Kajian Perlakuan Hot Water Treatment Untuk Menekan Gejala Chilling Injury Buah Jambu Biji (Psidium Guajava L) Pada Penyimpanan Suhu Rendah

KAJIAN PERLAKUAN HOT WATER TREATMENT (HWT) UNTUK
MENEKAN GEJALA CHILLING INJURY BUAH JAMBU BIJI
(Psidium guajava L) PADA PENYIMPANAN SUHU RENDAH

MORDIATI UGIK FARISTA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kajian
Perlakuan Hot Water Treatment untuk Menekan Gejala Chilling Injury
Buah Jambu Biji (Psidium guajava L) pada Penyimpanan Suhu Rendah”
adalah benar karya saya dengan arahan dari Prof. Dr. Ir. Sutrisno, MAgr dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 15 Januari 2016
Mordiati Ugik Farista
NIM F14110049

ABSTRAK
MORDIATI UGIK FARISTA. Kajian Perlakuan Hot Water Treatment
untuk Menekan Gejala Chilling Injury Buah Jambu Biji (Psidium guajava
L) pada Penyimpanan Suhu Rendah. Dibimbing oleh SUTRISNO.
Jambu biji (Psidium guajava L) merupakan komoditi hortikultura
yang memiliki sifat perishable dan menyebabkan susut. Penanganan
pascapanen menjadi titik kritis untuk menekan susut pascapanen. Tujuan
penelitian ini adalah mengkaji perubahan mutu dan gejala chilling injury
pada buah jambu biji setelah diberi perlakuan HWT (Hot Water Treatment)
dan disimpan pada suhu 5oC, 10oC, dan suhu ruang (26-30oC). Perlakuan
HWT diberikan pada suhu 49oC selama 20 menit, 55oC selama 10 menit,
dan tanpa HWT. Perlakuan HWT memberikan pengaruh signifikan terhadap

perubahan mutu buah jambu biji. Berdasarkan kedua perlakuan tersebut
perlakuan HWT 55oC selama 10 menit mampu menekan penurunan susut
bobot sampai hari ke-9 (4.11%), mempertahankan perubahan warna kulit (L,
a, b) dari hijau menjadi hijau kekuningan hingga kuning kemerahan sampai
hari ke-21, kekerasan sampai hari ke-21 (4.72kgf), dan menurunkan total
padatan terlarut sampai hari ke-21 (9.35oBrix) dibandingkan kedua
perlakuan lainnya. Buah yang diberi perlakuan HWT pada hari ke-0
mengalami chilling injury sebesar 0.042 skor 1 (gejala 1-25%) sampai hari
ke-21 sebesar 0.313 atau skor 2 (gejala 26-50%) lebih cepat mengalami
kerusakan dingin seperti kerutan pada kulit buah sehingga meningkatkan
susut bobot, bintik-bintik hitam pada permukaan kulit jambu biji dan terjadi
browning dibandingkan dengan tanpa HWT (kontrol) pada suhu 5oC dan
10oC.
Kata kunci: Buah jambu biji, Chilling injury, HWT, Suhu dingin.

ABSTRACT
MORDIATI UGIK FARISTA. Study of Hot Water Treatment to Suppress
Chilling Injury Symptoms on Guava (Psidium guajava L) at Low
Temperature Storage. Supervised by SUTRISNO.
Guava (Psidium guajava L) is horticulture product which perishable

and caused losses. Postharvest handling is critical point to maintain
postharvest losses. This research purposes to examines quality changes and
chilling injury symptoms of Psidium guajava L after treated by HWT (Hot
Water Treatment) and stored at 5oC, 10oC, and room temperature (26-30oC).
HWT treatments that use are 49oC for 20 minute, 55oC for 10 minute, and
without HWT treatment. HWT treatment provide significant influence on
changes in the quality of guava fruit. HWT treatment 55oC for 10 minutes
can suppress a decrease in weight loss until day 9 (4.11%), maintaining skin
discoloration (L, a, b) from green to yellowish green to reddish yellow until
day 21, maintain hardness up day 21 (4.72kgf), and lower total soluble
solids (TSS) until day 21 (9.35oBrix) compared two other treatments. Guava

fruit HWT treated on day 0 chilling injury suffered by 0.042 score of 1
(symptoms 1-25%) until the 21st day of 0313 is equal to a score of 2
(symptoms 26-50%) wear down more quickly cool as wrinkling of the fruit
skin thus enhancing weight loss, dark spots on the skin surface and occur
browning guava compared with no HWT (control) at a temperature of 5°C
and 10°C.
Keywords : Chilling injury, HWT, low temperature, Psidium guajava L.


KAJIAN PERLAKUAN HOT WATER TREATMENT UNTUK
MENEKAN GEJALA CHILLING INJURY BUAH JAMBU BIJI
(Psidium guajava L) PADA PENYIMPANAN SUHU RENDAH

MORDIATI UGIK FARISTA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Judul Skripsi: Kajian


Perlakuan

Hot

Water

Treatment

(HWT)

untuk

Menekan Gejala Chilling Injury Buah Jambu Biji (Psidium
guajava L) pada Penyimpanan Suhu Rendah
Nama

: Mordiati Ugik Farista

NIM


: F14110049

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Pembimbing Akademik

Tanggal Lulus:

l 9 JAN 2016

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan
judul “Kajian Perlakuan Hot Water Treatment (HWT) untuk Menekan
Gejala Chilling Injury Buah Jambu Biji (Psidium guajava L) pada
Penyimpanan Suhu Rendah” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan maret 2015 hingga Juni 2015.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Sutrisno, MAgr selaku pembimbing akademik yang telah

memberi bimbingan dan arahan.
2. Dr. Ir. Emmy Darmawati, M. Si dan Dr. Muhamad Yulianto, ST., MT
sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan.
3. Bapak Sulyaden, Mas Abas, Bapak Ahmad dan seluruh karyawan
teknisi Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian,
Laboratorium Lingkungan Bangunan Pertanian (LBP) yang membantu
penulis saat melakukan penelitian.
4. Bapak Sutomo, Ibunda Djumiati, mbk ten, mas joko, mas dian, adik
lungga dan dewa atas kasih sayang, do’a dan dukungannya.
5. Mbak Riza serta teman sebimbingan dan sepenangungan.
6. Teman-teman Regenboog TMB 48 yang telah memberi dukungan dan
membantu dalam penelitian.
7. Bapak Karyadi petani Jambu biji Kab. Bogor yang telah memenuhi
kebutuhan bahan penelitian penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih
belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
memerlukannya.

