Studi Kasus Fasciolosis Yang Dipantau Pada Pemeriksaan Daging Qurban Idul Adha 1427 H Di Wilayah Jabodeta

"/ii.iS'

WJS
02%

STUD1 KASUS FASCIOLOSIS YANG DIPANTAU PADA
PEMEFUKSAAN DAGING QURBAN IDUL ADHA 1427 H
DI WILAYM JABODETA

DESSY PRIHATININGSIH EKA PUTRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRACT
DESSY PRIHATININGSIH EKA PUTRI. Case Study of Fasciolosis Observed in
Animal Sacrificed Inspection During Eid'ul Adha 1427 H in Jabodeta Region.
Under the supervision from FADJAR SATRIJA.
A case study was carried out to know the prevalence of fasciolosis by

infection of Fasciola sp. in cattle, goat, and sheep as the animal sacrificed were
slaughtered during Idul Adha 2006 (1427H), and to estimate the economic loss by
trimming process of the liver that is unsuitable for human consumption. This
study was held in Jabodeta which were Central Jakarta, East Jakarta, South
Jakarta, West Jakarta, North Jakarta, Tangerang City, Depok City, and Bogor
City. From the total number of slaughtered cattle in Jabodeta region (n=l 750)
during the study period, 168 of them (9.6%) were positive for fasciolosis. The
highest prevalence of fasciolosis in cattle occured in Central Jakarta (21.25%),
while the lowest prevalence occured in Depok city (4.47%). From the total
number of sheep and goat (n=13 871) only 311 (2.24%) were infected by Fasciola
sp.. The highest prevalence of fasciolosis in sheep and goat found in Bogor city
(4.57%), while the lowest prevalence found in Central Jakarta (1.21%). After
converted to the price of the beef liver of cattle, goat, and sheep in July 2008, the
total of financial loss caused by trimming process reached 28.28 billion rupiahs.
Keyword: fasciolosis, prevalence, sacrificed animal

ABSTRAK
DESSY PRIHATININGSM EKA PUTRI.
Studi Kasus Fasciolosis yang
Dipantau pada Pemeriksaan Daging Qurban Idul Adha 1427 H di Wilayah

Jabodeta. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA.
Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian fasciolosis
oleh infeksi cacing hati Fasciola sp. pada sapi, kambing, dan domba yang
dipotong sebagai hewan qurban, pada hari raya Idul Adha 2006 (1427 H) serta
memperkirakan kerugian dari proses trimming pada organ hati yang tidak layak
konsumsi. Studi kasus ini dilakukan di wilayah Jabodeta meliputi Jakarta Pusat,
Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Kota Tangerang, Kota
Depok, dan Kota Bogor. Dari total jumlah sapi yang dipotong saat perayaan Idul
Adha di wilayah Jabodeta (n=l 750 ekor) ditemukan 168 ekor (9.6%) yang
terinfeksi Fasciola sp.. Jumlah kasus fasciolosis terbanyak ditemukan di Jakarta
Pusat sebanyak 51 ekor (21.25%) dan kasus terendah terjadi di Kota Depok
sebanyak 12 ekor (4.47%). Pada kambing dan domba, dari total jumlah hewan
(n=13 871 ekor) ditemukan 311 ekor (2.24%) yang terinfeksi Fasciola sp. Jumlah
kasus tertinggi terjadi di Kota Bogor sebanyak 84 ekor (4.57%) dan kasus
terendah terjadi di Jakarta Pusat sebanyak 16 ekor (1.21%). Setelah disesuaikan
dengan harga hati sapi, kambing, dan domba bulan Juli 2008, total kemgian
seluruh Indonesia akibat proses trimming pada organ hati terhitung mencapai
28.28 miliar rupiah.
Kata kunci: fasciolosis, tingkat infeksi, hewan qurban.


STUD1 KASUS FASCIOLOSIS YANG DIPANTAU PADA
PEMERIKSAAN DAGING QURBAN IDUL ADHA 1427 H
DI WILAYAH JABODETA

DESSY PRIHATINLNGSM EKA PUTFU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SuMtBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Studi Kasus Fasciolosis yang
Dipantau pada Pemeriksaan Daging Qurban Idul Adha 1427 H di Wilayah
Jabodeta adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing, serta belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Surnber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

Dessy Prihatiningsih Eka Putri
NIM B04104024

Judul Skripsi : Studi Kasus Fasciolosis yang Dipantau pada Pemeriksaan
Daging Qurban I d d Adha 1427 H di Wilayah Jabodeta
: Dessy Prihatiningsih Eka Putri
Nama
NIM
: B04104024

drh.

%


djar Satnja,

Sc, Ph.D

Pembimbing

Hewan

Tanggal Lulus:

0 9 SEF 2008

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Dengan selesainya skripsi
ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada drh. Fadjar Satrija, MSc.

Ph.D yang dengan sabar telah memberikan bimbiigan, saran, serta nasehat dalam
pelaksanaan penelitian, penulisan, dan penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: drh. Iskandar, MSc.
selaku pembimbing akademik, Dr.drh. Denny Widaya Lukman Msi selaku dosen
penguji, terima kasih untuk saran-sarannya, dan seluruh teman-teman FKH IPB
yang ikut berpartisipasi dalam pemeriksaan hewan qurban dan pengisian
kuisioner. Krido Brahmo Putro yang telah membantu penulisan dan penyelesaian
skripsi ini dan Aji Winarso yang siap memberikan jalan keluar dalam
menyelesaikan permasalalian skripsi.
Teman seperjuangan di RC (Unbet, Ge, Q, Yus, Ana, Iya dan Mba'yu)
yang selalu memberikan motivasi secara pribadi, d m sahabat-sahabat terbaik yang
selalu ada dalam hati d m ingatan (Rukun, P'jok, Sekret, Sunu, Nina, Dwisus,
Kanda). Teman- teman Asteroidea '41 terbaik dan teristemewa, Gymnolaemata
'40, Arthropods '39, Goblet '42 dan Aesculapius '43 serta semua pihak yang turut
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini dan yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu.
Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan tiada terhingga penulis
tujukan kepada Bapak, Mama, Mbah Surnirah, dan acting M. Septiansyah Dwi
Putra, serta seluruh keluarga besar yang dengan tulus memberikan kasih sayang,
doa, semangat, serta dukungan moral dan material selama menempuh hidup ini.
Hanya kepada Allah SWT penulis memohon agar keluarga diberi balasan yang
sesuai atas segalanya.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi
ini, namun demikian penulis berharap, tulisan ini dapat bermanfaat untuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Bogor, Maret 2008

Dessy Prihatiningsih Eka Putvi

Penulis dilahirkan di Tanjung, Kalimantan Selatan pada tanggal 3
Desember 1987 dari bapak Muchamad Takdir dan ibu Heppy Herawati. Penulis
merupakan putri pertama dari dua bersaudara.
Tahun 1992 penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri

3 Tanjung dan lulus pada tahun 1998. Tahun yang sama penulis melanjutkan ke
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Tanjung dan lulus pada tahun 2001.
Penulis

masuk

Sekolah


Menengah

Umum

Negeri

2

Tanjung

dan

menyelesaikannya pada tahun 2004.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB tahun 2004. Penulis
menambah pengetahuan dan pengalamannya melalui Himpro Hewan Kesayangan
dan Satwa Akuatik (HKSA) dan Satwa Liar (SATLI). Penulis aktif dibeberapa
organisasi seperti PRAMUKA, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia
(IMAKAHI) dan Equine Education Research and Sport Unit (EERSU). Penulis
pernah menjadi Pengurus Besar IMAKAHI anggota divisi zoonosis dan keamanan

pangan tahun 200512006, serta pemah menjabat sebagai kepala divisi Infokom
IMAKAHI cabang IPB tahun 200612007.
Penulis mendapatkan bantuan biaya kuliah dari Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Pemerintah Daerah Tingkat I1 Kabupaten Tabalong sejak tahun 2005
hingga sekarang.

