda item rataan capaian strategi koping (%) berdasarkan
status pernikahan
Hasil uji beda item rataan capaian dukungan sosial (%) berdasarkan
status pernikahan
Hasil uji beda item rataan capaian gejala stres (%) berdasarkan status
pernikahan
Hasil uji beda item rataan capaian kepuasan hidup (%) berdasarkan
status pernikahan
Hasil uji beda sebaran individu berdasarkan garis kemiskinan
Tingkat pendidkan individu dan suami/kk buruh perempuan berstatus
menikah dan lajang
Dokumentasi Penelitian
Daftar Riwayat Hidup

60
61
62
62
63
64
64
64
67

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa buruh adalah
orang yang bekerja dengan menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain. Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2014 menjelaskan bahwa Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yaitu sebesar 53.4 persen
meningkat dari 51.39 persen pada tahun 2012. Bank Dunia menyebutkan bahwa 4
dari 10 pekerja saat ini adalah perempuan. Serikat Pekerja Nasional (SPN)
menyatakan sekitar 70 persen buruh di sektor tekstil, garment dan sepatu adalah
perempuan. Berdasarkan hasil riset Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN)
tahun 2005-2006 menemukan bahwa dari 92 perusahaan yang berada di wilayah
Tangerang dan Bekasi 62 persen diantaranya menggunakan tenaga buruh kontrak
dan lebih dari 50 persen adalah kaum perempuan (Puspitawati 2012). Salah satu
alasan perempuan bekerja adalah harapan untuk mencapai kemandirian ekonomi
dan tidak peduli dengan jabatan manajerial (Wells-Parker et al 1990). Peningkatan
jumlah buruh perempuan karena pengusaha lebih menyukai perempuan yang
masih muda dan masih lajang dengan alasan kuat, penurut, gampang diatur,
perusahaan tidak perlu menanggung tunjangan keluarga sehingga ada perjanjian
untuk tidak menikah atau hamil dulu. Selain itu, perempuan lebih disukai
perusahaan karena tidak banyak menuntut dan mudah dikendalikan serta mau
dibayar murah (Hutagalung et al. 1992).
Banyaknya tenaga kerja perempuan yang memasuki pasar kerja
diharapkan akan semakin meningkatkan kualitas hidup perempuan dan
keluarganya. Buruh perempuan dapat berkontribusi terhadap penambahan
penghasilan keluarga, dan memperoleh jaminan sosial yang diberikan perusahaan,
yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan
buruh dan keluarganya (Widanti 2005). Bertemunya dua peran sekaligus yang
terjadi pada buruh perempuan yang berstatus menikah akan menciptakan tekanantekanan psikologis yang akan berdampak pada kinerja buruh perempuan tersebut.
Apabila kedua peran tersebut tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan,
maka saat itulah akan timbul konflik, baik yang berasal dari keluarga maupun
yang berasal dari pekerjaan. Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa
konflik peran ganda adalah bentuk dari konflik antar peran keluarga dan pekerjaan
yang bertentangan. Hal inilah yang menyebabkan stres pada buruh perempuan.
Stres bagi seorang individu terutama perempuan kaitannya dengan tekanan
ekonomi (Aneshensel 1992). Adanya tuntutan untuk mendukung ekonomi rumah
tangga menjadi salah satu alasan bagi perempuan untuk bekerja (Anoraga 1992).
Disusul dengan kondisi harus terpisah dengan keluarga selama seharian karena
harus bekerja juga merupakan salah satu pemicu stres (Keating 1987). Dengan
kata lain seorang perempuan yang bekerja menghadapi lebih banyak persoalan
terkait dengan peran yang dihadapi, yaitu sebagai istri, ibu, pengurus rumah
tangga dan seorang pekerja (Ahmad 1995). Stres adalah situasi yang terjadi
akibat tuntutan lingkungan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh individu dan
dampaknya dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya (Lazarus dan Launier
1978). Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara
persepsi seseorang mengenai tuntutan yang dihadapinya dan kemampuannya