Bogor, 15 Januari 2016


Mordiati Ugik Farista

DAFTAR ISI
PRAKATA

vii

DAFTAR ISI

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA

2

Jambu Biji

2

Hot Water Treatment

2

Penyimpanan Suhu Rendah dan Chilling Injury

3

Faktor Mutu Buah Tropika

3


METODE

4

Waktu dan Tempat Penelitian

4

Alat dan Bahan

4

Prosedur Penelitian

5

Pengamatan

6

Indeks Chilling Injury
Laju Respirasi
Susut Bobot
Kekerasan
Total Padatan Terlarut
Warna Kulit
Organoleptik
Rancangan Percobaan

6
6
7
7
8
8
9
9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks chilling injury

10
10

Pengaruh perendaman HWT pada penyimpanan dingin terhadap mutu
buah jambu biji untuj menekan gejala chilling injury
11
SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

53

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian
2 Perendaman jambu biji ke dalam air panas pada water bath
3 Pengukuran konsentrasi CO2 dan O2 menggunakan continous gas
analyzer
4 Timbangan digital
5 Rheometer Shimadzu model CR 300
6 Refraktometer model PR 201
7 Alat pengujian warna (chromameter)
8 Sistem notasi warna Hunter
9 Indeks chilling injury setelah 21 hari penyimpanan buah jambu
biji pada suhu (5oC, 10oC, suhu ruang)
10 Grafik laju konsumsi O2 buah jambu biji
11 Grafik laju produksi CO2 buah jambu biji
12 Peningkatan susut bobot jambu biji penyimpanan (5oC, 10oC,
suhu ruang)
13 Perubahan nilai kekerasan kulit buah jambu biji pada suhu
penyimpanan (5oC, 10oC, suhu ruang)
14 Perubahan nilai Total Padatan Terlarut buah jambu biji pada suhu
penyimpanan (5oC, 10oC, suhu ruang)
15 Perubahan nilai L, a, b (kecerahan) kulit buah jambu biji pada
suhu penyimpanan (5oC, 10oC, suhu ruang)
16 Hasil organoleptik warna kulit jambu biji
17 Hasil organoleptik kesegaran buah jambu biji
18 Hasil organoleptik rasa buah jambu biji
19 Hasil organoleptik tekstur daging buah jambu biji
20 Hasil organoleptik warna daging buah jambu biji

5
6
7
7
7
8
8
9
11
12
13
14
15
16
17
20
21
21
22
22

DAFTAR LAMPIRAN
21 Lampiran 1 Hasil sidik ragam laju respirasi CO2 buah jambu biji
selama penyimpanan
22 Lampiran 2 Uji Duncan laju respirasi CO2 buah jambu biji selama
penyimpanan
23 Lampiran 3 Hasil sidik ragam laju respirasi O2 buah jambu biji
selama penyimpanan
24 Lampiran 4 Uji Duncan laju respirasi O2 buah jambu biji selama
penyimpanan
25 Lampiran 5 Hasil sidik ragam susut bobot buah jambu biji
26 Lampiran 6 Uji Duncan susut bobot buah jambu biji selama
penyimpanan
27 Lampiran 7 Hasil sidik ragam perubahan kekerasan buah jambu
biji selama penyimpanan
28 Lampiran 8 Uji Duncan perubahan kekerasan buah jambu biji
selama penyimpanan

26
28
31
33
36
37
38
39

29 Lampiran 9 Hasil sidik ragam total padatan terlarut buah jambu
biji
30 Lampiran 10 Uji Duncan total padatan terlarut buah jambu biji
selama penyimpanan
31 Lampiran 11 Hasil sidik ragam indeks chilling injury buah jambu
biji
32 Lampiran 12 Uji Duncan Indeks Chilling Injury buah jambu biji
selama penyimpanan
33 Lampiran 13 Hasil sidik ragam perubahan kecerahan (L) buah
jambu biji selama penyimpanan
34 Lampiran 14 Uji Duncan perubahan kecerahan (L) buah jambu
biji selama penyimpanan
35 Lampiran 15 Hasil sidik ragam perubahan kecerahan (a) buah
jambu biji selama penyimpanan
36 Lampiran 16 Uji Duncan perubahan kecerahan (a) buah jambu
biji selama penyimpanan
37 Lampiran 17 Hasil sidik ragam perubahan kecerahan (b) buah
jambu biji selama penyimpanan
38 Lampiran 18 Uji Duncan perubahan kecerahan (b) buah jambu
biji selama penyimpanan
39 Lampiran 19 Perubahan warna kulit buah jambu biji pada
berbagai perlakuan HWT dan suhu penyimpanan berdasarkan
diagram Hunter
40 Lampiran 20 Hasil uji statistik Kruskal-Wallis warna kulit buah
jambu biji
41 Lampiran 21 Hasil uji statistik Kruskal-Wallis kesegaran kulit
buah jambu biji
42 Lampiran 22 Hasil uji statistik Kruskal-Wallis rasa buah jambu
biji
43 Lampiran 23 Hasil uji statistik Kruskal-Wallis tekstur daging
buah jambu biji
44 Lampiran 24 Hasil uji statistik Kruskal-Wallis warna daging buah
jambu biji
45 Lampiran 25 Foto buah jambu biji perlakuan HWT 55oC selama
10 menit; suhu 5oC, 10oC, suhu ruang (26-30oC) selama
penyimpanan.

39
40
41
42
42
43
44
45
46
47

48
49
49
50
50
50

51

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jambu biji (Psidium guajava L) merupakan salah satu komoditi hortikultura
yang banyak diminati masyarakat Indonesia, untuk itu ketersediaannya menjadi
salah satu tantangan dalam pascapanen. Seperti yang telah diketahui bahwa
jambu biji memiliki sifat perishable atau mudah rusak setelah dipanen sehingga
menyebabkan terjadinya susut mutu. Faktor lingkungan utama yang
mempengaruhi susut jambu biji adalah suhu dan kelembaban, sejauh ini salah satu
teknologi pascapanen untuk memperpanjang masa simpan adalah dengan
melakukan penyimpanan pada suhu rendah. Namun, penyimpanan suhu rendah
juga memiliki kekurangan yakni dapat memicu terjadinya chilling injury.
Chilling injury berakibat pada kerusakan produk secara fisiologi baik
eksternal maupun internal yang berakibat pada turunnya mutu jambu biji. Gejala
kerusakan dingin pada jambu biji ditandai dengan penurunan kekerasan, aroma,
nilai gizi, umur simpan, serta memicu serangan mikroba. Penurunan tersebut
mayoritas tidak dikehendaki oleh konsumen, sehingga menuntut adanya solusi
untuk menanganinya. Pada studi ini dilakukan penelitian mengenai hot water
treatment untuk menekan gejala chilling injury. Menurut Lurie (1998) dalam
Nurhayati (2014) heat treatment terdiri dari hot water treatment, vapor heat
treatment dan hot air treatment.
Penekanan gejala chilling injury pada studi ini dilakukan dengan hot water
treatment (HWT), alasan utama penggunaan HWT karena teknik ini paling mudah,
murah, dan memungkinkan untuk diaplikasikan oleh petani. Selain itu menurut
Hasbullah (2002) bahwa metode pencelupan dengan air panas lebih efisien
sebagai wadah pemindah panas daripada udara panas atau semprotan air panas
karena dapat menghantarkan panas dari air yang bersuhu tinggi ke suluruh bahan.
Menurut Soesanto (2006), kondisi kehangatan air pada HWT berkisar antara
40-55oC dengan lama perendaman yang beragam antara 5-10 menit. Hal tersebut
disesuaikan dengan jenis dan ukuran komoditi pascapanen untuk itu suhu
kehangatan air HWT khusus jambu biji perlu dikaji lebih lanjut untuk
mendapatkan suhu optimal yang mampu mencegah terjadinya chilling injury
dengan meminimalisir kerusakan jambu biji akibat HWT.

