s s s h m
                                                                                120 2007,  termasuk  kategori
T  yang  sangat  lambat,  yang  memberikan  kondisi sistem yang setimbang ekuilibrium.  Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian
Martini  et  al.  2002a  pada  SFC  campuran  lemak,  dimana  SFC  sampel  telah mencapai  90  SFC  maksimum  sebelum  T
C
tercapai  karena  penataan  molekul lemak telah terjadi sebelum pembentukan inti kristal lemak berlangsung.
Berdasarkan  hasil  pengujian  kristalisasi  CPO  pada  kondisi  dinamis  di T
0.1
o
Cmenit  dan  shear  rate  400  s
-1
pada  beberapa  T
C
dapat  disimpulkan  bahwa selama  suhu  pengujian  masih  menurun  dari  55
o
C  menuju  T
C
terendah  30
o
C kondisi  belum  isotermal,  proses  kristalisasi  belum  akan  terjadi.
CPOakan meningkat namun hanya akibat terjadinya peningkatan interaksi molekuler akibat
suhu  yang  menurun,  dan  bukan  akibat  terjadinya  induksi  kristalisasi.    Pada kondisi isotermal di T
C
40
o
C yang merupakan suhu di atas T
M
CPO, tidak terjadi kristalisasi  lemak  CPO  karena  kondisi  supercooling  tidak  tercapai  dan
  dapat dipertahankan tetap rendah di sekitar 37 mPa.s hingga 330 menit 5.5 jam.  Akan
tetapi pada kondisi isotermal T
C
di bawah T
M
terjadi kondisi supercooling, maka terjadi  induksi  kristalisasi  pada  waktu  tertentu,  yang  merupakan  interval  waktu
yang  dapat  digunakan  untuk  proses  pemanasan  kembali  CPO  agar  kristalisasi dapat  dicegah.  Pada suhu 30
o
C, kristalisasi  lemak baru mulai  terjadi setelah 30 menit suhu isotermal tercapai.  Semakin tinggi T
C
isotermal yang berlangsung, 
isotermal semakin rendah dan kristalisasi terjadi pada t
i
yang semakin lama.
Karakteristik CPO  Selama Pengaliran dalam Pipa Sirkulasi
Karakteristik  CPO  yang  mencakup  parameter  proses  kristalisasi  dan  sifat reologi  akibat  pengaruh  laju  penurunan  suhu
T,  shear  rate  dan  suhu  pada kondisi  isotermal  yang  menginduksi  kristalisasi  T
C
dikonfirmasi  melalui percobaan  pengaliran  dalam  pipa  sirkulasi.    Hasil  rancang  bangun  pipa  sirkulasi
pada  skala  laboratorium  dapat  dilihat  pada  Gambar  29.    Dimensi  pipa  sirkulasi dapat  dilihat  pada  Tabel  20,  sedangkan  perlengkapan  pendukung  pipa  sirkulasi
berupa  tangki  penyeimbang  balance  tank  dengan  pemanas  berupa  tubular  heat exchanger dan media pemanas steam, pompa, flowmeter, serta thermocouple dan
thermorecorder seperti dapat dilihat pada Gambar 30.
121
Gambar 29 Pipa sirkulasi untuk pengujian karakteristik CPO selama pengaliran.
a b
c d
Gambar  30  Perlengkapan  pendukung  pipa  sirkulasi  berupa  a  tangki penyeimbang dengan pemanas, b pompa, c flowmeter, dan d
thermorecorder.
