Hubungan Kekerabatan Beberapa Isolat Lentinus Asal Tropis Berdasarkan Sifat Mikroskopik Kultur dan Molekular

HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA ISOLAT Lentinus ASAL
TROPIS BERDASARKAN SIFAT MIKROSKOPIK KULTUR DAN
MOLEKULAR

MOCHAMAD YADI NURJAYADI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA ISOLAT Lentinus ASAL
TROPIS BERDASARKAN SIFAT MIKROSKOPIK KULTUR DAN
MOLEKULAR

MOCHAMAD YADI NURJAYADI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

ABSTRAK
MOCHAMAD YADI NURJAYADI. HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA ISOLAT
Lentinus ASAL TROPIS BERDASARKAN SIFAT MIKROSKOPIK KULTUR DAN
MOLEKULAR. Dibimbing oleh LISDAR A MANAF dan DEDY DURYADI S.
Jamur Lentinus merupakan jamur pelapuk kayu yang berpotensi sebagai obat yang tersebar
di berbagai kawasan daerah tropis dan subtropis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kekerabatan jamur Lentinus isolat tropis berdasarkan sifat mikroskopik kultur dan sifat
molekular. Sampel yang digunakan ialah Lentinus isolat LU3, LU10 (L. torulosus), LC4, LC6 (L.
cladopus), LSC1, LSC7 (L. Sajor-caju), LP9 (L. quarrosulus), dan HS serta JTP (Pleurotus).
Media yang digunakan adalah agar ekstrak malt pepton (AEMP) dan agar ekstrak malt (AEM)
pada suhu 35°C untuk isolat Lentinus dan ±29°C untuk isolat HS dan JTP. Struktur mikroskopik
kultur setiap isolat diamati setelah isolat berumur 2 dan 4 minggu. Analisis molekular dilakukan

dengan mengamplifikasi DNA berdasarkan metode PCR-RAPD dengan menggunakan 2 primer
acak tunggal 10-mer, yaitu RP1 dan RP3. Sifat mikroskopik kultur dan molekular dinyatakan ke
dalam data biner dan diolah dengan program MEGA 4.1. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
beberapa isolat Lentinus yang ditumbuhkan pada media AEMP memiliki penampakan koloni yang
berbeda dengan penampakan koloni pada media AEM. Berdasarkan pohon kekerabatan
mikroskopik kultur dan molekular, isolat Pleurotus (JTP) berada di luar kelompok A (kelompok
Lentinus dan HS) sebagai out group. Kelompok A terbagi menjadi dua cabang yaitu HS dan
kelompok Lentinus (B, C, D). Berdasarkan sifat molekular kelompok Lentinus terdiri dari
kelompok B dengan nilai konsistensi (NK) 57% yang terdiri dari LP9 dan LSC1 (NK=89%) dan
kelompok C dengan NK 20%. Kelompok C terdiri dari LSC7 dan LC6 (NK=65%) dan kelompok
D dengan NK=45%. Kelompok D terdiri dari isolat LU10 dan isolat LC4 dan LU3 (NK=46%).
Hubungan kekerabatan Lentinus berdasarkan molekular belum spesifik sehingga perlu dianalisis
kembali dengan penambahan primer lain.

ABSTRACT
MOCHAMAD YADI NURJAYADI. PHYLOGENY RELATIONSHIP OF SEVERAL
TROPICAL Lentinus BASED ON MICROSCOPIC AND MOLECULAR CHARACTERS.
Supervised by LISDAR A MANAF and DEDY DURYADI S.
Lentinus mushroom is a wood rot fungi used as medicine and distributed in tropic and
subtropic regions. The research aimed to know the phylogeny relationship of tropical Lentinus

mushroom isolates based on culture microscopic and molecular characters. Isolates of Lentinus
that were used are LU3, LU10 (L. torulosus), LC4, LC6 (L. cladopus), LSC1, LSC7 (L. sajorcaju), and LP9 (L. squarrosulus), HS, and JTP (Pleurotus). Culture media were malt extract
peptone agar (MEPA) and malt extract agar (MEA) at 35°C for Lentinus isolates and ±29°C for
HS and JTP isolates. The culture microscopic structure of each isolate was observed at 2 and 4
weeks old of cultures. Molecular analysis carried out amplification of DNA with PCR-RAPD
method using two 10-mer single random primers, RP1 and RP3. The culture microscopic and
molecular characters were converted into biner data and analysis using MEGA 4.1 program. The
observation showed that the colony appearances of some Lentinus isolates on MEPA media were
different from those of MEA. Based on phylogenic tree of culture microscopic and molecular
characters, Pleurotus isolate (JTP) was separated from A group (Lentinus and HS) as out group. A
group was devided to two branches, HS isolate and Lentinus group (B, C, D). Based on molecular
analysis, Lentinus group included B group(consistency value, CV=57%) which devided LP9 and
LSC1 isolates (CV=89%) and C group (CV=20%). C Group were devided into LSC7 and LC6
(CV=65%) and D group (CV=45%). D group included LU10 isolate and LC4 and LU3 isolates
(CV=46%). Molecular relationship of Lentinus based on molecular analysis was not yet specific so
need to analyze detailed with added another primer.

Judul Skripsi : Hubungan Kekerabatan Beberapa isolat Lentinus Asal Tropis
Berdasarkan Sifat Mikroskopik Kultur dan Molekular
Nama


: Mochamad Yadi Nurjayadi

NIM

: G34104080
Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Lisdar A. Manaf

Dr. Ir. Dedy Duryadi S, DEA

NIP 19591018 198403 2 001

NIP 19561102 198403 1 003


Mengetahui :
Ketua Departemen,

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M. Si
NIP 19641002 198903 1 002

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian ini. Penelitian yang berlangsung dari bulan
Oktober 2008 hingga Juni 2009 ini berjudul Hubungan Kekerabatan Beberapa Isolat Lentinus Asal
Tropis Berdasarkan Sifat Mikroskopik dan Molekular.
Terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Lisdar A Manaf dan bapak Dr. Ir. Dedy
Duryadi Solihin, DEA selaku pembimbing atas bimbingan, saran dan arahan selama proses
penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Nunik Sri
Ariyanti M.Si. selaku dosen penguji atas semua masukan yang telah diberikan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Iwa K selaku teknisi Laboratorium
Mikrobiologi dan Biokimia dan Bapak Heri selaku teknisi Laboratorium Biologi Molekular
PPSHB IPB, dan kepada seluruh staf Departemen Biologi atas fasilitas, saran, dan bantuannya.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua dan
kakak-kakak tersayang atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada teman-teman biologi angkatan 41 khususnya anak-anak ”8” (Uma, Moris,
Andik, Pams, Kushi, Muza, Budi), Deny K, Tina, Iffa, Disti, Achied, Melput, Idha, Forhuman
(Romzie, Rizal, Ajeng, Nurul, Winda) dan anak-anak Lamin Dentis (Zein, Farid, Okoy, Bogie,
Awang, Dede) atas semua kebersamaan dan hari-hari indah yang telah dijalani. Tidak lupa penulis
juga manyampaikan terima kasih kepada ibu-ibu, bapak-bapak, dan mba-mba yang ada di
Laboratorium Biologi Molekular khususnya Mba Andri, Bu Septi, Bu Rossa, Bu Suri, dan Mba
Handay atas dukungan, nasihat, dan kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Bogor, Desember 2009