Tujuan Penelitian
1. Mengkaji perubahan mutu buah jambu biji setelah diberi perlakuan HWT dan
disimpan pada suhu yang berbeda (5oC, 10oC, dan suhu ruang (26-30oC).
2. Mengkaji pengaruh perlakuan panas metode HWT pada 49oC selama 20
menit, 55oC selama 10 menit dan tanpa perlakuan terhadap kerusakan dingin
(chilling injury) buah jambu biji yang disimpan pada suhu rendah.

2
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan dukungan teknologi
pascapanen pada suatu kegiatan agroindustri yang menangani produk segar
buah-buahan, baik untuk pasokan dalam negeri maupun ekspor.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdapat beberapa pembatasan permasalahan yaitu lama
perendaman 20 dan 10 menit, suhu HWT 49 dan 55oC pada penyimpanan dingin
(5 dan 10oC) untuk menekan chilling injury pada buah jambu biji (Psidium
guajava L).

TINJAUAN PUSTAKA
Jambu Biji
Jambu biji “Guava” (Psidium guajava L) bukan tanaman asli Indonesia.
Jambu biji berasal dari Benua Amerika bagian tropis, antara Mexico dan Amerika
Serikat. Tanaman jambu biji telah menyebar luas ke seluruh dunia terutama di
daerah tropik. Jambu biji (Psidium guajava L) merupakan salah satu buah yang
cukup dikenal. Jambu biji merupakan sumber vitamin C yang tinggi dibandingkan
dengan buah lainnya. Kandungan nutrisi dalam buah jambu biji setiap 100gram
adalah energi 49kal, protein 0.90gram, vitamin C 87.00mg, lemak 0.30gram,
karbohidrat 12.20gram, kalsium 14.00mg, besi 1.10mg menurut Cahyono (2010).
Keasaman jambu biji berkisar antara 0.33-0.99% dengan nilai pH 4.7-5.4.
Kandungan gula total di dalam buah jambu biji berkisar antara 4.3-9.0% (Wilson
1980 dalam Nurjanah 2007). Jambu biji tanpa biji memiliki bobot sekitar 176g,
berdiameter 7.3cm, mengandung biji 0.7%, padatan terlarut 12.5% dan asam total
0.4% (Nakasone dan Paull 1998 dalam Nurjanah 2007).
Hot Water Treatment (HWT)
Teknik perlakuan panas (heat treatment) merupakan satu alternatif baru
yang digunakan dalam proses ekspor buah-buahan untuk proses disinfestasi hama
dan pengendalian penyakit. Nurhayati (2014) menyatakan bahwa perlakuan panas
juga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam menekan gejala
kerusakan akibat suhu rendah (chilling injury).
HWT petama kali dilakukan oleh Fawcett pada pertengahan abad 20 untuk
mengendalikan busuk coklat pada jeruk lemon dan pada tahun 80-an dilaporkan
bahwa HWT (49oC selama 20 menit) dapat dijadikan sebagai salah satu perlakuan
karantina khususnya untuk mengatas serangan lalat buah (Rodov et al. 1995
dalam Nurhayati 2014). Kebanyakan buah dan sayur mempunyai toleransi
terhadap air panas pada suhu 50-60oC selama 10 menit tapi pemaparan jangka

3
pendek pada suhu demikian dapat mengatasi beberapa patogen pascapanen
(Nurhayati 2014).
Menurut Schirra et al. (2000); Fallik (2004) dalam Zong et al. (2010)
dalam Hidayati (2012), HWT dilaporkan cukup efektif dalam mengontrol
penyakit pascapanen pada buah-buahan. Berdasarkan penelitian sebelumnya, telah
ditemukan bahwa perlakuan HWT selama 20 dan 40 menit secara signifikan
mereduksi penyakit dan mengurangi diameter bercak penyakit pada buah tomat
yang disebabkan oleh Botrytis cinerea, sedangkan perlakuan selama 60 menit
secara signifikan hanya dapat mengurangi diameter bercak penyakit menurut
Hidayati (2012). Hal ini mengindikasikan bahwa waktu perlakuan HWT
berhubungan erat dengan efisiensi pengontrolan penyakit.
Penyimpanan Suhu Rendah dan Chilling Injury
Gejala terjadinya kerusakan dingin dapat diamati dari kenaikan kecepatan
respirasi dan produksi etilen, penurunan kecepatan pertumbuhan, terjadinya
proses pematangan yang tidak normal dan lambat, pelunakan premature, kulit
terkelupas, dan peningkatan pembusukan yang disebabkan oleh luka, kehilangan
favor yang khas serta kenaikan jumlah ion yang dikeluarkan dari membran sel
(ion leakage) (BPTP 2001).Chilling injury pada jambu menurut Aguilar et al.
(2004) adalah termasuk pematangan abnormal, browning kulit atau perubahan
warna, dan peningkatan kejadian pembusukan umum antraknosa yang disebabkan
oleh Colletotrichum gleoeosporioides.
Petunjuk terjadinya kerusakan dingin untuk produk pertanian sangat penting
untuk diketahui dalam upaya mengetahui ambang batas suhu penyimpanan yang
optimum. Selama penyimpanan dengan pendinginan diperlukan suhu yang tepat
karena kemungkinan komoditi mengalami kerusakan akibat suhu rendah (chilling
injury). Buah-buahan tropika umumnya sensitif terhadap suhu dingin (Kays 1991
dalam Rizkia 2004).
Laju Respirasi
Menurut Ahmad (2013), respirasi merupakan perombakan bahan yang lebih
kompleks di dalam sel seperti pati, gula dan asam organik dengan bantuan oksigen
(oksidatif) menjadi molekul yang lebih sederhana, seperti karbondioksida, air,
sekaligus energi dan molekul lainnya yang bisa digunakan sel dalam reaksi sintesa.
Laju respirasi dapat digunakan sebagai ukuran aktifitas fisiologis buah (Willset
1981).
Faktor Mutu Buah Tropika
Nilai kekerasan buah menunjukkan kedalaman jarum yang ditusukkan ke
dalam buah, semakin dalam tusukan maka buah tersebut semakin lunak. Menurut
Apandi (1984), perubahan tekstur yang terjadi pada buah yaitu dari keras menjadi
lunak sebagai akibat terjadinya proses kelayuan karena respirasi dan transpirasi.
Proses kelayuan merupakan masa senescence atau penuaan yang disusul dengan