122 Tabel 20 Dimensi pipa sirkulasi untuk pengujian simulasi pengaliran CPO.
No Parameter
Simbol Satuan
Nilai 1
Diameter tangki D
m 0.53
2 Tinggi tangki
t m
0.57 3
Volume tangki V
m
3
0.13 4
Diameter dalam pipa ID
inci 1
m 0.026
5 Diameter luar pipa
OD m
0.034 6
Volume total pipa Vp
m
3
0.0132
Instrumen  pendukung  di  dalam  pengujian  pengaliran  CPO  dalam  pipa sirkulasi  adalah  Brookfield  Viscometer  yang  digunakan  untuk  mengamati
viskositas CPO selama pengaliran.  Pengukuran dilakukan segera interval waktu sekitar  30  detik  setelah  pengambilan  sampel  dari  pipa  sirkulasi.    Brookfield
Viscometer termasuk viscometer rotasi yang mengukur nilai viskositas terukur ,
tanpa  dapat  ditentukan  sifat  reologinya.    Toledo  1991  mengemukakan  bahwa untuk memonitor viskositas di sepanjang aliran kontinyu, viscometer rotasi dapat
digunakan  untuk  pengukuran  secara  semikontinyu.    Pengujian  dilakukan  dengan mengambil  fluida  secara  periodik  dari  pipa  melalui  katup  pengambilan  sampel,
dan menampungnya dalam wadah sampel yang digunakan pada viscometer rotasi. Terdapat  beberapa  keterbatasan  dan  kendala  yang  dihadapi  di  dalam
pelaksanaan pengujian karakteristik CPO selama pengaliran dalam pipa sirkulasi, yang  menyebabkan  tidak  dapat  diterapkannya  ulangan  percobaan.    Kendala
pertama  yang  dihadapi  adalah  kondisi  suhu  lingkungan  yang  tidak  dapat dikontrol,  sehingga  berpengaruh  terhadap  suhu  percobaan  pengaliran  CPO  di
dalam pipa.  Akibatnya T di awal pengaliran CPO dan profil suhu selama proses
pengaliran  sangat  ditentukan  oleh  kondisi  yang  terjadi  di  lapangan,  dan  tidak dapat berlangsung pada  kondisi  yang sama pada percobaan berikutnya.   Kendala
lainnya adalah suhu pengaliran tidak dapat mencapai suhu di bawah 36
o
C, karena suhu  lingkungan  bangsal  percobaan  yang  cukup  tinggi  sekitar  35
o
C  pada  saat pengujian dilaksanakan.  Upaya menurunkan suhu pengaliran CPO di dalam pipa
telah  dilakukan  dengan  mendinginkan  tangki  penyeimbang  dengan  media
123 pendingin es batu yang dikemas dalam  plastik, akan tetapi penurunan suhu yang
terjadi tidak mampu mencapai suhu yang lebih rendah dari 36
o
C. Keterbatasan  lain  yang  terdapat  pada  pengujian  dengan  pipa  sirkulasi  ini
adalah  shear  rate  yang  tidak  seragam  untuk  seluruh  bagian  sampel  yang digunakan.    Selain  karena  sampel  tidak  secara  bersama-sama  dalam  kondisi
mengalir ada sampel yang tertampung dalam tangki penyeimbang, shear rate di sepanjang  aliran  pada  kenyataannya  lebih  tinggi  dari  perhitungan  teoritis  shear
rate  pada  pipa  lurus.    Sampel  CPO  secara  terus  menerus  bersirkulasi  melalui pompa, flowmeter dan beberapa belokan pipa, sehingga menghasilkan shear rate
aktual  yang  lebih  tinggi.    Pembersihan  pipa  yang  kurang  baik  setelah  percobaan selesai  juga  menyebabkan  tersisanya  air  di  dalam  pipa,  dan  menyebabkan
kontaminasi pada sampel yang dapat mempercepat waktu induksi kristalisasi CPO selama pengaliran.   Menurut  Rye  et  al.  2005,  air merupakan pengotor katalitik
catalytic  impurities  yang  dapat  menginduksi  pembentukan  inti  kristal  pada kristalisasi heterogen.
Pengujian pengaliran dalam pipa sirkulasi dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil  pengujian  sifat  reologi  dan  kristalisasi  CPO  yang  telah  diuji  pada  kondisi
dinamis  terkontrol  dengan  instrumen  HAAKE  Viscometer  Rotovisco  RV20, khususnya  pada  fenomena  perubahan
selama tahap penurunan suhu dan tahap pengaliran  isotermal.    Pengaliran  CPO  diawali  dengan  pemanasan  CPO  hingga
suhu  55
o
C  dan  dipastikan  seluruh  bagian  sampel  CPO  meleleh  sempurna. Selanjutnya sampel dialirkan pada suhu tersebut selama minimal 10 menit dengan
terus  menghidupkan  sistem  pemanas  steam  pada  tangki  penyeimbang  untuk menjamin suhu pengaliran yang seragam.  Selanjutnya sistem pemanas dimatikan
dan  CPO  terus  dialirkan,  untuk  kemudian  dilakukan  pengamatan  terhadap  suhu dan
 pada setiap selang waktu pengamatan tertentu. Sifat fisik penting yang mempengaruhi proses pengaliran yang dimulai dari
suhu 55
o
C  hingga suhu kamar adalah titik leleh T
M
sampel CPO yaitu 39.53
o
C. Melalui  beberapa  kali  percobaan  pengaliran  CPO  dalam  pipa  sirkulasi,  dapat
diperoleh beberapa percobaan dengan kondisi pengaliran isotermal setelah terjadi penurunan suhu dari suhu awal 55
o
C, yaitu percobaan pada: a suhu pengaliran isotermal  48
o
C  T
M
;    b  suhu  pengaliran  isotermal  41
o
C    T
M
;  c  suhu
124 pengaliran isotermal 39
o
C  T
M
;  dan d suhu pengaliran isotermal  36
o
C T
M
.    Profil  perubahan  suhu  dan selama  pengujian  pengaliran  dengan  pipa
sirkulasi pada empat percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 31. Pada  Gambar  31  secara  umum  terlihat  bahwa  pada  pengaliran  CPO  yang
dimulai dari suhu 55
o
C, akan  terjadi pelepasan  panas  yang mengakibatkan suhu CPO  menurun  menuju  suhu  kesetimbangan  dengan  lingkungan  dan  mengalami
kondisi  isotermal suhu  konstan.    Saat  suhu  menurun  dari  55
o
C  menuju  suhu isotermalnya,
CPO akan meningkat secara linier dan akhirnya konstan saat suhu isotermal  tercapai  dengan  profil  perubahan
yang  hampir  sama  untuk  keempat kondisi  pengaliran.      Profil  data
tersebut  sesuai  dengan  hasil  pengujian  tahap sebelumnya  pada  kondisi  dinamis  terkontrol,  mengenai  profil
dan  nilai  energi aktivasi  E
a
sebelum  tahap  kristalisasi.    Peningkatan selama  penurunan  suhu
terjadi karena peningkatan interaksi molekuler dalam sampel Santos et al. 2005, dan bukan disebabkan oleh terjadinya kristalisasi lemak Tarabukina et al. 2009.
