Evaluasi Proses Penanganan dan Pemotongan Sapi saat Idul Adha 1433 H (Studi Kasus di Wilayah Bogor dan Sekitarnya)

EVALUASI PROSES PENANGANAN DAN PEMOTONGAN
SAPI SAAT IDUL ADHA 1433 H (STUDI KASUS DI
WILAYAH BOGOR DAN SEKITARNYA)

ABDUL AZIZ

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Proses
Penanganan dan Pemotongan Sapi saat Idul Adha 1433 H (Studi Kasus di
Wilayah Bogor dan Sekitarnya) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Abdul Aziz
NIM D14090130

ABSTRAK
ABDUL AZIZ. Evaluasi Proses Penanganan dan Pemotongan Sapi saat Idul Adha
1433 H (Studi Kasus di Wilayah Bogor dan Sekitarnya). Dibimbing oleh HENNY
NURAINI dan BRAMADA WINIAR PUTRA.
Pemotongan sapi saat Idul Adha melibatkan berbagai lapisan masyarakat,
sebagian besar dari mereka tidak mengetahui pelaksanaan pemotongan yang baik
dan benar. Penelitan ini dilakukan untuk mengetahui titik kritis proses
pemotongan sapi saat Idul Adha di daerah Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Evaluasi dilakukan berdasarkan pada
letak area pemotongan, sanitasi dan higiene, peralatan yang digunakan,
ketersediaan air bersih, dan tahapan proses pemotongan. Hasil pengamatan titik
kritis pada pemotongan hewan kurban yaitu : penyembelihan, pengulitan,

pengeluaran jeroan, pemisahan daging dan tulang, pengemasan dan distribusi.
Kata kunci: higiene, resiko, pemotongan, sanitasi

ABSTRACT
ABDUL AZIZ. Evaluation in Process of Handling and Slaughtering Bulls during
Idul Adha 1433H (Case Study in Bogor and Surrounding Areas). Guided by
HENNY NURAINI and BRAMADA WINIAR PUTRA.
Cattle slaughter at Idul Adha was done voluntarily by citizen, most of them
do not know the procedures of slaughtering. This research was conducted to
identify critical point in cattle slaughter at Idul Adha in Bogor, Bekasi and
Tangerang. This research used descriptive analiysis. Evaluation based on layout
of slaughter area, sanitation and hygiene, personal hygiene, facility and slaughter
process. Observation indicated that the critical point of slaughter process were
slaughter process, skinning, eviceration, deboning, packaging and distribution.
Key words : hygiene, risk, sanitation, slaughtering

EVALUASI PROSES PENANGANAN DAN PEMOTONGAN
SAPI SAAT IDUL ADHA 1433 H (STUDI KASUS DI
WILAYAH BOGOR DAN SEKITARNYA)


ABDUL AZIZ

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Evaluasi Proses Penanganan dan Pemotongan Sapi saat Idul Adha
1433 H (Studi Kasus di Wilayah Bogor dan Sekitarnya)
Nama
: Abdul Aziz
NIM
: D14090130


Disetujui oleh

Dr Ir Henny Nuraini, MSi
Pembimbing I

Bramada Winiar Putra, SPt MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Muladno, MSA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Evaluasi Proses Penanganan dan Pemotongan Sapi saat Idul Adha
1433 H (Studi Kasus di Wilayah Bogor dan Sekitamya)
Abdul Aziz .
.

Nama
D14090130
NIM

Disetujui oleh

Dr Ir Henn . Nuraini. MSi
Pembimbing I

Ti1nggaJ Lulus:

-0 5

1. .'

セ@ 2014

Bramada
iar Putra SPt MSi
Pe bimbing II


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah
ini berjudul Evaluasi Proses Penanganan dan Pemotongan Sapi saat Idul Adha
1433H (Studi Kasus di Wilayah Bogor dan Sekitarnya).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Henny Nuraini MSi, Bapak
Bramada Winiar Putra SPt MSi selaku pembimbing, serta Bapak Edit Lessa
Aditya SPt MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada teman-teman Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan IPB angkatan 2009 yang telah memberi banyak bantuan dan
saran dalam penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih disampaikan
kepada orang tua beserta keluarga atas segala doanya. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Abdul Aziz

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Materi Penelitian
Prosedur
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Pemotongan
Pelaksanaan Proses Pemotongan
Evaluasi Proses Pemotongan
Evaluasi Pelaksanaan Good Slaughtering Practices (GSP)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN

vii
vii
vii
vi
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
5
8
10

17
17
17
18
23
20

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Hasil pengamatan proses pemotongan
Kesesuain dan persentase proses pelaksanaan GSP
Rangking lokasi pemotongan
Persentase proses yang sesuai dengan GSP di semua lokasi
Evaluasi pelaksanaan GSP pada proses pemotongan


4
8
8
9
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Form kuisioner
Area pengistirahatan
Proses penyembelihan

Proses pengulitan
Proses pengeluaran jeroan
Pembelahan karkas
Proses pemisahan tulang
Proses penimbangan
Pengemasan

20
21
21
22
22
22
22
23
23

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan yang aman, bermutu, bergizi, dan tersedia cukup merupakan
persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu
sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kesehatan, serta berperan
dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pangan asal
hewan seperti daging, susu dan telur serta hasil olahannya umumnya bersifat
mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik,
kimiawi dan fisik, yang dikenal sebagai Potentially Hazardous Foods (PHF)
(Ditjen Peternakan 2007).
Pemotongan sapi saat Idul Adha adalah ibadah rutin yang dilakukan umat
muslim setiap tahunnya. Pemotongan dilakukan di seluruh daerah yang
masyarakatnya beragama islam. Warga di sekitar lokasi akan berpartisipasi dalam
proses pemotongan, tetapi pemahaman dan pengetahuan tentang proses
pemotongan yang baik dan benar tidak semuanya diketahui oleh warga.
Pengetahuan yang sedikit dapat menyebabkan terjadinya penanganan yang kurang
baik sebelum ataupun sesudah pemotongan, penanganan yang kurang baik ini
dapat menyebabkan resiko terjadinya pencemaran pada daging yang dihasilkan.
Warga yang berpartisipasi juga sebagian besar tidak mengetahui pentingnya
sanitasi dan higiene saat berlangsungnya proses pemotongan.
Daging yang dihasilkan dari proses pemotongan Idul Adha ini akan
dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Proses pemotongan yang
tidak sesuai dengan prinsip ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal) akan
memberikan resiko tinggi terhadap penerima daging sehingga perlu adanya
pemahaman mengenai proses pemotongan yang baik kepada masyarakat.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik kritis proses pemotongan
sapi pada saat Idul Adha di wilayah Bogor dan sekitarnya berdasarkan pedoman
Good Slughtering Practices (GSP) sehingga memenuhi kriteria ASUH (aman,
sehat, utuh, dan halal).