Penulis juga mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi

Akademik (PPA) untuk tahun ajaran 200612007 - 200712008.

DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR IS1

...............................................................................................

...

111


DAFTAR TABEL ..............................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

v

PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................. 1
..
Tujuan Penelltian ...............................................................................
2
..
Manfaat Penelltian .......................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi .....................................................................................................
Domba ................................................................................................
Kambing .............................................................................................

Cacing Hati (Fusciolu sp.) .................................................................
Klasifikasi dan Morfologi ................................................................
SiMus Hidup .......................................................................................
Fasciolosis ..........................................................................................
Epidemiologi ......................................................................................
Kerugian Ekonomi Akibat Fasciolosis ...............................................
Pencegahan dan Kontrol Fasciolosis ..................................................
BAHANDANMETODE
Pengumpulan Data ..........................................................................
Diagnosa Fasciolosis ...........................................................................
Perhitungan Kemgian Trimming .........................................................

18
18
18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kejadian Fasciolosis pada Sapi ............................................. 21
23
Tingkat Kejadian Fasciolosis pada Kambing dan Domba ..................
Risiko Fasciolosis pada Manusia ....................................................
26
SIMPULAN DAN SARAN .......................................................

29

..............................................................................

30

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL
Halaman

................... 4
2 Jurnlah kasus dan prevalensi fasciolosis pada sapi .................................... 21
3 Jumlah kasus dan prevalensi fasciolosis pada kambing dan domba .......... 24
1 Populasi ternak potong di Indonesia beberapa tahun terakhir

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Perbandingan antara Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica ..............
2 Siklus hidup Fasciola gigantica ...........................................................

7

3 Grafik titik-titik pemeriksaan hewan qurban tiap wilayah pemantauan ...

20

12

................................................. 20
5 Fasciola gigantica pada jatingan p a r e f i i m hati ..................................... 24

4 Pemeriksaan postmortem hewan qurban

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang cepat, berdampak pada
peningkatan kebutuhan pangan bagi masyarakat termasuk produk pangan asal
bewan yang merupakan sumber protein hewani. Kebutuhan protein hewani ini
dipenuhi dari telur, susu dan daging yang dapat diperoleh dari ruminansia, unggas
dan babi. Menurut FAO, tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia
tahun 2006 masih sangat rendah, dengan rata-rata konsumsi daging penduduk
Indonesia 4.5 kglkapitaftahun (Daryanto 2008).
Ruminansia dan unggas merupakan sumber daging utama di Indonesia.
Ditjen Petemakan dalam Selamet et al. (2008), menyatakan bahwa kebutuhan
daging nasional pada tahun 2008 masih mengalami defisit hingga 35% atau 135.1
ribu ton dari total kebutuhan 385 ribu ton daging sapi. Tahun 2010 diperkirakan
terjadi peningkatan kebutuhan daging nasional mencapai 414.1 ribu ton yang
secara urnum berasal dari daging sapi dalam negeri sebesar 62.6%, dan sisanya
akan dipenuhi melalui impor daging maupun impor temak hidup (Ditjennak
2007).
Dalam budaya Indonesia, temak rurninansia selain berperan sebagai
sumber protein, juga digunakan dalam ritual budaya dan religius yaitu sebagai
hewan qurban. Hari raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting yang
menyebabkan lonjakan permintaan ternak potong. Dilihat dari aspek sosial dan
ekonomi, salah satu hari raya umat Islam ini sangat menguntungkan petemak serta
dapat meningkatkan kualitas pangan masyarakat miskin.
Tingginya permintaan hewan qurban tersebut mendorong terjadiiya
peningkatan lalu lintas temak antar daerah. Peningkatan lalu lintas temak tersebut
hams diimbangi dengan kewaspadaan terhadap kemungkinan penularan penyakit
hewan antar daerah.

Penyakit ini dapat berupa penyakit infeksius maupun

penyakit non-infeksius. Salah satu penyakit yang sering terjadi pada temak sapi,
kambing dan domba adalah infeksi parasit cacing, termasuk cacing hati (Fasciola
sp.1.
Spesies cacing hati yang endemik di Indonesia adalah Fasciola gigantica,
sedangkan Fasciola hepatica umumnya ditemukan pada temak-temak yang

diimpor ke Indonesia (Kusumamihardja 1992). Infeksi cacing hati menyebabkan
terjadinya p e n m a n laju pertumbuhan dan berat badan temak, penurunan
efesiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang tinggi terutama pada pedet
maupun sapi muda, p e n m a n produksi, dan p e n m a n daya tahan tubuh akibat
anemia yang ditimbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran
empedu. Kerugian ekonomi yang utama didasarkan akibat terbuangnya hati baik
sebagian maupun seluruhnya serta biaya pembelian obat-obatan dan tenaga ahli
seperti dokter hewan (Kusumamihardja 1992; Mitchell 2007). Hal-ha1 seperti
inilah yang dapat merugikan petemak dan konsumen. Pemeriksaan kesehatan
hewan dan daging qurban yang dilakukan oleh tim pemeriksa dari FKH IPB tidak
memperhitungkan kerugian tersebut, namun pemeriksaan dilakukan untuk
memberikan pangan yang aman dan layak bagi konsumen.
Tujuan Penelitian
Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian kasns
fasciolosis pada sapi, kambing, dan domba yang dipotong sebagai hewan qurban,
serta memperkirakan kerugian dari proses trimming pada organ hati yang tidak
layak konsumsi, sehingga dapat dihitung total kerugian ekonomi untuk seluruh
Indonesia akibat kasus fasciolosis ini.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang infeksi

Fasciola sp. yang menyerang hewan qurban serta kerugian trimming yang
dilakukan, sehingga dapat menyadarkan petemak maupun pemerintah dalam
melakukan pengobatan, pencegahan dan pengendalian fasciolosis sebelum
menginfeksi manusia.