Mochamad Yadi Nurjayadi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan tanggal 12 Nopember 1986 di Cirebon, Jawa Barat. Anak kelima dari lima
bersaudara pasangan Bapak Iing Sanjaya dan Ibu Dasih.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMUN 3 Cirebon dan pada tahun yang sama diterima di

Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif berorganisasi di dalam maupun di luar kampus. Selain
itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan yang bersifat kerohanian, kewirausahaan,
pelatihan motivasi, dan latihan kepemimpinan. Tahun 2006 - 2009 penulis aktif menjadi asisten
praktikum, yaitu mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Fisiologi Tumbuhan, Biologi Cendawan,
dan Biologi Dasar.
Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2007 di PT Adijaya Guna Satwata,
sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan udang, dengan judul Pengolahan Udang
IQF (Individually Quick frozen) di PT Adijaya Guna Satwatama, Cirebon. Penulis juga aktif dalam
melaksanakan penyuluhan budidaya jamur tiram dan jamur merang pada tahun 2007 dan 2008.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................... viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................................................. 1
Tujuan ............................................................................................................................. 1

Waktu dan Tempat ........................................................................................................... 1
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat.................................................................................................................. 2
Metode Penelitian ............................................................................................................. 2
Pengamatan Struktur Koloni dan Mikroskopik ............................................................ 2
Perbanyakan Biakan Isolat ......................................................................................... 2
Perbanyakan Koloni dan Isolasi DNA ........................................................................ 2
Analisis PCR-RAPD .................................................................................................. 3
Analisis Molekular ...................................................................................................... 3
HASIL
Penampakan Koloni dan Sifat Mikroskopik Kultur ........................................................... 3
Analisis PCR-RAPD ......................................................................................................... 5
PEMBAHASAN
Penampakan Koloni dan Sifat Mikroskopik Kultur ........................................................... 6
Hubungan kekerabatan ...................................................................................................... 7
SIMPULAN .......................................................................................................................... 9
SARAN ................................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 9
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 11


DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.

Penampakan koloni isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS,
dan Pleurotus (JTP) di media AEMP dan AEM ............................................................ 4
Sifat mikroskopik kultur isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9),
HS, dan Pleurotus (JTP) di media AEMP dan AEM pada minggu ke-2 dan 4................ 5

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.

3.
4.

Pohon kekerabatan isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9),
HS, dan Pleurotus (JTP) berdasarkan sifat mikroskopik kultur........................................

Hasil amplifikasi DNA isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9),
HS, dan Pleurotus (JTP) dengan metode PCR-RAPD dengan menggunakan primer
RP1 (a) dan RP3 (b).......................................................................................................
Pohon kekerabatan isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9),
HS,dan Pleurotus (JTP) berdasarkan sifat molekular.. ....................................................
Struktur mikroskopik: (a) hifa terwarnai isolat LP9, (b) sambungan apit isolat HS,
(c) artrospora isolat LU3, (d) hifa berdinding tebal dan tipis isolat LU10, (e) sel
gembung isolat LSC1, (f) ujung hifa gembung isolat LC4, (g) klamidospora isolat
LSC1, (h) konidia dan konidiofor isolat HS, (i) kristal isolat LC4 ...................................

4

6
6

8

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

2.
3.
4.

Komposisi media dalam satu liter...................................................................................
Penampakan koloni isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9),
HS, dan Pleurotus (JTP) pada media AEMP dan AEM ..................................................
Istilah penampakan koloni .............................................................................................
Bilangan biner berdasarkan keberadaan pita dalam primer RP1 dan RP3
pada isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan
Pleurotus (JTP) .............................................................................................................

12
13
15

16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jamur Lentinus seperti halnya Ganoderma,
Trametes, Polyporus, dan Fomes merupakan
salah satu jamur pelapuk kayu yang tersebar
di berbagai kawasan tropis dan subtropis.
Jamur
Lentinus
termasuk
kelas
Basidiomycetes, ordo Polyporales dengan
famili Lentinaceae yang memiliki tubuh buah
makroskopik dengan struktur liat dan kokoh
serta tahan lama (Sudirman 1995). Pada
umumnya jamur ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: berbentuk seperti payung; berukuran
sedang; warna beragam; permukaan tudung
(pileus) halus, berbulu atau bersisik dengan
bagian tengah melengkung ke bawah
(depressed), berlekuk ke dalam (umbilicate);
tangkai pada umumnya tidak di tengah atau
eksentrik,
kadang-kadang
membentuk
beberapa cabang sehingga terlihat seperti
tandan; lamela rapat dan turun mencapai
tangkai (decurrent); spora berwarna putih
(Pegler dan Young 1983).
Beberapa
jenis
Lentinus
dapat
menghasilkan senyawa aktif yang dapat
menghambat patogen penyakit (antimikrob,
antibakteri, antifungi) dan berkhasiat sebagai
antikolesterol dan antihipertensi selain dapat
sebagai bahan pangan. Diantara jenis
Lentinus asal tropis yang telah diteliti adalah
L. cladopus, L. sajor-caju, L. squarrosulus,
dan L. torulosus (Sudirman 2005).
Untuk
melihat
morfologi
dan
perkembangan tubuh beberapa spesies
Lentinus yang diisolasi dari alam telah dicoba
ditumbuhkan pada substrat serbuk gergaji.
Dari hasil penelitian tersebut terlihat adanya
keragaman morfologi pada tubuh buah
dewasa, walaupun pada tubuh buah yang
belum dewasa tidak menunjukkan perbedaan
bentuk dan warna (Sudirman 1995).
Telaah fisiologi dapat dilakukan dengan
membandingkan
pertumbuhan
kultur
miselium pada berbagai kondisi lingkungan
dan melakukan uji reaksi oksidasi pada media
agar dalam menumbuhkan kultur. Rosa (1996)
telah melakukan uji sifat fisiologi pada isolatisolat Lentinus yang telah dikulturkan dari
alam yang meliputi LPM, LSC, LPT, LP, LU,
LCEL, dan LC. Hasil penelitian yang
diperoleh adalah seluruh isolat mampu
tumbuh optimal pada beberapa kondisi
lingkungan dan memiliki reaksi positif pada
uji oksidasi di media agar asam galat (AAG)
dan agar asam tanat (AAT). Sedangkan uji
pada asam tirosin (AT) menghasilkan reaksi
negatif. Kesamaan sifat fisiologi tersebut

