Pakaian Ethnobotany Application Analysis of the Baduy People in Food Security
Pengelolaan ladang huma
Dalam tradisi masyarakat Baduy dikenal enam jenis huma yang memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya baik secara fungsi, letak, serta kepemilikan
dan proses pengerjaannya. Keenam jenis huma tersebut antara lain 1 huma serang yaitu ladang khusus untuk padi yang dianggap suci dan berada di wilayah
Baduy Dalam tangtu, 2 huma puun yaitu ladang khusus milik puun pemimpin Baduy, 3 huma tangtu yaitu ladang milik orang Baduy tangtudalam Kampung
Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana, 4 huma tuladan, yaitu ladang bersama yang berada di Baduy Luar yang hasilnya untuk keperluan desa, 5 huma panamping
yaitu ladang para warga panamping Baduy Luar, 6 huma orang Baduy yaitu ladang orang-orang Baduy di luar Desa Kanekes. Ada tujuh tahap dalam proses
mengerjakan huma, yaitu: 1.
Narawas dan nyacar : diawali dengan kegiatan narawas membaca mantra selama 3 hari dan meletakkan panglai, asahan, kakait, dan daun tepus sebagai
tanda, selanjutnya menebas semak belukar agar sinar matahari dapat masuk tetapi pepohonan besar tidak ditebang. Kegiatan ini berlangsung kira-kira 30
hari untuk menyelesaikan lahan ±1 hektar.
2. Nukuh dan nuaran : menumpuk ranting dan daun-daun pepohonan setelah itu
ditinggalkan selama 3 hari. 3.
Ganggang : mengeringkan ranting dan daun di bawah teriknya matahari selama 15 hari.
4. Ngahuru : membakar lahan garapan untuk menghilangkan tumbuhan
pengganggu. Sebelum melakukan kegiatan tersebut dibacakan mantra agar api tidak menjalar selain itu dibuat pula sekat bakar di sekitar pohon yang tersisa
agar pohon tidak ikut terbakar.
5. Ngaduruk : membakar sisa-sisa ranting dan daun yang telah dikeringkan
6. Nyasap
: membersihkan rumput-rumput kecil yang masih tersisa 7.
Ngaseuk : membuat lubang untuk menanam menggunakan tugal pria menanam butiran padi dalam lubang tanam wanita.
Sistem penanggalan masyarakat Baduy berbeda dengan sistem penanggalan hijriyah maupun masehi meskipun dalam penanggalan Baduy
dikenal 12 bulan sama seperti yang lainnya namun dalam 1 bulan hanya ada 30 hari. Dengan demikian dalam satu tahun ada 360 hari dan ada 4-5 hari masa untuk
menghitung atau menentukan penanggalan tahun berikutnya berdasarkan kolejer dasar penentuan waktu masyarakat Baduy. Penentuan bulan dan penanggalan
masyarakat Baduy sangat erat kaitannya dengan kalender kegiatan upacara adat yang dimulai dari seba di bulan safar, sebagai tanda dimulai tahun baru kalender
Baduy sampai kawalu tutug pada akhir bulan katiga Tabel 10. Tabel 10 Susunan kegiatan upacara adat dan perladangan di Baduy berdasarkan
penanggalan
No Bulan Kegiatan Upacara Adat
Kegiatan Berladang
1. Safar April-Mei Seba
Narawas huma serang 2.
Kalima Mei-Juni Muja pada tanggal 17-18, acara geseran, kawinan, dan sunatan
Nyacar huma serang 3.
Kaenem Juni-Juli Hajatan perkawinan dan selamatan
Nukuh di huma serang 4.
Katujuh Juli- Agustus
Ngaduruk dan ngaseuk di huma serang, nyacar di
huma puun
Tabel 10 Lanjutan
No Bulan Kegiatan Upacara Adat
Kegiatan Berladang
5. Kadalapan
Agustus- September
Ngored di huma serang, nukuh dan ngaduruk di
huma tangtu 6.
Kasalapan September-
Oktober Ngored di huma serang
dan huma puun 7.
Kasapuluh Oktober-November
Ngored dan meuting di huma
8. Hapit Lemah
November- Desember
Ngirab sawah, ngored, dan meuting
9. Hapit Kayu
Desember-Januari Ngored, ngubar pari, dan
meuting 10.
Kasa Januari- Februari
Kawalu Tembeuy awal puasa tanggal 17 di Cikeusik dan
Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo Panen di huma serang
11. Karo Februari-
Maret Kawalu Tengah puasa tanggal 18 di
Cikeusik dan 19 di Cibeo Panen di huma puun
12. Katiga Maret-
April Kawalu Tutug akhir puasa tanggal
17 di Cikeusik dan Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo. Acara ngalaksa
tanggal 20-27 Panen di huma tangtu dan
huma masyarakat
Sumber: Ichwandi dan Shinohara 2007; Kurnia dan Sihabudin 2010
Bagi masyarakat Baduy ngahuma adalah suatu kegiatan yang membutuhkan kerja sama erat antara pria dan wanita. Pada masa pertama padi
tidak dibiarkan begitu saja, tetapi pada tiga bulan pertama diurus dengan baik misalnya dengan membersihkan rumput menggunakan kored ngored yang
dilakukan beberapa kali. Selain itu padi diubaran atau diobati, campuran debu dapur dengan berbagai ramuan umbi sebagai pencegah hama. Waktu tanam atau
ngaseuk ditentukan dengan perhitungan tepat dengan tujuan agar menghindari masa hama padi Garna 1996.
Gambar 7 Ikatan atau pocong padi yang sedang dikeringkan di lantaian Padi dapat dipanen ketika sudah mencapai umur 6 bulan. Cara menuai
padi dilakukan secara tradisional menggunakan anai-anai etem. Potongan padi
diikat menggunakan tali bambu. Satu ikat padi disebut pocong yang kemudian disimpan pada galah bambu dengan menggunakan batang kayu yang bercabang
yang disebut dengan lantaian Gambar 7. Menyimpan padi dengan cara ini dimaksudkan agar padi mengering sebelum diangkut ke kampung. Mengangkut
padi ke kampung dinamakan nunjal. Pengangkutan padi biasanya dilakukan oleh seluruh anggota keluarga.
Hasil panen ini selanjutnya disimpan di leuit lumbung padi. Leuit berbentuk serupa rumah, namun lebih kecil dan bertiang tinggi. Terbuat dari kayu,
berdinding anyaman bambu, dan beratap dari daun kirai Gambar 8. Terdapat sebuah pintu di salah satu sisi tepi atap sebagai jalan untuk memasukkan dan
mengeluarkan padi. Pintu ini hanya dapat dijangkau dengan menggunakan tangga. Teknologi leuit yang unik ini tidak memungkinkan tikus atau binatang sejenisnya
masuk ke dalam leuit. Karena pada ujung pondasi diberikan kayu berbentuk lempengan bundar gelebeg yang diletakkan secara horizontal sehingga tikus
tidak dapat merayap pada lempengan kayu tersebut.
Gambar 8 Leuit Baduy Setiap keluarga memiliki leuit. Jumlah leuit menentukan status sosial
ekonomi sebuah keluarga. Semakin banyak leuit, semakin tinggi pula statusnya. Hingga saat ini, jumlah leuit yang ada di Baduy telah melebihi jumlah rumah dan
KK yang ada di Baduy. Dalam satu KK minimal telah memiliki 1,2 ± 0,6 bagi masyarakat Baduy Luar, dan 1,6 ±0,5 bagi masyarakat Baduy Dalam Khomsan
dan Wigna 2009. Selain terdapat leuit yang dimiliki secara individual, terdapat juga leuit yang kepemilikannya komunal. Leuit berfungsi layaknya tabungan
pangan. Padi yang disimpan di dalam leuit dapat awet hingga 100 tahun. Semakin lama padi disimpan di dalam leuit, semakin berwarna merah dan teksturnya
mengeras.
Letak leuit berada di luar kampung dan bergerombol membentuk sebuah kompleks. Biasanya dalam sebuah kompleks terdapat sekitar lima hingga sepuluh
leuit Gambar 9. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi kebakaran di kampung, hasil panen masih dapat diselamatkan. Perkampungan
Baduy seringkali mengalami musibah kebakaran mengingat bahan bangunan
rumah yang seluruhnya dari bambu dan kayu yang mudah terbakar. Dapur tempat memasak pun terdapat di dalam rumah sehingga kesalahan kecil saja mampu
membakar rumah dalam waktu yang relatif singkat.
Gambar 9 Letak dan kompleks leuit di Baduy
Upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy
Terdapat tiga upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy, yaitu kawalu, ngalaksa, dan seba. Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy,
yaitu bulan penuh dengan kebahagiaan dan kemuliaan yang diisi dengan kegiatan berdoa untuk keselamatan alam dan manusia serta isinya, beribadah, memohon
ampunan dari dosa dan berbagai kesalahan. Pada bulan ini masyarakat dilarang makan sembarangan, terutama masyarakat Baduy Dalam dilarang makan telur dan
daging, dilarang makan bebirusan batang muda, dilarang melaksanakan acara yang ramai seperti perkawinan dan sunatan, dilarang memotong rambut, dan
membunuh hewan.
Selanjutnya ngalaksa yang tergolong sakral dan dan sangat rahasia. Pada upacara ini masyarakat Baduy melaksanakan rukun agama sunda wiwitan yang
difokuskan pada kegiatan mendoakan keselamatan manusia, ngajiwa batin, dan melaksanakan amanah leluhur. Selain itu pada upacara ini masyarakat Baduy
membuat laksa dari tepung padi dan hasil panen pada tahun ini untuk diserahkan kepada leluhur dan khususnya untuk cadangan yang akan diberikan pada pejabat
pemerintah pada acara seba.
Seba adalah kegiatan keagamaan yang wajib dijalankan oleh masyarakat Baduy. Seba merupakan kegiatan baku yang intinya adalah silahturahmi
masyarakat Baduy pada Ratu dan Menak pejabat pemerintahan dengan didasari kesadaran dan keikhlasan. Pada pelaksanaan seba masyarakat Baduy berjalan
menuju kantor pemerintah sambil membawa hasil bumi mereka. Selanjutnya disampaikan pula hal yang berkaitan dengan keluhan adat, kejadian-kejadian yang
menimpa adat, serta harapan-harapan adat.
Tumbuhan Pangan Tradisional Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy memanfaatkan 240 spesies tumbuhan pangan, 46 varietas padi ladang, 42 varietas pisang, 12 varietas talas, 9 varietas kelapa, 17
varietas ubi jalar, 2 varietas terung, 8 varietas singkong, 2 varietas mangga, 2 varietas rambutan, 2 varietas jagung, dan 3 varietas nanas. Total spesies dan
varietas tersebut adalah 374. Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman telah di budidayakan sedangkan 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan masih liar.
