Peningkatan Produksi Dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar Melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan Dan Keseimbangan Hormonal Dengan Aplikasi Paclobutrazol

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU
RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR MELALUI
PENDEKATAN POLA PERTUMBUHAN DAN
KESEIMBANGAN HORMONAL DENGAN APLIKASI
PACLOBUTRAZOL

DEVI RUSMIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peningkatan Produksi
dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan
dan Keseimbangan Hormonal dengan Aplikasi Paclobutrazol adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Devi Rusmin
NRP A26111 0011

RINGKASAN
DEVI RUSMIN. Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih
Besar melalui Pendekatan Pola Pertumbuhan dan Keseimbangan Hormonal
dengan Aplikasi Paclobutrazol. Dibimbing oleh M.RAHMAD SUHARTANTO,
SATRIYAS ILYAS, DYAH MANOHARA dan ENY WIDAJATI.
Tanaman jahe saat ini hanya dapat diperbanyak dengan menggunakan
organ perbanyakan vegetatif yang dikenal dengan rimpang benih. Rimpang
benih bermutu sangat diperlukan dalam usaha produksi dan pengembangan
tanaman jahe putih besar (JPB). Permintaan terhadap rimpang benih JPB semakin
meningkat, seiring dengan berkembangnya industri obat herbal dan diversifikasi
produk makanan dan minuman fungsional berbasis jahe. Permasalahan utama
dalam produksi dan pengembangan tanaman JPB ini adalah sulitnya menjaga

ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah yang mencukupi, pada waktu
diperlukan oleh pengguna. Keterbatasan benih bermutu di pasaran menyebabkan
harga benih JPB sangat tinggi, dan kenaikan harga benih tersebut sulit untuk
dikendalikan. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh rendahnya mutu
rimpang benih, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah
bertunas saat di penyimpanan.
Penelitian dengan pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan
hormonal selama proses produksi di lapangan telah dilakukan untuk
meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB yaitu dengan mempelajari:
(1) perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia selama pembentukan dan
perkembangan rimpang benih jahe putih besar, dan (2) peningkatan produksi dan
mutu rimpang benih jahe putih besar dengan aplikasi paclobutrazol (PBZ).
Selanjutnya percobaan dengan pendekatan perubahan fisiologi dan keseimbangan
hormonal selama proses penyimpanan telah dilakukan untuk meningkatkan daya
simpan rimpang benih JPB yaitu dengan mempelajari: (3) perubahan mutu
fisiologis rimpang benih jahe putih besar selama penyimpanan pada umur panen
berbeda, dan (4) mutu fisiologis rimpang benih jahe putih besar selama
penyimpanan dengan pelapisan lilin dan aplikasi PBZ.
Penelitian bertujuan mendapatkan teknologi produksi dan penyimpanan
yang tepat sehingga dapat meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB

melalui pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal, serta
perubahan fisiologi selama penyimpanan. Penelitian ini terdiri atas empat
percobaan yang tersusun secara paralel dengan tujuan yaitu: (1) menentukan umur
panen rimpang benih JPB dengan mempelajari perubahan morfologi, fisiologi dan
biokimia selama perkembangan rimpang benih, (2) mengetahui pengaruh waktu
aplikasi dan konsentrasi PBZ dalam meningkatkan produksi dan mutu rimpang
benih JPB, (3) mengetahui pengaruh umur panen terhadap daya simpan rimpang
benih JPB, dengan mempelajari perubahan mutu fisiologi selama penyimpanan
dan (4) mengetahui pengaruh pelapisan lilin dan aplikasi PBZ terhadap perubahan
mutu fisiologis rimpang benih JPB selama penyimpanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pola pertumbuhan tajuk dan rimpang
JPB selama pembentukan dan perkembangannya secara umum diklasifikasikan

atas tiga fase pertumbuhan yaitu fase lambat 1–4 bulan setelah tanam (BST),
cepat (>4–6 BST), dan pemasakan (>6 BST). Berdasarkan fase pertumbuhan dan
perkembangan tersebut diketahui bahwa rimpang benih JPB umur 7 BST (fase
pemasakan) sudah mulai layak digunakan sebagai bahan tanaman karena
mempunyai bobot kering bibit, pertumbuhan tanaman dan produksi yang sama
dengan rimpang benih umur 8 dan 9 BST.
Pengontrolan keseimbangan hormon endogen oleh aplikasi PBZ dapat

meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB. Aplikasi PBZ 400 ppm
pada tanaman umur 4 BST merupakan konsentrasi terbaik dalam meningkatkan
bobot basah (1 148 g tanaman-1 atau setara dengan dengan 10 kg petak-1 (2.55 m2)
dan jumlah rimpang cabang (33 propagul tanaman-1 atau setara dengan 297
propagul petak-1 (2.55 m2), memperkecil ukuran rimpang benih JPB (34.18 g
propagul-1) dibanding dengan kontrol (47.98 g propagul-1), dan meningkatkan
mutu fisiologis: daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi dan bobot kering bibit,
dan vigor daya simpan setelah 4 bulan disimpan dibanding tanpa PBZ.
Peningkatan produksi dan mutu rimpang benih diperoleh dengan mengurangi
tinggi tanaman, menghambat pertambahan panjang batang, meningkatkan jumlah
anakan, jumlah tunas, jumlah daun, kandungan klorofil dan pati.
Perubahan fisiologis penting dari rimpang benih JPB selama proses
penyimpanan adalah munculnya tunas (pecahnya periode dormansi). Periode
dormansi rimpang benih JPB berlangsung selama 2 bulan setelah panen.
Dormansi rimpang benih JPB lebih ditentukan oleh rasio ABA/sitokinin
dibanding rasio ABA/GA. Rasio ABA/sitokinin yang lebih tinggi pada umur 7
BST (5.0) dan 8 BST (4.7) dibanding umur 9 BST (4.2) menyebabkan derajat
dormansi yang tinggi pada umur 7 dan 8 BST sehingga rimpang benih lebih tahan
disimpan.
Aplikasi PBZ untuk meningkatkan mutu rimpang benih selain diberikan ke