2
untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Rice 1999). Smet (1994)
mengidentifikasi keluarga dan pekerjaan sebagai stres. Faktor-faktor yang
membuat pekerja menjadi stres, yaitu tuntutan pekerjaan, jenis pekerjaan, dan
tanggung jawab bagi kehidupan manusia. Stres kerja dapat disebabkan lingkungan
fisik yang telalu menekan seperti kebisingan, temperatur atau panas yang terlalu
tinggi, udara yang lembab, penerangan di kantor yang kurang terang (Smet 1994;
Duxburry dan Higgins 1991; Robbin 2006). Stres keluarga (family stress) dapat
berupa suatu gangguan terhadap keadaan keluarga yang sudah mapan (steady
state), menciptakan ketidaktenangan, atau menimbulkan tekanan (Sussman dan
Steinmetz 1987). Buruh perempuan dapat menghindarkan diri dari krisis dengan
mengelola stres dan menahannya agar berada pada tingkatan yang dapat diterima.
Proses tersebut disebut coping, yaitu usaha individu untuk mengatasi tuntutan dari
dalam dan tuntutan dari luar (Marretih 2013). Tuntutan dari dalam dikenal sebagai
strategi koping, sedangkan dari tututan dari luar berupa dukungan sosial.
Kurangnya dukungan sosial dapat menyebabkan konflik antara keluarga dan
pekerjaan (Carlson et al. 2000; Greenhaus dan Beutell, 1985; Yang et al. 2000).
Taylor (2003) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat membantu seseorang
berpikir bahwa ada seseorang yang dapat membantu dalam menghadapi kejadian
yang membuat stres. Seseorang dapat merasakan efek positif jika menerima
dukungan sosial dari pasangan, keluarga besar, dan teman kerja. Dukungan
keluarga sangat dibutuhkan oleh buruh perempuan, meskipun fakta fungsi
keluarga secara tidak langsung berkaitan dengan kepuasan hidup, yaitu salah
satunya sebagai mediasi dalam koping keluarga (Darling et al. 2009; Platter dan
Kelley 2012).
Strategi koping didefinisikan sebagai upaya mengatasi stres yang
memerlukan proses kognitif dan afektif untuk menyesuaikan diri terhadap stres
dan bukan memberantas stres. Jenis strategi koping yang biasa dilakukan
menghadapi stres yaitu strategi problem-focus coping yang merupakan
pengendalian dalam mengatasi stres dengan mengubah masalah yang dihadapi dan
lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Emotional-focued
coping adalah usaha mengatasi stres dengan cara mengatur emosional dalam
menyesuaikan diri dari dampak yang ditimbulkan oleh suatu kondisi dan situasi
yang dianggap penuh tekanan (Lazarus et al. 1986; Zakowski et al 2001).
Kepuasan hidup merupakan penilaian individu terhadap kualitas
kehidupanya secara global. Penilaian umum atas kepuasan hidup
merepresentasikan evaluasi yang berdasar kognitif dari sebuah kehidupan
seseorang secara keseluruhan (Pavot dan Diener 1993). Penilaian kepuasan hidup
terbentuk dari penggabungan penilaian yang tidak sempurna dari keseimbangan
emosi (yaitu, perasaan atau emosi positif dan negatif) dalam kehidupan seseorang
dengan penilaian seberapa baik langkah-langkah hidup seseorang sampai pada
aspirasi dan tujuan. Seorang individu yang dapat menerima diri dan lingkungan
secara positif akan merasa puas dengan hidupnya (Hurlock 1980). Sementara itu
pada perempuan prediksi kepuasan hidup dapat ditemukan pada sumber-sumber
sosial seperti keluarga, teman, dan akses hubungan sosial (Lyubomirsky dan
Dickerhoof 2005).
Permasalahan yang muncul pada buruh perempuan tidak hanya dari
lingkungan pekerjaan, tetapi juga dari lingkungan keluarga. Perempuan yang
bekerja otomatis memiliki peran dan beban ganda. Peran ganda perempuan

3
merupakan masalah yang sering dihadapi perempuan bekerja karena pada
dasarnya perempuan memiliki peran domestik dan publik. Industri garmen adalah
salah satu contoh industri yang lebih banyak merekrut buruh perempuan terutama
sebagai tenaga kerja bagian produksi atau menjahit. Berdasarkan uraian tersebut,
peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai pengaruh stres dan strategi
koping terhadap kepuasan hidup buruh perempuan berstatus menikah dan lajang.