Tanaman pangan budidaya
Selain pare ladang atau huma juga ditanami dengan tanaman budidaya lain seperti terong, taleus, pisang, dan ubi. Terdapat 238 spesies dan varietas tanaman
pangan yang dibudidayakan di huma dan reuma Baduy. Huma dikelola dengan sistem perladangan yang sangat memperhatikan keanekaragaman jenis yang ada
didalamnya Louhui et al. 2009, sehingga adaptif dan mampu menjaga stabilitas ekosistem Garna dan Judistira 1985; Eden 1987.
Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman pangan mampu disebutkan oleh lebih dari tiga orang responden sehingga seluruh tanaman pangan tersebut
termasuk dalam kategori penting. Adapun tingkat penting tanaman terbagi menjadi empat kategori, yaitu: sangat penting 218, penting 164 sampai 218,
agak penting 110 sampai 163, dan kurang penting 110. Tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting antara lain beberapa spesies pare Oryza
sativa L, dimana pare siang, pare ketan langgasari, pare ambu ganti, pare ketan, dan pare menyam menjadi lima varietas padi tertinggi karena lebih banyak
diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy. Padi menjadi tanaman yang sangat penting karena menjadi pangan pokok yang wajib ditanam oleh seluruh
masyarakat Baduy. Ketersediaan pare sebagai sumber pangan berkelanjutan yang diwujudkan dengan leuit dan penggunaanya dalam upacara adat maupun
perkawinan menjadikan spesies ini bernilai sangat penting bagi masyarakat Baduy. Meskipun demikian seluruh pare yang ditanam di huma tidak boleh dijual.
Selain padi spesies asam ranji Dialium indum L, kawung Arenga pinnata Merr., beberapa varietas pisang Musa paradisiaca L., awi mayan
Gigantochloa robusta Kurz., dan kadu Durio zibethinus Murr. menjadi tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting.
Spesies tanaman yang bernilai penting antara lain hiris Cajanus cajan Mill., cokrom Solanum melongena L., kaweni Mangifera odorata Griff.,
kalapa Cocos nucifera L., dan binglu Mangifera caesia Jack.. Hiris merupakan jenis kacang yang sangat sering dikonsumsi masyarakat Baduy, kacang tersebut
biasanya dipanen dan disimpan ke dalam toples sehingga dapat dimanfaatkan kembali saat akan memasak. Berbeda dengan cokrom, kaweni, binglu, dan kelapa
yang belum diketahui cara penyimpanannya sehingga biasanya spesies tersebut dikonsumsi dan dijual saat jumlahnya berlebih. Secara umum tidak ada aturan
adat yang melarang penjualan sumberdaya pangan yang berasal dari huma dan reuma, kecuali hanya untuk spesies pare.
Spesies dan varietas tanaman yang bernilai agak penting antara lain: kapundung Baccaurea sp., nangka walanda Annona muricata L., hajeli Coix
lacryma-jobi L. , koas Canavalia ensiformis DC. , dan kenyut. Selanjutnya spesies yang dinilai kurang penting adalah laja bereum Alpinia purpurata
Vieill. K. Sch, lingsuh Baccaurea lanceolata Muell., gempol Nauclea orientalis L., kanas Ananas comosus Merr., dan lopang Luffa cylindrica
Roem.. spesies dan varietas tanaman pangan yang dinilai agak penting dan kurang penting merupakan tanaman yang sedikit diketahui responden dan hanya
berfungsi sebagai bumbu sambara atau tambahan pangan saja. Tumbuhan pangan liar
Tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy tidak hanya tanaman budidaya yang berasal dari huma dan reuma tetapi juga terdapat 136
spesies dan varietas tumbuhan pangan liar dari hutan yang tumbuh dengan sendirinya. Sebanyak lebih dari tiga responden mampu menyebutkan nama
spesies dan varietas tumbuhan pangan liar sehingga memiliki nilai penting bagi masyarakat Baduy. Proses wawancara yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh
proses recall, yaitu proses mengingat kembali informasi yang dipelajari dimasa lalu tanpa petunjuk yang dihadapkan pada obyek Hilgard dan Bower 1975.
Kemampuan mengingat kembali dilakukan melalui proses mencari dan menemukan informasi yang disimpan untuk digunakan kembali bila dibutuhkan.
Berdasarkan hasil analisis data, tumbuhan pangan liar terbagi atas empat kriteria tingkat kepentingan yaitu: sangat penting 82,3, penting 33 sampai
82,3, agak penting 11,91 sampai 32,9 dan kurang penting 11,91. Tumbuhan pangan yang memiliki nilai sangat penting antara lain jengkol Pithecellobium
lobatum Benth., supa lember aceh Auricularia auricula Bull. J Schrot., cau abu Musa sp, laja goah Alpinia malaccensis Rosc., dan paku kapal Aspidium
repandum Willd.. berdasarkan hasil eksplorasi lapang Baduy memiliki keanekaragaman pisang yang sangat tinggi yaitu 42 varietas. Sebanyak 24 varietas
masih belum dibudidayakan karena dianggap tidak laku dijual dan kurang enak rasanya. Meskipun demikian masyarakat Baduy mengetahui bahwa varietas
pisang tersebut dapat dikonsumsi sehingga menjadi potensi yang dapat kita gali untuk pengembangan dimasa yang akan datang.
Tumbuhan pangan yang bernilai penting adalah mayasih Erechtites valerianifolia Wolf. DC, areuy sineureut, beunying Ficus fistulosa Reinw.,
cau beusi Musa sp, dan paku hurang Stenochlaena palustris Bedd.. Tingkatan penting mengindikasikan bahwa tumbuhan ini masih cukup banyak diketahui oleh
masyarakat dan cukup sering dikonsumsi. Selain itu tumbuhan pangan liar tidak hanya ditemukan di hutan, tetapi sangat mungkin ada di tipe penggunaan lahan
lainnya. Masyarakat Baduy membagi tipe penggunaan lahannya menjadi delapan Gambar 10.
Berdasarkan hasil eksplorasi diperoleh bahwa 96,3 tumbuhan pangan liar Baduy dapat ditemukan di lebih dari 2 tipe penggunaan lahan Tabel 11. Hal ini
sangat sesuai dengan hasil dari wawancara yang menyatakan bahwa tumbuhan pangan liar di Baduy mudah untuk ditemukan.
Tabel 11 Kategori tumbuhan liar hasil eksplorasi
No Kategori Jumlah
Persentase
1. Hanya ditemukan di 1 Lahan
3 2,2
2. Terdapat di 2 lahan berbeda
2 1,5
3. Terdapat di 2 lahan
131 96,3
Keterangan: 1 leuweung hutan 5
jami ladang yang diberakan 2-3 tahun
2 huma
ladang 6 pipir
cai pinggir sungai
3 pipir
imah pinggir rumah
7 pipir saung pinggir saung 4
tatajuran penggir kampung 8
reuma kebun
Sumber: Marlina 2009; Suansa 2011 modifikasi
Gambar 10 Tipe penggunaan lahan di kawasan Baduy Tumbuhan pangan liar yang termasuk dalam kategori agak penting antara
lain dahu Dracontomelon mangiferum Bl., areuy canar Smilax leucophylla Bl., supa tikukur Coprinus plicatilis Curtis Redhead et al., supa nyeruan
Polyporus derrmoporus Pers., dan areuy palungpung Merremia peltata L. Merr.. Supa merupakan jenis jamur yang tumbuh pada batang atau kayu yang
telah lapuk, sedangkan suum adalah jenis jamur yang tumbuh dari tanah Gambar 11. Meskipun masyarakat Baduy mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein
hewaninya, terdapat 26 spesies jamur yang juga berperan sebagai sarana pemenuhan proteinnya. Jamur merupakan sumber protein tinggi dan bernilai
ekonomis tinggi Hall et al. 2003.
a b Gambar 11 Supa jangkar a dan suum pahatu b
Tumbuhan pangan liar yang termasuk dalam kategori kurang penting antara lain: manglong, hantap heulang Sterculia macrophylla Vent., gelam
Melaleuca cajuputi Powell, peutag Syzygium lineata Duthie., dan gamet
Celosia argentea L.. tumbuhan tersebut sangat jarang diketahui oleh responden selain itu rasanya yang dianggap kurang enak membuat tumbuhan ini sangat
jarang dikonsumsi oleh masyarakat Baduy Lampiran 9.
Frekuensi Pemanfaatan Tumbuhan Pangan
Masyarakat Baduy umumnya makan tiga kali dalam satu hari yang biasanya dilakukan bersama-sama pada pagi hari sebelum berangkat ke ladang,
siang hari saat di ladang biasanya dilakukan di saung, dan sore hari. Makanan yang dikonsumsi utamanya adalah nasi, ikan asin, sayur, lalaban, sambal, dan
kerupuk. Tumbuhan berperan dalam pemenuhan karbohidrat seperti beras, jenis- jenis singkong, jenis-jenis ubi, dan jenis-jenis talas. Selanjutnya sayuran dan
lalaban seluruhnya berasal dari tumbuhan, begitupula dengan sambal yang dibuat dari campuran beberapa spesies tumbuhan.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber pangan dilakukan hampir setiap hari, namun tumbuhan memiliki sifat fisiologis dan kebiasaan tumbuh yang
berbeda-beda sehingga menyebabkan tumbuhan tersebut mampu hidup selama satu tahun annual plant, dua tahun biennials, dan lebih dari 2 tahun parenial
plant Harjadi 1996. Hal ini berimplikasi pada frekuensi pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy. Frekuensi pemanfaatan konsumsi dilakukan
jika tumbuhan tersebut ada musiman atau tersedia sepanjang tahun.
Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 175 tumbuhan pangan yang bersifat musiman, seperti pare Oryza sativa L., buah-buahan seperti asam ranji Dialium
indum L., picung Pangium edule Reinw., dan pisitan monyet Dysoxylum allaceum Bl.. Sepanjang tahun masyarakat Baduy dapat memanen dan
mengkonsumsi beraneka tumbuhan pangan, disamping spesies-spesies yang dapat dikonsumsi setiap hari seperti poh-pohan Pilea trinerva Wight., paku hurang
Stenochlaena palustris Bedd., dan paku kapal Aspidium repandum Willd. Gambar 12.
Gambar 12 Tingkat ketersediaan tumbuhan pangan musiman dalam satu tahun Puncak panen tumbuhan pangan tertinggi ada pada bulan kasa, karo,
katiga. Ketiga bulan tersebut merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy, pada tiga bulan ini dilakukan puasa dan ritual adat kawalu, ngalaksa, dan seba serta
panen di huma berurutan dari huma serang, huma puun, huma tangtu, dan huma masyarakat. Ketiga upacara adat tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang
berujung pada wujud rasa syukur masyarakat Baduy atas hasil panen yang telah diperoleh lihat Tabel 10.
Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 203 spesies tumbuhan dimanfaatkan lebih dari satu kali dalam satu minggu Gambar 13. Konsumsi
dilakukan sebanyak 2 atau 3 kali dalam satu minggu, seperti pisang dan sayuran. Namun ada pula tumbuhan yang dimanfaatkan hampir setiap hari jika sedang
musim panennya. Seperti buah peuteuy Parkia speciosa Hassk., buah mangga Mangifera indica L., dan buah kadu Durio zibethinus Murr..
Gambar 13 Frekuensi pemanfaatan tumbuhan pangan oleh masyarakat Baduy
Bagian Tumbuhan Pangan yang Dimanfaatkan
Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 16 bagian utama tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy Tabel 12. Pemanfaatan bagian yang paling
tinggi adalah bagian buah, karena buah merupakan tempat menyimpan cadangan makanan dan hasil fotosintesis pada tumbuhan baik dalam bentuk kandungan pati,
gula, air, vitamin, dan mineral, sehingga buah menjadi bagian yang sangat bermanfaat untuk dapat dikonsumsi oleh manusia Jain dan Priyadarshan 2009.
Jumlah total bagian spesies tumbuhan yang dimanfaatkan adalah 507, jumlah tersebut lebih besar daripada total tumbuhan yang ditemukan yaitu 374.
Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat beberapa spesies yang dimanfaatkan lebih dari satu bagian saja. Seperti tumbuhan kawung Arenga pinnata Merr.
yang dimanfaatkan buahnya untuk manisan caruluk, campuran minuman dirujak; tuak atau nira untuk dibuat menjadi gula; batang tuanya dapat dioleh
menjadi tepungsagu; batang mudanya dapat dimakan langsung atau dimasak sebagai sayur. Jika suatu spesies tumbuhan memiliki beberapa bagian yang dapat
dimanfaatkan, maka dapat menjamin spesies tersebut bertahan dan tetap pada kondisi baik sehingga keberadaannya akan lestari Pei et al. 2009.
Tabel 12 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan
No Bagian
Jumlah Persentase
1. Buah 179
35,2 2. Biji
84 16,5
3. Daun muda
66 13,0
4. Umbi 48
9,8 5. Seluruh
bagian muda
31 6,1
6. Batang mudaBirus
30 5,9
7. Daun 20
3,9
Tabel 12 Lanjutan
No Bagian
Jumlah Persentase
8. Bunga 19
3,7 9. Rimpang
6 1,2
10. Tuak 5
1,0 11. Daun dengan sedikit batang
5 1,0
12. Batang 4
0,8 13. Akar
3 0,6
14. Seluruh bagian
3 0,6
15. Caps tudung jamur 3
0,6 16. Kulit
1 0,2
Jumlah total bagian 507 100,0
Cara Pengolahan Tumbuhan Pangan
Masyarakat Baduy mengolah tumbuhan pangannya dengan beberapa proses, mulai dari dimakan langsung, dibakar, direbus, dikukus, dan cara
pengolahan lainnya Tabel 13. Persentase terbesar dalam pengolahan tumbuhan pangan adalah dengan memakan langsung sebagai makanan kecil. Tumbuhan
yang dapat dikonsumsi langsung biasanya adalah tumbuhan penghasil buah seperti pisang Musa sp, kadu Durio zibethinus Murr., dan famili kacang-
kacangan Fabaceae.
Tabel 13 Cara pengolahan tumbuhan pangan
No. Cara pengolahan
Jumlah Persentase
1. Dimakan langsung sebagai makanan kecil 201
21,05 2. Disayur
dibuat sup
185 19,37
3. Direbus 156
16,34 4. Sebagai
campuran bumbu
105 10,99
5. Dikukus 78
8,17 6. Digoreng
76 7,96
7. Digoreng dengan
tepung 73
7,64 8. Dibakar
58 6,07
9. Dimakan langsung sebagai lalaban 22
2,30 10. Dibuat
sirup 1
0,10
Pemanfaatan bagian tertinggi adalah pada bagian buah Tabel 12. Buah biasanya dikonsumsi secara langsung setelah dibersihkan Tabel 13, hal ini
sangat sesuai dengan hasil analisis data yang mengindikasikan bahwa pemanfaatan tumbuhan pangan secara langsung adalah cara yang paling sering
digunakan oleh masyarakat Baduy. Buah dikonsumsi langsung karena dapat mempertahankan kandungan vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya
sehingga dapat mempertahankan antioksidan yang dapat mencegah timbulnya penyakit karena radikal bebas Key et al. 1996.
Berbeda dengan pendapat Khomsan dan Wigna 2009 yang menyatakan bahwa masyarakat Baduy lebih sering menggoreng pangannya karena dianggap
praktis, pada penelitian ini pengolahan dengan cara menggoreng baik dengan tepung maupun tidak justru jarang dilakukan. Pengolahan dengan menggoreng
menggunakan minyak terbilang rumit bagi masyarakat Baduy. Sebagian besar dari masyarakat masih menggunakan minyak kelapa yang dibuat sendiri, sehingga
penggunaan minyak sawit diperoleh dengan cara membeli terutama bagi masyarakat Baduy Dalam masih sangat terbatas. Selain itu harga minyak goreng
di pasaran dirasa mahal dan tidak efisien. Masyarakat Baduy lebih memilih untuk merebus dan mengukus makanan yang akan dikonsumsi. Meskipun terlihat sangat
sederhana, proses perebusan dan pengukusan justru aman bagi kesehatan terutama dalam mengolah kacang-kacangan Fabaceae.
Kacang-kacangan merupakan penghasil protein yang tinggi, namun pengolahan masakan dapat mempengaruhi daya cerna dan penyerapan protein
pada usus. Proses perebusan dan pengukusan memiliki dampak yang sama dalam memanaskan kacang, dan efektif membunuh tripsin inhibitor yang menghambat
penyerapan protein Kusumayanti 1983. Selain itu proses perebusan dan pengukusan dilakukan pada suhu 80ºC hingga 100 ºC sehingga tidak
menyebabkan denaturasi protein, pemecahan emulsi, penghancuran vitamin, dan degradasi lemak. Proses merebus dan mengukus hanya dilakukan untuk
melembutkan tekstur sehingga mudah dikunyah dan menjadi lebih lezat Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010.
Rasa dan Kesukaan terhadap Tumbuhan Pangan
Rasionalisasi masyarakat Baduy dalam memilih tumbuhan untuk dikonsumsi tidak terlepas dari proses trial and error sehingga pada akhirnya
menetapkan suatu jenis tumbuhan dapat dan tidak dapat dikonsumsi. Selain itu, rasa juga berperan penting dalam penentuan jenis tumbuhan pangan. Manusia
akan mengkonsumsi makanan yang dirasa enak meskipun subyektif dalam penilaiannya. Hal ini sangat sesuai dengan hasil wawancara penilaian rasa dari
tumbuhan pangan yang terbanyak adalah enak, yaitu 275 tumbuhan. Sedangkan yang terendah adalah tidak enak, yaitu dua tumbuhan Gambar 14.
Secara umum manusia cenderung menilai rasa melalui mekanisme kimia yang ada pada indera perasanya yaitu melalui rasa, bau dan reaksi kimia yang
dihasilkan pada indera perasa tersebut Beauchamp dan Mennella 2009. Manusia akan lebih memilih bau yang harum, dan rasa yang manis dibandingkan bau
busuk dan rasa yang pahit. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat Baduy yang memilih jenis pare menyan Oryza sativa L. sebagai padi yang
paling enak karena ketika dimasak dan dikonsumsi nasi yang dihasilkan berbau wangi seperti beras pandan wangi.
Gambar 14 Tingkat rasa dan kesukaan terhadap spesies tumbuhan pangan
Pemilihan varietas pisang yang paling digemari adalah cau galek atau pisang tanduk Musa paradisiaca dan pisang ambon Musa paradisiaca var.
sapientum L. Kunt. karena rasanya yang manis dan memiliki bau khas yang menambah selera. Selain itu peuteuy Parkia speciosa Hassk. dan kadu Durio
zibethinus Murr. juga menjadi buah yang sangat disukai oleh masyarakat Baduy. Dua spesies tumbuhan yang disebutkan memiliki rasa tidak enak adalah belimbing
wuluh Averrhoa bilimbi L. dan gintung Bischofia javanica Bl.. Belimbing wuluh dirasa terlalu asam dan memiliki rasa pahit diujung after taste setelah
dimakan langsung, sehingga spesies ini lebih sering digunakan untuk bumbu sambara sedangkan gintung dinilai memiliki rasa yang tidak enak karena rasa
pahit yang mendominasi ketika dikonsumsi. Meskipun demikian, gintung mengandung saponin yang dapat menghambat pertumbuhan kanker kolon,
membantu kadar kolesterol menjadi normal, serta mempunyai sifat iritasi mucosal dan membentuk komplek dengan asam empedu dan kolesterol sehingga masih
perlu untuk dikonsumsi Amelia 2004.
Penggunaan Tumbuhan Pangan untuk Kesehatan
Secara umum pangan memiliki tiga peranan penting: 1 fungsi utama sebagai asupan zat gizi yang sangat esensial untuk keberlangsungan hidup
manusia, 2 sebagai sensori atau pemuasan sensori seperti rasa yang enak, rasa, dan tekstur yang baik, 3 secara fisiologis menjadi regulasi bioritme, sistem saraf,
sistem imunitas, dan pertahanan tubuh Shimizu 2002. Selain itu pangan memiliki manfaat untuk kesehatan atau yang biasa dikenal dengan pangan
fungsional. Pangan fungsional merupakan pangan alami atau pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif sehingga dapat memberikan dampak positif pada
fungsi metabolisme manusia Wildman 2007.
Berdasarkan hasil wawancara, terdapat tiga puluh satu spesies tumbuhan yang dikonsumsi untuk mengobati penyakit Gambar 15, seperti lampuyang
Zingiber amaricans Bl., kalapa tawa Cocos nucifera L. var. Viridis, supa koja Dictyophora indusiata Vent., cikur Kaempferia galanga L., dan spesies
lainnya. Sedangkan persentase terbesar adalah tumbuhan yang belum diketahui manfaatnya bagi kesehatan, meskipun demikian manfaat bahan pangan terhadap
kesehatan tentu saja kembali pada fungsi utama pangan yaitu sebagai asupan gizi esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Gambar 15 Tingkat pemanfaatan tumbuhan untuk kesehatan
Penggunaan tumbuhan sebagai bahan pangan yang memiliki manfaat dalam kesehatan dibatasi hanya pada penggunaan melalui mulut oral, baik
dalam bentuk bahan mentah sebagai makanan atau minuman, juga sebagai bahan campuran seperti laja Alpinia galanga Sw.. Kuantifikasi terhadap penggunaan
tumbuhan pangan sebagai obat dibagi menjadi lima kriteria, yaitu pangan adalah obat, pangan berkhasiat obat, pangan menyehatkan, pangan sehat, dan pangan.