kemudian dibagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok yang pertama meliputi LPM, LSC,
dan LPT. Bagian kelompok kedua mencakup
isolat LP. Untuk kelompok ketiga terdiri dari
LU, LCEL, dan LC.
Keanekaragaman spesies dapat disebabkan
karena telah terjadi perubahan susunan
nukleotida penyusun DNA. Perubahan ini
dapat
mempengaruhi
fenotipe
suatu
organisme atau mempengaruhi reaksi individu
terhadap lingkungan tertentu. Secara umum
keanekaragaman genetik dari suatu populasi
dapat terjadi karena adanya mutasi,
rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat
ke tempat lain (Pereira et al. 2008). Tingkat
kekerabatan genus Lentinus dapat dilakukan
baik berdasarkan kesamaan sifat morfologi
tubuh buah, sifat fisiologi, sifat mikroskopik
di media kultur maupun berdasarkan sifat
molekular.
Metode PCR-RAPD merupakan teknik
penanda molekular yang digunakan untuk
mempelajari keragaman genetik spesies.
Dasar analisis RAPD adalah menggunakan
mesin PCR yang mampu mengamplifikasi
sekuen DNA secara in vitro. Teknik ini
menggunakan sepasang primer random yang
masing-masing
berukuran
10
basa.
Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana
dan mudah dalam hal preparasi. Teknik
RAPD memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan dengan teknik molekular
lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan
jumlah karakter yang relatif tidak terbatas,
sehingga sangat membantu untuk keperluan
analisis keanekaragaman organisme yang
tidak diketahui latar belakang genomnya.
Teknik RAPD sering digunakan untuk
membedakan organisme tingkat tinggi
(eucaryote) (Saunders dan Helen 1999).
Penelitian tentang kekerabatan Lentinus
isolat
tropis
belum
banyak
yang
melakukannya.
Berdasarkan
penelitian
terdahulu, Noverita (2005) telah melakukan
pengelompokkan isolat Pleurotus liar dan
domestik melalui sifat molekular dengan
metode PCR-RAPD. Pada penelitian tersebut
digunakan isolat Lentinus sebagai out group.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kekerabatan jamur Lentinus isolat
tropis berdasarkan struktur sifat kultur
mikroskopik dan sifat molekular.
Waktu dan Tempat
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia dan

Laboratorium Biologi dan Molekular Pusat
Penelitan
Sumberdaya
Hayati
dan
Bioteknologi IPB (PPSHB-IPB) kampus IPB
Dramaga, Bogor mulai bulan Oktober 2008
sampai dengan Juni 2009.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Sampel yang digunakan ialah isolat
koleksi Dr. Ir. Lisdar A Manaf meliputi isolat
Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1,
LSC7, LP9), isolat HS, dan isolat Pleurotus
(JTP), media agar ekstrak malt pepton
(AEMP), media agar ekstrak malt (AEM),
media agar sukrosa kentang (ASK), ekstrak
malt pepton cair (EMPC) (Lampiran 1),
larutan KOH, larutan eosin 1%, larutan
purifikasi cetyltrimethylammonium bromide
(CTAB) buffer, gel agarosa 1.2%, etidium
bromida, 2 primer acak tunggal (RP-1, RP-3),
akuabides, larutan amplifikasi (Tris-HCl pH8,
KCl,
ethylenediaminetetraacetic
acid
(EDTA), dithiothreitol (DTT), gliserol,
MgCl2, dNTP, enzim Taq polymerase.
Alat yang digunakan adalah: cawan Petri,
Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, cord borer,
scalpel, pipet pastur, lampu spirtus, autoclaf,
laminar air flow, incubator, kertas saring
Whatman no 1, tabung Eppendorf, mesin
PCR,
alat
elektroforesis,
sinar
UV
transiluminator.
Me tode Pe nelitian
Pengamatan Penampakan Koloni dan
Sifat Mikroskopik Kultur. Kultur masingmasing isolat diamati penampakan dan sifat
kulturnya
secara mikroskopik setelah
ditumbuhkan di media AEM dan AMP.
Penampakan koloni diamati setelah umur
isolat berumur 6 hingga 7 hari. Sedangkan
sifat mikroskopik kultur diamati pada saat
isolat berumur 2 dan 4 minggu. Pengamatan
dilakukan dengan cara mengambil miselium
dan struktur koloni yang kemudian diletakkan
di atas preparat yang telah diberi larutan KOH
(Kalium hidroksida) dan larutan pewarna
eosin 1%.
Keberadaan sifat mikroskopik kultur
kemudian divisualisasikan ke dalam bentuk
pohon kekerabatan melalui program MEGA
4.1. Penampakan yang dilihat meliputi
sambungan apit, klamidospora, konidia, oidia,
basidia, basidiospora, seta, sel veskikular,
cabang stag-horn, hifa terwarnai larutan eosin,
hifa tidak terwarnai larutan eosin, hifa
incrusted, kristal, sel gembung, ujung hifa

gembung, dan hifa besar berdinding tipis.
Metode yang dilakukan berdasarkan angka
bilangan biner, yaitu angka 1 menunjukkan
ada struktur mikroskopik dan angka 0 tidak
ada. Selanjutnya dimasukkan ke dalam
program MEGA 4.1 metode parsimoni
maksimum.
Pe rbanyakan Biakan Isolat. Koloni
masing-masing isolat Lentinus diinokulasi
pada media AMP dengan teknik aseptik. Isolat
yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi
pada suhu 35oC selama 7 hari. Pada hari
terakhir miselium akan menutupi seluruh
permukaan media cawan (Rosa 1996).
Pe rbanyakan Koloni dan Isolasi DNA.
Kultur yang sudah berumur 7 hari pada
AEMP, dipotong dengan cord borer steril
yang berdiameter 7 mm dan diambil dengan
menggunakan scalpel steril. Kemudian satu
inokulum diinokulasikan pada permukaan
larutan 100 ml media EMPC steril dalam
Erlenmeyer 250 mlI sebanyak dua ulangan
dan diinkubasikan pada suhu 35oC dalam
keadaan statik (Rosa 1996). Bila permukaan
medium telah dipenuhi oleh miselium jamur
maka miselium jamur dipanen dan dipisahkan
dari medium cair dengan kertas saring
Whatman No.1.
Solichin (2004) melaporkan bahwa isolasi
DNA jamur dapat dilakukan dengan cara
mengambil miselium yang telah disaring
sebanyak 1 gram lalu digerus di dalam mortar
dengan ditambah larutan purifikasi CTAB
buffer (2% CTAB, 100 mM Tris HCl pH8,
1.4 M NaCl, 1% Polyvinilpirolidone, 0.2%
beta-mercaptoethanol) sebanyak 500 µl dalam
tabung Eppendorf dan diinkubasi pada suhu
65°C selama 3 jam. Kemudian sampel
ditambah 500 µl larutan fenol dan diayun
berputar secara rotasi selama 20 menit lalu
disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm
selama 3 menit. Setelah terbentuk endapan,
supernatan dipindahkan ke tabung Eppendorf
baru dan ditambah 500 µl larutan CIAA
(chloroform isoamil alcohol). Sampel diayun
berputar rotasi kembali selama 20 menit dan
disentrifugasi kembali dengan kecepatan
13000 rpm selama 3 menit. Di dalam tabung
akan terbentuk dua lapisan larutan. Bagian
atas merupakan lapisan CIAA dengan larutan
berwarna bening dan bagian bawah berwarna
agak keruh yang merupakan larutan yang
mengandung DNA. Bagian lapisan bawah
dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf baru
dan ditambah 100 µl sodium buffer. Sampel
diinkubasi pada suhu 65°C selama 15 menit.
Setelah itu, sampel ditambah 100 µl sodium
atau kalium asetat. Lalu sampel ditambah