Rumusan Masalah
Stres merupakan faktor fisik, kimiawi, dan emosional yang dapat
menyebabkan tekanan pada tubuh atau mental dan dapat menjadi faktor bagi
timbulnya penyakit. Menurut laporan International Labour Organization (ILO)
Epelle dalam Koswara (2009) di United Kingdom, dilaporkan tiga dari sepuluh
pekerja mengalami masalah mental, di Finlandia, tujuh persen dari tenaga
kerjanya menderita gejala yang berhubungan dengan stres. Diperkirakan oleh
(ILO) bahwa stres dalam pekerjaan yang terjadi di dunia mengeluarkan biaya di
atas $200 Milyar per tahun. Di Jefferson County Amerika, dari dua puluh
sembialn pekerja hanya tujuh orang yang tidak mengalami stres dan hanya tujuh
orang yang puas terhadap pekerjaannya (Faul dan Willis 2000). Sebuah survey
atas pekerja di Amerika Serikat menemukan bahwa 46 persen pekerja merasakan
pekerjaan penuh dengan stress dan tiga puluh empat persen pekerja berpikir untuk
keluar dari pekerjaan sebelum dua belas bulan karena stres di tempat kerja
(Sasono 2004).
Buruh perempuan lebih banyak mengalokasikan penghasilannya untuk
membiayai kebutuhan keluarga terutama untuk makan dan pendidikan. Hasil
penelitian Tjandraningsihh (1999) menemukan bahwa buruh perempuan yang
masih lajang mengirimkan sebagian hasil kerjanya untuk membantu keluarga,
sementara itu bagi buruh perempuan yang sudah berkeluarga, hasil kerjanya
dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan anak-anaknya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Tjandraningsihh dan Herawati (2009)
sebanyak empat puluh satu persen buruh lajang menanggung dirinya sendiri, dan
lima puluh sembilan persen menanggung juga selain dirinya sendiri. Bahkan dari
jumlah tersebut tiga puluh persen memiliki tanggungan lebih dari empat orang,
termasuk dirinya sendiri. Hasil Penelitian Fadah et al. (2004) menyatakan bahwa
besarnya kontribusi yang diberikan oleh buruh perempuan terhadap pendapatan
keluarga yang dilihat dari proporsi rata-rata upah buruh perempuan terhadap ratarata pendapatan keluarga cukup besar yakni sebesar 52.3 persen.
Dari data tersebut dapat diprediksi bahwa setiap orang berpotensi terkena
stress terutama bagi yang bekerja baik laki-laki maupun perempuan dengan
variasi statusnya dalam keluarga. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap
orang tidak dapat menghindarkan diri dari stres. Pada suatu saat peristiwaperistiwa kehidupan tertentu yang dialami orang mengakibatkan timbulnya stres.
Setiap orang, baik yang berasal dari kelas sosial atas, menengah, maupun bawah
pernah mengalami stres. Hanya jenis, tingkatan atau bobot stresnya berbeda-beda
dan kemampuan dalam mengelola stres pun berbeda-beda.
Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian ini diharapkan dapat
menjawab pertanyaan, yaitu: (1) Bagaimana perbedaan karakteristik individu,

4
perasaan stres, dukungan sosial, strategi koping, gejala stres, dan kepuasan hidup
buruh perempuan berstatus menikah dan lajang?, (2) Bagaimana pengaruh
karakteristik individu, perasaan stres, dukungan sosial, strategi koping, dan gejala
stres terhadap kepuasan hidup buruh perempuan?