Kriteria pangan sebagai obat meliputi tumbuhan pangan yang hanya dikonsumsi ketika seseorang telah mengalami sakit. Sebagai contoh areuy sineureut yang
hanya dikonsumsi bila terkena penyakit sineureutan. Selanjutnya kriteria pangan berkhasiat obat adalah spesies tumbuhan pangan yang diminum ketika seseorang
mengalami sakit, tetapi harus dikonsumsi secara berkelanjutan. Sebagai contoh jeruk nipis Citrus aurantifolia Christm Panz Swingle yang dikonsumsi selama
batuk. Kriteria pangan menyehatkan dan pangan sehat adalah penggunaan pangan sebagai pencegah penyakit, sehingga dikonsumsi sebelum seseorang menderita
sakit. Namun perbedaan terletak pada frekuensi pemanfaatan.
Hal yang menarik dalam pemanfaatan pangan dalam kesehatan adalah perbandingan tumbuhan yang menyehatkan dan sehat lebih banyak dibandingkan
jumlah tumbuhan pangan yang berperan sebagai obat dan berkhasiat obat. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Baduy lebih memilih untuk menjaga
kesehatannya dibandingkan harus mengobati bila mereka telah terkena suatu penyakit. Rasionalisasi dan pandangan hidup masyarakat Baduy sangat sesuai
dengan program yang telah dikembangkan oleh Maari Ma Health Aboriginal Corporation dalam menanggulangi dan mengontrol kemungkinan terjadinya
penyakit kronis untuk menurunkan jumlah penderita penyakit kronis seperti diabetes dan cardiovascular pada orang-orang Aborigin Burke et al. 2005.
Penerapan Pengetahuan Etnobotani dalam Ketahanan Pangan
Penggunaan pengetahuan etnobotani dinilai dari kemampuan responden dalam pengenalan spesies tumbuhan pangan dan sistem sosiokultur yang
berkembang di dalam masyarakat Baduy. Pengenalan spesies tumbuhan pangan meliputi tanaman dibudidayakan maupun tumbuhan liar dengan nilai tumbuhan
yang berbeda-beda Lampiran 8 dan 9. Sistem sosiokultur yang berkembang meliputi infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologis
KMNLH 2001.
Infrastruktur material berisi bahan, bentuk, ide, teknologi dan benda yang dikembangkan masyarakat Baduy sehingga serasi dengan lingkungan dan
sumberdaya alam yang ada, sebagai contoh leuit yang digunakan untuk menyimpan cadangan pangannya. Struktur sosial pada dasarnya adalah perilaku
yang diperlihatkan manusia baik yang timbul karena hubungan antar sesama maupun dengan lingkungan biofisiknya. Sebagai contoh adanya upacara adat
kawalu, ngalaksa, dan seba yang merupakan wujud rasa syukur masyarakat Baduy dan penghormatan mereka terhadap pemerintah dengan cara menyerahkan
sebagian hasil buminya pada pemerintah Banten. Superstruktur ideologis meliputi cara-cara yang terpolakan, yang dengan cara tersebut masyarakat Baduy berfikir,
melakukan suatu konsep, menilai, dan merasa. Superstruktur ideologis masyarakat
Baduy terdiri atas agama Slam Sunda Wiwitan, sistem pemerintahan dan sistem adat Lampiran 7.
Tingkat pengetahuan etnobotani
Rata-rata indeks tingkat pengetahuan etnobotani Mg responden berada pada tingkat sedang yaitu 0,83 yang nilainya lebih besar dari Q1 Kuartil satu
yaitu 0,79. Nilai Mg yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, asal, dan aktivitas harian. Berdasarkan hasil analisis statistika
dengan Kruskal Wallis test, perbedaan kelas umur menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai P= 0,00 yang lebih kecil dari taraf nyata 0,05 Lampiran 6.
Sehingga perbedaan usia akan mempengaruhi tingkat pengetahuan etnobotani pangan responden. Semakin tinggi usia seseorang, akan semakin tinggi pula
pengetahuan etnobotani yang dimiliki.
Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman hidup, intensitas atau frekuensi ke hutan, dan tingginya intensitas pemanfaatan tumbuhan pangan. Selain itu,
diketahui pula pada kurun waktu 30 tahun terdapat perbedaan jumlah dan spesies tumbuhan pangan yang saat ini mulai berkurang. Sebagai contoh pada tahun 1999
telah tercatat terdapat 89 varietas pare Oryza sativa L. yang dikembangkan oleh masyarakat Baduy secara in-situ Iskandar dan Ellen 1999. Namun pada saat
penelitian, tercatat hanya 43 varietas pare O. sativa L. yang masih di tanam dan dikonsumsi. Sehingga bisa jadi masyarakat yang berada pada usia lebih muda
seperti KU-1 dan KU-2 sudah tidak mengetahui tumbuhan tersebut.
Rata-rata tingkat pengetahuan laki-laki adalah 0,84 dan nilainya lebih tinggi daripada rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani perempuan yaitu 0,82.
Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis statistika dengan Man Withney test diketahui bahwa tingkat pengetahuan laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata
Lampiran 6. Perbedaan tersebut terjadi hanya karena interaksi dan frekuensi laki-laki yang lebih tinggi terhadap hutan. Laki-laki lebih sering ke hutan dan
mengkonsumsi spesies tumbuhan pangan yang jarang dikonsumsi oleh perempuan, namun perempuan Baduy juga terbiasa mengolah tumbuhan pangan
yang dibawa oleh lelaki Baduy dari hutan.
Hutan merupakan sumber tumbuhan pangan, beberapa spesies tumbuhan pangan potensial seperti manglong, peutag Sizygium lineata Duthie., dan
manjakalan Blumeodendron tokbrai Kurz. hanya tersedia di hutan saja. Laki- laki membawa makanan bekal dari rumah yang telah disiapkan perempuan istri
mereka umumnya terdiri dari nasi dan lauk. Selanjutnya laki-laki akan melengkapi kebutuhan pangannya dengan mengambil tumbuhan dari hutan untuk
lalaban dan buah sebagai sumber vitamin. Begitu pula dengan wanita, meskipun intensitasnya lebih rendah. Meskipun demikian berdasarkan hasil eksplorasi
tumbuhan pangan tertinggi tersedia di huma yang diolah secara bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Sehingga keduanya akan memiliki pengetahuan
yang relatif sama.
Rata-rata tingkat pengetahuan responden yang berasal dari Baduy Luar adalah 0,83 dan nilainya lebih rendah daripada masyarakat Baduy Dalam yaitu
0,84. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis statistika dengan Man Withney test diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden dari Baduy Dalam
dan Baduy Luar tidak berbeda nyata Lampiran 6. Hal ini disebabkan pembagian masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar hanya merupakan bentuk tenggang
rasa dan keluwesan masyarakat Baduy menghadapi perkembangan masyarakat Kurnia dan Sihabudin 2010, sedangkan pengetahuan terhadap tumbuhan pangan
menjadi kepentingan masing-masing individu masyarakat yang kaitannya lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar hidup. Sehingga baik masyarakat Baduy
Dalam dan Baduy Luar memiliki pengetahuan etnobotani pangan yang relatif setara. Selisih nilai pengetahuan tersebut disebabkan oleh perbedaan jumlah
spesies tumbuhan pangan yang boleh dan tidak boleh ditanam baik di Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Sebagai contoh spesies dangdeur Manihot sp tidak
diperbolehkan ditanam di kawasan Baduy Dalam, sebaliknya beberapa varietas pisang Musa sp. dan ubi jalar Ipomoea batatas di Baduy Dalam memiliki
keanekaragaman yang lebih tinggi Tabel 14. Tabel 14 Karakteristik masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam tentang pagan
Perbedaan Baduy Dalam Baduy
Luar Alat masak
Tidak boleh menggunakan alat modern, yang ada hanya: dangdang
seeng, kuali kekenceng, kukusan aseupan, hihid, lumping pangarih,
kuluwung, boboko, pinggan mangkuk, somong gelas bambu,
panyiru sendok dari bambu atau sendok plastik, dan botol besar tempat
minum. Telah menggunakan alat masak
semi modern, seperti panci, wajan, sendok besi.
Bahan tambahan makanan
Tidak menggunakan MSG Telah menggunakan MSG
Tanaman pangan yang dilarang tidak
ada Dangdeur Manihot sp, alpuket
Persea americana P. Mill., kopi Coffea arabica L., dan coklat
Theobroma cacao L.. Pare jannah, pare jeruk Oryza
sativa L., beberapa varietas pisang seperti Cau Bangkunang,
cau hoe, cau hurang, dan cau janten.
Retensi pengetahuan etnobotani
Retensi pengetahuan etnobotani adalah kemampuan masyarakat untuk menyimpan pengetahuan etnobotani yang dimilikinya Zent 2009. Penurunan
retensi akan mengakibatkan pengetahuan tersebut lambat laun akan hilang. Jika hal tersebut terjadi secara cepat dengan intensitas yang besar, maka masyarakat
dalam kondisi yang tidak stabil dalam hal pangan dan mengarah pada kerentanan pangan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa responden yang
berada pada KU-5 mampu menyimpan pengetahuan etnobotani yang lebih besar dibandingan KU yang lain, terbukti dengan nilai MG yang tertinggi dari KU-5
sebesar 0,939 Tabel 15.
Responden dari KU-5 memiliki nilai RG yang tertinggi dan dianggap sebagai kelas umur yang paling menguasai etnobotani pangan di Baduy.
Pengalaman yang dimiliki oleh KU-5 lebih banyak dibandingkan oleh KU yang lainnya. Selain itu responden pada KU-5 hidup pada periode yang lebih lama,
dimana tersedia lebih banyak tumbuhan pangan dibandingkan saat dilakukan penelitian. Sehingga banyak dari spesies-spesies tumbuhan pangan yang bagi KU-
5 dapat dimakan, sedangkan KU lainnya menganggap bahwa tumbuhan tersebut
tidak biasa dimakan. Meskipun pada kenyataanya tumbuhan tersebut masih ada dan dapat dikonsumsi.