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah melakukan evaluasi mengenai
pemotongan sapi saat Idul Adha 1433H yang dilakukan di beberapa tempat
pemotongan di Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

2

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012 yang bertempat di area
masjid atau lokasi tersebut di atas. Penelitian studi kasus ini dilaksanakan di 5
lokasi pemotongan di Bogor, 1 lokasi di Tangerang, dan 1 lokasi di Bekasi.
Materi Penelitian
Sapi yang digunakan sebagai penelitian yaitu sapi PO (Peranakan Ongol),
sapi Simental, dan sapi silangan yang berjumlah 35 ekor. Terdiri dari 7 ekor sapi
di Leuwiliang (sapi PO dan sapi Simental), 2 ekor sapi di Cibanteng (sapi PO dan
Kerbau), 2 ekor sapi di Bubulak (sapi Brahman), 3 ekor sapi di Jalan Baru (sapi
PO), 9 ekor di Tangerang (sapi PO), 3 ekor di Ciampea (sapi Brahman Cross) dan
9 ekor di Bekasi (sapi Bali dan sapi PO). Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu kamera untuk keperluan dokumentasi dan form kuisioner
untuk melakukan penilaian.

Prosedur
Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus melalui pengumpulan data
yang terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan
pengamatan proses pemotongan di MT Farm dan di Cibanteng. Data sekunder
diperoleh dari dokumentasi gambar serta laporan pengamatan mahasiswa Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB angkatan 2009
mengenai proses pemotongan sapi di Bogor (5 lokasi), Bekasi (1 lokasi), dan
Tangerang (1 lokasi).
Proses yang dievaluasi dimulai sebelum ternak dipotong dengan meneliti
penanganan ternak selama pengistirahatan sampai perlakuan yang dilakukan
sebelum sapi tersebut dipotong. Tahap selanjutnya yang dievaluasi adalah
meliputi proses pemotongan dan proses distribusi daging. Aspek-aspek tersebut
dievaluasi berdasarkan Good Slaughtering Practices (GSP).

Rancangan Percobaan
Pemilihan tempat pemotongan dilakukan secara Random Sampling serta
berdasarkan jumlah sapi yang berada di tempat pemotongan minimal berjumlah 2
ekor dan lokasi yang dekat dengan tempat tinggal saat adanya tugas studi kasus
pemotongan Idul Adha. Syarat berjumlah minimal 2 ekor bertujuan jika ada salah
satu proses pada saat pemotongan yang terlewat maka masih bisa diamati pada
sapi yang lain.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diolah dengan analisis
deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan keadaan umum di lokasi
dan objek penelitian secara lengkap (Nazir 2005). Analisis ini meliputi gambaran

3
kondisi umum lokasi pemotongan. Deskripsi proses pemotongan dilakukan
dengan mengevaluasi tiap tahapan proses pemotongan yang berdasarkan pada
GSP meliputi pengistirahatan, pemotongan, pengulitan, evicerasi, pembelahan
karkas, dan pemotongan pembagian daging.
Peubah yang Diamati
Evaluasi proses pemotongan sapi membandingkan proses pemotongan sapi
di tempat penelitian dengan proses pemotongan berdasarkan SNI. Evaluasi proses
pemotongan meliputi:
1) Sarana dan Prasana di Lokasi Pemotongan. Sarana yang diamati meliputi
lokasi, lahan, ketersediaan air, alat yang digunakan oleh pemotong.
2) Proses Pemotongan. Evaluasi penerapan GSP diidentifikasi dengan
menggunakan kuisioner penilaian yang mencakup parameter penilaian
pelaksanaan GSP di TPH. Indikator penilaian terdiri atas 2 pilihan yaitu
pilhan “ya” dan “tidak”. Penilaian “ya” digunakan untuk setiap peubah yang
terlaksana sesuai prosedur, sedangkan penilaian “tidak” untuk peubah yang
belum atau tidak terlaksana sesuai prosedur. Penilaian GSP mengacu pada
Peraturan Menteri Pertanian 2010 tentang syarat dan tata cara penyembelihan
ternak serta penanganan daging.
3) Distribusi. Distribusi ikut diamati karena dalam proses ini juga sangat
memungkinkan terjadinya cemaran pada daging. Aspek yang diamati pada
proses distribusi meliputi alat yang digunakan pada proses distribusi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Pemotongan
Pemotongan hewan qurban di lokasi pengamatan dilakukan di sekitar
halaman masjid (Cibanteng, Tangerang, Bekasi), di kebun (Leuwiliang, Kota
Bogor, dan Bubulak) dan di samping kandang penampungan (Ciampea).
Pemotongan dilakukan dengan cara tradisional, belum ada pembagian tempat
secara khusus untuk tiap tahapan proses pemotongan sehingga rata-rata lokasi
pemotongan, pengulitan hingga pembagian karkas menjadi potongan daging kecil
dilakukan di tempat yang berdekatan. Lokasi pemotongan di Tangerang memiliki
tempat penampungan darah saat penyembelihan, sedangkan di Bekasi dan Kota
Bogor hanya memiliki tempat penampungan pembuangan isi jeroan.
Qurban adalah suatu aktifitas penyembelihan ternak sapi, kambing, domba,
atau unta yang dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah atau yang disebut juga Idul
Adha dan pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah atau disebut juga hari tasyrik
dengan niat beribadah kepada Allah SWT (Sabiq 2008). Pelaksanaan pemotongan
qurban melibatkan berbagai elemen masyarakat yang ikut berpartisipasi dari
proses penyembelihan sampai pendistribusian.
Hasil pengamatan proses penyembelihan dan penanganan daging qurban
yang dilakukan oleh warga di daerah Bogor, Tangerang, dan Bekasi dapat dilihat
pada Tabel 1 dibawah ini.

4
Tabel 1 Hasil pengamatan proses pemotongan
Lokasi
Tahapan Proses
L

Ci

Ca

KB

Bu

Ta

Be

Pengistirahatan
Pemuasaan
Pemeriksaan Antemortem
Penyembelihan
Area Penyembelihan
Pengulitan
Proses Evicerasi



-









Area Evicerasi

-

-

-

Pemeriksaan Postmortem
Wadah Jeroan
Pembersihan Jeroan
Pembelahan Karkas
Pemisahan Tulang
Penimbangan
Pengemasan
Distribusi
Sanitasi dan Higiene Alat
Sanitasi dan Higiene personal

-


-

-





-








-








-






-

Keterangan : (√) Dilakukan sesuai GSP, (-) Tidak dilakukan sesuai GSP. L (Leuwiliang), Ci
(Cibanteng), Ca (Ciampea), KB (Kota Bogor), Bu (Bubulak), Ta (Tangerang), Be
(Bekasi).