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh stres
dan strategi koping terhadap kepuasan hidup buruh perempuan berstatus menikah
dan lajang.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi perbedaan karakteristik individu, perasaan stres, ,gejala
stres, dukungan sosial, strategi koping, dan kepuasan hidup buruh
perempuan berstatus menikah dan lajang
2. Menganalisis pengaruh karakteristik individu, perasaan stres, gejala stres,
dukungan sosial, strategi koping, terhadap kepuasan hidup buruh
perempuan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai buruh
perempuan dengan peran ganda antara keluarga dan pekerjaan yang dapat
menjadikan stres atas peran tersebut yang berdampak terhadap kepuasan hidup.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan informasi bagi peneliti-peneliti
selanjutnya. Bagi buruh perempuan, penelitian ini diharapkan dapat berguna
untuk memberikan informasi tentang stress dalam menjalankan peran dalam
keluarga dan pekerjaan dan bagaimana cara pemecahan masalah dari stres tersebut
melalui strategi koping agar tidak terjadi gejala penyakit yang ditimbulkan dan
berdampak terhadap kepuasan hidup buruh perempuan berstatus menikah dan
lajang yang bekerja di pabrik garmen di Kota Bogor. Dengan demikian, penelitian
ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para buruh perempuan, bagaimana
peran dalam keluarga dan pekerjaan. Bagi pemerintah, penelitian ini berguna
untuk evaluasi kebijakan, sosialisasi dan perencanaan ulang serta penyempurnaan
hal-hal yang telah dilakukan berkaitan dengan program perlindungan bagi buruh
perempuan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan. Bagi pembaca,
penelitian ini diharapkan penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu di
bidang ilmu keluarga.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Keluarga
Teori Struktural Fungsional
Teori struktural-fungsional merupakan salah satu teori sosiologi yang
digunakan dalam memahami keluarga. Teori ini memiliki tiga asumsi, pertama,
memandang realitas sosial sebagai sebuah sistem; kedua, proses sebuah sistem
hanya dapat dimengerti melalui konsep saling ketergantungan antar bagiannya;
ketiga, seperti halnya organisme, sebuah sistem adalah tertutup dengan proses
proses tertentu untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya (Megawangi
1999). Para sosiolog ternama seperti William F Ogburn dan Talcott Parsons
menemukan pentingnya pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan
keluarga saat ini, karena pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman
dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam fungsi yang sesuai
dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999).
Pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan untuk menganalisa peran
anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga
keutuhan keluarga dan masyarakat (Muflikhati 2010).
Megawangi (1999) mengemukakan bahwa keluarga merupakan salah satu
subsistem dari berbagai subsistem dalam sebuah masyarakat. Keluarga sebagai
subsistem berinteraksi dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam
masyarakat, seperti subsistem-subsistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan,
agama, dan lain-lain. Dalam berinteraksi dengan subsistem lain tersebut, keluarga
berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial (equilibrium) dalam
masyarakat. Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib
(social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem
sosial yang lebih besar. Ketertiban sosial akan tercipta kalau ada struktur atau
strata dalam keluarga.
Menurut Megawangi (1999) konsep teori struktural fungsional antara lain:
1) Setiap subsistem, elemen atau individu dalam sebuah sistem mempunyai
peran dan kontribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan
2) Adanya saling keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dalam
sebuah sistem (interpedensi)
3) Keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dicapai melalui konsensus
daripada konflik
4) Untuk mencapai keseimbangan diperlakukan keteraturan atau integrasi antar
subsistem, elemen atau individu
5) Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan adanya perubahan secara
evolusioner
Teori Sosial Konflik
Greenhaus dan Beutell 1985;Yang (2000) mendefinisikan konflik keluarga
dan pekerjaan (Work-family conflict) sebagai bentuk konflik peran di mana
tuntutan peran keluarga dan pekerjaan secara mutual tidak dapat disejajarkan.
Tuntutan dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga (balancing
work and family life) dapat menjadi penyebab konflik dalam kehidupan keluarga,

6
yang menjadi pencetus menurunnya kepuasan dalam pekerjaan, hidup,
perkawinan, dan meningkatkan distress yang berakibat buruk bagi kesehatan, dan
kesejahteraan suatu keluarga (Frone, Russell, dan Barnes, 2003; Boles, Johnston
dan Hair, 1997). Greenhaus dan Beutell (1985) mengatakan bahwa konflik kerjakeluarga mempengaruhi beberapa aspek, yaitu psychological well-being, depresi,
kepuasan perkawinan, dan kepuasan hidup. Gutek et al (1991) mendefinisikan
konflik keluarga dan pekerjaan sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan,
di satu sisi harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus
memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara
pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan.
Greenhaus dan Beutell 1985; Yang (2000) mengidentifikasikan tiga jenis
konflik keluarga dan pekerjaan, yaitu :
1) Time-based conflict, adalah waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan
salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) yang dapat mengurangi waktu
untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (keluarga atau pekerjaan).
2) Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan salah satu peran
mempengaruhi kinerja peran yang lainnya.
3) Behavior-based conflict, berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola
perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (keluarga atau
pekerjaan).
Gutek et al. (1991) menemukan bahwa banyaknya waktu yang dicurahkan
dalam pekerjaan secara positif berhubungan dengan konflik keluarga dan
pekerjaan. Hal tersebut dapat menyebabkan peran ganda bagi buruh perempuan
untuk melakukan pekerjaan baik di keluarga dan pekerjaan. Menurut Chen (2010)
bahwa peran ganda adalah jumlah peran yang berorientasi pada pendekatan
hubungan dengan orang lain dan frekuensi peran, dan hasil penelitiannya
menemukan bahwa klasifikasi peran ganda istri terdiri dari 12 aspek: sebagai
anak, istri, orangtua, nenek, saudara kandung, teman, bagian dari keluarga besar,
tetangga, pekerja, anggota grup, aktivis keagamaan, dan sukarelawan. Konflik
peran dalam keluarga dan pekerjaan mengarah pada stres kerja. Teori peran
menjelaskan bahwa konflik peran individu terjadi ketika pengharapan dalam hal
kinerja salah satu peran menimbulkan kesulitan dalam peran lain (Judge et al.
1994 dalam Murtiningrum 2005).
Teori Stres
Definisi Stres
Menurut Santrock (2003) stres adalah respon individu terhadap keadaan
atau kejadian yang memicu stres, mengancam dan mengganggu kemampuan
seseorang untuk menanganinya. Menurut Goldsmith (2010) stres biasanya
melibatkan tekanan atau ketegangan (tension). Stres berhubungan dengan respons
yang tidak spesifik atau bersifat umum dari tubuh terhadap suatu demand.
Respons ini terjadi bila demand tersebut muncul dalam tubuh, apakah merupakan
tuntutan dari kondisi lingkungan yang harus dipenuhi atau suatu demand yang
buat sendiri dalam rangka mencapai suatu tujuan pribadi (Seyle 1980).
Menurut Looker dan Gregson (2004) stres dibedakan menjadi dua, yaitu
distres dan eustres. Distres adalah kemampuan seseorang menghadapi tuntutan
yang semakin meningkat dan memandang tuntutan tersebut sebagai sesuatu yang