Pada  percobaan  a  Gambar  31  a  dan  percobaan  b  Gambar  31  b dengan suhu pengaliran isotermal di atas T
M
,  akan tetap konstan dengan besaran
yang  sangat  tergantung  pada  suhu  isotermal  yang  berlangsung.    Tidak  terjadi peningkatan
 yang drastis selama pengaliran hingga 300 menit 5 jam.  Hal ini membuktikan bahwa bila suhu pengaliran CPO dipertahankan di atas  T
M
,  belum terjadi  induksi  kristalisasi  CPO  sehingga  tetap  dalam  fase  cair.      Induksi
kristalisasi  tidak  terjadi  karena  belum  terjadi  kondisi  supercooling  yang berlangsung pada suhu di bawah T
M
. Percobaan a yang berlangsung pada suhu isotermal 48
o
C menghasilkan 
saat  isotermal  sekitar  33  mPa.s,  lebih  rendah  dibandingkan  percobaan  b  yang berlangsung pada suhu isotermal 41
o
C yang memiliki   sekitar 37 mPa.s.  Pada
suhu isotermal yang lebih tinggi,  bernilai lebih rendah karena menurut Santos et
al.  2005,  suhu  tinggi  menyebabkan  terjadinya  penurunan  interaksi  molekuler. Munson  et  al. 2001 juga menyatakan bahwa saat  suhu mengalami  peningkatan
terjadi  penurunan  gaya  kohesif  pada  molekul-molekul  fluida.    Hal  tersebut mengakibatkan
 CPO lebih rendah pada suhu yang lebih tinggi.
125
Viskositas terukur Suhu
a b
a b
c d
Gambar  31    Profil  perubahan  viskositas  terukur  dan  suhu  selama  pengujian
pengaliran  dengan  pipa  sirkulasi  yang  dimulai  dari  suhu  55
o
C, dengan percobaan pada:
a suhu pengaliran isotermal 48
o
C T
M
; b suhu pengaliran isotermal 41
o
C  T
M
; c suhu pengaliran isotermal 39
o
C  T
M
; d suhu pengaliran isotermal 36
o
C  T
M
.
20 25
30 35
40 45
50 55
60
10 100
1000
100 200
300
S u
h u
o
C
V is
k os
it as
t e
r u
k u
r m
P a.s
Waktu menit
20
25
30 35
40
45 50
55
60
10
100 1.000
100 200
300
S u
h u
o
C
V is
k os
it as
t e
r u
k u
r m
P a.s
Waktu menit
20 25
30 35
40 45
50 55
60
10 100
1000
100 200
300
S u
h u
o
C
V is
k os
it as
t e
r u
k u
r m
P a.s
Waktu menit
20 25
30 35
40 45
50 55
60
10 100
1000
100 200
300
S u
h u
o
C
V is
k os
it as
t e
r u
k u
r m
P a.s
Waktu menit
Viskositas terukur                          suhu
h
126 Berdasarkan pengujian sebelumnya yang mempelajari pengaruh
  dari 55
o
C  menuju  suhu  pengaliran  isotermal  dan  pengaruh  shear  rate  terhadap CPO
dengan  Rotovisco  RV20,  perlakuan  hingga  suhu  isotermal  di  atas  30
o
C menghasilkan  E
a
yang  tidak  berbeda  nyata  P0.05,  yang  menunjukkan  bahwa perubahan
 akibat suhu terjadi dengan kecenderungan yang sama.  Berdasarkan hasil pengujian sebelumnya pada kondisi dinamis terkontrol, diketahui bahwa
 
pada  kisaran  0.1-1
o
Cmenit  dan  shear  rate  pada  kisaran  40-400  s
-1
tidak berpengaruh  terhadap
  CPO pada saat belum terjadi induksi kristalisasi.   Hasil pengujian pada kondisi dinamis terkontrol di suhu isotermal 40
o
C pada T 0.1
o
C dan  shear  rate  400  s
-1
juga  menghasilkan  nilai yang  sama  sekitar  37  mPa.s.
Pengujian  dalam  pipa  sirkulasi  pada  percobaan  a  dan  b  membuktikan  pula bahwa  shear  rate  yang  terjadi  di  sepanjang  pipa  tidak  berpengaruh  terhadap
 CPO  tersebut,  karena  pada  suhu  pengaliran  di  atas  T
M
sifat  reologi  CPO  masih sebagai fluida Newtonian.