Tabel 15 Perubahan pengetahuan etnobotani pangan masyarakat Baduy
Kelas Umur MG
RG RC
CA V 69
0,939 1,000 1,000
0,000 IV 55-69
0,887 0,944 0,944 -0,004
III 40-54 0,851 0,960
0,906 -0,006 II 25-39
0,788 0,926 0,839 -0,011
I 10-24 0,701 0,890
0,746 -0,017 Keterangan: MG tingkat pengetahuan etnobotani; RG tingkat retensi; RC tingkat retensi
komulatif; CA perubahan pengetahuan setiap tahun
Responden yang berasal dari KU-1 dan KU-2 memiliki nilai RG, RC, dan CA yang terendah karena pada usia tersebut, pengalaman dan interaksi terhadap
spesies tumbuhan pangan lebih rendah daripada KU yang lainnya. Selain itu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan dibebankan pada orang tua,
sehingga responden yang berada pada KU-1 umumnya belum menikah dan belum memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu
responden yang berada pada KU-1ndan KU-2 mulai terpengaruh oleh jenis makanan modern dan kemajuan teknologi, sehingga ketertarikan terhadap spesies
tumbuhan pangan menjadi berkurang. Sebagai contoh, anak yang biasanya membantu ke ladang menjadi enggan karena lebih tertarik menonton televisi.
Spesies tumbuhan pangan yang biasa dikonsumsi menjadi tergeser dengan keberadaan makanan yang biasa diperoleh dari warung dan swalayan yang ada di
kampung Ciboleger kampung terdekat yang berada di luar Baduy.
Nilai CA antar kelas umur menunjukkan tingkat perubahan tahunan yang terjadi antar kelas umur berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa CA dari KU-5
mengalami penurunan hingga KU-1 Gambar 16. Perkembangan dan pengetahuan bersifat dinamis dan akan bertambah seiring dengan pengalaman
yang dijalani Berk 2006. Pengetahuan akan berkembang pesat dimasa muda KU-1 dan KU-2 dan selanjutnya melandai pada usia tua KU-4, KU-5,
sehingga kondisi retensi pengetahuan yang terjadi pada masyarakat Baduy berada pada kondisi normal. Terlihat dari jarak CA responden KU-1, dan KU-2 lebih
besar dari KU-4, dan KU-5.
Gambar 16 Perubahan pengetahuan etnobotani per tahun berdasarkan kelas umur
Kecenderungan negatif yang ditunjukkan oleh perubahan pengetahuan etnobotani antar kelas umur yang terjadi pada masyarakat Baduy mengindikasikan
bahwa proses pewarisan pengetahuan masih terjadi secara baik. Meskipun tidak secara tertulis, orang tua mengajarkan kepada anaknya jenis-jenis tumbuhan yang
dapat dan tidak dapat dikonsumsi. Kegiatan tersebut berlangsung ketika anak telah mampu dan mulai ikut ngahuma berladang. Proses tersebut tidak berhenti
hingga anak berkembang menjadi dewasa. Setelah anak menjadi dewasa, pengetahuan bersumber pada pengalaman dan interaksinya langsung terhadap
jenis-jenis tumbuhan pangan baik dari anggota keluarganya maupun orang lain yang ada di sekitarnya.
Ketahanan Pangan Masyarakat Baduy
Konsep ketahanan yang saat ini berkembang secara nasional telah menempatkan posisi masyarakat Baduy sebagai daerah rawan prioritas III dengan
indikator yang kurang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang ada di dalamnya. Ketahanan pangan adalah keadaan dimana setiap rumah tangga
mempunyai pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau UU No. 7
1996. Pilar utama yang ada di dalamnya adalah 1 ketersediaan pangan, 2 akses terhadap pangan, 3 pemanfaatan pangan, dan 4 daerah dengan
kerentanan terhadap kerawanan pangan transier Deptan 2009.
Parameter ketersediaan pangan diukur menggunakan perbandingan ketersediaan beras, jagung, dan singkong dengan konsumsi normatif masyarakat.
Kenyataannya selain padi, jagung, singkong, dan ubi jalar masyarakat Baduy memanfaatkan keanekaragaman pangan seperti hajeli Coix lacryma-jobi L.,
huwi kumbili Coleus tuberosus Benth., huwi manjangan Dioscorea sp, dan spesies tumbuhan yang beranekaragam dalam memenuhi kebutuhan pangan. Bagi
masyarakat Baduy, pangan yang terbaik adalah pangan yang beragam. Dengan mengkonsumsi tumbuhan pangan yang beragam, akan mendapatkan nutrisi yang
lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip dasar dari diversifikasi pangan yang berkembang saat ini. Prinsip
diversivikasi pangan adalah bahwa tidak ada satupun komoditas atau bahan pangan yang memenuhi unsur gizi secara keseluruhan yang dibutuhkan oleh
tubuh, sehingga memilih makanan bukan semata-mata hanya karena pertimbangan unsur makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak saja tetapi juga
pada pertimbangan kebutuhan serat, antioksidan, dan nutrisi mikro yang dibutuhkan oleh tubuh.
Kebijakan “berasisasi” yang dilakukan pemerintah telah merusak keseimbangan dan keanekaragaman pangan masyarakat yang stabil menjadi
pangan yang tidak mandiri dengan program andalannya raskin beras miskin. Sebagai contoh masyarakat di Nusa Tenggara Timur NTT yang memiliki
komoditi pangan utama jagung termasuk daerah termiskin karena tidak mampu menghasilkan dan mengkonsumsi beras. Kenyataannya kondisi alam dan
lingkungan yang ada di NTT sangat sesuai dengan komoditi jagung, bukan beras. Namun kebijakan pemerintah telah menjadikan beras sebagai pangan utama yang
bergengsi dan menjadi indikator utama dalam kemandirian dan ketahanan pangan suatu wilayah Ofong 2007.
Tabel 16 Perbandingan indikator FSVA dengan kondisi Baduy
Indikator FSVA 2009 Parameter
Ketahanan Pangan Indikator Kondisi Aktual Baduy
• Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar
Ketersediaan pangan Food availability
• Keragaman pangan diversifikasi pangan • Cadangan pangan di leuit lumbung padi
• Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan Akses pangan Food
and livelihoods Access
• Budaya berbagi dan memberi social entitlement • Lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh
kendaraan roda empat. • Penerapan dan keberlanjutan pengetahuan etnobotani antar generasi dalam
pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan pangan lokal secara lestari. • Keterjangkauan masyarakat terhadap tumbuhan pangan lokal
• Ketersediaan tumbuhan pangan lokal di wilayah Baduy • Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses
terhadap listrik dari PLN danatau non PLN. • Angka harapan hidup pada saat lahir
Pemanfaatan pangan Food Utilization
• Pengolahan pangan di Baduy dilakukan secara alami dan aman dari zat kimia berbahaya tidak menggunakan pestisida.
• Ketersediaan dan kualitas air di Baduy bergantung pada kondisi sungai. Terdapat aturan adat yang melarang pembuatan sumur karena dianggap
merusak lingkungan Senoaji 2011. • Masyarakat memilih mencegah daripada mengobati penyakit, terbukti
dengan tingginya jumlah konsumsi tumbuhan pangan menyehatkan dikonsumsi sebelum sakit daripada tumbuhan berkhasiat obat dikonsumsi
jika sakit. • Secara informal adanya dukun yang dipercaya mampu membantu proses
pengobatan. • Berat badan balita di bawah standar Underweight
• Perempuan 15 th yang tidak dapat membaca menulis. • Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air
minum yang berasal dari air ledengPAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung.
• Persentase rumah tangga yang tinggal pada jarak lebih dari 5 kilometer dari fasilitas kesehatan rumah sakit,
klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedik, dan sebagainya.
• Data bencana alam yang terjadi di Indonesia dan kerusakannya selama periode 2000 – 2007
Daerah dengan kerentanan terhadap
kerawanan pangan transien
Vulnerability to Transient Food
Insecurity • Sistem perladangan huma diterapkan dengan memperhatikan kaidah
ekologi. • Penanaman di ladang huma hanya akan dimulai saat akan turun hujan
untuk mengurangi resiko gagal panen. • Penyimpangan curah hujan
• Persentase dari daerah ditanami padi yang rusak akibat kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tanaman
OPT. • Kalender tanam yang diterapkan di Baduy telah mempertimbangkan musim
keluarnya hama tanaman, selain itu penggunaan pestisida alami ngubaran pare dilakukan untuk menjaga ladang dari hama.
• Deforestasi adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Angka deforestasi hutan
berdasarkan analisis citra satelit Landsat . • Pengetahuan etnobotani yang diterapkan masyarakat Baduy terbukti mampu
menjaga dan mengelola kelestarian hutan Suansa 2011. Hutan merupakan sumber tumbuhan pangan liar yang potensial.
40
Baduy menjadi salah satu obyek pelaksanaan program raskin tersebut. Namun kondisi ini tidak serta merta merubah tatanan adat yang berlaku di Baduy,
karena masyarakat Baduy justru mampu mengembangkan strategi ketahanan pangan mereka. Meskipun masyarakat Baduy memenuhi kebutuhan beras sehari-
hari dengan cara membeli beras dari luar kampung, beras yang mereka hasilkan disimpan di dalam leuit dan dikonsumsi secukupnya pada saat berlangsung
upacara adat dan kebutuhan sehari-hari yang mendesak. Hal ini dilakukan karena menurut pandangan orang Baduy jika tampak isi leuit tidak lagi penuh, ini
menjadi pertanda buruk dalam katahanan pangan mereka. Karena itulah jumlah leuit terus bertambah dan bahkan melebihi jumlah rumah.
Leuit merupakan simbol ketahanan pangan bagi masyarakat Baduy dan merepresentasikan ketersediaan pangan yang berkelanjutkan. Masyarakat Baduy
sangat pandai berhemat dalam menjaga persediaan pangan. Strategi tersebut merupakan bentuk adaptasi dan rasionalisasi masyarakat Baduy dalam
menghadapi kemungkinan terburuk saat pangan tidak lagi mencukupi. Sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat di NTT yang menabung atau
menyimpan pangan jagung dengan metode pengasapan. Di Timor Barat, misalnya, biasanya jagung disimpan di atas loteng ume kbubu rumah bulat,
kemudian diasapi, agar dapat bertahan lama dan tidak rusak. Strategi ini diusahakan untuk dapat bertahan dalam situasi-situasi di mana persediaan pangan
mereka mulai menipis atau habis; biasanya dipersiapkan untuk menghadapi masa paceklik atau lapar biasa, yaitu antara Desember sampai Februari sebelum musim
panen Ofong 2007. Strategi lain pernah dilakukan oleh masyarakat Darfur di Sudan yang memilih untuk sedikit kelaparan dan menghemat beras yang dimiliki
agar bisa membibitkan dan menanam pada tahun selanjutnya untuk menjaga ketersediaan pangan yang berkelanjutan De Waal 1989.