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi
Sapi merupakan salah satu hewan ternak ruminansia yang diklasifikasikan
dalam kingdom Animalia, f i l m Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla,
subordo ruminantia, famili Bovidae, subsuku Bovinae, genus Bas, dan spesies Bos
taurus, Bas indicus dan Bas sondaicus (Hickman et al. 1997). Sapi diternakkan
sebagai sumber daging dan susu, serta sebagai pekerja untuk membantu dalam
sektor pertanian.
Jenis-jenis sapi potong yang biasa dipelihara adalah: sapi Bali, sapi
Madura, sapi Ongole, sapi Peranakan Ongole (persilangan sapi Ongole dengan
sapi Madura), sapi Charolais, sapi Hereford, sapi Simental, sapi Angus, sapi
Brahman, sapi Limousin, sapi Brangus dan lain-lain.
Jumlah populasi sapi yang terus meningkat hingga tahun 2007 mencapai
11.3 juta ekor (Selamet et al. 2008), temyata masih belum mampu memenuhi
kebutuhan nasional yang terus meningkat. Ketidakseimbangan antara persedian
daging dan kebutuhan yang tinggi akan berdampak pada ketersediaan daging sapi
diwaktu-waktu tertentu, terutama hari-hari besar keagamaan, seperti hari raya Idul
Qurban.
Untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani yang tinggi pada masyarakat
Indonesia, perlu peningkatan produksi daging yang tinggi melalui perkembangan
usaha penggemukan sapi. Penggemukan sapi umumnya dilakukan secara intensif
di feedlot.

Pemeliharaan sapi potong secara intensif pada feedlot mengunakan

metode pemeliharaan penggemukan temak sapi potong dengan silase. Sapi di
kandang digemukkan dengan pakan yang sudah tersedia baik hijauan, konsentrat,
maupun silase. Cara pemeliharaan yang demikian akan menjadi lebih efisien dan
produktif karena pertambahan berat badan dapat lebih ditingkatkan (Asri 2006).
Selain peternakan yang dilakukan secara intensif, petemakan tradisional
juga berperan dalam usaha pemenuhan produksi daging akibat permintaan yang
tinggi. Petemakan tradisional dicirikan dengan kepemilikan sapi tiap petemak
berjumlah antara 3-4 ekor. Sapi-sapi tersebut dikandangkan hanya pada malam
hari, sedangkan siang hari temak diikat di halaman rumah jika tidak dikerjakan
atau digembalakan di padang rumput (Asri 2006). Petemak juga memanfaatkan

kotoran sapi sebagai pupuk di lahan tanaman basah dan kering, serta digunakan
sebagai bahan bakar biogas (Roberts & Suhardono 1996).
Tabel 1 Populasi ternak potong di Indonesia beberapa tahun terakhir (Ditjennak
2007)
2005
2006
2004
Populasi (ekor)
2003
10
569
312
10
875
125
10
532
889
10
504
128
Savi votone.
13789954
12722082
12780961 13409277
8
327
022
8 979 849
7 810 702
8 075 149
Domba

bin^

-

Domba

Domba atau Biri-biri (Ovis aries) adalah ruminansia kecil dengan rambut
wol yang merupakan hasil domestikasi dari moufflon liar dari Asia Tengah
selatan dan barat-daya.

Dalam klasifikasik taksonomi termasuk kingdom

Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae,
subfamili Caprinae, genus Ovis, dan spesies Ovis aries (Hickman et al. 1997).
Populasi domba di Indonesia menurut data statistika tahun 2006 mencapai
8 979 849 ekor (Ditjennak 2007), dengan populasi terbesar di daerah Jawa Barat
mencapai 55.92% populasi nasional (Heriyadi 2008).

Dari populasi tersebut

terdapat tiga bangsa domba di Indonesia yaitu domba ekor tipis (the Javanese thin
tailed sheep), domba ekor gemuk (the Javanese fat tailed sheep), dan domba
priangan (domba garut). Domba ekor tipis m e ~ p a k a ndomba asli Indonesia yang
mempunyai tub1111 kecil serta ekor relatif kecil dan tipis. Domba betina umumnya
tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar
(Mulyono 2005).
Domba ekor gemuk yang ada di Indonesia diperkirakan berasal dari India
atau Asia Barat. Domba ini menlpunyai bentuk ekor yang panjang, lebar, besar,
dan semakin ke ujung semakin mengecil. Ekor ini digunakan sebagai tempat
menimbun lemak untuk cadangan energi (Mulyono 2005). Domba ekor gemuk,
mempunyai bentuk badan lebih besar daripada domba asli Indonesia. Domba
jantan bertanduk kecil, sedang domba betina tidak bertanduk.
Domba priangan merupakan domba asli G m t Jawa Barat. Domba ini
merupakan hasil persilangan segitiga antar domba lokal, domba Merino, dan
domba Cape (Afrika Selatan). Persilangan diperkirakan terjadi mulai tahun 1864
ketika pemerintah Hindia Belanda mulai memasukan domba Merino ke Indonesia

(Hardjosubroto & Astuti 1979, diacu dalam Tillman 1987). Domba priangan
mempunyai rambut lebih panjang dan halus daripada domba asli Indonesia,
pangkal ekor lebih lebar dengan ujung runcing dan pendek. Daun telinga relatif
kecil dan kokoh, berbadan besar, lebar dengan leher yang kuat, sehingga biasa
digunakan sebagai domba aduan. Domba betina tidak bertanduk, sedangkan
domba jantan bertanduk cukup besar yang melengkung ke belakang berbentuk
spiral sehingga pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu (Sugeng 2001;
Mulyono 2005).

Kambing
Kambing merupakan suatu jenis binatang memamah biak yang berukuran
sedang. Kambing sudah dibudidayakan manusia kira-kira 8000 hingga 9000
tahun yang lalu, dan hingga sekarang, kambing menjadi salah satu hewan
penghasil protein yang dikembangkan di Indonesia.

Kambing lokal (Capra

aegagrus hircus) yang dibudidayakan adalah subspesies dari kambing liar yang
tersebar di Asia Barat Daya dan Eropa. Kambing diklasifkasikan dalam kingdom
Animalia, f i l m Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae,
subfamili Caprinae, genus Capra, spesies Capra aegagrus dan subspesies Capra
aegagrus hircus (Hickman et al. 1997).
Karakteristik kambing berbeda dengan domba. Kambing mumnya
mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas, dan kebanyakan berbulu
lurus dan kasar, memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan
lebih besar. Panjang tubuh kambing, tidak termasuk ekor, dapat mencapai 1.3
meter. Bobot yang betina berkisar 20 kg - 55 kg, sedangkan yang jantan bisa
mencapai 120 kg pada kambing liar. Habitat yang disukainya adalah daerah
pegunungan yang berbatu-batu. Di dam aslinya, kambiig hidup berkelompok 5
sampai 20 ekor (Anonim 2007).
Kambing yang ditemakan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis, yaitu
kambing kacang, kambing gembrong, dan kambing merica yang merupakan
kambing lokal Indonesia. Selain itu, terdapat juga kambiig Etawa (kambing
jamnapari), kambing peranakan Etawa, dan kambing Saanen (Mulyono 2005).
Bangsa kambing Indonesia hampir sama dengan bangsa kambing di Malaysia,

Filipina, dan Fiji yaitu kambiig kacang, kambiig Etawa, dan kambing Fiji
(Davendra 1983).
Diperkirakan jumlah kambing di Asia sekitar 225 juta ekor atau 49% dari
total populasi kambing di dunia (Heriyadi 2008). Populasi kambing di Indonesia
tahun 2006 mencapai 13 789 954 ekor (Ditjemak 2007). Temyata total populasi
tersebut belum mampu menutupi kebutuhan yang cukup tinggi, baik secara
kuantitas apalagi kualitas.