Berdasarkan SNI 01-6159-1999, bangunan utama RPH terdiri atas daerah
kotor dan daerah bersih, daerah kotor merupakan tempat pemingsanan, tempat
pengeluaran darah, tempat penyelesaian proses penyembelihan, ruang untuk
jeroan, ruang untuk kulit serta tempat pemeriksaan postmortem. Daerah bersih
merupakan tempat pembagian karkas dan tempat pengeluaran karkas.
Letak yang berdekatan dengan pemukiman padat penduduk dan belum
adanya tempat pembuangan limbah yang memadai untuk seluruh kegiatan
pemotongan ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan ataupun
ke manusia, limbah hasil pemotongan dapat menyebabkan bau dan jika tidak
ditangani dengan benar. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 13/
Permentan / OT.140/ 1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia
dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan persyaratan
teknis RPH, (a) Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau
pencemaran lingkungan serta mudah dicapai oleh kendaraan, (b) Komplek RPH
harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan keamanan (c)
Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding dan
lantai kedap air, ventilasi yang cukup (d) Mempunyai perlengkapan yang
memadai (e) Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat
veteriner.

5
Pelaksanaan Proses Pemotongan
Pengistirahatan dan Pemuasaan
Hewan qurban yang terdapat pada 7 lokasi pengamatan sebelum disembelih
telah diisitirahatkan terlebih dahulu, hewan tersebut didatangkan ke lokasi
maksimal 1 hari sebelum penyembelihan. Pengistirahan ternak ini bertujuan agar
ternak tidak mengalami stress, darah dapat keluar secara maksimal dan cukup
tersedia energi agar proses rigormortis dapat berlangsung secara sempurna
(Soeparno 2005). Kualitas daging yang dihasilkan dalam proses pemotongan
sangat bergantung dengan keadaan fisiologis akibat perlakuan yang diterima
hewan sebelum proses penyembelihan, hewan yang banyak mengalami stres dan
banyak berontak akibat perlakuan baik selama transportasi ataupun selama
pengistirahatan akan menghasilkan daging dengan kualitas yang rendah (Lawrie
2003).
Ternak yang dipuasakan sebelum disembelih hanya dilakukan oleh pihak
Kota Bekasi (Tabel 1) . Pemuasaan ternak sebelum disembelih ini bertujuan untuk
mengosongkan atau membersihkan saluran pencernaan sehingga akan
memudahkan pada proses pengeluaran jeroan. Pemuasaan yang dilakukan oleh
pihak Kota Bekasi tidak sepenuhnya berjalan sempurna karena warga yang datang
untuk melihat hewan tersebut kadang memberi makan rumput atau daun yang ada
disekitar halaman. Selain itu, ternak yang dipuasakan sekurang-kurangnya 6 jam
sebelum penyembelihan dapat mencegah terjadinya pencemaran makanan yang
disebabkan adanya perpindahan kuman-kuman dari usus ke dalam daging
sehingga dapat mempercepat proses pembusukan (Nugroho 2004).
Pengistirahatan ternak tanpa dipuasakan sebenarnya mempunyai manfaat
lain seperti pada waktu disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin karena
ternak lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang
dikeluarkan lebih sempurna (Soeparno 2005).
Pemeriksaan Antemortem dan Penyembelihan
Pemeriksaan antemortem hanya dilakukan di Bubulak, dan Tangerang
(seperti dapat dilihat pada Tabel 1). Pemeriksaan dilakukan oleh dokter hewan di
Bubulak, sedangkan di Tangerang dilakukan oleh Pemda Tangerang. Pemeriksaan
antemortem seharusnya dilakukan sebelum sapi disembelih, pemeriksaan ini
bertujuan untuk memastikan sapi tersebut bebas dari penyakit, cukup umur dan
layak untuk dikonsumsi dagingnya (Manual Kesmavet 1993).
Ternak sebelum disembelih harus direbahkan supaya mempermudah saat
proses penyembelihan. Perebahan yang dilakukan secara paksa dengan mengikat
bagian leher, kaki depan dan belakang dibagian kiri kemudian ditarik secara paksa
sehingga sapi jatuh membentur lantai. Sapi yang disembelih dihadapkan kearah
kiblat serta dibacakan Basmallah sebelum leher disayat dengan pisau tajam,
penyembelihan dilakukan dengan memotong urat-urat yang terdapat dibagian
leher. Santoso (2011) mengatakan bahwa hewan yang disembelih pada qurban
harus dirobohkan pada bagiann kiri dan menghadap kiblat, membaca basmallah
saat menyembelih, dan memotong empat saluran dilehernya, (a) saluran nafas
(trakea/hulqum), (b) saluran makanan (esofagus/mar’i), (c) dua pembuluh darah
(vena jugularis dan Arteri carottis ). Menurut LPPOM-MUI (2012), bahwa
ketentuan yang harus dipenuhi dalam pemotongan ternak halal antara lain