7
sulit dan mengancam. Eustres adalah kemampuan untuk menghadapi tuntutan
yang dirasakan dan dapat menimbulkan rasa percaya diri sehingga mampu
menangani dan mengatasi tuntutan-tuntutan tersebut. Berdasarkan hal tersebut
dapat dilihat bahwa setiap orang memiliki kemampuan atau cara pandangan yang
berbeda dalam menghadapi tuntutan dan masalah dalam hidupnya.
Teori Model Stres Keluarga
Teori ini merupakan pengembangan dari model stres ABC-X (Hill 1949)
dengan menambahkan faktor setelah krisis atau setelah stres untuk menjelaskan
bagaimana pencapaian adaptasi keluarga pada masa setelah krisis stres. Model
stres ini terdiri dari ABC-X diikuti dengan model ABC-X dobel. Variabel dalam
model stres ABC-X tersebut adalah:
1) Model Stres McCubbin dan Paterson (1980)
Merupakan pembangunan dari model stres Hill. Model ini menjelaskan
perbedaan didalam adaptasi keluarga pada masa setelah krisis. Setiap variabel
asli (ABC-X) diuji kembali dan definisi-definisi dimodifikasi. Setiap variabel
dalam model digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
a. Faktor aA: Stres keluarga bertumpuk, artinya terdapat lebih dari satu stres
utama dalam keluarga.
b. Faktor bB: Sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan yang dihadapi, seperti: pendidikan,
kesehatan, kepribadian, ikatan keluarga dan dukungan sosial.
c. Faktor cC: Penilaian atau persepsi terhadap stres, yaitu intepretasi subyek
terhadap stres, baik positif maupun negatif.
d.
Faktor xX: Adaptasi keluarga, yaitu merupakan konsep utama
dalam usaha mencapai keseimbangan setelah krisis.

b
Sumber
daya

a
Stres

x
Krisis

aA
krisis yang
bertumpuk

c
Persepsi
“a”