4
kerusakan buah karena adanya proses respirasi dan transpirasi menyebabkan buah
kehilangan air akibat berkurangnya karbon dalam proses respirasi.
Susut Bobot merupakan salah satu parameter mutu yang mencerminkan
tingkat kesegaran buah, Kader (1992) menjelaskan bahwa terjadinya susut bobot
disebabkan oleh hilangnya air dalam buah oleh respirasi yang mengubah gula
menjadi CO2 dan H2O. Selain itu kehilangan bobot juga dihubungkan dengan
adanya penurunan kekerasan, sehingga ikatan antar sel di dalam buah menjadi
lebih lemah dan jaraknya meregang sehingga air bebas yang terdapat di dalam
buah menjadi mudah teruapkan (Borne 1970 dalam Pantastico 1986 dalam
Hidayati 2012).
Gula adalah kandungan padatan terlarut terbesar yang terdapat pada sari
buah, oleh karena itu total padatan terlarut (total soluble solids) dapat digunakan
untuk menentukan jumlah gula yang terkandung dalam suatu buah. Selain
kandungan gula itu sendiri, asam organik, asam amino dan pektin terlarut juga
dapat diukur dengan metode ini (Verma dan Joshi 2000).
Warna merupakan kriteria mutu pokok karena merupakan hal pertama yang
dikaji konsumen. Penilaian terhadap warna bisa menjadi penilaian yang subjektif,
bergantung pada kemampuan individu masing-masing (Verma dan Joshi 2000).
Tanda kematangan pertama pada buah adalah hilangnya warna hijau karena
kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laun berkurang. Proses
perubahan kulit jambu biji dari warna hijau menjadi kuning disebabkan
terdegradasinya klorofil atau dengan sedikit pembentukan karotenoid. Pengukuran
subjektif warna Hunter terdiri atas 3 parameter yaitu L, a dan b. Metode ini
memiliki ketepatan dan kecepatan yang lebih baik dibandingkan metode
pengukuran warna lainnya (Nurmawati 2011). Oleh karena itu, pada penelitian ini
akan digunakan metode pengukuran warna menggunakan sistem Hunter.

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan
Hasil Pertanian (TPPHP) serta Laboratorium Lingkungan Bangunan Pertanian
(LBP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan
Maret-Juni 2015.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades, buah jambu biji
merah dari petani desa Petir Dramaga, Bogor dengan bobot berkisar antara
100-200g dengan kondisi bebas cacat, bercak jamur atau penyakit secara visual
dan tidak mengalami kerusakan mekanis. Jumlah buah yang digunakan sebanyak
214 buah (60 kg).

5
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah: water bath untuk
perlakuan HWT, lemari pendingin yang diatur pada suhu 5°C dan 10°C, continous
gas analyzer untuk mengukur laju respirasi, refractometer (model PR 201) untuk
mengukur total padatan terlarut bahan, rheometer (model CR-300DX) untuk
mengetahui tingkat kekerasan, timbangan digital (Mettler PM-4800),
chromameter (tipe Minolta CR 310), hybrid recorder.
Prosedur Penelitian
Persiapan penelitian dilakukan dengan pembersihan dan sortasi sampel buah
jambu biji untuk menjaga keseragaman sampelnya. Buah jambu biji tersebut
kemudian dibagi dalam sampel untuk kontrol (tanpa perlakuan) dan sampel untuk
perlakuan HWT. Keseluruhan perlakuan dalam penelitian ini disimpan pada suhu
5°C, 10°C dan suhu ruang selama 3 minggu. Pengamatan mutu dilakukan
terhadap parameter susut bobot, indeks chilling injury, kekerasan, total padatan
terlarut, warna kulit, dan laju respirasi selama penyimpanan tersebut. Prosedur
penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1. Sementara proses
perendaman jambu biji ke dalam air panas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Diagram alir penelitian

6

Gambar 2 Perendaman jambu biji ke dalam air panas pada water bath
Parameter yang diamati terdiri dari :
1. Indeks Chilling Injury (Sayyari et al. 2011).
Indeks chilling injury merupakan pengamatan yang dinilai secara individu
pada tiap sampel 4 skala berdasarkan presentase gejala yang muncul pada buah
(pengeriputan kulit, pencoklatan maupun lubang pada buah). Pengamatan
dilakukan secara visual setiap 3 hari sekali. Kategori skor meliputi: 0 (tidak
terdapat gejala), 1 (gejala 1-25%), 2 (gejala 26-50%) dan 3 (>51%) dan dihitung
berdasarkan rumus:

CII=

(1)

2. Laju Respirasi
Pengukuran laju respirasi menggunakan jambu biji yang berjumlah 3-4 buah.
lebih didasarkan pada ukuran berat minimal yang digunakan untuk mengukur laju
respirasi yaitu minimal 572.97g. Pengukuran konsentrasi gas CO2 dan O2
dilakukan setiap 3 jam pada setiap hari. Data pengukuran yang diperoleh selama
penyimpanan pada suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang (26-30oC) berupa perubahan
konsentrasi gas CO2 dan O2. Sedangkan perhitungan laju respirasi ditunjukkan
dengan persamaan berikut ini (Mannaperumma dan Singh 1989).


(2)
(3)
Keterangan : R
= Laju respirasi (ml/kg/jam)
V
= Volume bebas wadah (ml)
W
= Berat sampel (kg)
dx/dt = Laju perubahan konsentrasi CO2 dan O2(%/jam)
x
= Konsentrasi gas CO2 dan O2 (%)
t
= Waktu (jam)
= Volume wadah (ml)
= Volume jambu biji sampel (ml)

7

Pengukuran konsentrasi CO2 dan O2 menggunakan continous gas
analyzer
3. Susut Bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan digital
(Gambar 4). Sampel buah jambu biji yang digunakan berupa sampel yang sama
sejak hari ke-0 hingga hari terakhir penyimpanan. Perhitungan susut bobot selama
pengamatan ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:
Gambar 3

(4)
Keterangan : b0
bi

= Bobot bahan awal pada hari ke-0 (g)
= Bobot bahan akhir pada hari ke-i (g); i = 3,6,9

Gambar 4 Timbangan digital
4. Kekerasan
Kekerasan sampel buah jambu biji diukur berdasarkan tingkat ketahanan
buah terhadap jarum penusuk dari rheometer CR-300DX (Gambar 5). Buah yang
digunakan pada pengujian adalah buah yang berbeda. Pengambilan data kekerasan
ini dilakukan dengan selang pengamatan 3 hari sekali.

Gambar 5 Rheometer CR-300DX

8
5. Total Padatan Terlarut
Pengukuran TPT dilakukan menggunakan refraktometer model PR 201
(Gambar 6) setiap 3 hari sekali. Pengukuran TPT menggunakan sampel buah
jambu biji yang berbeda. Pengukuran dilakukan pada masing-masing sampel
sebanyak 2 kali ulangan.

Gambar 6 Refraktometer model PR 201
6. Warna
Pengukuran perubahan warna sampel buah dilakukan dengan menggunakan
chromameter Minolta (Gambar 7) untuk mendapatkan nilai L, a*, dan b*.
Pengukuran tersebut diperoleh data nilai Hunter L yang menunjukkan kecerahan
dengan nilai L=0 (hitam) dan L= 100 (putih).

Gambar 7 Alat pengujian warna (Chromameter)
Nilai a* terdiri dari +a* yang menunjukkan warna merah dengan nialai 0
hingga 60 dan –a* menunjukkan warna hijau dengan nilai 0 hingga -60. Nilai b
terdiri dari +b* yang menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60 dan
nilai –b* yang menunjukkan warna biru dengan niali 0 hingga -60.