6
penyembelih beragama Islam, berakal dan berbadan sehat, alat yang digunakan
harus tajam, serta menyebut nama Allah saat menyembelih.
Sapi di Ciampea sebelum disembelih disiram terlebih dahulu, pegawai yang
bekerja menyatakan penyiraman ini dilakukan agar sapi tenang dan bersih.
Menurut Zulfanita (2008), ternak yang disiram dengan air dingin sebelum
disembelih supaya ternak menjadi lebih bersih sehingga kebersihan karkas lebih
terjamin, dan terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi), sehingga darah di bagian
tepi tubuh menuju bagian tengah tubuh pada waktu disembelih darah dapat keluar
sebanyak mungkin.
Proses Pengulitan
Proses pengulitan dilakukan di atas tanah di semua lokasi tanpa adanya alas
khusus, pengulitan dilakukan setelah memotong bagian kepala, kaki, dan ekor.
Tahap ini harus diperhatikan karena semua lokasi tidak melakukan tahap ini
sesuai dengan GSP padahal pengulitan menurut Bolton (2001) merupakan salah
satu titik kritis pada proses pemotongan.
Pengulitan dilakukan dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang
garis tengah dada dan bagian perut. Irisan tersebut dilanjutkan sepanjang
permukaan kaki dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh.
Menurut Soeparno (2005) pengulitan dapat dilakukan dengan kondisi digantung
dan diletakkan di lantai. Lantai yang dimaksud adalah lantai dengan santasi yang
bersih dan steril.
Proses Eviserasi
Proses ini dilakukan di tempat yang sama dengan alas kulit sapi tersebut,
pengeluaran jeroan dilakukan. Eviserasi dilakukan dengan menyayat bagian
tengah abdominal dan kemudian membelah bagian tulang dada sapi.
Kesalahan proses pengeluaran jeroan terjadi di Leuwiliang dan Bubulak
menyebabkan keluarnya cairan jeroan didalam tubuh sapi, isi jeroan yang
mengandung mikroba ini dapat menyebabkan kontaminasi karkas yang dihasilkan.
Jeroan yang dikeluarkan tidak langsung ditangani, tetapi diletakkan diatas tanah
tanpa alas atau tempat khusus.
Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan postmortem hanya dilakukan oleh pihak di lokasi Bubulak
(Tabel 1), jeroan ditempatkan langsung dalam keranjang khusus dan dilakukan
pemeriksaan oleh dokter hewan yang bertugas. Lokasi lainnya tidak ada yang
melakukan pemeriksaan postmortem.
Proses pemerikasaan postmortem yang dilakukan di Cifor (Bubulak) telah
sesuai dengan ketentuan pemotongan hewan. Berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 13/ Permentan / OT.140/ 1/2010 tentang persyaratan rumah
potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah
ditetapkan untuk melakukan pemeriksaan postmortem oleh dokter hewan atau
petugas yang berwenang.
Pembersihan Jeroan
Pembersihan jeroan dilakukan tidak jauh dari area pemotongan dengan
menggunakan air kran terdapat di Bubulak, Cibanteng, Kota Bogor, dan

7
Tangerang. Area pemotongan di Bekasi mempunyai tempat pembuangan isi
jeroan yang lebih baik dengan adanya kolam penampungan (Tabel 1).
Pembersihan jeroan dengan air sungai dilakukan di Leuwiliang dengan jarak
3 km dari tempat penyembelihan, sedangkan di Ciampea melakukan pembersihan
isi jeroan dengan air selokan yang mengalir disekitar lokasi penyembelihan.
Jeroan kemudian diletakkan di lantai semen yang banyak terdapat belatung,
belatung tersebut ada yang menempel pada jeroan.
Pembelahan Karkas
Karkas kemudian dibelah menjadi empat bagian, pembelahan karkas juga
dilakukan ditempat yang sama saat pengulitan, tidak ada alas khusus atau tempat
penggantungan pada proses ini. Pembelahan dilakukan dengan kampak atau
golok, panitia di Tangerang melakukan pembelahan karkas menggunakan gergaji
mesin yang dioperasikan oleh satu orang.
Darah masih banyak terdapat pada saat karkas dibelah karena setelah
pemotongan sapi tidak digantung sehingga darah tidak keluar dengan sempurna.
Banyaknya kandungan darah dalam karkas menunjukkan adanya proses yang
tidak tepat pada pemotongan.
Deboning dan Penimbangan
Tempat deboning ini terletak tidak jauh dari lokasi penyembelihan, alas
yang dipakai hanya menggunakan terpal. Terpal tersebut tidak dibersihkan dan
diterilkan terlebih dahulu, orang yang bertugas dibagian deboning juga tidak
melakukan sterilisasi alat bahkan mereka keluar masuk tempat deboning dengan
menginjak terpal tempat daging tersebut tanpa melakukan pencucian. Beberapa
pegawai disemua lokasi juga didapati ada yang melakukan proses ini sambil
merokok. Talenan yang digunakan adalah bongkahan kayu yang tidak dibersihkan
dengan benar dan beberapa ada yang sudah kotor dan lapuk.
Proses penimbangan dan pembungkusan cukup baik dilakukan di lokasi
Bubulak dengan memisahkan jeroan dan daging dalam plastik yang terpisah
sehingga dapat meminimalisasi kontaminasi. Pembungkusan yang dilakukan di
Tangerang cukup baik karena jeroan tidak dibagikan ke masyrarakat. Jeroan
merupakan bagian dari tubuh ternak yang dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi karena di dalam jeroan terdapat bakteri yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia jika tidak ditangani dengan benar.
Distribusi
Daging yang sudah dibungkus kemudian dibagikan ke masyarakat yang
terletak disekitar masjid, proses distribusi dilakukan dengan kendaraan, gerobak
dan diangkut dengan plastik atau keranjang tanpa menggunakan pendingin. Suhu
ini merupakan kondisi optimal bakteri untuk berkembangbiak. Menurut Endang
(2009) bila transportasi dilakukan dengan tidak layak akan mengakibatkan jumlah
total mikroba yang tinggi pada daging dan kuman-kuman yang memang secara
normal ada dalam tubuh hewan akan makin subur.
Penanganan distribusi secara tradisional tanpa menggunakan cool box
mengakibatkan pertumbuhan bakteri meningkat secara drastis dan melebihi
ambang batas, selain itu kontak daging dengan tangan juga berpengaruh terhadap
peningkatan jumlah bakteri dalam daging (Sa’idah et al. 2011).

8
Evaluasi Proses Pemotongan
Berdasarkan tabel hasil pengamatan proses pemotongan, maka dapat dibuat
tabel kesesuain pelaksanaan dan persentase di lokasi. Kesesuaian pelaksanaan dan
persentase proses pelaksanaan pemotongan di lokasi pengamatan berdasarkan
acuan proses pelaksanaan pemotongan menurut GSP dapat dilihat pada Tabel 2
dibawah ini.
Tabel 2 Kesesuain dan persentase proses pelaksanaan GSP
Kesesuaian
Jumlah proses
yang sesuai
GSP
Jumlah proses
yang tidak sesuai GSP
Persentase pro
ses yang sesuai
GSP (%)
Persentase pro
ses yang tidak
sesuai GSP (%)

L
2

Ci
4

Ca
3

Lokasi
KB
4

Bu
7

Ta
7

Be
5

16

14

15

14

11

11

15

11.11

22.22

16.67

22.22

38.89

38.89

27.78

88.89

77.78

83.33

77.78

61.11

61.11

72.22

Keterangan : L (Leuwiliang), Ci (Cibanteng), Ca (Ciampea), KB (Kota Bogor), Bu (Bubulak), Ta
(Tangerang), Be (Bekasi).