Sebelum krisis
Waktu

bB
Sumber daya
lama dan baru

Adaptasi +

Coping

Adaptasi

cC
Persepsi
X+aA+bB

xX
Adaptasi -

Setelah krisis
Waktu

Gambar 2.1 Model stres double ABC-X

8
Perasaan stres
Persepsi pekerja terhadap stressor atau stres pada dasarnya menyangkut
penilaian pekerja terhadap stres yang dialami. Menurut Rakhmat (1992) persepsi
merupakan hasil pengalaman seseorang terhadap suatu objek, peristiwa atau
keadaan. Endaryanto (1999) mengatakan bahwa individu dalam memberikan
makna terhadap suatu stimulus seringkali tidak sama antara satu dengan yang
lainnya, tergantung faktor-faktor tertentu yang ada didalam maupun di luar
individu tersebut yang dapat mempengaruhi persepsinya. Stres sebagai suatu
kondisi yang disebabkan oleh transaksi individu dengan lingkungan yang
menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi
dengan sumberdaya sistem biologis, psikologis, dan sosial seseorang (Safarino
1994). Berdasarkan definisi tersebut Smet (1994) menyimpulkan bahwa:
1) Penilaian kognitif (cognitive appraisal): stres adalah pengalaman subjektif
yang (mungkin) didasarkan atas persepsi terhadap situasi yang tidak sematamata tampak di lingkungan.
2) Pengalaman (experience): suatu situasi yang tergantung pada tingkat
keakraban dengan situasi, terpaan sebelumnya (previous exposure), proses
belajar, kemampuan nyata, dan konsep reinforcement.
3) Tuntutan (demands): tekanan, tuntutan, keinginan atau rangsangan, yang
segera sifatnya, yang mempengaruhi cara-cara tuntutan-tuntutan yang dapat
diterima.
4) Pengaruh interpersonal (interpersonal influence): ada tidaknya seseorang,
faktor situasional, dan latar belakang yang mempengaruhi pengalaman
subjektif, respons, dan perilaku koping. Hal ini dapat berakibat positif dan
negatif.
5) Keadaan stres (a state of stress): ketidakseimbangan antara tuntutan yang
dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan
tersebut. Proses yang mengikuti merupakan proses koping serta konsekuensi
dari penerapan coping strategy.
Situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang menyebabkan stres disebut
stressors. Berat tidaknya suatu stresor atau transisi ditentukan oleh tingkat mana
peristiwa-peristiwa atau transisi-transisi mengancam, atau merusak/mengacaukan
stabilitas keluarga atau demand yang terlalu tinggi dibanding sumberdaya dan
kemampuan keluarga, yang akibatnya juga dapat mengancam stabilitas keluarga
(McCubbin dan Thompson 1987). Hill (1949) mengatakan bahwa bagaimana
keluarga mendefinisikan peristiwa yang menjadi stresor atau dengan kata lain,
bagaimana persepsi keluarga dalam memberikan makna terhadap stresor dapat
berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam mengelola stres. Smet (1994)
mengidentifikasi keluarga dan pekerjaan sebagai stres.
Stres Pekerjaan
Hampir semua orang mengalami stres sehubungan dengan pekerjaannya
(Smet 1994). Stres pekerjaan merupakan respons-respons fisikal dan emosional
yang berbahaya, yang terjadi bila persyaratan-persyaratan pekerjaan tidak cocok
dengan kemampuan-kemampuan, sumberdaya-sumberdaya, dan kebutuhan
kebutuhan pekerja. Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang membuat pekerjaan
menjadi stres adalah tuntutan pekerjaan (pekerjaan terlalu banyak dan keharusan

9
menyelesaikan pekerjaan dalam waktu tertentu), jenis pekerjaan itu sendiri yang
bersifat stres, dan tanggung jawab bagi kehidupan manusia.
Stres pekerjaan sebagai diakibatkan oleh interaksi pekerjaan dengan
kondisi-kondisi pekerjaan. Perbedaan-perbedaan karakteristik individual, seperti
personality dan coping style merupakan hal yang paling penting dalam
memprediksi apakah kondisi pekerjaan tertentu akan mengakibatkan stres
(Michael 1998 dalam Koswara (2009). Kondisi-kondisi pekerjaan yang dapat
menimbulkan stres adalah sebagai berikut:
1) The design of tasks, yakni beban kerja yang berat, jarang beristirahat, jam
kerja yang lama, dan perubahan waktu kerja; tugas-tugas rutin dan tidak
tenang yang maknanya kecil, tidak memerlukan keterampilan pekerja, dan
menyebabkan motivasi kontrol yang kecil.
2) Management style, kurangnya partisipasi pekerja dalam pengambilan
keputusan, komunikasi yang sangat buruk dalam organisasi, kurangnya atau
tidak adanya kebijakan family-friendly.
3) Interpersonal relationships, lingkungan sosial yang sangat buruk dan
kurangnya dukungan atau bantuan dari rekan sejawat dan supervisor.
4) Work roles, harapan-harapan pekerjaan yang tidak pasti dan bersifat konflik,
terlalu banyak tanggungjawab, dan terlalu beban kerja yang harus dikerjakan.
5) Career concerns, pekerjaan yang kurang aman dan kurangnya kesempatan
untuk berkembang, maju dan mendapatkan promosi, perubahan-perubahan
yang cepat sedangkan pekerja tidak siap.
6) Environmental conditions, kondisi-kondisi lingkungan fisik yang tidak
nyaman atau berbahaya, seperti terlalu banyak orang, ribut, dan polusi udara.
Sutherland dan Cooper dalam Smet (1994) mengidentifikasi sumbersumber manajerial stres sebagai berikut:
1) Stresor yang ada di dalam pekerjaan itu sendiri, meliputi beban kerja, fasilitas
kerja yang kurang memadai, proses pengambilan keputusan yang lama.
2) Konflik peran, peran di dalam pekerjaan yang tidak jelas, tanggungjawab
yang tidak jelas.
3) Masalah dalam berhubungan dengan orang lain adalah stresor yang potensial,
seperti hubungan dengan atasan, rekan sejawat, dan pada pola hubungan
atasan-bawahan.
4) Perkembangan karir dan keselamatan kerja.
5) Iklim dan struktur organisasi, adanya pembatasan perilaku, iklim budaya
dalam organisasi.
6) Adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga.
Stres Keluarga
Sussman dan Steinmetz (1987) mendefinisikan stres keluarga (family
stress) sebagai suatu gangguan terhadap keadaan keluarga yang sudah mapan
(steady state), yang mencakup segala sesuatu yang dapat mengganggu keluarga,
menciptakan ketidaktenangan, atau menimbulkan tekanan-tekanan pada sistem
keluarga. Didalam keluarga perempuan bekerja berusaha untuk selalu menjaga
keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan (Thomson dan Bunderson 2001).
Ketidak mampuan pekerja dalam menjalankan keseimbangan antara kepentingan
keluarga dan pekerjaan tersebut akan menimbulkan konflik. Sejalan dengan
pernyataan Marettih (2013) bahwa konflik peran ganda erat kaitannya dengan