Saat ini kebutuhan kambing domba dalam negeri

mencapai 5.6 juta ekorttahun. Pada saat tertentu, seperti untuk kebutuhan hari
raya qurban, DKI Jakarta membutuhkan kambing domba sebanyak 400 000 ekor
(Anonim 2008).
Belum terpenuhinya kebutuhan kiunbing dan domba di Indonesia antara
lain disebabkan oleh jumlah pemotongan kambing dan domba terutama betina
produktif masih c t h p tinggi, sehingga terjadi pengurasan populasi kambing dan
domba nasional. Hal ini tidak sebanding dengan meningkatnya permintaan akan
kambiig dan domba akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang terns meningkat.
Kurangnya pasokan kambig dan domba juga disebabkan oleh cara pemeliharaan
yang masih bersifat tradisional dengan skala kepemilikan yang kecil (small
holders), sehingga kambing dan domba kebanyakan dipelihara apa adanya.
Sistem pemeliharaan seperti ini juga meningkatkan risiko temak tersebut
terinfeksi cacing hati dan dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit
(Heriyadi 2008).
Cacing Hati (Fasciola sp.)

Cacing ini di Indonesia lebih dikenal dengan nama cacing hati. Cacing
hati berbentuk pipih seperti dam. Penyakit yang diakibatkan infeksi Fasciola sp.
disebut Fasciolosis (liver rot, ovine fascioliasis, 'pokey jaw ', distomosis) @unn
1994; Foreyt 2001; FA0 2004; Mitchell 2007). Penyakit ini telah banyak tejadi
di berbagai belahan dunia, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak
terhitung melalui kematian, hati yang diafkir, predisposisi untuk penyakit lain,
dan biaya treatment dari dokter hewan.

Kejadian akut dapat menyebabkan

kematian secara tiba-tiba, sedangkan kejadian kronis dapat menyebabkan kasus
anemia, pemborosan, dan produksi yang rendah. Cacing ini sangat memerlukan

siput air sebagai hang perantaranya dalam siklus hidup yang tidak langsung
(Mitchell 2007).

Klasifikasi dan Morfologi
Cacing Fasciola sp. ini di klasifikasikan ke dalam filum Plathyhelminthes,
kelas Trematoda, ordo Digenea, farnili Fasciolidae, genus Fasciola, spesies
Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica (Soulsby 1986).
Cacing hati (Fasciola sp.) merupakan salah satu cacing parasit yang
umumnya menyerang temak ruminansia seperti sapi, domba, kambing, dan
kerbau. Fasciola juga dapat berparasit pada hewan lain seperti babi, anjing, rusa,
zebra, kelinci, marmot, kuda, bahkan dapat menyerang manusia (Souisby 1986;
Cheng 1986; FA0 2004; Mitchell 2007). Dalam arsip WHO (1995) tercacat
kurang lebih 2.5 juta manusia di dunia menderita fasciolosis (Unjianto 2007).
Di Indonesia cacing hati yang selalu terdeteksi adalah yang berspesies
Fasciola gigantica, sedangkan Fasciola hepatica umumnya dapat ditemukan dari
ternak-temak yang diimpor ke Indonesia (Kusumamihardja 1992). Kedua cacing
ini secara morfologi mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan diantara keduanya
terletak pada daya tahan hidup terhadap lingkungan dan inang perantara (Lymnea
sp) (Soulsby 1986; Grove 1990; Mithcell2007).

Gambar 1 Perbandingan antara Fasciola hepatica (A) dan Fasciola gigantica
(B) (Sumber: Anonim 2003).
Trematoda ini tersebar luas di berbagai belahan dunia terutama Asia,
Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Cacing dewasa dari genus ini mempunyai
panjang antara 5-7 cm dengan lebar kurang lebih 1.2 cm (Mitchell 2007). Cacing
ini berdimensi pipih dan berbentuk seperti dam. Ujung bagian depan mirip
dengan kerucut sempit, kemudian melebar sehingga membentuk bahu yang

kurang jelas terlihat, sedangkan ujung bagian belakang menyempit sehingga
selumh bentuk cacing ini berbentuk seperti mata tombak.

Hampir seluruh

permukaan tubuh tertutup dengan duri-duri kecil atau disebut dengan tegurnen.
Tegumen mempakan lapisan tipis non seluler yang homogen dengan tebal 7-16
pm. Dengan menggunakan mikroskop elektron, lapisan tegurnen tampak tersusun
dari dua lapis membran, yaitu membran luar dan membran dalam yang terbuat
dari sitoplasmic sycitium (Cheng 1986).
Fasciola sp. memiliki dua alat penghisap (sucker) yang terletak di ujung
anterior (oral sucker) dan bagian ventral (ventral suckerlacetahulum) dengan
jarak sekitar sepertiga bagian tubuh dari oral sucker. Mulutnya berhubungan
dengan pharynx melalui prepharynx yang pendek dan partikel makanan dapat
langsung menuju esophagus (Cheng 1986). Kantong ususnya bercabang dan
mengisi hampir selumh bagian tubuhnya, khususnya bagian lateral tubuh (Soulsby
1986). Diacu dalam Cheng (1986), Daws (1962) menyebutkan bahwa kantong
usus (gastrodemis) memiliki epithelial yang mampu bekeja pada fase sekretori
dan fase absorptif. Selma fase sekretori, sel epitelnya banyak mengandung
material sekretori bempa enzim-enzim pencemaan. Menurut data lengkap dari
Smith (1966), diacu dalam Cheng (1986), disebutkan bahwa Fasciola hepatica
memiliki enzim-enzim pencemaan yaitu protease, lipase, alkalin fosfatase, asam
fosfatase, dan esterase.
Ovariumnya bercabang terletak di belakang dan di samping ventral sucker,
sekitar sepertiga bagian tubuh belakang.

Ovarium menghasilkan ova dan

dilepaskan melalui oviduk yang pendek dan bermuara pada mang kecil yang
disebut ootype. Telur cacing ini berbentuk oval dan dilengkapi dengan operkulum
yang berfungsi sebagai jalan keluar larva mirasidium pada saat telur menetas.
Menurut Soulshy (1986), ukuran telur berkisar antara 156-197pm x 90-104pm.
Ukuran telur ini lebih besar dari Fasciola hepatica yang berkisar antara 130150pm x 63-90pm (Soulsby 1986; Mitchell 2007).
Dalam menjalankan fungsinya, ovarium tidak bekerja sendii.
sistem reproduksinya, terdapat tiga organ pembantu.