Berdasarkan kesesuain pelaksanaan proses pemotongan di area dengan
proses GSP terhadap tahapan prosesnya. Rangking lokasi pemotongan dapat
dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3 Rangking lokasi pemotongan
Rangking
1
2
3
4
5
6
7

Lokasi
Tangerang
Bubulak
Bekasi
Kota Bogor
Cibanteng
Ciampea
Leuwiliang

Persentase proses
yang sesuai GSP(%)
38.89
38.89
27.78
22.22
22.22
16.67
11.11

Tahapan proses pemotongan di lokasi penilitian dapat dibuat persentase
untuk mengetahui jumlah lokasi yang sudah melakukan sesuai standar. Persentase

9
tiap tahapan proses pemotongan yang dilakukan sesuai GSP pada semua lokasi
pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Persentase proses yang sesuai dengan
GSP di semua lokasi
Tahapan Proses
Pengistirahatan
Pemuasaan
Pemeriksaan Antemortem
Penyembelihan
Area Penyembelihan
Pengulitan
Proses Evicerasi
Area Evicerasi
Pemeriksaan Postmortem
Wadah Jeroan
Pembersihan Jeroan
Pembelahan Karkas
Pemisahan Tulang
Penimbangan
Pengemasan
Distribusi
Sanitasi dan Higiene Alat
Sanitasi dan Higiene personal

Persentase ke 7
lokasi dalam
(%)
100.00
14.28
28.57
100.00
14.28
0.00
71.43
0.00
14.28
14.28
71.43
0.00
0.00
0.00
28.57
0.00
0.00
0.00

Berdasarkan Tabel 2, seluruh lokasi pemotongan masih belum melakukan
pemotongan dengan benar. Dari 18 tahap pemotongan, paling tinggi hanya 7 tahap
yang dilakukan sesuai GSP, lokasi yang melakukan pemotongan cukup baik
didapati pada daerah Bubulak dan Tangerang dengan presentasi proses yang
sesuai GSP sebesar 38.89%. Tangerang menempati peringkat pertama (Tabel 3)
dikarenakan melakukan 1 dari 4 titik kritis pemotongan dengan benar yaitu
evicerasi. Menurut Bolton (2001) terdapat 4 titik kritis pemotongan yaitu
pelepasan kulit, evicerasi, pemisahan tulang, dan pendinginan. Sedangkan di
Bubulak pada saat proses evicerasi ada jeroan yang robek. Lokasi yang
memerlukan perhatian cukup penting didapati pada daerah Leuwiliang, pada
daerah ini proses pemotongan yang sesuai dengan GSP hanya sebesar 11.11% saja
atau hanya 2 tahapan dari 18 tahap yang diamati. Lokasi lainnya berturut-turut
adalah Bekasi 27.78%, Cibanteng 22.22%, Kota Bogor 22.22%, Ciampea 16.67%
yang sesuai dengan GSP.
Persentase proses pemotongan yang rendah dan tidak dilakukan dengan
benar disemua lokasi terdapat pada tahap pengulitan, area evicerasi, pembelahan
karkas, pembersihan tulang, penimbangan, distribusi, sanitasi dan higiene
personal dan alat mendapat skor 0%. Padahal pada tahap pengulitan dan
pemisahan tulang merupakan salah satu titik kritis pada proses pemotongan,
pengetahuan masyarakat tentang proses pemotongan yang benar bisa menjadi

10
penyebab rendahnya skor yang didapat pada 7 tahap tersebut. Pada tahap
pengistirahatan dan penyembelihan masing-masing wilayah sudah melakukan
semuanya dengan benar. Pelaksanaan penyembelihan di semua lokasi telah sesuai
dengan GSP, namun untuk area penyembelihan masih perlu diperhatikan karena
hanya lokasi di Tangerang yang mempunyai tempat pembuangan darah (lihat
Tabel 4). Proses pengeluaran jeroan sudah cukup bagus untuk semua lokasi
namun untuk area evicerasi masih sangat tidak sesuai dengan standar yang
ditetapkan GSP.

Evaluasi Pelaksanaan Good Slaughtering Practices (GSP)
Penerapan Good Slaughtering Practices pada proses pemotongan sapi dapat
meminimalkan resiko terjadinga penyimpangan pada daging yang dihasilkan,
selain itu kualitas daging yang dihasilkan juga akan bermutu baik sesuai dengan
yang diharapkan. Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik
di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk
menjamin keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai
pangan (CAC 2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan
ternak yang baik yaitu: (1) ternak tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak
mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan
sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan
harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland
1984).
Berdasarkan pelaksanaan proses pemotongan di lokasi dan penyesuaian
dengan standar Good Slaughtering Practices maka dapat dibuat tabel evaluasi
untuk mengetahui tahapan proses yang perlu diperbaiki. Evaluasi pelaksanaan
Good Slaughtering Practices (GSP) yang dilakukan di tujuh lokasi pengamatan
proses pemotongan dan penanganan hewan qurban dapat dilihat pada Tabel 5
dibawah ini.

1

11

11

Tabel 5 Evaluasi pelaksanaan GSP pada proses pemotongan
No.

Aspek GSP

Proses yang sesuai GSP

Keadaan di lapang

Rekomendasi/Saran

● Terletak di dekat pemukiman
penduduk (halaman masjid)
● Tidak semua lokasi terdapat
tempat khusus untuk limbah
padat dan cair, di masjid Almujahidin terdapat tempat
khusus untuk menyembelih, di
masjid Al-Hijrah dan Bina
Insani terdapat tempat khusus
pembersihan isi jeroan
● Tidak ada pembagian daerah
kotor dan daerah bersih
● Bangunan berupa tenda atau
fasilitas masjid dan merupakan
daerah terbuka

● Sebaiknya lokasi pemotongan
terletak jauh dari pemukiman
● Tempat untuk limbah padat
dan cair sebaiknya dibuat
secara khusus agar tidak
mencemari lingkungan

● Tidak ada perlengkapan khusus,
hanya beberapa orang saja yang
memakai apron dan sepatu boot

● Sebaiknya disediakan seragam
minimal yang harus digunakan
di lokasi pemotongan

1.

Area dan
lingkungan
tempat
pemotongan

● Terletak jauh dari
pemukiman penduduk
● Saluran (tempat) limbah
padat dan cair dibuat
terpisah

2.

Bangunan

3.