Nilai  pada suhu pengaliran isotermal di atas T
M
,  diperkirakan  akan  tetap konstan  selama  suhu  dan  shear  rate  yang  diterapkan  bernilai  tetap  di  sepanjang
aliran.    Pada  suhu  pengaliran  isotermal  di  atas  T
M
sekitar  40
o
C,  belum  terjadi kondisi  supercooling  sehingga  inti  kristal  lemak  belum  terbentuk.    Nilai
 CPO yang harus ditanggung oleh sistem pipa pada suhu pengaliran isotermal di atas T
M
maksimal sebesar 37 mPa.s. Pada  percobaan  c  dengan  suhu  isotermal  39
o
C  Gambar  31  c  dan percobaan  d  dengan  suhu  isotermal  36
o
C  Gambar  31  d,  terlihat  profil perubahan
  yang  berbeda  dibandingkan  percobaan  a  dan  b.      Karena  suhu pengaliran  percobaan  c  dan  d  terus  mengalami  penurunan  dan  terjadi  kondisi
isotermal  pada  suhu  di  bawah  T
M
CPO  39.53
o
C,  maka  terjadi  kondisi supercooling  yang  menjadi  driving  force  terjadinya  kristalisasi  lemak.    Nilai
 CPO pada percobaan c dan d akan meningkat drastis saat dialirkan pada suhu
di  bawah  T
M
.    Pada  kedua  percobaan  tersebut,  suhu  pengaliran  saat  isotermal dapat  dianggap  sebagai  suhu  kristalisasi  isotermal  T
C
dengan  derajat supercooling T
C
-T
M
tertentu.
127 Sebelum  terjadi  induksi  kristalisasi  saat  suhu  isotermal  tercapai,
  CPO bernilai relatif konstan disebut
 isotermal pada interval waktu tertentu sebelum induksi  kristalisasi  terjadi.      Percobaan  dengan  T
C
39
o
C  derajat  supercooling 0.53
o
C,  menghasilkan   isotermal  sebesar  43  mPa.s,  sedangkan  percobaan
dengan  T
C
isotermal  36
o
C  derajat  supercooling  3.53
o
C,  menghasilkan 
isotermal yang lebih besar yaitu sekitar 75 mPa.s.   isotermal di T
C
36
o
C lebih tinggi  dari  pada  T
C
39
o
C  karena  pengaliran  CPO  terjadi  pada  suhu  yang  lebih rendah, sehingga interaksi molekuler menjadi lebih kuat Santos et al. 2005.
Pada  kondisi  pengaliran  isotermal  di  bawah  T
M
,  kristalisasi  lemak  mulai terjadi setelah melalui waktu induksi kristalisasi tertentu t
i
.   Pada percobaan c di T
C
39
o
C,  CPO yang semula bernilai tetap sekitar 43 mPa.s, akan mengalami
kenaikan setelah 4 jam pengaliran dengan t
i
berlangsung selama sekitar 80 menit. Setelah t
i
terlampaui, terjadi peningkatan   yang cukup drastis  hingga 106 mPa.s
yang  mengindikasikan  mulai  terjadinya  proses  kristalisasi  lemak  pada  suhu tersebut.   Pada percobaan d di T
C
36
o
C, t
i
berlangsung pada waktu yang lebih singkat  yaitu  sekitar  20  menit,  dan  terjadi  peningkatan
  yang lebih besar  yaitu yang  semula  sekitar  75  mPa.s  meningkat  sangat  drastis  hingga  770
mPa.s. Terjadinya peningkatan yang drastis akibat pembentukan kristal lemak,
juga teramati secara visual pada akhir proses pengaliran. Berdasarkan  hasil  percobaan  c  dan  d  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa
percobaan  pengaliran  dengan  derajat  supercooling  yang  lebih  tinggi  memiliki isotermal  yang  lebih  tinggi  dengan  t
i
yang  lebih  singkat.    Hasil  pengujian dengan pipa sirkulasi ini mengonfirmasi  hasil pengujian pengaruh  T
C
terhadap 
CPO  yang  dilakukan  dengan  HAAKE  Rotovisco  RV20,  dimana  derajat supercooling yang semakin besar akan menghasilkan
 isotermal yang lebih besar dan t
i
yang lebih singkat. Selama percobaan pengaliran, dilakukan juga pengamatan sifat reologi CPO
dengan  HAAKE  Viscometer  Rotovisco  RV20  pada  suhu  tertentu.    Pengujian tersebut  untuk  memantau  perubahan  sifat  reologi  CPO  melalui  penentuan
parameter  indeks  tingkah  laku  aliran  flow  behaviour  index,  n  dan  indeks konsistensi  concistency  index,  K.      Hasil  pengukuran  parameter  sifat  reologi
CPO selama pengaliran disajikan pada Tabel 21.
