Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane Streak Mosaic Virus Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen Pada Escherichia Coli
i
PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL
Sugarcane streak mosaic virus MENGGUNAKAN ANTIGEN
PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI
GEN PADA Escherichia coli
HAMDAYANTY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Antiserum
Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein
Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Hamdayanty
NIM A352130051
iv
v
RINGKASAN
HAMDAYANTY. Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus
Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada
Escherichia coli. Dibimbing oleh TRI ASMIRA DAMAYANTI dan SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT.
Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah salah satu virus penting
penyebab gejala mosaik bergaris pada tanaman tebu di Indonesia saat ini. Penyakit
SCSMV dapat menyebar dengan cepat karena dapat menular secara mekanis
melalui pisau potong saat penyiapan atau pemanenan bagal dan bersifat tular bagal.
Antiserum komersial untuk mendeteksi dan memonitor perkembangan SCSMV di
lapangan belum tersedia. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat
dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu
bebas virus. Penelitian ini bertujuan memproduksi antiserum poliklonal
menggunakan antigen protein selubung SCSMV (CP-SCSMV) hasil ekspresi gen
pada bakteri Escherichia coli.
Gen CP-SCSMV diamplifikasi dengan RT-PCR menggunakan primer
spesifik gen CP yang memiliki ujung situs enzim restriksi BamHI dan HindIII,
kemudian amplikon dikloning pada vektor kloning pTZ57R/T dan dikonfirmasi
melalui koloni PCR, isolasi plasmid, dan perunutan DNA. CP-SCSMV selanjutnya
disubkloning ke vektor ekspresi pET-28a pada situs enzim restriksi BamHI dan
HindIII membentuk rekombinan pET-SCSMV dan ditransformasi pada 2 strain
bakteri ekspresi yaitu E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Optimasi
ekspresi protein dilakukan terhadap konsentrasi IPTG (0.25, 0.50, 0.75, dan 1.0
mM), suhu inkubasi (25, 30, dan 37 ºC), dan waktu panen setelah diinduksi IPTG
(3, 6, 9, 12, dan 18 jam). Protein hasil ekspresi selanjutnya dipurifikasi dan
digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum poliklonal SCSMV pada
kelinci strain New Zealand. Antiserum yang dihasilkan selanjutnya diuji
sensitivitas dan selektivitasnya dalam mendeteksi SCSMV dengan 3 metode deteksi
serologi yaitu AGPT, I-ELISA, dan DBIA.
Gen CP-SCSMV berhasil diamplifikasi dengan primer spesifik CP-SCSMV.
Gen CP-SCSMV berukuran 855 pb dan mengode 285 asam amino. Homologi
nukleotida dan asam amino diantara 3 klon CP-SCSMV masing-masing mencapai
99.7% dan 100%. CP-SCSMV memiliki homologi sikuen nukleotida dan asam
amino tertinggi masing-masing dengan isolat Indonesia (97.3%) dan Cina (98.9%).
CP-SCSMV berhasil disubkloning pada vektor ekspresi dan terekspresi pada fraksi
pelet (insoluble) bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Analisis
SDS-PAGE menunjukkan pita protein yang berhasil terekspresi berukuran ±35.4
kDa yang merupakan fusi antara protein vektor ekspresi dan CP-SCSMV. Ekspresi
gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 25 oC dengan konsentrasi
IPTG 0.25 mM dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG pada E. coli BL21(DE3)
sedangkan pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS, ekspresi gen CP-SCSMV
optimal didapatkan pada suhu inkubasi 30 oC dengan konsentrasi IPTG 0.25 mM
IPTG, dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG. Ekspresi gen protein rekombinan
CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dipengaruhi
oleh faktor suhu dan waktu inkubasi. Peningkatan konsentrasi IPTG dan waktu
vi
inkubasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan ekspresi gen CPSCSMV.
Antiserum yang dihasilkan dari 2 ekor kelinci adalah ±72.5 mL. Antiserum
SCSMV tidak dapat mendeteksi SCSMV dengan metode AGPT. Sensitivitas
antiserum pada metode I-ELISA mencapai pengenceran antiserum 1:1000 dan
pengenceran antigen 1:100. Uji serologi dengan metode DBIA lebih sensitif
dibandingkan dengan deteksi I-ELISA yang ditunjukkan dengan sensitivitas
antiserum yang mencapai 1:10 000. Antiserum poliklonal SCSMV yang diproduksi
juga menunjukkan selektivitas yang cukup baik yang ditandai dengan tidak
terdeteksinya SCMV pada metode I-ELISA.
Antiserum SCSMV hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk deteksi
SCSMV secara serologi untuk memonitor perkembangan SCSMV di lapangan.
Antiserum SCSMV ini juga dapat digunakan untuk deteksi awal SCSMV,
khususnya pada kebun induk tebu sehingga diharapakan dapat memberi peran yang
cukup besar dalam penyediaan bagal tebu bebas virus. Hal ini diharapkan dapat
mencegah penyebaran SCSMV yang lebih luas. Pengembangan metode produksi
antiserum dengan mengunakan protein rekombinan hasil ekspresi pada E. coli
memberi peluang yang besar dalam produksi antiserum dalam jumlah yang besar
dan kualitas yang baik.