Personal higiene

● Bangunan terdiri dari
daerah kotor: tempat
penyelesaian
penyembelihan, tempat
jeroan, tempat kaki dan
kepala, tempat untuk kulit,
dan tempat untuk
pemeriksaan postmortem
daerah bersih: tempat
pemba gian karkas, tempat
keluar
● Perlengkapan standar
meliputi apron plastik,
penutup kepala, penutup
hidung dan sepatu boot

● Agar penerapan GSP lebih
efektif diperlukan perbaikan
tata letak ruang agar
meminimalisasi kontaminasi
silang
● Tempat pemotongan dan pem
bagian daging dibuat dengan
pemisah yang jelas

1
12

12

● Setiap warga yang berparti
sipasi harus dalam
keadaan sehat
● Setiap warga yang berparti
sipasi harus mendapat
pelatihan
berkesinambungan menge
nai higiene dan mutu
● Seluruh perlengkapan
harus terbuat dari bahan
yang tidak mudah korosif,
mudah diber sihkan,
didisinfeksi serta mudah
dirawat
● Disediakan alat untuk
peng gantung karkas

4.

Peralatan

5.

Pengistirahatan

● Diistirahatkan minimal 12
jam sebelum dilakukan
pemotongan

6.

Pemuasaan

7.

Pemeriksaan

● Ternak dipuasakan be
berapa jam sebelum
dipotong
● Pemeriksaan antemor tem

● Tidak ada pemeriksaan keseha
tan pada warga yang
berpartisipasi
● Tidak adanya pelatihan menge
nai pemotongan yang baik dan
benar yang dilakukan secara ter
program dan berkesinambungan
kepada warga atau panitia
● Perlengkapan yang digunakan
terbuat dari besi yang mudah ber
karat
● Perlengakapan yang digunakan
ada yang dicuci dan ada yang
tidak dicuci, pencucian tidak
disertai disinfektasi
● Pisau yang digunakan untuk
seluruh kegiatan rata-rata mema
kai pisau yang sama
● Tidak dilengkapi alat penggan
tung karkas
● Ternak diistirahatkan di area
tempat pemotongan
● Ternak didatangkan maksimal 1
hari sebelum dipotong
● Hanya di Bekasi yang
melakukan pemuasaan

● Sebaiknya panitia menghimbau
warga yang sedang tidak sehat
untuk tidak berpartisipasi
● Perlu dilakukannya pelatihan
dan penyuluhan tentang
pemoto ngan yang baik dan
benar agar daging kurban
aman, sehat, utuh, dan halal
● Setiap selesai satu proses se
baiknya alat dibersihkan
dengan desinfektan dan
dikeringkan sehingga dapat
menghambat terja dinya karat
serta mencegah terja dinya
kontaminasi silang akibat
penggunaan alat yang sama
● Seharusna disediakan alat peng
gantung karkas agar darah
keluar secara sempurna

● Pemeriksaan antemortem

● Pemeriksaan seharusnya dilaku

13

antemortem

8.

Penyembelihan






dilakukan oleh dokter
hewan atau petugas berwe
nang maksimal 24 jam
sebe lum pemotongan
Perebahan ternak
dilakukan dengan
memperhatikan ke
sejahteraan ternak agar ter
nak tidak stres
Penyembelihan dilakukan
dengan memperhatikan ke
halalan daging
Dilakukan penggantungan
agar darah keluar
sempurna
Dilakukan dengan
penggantungan ataupun
tidak, jika dilakukan di
lantai digunakan alas
khusus (cradle)
Dilakukan di area kotor
Dilakukan dengan hatihati agar tidak ada yang
robek

9.

Pengulitan



10.

Eviserasi




11.

Wadah jeroan

● Dimasukkan kedalam

dilakukan di Tangerang dan di
Bubulak
● Perebahan ternak dilakukan
secara konvensional dankurang
memperhatikan kesejahteraan
ternak
● Penyembelihan dilakukan sesuai
syariat Islam
● Tidak dilakukan penggantu ngan
setelah dipotong

kan disemua lokasi
pemotongan oleh dokter
hewan atau petugas yang
berwenang
● Penjatuhan ternak sebaiknya di
lakukan dengan
memperhatikan kesejahteraan
ternak dengan me minimalkan
stres
● Sebaiknya dilakukan penggan
tungan agar darah keluar
dengan sempurna

● Pengulitan dilakukan di lantai
dan tidak digantung

● Pengulitan sebaiknya
dilakukan saat digantung agar
tidak terjadi kontaminasi
dengan daging

● Dilakukan di tempat yang sama
dengan pengulitan dan
pembelahan karkas
● Jeroan ada yang robek di masjid
Leuwiliang dan di Bubulak

● Pengeluaran isi jeroan seharus
nya dilakukan di tempat yang
ber beda dengan proses
pemotongan karkas
● Dilakukan dengan sangat hatihati agar jeroan tidak ada yang
robek
● Jeroan sebaiknya diletakkan

● Jeroan diletakkan di lantai tanpa

1
14

14

keranjang (tempat bersih)

alas, hanya Bubulak yang
meletak kan jeroan di keranjang
● Pemeriksaan postmortem hanya
dilakukan di Bubulak

12.

Pemeriksaan
postmortem

13.

Pembersihan
Jeroan

● Dilakukan oleh Dokter He
wan atau petugas
berwenang
● Jeroan dibersihkan dengan
air bersih

14.

Pembelahan
karkas

● Dilakukan saat digantung
● Dilakukan di area bersih

15.

Pemisahan tulang

● Dilakukan di area bersih

● Jeroan dibersihkan dengan air
sumur (Bubulak, Kota Bogor,
Bekasi, Cibanteng, dan
Tangerang)
● Dibersihkan dengan air selo kan
di Ciampea
● Dibersihkan dengan air sungai
di masjid Leuwiliang
● Tidak digantung
● Dilakukan di tempat yang sama
saat pengulitan dan evicerasi

● Dilakukan di atas terpal atau
lantai dengan jarak yang tidak
be gitu jauh dari lokasi
pemotongan
● Tidak begitu jelas adanya pem
bagian daerah kotor dan bersih

dikeranjang, jika ada yang
robek tidak mencemari lantai
tempat pemotongan
● Sebaiknya dilakukan pemerik
saan oleh dokter hewan atau pe
tugas yang berwenang
● Sebaiknya ada tempat khusus
untuk isi jeroan dan
dibersihkan dengan air yang
sesuai dengan standar baku
untuk pemotongan

● Sebaiknya pembelahan karkas
dilakukan saat digantung agar
tidak terjadi kontak dengan
lantai yang kotor
● Pembelahan karkas sebaiknya
dilakukan di tempat yang
berbe da saat evicerasi dan
pengulitan
● Sebaiknya terpal dibersihkan
dulu dengan desinfektan
● Perlu adanya pembagian ruang
yang jelas agar warga tidak be
bas keluar masuk

15

16.