10
munculnya gangguan kecemasan, depresi dan perasaan bersalah, terutama pada
perempuan yang memilki anak. Sussman dan Steinmetz (1987) mengemukakan
tentang model krisis stres keluarga dan menjelaskan bahwa setelah mendapat
serangan peristiwa stresor, keluarga dapat mengalami krisis, yaitu periode
disorganisasi, interaksi-interaksi dan coping strategy sebelumnya tidak memadai,
tidak dapat beroperasi atau terhambat.
Goldsmith (1996) memandang krisis secara berbeda, yaitu perstiwaperistiwa yang menimbulkan perubahan-perubahan pada perilaku perilaku normal,
dan sering menyebabkan stres. Rice (1999) mendefinisikan krisis dan distress
sebagai disorganisasi atau ketidakmampuan yang disebabkan oleh kekurangan
sumberdaya dan skill pemecahan masalah dari keluarga untuk mengelola stres.
Sussman dan Steinmetz (1987) mendefinisikan krisis dari pandangan psikologi,
yaitu reaksi seseorang terhadap suatu rintangan yang menghambat pencapaian
tujuan-tujuan hidup yang penting; rintangan ini untuk waktu tertentu tidak dapat
diatasi dengan metoda-metoda pemecahan masalah yang biasa.
Gejala Stres
Seseorang stres dapat diketahui dengan memperhatikan gejala yang
ditunjukkan, baik gejala fisik maupun gejala emosional. Gunawan dan Sumadiono
2007; Robbins (2006) mengatakan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan stres
disebut gejala-gejala (symptoms). Gejala-gejala dibedakan atas tiga golongan
yaitu:
1) Gejala Fisiologis
Stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju
detak jantung dan pernafasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan
sakit kepala dan menyebabkan serangan jantung.
2) Gejala Psikologis
Stres yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menimbulkan ketidakpuasan
yang berkaitan dengan pekerjaan. Stres juga dapat muncul dalam keadaan
psikologis lain misalnya ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan
dan suka menunda-nunda.
3) Gejala Perilaku
Gejala stres yang berkaitan dengan perilaku mencakup perubahan
produktivitas, absensi dan tingkat keluar masuknya karyawan, perubahan
dalam kebiasaan makan, meningkatnya merokok, konsumsi alkohol, bicara
cepat, gelisah dan gangguan tidur.
Allen (2001) mengidentifikasi gejala-gejala (symptoms) orang mengalami
stres, baik secara fisik, mental, maupun psikologis. Gejala-gejala tersebut seperti,
pikiran menakutkan, ada gangguan, pikiran bersaing, tidak yakin atau ragu-ragu,
tidak logis, lupa, kecurigaan, lekas marah, tidak sabaran, kecemasan, depresi,
gusar atau marah-marah, kesepian, rendah diri, gangguan perut, keletihan, sakit
punggung, sakit kepala, sembelit, diare, dada sumpek, menggunakan obat-obata.
Gejala stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh stres,
sumberdaya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres
keluarga dan pekerjaan. Hartoyo dan Hastuti (2003) bahwa stres pada zaman
modern ini disebabkan banyaknya perubahan yang harus dihadapi dan menuntut
kemampuan untuk beradaptasi dan penyesuaian yang pesat. Hal ini tidak mudah