Kata kunci : deteksi serologi, imunogen, kloning, Potyviridae, tebu
vii
SUMMARY
HAMDAYANTY. Production of Sugarcane streak mosaic virus Polyclonal
Antiserum Using Recombinant Coat Protein Antigen Expressed in Escherichia coli.
Supervised by TRI ASMIRA DAMAYANTI and SRI HENDRASTUTI
HIDAYAT
Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) is one of an important virus causing
streak mosaic disease in sugarcane. The virus spreads rapidly since it is easily
transmitted mechanically through cutting knives during preparation of planting
materials or harvesting and it’s a sett-borne virus. Antiserum for routine detection
and to monitor the disease development in the field is not available yet
commercially. An effort to produce antiserum is necessary to detect SCSMV
especially to provide virus-free setts. The research was conducted to produce
SCSMV polyclonal antiserum using expressed of SCSMV coat protein (SCSMVCP) gene in Escherichia coli as antigen.
SCSMV-CP gene was amplified by RT-PCR using specific primers for CP
gene with BamHI and HindIII restriction enzyme sites at the end of primers,
followed by cloning the amplicon into pTZ57R/T and confirmation the insert by
PCR colony, plasmid isolation, and DNA sequencing. Subsequently, the SCSMVCP was subcloned into pET-28a vector expression in the BamHI and HindIII
restriction site and the plasmid was transformed into two expression bacteria, i.e.
E. coli BL21(DE3) and Rosetta-gami(DE3)pLysS. The concentration of IPTG
(0.25, 0.50, 0.75, and 1.0 mM), incubation temperature (25, 30, and 37 ºC), and
bacterial harvesting time (3, 6, 9, 12, and 18 h) after IPTG induction were optimized
to find the best condition for protein expression. Expressed protein is purified and
used as antigene to produce polyclonal antiserum of SCSMV on New Zealand
rabbits. Sensitivity and selectivity of recombinant antiserum to detect SCSMV were
examined for serological test such as AGPT, I-ELISA, and DBIA.
SCSMV-CP gene was succesfully amplified by specific primer for SCSMVCP. The SCSMV-CP sized 855 bp and encoded 285 amino acids. The homology of
nucleotide and amino acid sequences among three of pTZ-SCSMV-CP clones are
99.7% and 100%. It showed the highest nucleotide and amino acid homology with
isolate from Indonesia (97.3%) and China (98.9%), respectively. SCSMV-CP was
successfully subcloned into vector expression and expressed in insoluble fraction
in both bacterial host. Optimal protein expression of SCSMV-CP recombinant was
obtained at temperature 25 oC with IPTG concentration 0.25 mM and harvested at
9 h after IPTG induction in E. coli BL21(DE3), while at temperature 30 oC with
IPTG concentration 0.25 mM and harvested 9 h after IPTG induction in E. coli
Rosetta(DE3)pLysS. SDS-PAGE analysis showed that SCSMV-CP recombinant
expressed as a fusion of vector and SCSMV-CP protein with size ±35.4 kDa. The
optimal condition to express the SCSMV-CP recombinant gene in E. coli
BL21(DE3) and E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS was affected by the incubation
temperature and bacterial harvesting time. Increasing of IPTG concentration and
bacterial harvesting time are not always give positive correlation with expression
of CP-SCSMV gene.
viii
The total volume of antiserum obtained from 2 immunized rabbits were ±72.5
mL. Antiserum of SCSMV unable to detect SCSMV by AGPT method. Sensitivity
of antiserum SCSMV by I-ELISA is up to 1:1000 of antiserum dilution and 1:100
of antigen dilution. Detection of SCSMV by DBIA showed more sensitive than IELISA with antiserum dilution up to 1:10 000. Antiserum of SCSMV reacted
negatively against SCMV antigen in I-ELISA method, indicating the selectivity of
SCSMV antiserum.
Antiserum resulted from this study can be used to detect SCSMV with
serological test and monitor the disease development in the field. Antiserum
SCSMV also can be used to provide a virus-free setts with early detection,
especially in mother seed sugarcane plantation. It is expected can prevent the
spreading of SCSMV. Development method for production of antiserum using
recombinant protein which is expressed in E. coli provide a great opportunities to
get an abundant antiserum with good quality.