128 Tabel  21  Sifat  reologi  CPO  selama  pengaliran  dengan  suhu  awal  55
o
C  menuju suhu pengaliran isotermal 36
o
C. Suhu
o
C Persamaan
power law Indeks tingkah
laku aliran, n Indeks
konsistensi, K Pa.s
n
Sifat reologi 55
y = 0.961x - 1.572 0.961
0.027 ~ Newtonian
50 y = 0.904x - 1.348
0.904 0.045
~ Newtonian 45
y = 0.915x - 1.035 0.915
0.049 ~ Newtonian
40 y = 1.021x - 1.445
1.021 0.035
~ Newtonian 36
y = 0.667x - 0.060 0.667
0.870 Pseudoplastic
Pada  percobaan  pengaliran  dengan  pipa  sirkulasi  hingga  T
C
36
o
C,  dapat ditentukan model pengaruh suhu terhadap
 CPO saat suhu mengalami penurunan dan belum isotermal.  Berdasarkan hasil perhitungan  yang tersaji pada Lampiran
35, diperoleh nilai  E
a
saat  pengaliran sebelum kondisi  isotermal  tercapai sebesar 32.88  kJmol  R²  =  0.862.    Nilai  E
a
tersebut  hampir  sama  dengan  E
a
hasil percobaan  kondisi  dinamis  terkontrol  dengan  instrumen  HAAKE  Rotovisco
RV20,  yang  menghasilkan  E
a
sekitar  31  kJmol.    Dengan  demikian  hasil  ini kembali  dapat  mengkonfirmasi  bahwa  pada  kondisi  suhu  yang  menurun  dari  55
o
C  dengan  kisaran T  dan  shear  rate  tertentu,  profil  perubahan
    CPO  relatif sama selama belum terjadi induksi kristalisasi.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pada suhu 55
o
C hingga suhu 40
o
C, CPO cenderung memiliki sifat sebagai fluida Newtonian dengan nilai n di sekitar  1,  dan  nilai  K  serta
  yang  kecil.    Hasil  tersebut  juga  sesuai  dengan Foubert  et  al.  2003  yang  menyatakan  bahwa  sebelum  proses  kristalisasi
berlangsung,  sampel  lemak  memiliki  sifat  fluida  Newtonian.    Pada  saat  itu  CPO masih  dalam  bentuk  fase  cair  yang  mudah  mengalir  yang  sesuai  dengan  sifat
sampel RBDPO pada zona A  yang diteliti oleh Tarabukina et al. 2009, dimana peningkatan
  hanya  disebabkan  oleh  terjadinya  penurunan  suhu,  dan  belum terjadi kristalisasi lemak.
Pengaliran  lebih  lanjut  pada  suhu  yang  lebih  rendah  dari  40
o
C  yang  juga lebih  rendah  dari  T
M
39.53
o
C  menyebabkan  CPO  mengalami  transisi  sifat reologi menjadi fluida non-Newtonian pseudoplastic dengan nilai n yang semakin
129 kecil,  dan  nilai  K  serta
yang semakin besar.  Pada suhu di bawah T
M
tersebut telah terjadi kondisi supercooling yang menginduksi terjadinya kristalisasi lemak.
Akan tetapi  perlu diingat bahwa induksi  kristalisasi  tidak langsung terjadi begitu terjadi  kondisi  supercooling.    Pengujian  sebelumnya  pada  kondisi  dinamis
terkontrol  menunjukkan  bahwa  selama  kondisi  isotermal  belum  terjadi  dan  suhu masih menurun dari suhu 55
o
C hingga suhu terendah 30
o
C pada T dan shear
rate  tertentu,  induksi  kristalisasi  belum  akan  terjadi  hingga  mencapai berlangsung kondisi yang isotermal.  Pada  saat isotermal dengan suhu di bawah
T
M
,  terjadi  peningkatan   yang  drastis  yang  teramati  secara  visual  dari  sampel
yang  keruh  dan  mengental.    Dengan  peningkatan  tersebut, beban pemompaan
semakin  tinggi,  dan  bila  pengaliran  terus  dilanjutkan  akan  terjadi  kristalisasi lemak yang berlebihan yang dapat menyebabkan penyumbatan pipa.
Pada  percobaan  simulasi  pengaliran  ini,  transisi  sifat  reologi  CPO  dari Newtonian  menjadi  non-Newtonian  pseudoplastic  yang  juga  mengindikasikan
telah  terjadinya  induksi  kristalisasi,  terjadi  pada  suhu  isotermal  di  bawah  T
M
yaitu  pada  suhu  pengaliran  isotermal  39  dan  35
o
C.    Akan  tetapi,  bila  suhu pengaliran isotermal dapat dicapai pada suhu 30
o
C, induksi kristalisasi juga akan terjadi setelah suhu 30
o
C tersebut tercapai dengan t
i
tertentu.  Pada suhu di atas 30
o
C,  selama  suhu  pengaliran  masih  mengalami  laju  penurunan  suhu  tertentu  dan belum  isotermal,  belum  akan  terjadi  induksi  kristalisasi  dan  sifat  fluida  masih
Newtonian dengan  tertentu.