etanol absolut 2X volume dan disimpan di
dalam freezer selama 30 menit. Kemudian
sampel disentrifugasi dengan kecepatan 13000
rpm selama 5 menit. Larutan etanol absolut di
dalam tabung Eppendorf dibuang dan diganti
dengan larutan etanol 70% sebanyak 400 µl.
Sampel disentrifugasi kembali dengan
kecepatan 13000 rpm selama 3 menit dan
larutan etanol 70% dibuang. Setelah tahapan
ini akan terbentuk endapan putih yang
merupakan ekstrak DNA. Ekstrak DNA
kemudian dikeringanginkan selama 30 menit
hingga dinding bagian dalam Eppendorf
kering. Setelah itu, ekstrak DNA ditambah
larutan TE (tris-EDTA buffer) sebanyak 50100 µl dan diinkubasi pada suhu 37°C selama
15 menit. Sampel ekstrak DNA lalu di simpan
di dalam freezer.
Ekstrak DNA yang dihasilkan dari
masing-masing sampel diuji kemurnian dan
kualitasnya dengan menggunakan 1.2 % gel
agarosa elektroforesis pada voltase 85 Volt
selama 45 menit di dalam larutan penyangga 1
x TBE (Tris Boric EDTA) kemudian diamati
dan difoto dengan menggunakan alat UVtransiluminator.
Analisis PCR-RAPD. Analisis PCRRAPD mengikuti metode Williams et al.
(1990). Ekstrak DNA diamplifikasi dengan
menggunakan 2 primer acak tunggal 10-mer:
RP1 dan RP3 dengan bantuan mesin PCR
(Gene Amp PCR System 2400 Perkin-Elmer).
Volume campuran untuk amplifikasi adalah
sebanyak 50μ l dengan kandungan: 34.75μ l
akuabides, 5 μ l Buffer amplifikasi 10x (20mM
Tris-HCl pH8, 100mM KCl, 0.1 mM EDTA,
50% gliserol), 3 μ l (25mM) MgCl2, 1.0 μ l
dNTP, 4.0 μ l primer RP1 atau RP3, 0.25 μ l (1
unit/reaksi) Taq polymerase. Campuran dibuat
di dalam tabung Eppendorf 0.2 ml.
Amplifikasi DNA dengan mesin PCR
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
tahap pertama, pra-amplifikasi selama 3 menit
pada temperatur 94oC; tahap kedua, yaitu
pemisahan utas DNA genom (denaturasi) pada
temperatur 94oC selama 45 detik yang
berlangsung sebanyak 35 siklus selanjutnya
penempelan
primer
(annealing)
pada
temperatur 37oC selama 1 menit, elongasi
pada temperatur 72oC selama 1.5 menit; dan
tahap ketiga pasca amplifikasi pada

temperatur 72oC selama 5 menit. Hasil
amplifikasi DNA akan dilanjutkan dengan
tahap elektroforesis pada gel agarose dengan
konsentrasi 1.2% pada voltase 85 Volt selama
45 menit di dalam larutan penyangga 1 x TBE
kemudian diamati dan difoto dengan
menggunakan alat UV-transiluminator.
Analisis Mo le kular. Data dianalisis
berdasarkan hasil pemotretan gel berupa pola
pita DNA, kemudian diterjemahkan ke dalam
bilangan biner. Setiap pita dianggap mewakili
satu karakter dan diberi nilai 1 bila pita ada
dan 0 bila pita tidak ada. Penentuan dilakukan
dengan mengambil garis lurus secara
horisontal dengan membandingkan masingmasing fragmen DNA hasil PCR. Bilangan
biner lalu dirubah menjadi urutan nukleotida.
Pengelompokkan data disusun berdasarkan
matrik kesamaan secara berpasangan (cluster
analysis) dan pembuatan pohon kekerabatan
dilakukan
dengan
metode
parsimoni
maksimum dengan program MEGA versi 4.1.
Konsistensi pohon kekerabatan diuji dengan
melakukan uji Bootstrap dengan 1000
ulangan.

HASIL
Pe nampakan Koloni dan Sifat
Mikroskopik Kultur
Berdasarkan
hasil
pengamatan
menunjukkan bahwa beberapa isolat Lentinus,
HS, dan Pleurotus yang ditumbuhkan pada
media AEMP memiliki penampakan koloni
yang berbeda dengan media AEM (Tabel 1).
Penampakan koloni pada media AEMP pada
umumnya membentuk struktur plumose dan
selebihnya membentuk pulverulent, silky, dan
concentric cottony. Pada media AEM,
penampakan kultur masing-masing isolat
Lentinus berubah kecuali isolat LC6 dan
LSC7 yang memiliki penampakan sama,
plumose dan LSC1 yaitu pulverulent. Isolat
yang lain membentuk penampakan kultur
silky, woolly bagian pinggir, concentric silky,
appressed, dan plumose. Tampilan gambar
dan penjelasan istilah penampakan koloni
disajikan pada Lampiran 2 dan 3.

Tabel 1 Penampakan koloni isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan
Pleurotus (JTP) di media AEMP dan AEM
No

Isolat

1
2
3
4
5
6
7

LU3
LU10
LC4
LC6
LSC1
LSC7
LP9

8

HS

9

JTP

AEMP
Plumose
Plumose
Plumose
Plumose
Pulverulent
Plumose
Silky
Concentric
cottony
Concentric
cottony

Sifat mikroskopik kultur setiap isolat
Lentinus, HS, dan Pleurotus yang ditumbuhi
di media AEMP dan AEM pada minggu ke-2
dan ke-4 memiliki struktur yang sama (Tabel
2). Isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus berubah
menjadi hifa yang terwarnai (staining hyphae)
setelah dilakukan pewarnaan larutan eosin.
Struktur sambungan apit (clamp connection)
ditemui hampir pada seluruh isolat Lentinus,
HS, dan Pleurotus kecuali isolat LC4 dan
LSC1. Sebagian besar isolat membentuk
modifikasi hifa berupa sel gembung (swollen
cell), ujung hifa gembung (swollen hyphal
tip), hifa besar dan berdinding tipis (large
thin-walled hyphae). Struktur klamidospora
hanya terbentuk pada isolat LC4 dan LSC1.
Sedangkan artrospora hanya dibentuk oleh
isolat LU3 dan LSC7. Isolat HS memiliki

Media
AEM
Silky
Lateral wolly
Concentric silky
Plumose
Pulverulent
Plumose
Appressed
Plumose
Plumose

struktur modifikasi hifa berupa konidiofor dan
konidia yang terletak diantara sambungan
apit. Seluruh isolat Lentinus, HS, dan
Pleurotus membentuk kristal (crystal) setelah
penambahan larutan KOH dan pewarnaan
eosin.
Hasil pohon kekerabatan berdasarkan
penampakan mikroskopik kultur menunjukkan
bahwa isolat JTP terpisah dari kelompok A.
Pada kelompok A terbagi menjadi dua cabang
yaitu isolat HS yang mengelompok sendiri
dari kelompok Lentinus dan kelompok B, C,
dan D (LP9, LSC1, LC4, LC6, LU10, LSC7,
LU3). Nilai Konsistensi terbesar berada pada
pangkal cabang kelompok B sebesar 94 %
sedangkan nilai terkecil terdapat pada pangkal
cabang kelompok D, yaitu 10 % (Gambar 1).