Keywords: cloning, immunogene, Potyviridae, serological test, sugarcane
ix
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
x
xi
PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL
Sugarcane streak mosaic virus MENGGUNAKAN ANTIGEN
PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI
GEN PADA Escherichia coli
HAMDAYANTY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
xii
/
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Giyanto, MSi
xiii
xiv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat, hidayah, karunia, dan kemudahan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Produksi Antiserum Poliklonal
Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung
Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli”. Tesis ini disusun sebagai
keseluruhan rangkaian penelitian yang telah dilaksanakan pada September 2014
sampai Maret 2016 guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan
magister pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr Ir Tri
Asmira Damayanti, MAgr selaku pembimbing pertama atas segala bentuk
bimbingan, motivasi, ilmu, pengalaman, kesabaran, dan dukungan moral yang
diberikan kepada penulis dari awal penulisan hingga saat ini. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku pembimbing kedua
yang telah sabar membimbing, memberikan masukan, dukungan, dan perbaikanperbaikan dalam rangka kelancaran penyelesaian studi. Ucapan terima kasih pula
kepada Dr Ir Giyanto MSi selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan
wawasan yang diberikan untuk penyempurnaan penyusunan tesis. Secara khusus
penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada orang tua penulis
Bapak M Yusuf SE MM dan Ibu Wahida SPd, atas segala pengertian, dorongan,
semangat, dan doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan.
Ucapan terima kasih kepada Dr Ir Tri Puji Priyatno MSc atas kesediaannya
memberikan masukan untuk pengoptimalan ekspresi gen dalam penelitian ini.
Terima kasih kepada Prof Dr drh Retno D Soedjoedono MS, Dr drh Okti Nadia
Putri MSi, dan staf laboratorium Imunologi Veteriner FKH IPB atas bimbingan dan
bantuannya dalam produksi antiserum. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) yang telah membiayai pendidikan magister
tahun 2013-2015 dan Australian Centre for International Agricultural Research
(ACIAR) yang telah membiayai sebagian besar penelitian ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan penelitian
Erniawati, Syaiful Khoiri, dan Rita Kurniawati atas masukan dan bantuan yang
diberikan dalam rangka kelancaran penelitan. Terima kasih kepada Sari Nurulita,
Rizki Khaerunnisa, Prabawati HP, Susanti Mugi L, dan seluruh anggota
Laboratorium Virologi Tumbuhan atas masukan, semangat, bantuan, dan
kebersamaan yang diberikan kepada penulis selama menjalankan penelitian di
laboratorium. Terima kasih kepada keluarga besar Fitopatologi, terkhusus temanteman Fitopatologi 2013, dan teman-teman yang senantiasa memberikan bantuan,
dukungan, dan masukan dalam penulisan tesis ini.
Akhir kata penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang.
Bogor, Agustus 2016
Hamdayanty
xv
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan
3
Manfaat
3
Hipotesis
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
3
Syarat Tumbuh Tanaman Tebu
3
Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV)
4
Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan
6
Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli
7
Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal
7
Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan
8
3 BAHAN DAN METODE
10
Tempat dan Waktu
10
Metode Penelitian
10
Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR
10
Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli
11
Kloning Gen CP-SCSMV pada pTZ57R/T
11
Ekspresi Gen CP-SCSMV pada Bakteri Ekspresi
15
Produksi Antiserum SCSMV
16
Pengujian Antiserum SCSMV
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Amplifikasi Gen CP-SCSMV dan Kloning CP-SCSMV pada pTZ57R/T 19
Subkloning Gen CP- SCSMV pada pET-28a
21
Ekspresi Gen CP-SCSMV Rekombinan pada Bakteri Ekspresi
23
Produksi Antiserum SCSMV
26
Penggunaan Antiserum Rekombinan SCSMV dalam Deteksi Serologi
27
Pembahasan Umum
30
5 SIMPULAN DAN SARAN
32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
52
xvi
DAFTAR TABEL
1 Komposisi gel SDS-PAGE
15
2 Homologi sikuen nukleotida dan asam amino CP-SCSMV_Klon_2
dengan CP-SCSMV hasil kloning lainnya dan CP-SCSMV dari GenBank
20
3 Tingkat ekspresi protein rekombinan CP-SCSMV pada bakteri E. coli
BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS pada suhu, konsentrasi
IPTG, dan waktu inkubasi setelah pemberian IPTG yang berbeda
24
4 Nilai absorbansi ELISA (NAE) hasil I-ELISA menggunakan serum yang
diperoleh dari waktu pengambilan darah yang berbeda
27
5 Sensitivitas antiserum rekombinan poliklonal SCSMV dalam I-ELISA
pada berbagai tingkat pengenceran antigen SCSMV
28
6 Selektivitas antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCMV
29
DAFTAR GAMBAR
1 Organisasi genom SCSMV
5