tanaman di lapangan juga dapat diaplikasikan pada rimpang benih sebelum
disimpan. Aplikasi PBZ pada rimpang benih harus dilakukan sebelum masa
dormansi pecah ( 4–6 MAP), senescence
(> 6 MAP). Based on the phase of growth and development, ginger seed rhizome
harvested at 7 MAP (senescence phase) can be used as planting material because
it showed dry weight of seedling, plant growth and production similar to the ones
8 and 9 MAP.
Controlling the balance of endogenous hormones by application of PBZ
improved the production and quality of ginger seed rhizomes. Application of 400
ppm PBZ at 4 MAP was the best treatment for increasing production of seed
rhizomes: wet weight (1 148 g plant-1 or 10 kg plot -1 (2.55 m2) and number of
finger rhizome (33 propagule plant-1 or 297 propagule plot-1 (2.55 m2), also
reducing the size of seed rhizome 34.18 g propagule-1 than control (47.98 g

propagule-1) and improving the physiological quality of seed rhizomes (growth
ability, speed of growth, height and dry weight of seedling) and storage ability
compared to without aplication of PBZ.
An Important physiological change of ginger seed rhizome during the
storage process was the emergence of shoots (rupture of dormancy period).
Dormancy of ginger seed rhizomes was more determined by ABA/cytokinin ratio

compared to ABA/GA ratio. The ABA/cytokinin ratios were higher if the seed
rhizomes were harvested at 7 MAP (5.0) and 8 MAP (4.7) compared to the one
harvested at 9 MAP (4.2) lead to higher levels of dormancy so that the seed
rhizomes could be stored longer. Dormancy of ginger seed rhizomes harvested at
7, 8 and 9 MAP broken after 2 months in the storage. Ginger seed rhizomes
harvested at 7, 8, and 9 MAP had the highest growth ability (> 95%) and
uniform seedling growth after 3 months in storage.
Application of PBZ on ginger seed rhizome must be done before the
breaking of dormancy (< 2 months after storage). Wax coating plus PBZ 1500
ppm at storage temperature 20–22 ˚C reduced the percentage of sprouted seed
rhizome up to 3 months after storage and reduced respiration rate up to 4 months
after storage. However, this treatment did not reduce loss of weight of ginger
seed rhizomes up to 4 months after storage, both at the storage temperature 26–
28˚C and 20–22˚C,

Key words : harvesting time, seed coating, seed quality, storability, Zingiber
officinale

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU
RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR MELALUI
PENDEKATAN POLA PERTUMBUHAN DAN
KESEIMBANGAN HORMONAL DENGAN APLIKASI
PACLOBUTRAZOL

DEVI RUSMIN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc
Dr. Ir. Asep Setiawan, MS

Penguji pada Sidang Promosi: Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc
Dr. Ir. Agus Wahyudi, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Peningkatan
Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar melalui Pendekatan
Pola Pertumbuhan dan Keseimbangan Hormonal dengan Aplikasi Paclobutrazol
berhasil diselesaikan.
Selama Penulis melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi, penulis

banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini, penulis menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. M.R. Suhartanto, MS, Ibu Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS, Ibu
Dr. Ir. Dyah Manohara MS dan Ibu Dr. Ir. Eny Widajati, MS selaku komisi
pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak persiapan,
pelaksanaan penelitian sampai penyusunan disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc, Ibu Dr. Ir. Endah Retno
Palupi, Bapak Dr. Ir. Asep Setiawan, MS dan Bapak Dr. Ir. Agus Wahyudi
yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada Ujian Pra Kualifikasi
Pogram Doktor, Ujian Tertutup dan Sidang Promosi serta memberikan
masukan dan saran perbaikan untuk kesempurnaan disertasi ini.
3. Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat, Ketua Kelti Pemuliaan, Plasma Nutfah dan Perbenihan, Ketua Kelti
Ekofisiologi Balittro yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
melanjutkan pendidikan dan membantu dalam pendanaan penelitian.
4. Ketua Prodi ITB Ibu Dr. Ir. Endah Retno Palupi beserta staf (Ibu Mimin, Ibu
Neng dan Bapak Udin).
5. Ibu Dr. Otih Rostiana, Bapak Dr. Dono Wahyuno, dan Ibu Dra. Siti Fatimah
Syahid yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dan
penulisan.

6. Teman-teman seperjuangan dari Prodi ITB, AGH, PBT, FIT dan Forum
Petugas Belajar Litbangtan yang banyak memberikan dukungan.
7. Ayahanda R Sy. Dt. Majo Besar (alm.) dan Ibunda Aminah (almh.) atas
semua pengorbanan dan doa dan kasih sayangnya dalam membesarkan dan
mendidik penulis. Bapak Mertua Yanuar dan Ibu Mertua Nuraya Yusuf
(almh), serta kakak-kakak dan adik yang selalu mendukung dan mendoakan
penulis.
8. Bapak Rokenly, SSi suami tercinta atas doa, pengorbanan, pengertian,
bantuan dan kasih sayangnya yang luar biasa, juga anak-anak tersayang Zaki,
Adil dan Zulfa atas segala bantuan dan pengertiannya kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan, sehingga diharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan disertasi ini. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Devi Rusmin

DAFTAR ISI

1


2

3

4

5

6
7
8

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan Penelitian
PERUBAHAN
FISIOLOGI
DAN
BIOKIMIA
SELAMA
PEMBENTUKAN RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan.
Saran
PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU RIMPANG BENIH
JAHE PUTIH BESAR DENGAN APLIKASI PACLOBUTRAZOL
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan
PERUBAHAN MUTU FISIOLOGIS RIMPANG BENIH JAHE
PUTIH BESAR SELAMA PENYIMPANAN PADA
UMUR
PANEN BERBEDA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan
Saran
MUTU FISIOLOGIS RIMPANG BENIH JAHE PUTIH BESAR
SELAMA PENYIMPANAN DENGAN PELAPISAN LILIN DAN
APLIKASI PACLOBUTRAZOL
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan
Saran
PEMBAHASAN UMUM
SIMPULAN UMUM
DAFTAR PUSTAKA

1
1
3
4
4
6
7
8
10
13
25
29
29
30
31
32
34
42
46
47
48
50
53
61
66
66
67
68
70
72
76
83
83
84
90
91