40

LSC7

10

D
69

C

LU10
20

LC6
LC4

94

B
A

LU3

68

LSC1
LP9
HS
JTP

Gambar 1 Pohon kekerabatan isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS,
dan Pleurotus (JTP) berdasarkan sifat mikroskopik kultur. Angka pada setiap
kelompok merupakan nilai konsistensi (%) yang diuji dengan uji Bootstrap 1000
ulangan melalui metode parsimoni maksimum.

Tabel 2 Sifat mikroskopik kultur isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS,
dan Pleurotus (JTP) di media AEMP dan AEM pada minggu ke-2 dan 4 (Davidson et al.
1945)
Isolat
No

Penampakan mikroskopik
LU3

LU10

LC4

LC6

LSC1

LSC7

LP9

HS

JTP

1

Sambungan apit

+

+

-

+

-

+

+

+

+

2

Klamidospora

-

-

+

-

+

-

-

-

-

3

Konidia dan konidiofor

-

-

-

-

-

-

-

+

-

4

Oidia

-

-

-

-

-

-

-

-

-

5

Basidia

-

-

-

-

-

-

-

-

-

6

Basidiospora

-

-

-

-

-

-

-

-

-

7

Seta

-

-

-

-

-

-

-

-

-

8

Sel veskikular

-

-

-

-

-

-

-

-

-

9

Cabang stag-horn

-

-

-

-

-

-

-

-

-

10

Hifa terwarnai eosin

+

+

+

+

+

+

+

+

+

11

Hifa tidak terwarnai eosin

-

-

-

-

-

-

-

-

-

12

Submerged ¹

-

-

-

-

-

-

-

-

-

13

Superficial ²

+

+

+

+

+

+

+

+

+

14

Hifa incrusted

-

-

-

-

-

-

-

-

-

15

Kristal

+

+

+

+

+

+

+

+

+

16

Sel gembung

+

+

+

+

+

+

+

-

-

17

Ujung hifa gembung
Hifa besar dan berdinding
tipis

+

+

+

+

+

+

-

-

-

+

+

+

+

+

+

+

-

-

19 Artrospora
+
Keterangan :
Tanda +
: memiliki sifat mikroskopik kultur
Tanda : tidak memiliki sifat mikroskopik kultur
Tanda ¹
: pertumbuhan miselium di dalam media agar
Tanda ²
: pertumbuhan miselium di atas permukaan media agar

+

-

-

-

18

Analisis PCR-RAPD
Hasil analisis yang dilakukan dengan
menggunakan teknik PCR-RAPD ternyata
dapat menghasilkan lebih dari satu fragmen
DNA di setiap isolat Lentinus, HS, dan
Pleurotus (Gambar 2). Metode ini dilakukan
dengan menggunakan dua macam primer,
yaitu RP1 dan RP3. Kedua primer ini berhasil
mengamplifikasi seluruh isolat Lentinus, HS
dan Pleurotus.
Hasil pohon filogenetik yang diperoleh
menunjukkan bahwa isolat JTP memiliki
perbedaan yang sangat jauh dengan isolatisolat pada kelompok A. Kelompok A dapat

terbagi menjadi dua cabang, yaitu isolat HS
yang mengelompok sendiri di luar dari isolat
Lentinus lainnya dan cabang lainnya, yaitu
kelompok B, C, D (LP9, LSC1, LSC7, LC6,
LU10, LC4, LU3).
Kelompok B mencakup dua cabang, yaitu
kelompok yang terdiri dari LSC1 dan LP9 dan
kelompok C, D (LSC7, LC6, LU10, LC4,
LU3). Tingkat konsistensi tertinggi sebesar
89% dan nilai paling kecil adalah 20%
(Gambar 3). Hasil data biner dan
pengelompokkan matrik kesamaan disajikan
pada Lampiran 4.

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1

2

3

4

5

6

7

8

9

(b)

(a)

Gambar 2 Hasil amplifikasi DNA isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9),
HS, dan Pleurotus (JTP) dengan metode PCR-RAPD dengan menggunakan primer
RP1 (a) dan RP3 (b). Ket : 1: LU3, 2: LU10, 3: LC4, 4: LC6, 5: LSC1, 6: LSC7, 7:
LP9, 8: HS, 9: JTP.
46
45
20

LU3
LC4

D

LU10

C

LC6
57

B

65

LSC7
LSC1

A
89

LP9
HS
JTP

Gambar 3 Pohon kekerabatan isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS,
dan Pleurotus (JTP) berdasarkan sifat molekular. Angka pada setiap kelompok
merupakan nilai konsistensi (%) yang diuji dengan Bootstrap 1000 ulangan melalui
metode parsimoni maksimum.

PEMBAHASAN
Pe nampakan Koloni dan Sifat
Mikroskopik Kultur
Isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus
memiliki perbedaan penampakan koloni pada
saat ditumbuhkan di media yang berbeda,
yaitu media AEM dan AEMP. Pada media
AEM seluruh isolat cenderung lebih tipis dan
lambat dibandingkan dengan media AEMP.
Penampakan
koloni
isolat
Lentinus
mengalami pertumbuhan yang lebih lebat dan
cepat setelah ditumbuhkan di media AEMP

(Rosa 1996). Pertumbuhan miselium akan
lebih optimal ketika diinkubasi pada suhu
35°C (Rosa 1996; Isla dan Noemia 2007).
Kandungan pepton pada media AEMP lebih
tinggi dibandingkan dengan media AEM.
Pepton sebagai sumber nitrogen yang mampu
meningkatkan jumlah biomassa miselium
isolat Lentinus (Wu et al. 2008; Nwanze et al.
2005). Namun, Isla dan Noemia (2007)
melaporkan bahwa Lentinus strigosus lebih
optimal tumbuh di media ADK (agar
dekstrosa kentang). Sedangkan isolat HS dan
JTP lebih optimum tumbuh di media ASK