2 Vektor kloning pTZ57R/T
12
3 Vektor ekspresi pET-28a (Novagen 1998)
14
4 Visualisasi hasil amplifikasi gen CP-SCSMV
19
5 Konfirmasi transforman hasil TA-kloning
20
6 Visualisasi 8 klon DNA hasil PCR koloni pET-SCSMV
21
7 Ekspektasi fusi protein pET-28a (
) dan CP-SCSMV (
)
22
8 Protein rekombinan pET-SCSMV hasil purifikasi dari E. coli BL21
(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS
25
9 Uji sensitivitas dan selektivitas antiserum SCSMV dengan deteksi
serologi DBIA
30
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Hasil transformasi pTZ-SCSMV pada E. coli strain JM107 yang
ditumbuhkan pada media LBA-Ampisilin
41
Restriksi 5 klon pTZ-SCSMV dengan BamHI dan HindIII yang menghasilkan 2 pita DNA yaitu pita DNA berukuran ±850 pb yang merupakan ukuran CP-SCSMV dan ±2886 pb yang merupakan ukuran
pTZ57R/T
41
Runutan basa nukleotida CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat
CP-SCSMV pada GenBank
42
4 Runutan asam amino CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CPSCSMV pada GenBank
45
1
2
3
5
Susunan asam nukleat pTZ-SCSMV yang benar dan CP-SCSMV yang
memiliki orientasi terbalik
47
6 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli
BL21(DE3) dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi IPTG berbeda
48
Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli
Rosetta-gami(DE3)pLysS dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi
IPTG berbeda
49
Reaksi antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCSMV pada
metode AGPT
50
Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat
pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 1)
50
10 Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat
pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 2)
51
7
8
9
xviii
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) merupakan virus yang
menyebabkan mosaik bergaris (streak mosaic) pada tebu. SCSMV termasuk dalam
famili Potyviridae, genus Susmovirus (Xu et al. 2010), dan memiliki hubungan
kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum mosaic virus (King et
al. 2012). SCSMV pertama kali dilaporkan oleh Hall et al. (1998) menginfeksi klon
tebu asal Pakistan dan selanjutnya dilaporkan telah menginfeksi tanaman tebu di
India, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Cina (Hema et al. 1999, Chatenet et al.
2005), dan Indonesia (Damayanti dan Putra 2011).
SCSMV merupakan virus yang relatif baru di Indonesia yang dilaporkan
menginfeksi klon-klon tebu komersial, terutama klon PS 864, di Jawa Tengah dan
Jawa Timur pada tahun 2007. Klon PS 864 merupakan klon unggulan yang banyak
dikembangkan oleh petani dan pabrik gula karena anakan banyak, serempak,
rendemen gula tinggi, dan tahan terhadap infeksi Sugarcane mosaic virus (SCMV)
(Damayanti et al. 2011). Munculnya penyakit mosaik bergaris oleh SCSMV yang
mampu menginfeksi klon PS 864 merupakan masalah baru yang dapat menurunkan
produktivitas tebu di Indonesia. Penurunan hasil produksi brangkasan tebu dan
rendemen gula pada tingkat insidensi penyakit SCSMV 50% berturut-turut berkisar
16 – 17% dan 19 – 21% (Asnawi 2009). Tingginya penurunan hasil produksi gula
akibat infeksi SCSMV pada tebu menjadi salah satu kendala dalam mewujudkan
program peningkatan produksi gula untuk mencapai swasembada gula konsumsi
pada tahun 2009.
Infeksi SCSMV menyebar sangat cepat karena SCSMV bersifat tular bagal,
penularannya difasilitasi melalui pisau potong yang digunakan saat penyiapan bagal
sebelum tanam atau saat panen (Damayanti dan Putra 2011). Upaya pengendalian
virus tular bahan perbanyakan seperti SCSMV ini ialah dengan menanam bagal
bebas virus. Oleh karena itu, sistem deteksi yang mudah dan akurat tinggi
diperlukan untuk deteksi rutin dalam penyediaan bagal tebu yang sehat.
Salah satu metode untuk mendeteksi virus dalam jumlah sampel tanaman
yang banyak dan hasil yang akurat adalah menggunakan uji serologi. Uji serologi
yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi virus antara lain mass spectrometry
analyses, double-difusion test, dot blot immunoblotting assay (DBIA), tissue-blot
immunoblotting assay (TBIA), western blotting, agarose gel precipitation test
(AGPT), dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Wilson 2014).
Keberhasilan dan ketelitian uji serologi sangat tergantung pada ketersediaan
antiserum dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Belum tersedianya
antiserum spesifik SCSMV secara komersial menjadi salah satu kendala deteksi
SCSMV secara serologi. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat
dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu
bebas virus dan monitoring penyakit di lapangan.
Langkah awal dalam penyediaan antiserum adalah mendapatkan siapan virus
yang akan digunakan sebagai antigen dalam produksi antiserum. Siapan virus yang
dipurifikasi dari tanaman terinfeksi untuk digunakan sebagai antigen dapat
menghasilkan antiserum yang bersifat tidak spesifik sehingga dapat terjadi reaksi
2
silang dengan protein tanaman inang saat digunakan untuk deteksi (Li et al. 1998).
Kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode
penyediaan antigen melalui ekspresi suatu gen tertentu yang disisipkan dalam
plasmid vektor ekspresi pada Escherichia coli. Metode penyiapan antigen untuk
produksi antiserum melalui teknik tersebut telah berhasil dilaporkan untuk beberapa
virus diantaranya Sugarcane streak mosaic virus (Hema et al. 2003), Grapevine
leafroll virus 2 (Ling et al. 2007), Chrysanthemum virus B (Singh et al. 2011),
Blackeye cowpea mosaic virus (Koohapitagtam dan Nualsri 2013), Potato virus X
dan Potato leaf roll virus (Abdel-Salam 2013). Keunggulan penyediaan antigen
dengan metode ini antara lain tersedianya antigen dalam jumlah yang mencukupi
setiap saat apabila diperlukan untuk produksi antiserum (Cotillon et al. 2005), dan
cocok untuk penyediaan antigen dari virus yang memiliki konsentrasi yang rendah
dalam jaringan tanaman, virus yang menginfeksi jaringan tanaman yang keras, dan
distribusinya terbatas dalam jaringan tanaman (floem-limited) (Ling et al. 2007).
Berdasarkan pertimbangan keunggulan di atas maka perlu diupayakan
produksi antigen SCSMV dengan memanfaatkan teknologi ekspresi gen pada
bakteri ekspresi yang selanjutnya digunakan untuk produksi antiserum. Hingga
tahun 2016, belum terdapat laporan mengenai pemanfaatan metode ekspresi gen
untuk penyiapan antigen virus tanaman dalam rangka produksi antiserum di
Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan metode ekspresi gen perlu dikembangkan
untuk menyediakan antiserum yang mencukupi yang sangat diperlukan untuk
mewujudkan pendeteksian SCSMV yang cepat dan akurat sehingga diharapkan
dapat mengurangi penyebaran SCSMV khususnya melalui bagal tebu terinfeksi
virus.
Perumusan Masalah
Penyebaran SCSMV yang cepat pada perkebunan tebu di Indonesia
disebabkan oleh penggunaan bahan perbanyakan vegetatif tebu yang berasal dari
tanaman induk yang terinfeksi SCSMV. Salah satu upaya mencegah penyebaran
SCSMV adalah dengan menggunakan bahan perbanyakan tebu yang bebas virus.
Metode deteksi yang cepat dan akurat diperlukan untuk menentukan tanaman induk
tebu yang bebas SCSMV, khususnya untuk mendeteksi SCSMV dalam jumlah
sampel yang banyak. Deteksi serologi merupakan teknik yang dapat memenuhi
kriteria tersebut. Antiserum merupakan perangkat penting yang dibutuhkan dalam
aplikasi deteksi serologi sehingga ketersediaan antiserum sangat diperlukan untuk
mendeteksi SCSMV. Antigen SCSMV dengan konsentrasi yang tinggi dan spesifik
diperlukan untuk produksi antiserum dengan kualitas yang baik. Kloning CPSCSMV pada plasmid vektor ekspresi dan ekspresi gen CP-SCSMV pada bakteri
ekspresi E. coli menjanjikan tersedianya antigen dalam jumlah yang cukup untuk
produksi antiserum yang spesifik SCSMV.
3
Tujuan
1.
2.
3.
4.
Melakukan konstruksi dan memperoleh klon rekombinan CP-SCSMV.
Memproduksi protein rekombinan CP-SCSMV melalui teknologi ekspresi gen
pada bakteri ekspresi.
Memproduksi antiserum poliklonal CP-SCSMV dengan antigen hasil ekspresi
gen CP-SCSMV.
Mendapatkan titer antiserum yang optimal dalam mendeteksi SCSMV melalui
metode serologi AGPT, I-ELISA, dan DBIA
Manfaat
Antiserum CP-SCSMV yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan
dalam deteksi rutin SCSMV secara serologi pada bahan perbanyakan vegetatif
bagal dan sampel lapangan untuk pemantauan distribusi SCSMV
Hipotesis
1.
2.
3.
4.
Gen CP-SCSMV dapat disisipkan pada plasmid vektor ekspresi sehingga
diperoleh plasmid rekombinan CP-SCSMV.
Gen CP-SCSMV dapat diekspresikan pada bakteri ekspresi sehingga
diperoleh protein rekombinan CP-SCSMV.
Protein rekombinan CP-SCSMV dapat digunakan sebagai antigen untuk
produksi antiserum poliklonal SCSMV.
Salah satu titer antiserum poliklonal SCSMV yang diuji merupakan titer
antiserum yang optimal untuk mendeteksi SCSMV pada masing-masing
metode serologi yang digunakan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Syarat Tumbuh Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam famili Gramineae atau
Poaceae yaitu jenis rumput-rumputan tahunan dengan tinggi sekitar 2-4 m dan
diameter 5 cm. Persyaratan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu
adalah hujan yang merata hingga tanaman berumur 8 bulan. Kebutuhan ini
berkurang sampai menjelang panen. Tanaman tebu tumbuh baik pada daerah
beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan tebu > 70%
dan suhu udara berkisar antara 28-34 oC. Ketinggian tempat yang baik untuk
pertumbuhan tebu adalah 5-500 m dpl. Suhu udara yang tinggi diikuti dengan
kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi merupakan kondisi yang sesuai bagi
pertumbuhan vegetatif tanaman (Moore dan Bootha 2014).