9

Gambar 8 Sisitem notasi warna Hunter (Suyatma 2009)
7. Uji Organoleptik (warna kulit, kesegaran, rasa, tekstur dan warna daging)
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis
terhadap perubahan mutu buah jambu biji. Pengujian dilakukan selama
penyimpanan pada suhu 5oC, 10oC dan suhu ruang (26-30oC) untuk parameter
warna, kesegaran buah, rasa, tekstur dan warna daging. Skor hedonik yang
digunakan dengan skala 1-5 dimana skor 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3
(netral), 4 (suka) dan 5 (sangat suka). Panelis sebanyak 15 orang yang merupakan
panelis umum yang tidak terlatih dan bertugas untuk menilai kriteria-kriteria yang
telah ditetapkan berdasarkan pengalaman dan kesukaan masing-masing terhadap
buah jambu biji. Dalam pengolahan data organoleptik, digunakan uji
Kruskal-Wallis, yaitu metode pengembangan dari model Mann Whitney Test yang
digunakan untuk membandingkan dua atau lebih sampel yang tidak
terikat/berhubungan satu sama lain secara bersama-sama. Analisis ini untuk
menguji kesamaan nilai variansi dari sampel-sampel yang digunakan. Parameter
yang ekuivalen dengan uji ini adalah one-way analysis of variance (ANOVA).
Pengujian Kruskal-Wallis merupakan salah satu alat untuk melihat variansi
sampel, sehingga setidaknya sampel yang digunakan harus memiliki distribusi
normal, memiliki nilai standar deviasi yang sama, sampel yang diambil dari
populasinya bersifat saling bebas serta random variabel Xij kontinu dan paling
tidak merupakan data ordinal (Supangat 2010).
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap 2
faktor (RAL factorial) dengan dua kali ulangan perlakuan. Faktor yag digunakan
adalah:
H = HWT
H1 = HWT 49oC selama 20 menit
H2 = HWT 55oC selama 10 menit
H3 = Tanpa HWT
T = Suhu penyimpanan
T1 = Suhu 5oC selama 3 minggu
T2 = Suhu 10oC selama 3 minggu
T3 = Suhu ruang (26-30oC) selama 3 minggu

10
untuk menganalisis digunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan model
sistematika sebagai berikut :
Yij = µ + αi+ βj + (αβ)ij+ εijk

(5)

Keterangan :
Yijk
=Respon/nilai pengamatan untuk faktor lama penyimpanan ke-i, faktor
suhu penyimpanan taraf ke-j dan ulangan ke-k.
µ
= Nilai rata-rata harapan
αi
= Perlakuan H ke-i (i = 1,2,3)
βj
= Perlakuan T ke-j (j = 1,2,3)
(αβ)ij = Interaksi antara H ke-i dan T ke-j
εijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan T ke-j, H ke-i pada ulangan
ke-k
dengan : i = 1,2,3 (level jenis perlakuan)
j
= 1,2,3 (level suhu)
k = 1,2 (level ulangan)
Data-data pengamatan dianalisis dengan meggunakan tabel sidik ragam
untuk pengaruh dan interaksinya serta menggunakan uji lanjut Duncan Multiple
Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks Chilling Injury
Chilling injury (CI) adalah kerusakan karena penyimpanan di bawah suhu
optimum yang dicirikan oleh bintik-bintik hitam atau coklat pada kulit buah,
pembentukan warna kulit yang tidak sempurna dan pematangan tidak normal
menurut (Marlisa 2007). Bentuk chilling injury terbagi menjadi dua yakni
kerusakan primer dan kerusakan sekunder. Kerusakan primer berkaitan dengan
kerusakan di tingkat sel seperti penurunan kelarutan asam lemak tak jenuh pada
membran lipid atau terhambatnya pembentukan senyawa di tingkat substrat yang
pada akhirnya menimbulkan kerusakan yang dapat dilihat secara visual
(kerusakan sekunder) seperti pencoklatan (browning), mengkerutnya kulit buah
atau terdapat lubang pada permukaan buah menurut Nurhayati (2014).
Berdasarkan hasil pengamatan munculnya chilling injury pada buah jambu
biji ditandai dengan pematangan yang tidak normal, browning kulit, bintik-bintik
hitam dan coklat pada permukaan kulit buah jambu biji. Pada Gambar 9 disajikan
perubahan ideks chilling injury selama 21 hari penyimpanan dingin. Pada grafik
menunjukkan CI diatas skor 1 (gejala 1-25%) maka buah jambu biji tidak mampu
menekan gejala kerusakan akibat suhu dingin setelah perlakuan HWT 49oC
selama 20 menit dan HWT 55oC selama 10 menit. Penyimpanan buah jambu biji
di suhu 10oC, pada hari ke-0 menunjukkan peningkatan indeks CI paling tinggi
dibanding penyimpanan lainnya dengan nilai skor sebesar 0.042. Presentase

11
indeks chilling injury yang terukur terus mengalami kenaikan sampai akhir
pengamatan yaitu hari ke-21 sebesar 0.313 seperti yang terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Indeks chilling injury setelah 18 hari penyimpanan buah jambu biji
pada suhu (5oC, 10oC dan suhu ruang).
Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama
10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu
10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).
Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan Lampiran 12 terlihat bahwa
perlakuan HWT 49oC selama 20 menit dan HWT 55oC selama 10 menit tidak
berpengaruh nyata terhadap chilling injury, sedangkan perlakuan penyimpanan
suhu 5oC dan 10oC memberikan pengaruh nyata terhadap chilling injury jambu
biji karena P value ≤ 5% sehingga perlakuan suhu 5oC dan 10oC akan memberikan
pengaruh secara signifikan terhadap kualitas jambu biji. Oleh karena itu perlakuan
HWT tidak mampu menekan chilling injury buah jambu biji selama penyimpanan
dingin. Kerusakan yang ditimbulkan pada jambu biji akibat chilling injury yaitu
kerutan pada kulit buah sehingga meningkatkan susut bobot. Namun pada
penelitian yang dilakukan Yang et al. (2009) menunjukkan secara fisilogis
perlakuan panas dapat menyebabkan jaringan mampu melawan kerusakan selama
penyimpanan dingin karena perlakuan panas dapat mengaktifkan suatu protein
yang dikenal dengan heat shock protein (Bowean et al. 2002).
Buah jambu biji yang diberikan perlakuan HWT 49oC selama 20 menit dan
55oC selama 10 menit mengalami kerusakan dingin lebih cepat dibandingkan
tanpa perlakuan (kontrol) Gambar 9. Hal ini disebabkan oleh suhu perlakuan
HWT tinggi. Buah jambu biji tidak cocok diberi perlakuan HWT untuk menekan
gejala chilling injury.
Pengaruh Perendaman HWT dan Peyimpanan Dingin terhadap Mutu Buah
Jambu Biji untuk Menekan Gejala Chilling Injury
Penyebab dari kerusakan buah jambu biji antara lain kerusakan fisik, terjadi
reaksi kimia atau biasa disebut kerusakan kimia, kerusakan biokimia terjadi
karena reaksi dalam bahan yang masih hidup, kerusakan karena jasad renik, dan
kerusakan akibat serangga yang dapat menyebabkan mutu buah menjadi menurun.