Penimbangan

● Dibersihkan setiap penim
bangan selanjutnya atau
daging dibungkus plastik

● Timbangan tidak dibersihkan
● Daging dan Jeroan di timbang
setelah dibungkus plastik di
Bubulak, sedangkan di
Tangerang jeroan tidak di
timbang

● Sebaiknya timbangan dibersih
kan setiap selesai penggunanan
atau daging yang ingin
ditimbang sudah dibungkus
dengan plastik
● Timbangan untuk jeroan dan
daging tidak dicampur

18.

Pengemasan

19.

Distribusi

● Daging dan jeroan dipisah
(tidak ada kontak
langsung)
● Menggunakan kendaraan
tertutup
● Tidak ada kontak langsung
dengan sinar matahari

● Daging dan jeroan dicampur
dalam satu plastik kecuali di
Bubulak dan Tangerang
● Dilakukan dengan kendaraan
terbuka
● Terjadi kontak langsung antara
plastik pembungkus dan sinar
matahari

● Sebaiknya daging dan jeroan
tidak dibungkus dalam satu
plastik
● Distribusi daging sebaiknya
menggunakan kendaraan
tertutup agar tidak terjadi
kontak dengan sinar matahari

16
Faktor sanitasi juga sangat mempengaruhi kondisi keamanan pada daging,
sanitasi yang buruk, fasilitas yang tidak lengkap, peralatan yang tidak higienis
serta pembagian tempat yang tidak jelas merupakan salah satu penyimpangan dari
pelaksanaan GSP yang dilaksanakan pada saat pemotongan kurban. Harris dan
Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk meminimalkan
kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak dikandang,
memandikan ternak, penyembelihan, bunging, skinning, eviserasi, splitting, final
trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir. Selain itu, tahapan GSP
juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang digunakan selama proses,
pelaksanaan program sanitasi, dan proses validasi. Berdasarkan Permentan (2010),
maka alur dan area pemotongan dapat di buat sesuai dengan gambar di bawah ini.
A

B

C

H

D

I

E

F

J
G

Gambar 1 Alur dan area pemotongan. A) Area penampungan dan
pengistirahatan ternak, B) Area proses penyembelihan,
pengeluaran darah, dan pemisahan kaki dan kepala, C) Area
proses pengulitan, D) Area proses pengeluaran dan
pembersihan jeroan, E) Area proses pembelahan karkas, F)
Area proses pemisahan tulang (deboning), G) Area proses
penimbangan dan pengemasan, H) Area pembuangan limbah
darah, I) Area pembuangan isi jeroan, J) Masjid,
Alur
proses pemotongan,
Alur proses pembuangan limbah.
Pelaksanaan proses pemotongan jika dilihat dari tabel evaluasi hanya
beberapa titik dan beberapa lokasi saja yang memenuhi GSP, pelaksanaan yang
tidak sesuai dengan GSP sangat memungkinkan terjadinya pertambahan jumlah
bakteri. Mosupye dan Holy (2005) menyatakan kontaminasi awal pada daging
berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat
penyembelihan. Buckle et al. (2009) dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah
bakteri dalam daging akan terus meningkat tergantung penanganan dan

17
pencemaran selanjutnya. Perkembangan bakteri pada daging umumnya dapat
diketahui dengan adanya pembentukan lendir.
Pencegahan kontaminasi yang dapat merugikan pada kasus ini dapat diatasi
dengan menerapkan proses higiene dan sanitasi. Praktek higiene dan sanitasi pada
pangan asal hewan meliputi penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses
produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003).
Kriteria daging ASUH adalah (a) Aman artinnya daging tidak tercemar dari
bahaya biologi, fisik dan kimia. (b) Sehat artinya daging memiliki zat-zat yang
dibutuhkan, bergunna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh manusia.
Mengandung zat gizi makro meliputi karbohidrat, protein dan lemak serta ubsur
mikra seperti vitamin dan mineral. (c) Utuh, daging tidak dicampur dengan bagian
lain dari hewan tersebut atau bagian dari hewan lain. (c) Halal, hewan maupun
daingnya ditangani sesuai syariat islam (Widowati et al. 2003).
Berdasarkan prinsip ASUH tersebut, daging qurban dapat dikatakan belum
memenuhi kriteria aman, karena selama proses penyembelihan sampai ke
masyarakat sangat rentan terhadap kontaminasi akibat kurang diterapkannya
prinsip sanitasi dan higiene dalam proses pemotongan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proses pelaksanaan yang paling baik terdapat pada lokasi di Tangerang dan
Bubulak dengan persentase proses sesuai GSP sebesar 38.89%, untuk lokasi di
Leuwiliang harus mendapat perhatian khusus karena hanya sekitar 11.11% yang
memenuhi GSP. Titik kritis pada proses pemotongan yang harus diperbaiki
terdapat pada area evicerasi, pembelahan karkas, pemisahan tulang (deboning),
penimbangan, sanitasi dan higiene alat, sanitasi dan higiene personal karena pada
tahap ini belum dilakukan sesuai dengan standar GSP, untuk proses lainnya juga
perlu ditingkatkan.
Saran
Perbaikan sistem pemotongan, peralatan, fasilitas sarana dan lokasi perlu
ditingkatkan, minimal adanya tempat pencucian dengan detergen untuk alat yang
telah digunakan pada tiap proses jika alat tersebut digunakan untuk proses
selanjutnya. Pembagian area kotor dan bersih serta kebersihan personal yang
terlibat dapat meminimalkan terjadinya kontaminasi pada daging yang dihasilkan.
Pembinaan kepada para pihak yang terlibat dalam proses ini sangat perlu
dilakukan, supaya mereka mengetahui tatacara penyembelihan yang baik dan
benar. Penyuluhan tersebut perlu dilakukan untuk menjamin kemananan dan
meminimalkan kontaminasi yang terjadi pada daging hasil qurban. Peran lembaga
pemerintah maupun non pemerintah untuk menciptakan rasa aman pada daging
qurban ini sangat penting.
.