Organ pertama

Dalam
yaitu

kelenjar Mehlis yang merupakan gabungan dari sekelompok kelenjar uniseluler
yang mengelilingi dan bermuara pada ootype.

Kelenjar ini herfungsi

menghasilkan sekreta berupa cairan yang membantu dalam proses pembentukan
telur. Organ kedua adalah kelenjar vitelin dan duktus vitelin yang berfungsi
memberikan nutrisi pada kuning telur dan material lapisan telur. Organ ketiga
adalah seminalis receptakulum yang berfungsi sebagai penampung sementara dari
spermatozoa sebelum menuju ootype untuk fertilisasi (Cheng 1986).
Testis mempunyai struktur yang bercabang memenuhi bagian belakang
ovarium dan terletak berpasangan pada garis tengah.

Kantung cirrus berisi

vesicular seminalis, kelenjar prostat, dan cirrus yang bermuara melalui porus
genitalis (Cheng 1986). Porus genitalis terletak tepat di depan ventral sucker.
Siklus Hidup

Siklus hidup Fasciola sp. bersifat tidak langsung dan memerlukan siput air
tawar sebagai inang antara. Inang antara yang berperan dalam siklus hidup

Fasciola gigantica di Indonesia adalah Lymnaea rubiginosa (Soulsby 1986;
Kendall 1965, diacu dalam Kusumamihardja 1992), sedangkan Fasciola hepatica
inang antaranya Lymnaea huncatula (Mitchell 2007). Karena di Indonesia tidak
ditemukan siput yang cocok sebagai inang antara Fasciola hepatica maka tidak
ditemukan trematoda ini, kecuali pada sapi impor (Kusumamihardja 1992).
Penyebaran fasciola tidak luput dari peran inang antara yaitu penyebaran
dari Lymnaea rubiginosa. Siput ini merupakan satu-satunya inang antara dari

Fasciola gigantica di Indonesia. Dalam dunia siput, Lymnaea sp. digolongkan
kedalam filum Molluscs, kelas Gashopoda, subklas Orthogashopoda, ordo

Pulmonata, dan famili Lymnaeidae.
Muchlis dan Soetedjo (1972) memaparkan bahwa Lymnaea rubiginosa
merupakan sejenis siput yang mudah ditemukan di perairan yang jemih, dengan
oksigenasi air yang baik, dan aliran air yang tidak terlalu cepat seperti lingkungan
sawah.

Siput ini mempunyai cangkang yang tipis dan tidak mempunyai

operkulum sehingga tidak tahan pada suhu air yang tinggi. Makanan utamanya
adalah alga dan tanaman rumput-rumputan termasuk daun padi yang telah
membusuk.
Cacing dewasa hidup dalam hati, dan saluran empedu inang d e f ~ t i f
(Cheng 1986; Kusumamihardja 1992). Telur yang diiasilkan cacing dewasa
masuk ke dalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama tinja inang.

Terdapat tiga faktor kritis yang mendukung penetasan telur Fasciola sp., yaitu
terpisahnya telur dari feses, suhu yang cukup untuk perkembangan, dan
keseluruhan periode deposisi telur dalam feses untuk menetas menjadi mirasidium
(Malek 1980).
Selma proses penetasan, telur haruslah dikelilingi lumut atau ganggang
yang lembab agar tidak mati (Malek 1980). Pada suhu 22-26OC telur menetas
menjadi mirasidium dalam waktu 9 hari, namun pada temperatur rendah (di atas
10°C) waktu menetas akan lebih lama (Soulsby 1986; Dunn 1994; Mitchell 2007).
Literatur lain menerangkan bahwa telur akan menetas menjadi mirasidium dalam
jangka waktu 23 minggu pada suhu 10°C, namun pada suhu 30°C hanya
membutuhkan waktu 8 hari.

Saat temperatur ditingkatkan lebih dari 30°C,

perkembangan akan berjalan lambat dan berhenti pada suhu 37OC (Cheng 1986).
Mirasidium mempunyai masa hidup hanya beberapa jam, sehingga
mirasidium hams segera masuk ke tubuh inang antara (Mitchell 2007). Jika
dalam waktu 24 jam belum masuk ke dalam siput, maka mirasidium akan
kehabisan energi dan mati (Bowman 2003). Mirasidium dilengkapi dengan silia,
eyespots, sistem ekskretori rudimenter, sistem saraf yang sederhana, dan
pengelompokan sel germinal untuk generasi larva berikutnya (Bowman 2003).
Mirasidium bergerak secara fototaksis karena memiliki eyespots (Cheng 1986).
Mirasidium masuk ke dalam siput melalui penempelan di bagian ventral siput, dan
dengan bantuan enzim protease, maka epitel kulit siput dapat dihancurkan. Dalam
proses penembusan tersebut, maka kulit, lapisan epidermis dan silia akan
ditanggalkan sehingga mirasidium berubah menjadi sporokista (Soulsby 1986).
Sporokista ditemukan diantara tubtilus kelenjar pencemaan dari inang antara
(Cheng 1986).
Menurut Dinnik dan Dinnik (1964), diacu dalam Kusumamihardja (1992)
dan Soulsby (1986) satu sporokista akan tumbuh menjadi 1-6 redia pada suhu
26OC. Sporokista yang pecah akan menyebabkan redia terbebas dan secara aktif
berpindah menuju hati dan pankreas siput. Fasciola hepatica membutuhkan waktu
3 jam untuk dapat masuk ke dalam hepatopankreas dalam tubuh inang antara
(Mitchell 2007). Redia generasi pertama akan menghasilkan redia generasi kedua (Bowman 2003). Perkembangan redia generasi ke-dua dapat terjadi pada

suhu konstan yaitu 26OC (Cheng 1986). Pada musim-musim yang hangat di
Afrika Timur, perkembangan di dalam siput membutuhkan waktu 75 hari,
sedangkan pada musim dingin akan diperpanjang sampai 175 hari (Soulsby 1986).
Dinnick dan Dinnick (1963; 1964), diacu dalam Cheng (1986) pada musim dingin
di dataran tinggi Kenya saat suhu tidak mencapai 16'C maka siklus hidup
Fasciola gigantica hanya akan berkembang sampai fase redia di dalam tubuh
inang antara.
Redia generasi kedua berubah menjadi serkaria yang akan meninggalkan
inang antara.

Serkaria dilengkapi dengan ekor agar dapat berenang dan

menempel pada tanaman air. Serkaria yang menempel pada tanaman air akan
melakukan metamorfosa pada diding tubuhnya.

Metamorfosa ini akan

menghilangkan ekor dari serkaria dan terbentuk kista metaserkaria yang
menyerupai bentuk juvenile dari cacing dewasa (Cheng 1986). Ukuran kista
metaserkaria berkisar anma 0.2-0.3 rnm.