DAFTAR TABEL

1

Data suhu, kelembaban (RH), jumlah hari hujan di Kelurahan
Kayumanis, Bogor dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Juni
2014
Daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi bibit, dan bobot kering bibit
rimpang benih JPB pada umur 7, 8, dan 9 bulan
Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ
terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah tunas, dan tinggi
tunas pada tanaman JPB umur 7 BST
Pengaruh interaksi waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap
pertambahan panjang batang semu dan jumlah anakan JPB saat
tanaman umur 7 BST
Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ
terhadap jumlah buku, panjang ruas batang semu dan jumlah daun
pada tanaman JPB umur 7 BST
Pengaruh interaksi waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap
kandungan klorofil total (mg g -1) daun JPB
Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ
terhadap produksi rimpang benih JPB
Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ
terhadap panjang dan tinggi rimpang JPB

13

9

Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap
panjang ruas rimpang JPB

38

10

Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ
terhadap ketebalan rimpang JPB
Pengaruh interaksi waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap
kandungan pati rimpang benih JPB
Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ
terhadap viabilitas rimpang benih JPB
Pengaruh masing-masing waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ
terhadap penyusutan bobot rimpang benih JPB
Pengaruh waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap kadar air
dan jumlah tunas rimpang benih JPB
Pengaruh waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ terhadap viabilitas
rimpang benih JPB setelah 4 BSS
Panjang batang semu, tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot
basah rimpang benih JPB pada berbagai umur panen
Komposisi pembuatan emulsi lilin 12%
Pengaruh suhu ruang simpan dengan berbagai perlakuan
penyimpanan terhadap penyusutan bobot rimpang benih selama
penyimpanan
Persentase rimpang bertunas, pada masing-masing suhu ruang simpan
dan perlakuan penyimpanan, selama 1 dan 4 bulan setelah simpan
Interaksi antara suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan
terhadap persentase rimpang bertunas selama 2 dan 3 bulan

39

2
3

4

5

6
7
8

11
12
13
14
15
16
17
18

19
20

24
34

35

35

36
36
37

39
40
40
41
41
61
71
72

73
73

21
22

23

24

Panjang tunas pada masing-masing suhu ruang simpan dan perlakuan
penyimpanan pada 1, 2, 3 dan 4 bulan setelah simpan
Interaksi suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan terhadap
laju respirasi rimpang benih JPB selama 1, 2, 3 dan 4 bulan setelah
simpan (BSS)
Interaksi antara suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan
terhadap viabilitas rimpang benih JPB setelah 1 dan 4 bulan setelah
simpan (BSS)
Interaksi antara suhu ruang simpan dengan perlakuan penyimpanan
terhadap tinggi dan bobot kering bibit rimpang benih JPB setelah
disimpan

74
75

75

76

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Skema kerangka pikir penelitian
Panjang batang (PB) dan tinggi tanaman (TT) JPB selama 7 bulan
pertumbuhan tanaman
Jumlah anakan dan daun JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman
Panjang dan lebar daun JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman
Bobot basah batang (BBB), daun (BBD), bobot kering batang (BKB)
dan daun (BKD) JPB selama 7 bulan pertumbuhan tanaman
Bobot kering akar JPB selama 9 bulan pertumbuhan tanaman
Bobot basah rimpang dan jumlah rimpang cabang JPB selama 9
bulan pertumbuhan tanaman
Panjang rimpang (PR) dan tinggi rimpang (TR) JPB selama 9 bulan
pertumbuhan tanaman
Kadar air rimpang benih dan akumulasi bahan kering JPB selama 9
bulan pertumbuhan tanaman
Rimpang benih JPB umur 1 (A), 2 (B), 3 (C), dan 4 BST (D)
Rimpang benih JPB umur 5 (A), 6 (B), 7 (C), 8 (D), dan 9 BST (E)
Kadar air: rimpang induk (RI), rimpang primer (RP), sekunder (RS),
tersier (RT), dan kuarter (RK)
Kandungan pati rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada
rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)
Kandungan IAA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada
rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)
Kandungan GA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada
rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)
Kandungan ABA rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada
rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)
Kandungan sitokinin rimpang benih JPB umur 7, 8 dan 9 BST pada
rimpang sekunder (RS) dan tersier (RT)
Rekapitulasi mutu fisiologis rimpang benih JPB pada umur 7, 8 dan 9
BST
Rimpang JPB (a) 0 ppm dan (b) 400 ppm
Penyusutan bobot rimpang benih JPB pada berbagai umur panen
benih selama penyimpanan
Persentase rimpang benih JPB bertunas pada berbagai umur panen
benih selama penyimpanan
Panjang tunas rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih
selama penyimpanan
Kadar air rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih
selama penyimpanan
Laju respirasi rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih
selama penyimpanan
Kadar serat dan pati rimpang benih JPB pada berbagai umur panen
benih pada awal simpan
Kandungan hormon endogen (GA, ABA, sitokinin dan IAA) rimpang
benih JPB pada berbagai umur panen benih pada awal simpan

5
14
14
15
16
16
17
18
18
19
20
21
22
22
23
23
24
25
37
54
54
55
56
57
57
58

27
28
29
30
31

32

33
34

Daya tumbuh rimpang benih JPB pada berbagai umur panen benih
selama penyimpanan
Tinggi
bibit JPB pada berbagai umur panen benih selama
penyimpanan
Bobot kering bibit JPB pada berbagai umur panen benih selama
penyimpanan
Pertumbuhan bibit JPB pada tiga umur panen pada 2 (A), 3 (B) dan 4
BSS (C)
Performansi bibit JPB setelah 1 bulan disimpan: suhu 26-28 ˚C, 0 ppm
(A), 26-28 ˚C, 1500 ppm (B), suhu 20-22 ˚C, 0 ppm (C), dan 20-22 ˚C,
1500 ppm (D)
Performansi bibit JPB setelah 4 bulan disimpan: suhu 26-28 ˚C, 0 ppm
(A), suhu 26-28 ˚C, 1500 ppm (B), suhu 20-22 ˚C, 0 ppm (C), dan 2022 ˚C, 1500 ppm (D)
Grafik hipotetik pola pertumbuhan dan perkembangan rimpang benih
JPB
Grafik hipotetik pola pertumbuhan dan perkembangan rimpang benih
JPB

59
59
60
66
81

82

85
88

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Prosedur kerja analisis pati
Prosedur pemurnian dan identifikasi IAA, ABA, GA dan sitokinin
Prosedur kerja analisis klorofil
Prosedur kerja analisis klorofil
Prosedur kerja analisis serat
Skema mekanisme umum peningkatan mutu dan produksi melalui
pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal selama
proses produksi di lapangan dan pendekatan perubahan fisiologis dan
keseimbangan hormonal selama proses penyimpanan