Tebu dapat tumbuh pada ketinggian 0-1300 m di Indonesia. Tanaman tebu
sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari
4
4.5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman.
Pemberian kapur pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu.
Hasil tebu akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara
makro sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi
dari batas kritisnya (James 2004).
Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung.
Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman. Secara
komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam bentuk
bagal. Rata-rata setiap 1 ha kebun bibit tebu di Jawa dapat memenuhi kebutuhan 8
ha kebun tebu giling, sedangkan 1 ha kebun bibit tebu di luar Jawa hanya dapat
memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat benih 2008). Tanaman
tebu dapat dipanen dalam waktu kurang lebih 1 tahun (James 2004).
Secara ekonomi tebu merupakan tanaman yang penting, karena merupakan
bahan baku utama pembuatan gula pasir. Selain itu industri furfural, dextran, dan
alkohol juga sangat tergantung pada tanaman ini. Produk samping industri gula
dapat dikembangkan menjadi bahan nutrisi pakan ternak, bahan makanan,
pembuatan kertas dan sebagai sumber energi bahan bakar (Moore dan Bootha
2014).
Salah satu faktor pembatas produksi gula adalah infeksi penyakit pada
tanaman tebu. Penyakit yang dapat menginfeksi tanaman tebu diantaranya karat
(Puccinia kuehnii dan P. melanocephala), akar merah (Colletotrichum falcatum),
bercak coklat (Cercospora koepkei dan Helminthosporium sacchari), bercak cincin
(Leptosphaeria sacchari), dan layu (Cephalosporium sacchari) (Sathe et al. 2009).
Penyakit yang disebabkan oleh patogen dari kelompok virus yang menyerang
tanaman tebu adalah Sugarcane mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic
virus (SCSMV) (Rao et al. 2006), dan Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV)
(Viswanathan et al. 2008).
Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV)
SCSMV pertama kali ditemukan oleh Hall et al. (1998) dari tanaman tebu
asal Pakistan yang diekspor ke USA. Selanjutnya virus tersebut dilaporkan oleh
Hema et al. (1999) telah menginfeksi tebu di India. Chatenet et al. (2005)
melaporkan bahwa beberapa sampel tanaman tebu yang berasal dari Bangladesh,
India, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam positif terinfeksi SCSMV. Pada
tahun 2011, SCSMV telah menginfeksi pertanaman tebu di Cina yang diketahui
berasal dari asesi bahan perbanyakan tebu yang diimpor India. Di luar Asia,
SCSMV juga telah dilaporkan menginfeksi koleksi bahan perbanyakan tebu di
Colombia (Cardona et al. 2006).
SCSMV tergolong virus baru di Indonesia yang pertama kali dilaporkan pada
tanaman tebu di Jawa tahun 2007 di 59 kebun tebu dengan intensitas serangan 062%. Gejala mosaik yang mirip dengan mosaik bergaris ditemukan di Jawa Tengah
(PG Mojo dan Sragi), Yogyakarta (PG Madukismo), dan Jawa Timur (PG Tulangan
dan Kebon Agung). SCSMV dilaporkan menginfeksi klon-klon tebu komersial dan
dominan menginfeksi klon PS 864. Klon PS 864 saat ini merupakan klon unggulan
yang banyak dikembangkan oleh para petani dan pabrik gula karena anakannya
banyak dan rendemennya tinggi (Damayanti dan Putra 2011).
5
Nama Sugarcane streak mosaic virus pertama kali diperkenalkan oleh Hall et
al. pada tahun 1998 dan dikelompokkan dalam famili Potyviridae. SCSMV
memiliki hubungan kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum
mosaic virus (King et al. 2012). SCSMV memiliki partikel berbentuk filamen lentur
berukuran 890 x 15 nm. Asam nukleat SCSMV berupa single-sranded RNA (RNA
utas tunggal), positive sense, berukuran ±10 kb, dan dienkapsidasi oleh protein
selubung dengan berat molekul 40 kDa (Hema et al. 1999; Hema et al. 2003;
Damayanti dan Putra 2011).
Genom SCSMV mengodekan poliprotein yang tersusun atas 3131 asam
amino dan ditranslasi membentuk 10 protein utama yaitu P1, HC-Pro, P3, 6K1, CI,
6K2, VPg, NIa-Pro, NIb, dan CP (Xu et al. 2010, Li et al. 2011). Organisasi genom
SCSMV dalam RNA untuk produksi protein adalah P1 (1–361 nt), HC-Pro (362–
831 nt), P3 (832–1161 nt), 6K1 (1162–1210 nt), CI (1211–1866 nt), 6K2 (1867–
1914 nt); VPg (1915–2112 nt), NIa-Pro (2113–2348 nt), NIb (2349–2850 nt), dan
CP (2851–3131 nt) (Prameswari et al. 2013) (Gambar 1). Thermal inactivation
point (TIP) yaitu suhu yang dapat menginaktifkan virus berkisar 55-60 oC
(Damayanti et a.l 2010), dilution end point (DEP) atau titik batas pengenceran
SCSMV untuk dapat menimbulkan penyakit adalah 10-4 – 10-5, longevity in vitro
(LIV) atau ketahanan in vitro virus yaitu waktu virus selama dalam cairan perasan
masih bersifat infeksius adalah 1-2 hari pada suhu ruang dan 8-9 hari pada suhu
4 oC (Hema et al. 1999).