12
Analisa parameter pengamatan jambu biji hasil perlakuan suhu perendaman
air panas dan penyimpanan dingin adalah terhadap laju respirasi, susut bobot,
kekerasan, total padatan terlarut, warna kulit, dan uji organoleptik.
Laju Respirasi
Laju respirasi dinyatakan dalam laju konsumsi O2 dan CO2. Laju konsumsi
O2 jambu biji selama penyimpanan disajikan pada Gambar 10. Terjadi
peningkatan konsumsi O2 pada hari ke-2 penyimpanan, baik untuk jambu biji
yang diberi perlakuan HWT maupun tidak diberi perlakuan HWT. Peningkatan
respirasi ini menandai fase klimaterik pada jambu biji. Selanjutnya konsumsi O2
mengalami penurunan hingga hari ke-5. Peningkatan O2 yang fluktuatif kembali
terjadi pada hari ke-8 hingga akhir masa penyimpanan. Hal ini terjadi karena
adanya respirasi tambahan dari mikroorganisme yang menyebabkan laju respirasi
meningkat pada hari ke-13.

Keterangan:

Gambar 10 Grafik laju konsumsi O2 buah jambu biji.
H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama
10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu
10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Berdasarkan hasil pengamatan pada hari penyimpanan ke-0 laju konsumsi
O2 tertinggi sebesar 46.28ml/kg.jam (H3T3) dan 39.37ml/kg.jam (H2T2). Masa
klimaterik laju konsumsi O2 terbesar terjadi pada hari ke-3 yaitu sebesar
81.93ml/kg.jam (H3T3) dan 12.98ml/kg.jam (H1T2).
Hasil analisis ragam Lampiran 3 menunjukkan bahwa lama HWT
berpengaruh nyata terhadap konsumsi O2 pada pengamatan hari ke-1, 9, 10, 11,
12, 14, 16, 19, dan 20. Sementara suhu penyimpanan memberikan pengaruh nyata
terhadap konsumsi O2 pada pengamatan ke-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15,
16, 17, 18, 19, dan 20. Interaksi antara HWT dan suhu penyimpanan memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsumsi O2 pada hari ke-1, 9, dan 14.
Hasil uji Duncan Lampiran 4 berbeda nyata terhadap konsumi O2 pada perlakuan
HWT dan suhu.
Perlakuan HWT dapat menekan laju respirasi dimana jambu biji yang tidak
diberi perlakuan HWT memiliki laju produksi CO2 yang lebih tinggi
dibandingkan jambu biji yang diberi perlakuan HWT. Gambar 11 menampilkan
grafik laju produksi CO2 jambu biji selama 21 hari penyimpanan. Sama halnya
dengan laju konsumsi O2, terjadi peningkatan produksi CO2 pada hari ke-2
(klimakterik), laju produksi CO2 kembali mengalami penurunan setelah berlalunya

13
fase klimakterik. Penyimpanan hari ke-0 laju produksi CO2 tertinggi terjadi pada
jambu biji yang tidak diberi perlakuan HWT adalah 43.78ml/kg.jam
(H3T3/kontrol). Puncak fase klimakterik produksi CO2 tertinggi terjadi pada hari
ke-3 senilai 84.96 ml/kg.jam (H3T3). Jambu biji yang diberikan perlakuan HWT
dengan suhu penyimpanan 5oC dan 10oC mampu menghambat puncak klimaterik
dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hutabarat (2008),
laju produksi CO2 pada tomat dengan perlakuan heat shok 20, 40, 60 menit dan
Aloevera coating pada suhu ruang lebih tinggi dibandingkan suhu 5 dan 10oC. Hal
ini disebabkan pada penyimpanan dingin proses respirasi dihambat, sehingga
produksi CO2 dan konsumsi O2 rendah.

Keterangan:

Gambar 11 Grafik laju produksi CO2 buah jambu biji.
H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama
10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu
10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).

Berdasarkan analisis sidik ragam Lampiran 1, diketahui bahwa lama HWT
berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 pada hari ke-1, 9, 10, 12, 13, 14, 16, 17,
18, 19, 20, dan suhu berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 pada hari ke-1, 2,
4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20. Sementara interaksi
antara lama HWT dan suhu juga berpengaruh nyata pada hari ke-1, 9, 12, 13, 15,
16, 17, 18, 19, dan 20. Hasil uji Duncan Lampiran 2 berbeda nyata terhadap
produksi CO2 pada perlakuan HWT dan suhu. Hal ini dikarenakan P value ≤ 5%
sehingga perlakuan suhu, HWT dan interaksinya akan memberikan pengaruh
secara signifikan terhadap kualitas jambu biji
Susut Bobot
Salah satu faktor identifikasi mutu buah jambu biji adalah susut bobot.
Perubahan terjadi sesuai dengan lama waktu penyimpanan. Susut bobot jambu biji
setelah perlakuan terjadi sebagian besar karena transpirasi dan respirasi menurut
Syarief dan Halid (1991) dalam Hidyati (2012). Proses transpirasi dipengaruhi
oleh lingkungan yaitu suhu dan kelembaban (Hidayati 2012). Menurut Muchtadi
et al. (2010), susut bobot akibat respirasi dan transpirasi dapat ditekan dengan
cara menaikkan kelembaban nisbi udara (RH), menurunkan suhu, mengurangi
gerakan udara dan penggunaan kemasan.
Dari analisis ragam dan uji Duncan Lampiran 5 dan 6 menunjukkan bahwa
interaksi perlakuan HWT dan suhu berpengaruh nyata terhadap susut bobot jambu

14
biji selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan P value ≤ 5% sehingga perlakuan
HWT memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas buah jambu biji.
Hasil pengamatan menunjukkan susut bobot tertinggi Gambar 12 terjadi
pada perlakuan H3T3 hari ke-9 yang bernilai 36.48% dan susut bobot terendah
pada perlakuan H2T2 sebesar 4.11%. Hal ini akibat massa jambu yang hilang
selama penyimpanan pada suhu ruang (26-30oC). Semakin rendah RH maka
semakin besar massa buah yang hilang selama penyimpanan pada suhu ruang.
Hal ini serupa dengan penelitian Hutabarat (2008), kenaikan presentase susut
bobot tomat pada suhu ruang lebih tinggi dibanding penyimpanan pada suhu 5oC
dan 10oC. Menurut Muchtadi (1992) dalam Hidayati (2012) menyatakan bahwa
kehilangan bobot pada buah selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air
sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi sehingga
menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut.
Penyimpanan jambu biji hari ke-21 nilai susut bobot tertinggi yaitu
perlakuan H3T1 (17.95%) dan susut bobot terendah pada perlakuan H2T2
(perlakuan HWT 55oC selama 10 menit pada penyimpanan 10oC) senilai 8.56%.
Namun berdasarkan hasil organoleptik kesegaran buah perlakuan H2T2 tingkat
kesukaan panelis lebih tinggi dibandingkan tanpa perlakuan (H3T1) sampai hari
ke-18 penyimpanan. Kejadian ini dikarenakan perlakuan H3T1 (kontrol) pada
suhu 5oC mengalami chilling injury seperti terjadi pelunakan daging buah pada
bagian tertentu dan mengandung banyak air, warna kulit buah berubah menjadi
kecoklatan akibat gagal matang, serta terdapat bintik-bintik hitam yang
menyelimuti warna kulit sehingga panelis tidak suka.