Berdasarkan  hasil  perhitungan  sesuai  kondisi  pengaliran  di  pipa  sirkulasi, secara teoritis dapat dihitung shear rate  yang dialami CPO yaitu 310 s
-1
, dan T
sebesar  0.162
o
Cmenit  suhu  menurun  sekitar  2  jam  dari  suhu  55
o
C  ke  35
o
C. Induksi  kristalisasi  pada  percobaan  pengaliran  dengan  pipa  sirkulasi  pada  T
C
36
o
C terjadi setelah 20 menit suhu isotermal  tercapai,  lebih singkat  dibandingkan  t
i
hasil percobaan pada kondisi dinamis terkontrol dengan HAAKE Rotovisco RV20 pada T
C
35
o
C dengan T 0.1
o
Cmenit dan shear rate 400 s
-1
sebesar 90 menit. Terjadinya  perbedaan  pada  data
  isotermal  dan  t
i
yang  dihasilkan  percobaan dinamis  terkontrol,  dengan  percobaan  simulasi  pengaliran  dengan  pipa  sirkulasi
disebabkan  adanya  beberapa  kondisi  percobaan  yang  berbeda.    Salah  satu  faktor penyebab  perbedaan  tersebut  diduga  karena  pada  percobaan  pengaliran  dengan
130 pipa sirkulasi, suhu lingkungan yang tinggi di atas 35
o
C menyebabkan T yang
terjadi  antara  suhu  CPO  dengan  suhu  lingkungan  telah  sangat  kecil,  sehingga kondisi isotermal sebenarnya telah mulai berlangsung pada suhu yang lebih tinggi
dari suhu isotermal  yang dicobakan.  Akibatnya, pada suhu sedikit di bawah  T
M
, kondisi  isotermal  yang  terjadi  selama  pengaliran  dalam  pipa  sirkulasi
menyebabkan  induksi  kristalisasi  lemak  yang  menyebabkan  nilai   yang  lebih
tinggi  dan  t
i
yang  lebih  cepat  dibandingkan  kondisi  percobaan  dinamis  yang terkontrol.
Faktor  lain  yang  diduga  juga  mempengaruhi  data  hasil  pengujian  pipa sirkulasi dengan t
i
yang lebih singkat diduga karena shear rate aktual yang terjadi lebih  besar  akibat  CPO  tersirkulasi  pada  pompa,  flowmeter,  dan  tangki
penyeimbang.    Selain  itu  terdapat  sisa  air  pada  pipa  yang  menurut  Rye  et  al. 2005  merupakan  pengotor  katalitik  catalytic  impurities  yang  dapat
menginduksi pembentukan inti kristal pada kristalisasi heterogen.   Kondisi suhu lingkungan yang tinggi suhu sekitar 35
o
C juga menyebabkan kondisi isotermal cenderung telah mulai terjadi pada suhu yang lebih tinggi dari T
C
35
o
C, sehingga diduga  mempercepat  terjadinya  induksi  kristalisasi  pada  percobaan  pengaliran
dengan pipa sirkulasi. Berdasarkan  hasil  pengujian  tersebut,  dapat  dikonfirmasi  bahwa
karakteristik  CPO  hasil  pengujian  dengan  pipa  sirkulasi  sesuai  dengan  hasil pengujian  karakteristik  CPO  pada  kondisi  dinamis  terkontrol.    Bila  kondisi
isotermal belum tercapai, sifat reologi CPO masih  dipertahankan bersifat sebagai fluida  Newtonian  dengan
  yang  tetap  rendah.    Suhu  pengaliran  isotermal  yang memberikan  derajat  supercooling  tertentu  sangat  menentukan  terjadinya  induksi
kristalisasi CPO selama pengaliran.  Proses pemanasan CPO kembali pada kondisi yang  mengalir  untuk  mencegah  kristalisasi  lemak  yang  berlebihan  dapat
dilakukan pada periode isotermal sebelum induksi kristalisasi terjadi pada kisaran waktu  t
i
. Untuk  menjamin  CPO  tetap  dapat  mengalir  di  sepanjang  pipa,  terjadinya
induksi kristalisasi lemak CPO harus dicegah.  Bila pengaliran berlangsung pada kondisi non-isotermal dan suhu terus mengalami penurunan dari 55
o
C dengan T
dan  shear  rate  tertentu,  maka  pengaliran  CPO  dapat  dilakukan  hingga  suhu
131 tertentu  sebelum  terjadi  induksi  kristalisasi.    Pada  kondisi  non-isotermal  hingga
suhu  30
o
C,  CPO  masih  mempertahankan  sifatnya  sebagai  fluida  Newtonian, belum  mengalami  induksi  kristalisasi,  dan  memiliki
  yang  relatif  rendah  di bawah 60 mPa.s.