98
99
100
101
102
103

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang
mempunyai banyak kegunaan baik sebagai rempah, bumbu penyedap, bahan baku
industri obat tradisional, fitofarmaka, makanan dan minuman kesehatan, serta produk
kosmetik dan perawatan tubuh (Ravindran dan Babu 2005; Rostiana
et al. 2009).
Kondisi tersebut menyebabkan jahe merupakan salah satu komoditas ekspor yang
memberikan peranan cukup berarti dalam penerimaan devisa. Ekspor jahe pada tahun
2010 mencapai 4 212 ton sedangkan pada tahun 2011 turun menjadi 1 176 ton,
sedangkan volume impor meningkat tajam dari 1 917 ton pada tahun 2010 menjadi
4 661 ton pada tahun 2011 (BPS 2011).
Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe berdasarkan ukuran dan warna rimpang yaitu
jahe putih besar (JPB), jahe putih kecil (JPK) dan jahe merah (JM). Permintaan
terhadap JPB lebih besar dibanding kedua jenis jahe lainnya, karena kegunaan dan
pengolahannya yang lebih beragam baik di pasa dalam maupun di luar negeri. Jahe
putih besar digunakan dalam industri makanan dan minuman untuk penghangat
tubuh, sedangkan jahe putih kecil dan jahe merah banyak digunakan untuk bahan
baku obat-obatan untuk meredakan sakit perut, meningkatkan daya tahan tubuh dan
melancarkan peredaran darah. Permintaan terhadap bahan tanaman bermutu
meningkat, seiring dengan berkembangnya pemanfaatan rimpang jahe sebagai
bahan baku obat tradisional, fitofarmaka dan industri makanan dan minuman baik
di dalam maupun di luar negeri. Pribadi (2012) melaporkan bahwa penggunaan jahe
pada industri besar dan sedang untuk tahun 2007 sebanyak 7 822 ton dengan nilai
Rp. 16 730 985 000.
Permasalahan dalam usaha produksi dan pengembangan jahe putih besar (JPB)
antara lain adalah: kebutuhan benih sangat tinggi (2–3 ton ha-1) yang disebabkan oleh
ukuran rimpang yang cukup besar (40–60 g per bahan tanaman), produksi dan mutu
rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut
dan mudah bertunas saat di penyimpanan. Hal ini menyebabkan kerugian yang cukup
besar dalam usaha perbenihan, karena dapat menurunkan bobot benih 30–40%
selama 3 bulan (Sukarman et al. 2008). Kekurangan ketersediaan benih bermutu
dalam jumlah yang mencukupi menyebabkan harga benih jahe sangat tinggi, di luar
jangkuan petani/pengguna
dan kenaikan harga benih tersebut sulit untuk
dikendalikan.
Peningkatan mutu dan daya simpan rimpang benih JPB dapat dilakukan
melalui penggunaan bahan tanam yang sudah mencapai umur masak fisiologis.
Umur panen sangat menentukan mutu benih jahe, hal ini berhubungan dengan
kandungan cadangan makanan (kadar pati) yang terdapat dalam rimpang. Panen
benih jahe yang belum cukup umur menyebabkan rimpang benih cepat keriput dan
mempunyai viabilitas yang rendah serta daya simpan yang juga rendah. Umur
panen yang tepat dapat ditentukan dengan mempelajari perubahan fisiologi dan
biokimia selama pembentukan dan perkembangan rimpang benih.

2
Peningkatan mutu dan daya simpan rimpang benih JPB juga dapat dilakukan
dengan pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT). Salah satu ZPT yang dapat digunakan
untuk meningkatkan mutu dan daya simpan rimpang benih adalah melalui pemberian
retardan. Ravindan dan Babu (2005) menyampaikan bahwa pemberian retardan
Daminozide (penghambat aktivitas giberelin) pada pertanaman jahe dapat
meningkatkan produksi rimpang.
Senyawa retardan lainnya yang umum digunakan untuk meningkatkan
produksi dan mutu umbi atau rimpang adalah paclobutrazol (PBZ). Menurut Arteca
(1996), PBZ merupakan salah satu jenis retardan dari golongan senyawa triazoles
yang berperan dalam menghambat biosintesis giberelin. Giberelin berperan dalam
mendorong pembelahan, pemanjangan sel dan pemanjangan batang (Arteca 1996;
Davies 2004; Chaney 2005). Falcon et al. (2006) menyebutkan bahwa giberelin
dapat menunda proses pengumbian pada tanaman kentang, sehingga pemberian zat
penghambat tumbuh seperti PBZ dapat meningkatkan produksi umbi. Tekalign dan
Hammes (2005) menyebutkan bahwa aplikasi PBZ dapat meningkatkan produksi
kentang dengan cara mengurangi pertumbuhan tunas, meningkatkan kandungan
klorofil daun, meningkatkan laju fotosintesis, dan memodifikasi partisi bahan kering
ke umbi. Ravindran dan Babu (2005) menyebutkan bahwa aplikasi PBZ pada
tanaman jahe, menunjukkan akumulasi pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Triacontanol. Rosita et al. (1993a) melaporkan bahwa tanaman kunyit yang
diperlakukan dengan PBZ konsentrasi 250 ppm pada umur 4 bulan memberikan
bobot kering rimpang, kadar pati, dan kadar minyak rimpang kunyit tertinggi saat
umur tanaman 6 bulan.
Teknologi penyimpanan benih jahe yang baik juga merupakan salah satu
alternatif dalam menjaga ketersediaan benih jahe. Penyimpanan benih bertujuan
untuk mempertahankan mutu fisiologis benih sampai benih tersebut siap digunakan
untuk musim tanam berikutnya. Penyimpanan juga diperlukan untuk mengatasi
kemungkinan tidak tersedianya benih bermutu pada saat diperlukan dan untuk
memenuhi kebutuhan benih di luar musim.
Secara umum benih akan mengalami kemunduran mutu (deterioration)
selama proses penyimpanannya. Beberapa gejala penurunan yang mungkin terjadi
selama proses penyimpanan rimpang benih JPB diantaranya adalah penyusutan
bobot, penurunan kadar air rimpang, peningkatan respirasi, dan pertunasan.
Perubahan fisiologi dan biokimia selama penyimpanan dan keterkaitannya dengan
mutu rimpang benih JPB, sampai saat ini belum dipelajari.
Suhu adalah faktor yang paling penting dalam mempertahankan aktivitas
fisiologi dan kimia selama penyimpanan rimpang dan umbi. Suhu yang tinggi dan
fluktuasi suhu selama penyimpanan menyebabkan tingginya aktifitas respirasi.
Menurut Sterrett (2009), kenaikan suhu penyimpanan sampai 18 ºC pada akhir
periode simpan benih umbi kentang menyebabkan kemunduran benih yang lebih
cepat, dibanding pemaparan pada suhu panas yang konstan pada awal simpan.
Policegoudra dan Aradhya (2007) melaporkan bahwa kenaikan suhu sampai 26 ºC
pada rimpang temu mangga (zingiberaceae) dapat menurunkan kadar air dengan
cepat sehingga penurunan bobot rimpang terjadi dengan cepat dan menghasilkan
umur simpan yang lebih pendek (< 3 bulan), sebaliknya penyimpanan suhu rendah