Gambar 12 Peningkatan susut bobot buah jambu biji penyimpanan (5oC, 10oC,
suhu ruang (26-30oC)).
Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama
10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu
10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).
Kekerasan
Kekerasan jambu biji dengan bertambahnya hari penyimpanan mengalami
penurunan yang terlihat pada Gambar 13, namun terjadi peningkatan kembali. Hal
ini dipengaruhi oleh suhu penyimpanan yang mengakibatkan permukaan kulit
buah dan daging buah mengalami pemadatan dan terdapat kristal-kristal es.
Penggunaan jambu biji yang berbeda setiap pengujian menyebabkan perbedaan
kekerasan meskipun pengujian dilakukan pada hari yang sama sehingga
menyebabkan nilai kekerasan fluktuatif. Hasil pengamatan selama penyimpanan

15
diperoleh nilai kekerasan tertinggi pada perlakuan H1T1 (5.29kgf) hari ke-18,
sedangkan kekerasan terendah terjadi pada perlakuan H3T2 (0.59kgf) akibat
mengalami kerusakan jaringan kulit disebabkan transpirasi sehingga menjadi
keriput serta struktur daginnya lunak. Peningkatan susut bobot menyebabkan
menurunnya kekerasan buah. Penelitian ini, untuk perlakuan HWT efektif
mengurangi susut bobot. Nilai kekerasan tertinggi pada jambu biji selama
penyimpanan terjadi pada perlakuan HWT pada suhu 5oC dan 10oC.
Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 7 menunjukkan bahwa
perlakuan HWT hanya berpengaruh nyata pada hari ke-3 dan 18. Hasil uji Duncan
Lampiran 8 menunjukkan bahwa jenis perlakuan HWT berbeda nyata pada tingkat
kekerasan jambu biji selama penyimpanan.

Gambar 13 Perubahan nilai kekerasan buah jambu biji pada suhu (5oC, 10oC,
suhu ruang (26-30oC)).
Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama
10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu
10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).
Total Padatan Terlarut (TPT)
Pada Gambar 14 terlihat bahwa kurva hubungan total padatan terlarut
dengan lama penyimpanan buah jambu biji pada hari ke-0 penyimpanan sebesar
10obrix pada perlakuan H1T2 mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan buah
jambu biji mengalami fase pematangan yang ditandai dengan meningkatnya
kandungan gula dalam buah. Setelah mencapai optimal, buah jambu biji
mengalami fase lewat matang yang ditandai dengan menurunnya kandungan gula
buah (Pradnyawati 2006). Sehingga kurva hubungan total padatan terlarut dengan
lama penyimpanan buah jambu biji sampai hari ke-21 sebesar 9.35obrix pada
perlakuan H2T1 mengalami penurunan.
Hasil analisis ragam dan uji Duncan menunjukkan bahwa Lampiran 9 dan
10 interaksi HWT dan suhu penyimpanan pada hari ke-9, 18 dan 21 memberikan
pengaruh nyata terhadap TPT karena P value ≤ 5%, sedangkan perlakuan HWT
tidak berpengaruh nyata terhadap TPT. Hal ini dikarenakan buah jambu biji
merupakan produk pertanian yang sulit dicari keseragamannya (Pradnyawati
2006).

16

Gambar 14 Perubahan nilai total padatan terlarut buah jambu biji pada suhu
penyimpanan (5oC, 10oC, suhu ruang (26-30oC)).
Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama
10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu
10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).
Peningkatan nilai total padatan terlarut selama penyimpanan buah jambu biji
dapat disebabkan selama penyimpanan, buah jambu biji mengalami pematangan
yang menyebabkan meningkatnya jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa
manis dan kenaikan zat-zat atsiri yang memberikan rasa khas pada buah menurut
(Pradnyawati 2006). Gula-gula yang terbentuk akan digunakan sebagai energi
untuk respirasi (Hidayati 2012). Menurut Apandi (1984) selama pematangan,
kandungan gula bertambah akibat adanya proses hidrolisa pati, zat pati
terhidrolisis seluruhnya menjadi sukrosa.
Total padatan terlarut yang berkaitan dengan tingkat kemanisan buah jambu
biji, memiliki hubungan erat dengan kekerasan dan warnanya. Buah jambu biji
yang berwarna kuning memiliki kekerasan rendah dan tingkat kemanisan (total
padatan terlarut) yang tinggi dibandingkan buah jambu yang berwarna hijau.
Dalam pemilihan buah jambu biji, parameter mutu yang pertama dilihat konsumen
adalah warna diketahui secara visual, lalu kekerasan dengan penekanan ringan
pada permukaan buah dan tingkat kemanisan dengan indera perasa. Berdasarkan
hal tersebut pada uji organoleptik diperoleh tingkat penerimaan panelis pada rasa,
warna kulit, kesegaran buah, jambu biji yang diberikan perlakuan H1, H2 pada T1,
T2 dapat diterima sampai hari ke-18 penyimpanan.
Perubahan warna kulit buah
Warna menurut Pratiwi (2014) merupakan perubahan nyata yang dapat
dilihat pada buah dan sering menjadi kriteria utama bagi konsumen untuk
menentukan apakah buah sudah masak atau belum. Untuk kebanyakan buah,
tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau.
Nilai L
Hasil pengamatan rata-rata memperlihatkan pola yang sama, yaitu terjadi
peningkatan nilai L pada hari ke-3 penyimpanan, lalu menurun pada akhir
penyimpanan baik jambu biji yang diberikan perlakuan HWT 49oC selama 20
menit, HWT 55oC selama 10 menit maupun tanpa perlakuan. Terjadinya
penurunan nilai L pada buah jambu biji dikarenakan setelah melewati fase
kematangan, warna kulit buah berubah dari cerah menjadi lebih kusam yang

17
menunjukkan buah jambu biji telah matang. Peningkatan nilai L tertinggi pada
hari ke-3 dicapai oleh jambu biji dengan perlakuan H3T3 sebesar 69.71.
Gambar 15 menunjukkan perbandingan perubahan nilai L buah jambu biji
selama penyimpanan pada suhu 5oC, 10oC dan suhu ruang. Berdasarkan hasil
pengamatan nilai L maksimum dicapai oleh jambu biji tanpa perlakuan HWT
pada suhu ruang yakni sebesar 70.98 hari ke-6 pengamatan, sedangkan untuk
jambu biji dengan perlakuan HWT 49oC selama 20 menit pada suhu 10oC dicapai
pada hari ke-9 sebesar 62.94. Hal ini menunjukkan perlakuan HWT 49oC selama
20 menit pada suhu 10oC lebih mampu menghambat proses pematangan diduga
akibat terserapnya etilen yang dihasilkan buah, sehingga perubahan tingkat
kecerahan warna kulit buah yang disebabkan oleh proses degradasi klorofil terjadi
lebih lambat dan nilai L maksimum yang dicapai lebih rendah dibandingkan
kedua perlakuan lainnya. Leon et al (2004) menambahkan bahwa berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan, perubahan warna berhubungan dengan
keberadaan etilen pada buah. Nilai L pada buah jambu biji yang disimpan pada
suhu ruang menunjukkan peningkatan yang lebih cepat dibandingkan dengan
jambu biji yang disimpan pada suhu rendah. Hal ini menujukkan bahwa suhu
berpengaruh terhadap perubahan tingkat kecerahan (nilai L) pada buah jambu biji.
Nilai L buah jambu biji terus mengalami peningkatan seiring dengan lama
penyimpanan dan semakin matangnya buah, serta berangsur menurun setelah
melewati fase kematangan. Artinya seiring dengan lamanya penyimpanan dan
semakin matangnya buah, warna kulitnya akan semakin cerah (Pratiwi 2014).
Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa faktor
interaksi antara HWT dan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap parameter mutu perubahan tingkat kecerahan warna (nilai L) kulit buah
jambu biji selama penyimpanan. Sedangkan untuk faktor suhu penyimpanan dan
HWT memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kecerahan warna
(nilai L) kulit buah jambu biji selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan HWT dan tanpa perlakuan HWT berbeda nyata.