dalam suhu ± 29°C (Nurapriliani 2005;
Noverita 2005).
Hifa terwarnai merupakan penampakan
yang terjadi pada hifa setelah diberi larutan
eosin. Larutan ini memberikan warna
kemerahan pada hifa (Gambar 4a). Seluruh
isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus memiliki
struktur hifa yang terwarnai. Berdasarkan
hasil kunci identifikasi jamur pelapuk kayu
dari isolasi pohon oak menunjukkan bahwa
hifa Pleurotus ostreatus dan Lentinus tigrinus
tidak terwarnai oleh eosin (Davidson et al.
1945).
Sebagian besar isolat Lentinus, HS dan
Pleurotus membentuk struktur sambungan
apit (Gambar 4b). Beberapa jamur pelapuk
kayu (wood decay fungi) mampu membentuk
sambungan apit di setiap hifa septat secara
teratur, ada yang tidak teratur, atau hanya
pada hifa tertentu saja bahkan ada yang sama
sekali tidak membentuk sambungan apit
(Boidin 1971 diacu dalam Rayner & Lynne
1995). Hal ini dibuktikan pada isolat Lentinus,
yaitu LC4 dan LSC1 yang tidak membentuk
sambungan apit.
Pada isolat LU3 dan LSC7 membentuk
struktur artrospora berupa fragmen-fragmen
hifa yang berserakan (Gambar 4c). Struktur
ini terbentuk ketika kondisi lingkungan media
mengalami kondisi kering dan suhu yang
panas (Schmidt 2006). Beberapa jamur
pelapuk kayu yang dapat membentuk struktur
ini
diantaranya
Serpula
lacrymans,
Coniophora puteana, Donkiopora expansa,
Gloeophyllum trabeum, dan Lentinus lepideus
(Schmidt 2006).
Struktur hifa besar dan berdinding tipis
(Gambar 4d), sel gembung (Gambar 4e),
ujung hifa gembung (Gambar 4f), dan
klamidospora (Gambar 4g) merupakan bagian
dari struktur modifikasi hifa juga yang
terbentuk ketika kondisi lingkungan tidak
menguntungkan. Spora aseksual lebih tahan
terhadap kekeringan, panas, dan mampu
menjadi cadangan makanan dibandingkan
miseliumnya (Schmidt 2006). Struktur
klamidospora terbentuk di bagian hifa
interkalar,
terminal,
atau
lateral.
Perkembangannya dimulai ketika sel hifa
vegetatif berdinding tipis menggembung
(Clemencon 2003) yang kemudian dinding
tersebut menebal dengan warna dinding sel
kecoklatan (Schmidt 2006).
Struktur konidia dan konidiofor hanya
dimiliki oleh isolat HS dengan bentuk seperti
tetesan air (Gambar 4h). Tipe konidia ini

adalah blastokonidia, yaitu konidia yang
dibentuk dari konidiogen yang menjadi satu
konidia saja (soliter), beberapa konidia
(catenulate) atau dalam bentuk kelompok
(botryos) (Schmidt 2006). Bentuk tipe ini
dimiliki
pada
spesies
Heterobasidion
annosum, Polyporus metamorphosus, dan
Tyromyces amarus (Rayner dan Lynne1995).
Pembentukan kristal terjadi setelah larutan
KOH ditetesi pada preparat basah (Gambar
4i). Larutan KOH berfungsi untuk menyerap
kandungan air yang ada di dalam miselium
sehingga pengamatan akan tampak jelas tanpa
adanya manipulasi (Davidson et al. 1945).
Pembentukan kristal sering terdapat di bagian
terminal maupun di dalam atau di atas struktur
hifa interkalar. Sering pula, kristal terbentuk
di dalam media pertumbuhan (Rayner dan
Lynne 1995).
Hubungan Kekerabatan
Berdasarkan
pohon
kekerabatan
pengamatan mikroskopik kultur, isolat
Pleurotus (JTP) berada di luar kelompok
isolat Lentinus dan HS. Pada analisis
molekular yang telah dilakukan, isolat JTP
tetap berada di luar kelompok kekerabatan
dari isolat Lentinus dan HS dengan
membentuk suatu out group. Hal ini
membuktikan bahwa isolat JTP memang
berbeda dengan isolat Lentinus dan HS.
Isolat HS berada di dalam kelompok A
pada
pohon
kekerabatan
pengamatan
mikroskopik
kultur
maupun
analisis
molekular. Isolat ini terpisah dari isolat
Lentinus dengan membentuk kelompok
sendiri. Isolat HS memiliki tubuh buah agak
lunak yang berada diantara isolat Lentinus
dengan tubuh buah yang liat dan isolat
Pleurotus yang memiliki tubuh buah lunak
(Sudirman Komunikasi pribadi). Berdasarkan
sifat fisiologi, isolat HS memiliki kesamaan
dengan isolat Pleurotus (Nurapriliani 2005;
Noverita 2005).
Secara morfologi tubuh buah HS memiliki
kesamaan dari beberapa morfologi genus
Hohenbuehelia, yaitu bagian pinggir tudung
melengkung (incurved), lamela yang rapat dan
turun mencapai tangkai (decurrent), tangkai
berada tidak di tengah tudung (eksentrik) dan
jejak spora berwarna putih. Berdasarkan
pengamatan sifat mikroskopik kultur genus
Hohenbuehelia dilengkapi juga dengan
sambungan apit dan struktur konidia (Thorn
dan Barron 1986).

Gambar 4 Struktur mikroskopik kultur: (a) hifa terwarnai isolat LP9, (b) sambungan apit isolat
HS, (c) artrospora isolat LU3, (d) hifa berdinding tebal dan tipis isolat LU10, (e) sel
gembung isolat LSC1, (f) ujung hifa gembung isolat LC4, (g) klamidospora isolat
LSC1, (h) konidia dan konidiofor isolat HS, (i) kristal isolat LC4. (Garis skala: 3µm).

Hasil pohon kekerabatan pengamatan
mikroskopik kultur pada kelompok B terpisah
menjadi dua cabang yaitu isolat LP9 berada di
kelompok sendiri dan kelompok B, C, D.
Nilai konsistensi pada pangkal cabang
kelompok B sebesar 94%, artinya dua cabang
dari kelompok ini memiliki peluang untuk
tetap mengelompok. Berdasarkan hasil
analisis molekular terlihat bahwa kelompok B
memiliki dua cabang yaitu isolat LP9
mengelompok dengan LSC1 dan kelompok B,
C, D. Hasil analisis molekular menunjukkan
terjadi pengelompokkan yang lebih spesifik
dengan menempatkan LP9 berkerabat dengan
LSC1 dengan konsistensi yang tinggi sebesar
89%. Namun nilai dari pangakal cabang
kelompok
B
hanya
57%
sehingga
memungkinkan kelompok B, C, D berubah
susunan kelompoknya.
Kelompok C pada pohon kekerabatan
mikroskopik kultur terbagi menjadi dua
cabang yaitu LC4 yang bergabung dengan
LSC1 dan kelompok D. Berdasarkan analisis
molekularnya, kelompok C terpisah menjadi
dua yaitu LC6 dengan LSC7 dan kelompok D.
Hasil ini berbeda dengan hipotesis awal yang

seharusnya LU3 berkerabat dengan LU10
dengan nama L. torulosus, LC4 dan LC6
berasal dari tubuh buah L. cladopus, LSC1
dan LSC7 adalah L. sajor-caju sedangkan
isolat LP9 adalah L. squarrosulus (Sudirman
Komunikasi pribadi). Namun, Sudirman
(2005) telah melaporkan bahwa antara LC4
dengan LC6 memiliki perbedaan berdasarkan
sifat fisiologinya.
Secara taksonomi, isolat Lentinus dengan
Pleurotus
berbeda
famili
dalam
pengelompokkan. Pada awalnya Lentinus dan
Pleurotus berada dalam satu famili
Tricholomataceae. Hal ini didasari adanya
persamaan lamela himenofor dan jejak spora
yang berwarna putih (Miller 1973). Namun,
pengelompokkan tersebut berubah setelah ada
penelitian lebih lanjut. Genus Lentinus lalu
masuk ke dalam famili Lentinaceae (Sudirman
2005). Berdasarkan analisis PCR-RFLP,
ternyata genus dari Tricholomataceae berada
sebagai out group dalam kekerabatan dengan
Lentinus (Hibbet dan Rytas 1991).