Menurut Mitchell (2007) waktu

minimum perkembangan dari mirasidium sampai menjadi metaserkaria pada
Fasciola hepatica adalah 6-7- minggu, dan selama berada di tub& inang antara,
satu mirasidium dapat memproduksi 600 metaserkaria.
Metaserkaria dari Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica pada masa
kering masih dapat ditemukan pada hay dan sampah-sampah air. Kemampuan
bertahan metaserkaria bergantung pada suhu dan tingkat hidrasi.

Hal ini

menyebabkan metaserkaria lebih dapat bertahan di dalam air daripada di
lingkungan luar (Malek 1980; Spithill 1999). Penelitian dari Suhardono, Roberts,
dan Copeman di Indonesia (1996) diacu dalam Spithill (1999) menujukkan bahwa
dengan suhu lingkungan 35OC metaserkaria masih memiliki daya infektifnya
selama 1 minggu, dan masih ditemukan dalam jumlah sedikit setelah 2 minggu.
Bahkan menurut Soulsby (1986), kista metaserkaria mampu bertahan selama 4
bulan pada tanaman air bagian bawah, di lingkungan perairan seperti sawah
(Soulsby 1986).
Metaserkaria dari Fasciola gigantica mempunyai kemampuan bertahan
pada suhu tinggi lebih lama dibandingkan Fasciola hepatica.

Hal ini

mengindikasik& bahwa Fasciola gigantica mempunyai daya adaptasi yang baik
pada daerah tropis, lingkungan air, serta jenis siput aimya. Sebaliknya, Fasciola

hepatica memiliki kemampuan bertahan pada musim dingin seperti di Eropa,

Amerika bagian utara, dan Australia (Malek 1980).

Mctaserkaria dari tanaman air
terkonsumsi oleh hewan Btaupun

4

-

Mirasidium bereneng
bebas dan menembus
lubuh siput

Teiur keluar bersama feses

Gambar 2 Siklus hidup Fasciola gigantica (Sumber: DPD.CDC 2006)
Infeksi pada hewan temak terjadi secara pasif, yaitu dengan meminum air
ataupun memakan tanaman yang mengandung metaserkaria (Soulsby 1986).
Dalam duodenum kista pecah dan mengeluarkan cacing muda. Cacing muda &an
bermigrasi dan peritoneum sudah dapat ditembus dalam 24 jam. Setelah 4-8 hari
setelah infeksi, sebagian besar telah menembus kapsula hati dan migrasi dalam
parenkhim hati. Setelah 7 minggu, cacing telah sampai di saluran empedu dan
pada minggu ke-8 cacing dewasa &an bertelur (Kusumamihardja 1992). Menurut
Soulsby (1986), cacing dewasa akan berada di saluran empedu bagian medial
setelah migrasi dari parenkhim hati selama 9-12 minggu setelah infeksi. Selama
migrasi, cacing tersebut memakan parenkhim hati. Akibatnya terbentuk jaringan
parut pada bekas parenkhim yang rusak (Kusumamihardja 1992). Masa prepaten
yang dibutuhkan oleh Fasciola gigantica adalah 13-16 minggu (Mitchell 2007).

Fasciolosis

Secara m u m patogenesa dan gejala klinis fasciolosis tergantung dari
jumlah dan tahap perkembangan cacing di hati serta tingkat kerusakan yang
terjadi. Cacing ini dapat menyebabkan akut, subakut, dan kronis fasciolosis
(Matthews 1999). Kasus fasciolosis akut dan kronis sering ditemukan pada
domba, sedangkan pada temak lain seperti sapi hanya mengalami kasus kronis
(Soulsby 1986). Hal ini disebabkan oleh ukuran hati sapi yang membesar
sehingga masih dapat mempertahankan fimgsi hati secara normal. Namun anak
sapi mungkin saja menderita fasciolosis akut apabila metaserkaria yang tertelan
dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat (Kusumamibardja 1992).
Gangguan cacing ini dapat menyebabkan terjadiiya kerusakan sel hati dan
penyumbatan saluran empedu.
Menurut Matthews (1999), fasciolosis akut terjadi ketika cacing immature
dalam jumlah besar merusak jaringan hati mengakibatkan gangguan hati dan
haemorragi (Dm 1994). Kasus akut pada umumnya terjadi di akhir musiln

g u m dan di awal musim dingin ditandai dengan kematian tiba-tiba, dyspnoe,
ascites, abdominal pain. Jumlah cacing dewasa yang ditemukan mencapai lebih
dari 1000 ekor dengan kondisi postmortem hati membesar. Pada beberapa kasus,
hati yang membesar dapat dipalpasi di daerah abdominal. Infestasi cacing yang
berlebih dapat menyebabkan anemia hemorragi akut dan hipoalbuminemia
(Mitchell 2007).
Kejadian fasciolosis subakut terjadi pada akhir musim gugur sampai
musim semi (Mitchell 2007), dengan jumlah cacing dewasa mencapai 500-1500
ekor dan telur berjumlah kurang dari 100 dalam pemeriksaan tinja (Matthews
1999). Insufisiensi hati dapat terjadi pada temak yang mengalami pendarahan di
hati akibat cacing yang memakan jaringan dan penyumbatan pada duktus empedu.
Gejala klinis yang terlihat berupa anemia, penurunan bobot badan, edema
submandibular atau bottle jaw (Matthews 1999; Mitchell 2007). Pada domba
gejala klinis muncul 1-2 minggu sebelum terjadi kematian (Mitchell 2007).
Fasciolosis yang terjadi secara kronis merupakan akibat dari kerusakan
parenkhim hati akibat migrasi dan akibat keberadaan cacing dewasa pada saluran
empedu (Matthews 1999). Kasus lebih sering tampak pada musim dingin dan

musim semi (Mitchell 2007), dengan jumlah cacing yang ditemukan sekitar 250
ekor dengan jumlah telur dalam pemeriksaan feses mencapai lebii dari 100 buah
(Matthews 1999). Diacu dalam Kusumamihardja (1992), Jenning et al. (1956)
menjelaskan bahwa satu ekor cacing dewasa mampu menghisap 0,2 ml darah per
hari, namun menurut Sinclair (1964; 1965) anemia yang terjadi merupakan efek
sekunder dari gangguan pada sistem retikuloendotelial. Gejala klinis yang dapat
terlihat adanya penurunan nafsu makan, anemia, diare kronis, bottle jaw,
eosinofilia dan hipoalbuminemia, produktifitas yang rendah ditandai dengan
perubahan konversi pakan, pembentukan karkas yang rendah ataupun p e n m a n
produksi susu (Mitchell 2007).
Dalam pemeriksaan hewan qurban, adanya infeksi Fasciola sp. hanya
dapat didiagnosa melalui pemeriksaan postmortem pada hati. Organ hati yang
terinfeksi Fasciola sp. tampak memiliki jaringan parut dan pengerasan pada
duktus empedu sebagai akibat dari migrasi cacing hati. Seringkali ditemukan
cacing dewasa yang masih hidup berwama merah segar pada saat insisi duktus
empedu.
Epidemiologi
Fasciola sp. tersebar diseluruh dunia, dengan daerah penyebaran yang