3
(14–15 ºC), dapat mengurangi kehilangan air yang berlebihan, menghindari chilling
injury, menunda pertunasan, dan akhirnya memperpanjang masa simpan 4–5 bulan.
Penyimpanan yang tepat pada benih jahe diperlukan untuk menekan penyusutan
bobot rimpang benih, menekan pertunasan dan berkembangnya patogen selama
penyimpanan. Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
penyimpanan benih jahe, seperti pengaturan iklim mikro (suhu dan kelembaban
ruang simpan), dan pemberian ZPT.
Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menekan penyusutan bobot
rimpang dan pertunasan melalui teknik pelapisan benih. Pelapisan benih diharapkan
dapat menutupi lapisan alami yang rusak akibat panen sehingga dapat mengurangi
penguapan air dan menekan laju respirasi selama penyimpanan sehingga diharapkan
dapat mengurangi penyusutan bobot rimpang benih jahe. Pelapisan benih juga dapat
menekan serangan patogen, karena bahan pelapis dapat menutupi luka akibat panen
yang menjadi sasaran patogen. Pemberian retardan PBZ sebagai penambah materi
pelapisan diharapkan dapat menekan pertunasan.
Teknik pelapisan benih pada rimpang jahe untuk meningkatkan mutu benih
dengan cara menekan penyusutan bobot dan pertunasan selama di penyimpanan,
sampai saat ini belum dilakukan. Teknik pelapisan dengan lilin lebah pada tanaman
buah-buahan dan kentang konsumsi untuk menekan laju respirasi, penurunan bobot
dan menjaga penampilan agar tetap menarik selama penyimpanan sudah banyak
dilakukan. Perlakuan pelapisan buah sawo manila dengan lilin lebah konsentrasi 9%
(Laila 2003), 4% pada kentang (Puslitbanghort 2008) dan 5% pada buah manggis
(Sugiyono et al. 2009) dapat menekan susut bobot dan meningkatkan daya simpan.
Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah
Tanaman jahe saat ini hanya dapat diperbanyak dengan organ vegetatif yang
dikenal dengan rimpang benih. Rimpang benih bermutu sangat diperlukan dalam
usaha produksi rimpang dan pengembangan tanaman. Permintaan terhadap benih
JPB semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya industri obat herbal dan
diversifikasi produk makanan dan minuman fungsional berbasis bahan alami.
Permasalahan utama dalam produksi rimpang benih dan pengembangan tanaman
JPB ini adalah sulitnya menjaga ketersediaan rimpang benih bermutu dalam jumlah
yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh pengguna. Keterbatasan benih bermutu
di pasaran menyebabkan harga benih jahe sangat tinggi, dan kenaikan harga benih
tersebut sulit untuk dikendalikan. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan
oleh: kebutuhan benih sangat tinggi (2–3 ton ha-1) yang disebabkan oleh ukuran
rimpang yang cukup besar (40–60 g per bahan tanaman), produksi dan mutu rimpang
benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah
bertunas saat di penyimpanan.
Penelitian dengan pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal
selama proses produksi di lapangan dan pola perubahan fisiologi dan keseimbangan
hormonal selama proses penyimpanan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan
dalam produksi dan pengembangan tanaman JPB. Penelitian terdiri atas 4 kegiatan
percobaan yang disusun secara paralel: (1) Perubahan Morfologi, Fisiologi dan

4
Biokimia selama Pembentukan dan Perkembangan Rimpang Benih Jahe Putih Besar
dan (2) Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar dengan
Aplikasi Paclobutrazol, (3) Perubahan Mutu Fisiologis Rimpang Benih Jahe Putih
Besar selama Penyimpanan pada Umur Panen Berbeda, dan (4) Mutu Fisiologis
Rimpang Benih Jahe Putih Besar selama Penyimpanan dengan Pelapisan Lilin dan
Aplikasi Paclobutazol.
Permasalahan selama proses produksi dan penyimpanan rimpang benih jahe
serta pendekatan masalah yang akan dilaksanakan dalam mencapai tujuan dan sasaran
akhir, ditampilkan dalam bentuk alur pikir pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Mendapatkan teknologi produksi dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat
meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB.
Tujuan Khusus:
1

Menentukan umur panen rimpang benih JPB dengan mempelajari perubahan
morfologi, fisiologi dan biokimia selama perkembangan rimpang benih.
2 Mengetahui pengaruh waktu aplikasi dan konsentrasi PBZ dalam
meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB.
3 Mengetahui pengaruh umur panen terhadap daya simpan rimpang benih JPB,
dengan mempelajari perubahan mutu fisiologi selama penyimpanan.
4 Mengetahui pengaruh pelapisan lilin dan aplikasi PBZ terhadap perubahan
mutu fisiologi rimpang benih JPB selama penyimpanan.
Manfaat Penelitian
1

Memberikan informasi kepada produsen benih, dan pengguna lainnya dalam
menjaga atau meningkatkan mutu benih selama produksi dan penyimpanan.
2 Membantu produsen benih, petani pengguna dalam menjaga ketersediaan
rimpang benih bermutu pada waktu dibutuhkan dalam jumlah memadai.
3 Sebagai acuan pembuatan SOP perbenihan jahe putih besar dalam bentuk
rimpang benih.
4 Memberikan informasi bagi peneliti rimpang benih JBP dalam menentukan
waktu aplikasi peningkatan produksi dan mutu, serta daya simpan rimpang
benih JPB.