Kondisi supercooling dapat menginduksi kristalisasi lemak CPO, khususnya pada  kondisi  mengalir  yang  mengalami
T  dan  shear  rate  tertentu.    Dengan demikian,  untuk  menjamin  CPO  tetap  dapat  mengalir  di  sepanjang  pipa,  maka
pembentukan  kristal  lemak  pada  CPO  selama  pengaliran  perlu  dicegah. Kristalisasi  lemak  pada  CPO  dapat  dicegah  dengan  cara  mempertahankan  suhu
pengaliran  yang  lebih  tinggi  dari  titik  leleh  T
M
CPO  atau  dengan memperhitungkan suhu saat terjadinya kondisi isotermal,  yang sangat tergantung
pada suhu lingkungan pengaliran.   Proses pemanasan CPO kembali pada kondisi yang  mengalir  untuk  mencegah  kristalisasi  lemak  yang  berlebihan  dapat
dilakukan pada periode isotermal sebelum induksi kristalisasi terjadi pada kisaran waktu  t
i
. Untuk  aplikasi  kendali  pengaliran  CPO  di  dalam  pipa,  karakteristik  CPO
khususnya  sifat  reologi  dan  kristalisasi  CPO  sepanjang  pengaliran  harus diperhitungkan secara mendetail.  Selain itu, kendali proses pengaliran juga harus
didasarkan pada kondisi lapangan dan kelengkapan fasilitas perpipaan yang ingin dibangun.  Diperlukan  perhitungan  khusus  untuk  dapat  memanfaatkan
karakteristik CPO selama pengaliran ini agar proses pengaliran dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Simpulan
Proses  perubahan  sifat  reologi  dan  sifat  kristalisasi  CPO  dipelajari  pada kondisi  statis  yang  diuji  dengan  DSC,  serta  pada  kondisi  dinamis  melalui
penerapan perlakuan laju penurunan suhu T dan shear yang terkontrol maupun
melalui pengujian simulasi pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi.  Pada pengujian kristalisasi  kondisi  statis,  T
C
30
o
C  belum  menyebabkan  CPO  mengalami  proses kristalisasi.    Pada  T
C
26
o
C  dan  25
o
C  terdeteksi  proses  kristalisasi  CPO  yang ditandai  oleh  sebuah  kurva  eksotermik,  sedangkan  pada  T
C
22-24
o
C  proses
132 kristalisasi terdeteksi dalam dua kurva eksotermik.  Pada
T yang semakin besar penurunan suhu semakin cepat, maka waktu induksi kristalisasi t
i
lebih singkat. Pengujian sifat reologi dan kristalisasi CPO pada kondisi dinamis dilakukan
melalui  penerapan  kombinasi  perlakuan
T  0.1,  0.2,  0.5,  dan  1
o
Cmenit  dan shear rate 40, 100, dan 400 s
-1
, yang menghasilkan karakteristik sebagai berikut: 1.  Pada  saat  suhu  menurun  dari  55
o
C  ke  25
o
C,  CPO  akan  mengalami peningkatan
 secara linier, CPO masih dalam fase cair, dan bersifat sebagai fluida  Newtonian.    Profil  peningkatan
  CPO  relatif  sama  untuk  setiap kombinasi  perlakuan
T  dan  shear  rate  kecuali  pada  perlakuan  dengan  T terkecil  yaitu  0.1
o
Cmenit.          Pada T  0.2,  0.5  dan  1
o
Cmenit,   akan
meningkat dari semula rata-rata sebesar 21 mPa.s di suhu 55
o
C, menjadi rata- rata  sebesar  70  mPa.s  pada  suhu  25
o
C.  Pada  perlakuan T 0.1
o
Cmenit, 
meningkat  secara  cukup  drastis  pada  suhu  sekitar  28
o
C yang
mengindikasikan telah terjadinya induksi kristalisasi sebelum mencapai T
C
25
o
C.  Pada laju penurunan suhu yang sangat lambat, induksi kristalisasi dapat terjadi walaupun suhu kristalisasi isotermal belum tercapai.
2.    Kombinasi  perlakuan T  dan  shear  rate  pada  kisaran  suhu  dari  55-30
o
C menghasilkan profil perubahan
 yang relatif sama.  Pada kisaran suhu 55-30
o
C,  perlakuan T,  shear  rate,  dan  interaksi  antara  T  dan  shear  rate,  tidak
berpengaruh  nyata  terhadap  E
a
P0.05  dan  profil  perubahan .    Pada
kondisi  non-isotermal  dari  suhu  awal  55
o
C  hingga  suhu  30
o
C,  CPO  masih mempertahankan  sifatnya  sebagai  fluida  Newtonian,  belum  mengalami
induksi kristalisasi, dan memiliki  yang relatif rendah di bawah 60 mPa.s.
3.  Pengaruh kombinasi  perlakuan T dan shear rate terhadap CPO menentukan
waktu  terjadinya  induksi  kristalisasi  t
i
dan   maksimal  
maks
yang  dapat dicapai  sampel  CPO  setelah  proses  kristalisasi.    Pada  kisaran  perlakuan,
T dan  shear  rate  masing-masing  berpengaruh  nyata  P0.05  terhadap  t
i
dan 
maks
, tetapi interaksi antara T dan shear rate tidak berpengaruh nyata.  Pada
T yang semakin rendah menyebabkan t
i
menjadi semakin singkat dan 
maks
yang semakin besar.  Pada shear rate yang semakin tinggi, t
i
menjadi semakin
133 singkat  dan
maks
semakin  rendah  yang  diduga  akibat  terjadinya  pemecahan agregat kristal.