berbeda, yaitu Fasciola hepatica terutama di wilayah beriklim sedang dan i k l i i
dingin, sedangkan Fasciola gigantica mendominasi wilayah penyebaran di daerah
beriklim tropis (Suweta 1985).
Kasus fasciolosis secara epidemiologi merupakan penyakit temak yang
bersifat kosmopolitan dalam disbibusinya di negara-negara yang memelihara
hewan ruminansia (Lubis et al. 1980). Prevalensi fasciolosis banyak terjadi pada
bagian dunia dengan curah hujan yang tinggi dan padang rumput yang basah
(Dunn 1994). Faktor penting yang mendukung siklus hidup Fasciola sp. dan
penyebarannya adalah jumlah temak atau hewan herbivora yang terinfeksi,
keberadaan siput sebagai inang antara, iklim, suhu, kelembaban, komposisi kimia
tanah, flora air, dan suplai air yang cukup (Malek 1980).
Tingkat kejadian fasciolosis pada hewan tergantung pada terjadinya
kontak atau infeksi metaserkaria pada waktu akhir musim kering atau diawal
musim hujan. Karena pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium terjadi

diawal musim hujan dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap
yang lengkap pada akhir musim hujan. Dan pelepasan serkaria dimulai dari awal
musim kering dengan curah hujan yang masih cukup tinggi dan menurun seiring
makin rendahnya curah hujan (Urquhart 1987). Menurut Roberts dan Suhardono
(1996) cacing akan banyak ditemukan pada pemeriksaan postmortem dan
penghitungan jumlah telur dari feses diawal dari musim penghujan, ketika
populasi siput inang antara meningkat.
Kerugian Ekonomi Akibat Fasciolosis
Kerugian akibat infeksi cacing sulit diperkirakan, kerugian yang
diakibatkan Fasciola sp. biasanya berupa kematian pada derajat infeksi yang
tinggi terutama pada pedet maupun sapi muda, p e n m a n produksi,
keterlambatan pertumbuhan, p e n m a n berat badan dan p e n m a n daya tahan
tubuh akibat anemia yang ditimbulkan, kerusakan jaringan terutama hati dan
saluran empedu, p e n m a n kekuatan tenaga kerja ternak (sapi dan kerbau).
Kerugian ekonomi akibat organ yang di trimming (afkir) pada waktu infeksi
daging dan biaya pembelian obat-obatan serta tenaga ahli seperti dokter hewan
(Kusumamihardja 1992; Mitchell 2007).
Kristen (1927) dalam laporan Kusumamihardja & Partoutomo (1971)
menyebutkan bahwa seekor sapi akan kehilangan berat badan sebanyak 50 kg atau
lebih, beberapa minggu setelah terinfeksi cacing ini.

Penelitian lain oleh

Woedosari dan Copeman (1997), diacu dalam Spithill (1998) menyatakan bahwa
p e n m a n berat badan sangat tergantung pada kemampuan jumlah cacing hati
yang menginfeksi. Fasciolosis pada sapi Bali mampu menurunkan berat badan
mencapai 987 g r d e k o r cacingttahun, sapi Ongole mencapai 234 gramlekor
cacing/tahun, dan pada kerbau betina penurunannya mencapai 114 gramlekor
cacing/tahun.
Selain p e n m a n berat badan, kerugian juga dapat ditimbulkan oleh
hilangnya sebagian atau keseluruhan hati akibat proses trimming. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ngategize (1993) di Ethiopia, keritgian
yang ditimbulkan akibat trimming hati pada kasus fasciolosis katnbiig dan domba
mencapai 48.4 juta Ethiopian Birr. Dalam studi lain pada tahun yang berbeda,
kasus fasciolosis sapi di salah satu RPH di Jimma (Ethiopia) menimbulkan

kerugian sebesar 148.12 Ethiopian Birr per hari atau 54 063.34 Ethiopian Birr per
tahun (Tolossa & Tigre 2007). Sementara itu di Kenya, dalam kurun waktu 10
tahun (1990-1999) kerugian akibat trimming hati merupakan faktor utama
kerugian ekonomi pada kasus fasciolosis sapi, domba, dan kambing, secara
berturut-turut kemgiannya adalah 2.6 juta US$, 61.995 juta US$, dan 48.889 juta
US$ (Njeruh 2007).
Pencegahan dan Kontrol Fasciolosis

Pencegahan tidak dapat dilakukan secara efektif. Hal ini disebabkan oleh
sapi dan kerbau yang dipekerjakan sebagai hewan pembajak sawah untuk
pertanian rakyat sehingga sulit untuk memberantas siput sebagai inang antara

Fasciola sp. (Kusumamihardja 1992).
Menurut Subandriyo et al. (2004) kontrol fasciolosis pada ruminansia
kecil di Indonesia dapat dilaksanakan dengan manajemen pemberian pakan,
pemberian anthelmentik, kontrol biologi, vaksinasi, dan suplemen nutrisi.
Manajemen pakan yang diterapkan oleh Levine (1978) adalah menghindarkan
padang rumput lembab sebagai tempat hidup inang antara dan mencegah hewan
merumput di tempat tersebut sehingga hewan tidak memakan bahan pakan yang
mengandung metaserkaria. Selain itu, Suhardono et al. (1998), diacu dalam
Subandriyo et al. (2004) merekomendasikan agar temak diberi pakan segar yang
tidak terendam dalam air. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa temak
yang diberi pakan rumput yang dipotong sekitar 10 em di bawah air mempunyai
resiko lebih tinggi menderita fasciolosis daripada temak yang diberi pakan nunput
kering. Kusumamihardja (1992) menyatakan bahwa kasus fasciolosis meningkat
pada musim kemarau pada domba dan kambing di daerah Garut, hal ini
dikarenakan petani mengambil rumput dari daerah sekitar selokan, saat musim
hujan daerah tersebut terendam dan merupakan tempat menempelnya
metaserkaria.
Pemberian anthelmentik bertujuan untuk memusnahkan Fasciola sp. dari
hati hewan menggunakan obat-obatan (Dunn 1994). Hal tersebut dapat dilakukan
dengan dua car% yaitu menggunakan bahan alami dan obat-obat komersial, dan
beberapa jenis obat yang digunakan sampai tahun 1970-an antara lain Clioxanide
dan Rafoxanide (Subandriyo et al. 2004).

Chompoochan et al. (1996)

menyatakan bahwa bithionol sulfoxide mempunyai efektivitas yang cukup tinggi
untuk membunuh Fasciola gigantica. Namun demikian, pemberian obat perlu
disesuaikan dengan lingkungan.