Parameter akses pada FSVA 2009 diukur dari persentase masyarakat di bawah garis kemiskinan, lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh
kendaraan roda empat, dan persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN danatau non PLN, misalnya generator. Jika
dibandingkan dengan income perkapita minimum yang ditetapkan oleh garis kemiskinan nasional Indonesia yaitu Rp 166.697,00 bulan Baduy berada pada
kondisi yang miskin karena pendapatan perbulan masyarakat tidak menentu tergantung pada hasil ladangnya. Masyarakat Baduy memperoleh uang dari
penjualan hasil panen di ladang yang dimiliki exchange entitlement. Seluruh hasil ladang boleh dijual kecuali beras. Income perkapita yang ditetapkan tidak
dapat menggambarkan kemampuan masyarakat Baduy dalam mengakses pangan. Masyarakat Baduy memiliki budaya memberi atau meminjam makanan dari
tetangga atau saudaranya social entitlement sehingga pola income perkapita menjadi tidak relevan. Umumnya masyarakat memiliki nilai income perkomunitas
yang menunjukkan bahwa komunitas tersebut mampu secara mandiri menjaga komunitasnya dalam memperoleh pangan.
Akses pangan diukur pula dari persentase rumah tangga tanpa listrik dan areal yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Jika indikator tersebut
digunakan, maka masyarakat Baduy akan berada pada 100 areal tidak dapat dilalui kendaraan roda 4 dan 100 rumah tangganya tanpa listrik. Indikator
tersebut tidak akan pernah sesuai sepanjang masyarakat Baduy masih memegang teguh hukum adatnya. Karena masyarakat Baduy memiliki aturan untuk tidak
41
menggunakan listrik dan tidak merubah struktur tanah yang ada. Oleh karena itu akses pangan adalah pengetahuan etnobotani dan kemampuan masyarakat Baduy
dalam memanfaatkan tumbuhan pangan. Dengan pengetahuan etnobotani yang dimiliki, masyarakat Baduy mampu mengelola lahan huma dan reuma,
pemanfaatan potensi tumbuhan pangan liar di hutan, dan memanfaatkan secara arif sehingga menjamin ketersediaan yang bekelanjutan.
Selanjutnya parameter pemanfaatan pangan diukur melalui angka harapan hidup, persentase perempuan buta huruf, dan rumah tangga yang berjarak 5 km
dari pelayanan kesehatan. Masyarakat Baduy lebih menggunakan prinsip hidup sehat dan mencegah penyakit daripada harus mengobati penyakit dalam
pemanfaatan pangan. Hal ini terbukti dengan konsumsi tumbuhan pangan yang juga berkhasiat obat dan menyehatkan bagi tubuh, masyarakat Baduy lebih sering
mengolah pangannya dengan cara merebus dan mengukus sehingga baik bagi kesehatan. Selain itu dalam proses pengelolaan ladang yang dilakukan
menggunakan pupuk dan pestisida alami yang dapat menyebabkan pare Oryza sativa L. yang dipanen dan disimpan tetap dalam kondisi baik meski disimpan
dalam waktu yang panjang dan aman dikonsumsi. Proses pengeringan pare sebelum dimasukkan ke dalam leuit menjadi teknologi sederhana dalam
pengawetan bahan pangan. Tidak hanya proses penyimpanan, pada saat pengolahan nasi hingga nasi dihidangkan, masyarakat Baduy masih menggunakan
sistem akeul atau mengipas sambil mengaduk nasi yang baru dimasak dengan dulang dan pengarih agar menurunkan kadar gula dan uap panas pada nasi seperti
yang dilakukan pada masyarakat di Kampung Naga di Tasikmalaya Hidayatullah dan Fasya 2012.
Kerentanan terhadap kerawanan pangan transier merupakan kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya yang dapat
mempengaruhi ketahanan pangan. Kerawanan pangan dilihat dari ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi perubahan kondisi alam dan
lingkungannya, seperti bencana alam, penyimpangan curah hujan, serangan hama, dan deforestasi. Kenyataannya masyarakat Baduy memiliki pengetahuan
etnobotani dalam mengelola sumberdaya lokal yang dimilikinya. Pengelolaan lingkungan yang ada di Baduy dilakukan dengan menyesuaikan pada kondisi dan
kaidah alam. Masyarakat Baduy seperti masyarakat adat pada umumnya memiliki kemampuan dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan bencana
alam yang terjadi Telapak 2011. Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan perubahan masa hama tanaman berkembang, oleh karena itu musyawarah
terhadap perubahan masa tanam dilakukan oleh pimpinan adat Baduy untuk kemudian ditaati oleh seluruh masyarakat Baduy. Kehidupan masyrakat Baduy
dalam mengelola pangan, tidak terlepas dari pengelolaan hutan. Dimana hutan menjadi sumber pangan potensial yang pengelolaannya didasarkan pada
pengetahuan tradisional sehingga lestari. Hutan sebagai zona inti dalam menjaga keseimbangan alam, reuma dan huma sebagai lahan budidaya, sedangkan
pekarangan menjadi lahan pertama dalam mengurangi tekanan terhadap hutan. Selanjutnya reuma, huma, dan pekarangan merupakan zona penyangga yang
berfungsi untuk mengurangi tekanan dan perubahan fungsi hutan Suansa 2011.
Pengetahuan etnobotani pangan yang digunakan dan sesuai dengan kondisi serta sumber daya yang tersedia di wilayah Baduy telah membawa masyarakat
Baduy dalam kondisi yang tahan pangan sebagaimana disampaikan oleh Mulvany
2007 bahwa sistem pangan terbaik adalah sistem pangan yang tumbuh dan berkembang secara lokal dan spesifik. Pengetahuan tersebut telah diturunkan
selama bertahun-tahun melalui pewarisan pengetahuan secara informal dari orangtua atau orang yang lebih tua kepada anaknya. Tingkat pengetahuan
etnobotani masyarakat Baduy berada pada tingkat sedang dengan retensi dari KU-5 menurun hingga KU-1. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena kelas umur
tua akan lebih banyak tahu dibandingkan kelas umur yang lebih muda, meskipun demikian perubahan tahunan yang terjadi dari masing-masing KU berada pada
tingkatan yang rendah dengan kecenderung negatif sehingga mengindikasikan bahwa proses pewarisan pengetahuan etnobotani masih berlangsung.
Kecenderungan tersebut dapat menggambarkan bahwa masyarakat Baduy masih berada pada kondisi tahan pangan.
Kontribusi Pengetahuan Etnobotani dalam Konservasi Tumbuhan Pangan
Tidak kurang dari 25.000 jenis tumbuhan tersedia di bumi, namun hanya 5 saja yang sudah tergali manfaatnya Munawaroh dan Astuti 2008. Etnobotani
sebagai sumber pengetahuan yang mampu menggali pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional menjadi langkah yang efektif dalam kegiatan dokumentasi
sumber plasma nutfah yang tersedia di dunia. Sebagai contoh masyarakat di Papua yang telah mampu mengkonservasi 200 varietas ubi jalar Ipomoea batatas L.
dengan sistem budidaya yang sesuai dengan lingkungan alamnya yaitu: mina wen hipere,
Yabu Waganak, Yabu Enaifpipme, dan Yabu Lome Rauf dan Lestari 2009. Masyarakat Baduy yang memiliki hubungan sangat erat dengan tumbuhan
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangannya memiliki hubungan timbal balik yang berkelanjutan.
Proses produksi berupa budidaya tumbuhan pangan di huma dan reuma terbukti mampu menjaga keragaman dan ketersediaan tumbuhan pangan
sepanjang tahun. Huma dan reuma menjadi salah lahan konservasi in-situ bagi 46 varietas padi ladang. Jumlah varietas padi ladang di Baduy lebih tinggi
dibandingkan dengan keanekaragaman varietas padi di Kecamatan Krayan, Kalimantan Timur yang mampu mengawetkan 37 varietas padi lokalnya.
Meskipun demikian jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan keanekaragaman varietas padi di Kecamatan Pujungan, Kalimantan Timur.
Puluhan varietas tersebut di ‘rumat” dan “leluri” untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman plasma nutfah padi di Kalimantan Timur Nasution et al. 1995.
Keragaman varietas padi yang ada menunjukkan bahwa penerapan etnobotani masyarakat mampu mengawetkan plasma nutfah tidak hanya ditingkat spesies
tetapi juga di tingkat genetik.
Huma Baduy dikelola dengan sangat hati-hati sejak permulaan menanam, perawatan, hingga panen. Masyarakat Baduy sangat pandai membaca kondisi
lingkungan, sehingga kegiatan menanam di huma hanya akan dilakukan jika kondisi lingkungan mendukung. Sistem huma dan reuma dilakukan dengan
menanam beberapa spesies dan varietas tanaman pangan sehingga mengurangi resiko kegagalan panen dan juga mengurangi dampak ekologi pada suatu spesies
atau sumberdaya. Hal ini dilakukan pula oleh masyarakat adat dikalimanta melalui sistem tembawang yang memadukan tengkawang, nyatoh, kemenyan,
jelutung, pulai, damar, buah-buahan, jenis-jenis kayu, palem, rotan, sirih, pakis untuk sayur, dan berbagai tumbuhan obat de Foresta 2000. Selain padi
masyarakat Baduy memiliki 42 varietas pisang yang hingga saat ini belum optimal kita manfaatkan sebagai sumber plasma nutfah yang bermanfaat untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Sebanyak 24 varietas belum dibudidayakan karena dianggap kurang komersial dan kurang diminati oleh masyarakat.
Selain tumbuhan budidaya, terdapat 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan liar yang berasal dari hutan. Hutan merupakan sumber plasma nutfah
alami yang menyediakan tumbuhan pangan potensial yang tidak kalah beragam dibandingkan dengan tanaman budidaya. Sebanyak 26 spesies jamur yang tersedia
secara liar di hutan menjadi pangan potensial yang tentu saja berpeluang besar untuk dapat dibudidayakan. Jamur yang tumbuh secara lokal akan lebih
berkembang di kondisi tropis Indonesia dibandingkan dengan spesies jamur introduksi dari negara sub tropis yang berkembang dan dibudidayakan di
Indonesia.
Penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy secara langsung telah mampu melindungi dan mengawetkan keanekaragaman plasma nutfah tidak
hanya ditingkat spesies, tetapi juga ditingkat genetik. Pengetahuan etnobotani yang tertuang dalam larangan dan aturan adat telah dikembangkan dari
rasionalisasi dan kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Oleh karena itu pengetahuan etnobotani yang bersifat
adaptif dan berkembang secara lokal selayaknya diakui dan dilindungi sehingga dapat mewujudkan sinergitas manusia dan tumbuhan sebagai bagian dari
ekosistem secara berkelanjutan.