P1
HC-Pro
P3
6
K
1
CI
6
K
2
VPg
NIaPro
Nib
CP
Gambar 1 Organisasi genom SCSMV. P1 (1–361 nt), helper component proteinase
(HC-Pro) (362–831 nt), P3 (832–1161 nt), 6K1 (1162–1210 nt),
cytoplasmic inclution (CI) (1211–1866 nt), 6K2 (1867–1914 nt); virus
protein genome (VPg) (1915–2112 nt), nuclear inclusion a protease
(NIa-Pro) (2113–2348 nt), nuclear inclusion b (NIb) (2349–2850 nt),
dan coat protein (CP) (2851–3131 nt) (Prameswari et al. 2013)
Gejala khas infeksi SCSMV mirip dengan yang disebabkan oleh Sugarcane
mosaic virus (SCMV) yaitu adanya pola yang teratur antara hijau muda atau
kekuningan dan hijau normal pada helai daun (Damayanti dan Putra 2011). Gejala
SCSMV berupa mosaik bergaris dan pada beberapa infeksi yang parah
menyebabkan warna pucat pada daun, garis-garis mosaik kekuningan pada daun,
dan daun tampak lebih transparan di bawah sinar matahari dibandingkan dengan
daun yang sehat (Prabowo et al. 2014).
SCSMV dapat ditularkan secara mekanis dan vegetatif melalui bagal tebu
yang telah terinfeksi. Penularan melalui bahan vegetatif tebu ini menjadi penting
karena perbanyakan tebu sebagian besar menggunakan benih dari bagal vegetatif.
Penularan melalui pisau potong saat perbanyakan benih sebelum tanam atau saat
panen dapat menjadi sangat efisien dalam menyebarkan SCSMV. Selain tanaman
tebu, SCSMV dapat menginfeksi beberapa tanaman lain dari famili Poaceae yaitu
sorgum, jagung, dan Dactyloctenium aegypticum. Sampai saat ini belum ada
6
laporan mengenai serangga vektor yang dapat menularkan SCSMV (Damayanti dan
Putra 2011).
Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan
DNA rekombinan adalah suatu DNA hasil rekayasa yang berasal dari satu
sumber atau lebih yang tergabung ke dalam satu molekul rekombinan (Barnum
2005). Teknik penggabungan molekul DNA tersebut dikenal sebagai teknik DNA
rekombinan. DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang
merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang berupa
gen target suatu makhluk hidup. Vektor tersebut berfungsi sebagai pembawa DNA
asing yang berasal dari suatu organisme untuk dipindahkan ke dalam organisme
lain. Gen yang terkandung pada DNA rekombinan di dalam organisme resipien
diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein (Muladno 2010).
Teknologi DNA rekombinan, juga disebut gene cloning, adalah suatu istilah
yang mencakup sejumlah protokol percobaan yang bertujuan mentransfer informasi
genetik (DNA) dari suatu organisme ke organisme yang lain. Pada prinsipnya
kloning adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses
pengembangbiakan sel bakteri. Pembentukan DNA rekombinan secara umum
mengikuti prosedur sebagai berikut: (1) DNA target (DNA asing, DNA insert, DNA
klon) dari organisme donor diekstrak, dipotong secara enzimatik, kemudian
disambung dengan plasmid atau DNA vektor (cloning vector) untuk membentuk
suatu bentuk baru yang disebut molekul DNA rekombinan (rDNA), (2) DNA
rekombinan tersebut ditransfer ke dalam sel inang. Proses introduksi DNA
rekombinan ke dalam suatu sel inang atau bakteri disebut transformasi. Sel yang
digunakan dalam proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten, (3)
sel-sel bakteri tersebut dikultur dan diseleksi atau dimurnikan, kemudian diisolasi,
(4) sel-sel bakteri inang yang telah dimurnikan dan diisolasi, siap dikultur atau
dikembangbiakkan untuk memproduksi protein spesifik yang dikode oleh DNA
klon yang terkandung dalam DNA rekombinan (Glick et al. 2009).
DNA vektor memiliki karakter substansial diantaranya titik awal replikasi,
sisi penyisipan fragmen DNA asing, penanda genetik untuk seleksi bakteri
rekombinan yang mengandung plasmid dengan DNA asing, dan sinyal transkripsi
dan translasi (Yuwono et al. 2005). Salah satu DNA vektor yang dapat digunakan
dalam kloning adalah pTZ57R/T. Vektor pTZ57R/T memiliki kelebihan timin (T)
yang menggantung di ujung terbuka plasmid (T-overhang) sehingga dapat
digunakan untuk menempel pada produk PCR yang memiliki kelebihan adenin (A)
pada ujungnya. Plasmid pTZ57R/T juga termasuk plasmid high copy number yang
cocok untuk menyimpan gen insert dalam suatu inang (Thermo Scientific 2012).