(a)

18
Nilai a
Dari hasil pengamatan secara keseluruhan, di peroleh nilai a yang bergerak
dari negative ke positif. Berdasarkan acuan dari diagram Hunter Lampiran 19, hal
tersebut menunjukkan perubahan warna kulit jambu biji mulai dari hijau
kemudian berubah menjadi warna hijau kekuningan seiring dengan lamanya
penyimpanan dan semakin matangnya buah, hingga pada akhirnya berwarna
kuning kemerahan yaitu saat jambu biji sudah membusuk, artinya sudah melewati
fase kematangan. Pada Gambar 15 terlihat perubahan nlai a buah jambu biji pada
penyimpanan suhu ruang, 10oC dan 5oC dari bernilai negatif terus meningkat
menuju nilai positif seiring dengan lamanya penyimpanan dan semakin
matangnya buah lalu menurun menuju nilai negatif lagi. Sedangkan jambu biji
pada penyimpanan suhu 10oC bernilai negatif terus meningkat menuju nilai positif
seiring dengan lamanya penyimpanan dan semakin matangnya buah. Berubahnya
warna kulit buah jambu biji disebabkan adanya degradasi klorofil dengan sedikit
pembentukan karotenoid (Pratiwi 2014). Selama penyimpanan laju respirasi
berlangsung terus menerus sehingga terjadi degradasi klorofil dan akhirnya
terbentuk warna kuning dan kuning kemerahan. Menurut Winarni (2002), likopen
merupakan senyawa karotenoid yang memberikan warna merah pada beberapa
buah dan sayur seperti tomat, semangka dan jambu biji.

(b)
Laju peningkatan tercepat nilai a buah jambu biji pada penyimpanan suhu
10 C dicapai melalui perlakuan HWT 49oC selama 20 menit yaitu dari bernilai
-11.36 menjadi 0.78 dan laju peningkatan terlambat dicapai oleh perlakuan HWT
55oC selama 10 menit pada 5oC yaitu dari bernilai -11.31 menjadi -6.89. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan HWT 55oC selama 10 menit pada
5oC dengan semakin tingginya suhu HWT maka dapat menyerap sebagian etilen
yang dihasilkan buah, sehingga jambu biji masih dapat melakukan proses
metabolisme yang berjalan secara lambat.
o

Dari analisis ragam dan uji Duncan Lampiran 15 dan 16 menunjukkan
bahwa interaksi perlakuan HWT dengan suhu penyimpanan dan perlakuan HWT
tidak berbeda nyata terhadap nilai a selama penyimpanan, sedangkan perlakuan
suhu berbeda nyata terhadap nilai a karena P value ≤ 5% sehingga perlakuan suhu

19
penyimpanan memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan parameter
mutu nilai a pada kulit buah jambu biji selama penyimpanan.
Nilai b
Nilai b menyatakan tingkat kekuningan dimana nilai positif menyatakan
warna kuning dan nilai negatif menyatakan warna biru.
Pada Gambar 15 terlihat perubahan nilai b pada jambu biji selama
penyimpanan. Peningkatan nilai b tertinggi terjadi pada jambu biji tanpa
perlakuan HWT pada suhu 10oC sebesar 35.57, sedangkan nilai b terendah
terajadi pada jambu biji perlakuan HWT 55oC di suhu 5oC dan 10oC. Peningkatan
suhu simpan menyebabkan perubahan warna kulit buah lebih cepat.
Data pada suhu ruang (26-30oC) menunjukkan penurunan warna kuning
mulai tampak pada kulit buah sejak hari ke-3 penyimpanan. Perubahan warna
kulit buah jambu biji menjadi 100% kuning pada suhu ruang terjadi kurang dari 2
minggu umur simpan. Sama seperti pada perubahan nilai L dan nilai a buah jambu
biji selama penyimpanan.
Pada analisis ragam dan hasil uji lanjut Duncan Lampiran 17 serta 18
terlihat bahwa interaksinya tidak berpengaruh nyata. Sedangkan perlakuan HWT
dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai warna b selama masa
penyimpanan. Hal ini dikarenaka P value ≤ 5% sehingga perlakuan suhu
penyimpanan dan HWT memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan
parameter mutu nilai b pada kulit buah jambu biji selama penyimpanan.

(c)
Gambar 15 Perubahan warna kulit buah jambu biji pada suhu penyimpanan (5oC,
10oC, suhu ruang), (a) Kecerahan warna (nilai L), (b) perubahan nilai
a, (c) perubahan nilai b.
Keterangan: H1= HWT 49oC selama 20 menit, H2= HWT 55oC selama
10 menit, H3= Tanpa perlakuan HWT, T1= Suhu 5oC, T2= Suhu
10oC, T3= Suhu ruang (26-30oC).
Berdasarkan Lampiran 19 dapat diketahui bahwa tingkat warna kuning
buah jambu biji mengalami perubahan dari warna kuning (nilai b positif) menuju
warna biru (nilai b negatif) yang berarti buah jambu biji mengalami pematangan
menuju pembusukkan.

20
Uji Organoleptik
Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat bahwa tingkat kesukaan terhadap
warna kulit jambu biji memiliki skor tertingi pada perlakuan H1T1 yaitu sebesar
3.13 hari ke-18. Selama masa penyimpanan hingga hari ke-18 menunjukkan
bahwa jambu biji dengan jenis perlakuan HWT 49oC selama 20 menit dan HWT
55oC selama 10 menit yang disimpan pada suhu 10oC, 5oC dapat diterima oleh
konsumen dengan baik dibandingkan perlakuan HWT pada suhu ruang. Hal ini
dikarenakan buah jambu biji yang disimpan pada suhu ruang mengalami
transpirasi (pelayuan dan berkurangnya kesegaran produk), terdegradasinya
klorofil atau sedikit pembentukan karatenoid menyebabkan perubahan pada warna
kulit buah hijau menjadi kuning kecoklatan sehingga tidak dapat diterima panelis.
Berdasarkan analisis Kruskal-Wallis Lampiran 20 dapat dilihat bahwa pada hari
ke-3, 9 dan 18 terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kesukaan
warna kulit selama penyimpanan.

Gambar 16 Hubungan antara lama penyimpanan kesukaan t