5
Ketersediaan benih Jahe Putih Besar
(JPB) bermutu Bsangat terbatas

Permasalahan utama

Penyebab masalah

Pemecahan masalah

Output

Sasaran akhir

Produksi dan mutu rimpang benih
rendah, ukuran rimpang besar

Perubahan Morfologi,
Fisiologi dan Biokimia
selama Pembentukan
Rimpang Benih JPB

.Peningkatan Produksi dan
Mutu Rimpang Benih JPB
dengan Aplikasi
Paclobutrazol

Penyusutan bobot dan pertunasan cepat
selama penyimpanan

Perubahan Mutu Fisiologis
Rimpang Benih JPB selama
Penyimpanan pada Umur
Panen Berbeda

Peningkatan produksi dan mutu
rimpang benih dalam proses produksi

Peningkatan vigor daya simpan

Teknologi produksi dan penyimpanan yang tepat sehingga
dapat meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih
JPB.

Gambar 1 Skema kerangka pikir penelitian

Mutu Fisiologis Rimpang Benih
JPB selama Penyimpanan
dengan Pelapisan Lilin dan
Aplikasi Paclobutazol

6
Kebaruan Penelitian
Penelitian tentang peningkatan produksi dan mutu JPB belum banyak
dilakukan oleh peneliti. Penelitian dengan pendekatan pola pertumbuhan dan
keseimbangan hormonal selama proses produksi di lapangan dan pendekatan pola
perubahan fisiologis dan keseimbangan hormonal selama proses penyimpanan perlu
dilakukan untuk meningkatkan produksi dan mutu JPB.
Beberapa informasi baru yang diperoleh dari hasil penelitian: terdapat tiga fase
pertumbuhan vegetatif penting yang dapat dijadikan sebagai dasar acuan penelitian
untuk meningkatkan produksi dan mutu JPB: fase lambat 1–4 (BST), cepat (> 4–6
BST), dan pemasakan (> 6 BST). Berdasarkan fase pertumbuhan dan perkembangan
tersebut diketahui bahwa rimpang benih JPB umur 7 BST (fase pemasakan) sudah
mulai layak digunakan sebagai bahan tanaman karena mempunyai viabilitas,
pertumbuhan tanaman dan produksi yang sama baiknya dengan rimpang benih umur
8 dan 9 BST.
Aplikasi PBZ (400 ppm) pada awal pertumbuhan (fase lambat, 4 BST) dapat
meningkatkan jumlah rimpang cabang (33 propagul tanaman -1 atau setara dengan
297 propagul petak-1 (255 m2), memperkecil ukuran rimpang benih (34.18 g
propagul-1) dibanding dengan kontrol (47.98 g propagul-1), sehingga efisien dalam
penggunaan bahan tanaman JPB. Perubahan fisiologi penting selama proses
penyimpanan adalah munculnya tunas (pecahnya periode dormansi. Periode dormansi
rimpang benih JPB berlangsung selama 2 bulan mulai dari panen (awal simpan).
Dormansi rimpang benih JPB lebih ditentukan oleh rasio ABA/sitokinin dibanding
rasio ABA/GA (dipengaruhi oleh lokasi produksi). Benih rimpang umur 7 dan 8 BST
asal Nagrak, Sukabumi (550 m dpl, suhu rata-rata 24˚C dan jumlah curah hujan ratarata pada saat produksi 190.6 mm bulan-1) mempunyai derajat dormansi tinggi,
disebabkan oleh rasio ABA/sitokinin lebih tinggi masing-masing (5.0) dan (4.6)
dibanding umur 9 BST (4.2) sehingga lebih tahan disimpan.

2 PERUBAHAN MORFOLOGI, FISIOLOGI DAN BIOKIMIA
SELAMA PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN RIMPANG
BENIH JAHE PUTIH BESAR
Abstrak
Perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia selama stadia pembentukan dan
perkembangan rimpang berperan dalam menentukan mutu rimpang benih jahe putih
besar (JPB). Percobaan bertujuan untuk menentukan umur panen rimpang benih JPB
dengan mempelajari perubahan fisiologi dan biokimia selama perkembangan rimpang
benih. Pengamatan dilakukan terhadap: (1) pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman,
panjang batang semu, jumlah anakan, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, bobot
basah batang, dan daun, serta bobot kering batang, daun dan akar), (2) perubahan
morfologi dan perkembangan rimpang (lebar, tinggi, bobot basah rimpang, jumlah
rimpang cabang), perubahan kadar air, dan akumulasi bahan kering selama
perkembangan rimpang, (3) perubahan mutu fisiologi dan biokimia selama fase
pemasakan rimpang (kadar air, pati, hormon (IAA, GA, ABA, sitokinin), dan
viabilitas rimpang benih (daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi bibit dan bobot
kering bibit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pola pertumbuhan
tajuk dan rimpang JPB selama pembentukan dan perkembangannya diklasifikasikan
atas tiga fase pertumbuhan yaitu: fase lambat (1–4 BST), cepat (> 4–6 BST),
pemasakan (> 6 BST). Rimpang cabang primer, sekunder, dan tersier masing-masing
secara berurutan terbentuk pada umur 2, 3, dan 4 BST. Rasio ABA/sitokinin (1.1)
lebih rendah pada rimpang umur 7 BST dibanding 9 BST (1.5) untuk rimpang benih
asal Bogor (ketinggian 200 m dpl, suhu rata-rata 26 ˚C, dan jumlah curah hujan
saat produksi 389 mm/bulan). Umur panen 7 BST dapat digunakan sebagai bahan
tanam karena mempunyai viabilitas: daya tumbuh (100%), kecepatan tumbuh (4.3%
etmal-1), dan tinggi bibit (33.8 cm) yang lebih baik dibanding umur 8 BST (80% dan
33.7 cm) dan 9 BST (70% dan 29.4 cm).