18

DAFTAR PUSTAKA
Astuti M, W Hardjosubroto, Sunardi, S Bintara. 2002. Livestock breeding and
reproduction in Indonesia: past and future. Invited Paper in the 3th ISTAP.
Faculty of Animal Science.Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Bem Z, Hechelmann H. 1995. Chilling and refrigerated storage of meat:
microbiological process. Fleischwirtsch. 75: 439-444.
Blakely J, Bade DH. 1992. The Science of Animal Husbandry. B. Srigandono,
penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Bolton DJ, Doherty AM, Sherudan JJ. 2001. Beef HACCP: intervention and ninintervention system. Int J Food Microbial. 66: 119-129.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia Nomor 016159-1999. Tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta (ID).
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia Nomor
3932:2008. Tentang mutu karkas dan daging sapi. Jakarta (ID).
Buckle KA, EdwardsRA, FleetGH, WoottonM. 2009. Ilmu Pangan. Hari
Purnomo dan Adiono, penerjemah. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Pr.
Terjemahan dari: Food Science.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2004. Join FAO/WHO Food Standard
Programe. Report of the Tenth Session of the Codex Committee on Meat.
[Direktorat Jendral Peternakan]. 2006. Mengatasi keressahan masyarakat dengan
beredarnya daging tidak ASUH menjelang Hari Raya Idul Fitri 1428H.
Makalah disampaikan pada rapim Departemen Pertanian, Oktober 2007.
Harris KB, Jeff WS. 2003. Best Practices for Beef Slaughter. Departemen of
Animal Science. Texas A&M Univ. National Cattlemen’s Beef Association.
[KEMENTAN] Surat Keputusan Mentri Pertanian. 1992. SK Nomor
431/Kpts/TN.310/7/1992 tentang syarat dan tata cara penyembelihan ternak
serta penanganan daging.
[KEMENTAN] Peraturan Menteri Pertanian. 2010. Persyaratan Rumah Potong
Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant).
Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr.
Terjemahan dari: Meat Science.
[LPPOM-MUI] Lembaga Pengkajian Obat-Obatan dan Kosmetik-Majelis Ulama
Indonesia. 2012. Pedoman pemenuhan kriteria sistem jaminan halal di
rumah potong hewan. Jakarta (ID): LPPOM-MUI.
Luning PA, Marcelis WJ, JongenWMF. 2003. Food Management Quality a
Techno Managerial Approach. Wageningen (NL) : Wageningen Pr.
[Manual Kesmavet]. 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina
Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta (ID).
Mead GC. 2007. Microbiological Analysis of Red Meat, Poultry and Eggs. New
Jersey (USA) : CRC Pr.
Mosupye FM, Holy A. 2005. Microbiologycal Hazzard Identification and
Exposure Assessment of Street Food Vending in Johannesburg, South
Africa. Johannesburg (tZA): Departement of Moluculer and Cell Biology.
University of the Witwatersrand.
Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor (ID): Ghalia Indonesia.

19
Nugroho WS. 2004. Jaminan keamanan daging sapi di Indonesia. [disertasi].
Sekolah Pasca Sarjana. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Sabiq S. 2008. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 4. Jakarta (ID): Pena Pundi
Aksara.
Sa’idah F, Yusnita S, Herlinawati I. 2011. Hasil penelitian cemaran mikroba
daging sapi di pasar swalayan dan pasar tradisional. Dilavet. Vol 21 (2):1316.
Santoso U. 2011. Daging kurban yang halal dan tayyib. Majalah Ilmiah
Peternakan. Denpasar (ID) : Fakultas Peternakan Univ Udayana.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Yogyakarta (ID) :
Gadjah Mada Univ Pr.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada
Univ Pr.
Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. New Jersey
(US) : Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs.
Widowati S, Y Fitrial, E Aritonang, Z Lubis, Razali. 2003. Aspek halal produk
pangan dalam menjaga ketentraman bathin masyarakat. Makalah Pengantar
Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana IPB.
Zulfanita. 2008. Peningkatan ketersediaan dan kebutuhan pangan melalui
teknologi produksi sapi potong. EJ UMP. Purworejo (ID) : Univ
Muhammadiah Purworejo.

20

LAMPIRAN
Lampiran 1 Form penilaian pengamatan
Parameter
No
1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.

Proses Pengistirahatan
Pemeriksaan Antemortem
1. Dilakukan oleh dokter
hewan atau petugas
Terkait
2. Dilakukan pemisahan
ternak yang diduga sakit
Proses Penyembalihan
1. Dilakukan oleh orang yang
kompeten sesuai dengan
syariat islam
2. Alat dan tempat steril
3. Tempat khusus pemoto
Ngan
4. Tempat penampungan
Darah
5. Hewan dibiarkan agar darah
keluar secara seempurna
Proses Pengulitan
1. Dilakukan dengan digantung
2. Jika tidak digantung menggu
nakan alas khusus
3. Alat dan tempat steril
Evicerasi
1. Dilakukan saat digantung
2. Terjadi robek pada jeroan
3. Tempat khusus jeroan
4. Dilakukan pemeriksaan post
Mortem
Pencucian Jeroan
1. Menggunakan air bersih
2. Dilakukan di tempat khusus
3. Tempat penampungan
isi jeroan
Pembelahan Karkas
1. Dilakukan saat digantung
2. Menggunakan alas khusus

Pengamatan
Ya Tidak

Keterangan

21
3. Dilakukan di tempat terpisah
8. Deboning
1. Alat dan tempat steril
2. Menggunakan alas khusus
3. Personal yang terlibat sudah
Steril
9. Proses Penimbangan
1. Menggunakan 1 timbangan
2. timbangan jeroan, tulang, dan
daging di pisah
3. Dilakukan pembersihan untuk
penimbangan berikutnya
10. Proses Pengemasan
1. Menggunakan plastik
3. jeroan dan daging dipisah
11. Proses Distribusi
1. Menggunakan box pendingin
Lampiran 2 Area pengistirahatan

Lampiran 3 Proses penyembelihan

22
Lampiran 4 Proses pengulitan

Lampiran 5 Proses pengeluaran jeroan

Lampiran 6 Proses pembelahan karkas

Lampiran 7 Proses pemisahan tulang

23
Lampiran 8 Proses Penimbangan

Lampiran 9 Pembungkusan

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon tanggal 22 Mei 1990 dari Ayah Asmu’i dan
Ibu Eliyah. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Pendidikan
formal yang dilalui yaitu SMAN 4 Cirebon dan lulus pada tahun 2008. Pada
tahun berikutnya penulis diterima masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada Program Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan.
Penulis menjadi anggota HIMAPROTER pada tahun 2010-2011, pada
tahun berikutnya penulis menjadi anggota Divisi Satwa Harapan. Selain itu
penulis juga aktif dalam kegiatan perlombaan yang diadakan oleh Fakultas
Peternakan IPB. Penulis juga pernah menjadi anggota UKM Century Divisi
Produksi pada tahun 2010-2011 dan menjadi kepala Divisi Produksi pada tahun
2011-2012.
Penulis pernah menjadi anggota Ikatan Kekeluargaan Cirebon periode
2009-2010, pengurus Ikatan Kekeluargaan Cirebon periode 2010-2011 sebagai
Kepala Divisi Kekeluargaan. Pada tahun yang sama penulis ikut terlibat dalam
panitia OMI (Olimpiade Mahasiswa IPB) sebagai kordinator pertandingan sepak
bola.