11
dilalui oleh setiap orang, sehingga usaha, kesulitan, kegagalan dalam mengikuti
perubahan menimbulkan beraneka ragam keluhan.
Maryam (2007) mengatakan bahwa dukungan keluarga dapat menciptakan
penilaian positif terhadap tingkat stress, sehingga keberadaan keluarga dapat
memberikan kontibusi pada kemampuan keluarga dalam menghadapi stres secara
efektif. Safarino (1994) mengemukakan bahwa keluarga dapat memberikan
kontribusi pada tingkat stres yang dialami pekerja. Namun demikian, pada sisi
lain kemampuan anggota keluarga dalam memecahkan masalah (coping
strategies) yang tinggi dapat mereduksi tingkat stres yang dialami oleh anggota
keluarga. Smet (1994) menyatakan bahwa faktor yang dapat mengubah stres
adalah faktor proteksi (perlindungan). Salah satu faktor proteksi adalah dukungan
sosial. Berdasarkan pandangan ini, dukungan sosial dapat berpengaruh terhadap
gejala stres yang dialami buruh.
McCubbin dan Patterson (1983) juga mengemukakan bahwa keluarga akan
berupaya untuk menyeimbangkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi
demands (stresor) agar dapat memelihara keberfungsiannya secara optimal.
Berdasarkan pandangan tersebut, persepsi tentang stres dapat berpengaruh
terhadap gejala stres yang dialami pekerja. Hasil penelitian Koswara (2009)
menemukan bahwa semakin tinggi kemampuan seorang pekerja dalam
memecahkan masalah, akan semakin mampu mereduksi tingkatan setiap stres
pekerjaan yang dialami oleh pekerja. Menurut Goldsmith (2010) seseorang
dengan sistem pendukung yang kuat (keluarga, teman, dan masyarakat) akan
mampu mengatasi stres secara lebih baik daripada seseorang yang merasa tidak
diinginkan, hidup sendiri dan menyendiri. Chao dan Chu (2011) meneliti
manajemen stres dan memelihara ketenangan diri ditinjau dari aspek dukungan
sosial dan koping strategi. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu dukungan sosial
berhubungan dengan stres. Strategi koping fokus pada masalah lebih bisa
mengatasi stres dibandingkan seseorang yang memilih menghindari masalah.
Seseorang yang memilih jalan menghindari masalah dan mendapatkan dukungan
yang rendah lebih rentan merasa stres dan merasa tidak bahagia.
Dukungan Sosial
Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi atau saran, bantuan
nyata, atau tindakan berbentuk verbal dan non-verbal yang ditawarkan oleh
komunitas sosial, atau disimpulkan sebagai kehadiran komunitas sosial yang
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku pada penerima (Gottileb 1985).
Amstrong et al. (2005) menambahkan bahwa teori dukungan sosial
mengemukakan dua model utama, yaitu efek utama (the main effect) dan efek
penyangga (the buffering effect) untuk menjelaskan hubungan atau jalur antara
dukungan sosial dan kesejahteraan. Setiap orang manusia memerlukan dukungan
sosial dari orang-orang terdekat untuk mengatasi konflik dan situasi stres.
Greenglass et al. (1999) mengatakan bahwa perempuan bekerja akan mencari
dukungan sosial berupa nasihat, informasi, bantuan praktis dan dukungan
emosional dari orang-orang terdekat. Perempuan dewasa muda yang belum
menikah tidak mendapatkan dukungan dari pasangan, mereka masih mendapatkan
dukungan dari sumber lain, seperti keluarga, sahabat dan rekan kerja. Bantuan dan
dukungan ini dapat bersifat instrumental yang berupa tindakan atau bantuan

12
materi yang memungkinkan seseorang untuk memenuhi tanggung jawab sehariharinya. Dukungan sosio emosional berupa ungkapan rasa cinta, perhatian,
simpati dan kebersamaan yang diberikan oleh keluarga, rekan kerja dan sahabat.
Dukungan informasional, yang berupa pemberian pendapat dan saran yang
berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi oleh dewasa yang belum menikah yang
memungkinkan kehidupan seseorang menjadi lebih menyenangkan (Thoits 1986).
Dukungan sosial dari keluarga besar akan meningkatkan kesejahteraan
emosional ibu bekerja (Tsai 2008). Purnomosari (2004) menyebutkan bahwa
dukungan sosial yang positif akan membuat ibu dapat melaksanakan tugas dan
peranannya dengan perasaan aman dan nyaman dalam mengelola rumah tangga.
Adanya dukungan sosial yang diperoleh keluarga akan membantunya dalam
melakukan strategi koping untuk mengatasi masalah y