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa masyarakat Baduy menerapkan pengetahuan etnobotani dalam ketahanan pangan. Hal ini ditunjukkan oleh
tingginya pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan pangan baik budidaya maupun liar. Selain beras, jagung, ubi jalar, dan singkong masyarakat Baduy juga
memanfaatkan tumbuhan pangan dari hutan sebagai sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Simpulan khusus dari penelitian ini
adalah: 1.
Masyarakat Baduy memanfaatkan 240 spesies tumbuhan pangan, 46 varietas padi ladang, 42 varietas pisang, 12 varietas talas, 9 varietas kelapa, 17
varietas ubi jalar, 2 varietas terung, 8 varietas singkong, 2 varietas mangga, 2 varietas rambutan, 2 varietas jagung, dan 3 varietas nanas. Tumbuhan pangan
tersebut diperoleh dari hasil budidaya maupun tumbuh secara liar di hutan.
2. Masyarakat Baduy memiliki rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani yang
sedang 0,833. Pengetahuan tersebut diwariskan secara baik dari ayah atau ibu dan orang yang lebih tua kepada anak dengan perubahan tahunan yang
sangat kecil 0,25.
Saran
1. Pemerintah perlu mengkaji ulang definisi dan indikator dalam penetapan
status ketahanan pangan nasional. Penetapan status ketahanan pangan tidak dapat diseragamkan karena terdapat perbedaan karakteristik antar masyarakat
yang tinggal di suatu kawasan.
2. Kenyataaan menunjukkan bahwa dewasa ini masyarakat adat telah beralih
dari pertanian subsisten menuju pertanian komersial. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang melindungi mekanisme pasar yang adil sehingga
menguntungkan bagi masyarakat adat.
3. Perlu dilakukan studi yang sama pada berbagai masyarakat adat yang ada di
Indonesia untuk mengetahui validitas dan reliabilitas dari konsep ketahanan pangan nasional melalui pendekatan pengetahuan tradisional pada masing-
masing wilayah bioekogeografi dan bioregional.
4. Perlu dilakukan kajian serupa dengan pendekatan pangan yang dominan pada
suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia. 2004. Fito-kimia Komponen Ajaib Cegah PJK, DM dan Kanker. Kimianet, Portal Kimia Indonesia: LIPI.
Apomfires F. 2002. Makanan pada Komuniti Adat Jae: Catatan Sepintas- Lalu dalam Penelitian Gizi. Jurnal Antropologi Papua. 12: 1-16.
Aspartia U. 1996. Study Pola Konsumsi Pangan Masyarakat melalui Pendekatan Karakteristik Agroekologi di Kabupaten Kupang, NTT Nusa Tenggara
Timur [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB: Bogor. Beauchamp G, Mennella JA. 2009. Early Flavor Learning and its Impact on Later
Feeding Behavior. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 48: 25-30.
Burke H, Cook M A, Weston R. 2005. Maari Ma Chronic Disease Strategy: “While prevention is better than cure, control is better than
complication”. Maari Ma Health Aboriginal Corporation: Broken Hill. Chapman PM. 2007. Traditional Ecological Knowledge TEK and Scientific
Weight of Evidence Determinations. Marine Pollution Buletin 54: 1893 - 1840.
Cotton CM. 1996. Ethnobotany Principles and Applications. New York: Jhon Wiley and Sons.
Daniel WW. 1990. Applied Non Parametric Statistics. Second Edition. Boston: PWS-Kent Publishing Company.
De Foresta, H., A. Kusworo, W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia, Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF:
Bogor. De Waal, A. 1989. Famine that Kills : Darfur, Sudan, 1984-1985. Oxford:
Clarendon Press. [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Food Insecurity Atlas FIA - Peta
Kerentanan Pangan Indonesia. Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI dan WFP. PT Enka Deli: Jakarta.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia FSVA - Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia.
Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI dan WFP. PT Enka Deli: Jakarta.
[Dinkes] Dinas Kesehatan. 2008. Laporan Sepuluh Penyakit Terbanyak di Desa Kanekes. UPT Puskesmas Cisimeut. Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak. Banten [Dinsos] Dinas Sosial. 1999. Informasi Pembinaan Kesejahteraan Sosial
Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak. Cabang Dinas Sosial Propinsi Dati I Jawa Barat. Kabupaten Lebak
Eden MJ. 1987. Traditional Shifting Cultivation and The Tropical Forest System. TREE 2 11: 340-343.
[FAO] Food Agriculture Organization. 1996. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit Plan Action- World Food Summit 13-17
November 1996 Rome Italy. FAO Corporate Document Repository.
Garna J. 1993. Masyarakat Terasing Indonesia. Koentjaraningrat, editor. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Garna, Judistira K. 1985. Masyarakat Baduy dan Kebudayaannya. Pusat Kajian dan Pengembangan Sosial Budaya: Bandung.
Gay LR. 1981. Educational Resarch: Competencies for analysis and application. Second eddition. Charles E Mermil Publishing Company: Ohio.
Hall IR, Stephenson SL, Buchanan PK, Yun W, Cole ALJ. 2003. Edible and Poisonous Mushrooms of The World. Timber Press: UK.
Harjadi SS. 1996. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia: Jakarta. Harrington WWRJP, Marreco BF.1916. Ethnobotany of The Tewa Indians.
Government Printing Office: Washington. Harshberger JW. 1896. The Purpose of Ethnobotany. Botanical Gazette. 21: 146-
154. Hidayatullah R, Fasya M. 2012. Konsep Nasi dalam Bahasa Sunda: Studi
Antropolinguistik di Kampung Naga, Kecamatan salawu, kabupaten tasikmalaya. http:file.upi.eduDirektoriFPBSJUR._PEND._BHS.DAN_
SASTRA_INDONESIA197712092005011. MAHMUD_FASYA EtnolinguistikKonsep20Nasi20dalam20Bahasa20Sunda.pdf [25
November 2012].
Hilgard ER, Bower GH. 1975. Theory of Learning 5 th ed.. Englewood. Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Microsoft Encarta Encyclopedia: Labor Union USA.
Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Edisi ke-dua. Erlangga: Jakarta.
Iskandar J, Ellen R. 1999. In-situ Conservation of Rice Landraces Among The Baduy of West Java. Journal of Ethnobiology 191: 97·125.
Jain SM, Priyadarshan PM. 2009. Breeding Plantation Tree Crops: Tropical Species. Helsinki University Rubber Research Institute of India: Helsinky.
Johns T. 1990. With Bitter Herbs they Shall Eat it. University Arizona Press: Tucson.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Program Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Tahun 2012. Kementrian Pertanian Republik
Indonesia: Jakarta. [KMNLH] Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2001. Bunga Rampai Kearifan
Lingkungan. Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia: Jakarta
Key ETJ, Thorogood M, Appleby PN. 1996. Dietary habits and mortality in 11.000 vegetarians and health conscious people: results of a 17 year follow
up. BMJ 313:775. http:www.bmj.comcontent3137060775. [8 November 2012]
Khomsan A, Wigna W. 2009. Sosio-budaya Pangan Suku Baduy. Jurnal Gizi dan Pangan 42: 63 – 71.
Kurnia A, Sihabudin A. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Bumi Aksara: Jakarta. Kusumayanti A. 1983. Pengaruh Pemasakkan terhadap Kandungan Tripsin
Inhibitor Kedelai Glycine max L., Kecipir Psophocarpus tetragonolobus
L., Lamtoro Gung Leucaena leucocephala L., dan Saga Adenanthera pavqnina L. [Skrisi]. Fakultas Pertanian: IPB.
Louhui L, Lixin S, Weiming Y, Xinkai Y, Yuan Z. 2009. Building on Traditional Shifting Cultivation for Rotational Agroforestry: Experiences from
Yunnan, China. Forest Ecology and Management 257: 1989-1994. Marlina E. 2009. Traditional Community of Baduy, West Jawa Toward
Architecture Sustainability. http:www.fab.utm.mydownloadConference SemiarSENVAR52004SPS402.pdf. [1 November 2012].
Maryoto A. 2009. Jejak Pangan- Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. PT. Kompas Media Nusantara: Jakarta.
Muchtadi TR, Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengawetan Pangan. CV. Alfabeta: Bandung.
Mulvany P. 2007. Food Sovereignty Comes of Age: Africa leads efforts rethink our food system. http:www.ukfg.org.ukdocsFoodSov17Dec2007.pdf.
[23 November 2012]. Nasution RE, Roemantyo H, Walujo EB, Kartosedono S. 1995. Prosiding
Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II, buku 2. Puslitbang Biologi LIPI, Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada, Ikatan
Pustakawan Indonesia.
Ndero G, Thijssen R. 2004. Studi Etnobotani: Menemukan Jenis-jenis Tanaman Potensial. Tropical Ethnobiology. 1: 8-9.
[NTBG] National Tropical Botanical Garden. 2007. Ethnobotany, the science of survival: a declaration from Kaua‘i. National Tropical Botanical Garden.
Volume XXIV No. 4
Nyeleni. 2007. Forum for Food Sofereignty. http:www.foei.orgenresourcespub licationsfood-sovereignty2000-2007nyeleni-forum-for-food-sovereignty.
[29 Januari 2013]. Ofong L. 2007. Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan Di NTT. Working
Papers: Institute of Indonesia Tenggara Studies. IITS Publications: NTT. Pei S, Zhang G, Huai H. 2009. Application of Traditional Knowledge in Forest
Management: Ethnobotanical Indicator of Sustainable Forest Use. Forest Ecology and Management 257: 2017-2027.
Pieroni. 2001. Evaluation of Cultural Significance of Wild Food Botanical Traditionally Consumed in Northwestern Tuscany, Italy. Jurnal
Etnobiologi 2 1: 89-104. Pierotti RJ. 2011. Indigenous Knowledge, Ecology, and Evolutionary Biology.
New York; Routledge. Rahardjo, Mudji J, Rahayu YS. 2002. Urang Kanekes di Banten Kidul. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata: Jakarta. Rauf AW, Lestari MS. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal sebagai
Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian 282.54-62 Senoaji A. 2011. Perilaku Masyarakat Baduy dalam Mengelola Hutan, Lahan, dan
Lingkungan di Banten Selatan. Jurnal Humaniora 23: 14-25.
Shimizu Toshio. 2002. Newly Established Regulation in Japan: foods with health claims. Asia Pacific Journal Clin Nutr 112: S94–S96
Sibuea P. 2008.Reforma Agraria. Kebangkitan Pertanian. Kompas- Teropong, Nusantara. Sabtu, 14 Juni: 37.
Suansa NI. 2011. Penggunaan Pengetahuan Etnobotani dalam Pengelolaan Hutan Adat Baduy [Skripsi]. Fakultas Kehutanan: IPB.
Tambunan T. 2008. Ketahanan Pangan di Indonesia Mengidentifikasi Beberapa Penyebab. Pusat Studi UKM Universitas Trisakti: Jakarta.