SIMPULAN
Pertumbuhan miselium pada media AEMP
lebih lebat dibandingkan dengan media AEM
sedangkan berdasarkan penampakan koloni,
kedua media memiliki perbedaan struktur
penampakan.
Hubungan
kekerabatan
berdasarkan sifat mikroskopik kultur dan
analisis molekular menunjukkan bahwa
seluruh isolat Lentinus berkumpul dalam satu
kelompok tetapi pengelompokan spesies
belum spesifik. Isolat HS berada di luar
kelompok Lentinus dan Pleurotus sedangkan
isolat JTP berada di luar kelompok Lentinus
dan HS sebagai out group.

SARAN
Perlu adanya penambahan primer dalam
analisis
PCR-RAPD
agar
hubungan
kekerabatan isolat Lentinus dapat spesifik.

DAFTAR PUSTAKA
Boidin J. 1971. Nuclear Behaviour in the
Mycelium and The Evolution of
Basidiomycetes, in Evolution in The
Higher Basidiomycetes. Knoxville,
University of Tennessee Press.
Clemencon H. 2003. Stellate chlamydospores
and thromboplerous hyphae in the
mycelium of the Agaric Lepista
flaccid. Mycological Progress 2(1):
69–72.
Davidson RW, Campbell WA, Dorothy BV.
1945. Fungi causing decay of living
oaks in the estern united state and
their cultural identification. Technical
Bul 785.

Noverita. 2005. Analisis keanekaragaman
isolat Pleurotus spp. liar dan
domestik
berdasarkan
sifat
morfologi, fisiologi, genetik dan
molekular. [disertasi]. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Nurapriliani Y. 2005. Telaah fisiologi
produksi dan uji aktivitas antimikrob
ekstrak miselium isolat Escherichia
coli enteropatogen. [skripsi]. Bogor:
Institut pertanian Bogor.
Nwanze PI, Khan AU, Ameh JB, Umoh.
2005. The effect of media, oil type
and rate on the mycelia wet and dry
weights of Lentinus squarrosulus
(Mont.) singer and Psathyrella
atroumbonata Pegler in submerged
liquid culture. Afr. J. of Biotechnol. 4
(3): 326-331.
Pegler D, Young TWK. 1983. Anatomy of the
Lentinus hymenophore. Trans. Br.
Soc. 80(3): 469-482.
Pereira F, Corneiro J, Antonio A. 2008.
Identification of species with DNAbased technology: current progress
and challenges. Recent Patent on
DNA & Gene Sequences 2008(2):
187-200.
Rayner ADM, Lynne B. 1995. Fungal
Decomposition of Wood: Its Biology
and Ecology. Great Britain, Antony
Rowe Ltd.
Rosa Y. 1996. Telaah fisiologi Lentinus spp.
dalam usaha mencari kondisi
pertumbuhan optimal dan identifikasi
isolat. [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Saunders GC, Helen CP. 1999. Analytical
Molecular Biology: Quality and
Validation. UK, Redwood Books
Ltd.

Hibbett DS, Rytas V. 1991. Evolution
relationship to the polyporaceae:
evidence from restriction analysis of
enzymatically amplified ribosomal
DNA. Mycologia 83(4): 425-439.

Schmidt O. 2006. Wood and Tree Fungi:
Biology, Damage, Protection, and
Use. Germany, Springer.

Isla

Solichin

RV, Noemia KI. 2007. Optimal
conditions of in vitro mycelial
growth of Lentinus strigosus, an
edible mushroom isolated in the
Brazilian Amazon. Mycoscience 49:
215-219.

Miller. 1973. Mushrooms of North America.
New York: E.P. Dutton.

DD. 2004. Isolasi DNA dari
Cendawan. Manual Laboratorium
Biologi Molekular. Bogor, PSIHLPPM IPB.

Sudirman LI. 1995. Pemanfaatan Lentinus
spp. dalam menunjang industri
farmasi dan pertanian. Agrotek 2: 5559.

_______. 2005. Deteksi senyawa antimikrob
yang diisolasi dari beberapa Lentinus
tropis dengan metode bioautografi.
Hayati: 67-72.
Thorn RG, Barron GL. 1986. Nematoctonus
and the tribe resupinate in Ontario,
Canada. Mycotaxon 25(2): 321-453.
William JGK, Kubelik AR, Livak KJ,
Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA
polymorphysm amplified by arbitrary

primers are useful as genetic
markers. Nucleic Acids Res. 18:
6531-6535.
Wu CY, Zeng CL, Chian PL, Shiu HW. 2008.
Effect of carbon and nitrogen sources
on the production and carbohydrate
composition of exopolysaccharide by
submerged culture of Pleurotus
citrinopileatus. J. of Food and Drug
Analysis. 16(2): 61-67.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Komposisi media dalam satu liter akuades
1. Agar ekstrak malt (AEM)
Ekstrak malt

15 gram

Agar-agar

15 gram

Air destilata

1000 ml

2. Agar ekstrak malt pepton (AEMP)
Ekstrak malt

15 gram

D-glukosa

20 gram

Bacteriologiocal peptone

5 gram

Agar-agar

15 gram

Air destilata

1000 ml

3. Agar sukrosa kentang (ASK)
Kentang

200 gram

Sukrosa

10 gram

Agar-agar

15 gram

Air destilata

1000 ml

4. Ekstrak malt pepton cair (EMPC)
Ekstrak malt

15 gram

D-glukosa

20 gram

Bacteriological peptone

5 gram

Air destilata

1000 ml

Lampiran 2 Penampakan koloni isolat Lentinus (LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan
Pleurotus (JTP) pada media AEMP dan AEM
Media AEMP

Penampakan
Koloni

Media AEM

Penampakan
Koloni

No

Isolat

1

LU3

Plumose

Silky

2

LU10

Plumose

Lateral wolly

3

LC4

Plumose

Concentric silky

4

LC6

Plumose

Plumose

5

LSC1

Pulverulent

Pulverulent

LSC7

Plumose

7

LP9

Silky

8

HS

Concentric
cottony

Plumose

9

JTP

Concentric
cottony

Plumose

6

Plumose

Appressed

Lampiran 3 Istilah penampakan koloni
1. Appressed
2. Concentric cottony
3. Concentric silky
4. Cottony
5. Downy
6. Felty
7. Floccose
8. Nodulose
9. Plumose
10. Pulverulent
11. Raised
12. Silky
13. Tufted
14. Wolly

: Koloni tidak timbul di atas media agar
: Koloni timbul dan membentuk lingkaran pada bagian tengah, miselium
tegak agak panjang, menyebar ke segala arah
: Koloni membentuk lingkaran pada bagian tengah dengan benang-benang
miselium panjang dan paralel yang menyerupai benang sutra yang disisir
: Koloni timbul, miselium tegak agak panjang, menyebar ke segala arah
: Koloni dengan miselium berupa rambut halus longgar dan pendek yang
tersebar di seluruh permukaan media
: Koloni dengan miselium berupa rambut-rambut yang menjalin menyerupai
bulu kempa (felt)
: Koloni tipis, cottony berupa bulu-bulu pendek dan halus (pubescence) yang
terkumpul dalam kelompok kecil
: Koloni dengan/kelompok-kelompok yang jelas
: Koloni dengan rumbai miselium dari sumbu sentral dan dari sumbu ini
terbentuk hifa pendek radial
: Penampakan koloni bertepung dan berdebu
: Koloni dengan gundukan miselium di atas media agar
: Koloni dengan benang-benang miselium panjang dan paralel yang
menyerupai benang sutra yang disisir
: Pembentukan koloni yang berkelompok
: Koloni dengan massa miselium tebal yang penampakannya mengeriting dan
menggulung.