Kata kunci: Keseimbangan hormon endogen, pola pertumbuhan, viabilitas dan
Zingiber officinale

8
Abstract
Morphological, physiological and biochemical changes during rhizomes
development are involved in determining the quality of ginger seed rhizome. The
objective of the experiment was to determine the harvesting of ginger seed rhizomes
by studying the morphology, physiology, and biochemical changes during
development of seed rhizomes. The observations were: (1) the plant growth (plant
height, pseudostem length, number of tillers, number of leaves, length of leaves,
width of leaves, fresh weight of stems and leaves, and dry weight of stems, leaves and
roots), (2) development of the rhizome: width and height of rhizome, fresh weight of
rhizomes, the number of finger rhizome, water content and dry matter accumulation,
and (3) changes of physiological and biochemical quality during senescence phase of
the rhizome (water, starch, hormones IAA, GA, abscisic acid (ABA), cytokinins
content, and the viability of seed rhizomes (growth ability, speed of growth, seedling
height and seedling dry weight). The results showed that in general the growth
pattern of the ginger canopy and rhizomes during the formation and development are
classified into three phases: slow 1–4 month after planting (MAP), fast (> 4–6 MAP),
senescence (> 6 MAP). Primary, secondary, and tertiary finger rhizome respectively
formed at 2, 3, and 4 MAP. The ratio of ABA/cytokinins (1.1) at 7 MAP was lower
than 9 MAP (1.5) caused seed rhizome of 7 MAP did not have dormancy period.
Ginger seed rhizome of 7 MAP can be used as plant material because it produces the
growth ability (100%), speed of growth (4.32 % etmal-1), and height of seedling
(33.80 cm) was better than 8 MAP (80% dan 33.7 cm) and 9 MAP (70% dan 29.4
cm).
Key words: Balance of endogenous hormones, growth pattern, viability, Zingiber
officinale
Pendahuluan
Mutu benih dipengaruhi oleh beberapa faktor selama pembentukan rimpang,
prosesing dan selama penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih
selama pembentukan rimpang antara lain kesuburan tanah, jarak tanam, kondisi air
tanah, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan umur panen. Umur panen
sangat menentukan mutu benih jahe, hal ini berhubungan dengan kandungan
cadangan makanan (kadar pati) yang terdapat dalam rimpang. Panen benih jahe yang
belum cukup umur menyebabkan benih/rimpang cepat keriput dan mempunyai
viabilitas yang rendah dan daya simpan yang juga rendah.
Pada benih sejati (true seed) sudah banyak dipelajari perubahan morfologi,
fisiologi dan biokimia selama pembentukan dan kemasakan benih. Menurut Copeland
dan McDonald (1995), perubahan yang terjadi selama perkembangan benih adalah
perkembangan secara morfologi, perubahan bobot dan perubahan secara kimiawi.
Perubahan-perubahan karakter selama periode pembentukan dan pamasakan benih
tersebut berhubungan dengan mutu benih baik secara langsung maupun tidak

9
langsung. Selama perkembangan benih terutama pada saat akumulasi cadangan
makanan juga terjadi perubahan terhadap kandungan kimia penting lainnya yaitu
hormonal seperti auksin (IAA), giberelin (GA), sitokinin dan asam absisat (ABA)
(Bewley dan Black 1994). Hormon endogen tersebut berperan dalam perkembangan
benih dan kemungkinan terlibat dalam beberapa proses seperti pertumbuhan dan
perkembangan benih, akumulasi cadangan makanan, pertumbuhan dan perkembangan
jaringan, serta cadangan makanan untuk perkecambahan dan pertumbuhan bibit.
Pada benih yang berbentuk rimpang terutama tanaman jahe, belum dipelajari
perubahan-perubahan yang terjadi selama pembentukan rimpang baik perubahan
secara morfologi, fisiologi dan biokomia terutama yang berhubungan dengan mutu
benih.
Rimpang (rizom) merupakan batang yang terdapat di dalam tanah, bercabangcabang, tumbuh mendatar dan dari ujungnya tumbuh tunas yang muncul di atas
tanah, yang kemudian berkembang menjadi tanaman baru (Tjitrosoepomo 1985). Hal
yang sama dengan rimpang yaitu umbi (tuber) juga merupakan modifikasi dari batang
bawah tanah, yang digunakan sebagai organ penyimpan cadangan makanan
disamping sebagai organ perbanyakan (Falcon et al. 2006).
Induksi rimpang pada tanaman jahe dimulai pada awal pertumbuhan: tunas
apikal dari rimpang tumbuh dan berkembang menjadi anakan utama atau anakan
induk. Ketika anakan utama ini mulai tumbuh, bagian dasar anakan membesar dan
berkembang menjadi rimpang. Anakan ini awalnya berbentuk bulat dan merupakan
rimpang yang pertama kali terbentuk dan sering disebut rimpang utama (rimpang
induk). Dari kedua sisi rimpang induk, kemudian muncul cabang yang tumbuh
menjadi anakan primer. Bagian dasar dari anakan primer membesar dan berkembang
menjadi rimpang primer. Tunas pada rimpang primer berkembang dan berubah
menjadi anakan sekunder, kemudian dasar anakan sekunder membesar dan
berkembang menjadi rimpang sekunder. Tunas pada rimpang sekunder selanjutnya
berkembang menjadi anakan tersier dan rimpang tersier (Ravindran dan Babu 2005).
Pada tanaman kentang, induksi umbi ditandai dengan perubahan secara
morfologi pada tanaman, seperti daun lebih membesar, lebih tipis dan lebih hijau
pucat, penuaan dipercepat bersamaan dengan fase cepat pertumbuhan umbi kentang.
Giberelin terlibat dalam mengatur perkembangan umbi kentang. Penambahan
giberelin (GA) eksogen akan menunda inisiasi umbi sebaliknya penambahan
inhibitor biosintesis GA seperti tetcyclacis, chlorocholine klorida, paclobutrazol, atau
ancymidol meningkatkan pembentukan umbi. Sitokinin berperan dalam mengontrol
pembesaran dan pertumbuhan umbi, karena sitokinin aktif dalam pembelahan sel dan
terlibat dalam proliferasi sel selama pertumbuhan umbi (Fernie dan Willmitzer
(2001); Falcon et al. (2006). Peran ABA dalam memacu pengumbian yaitu sebagai
stimulator yang disebabkan oleh pengaruh antagonis ABA terhadap giberelin (Xu et
al. 1988; Falcon et al. 2006).
Pada umbi yam (Dioscorea spp.), kandungan ABA endogen meningkat selama
perkembangan umbi dan mencapai maksimum saat tanaman senesen (Hamadina et al.
2011). Tanaman Curcuma alismatifolia (famili Zingiberaceae) yang ditanam saat di
luar musim tanam (off season) menyebabkan laju fotosintesis menurun tetapi
meningkatkan konsentrasi ABA dan sitokinin pada berbagai organ tanaman, pada