4.    Pada  kondisi  supercooling,  proses  kristalisasi  CPO  akan  lebih  mudah  terjadi dan
  CPO  akan  lebih  cepat  meningkat  saat  diterapkan  T  yang  kecil  dan shear  rate  yang  tinggi.    Sifat  CPO  sebagai  fluida  Newtonian  sangat
ditentukan oleh T dan shear rate yang diterapkan.  Pada T yang tinggi dan
shear rate  yang rendah,  CPO dapat mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian  hingga  suhu    T
M
.  Bila  kondisi  supercooling  tidak  terjadi T
C
T
M
,  CPO  tetap  akan  mempertahankan  sifatnya  sebagai  fluida Newtonian,  dimana
T  dan  shear  rate  tidak  berpengaruh  nyata  terhadap perubahan nilai
 CPO. Pengaruh  T
C
25,  30,  35,  dan  40
o
C  terhadap  proses  kristalisasi  CPO  pada kondisi  dinamis  dilakukan  pada
T  0.1
o
Cmenit  dan  shear  rate  400  s
-1
. Peningkatan
  sebelum  T
C
tercapai  membentuk  kurva  semilogaritmik  yang berhimpit  dan  T
C
akhir  tidak  berpengaruh  pada  profil  perubahan  selama suhu
menurun pada T tertentu.  Pada T
C
40
o
C,  kondisi supercooling tidak tercapai
karena T
C
T
M
39.53
o
C, sehingga profil  tetap di sekitar 37 mPa.s hingga 330
menit  5.5  jam.    Pada  T
C
di  bawah  T
M
terjadi  kondisi  supercooling,  terjadi induksi  kristalisasi  pada  waktu  tertentu.    Semakin  tinggi  derajat  supercooling
CPO, maka  isotermal akan lebih tinggi dengan t
i
yang semakin singkat. Pada T
C
35
o
C dengan  sekitar 43 mPa.s, t
i
berlangsung selama  90 menit 1.5 jam.  Pada T
C
30
o
C dengan  sebesar 56.3 mPa.s, t
i
berlangsung selama 30 menit. Sifat  reologi  dan  kristalisasi  CPO  dikonfirmasi  melalui  percobaan
pengaliran dalam pipa sirkulasi pada suhu pengaliran isotermal: a 48
o
C T
M
; b  41
o
C    T
M
;  c  39
o
C    T
M
;  dan  d  36
o
C    T
M
,  dengan  karakteristik sebagai berikut:
1. Pada  saat  CPO  dialirkan  dari  suhu  55
o
C  dan  mengalami  penurunan  suhu, 
akan meningkat dengan sifat fluida Newtonian dengan  yang semakin tinggi
pada suhu yang lebih rendah.  Peningkatan  terjadi dengan E
a
32.88 kJmol. Batas  terendah  suhu  dan  waktu  induksi  kristalisasi  isotermal  t
i
sangat tergantung pada derajat supercooling,
T dan shear rate yang diterapkan.
134 2.
Pada suhu pengaliran isotermal di atas T
M
CPO 39.63
o
C, maka CPO bersifat sebagai  fluida  Newtonian
dengan yang  relatif kecil.  Percobaan pengaliran
pada  suhu  isotermal  48
o
C  menghasilkan   saat  isotermal  sekitar  33  mPa.s,
lebih  rendah  dibandingkan  percobaan  yang  berlangsung  pada  suhu  isotermal 41
o
C  yang  memiliki     sekitar  37  mPa.s.    Pada  suhu  isotermal  yang  lebih
tinggi, bernilai lebih rendah.  CPO tidak akan mengalami induksi kristalisasi
karena belum terjadi kondisi supercooling. 3.
Pada  kondisi  supercooling, isotermal  akan  berlangsung  selama  t
i
tertentu. Kondisi  isotermal  telah  terjadi  sebelum  suhu  pengaliran  mencapai  30
o
C. Percobaan  dengan  T
C
39
o
C  derajat  supercooling  0.53
o
C,  menghasilkan 
isotermal sebesar 43 mPa.s dengan t
i
sekitar 80 menit dan  akhir 106 mPa.s.
Percobaan  dengan  T
C
isotermal  36
o
C  derajat  supercooling  3.53
o
C, menghasilkan
 isotermal yang lebih besar yaitu sekitar 75 mPa.s dengan t
i
20 menit  dan
akhir  hingga  770  mPa.s.Semakin  rendah  suhu  pengaliran isotermal  di  bawah  T
M
semakin  tinggi  derajat  supercooling,  maka  t
i
akan terjadi dalam waktu  yang lebih singkat.
 akhir CPO sangat tergantung dari suhu pengaliran isotermal,
T dan shear rate yang terjadi.
135
                