Tan MG, Abunain, Suharso, Rahardjo J, Suhardjo, Mulyohardjo S. 1970. Aspek Sosio-Budaya, Pola Konsumsi Pangan dan Kebiasaan Makan pada Lima
Daerah Pedesaan di Indonesia. Direktorat Gizi. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Telapak. 2011. Mengarusutamakan Masyarakat Adat dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. http:forestclimatecenter.orgfiles2011-08-1820Meng
arusutamakan20IP20dlm20Adaptasi2020Mitigasi20CC20 -20Kertas20Kebijakan20oleh20Telapak.pdf
Turner NJ. 1988. The Importance of a Rose: Evaluating the Cultural Significant of Plants in Thompson and Lillooet Interior Salish. American Anthropologist
90 2: 272-290. Waluyo EB. 1992. Tumbuhan dalam Kehidupan Tradisional Masyarakat Dewan
Timor. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Departemen Pertanian RI,
LIPI. Perpustakaan Nasional RI: Bogor. Hal: 216-224.
Wildman REC. 2007. Handbook of Nutraceuticals And Functional Foods. CRC PressINC: Boca Raton.
World Development Movement. 2011. Transforming our food system: The movement for food sovereignty. Campaign Briefing. http:www.
wdm.org.uksitesdefaultfilesFood20sovereignty20briefing_10.11_0. pdf. [29 Januari 2013].
Young KJ. 2007. Ethnobotany. New York: Chelsea House Publisher. Zent S. 2009. Methodology for Developing a Vitality Index of Traditional
Environmental Knowledge VITEK for the Project “Global Indicators of the Status and Trends of Linguistic Diversity and Traditional
Knowledge.”Principal Investigator Centro de Antropologia Instituto Venezolano de Investigaciones Cientificas IVIC. Venezuela.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Panduan wawancaraFGD Focus Group Discussion 1.
Ketersediaan Pangan a.
Jenis-jenis tumbuhan pangan b.
Media penyimpanan dan kepemilikan lumbung pangan
2. Keamanan Pangan
a. Sistem pertanianperladangan dalam produksi pangan
b. Keamanan produksi pangan dari penggunaan pestisida kimia
c. Keamanan pengolahan pangan dari cemaran biologi dan zat kimia
berbahaya
3. Kemerataan Pangan
a. Jumlah lumbung pangan dan kapasitas lumbung pangan per kepala
keluarga b.
Cadangan pangan per kepala keluarga c.
Kepemilikan lahan pertanianperladangan huma, kebun reuma, dan pekarangan
4. Keterjangkauan Pangan
a. Kemampuan individu dalam memperoleh pangan
b. Sistem distribusi pangan
5. Pengetahuan tradisional terkait katahanan pangan
a. Pengetahuan tradisional tentang penamaan, identifikasi, penggunaan
tumbuhan pangan, dan ekologi tumbuhan pangan. b.
Sistem sosio kultural yang terkait ketahanan pangan infrastruktur material, sistem sosial, dan super struktur ideologis.
Lampiran 2 Daftar Kuisioner CFSI Cultural Food Significant Index 1.
Identitas responden Nama :
Usia : Jenis Kelamin
: Status
: Asal :
2. Spesies tumbuhan pangan apa sajakah yang anda manfaatkan?
No Nama spesies
3. Dari masing-masing jenis tersebut bagaimana ketersediaannya dan dimana
anda bisa mendapatkannya?
No Nama spesies
Ketersediaan Tempat
tumbuh
4. Berapa kalifrekuensi anda menggunakan tumbuhan tersebut?
No Nama spesies
Frekuensi pemanfaatan
5. Bagian manakah yang anda manfaatkan dari tumbuhan tersebut?
No Nama spesies
Bagian yang dimanfaatkan
6. Digunakandiolah sebagai apakah tumbuhan pangan trsebut?
No Nama spesies
Pengolahan tumbuhan
7. Bagaimana rasa dari tumbuhan pangan tersebut?
No Nama spesies
Rasa
8. Apakah tumbuhan pangan ini memiliki manfaat untuk kesehatan?
No Nama spesies
Kandungan obat
Lampiran 3 Daftar kuisioner penerapan pengetahuan tradisional 1.
Identitas responden Nama :
Usia : Jenis Kelamin
: Status
: Asal :
2. Apakah anda mengetahui :
No Spesies tumbuhan
Penamaan Identifikasi Manfaat Ekologi
Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
3. Apakah anda mengetahui infrastruktur material yang terkait ketahanan
pangan?
No Infrastruktur material
Ya Tidak
4. Apakah anda mengetahui sistem sosial yang terkait ketahanan pangan?
No Struktur sosial
Ya Tidak
5. Apakah anda mengetahui super struktur ideologis yang terkait ketahanan
pangan?
No Super struktur ideologis
Ya Tidak
Lampiran 4 Daftar responden penelitian
No Nama Jenis Kelamin Umur Kelas
Umur Asal
1. Sarman
L 15
1 Cikertawana
2. Sarmin
L 20
1 Cibeo
3. Idong
L 24
1 Cibeo
4. Sangsang
L 30
2 Cibeo
5. Darma
L 35
2 Cibeo
6. Sapri
L 39
2 Cibeo
7. Yadi
L 45
3 Cibeo
8. Jarmin
L 50
3 Cibeo
9. Sami
L 52
3 Cibeo
10. Darni
L 55
4 Cikertawana
11. Marsitar
L 60
4 Cibeo
12. Ayah
Carcah L
65 4
Cikeusik 13.
Abah Sarminah
L 70
5 Cibeo
14. Armah
L 70
5 Cibeo
15. Ayah
Ati L
80 5
Cibeo 16.
Darti P
10 1
Cibeo 17.
Arti P
14 1
Cibeo 18.
Janati P
23 1
Cikeusik 19.
Sania P
30 2
Cibeo 20.
Darni P
37 2
Cibeo 21.
Arwi P
26 2
Cikeusik 22.
Rodisah P
50 3
Cibeo 23.
Nini Arwi
P 40
3 Cikeusik
24. Nini
Jahadi P
53 3
Cikeusik 25.
Nini Idong
P 68
4 Cibeo
26. Nini
Yarman P
55 4
Cikeusik 27.
Ambu Jakam
P 60
4 Cibeo
28. Tarisah
P 85
5 Cikertawana
29. Sarminah
P 90
5 Cibeo
30. Nini
Sarja P
70 5
Cikeusik 31.
Edi L
13 1
Kaduketug 3
32. Ako
L 16
1 Kaduketug
3 33.
Pila Jangkrak L
23 1
Kaduketug 3 34.
Saidam L
28 2
Kaduketug 3
35. Amir
L 32
2 Kaduketug
3 36.
Erwin L
36 2
Kaduketug 3
37. Pulung
L 40
3 Kaduketug 3
38. Rasudin
L 41
3 Kaduketug
3 39.
Sajum L
50 3
Kaduketug 3 40.
Jamrud L
63 4
Kaduketug 3
41. Samani
L 54
4 Kaduketug
1 42.
Asrap L
68 4
Kaduketug 1
43. Ijom
L 72
5 Kaduketug
3 44.
Asan L
80 5
Kaduketug 1
45. Ayah
Nasinah L
90 5
Gajeboh 46.
Lina P
15 1
Kaduketug 1
47. Itok
P 19
1 Kaduketug
1 48.
Rasti P
22 1
Kaduketug 1
49. Raibah
P 27
2 Kaduketug
1 50.
Elas P
29 2
Kaduketug 1
51. Sodah
P 30
2 Kaduketug
1 52.
Pulung P
40 3
Kaduketug 1
53. Runi
P 42
3 Kaduketug
1 54.
Lati P
50 3
Kaduketug 1
55. Isah
P 65
4 Kaduketug
3 56.
Ani P
56 4
Kaduketug 1
57. Ambu Sarwi
P 60
4 Kaduketug 3
58. Rosidah
P 90
5 Kaduketug
3 59.
Ambu Marjayi P
70 5
Kaduketug 1 60.
Ambu Yalci P
80 5
Kaduketug 3
Lampiran 5 Tingkat pengetahuan tradisional masyarakat Baduy dalam ketahanan pangan
Nama Umur Jenis
Kelamin Kelas Umur
V V total
MG
Ayah Nasinah 90
L 5
0,984 11,274
0,939 Ayah Ati
80 L
5 0,950
Asan 80 L 5
0,974 Ijom 72
L 5 0,969
Armah 70 L 5
0,948 Abah Sarminah
70 L
5 0,953
Sarminah 90 P 5 0,919
Rosidah 90 P 5
0,903 Tarisah 85
P 5
0,918 Ambu Yalci
80 P
5 0,944
Nini Sarja 70
P 5
0,905 Ambu Marjayi
70 P
5 0,908
Asrap 68 L 4
0,919 10,640
0,887 Ayah Carcah
65 L
4 0,853
Jamrud 63 L
4 0,896
Marsitar 60 L 4
0,889 Darni 55
L 4 0,818
Samani 54 L
4 0,908
Nini Idong 68
P 4
0,895 Isah 65
P 4 0,868
Ambu Jakam 60
P 4
0,896 Ambu Sarwi
60 P
4 0,903
Ani 56 P
4 0,899
Nini Yarman 55
P 4
0,895 Sami 52
L 3 0,858
10,211 0,851
Jarmin 50 L 3
0,834 Sajum
50 L
3 0,871
Yadi 45 L 3
0,782 Rasudin 41 L
3 0,871
Pulung 40
L 3
0,866 Nini Jahadi
53 P
3 0,879
Rodisah 50 P 3
0,893 Lati 50
P 3 0,867
Runi 42 P 3
0,817 Nini Arwi
40 P
3 0,883
Pulung 40
P 3
0,790 Sapri 39
L 2 0,766
9,455 0,788
Erwin 36
L 2
0,845 Darma 35
L 2 0,798
Amir 32 L 2
0,787 Sangsang 30 L
2 0,795 Saidam 28
L 2
0,798 Darni 37
P 2 0,748
Sania 30 P 2
0,828 Sodah 30
P 2 0,789
Elas 29 P 2
0,757 Raibah 27
P 2 0,734
Arwi 26
P 2
0,809 Idong 24
L 1 0,774
8,414 0,701
Pila Jangkrak 23
L 1
0,698 Sarmin 20
L 1 0,785
Ako 16 L 1
0,698 Sarman 15
L 1
0,765 Edi 13
L 1
0,686 Janati 23
P 1 0,585
Rasti 22 P 1
0,728 Itok 19
P 1 0,712
Lina 15 P 1
0,715 Arti 14
P 1 0,620
Darti 10
P 1
0,648
Lampiran 6 Analisis statistik non parametrik uji Kruskal Wallis dan Man Withney