10
stadia pertumbuhan yang berbeda. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
jumlah tunas, dan meningkatnya jumlah rimpang (Hongpakdee et al. 2010).
Kandungan pati dan serat yang tinggi pada rimpang benih jahe, menyebabkan
viabilitas dan daya simpan yang tinggi (Sukarman et al. 2007). Hampir sama dengan
rimpang jahe, pada umbi kentang selama fase pertumbuhan, umbi mengakumulasi
senyawa cadangan terutama dalam bentuk pati dan protein yang berfungsi sebagai
sumber makanan bagi pertumbuhan selanjutnya (Falcon et al. 2006). Perubahan
fisiologi dan biokimia ini diduga terlibat dalam menentukan mutu rimpang benih JPB
selama stadia pembentukan dan perkembangan rimpang. Berdasarkan hal tersebut
dilaksanakan percobaan dengan tujuan untuk menentukan umur panen rimpang benih
JPB dengan mempelajari perubahan fisiologi dan biokimia selama perkembangan
rimpang benih.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Percobaan dilaksanakan di Kelurahan Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal
Bogor, Jawa Barat (200 m dpl), Rumah Kaca dan Laboratorium Teknologi Benih,
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor mulai bulan Oktober 2013
sampai September 2014.
Penanaman
Percobaan dilakukan dengan menanam rimpang benih JPB di polibag ukuran
60 cm x 60 cm dengan empat ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 50
tanaman. Jumlah total tanaman dalam percobaan ini adalah 200 tanaman. Rimpang
yang digunakan dengan kriteria bernas, bobot 30–40 g dengan 2–3 mata tunas dan
bebas dari serangan hama dan penyakit. Benih direndam dengan larutan fungisida
dan bakterisida sebelum dilakukan penanaman.
Pemupukan dilakukan sesuai anjuran yaitu 500 kg ha-1 urea (12.5 g per
tanaman), 400 kg ha-1 SP36 (10 g per tanaman) dan 400 kg ha-1 KCl (10 g per
tanaman). Pupuk SP36 dan KCl diberikan pada waktu tanam, sedangkan pupuk urea
diberikan 3 kali yaitu pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam, masing-masing 1/3
dosis pada setiap pemberian. Pupuk kandang sapi yang sudah masak diberikan 2–4
minggu sebelum tanam sebanyak 1 kg per polibag (20 ton ha-1). Pada umur 4 bulan
setelah tanam diberikan pupuk kandang ke dua sebanyak 1 kg per polibag.
Pengamatan
Pertumbuhan Tanaman
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman,
panjang batang semu, jumlah anakan, jumlah daun, panjang daun dan lebar daun,
bobot basah batang (BBB), dan daun, (BBD) serta bobot kering batang, daun dan
akar). Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dengan cara mengukur mulai dari

11
pangkal batang semu sampai ujung daun tertinggi, sebanyak empat ulangan.
Pengamatan panjang batang semu dilakukan dengan cara mengukur mulai dari
pangkal batang semu sampai ujung batang. Pengamatan jumlah anakan dilakukan
dengan menghitung semua anakan yang sudah berdaun. Pengamatan panjang dan
lebar daun dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar daun ke 5. Pengamatan
dilakukan setiap bulan, dimulai 1 BST sampai tanaman berumur 7 bulan, masingmasing ulangan sebanyak 2 tanaman.
Pertumbuhan Rimpang
Pengamatan dilakukan dengan melihat perubahan yang terjadi pada setiap stadia
pembentukan rimpang, antara lain perubahan ukuran (lebar, tinggi, bobot basah
rimpang, dan jumlah rimpang cabang per tanaman), serta perubahan kadar air dan
akumulasi bahan kering selama perkembangan rimpang. Pengamatan dilakukan
setiap bulan, dengan cara memanen masing-masing 2 tanaman setiap ulangan (empat
ulangan), mulai umur 2 BST sampai umur 9 bulan. Data perubahan morfologi secara
visual untuk setiap stadia pembentukan dan perkembangan rimpang disajikan dalam
bentuk grafik dan gambar.
Pengukuran terhadap bobot bahan kering rimpang dilakukan dengan cara
mengiris rimpang setebal ± 2 mm dan ditimbang sebanyak 20 g rimpang, setelah itu
dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 ºC selama 3 x 24 jam, kemudian bobot
bahan kering ditimbang.
Kadar air ditentukan dengan cara menimbang rimpang sesuai umur panen
(dari 2 sampai 9 BST) sebanyak 20 g kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu
103±2 ºC selama 17±2 jam (sampai bobot konstan), setelah itu bobot kering
ditimbang dengan timbangan ketelitian dua desimal. Kadar air diukur dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

KA 

a  b
a

x

100%

Keterangan:
a = bobot awal benih sebelum dioven
b = bobot benih setelah dioven

Perubahan Mutu Fisiologis dan Biokimia Rimpang Benih
Analisis Pati
Analisis pati dilakukan mulai umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang sekunder
dan rimpang tersier, dengan cara memanen rimpang sesuai dengan umur yang telah
ditentukan masing-masing 3 ulangan. Pengamatan bertujuan untuk melihat
hubungan antara kandungan pati dengan mutu benih. Analisis pati berdasarkan

12
kadar karbohidrat dilakukan dengan metode titrimetri (BSN 1992). Prosedur kerja
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Analisis Homon (auksin, giberelin, sitokinin dan ABA)
Analisis status hormonal dilakukan pada umur 7, 8 dan 9 BST pada rimpang
rimpang sekunder dan rimpang tersier, masing-masing tiga ulangan. Pengamatan
bertujuan untuk melihat dinamika perubahan hormonal selama pemasakan rimpang.
Ekstraksi dan identifikasi hormon IAA, giberelin, sitokinin dan ABA menggunakan
metode Thin Layer Chromatography (TLC) yang dimodifikasi oleh Unyayar et al
1996). Pengukuran kandungan hormon berdasarkan bahan kering dilakukan secara
kuantifikasi dengan TLC scanner tipe 3-CAMAG. Prosedur kerja dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Pengujian Viabilitas
Pengujian viabilitas rimpang berdasarkan umur rimpang 7, 8 dan 9 bulan
setelah tanam (BST). Pengujian dilakukan dengan menyemaikan sebanyak 30
rimpang benih pada bak persemaian, menggunakan media cocopit denga