Pada persawahan irigasi, pemberian obat

dilakukan sebelum masa panen dan dua bulan setelah masa panen. Sementara itu,
pada padang rumput yang jauh dari areal persawahan, pemberian obat disesuaikan
dengan musim. Peinberian obat yang tepat dilakukan tiap akhir musinl hujan dan
kemarau (FA0 2004).
Menurut Suhardono (1998), diacu dalam Subandriyo (2004), kontrol
biologi dapat dilakukan dengan memberantas mirasidium menggunakan bebek
sebagai salah satu kompetitor alami selain menggunakan larva trematoda lain
yang lebih dominan untuk memasuki tubuh siput sebagai inang antara Fasciola
sp.. Selain itu, cacing hati dapat dikontrol dengan memusnahkan siput (Lymnaea

rubiginosa) sebagai inang antara dengan drainase atau menggunakan molusida
seperti copper sulfat (Dunn 1994; Roberts & Suhardono 1996).
Pemberian suplemen dalam pakan seperti leguminosa, urea mineral blok

(UMB), dan zat besi untuk kambing dan domba sangat dianjurkan, berfungsi
untuk memperbaiki daya tumbuh dan menanggulangi p e n m a n berat badan
akibat infeksi parasit (Suhardono et al. 1996).
Dalam penelitian Roberts et al. (1997), penggantian breed ataupun
persilangan dengan jenis domba lain dapat digunakan untuk mengontrol
fasciolosis oleh Fasciola gigantica, karena domba ekor tipis asli Indonesia
mempunyai daya resistensi yang tinggi terhadap Fasciola gigantica.
resistensi ini dapat berupa t m a n (innate) atau dapatan (acquired).

Sifat

BAHAN DAN METODE
Pengumpulan Data :
Studi kasus ini dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari data
kasus infeksi cacing hati (fasciolosis) yang dicatat dalam kuisioner pemeriksaan
hewan qurban. Studi ini dilakukan di wilayah Jabodeta meliputi Jakarta Pusat,
Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Kota Tangerang,
Kota Depok, dan Kota Bogor (380 titik tempat pemeriksaan hewan qurban).
Quisioner tersebut diisi oleh 472 orang mahasiswa FKH IPB yang bertugas
sebagai tim pemeriksa kesehatan hewan dan daging qurban pada Hari Raya Idul
Adha 1427 H tanggal 31 Desember 2006. Data hasil quisioner dianalisis secara
deskriptif untuk mengetahui tingkat kejadian fasciolosis tiap wilayah.
Diagnosa Fasciolosis :
Diagnosa kasus fasciolosis didasarkan pada penemuan parasit (Fasciola
sp.) di organ hati pada pemeriksaan postmortem (Bindernagel 1972).
Pemeriksaan postmortem lebih ditujukan pada pemeriksaan kepala, jeroan (hati,
paru-pm, jantung, ginjal, limpa, dan usus), limfonodus, serta sebagian otot. Pada
pemeriksaan hati, dilakukan insisi atau penyayatan pada bagian parenkim hati dan
saluran empedu, karena cacing dewasa dapat ditemukan pada saluran empedu dan
cacing immature berada pada jaringan parenkim hati (Urquhart et al. 1987;
Kusumamihardja 1992).
Perhitungan Kerugian Trimming :
Pada salah satu titik tempat pemeriksaan dilakukan penimbangan organ
hati.

Hati yang positif terdapat cacing hati (Fasciola sp.) dicatat kemudian

dipisahkan antara bagian yang di-trimming dan bagian yang masih layak
dikonsumsi.

Kemgian yang telah diketahui akan menjadi acuan dalam

menghitung jumlah orang yang tidak mendapat santunan dan total kerugian
ekonomi untuk seluruh Indonesia akibat fasciolosis.
Total kemgian Indonesia (dalam Rupiah) :
Untuk Sapi

=

Tingkat kejadian fasciolosis x total jumlah
sapi potong Indonesia x berat trimming x
harga hati sapi

Untuk Kambiig dan Domba

=

Tigkat kejadian fasciolosis x total jumlah
kambing domba Indonesia x berat trimming

x harga hati kambing dan domba

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pemeriksaan kesehatan hewan dan daging qurban di wilayah
Jabodeta pada hari raya Idul Adha 1427 H dikumpulkan dari 380 titik
pemeriksaan. Sebagian besar titik pemeriksaan terdapat sapi serta kambing dan
domba sebagai hewan qurban. Jika titik pemeriksaan dibedakan tiap hewan
qurban, maka didapatkan 335 titik untuk sapi dan 374 titik untuk kambing dan
domba (Gambar 3).

Jakarta
Pusat

Jakarta

Timur

Jaksna
Selatsn

Jakarta Barat

Jakarta

Kata

Utara

Tsngeranp

KO@ Depak

Wilayah

Gambar 3 Jumlah titik-titik pemeriksaan sapi ( Dl) dan kambing domba (El ) di
tiap wilayah pemantauan.

Gambar 4 Pemeriksaan postmortem hewan qurban.

Tingkat Kejadian Pasciolosis pada Sapi

Pemeriksaan postmortem pada hewan qurban yang dipotong di wilayah
Jabodeta hari raya Idul Adha 1427 H menunjukkan 168 ekor sapi (9.6%)
terinfeksi cacing hati.
Tabel 2 Jumlah kasus dan prevalensi fasciolosis pada sapi
Wilayah
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Selatan
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Kota Tangerang
Kota Devok
Kota ~ o g o r
Total

Jumlah sapi yang
diperiksa (ekor)
240
271
24 1
229
250
99
268
152
1750

Positif fasciolosis
(ekor)
51
14
12
22
26
12
12
19
168

Tingkat kejadian
21.25
5.17
4.98
9.60
10.40
12.12
4.47
12.50
9.60

Jumlah kasus fasciolosis pada sapi bervariasi diantara wilayah
pemeriksaan. Kasus terendah ditemukan di Kota Depok yaitu 12 ekor (4.47%),
sedangkan jumlah kasus tertinggi diantara wilayah pemantauan lain terjadi di
Jakarta Pusat yaitu 51 ekor (21.25%). Perbedaan tingkat kejadian fasciolosis pada
tiap wilayah disebabkan oleh perbedaan asal hewan qurban. Berdasarkan data
dari quisioner pada pemeriksaan hewan qurban 1427 H, sebagian besar pasokan
hewan ini berasal dari daerah Jawa Barat yang merupakan daerah endemis
fasciolosis (Muchlis 1985), selain itu hewan qurban berasal dari daerah sekitar,
seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung. Hewan qurban ini didatangkan
beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelum hari raya Idul Adha, sehingga
infeksi atau kasus fasciolosis pada sapi qurban sangat tergantung pada asal dari
hewan qurban tersebut.
Tingkat kejadian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitianpenelitian sebelumnya. Bahkan Spithill et al. (1999) menyatakan bahwa nilai
estimasi prevalensi fasciolosis pada ruminansia di beberapa negara mencapai
kisaran antara 80-100%. Perbedaan hasil ini diduga juga berkaitan dengan jenis
metode diagnosis yang digunakan.

Survei Kusumamihardja dan Partoutomo

(1971) memperlihatkan bahwa prevalensi fasciolosis mencapai 66% pada 250
ekor sapi yang dipotong di

pemotongan hewan di pulau Jawa

pada pemeriksaan postmortem. Sedangkan penelitian Sayuti (2007) pada sapi
Bali dari Kabupaten Karangasem, Bali menemukan telur Fasciola sp. sebesar
18.29% dari 257 sampel feses yang diperiksa.
Sela