Lampiran 4 Bilangan biner berdasarkan keberadaan pita dalam primer RP1 dan RP3 pada isolat Lentinus
(LU3, LU10, LC4, LC6, LSC1, LSC7, LP9), HS, dan Pleurotus (JTP)
Primer RP1
No

LU3

LU10

LC4

LC6

LSC1

LSC7

LP9

HS

JTP

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0

1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0

0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
1

0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1

0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0

0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
0
0

14
15

0
0

0
0

0
0

0
0

1
0

0
0

1
1

0
0

0
0

No

LU3

LU10

LC4

LC6

LSC1

LSC7

LP9

HS

JTP

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0

1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0

1
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
1

0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0

0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
0

1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
0

0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Primer RP3

Bilangan biner diterjemahkan ke dalam susunaan nukleotida dengan ketentuan
Angka 1 untuk A atau G
Angka 0 untuk T atau C
Sehingga urutan nukleotida setiap isolat sebagai berikut :
#RAPD LENTINUS
#LU3 TTATTTTTATTATTTATTTATTTTTTTT
#LU10

AATTTTTTTTTTTTTATTTATTTTTTAT

#LC4 TTATTTTTTTTTTTTATTTAATATTTTA
#LC6 TTATTTTTATTATTTTTATTTTTATTAT
#LSC1

TATATTTATTATAATTTTTTTTTTTATT

#LSC7

TTTTTATTATTTATTTTAATAATATTAT

#LP9 TTTATTTATTATTAAATTTTTTTTTTTT
#HS

TTTTTTTTTATTTTTTTTATTATTATTT

#JTP

TTTTATATTATTTTTTATTTTTTTTTTT

Matrik jarak kesamaan masing-masing pasangan isolat Lentinus, HS, dan Pleurotus

1. LU3
2. LU10
3. LC4
4. LC6
5. LSC1
6. LSC7
7. LP9
8. HS
9. JTP

1

2

3

4

5

6

7

8

6.00
5.00
5.00
12.00
12.00
9.00
9.00
9.00

7.00
9.00
10.00
12.00
9.00
9.00
9.00

10.00
13.00
13.00
10.00
10.00
10.00

13.00
7.00
12.00
10.00
10.00

14.00
5.00
11.00
11.00

15.00
9.00
13.00

10.00
10.00

6.00

9

HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA ISOLAT Lentinus ASAL
TROPIS BERDASARKAN SIFAT MIKROSKOPIK KULTUR DAN
MOLEKULAR

MOCHAMAD YADI NURJAYADI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

ABSTRAK
MOCHAMAD YADI NURJAYADI. HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA ISOLAT
Lentinus ASAL TROPIS BERDASARKAN SIFAT MIKROSKOPIK KULTUR DAN
MOLEKULAR. Dibimbing oleh LISDAR A MANAF dan DEDY DURYADI S.
Jamur Lentinus merupakan jamur pelapuk kayu yang berpotensi sebagai obat yang tersebar
di berbagai kawasan daerah tropis dan subtropis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kekerabatan jamur Lentinus isolat tropis berdasarkan sifat mikroskopik kultur dan sifat
molekular. Sampel yang digunakan ialah Lentinus isolat LU3, LU10 (L. torulosus), LC4, LC6 (L.
cladopus), LSC1, LSC7 (L. Sajor-caju), LP9 (L. quarrosulus), dan HS serta JTP (Pleurotus).
Media yang digunakan adalah agar ekstrak malt pepton (AEMP) dan agar ekstrak malt (AEM)
pada suhu 35°C untuk isolat Lentinus dan ±29°C untuk isolat HS dan JTP. Struktur mikroskopik
kultur setiap isolat diamati setelah isolat berumur 2 dan 4 minggu. Analisis molekular dilakukan
dengan mengamplifikasi DNA berdasarkan metode PCR-RAPD dengan menggunakan 2 primer
acak tunggal 10-mer, yaitu RP1 dan RP3. Sifat mikroskopik kultur dan molekular dinyatakan ke
dalam data biner dan diolah dengan program MEGA 4.1. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
beberapa isolat Lentinus yang ditumbuhkan pada media AEMP memiliki penampakan koloni yang
berbeda dengan penampakan koloni pada media AEM. Berdasarkan pohon kekerabatan
mikroskopik kultur dan molekular, isolat Pleurotus (JTP) berada di luar kelompok A (kelompok
Lentinus dan HS) sebagai out group. Kelompok A terbagi menjadi dua cabang yaitu HS dan
kelompok Lentinus (B, C, D). Berdasarkan sifat molekular kelompok Lentinus terdiri dari
kelompok B dengan nilai konsistensi (NK) 57% yang terdiri dari LP9 dan LSC1 (NK=89%) dan
kelompok C dengan NK 20%. Kelompok C terdiri dari LSC7 dan LC6 (NK=65%) dan kelompok
D dengan NK=45%. Kelompok D terdiri dari isolat LU10 dan isolat LC4 dan LU3 (NK=46%).
Hubungan kekerabatan Lentinus berdasarkan molekular belum spesifik sehingga perlu dianalisis
kembali dengan penambahan primer lain.

ABSTRACT
MOCHAMAD YADI NURJAYADI. PHYLOGENY RELATIONSHIP OF SEVERAL
TROPICAL Lentinus BASED ON MICROSCOPIC AND MOLECULAR CHARACTERS.
Supervised by LISDAR A MANAF and DEDY DURYADI S.
Lentinus mushroom is a wood rot fungi used as medicine and distributed in tropic and
subtropic regions. The research aimed to know the phylogeny relationship of tropical Lentinus
mushroom isolates based on culture microscopic and molecular characters. Isolates of Lentinus
that were used are LU3, LU10 (L. torulosus), LC4, LC6 (L. cladopus), LSC1, LSC7 (L. sajorcaju), and LP9 (L. squarrosulus), HS, and JTP (Pleurotus). Culture media were malt extract
peptone agar (MEPA) and malt extract agar (MEA) at 35°C for Lentinus isolates and ±29°C for
HS and JTP isolates. The culture microscopic structure of each isolate was observed at 2 and 4
weeks old of cultures. Molecular analysis carried out amplification of DNA with PCR-RAPD
method using two 10-mer single random primers, RP1 and RP3. The culture microscopic and
molecular characters were converted into biner data and analysis using MEGA 4.1 program. The
observation showed that the colony appearances of some Lentinus isolates on MEPA media were
different from those of MEA. Based on phylogenic tree of culture microscopic and molecular
characters, Pleurotus isolate (JTP) was separated from A group (Lentinus and HS) as out group. A
group was devided to two branches, HS isolate and Lentinus group (B, C, D). Based on molecular
analysis, Lentinus group included B group(consistency value, CV=57%) which devided LP9 and
LSC1 isolates (CV=89%) and C group (