Pembuatan DNA rekombinan membutuhkan bantuan dua macam enzim
untuk vektor yang tidak memiliki T-overhang, yaitu enzim endonuklease
(restriction enzyme) yang berperan sebagai pemotong molekul DNA dan enzim
ligase yang berfungsi untuk menggabungkan molekul-molekul DNA yang telah
dipotong oleh enzim restriksi (Muladno 2010, Barnum 2005). Enzim restriksi ini
memotong kedua molekul DNA tersebut pada lokasi yang sama dengan membentuk
potongan sticky end (ujung lengket) atau blunt end (ujung tumpul). Selanjutnya
enzim ligase DNA menggabungkan kedua molekul DNA tersebut dengan ikatan
kovalen menjadi satu molekul DNA rekombinan (Muladno 2010).
7
Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli
Ekspresi gen merupakan suatu proses transkripsi materi genetik (DNA) di
dalam sel menjadi RNA dan selanjutnya ditranslasi menjadi protein yang spesifik
(Madigan et al. 2009). Bakteri yang banyak digunakan pada ekspresi gen untuk
produksi protein adalah E. coli. Hal ini disebabkan pertumbuhan E. coli yang cepat,
pengulturan yang mudah, stabil dalam laboratorium, dapat mengekspresikan
protein asing, dan dapat menoleransi protein asing yang diekspresikan.
Pertumbuhan E. coli yang cepat menjadi salah satu hal yang penting produksi
protein yang maksimal (Lodge et al. 2007).
Gen-gen pada E. coli yang bertanggung jawab dalam ekspresi gen, pada
umumnya diorganisasikan dalam struktur operon. Suatu operon adalah organisasi
beberapa gen struktural yang ekspresinya dikendalikan oleh satu promotor yang
sama. Sebagai contoh adalah operon lac yaitu operon yang mengendalikan
kemampuan metabolisme laktosa pada bakteri E. coli. Dalam operon lac terdapat
tiga macam gen struktural yang mengode gen protein yang berbeda. Gen struktural
ini akan ditranskripsi bersama-sama menjadi satu untuaian mRNA. Proses
transkripsi dikendalikan oleh satu promotor yang sama. Aktivitas promotor akan
diatur oleh gen represor (lacI) yang mengode protein represor. Operator adalah
bagian integral dalam promotor lac yang merupakan tempat pelekatan molekul
protein represor (Yuwono 2005). Konsep ini dikembangkan dalam DNA
rekombinan dengan menyisipkan DNA target pada bagian downstream promotor
yang selanjutnya akan akan ditranslasi menjadi protein.
Ekspresi gen dalam sel prokariot seperti E. coli diinduksi dengan isopropyls-D-thiogalactopyranoside (IPTG). IPTG akan berikatan dengan protein represor
sehingga tidak terjadi interaksi antara protein represor dengan operator. Hal ini
mengakibatkan RNA polimerase dapat berikatan dengan promoter yang selanjutnya
dapat memulai transkripsi dan translasi protein yang diinginkan. Jika tidak terdapat
suatu induser (IPTG) maka protein represor akan berikatan dengan operator dan
mencegah RNA polimerase untuk dapat mentranskripsi gen asing sehingga tidak
dapat ditranslasi menjadi suatu protein rekombinan (Snustad dan Simmons 2011).
Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal
Antibodi poliklonal adalah antibodi yang dapat diperoleh dari hasil
hiperimunisasi. Hiperimunisasi merupakan imunisasi yang dilakukan secara
sengaja terhadap hewan dengan suatu antigen spesifik. Hewan yang sering
digunakan untuk produksi antibodi poliklonal antara lain, ayam, domba, marmot,
hamster, kuda, tikus, dan kambing. Pemilihan hewan harus berdasarkan pada: 1)
jumlah antibodi yang dibutuhkan, 2) hubungan antara donor antigen dan resipien
penghasil antibodi (secara umum hubungan filogenetik yang lebih jauh,
mempunyai potensi yang lebih baik untuk respon antibodi titer tinggi), 3)
karakteristik penting antibodi yang akan dibuat. Beberapa manfaat antibodi
poliklonal antara lain: 1) antibodi poliklonal mampu mengenali banyak epitop,
sehingga antibodi poliklonal lebih toleran terhadap perubahan kecil di alam, 2)
antibodi poliklonal dapat dihasilkan pada berbagai spesies, antara lain kelinci,
domba, kambing, dan ayam, 3) antibodi poliklonal kadang-kadang digunakan
8
ketika antigen alami pada spesies tak teruji tidak diketahui. Antibodi terdiri dari
unit dasar yang disebut imunoglobulin (Burry 2010).
Imunisasi dapat dilakukan dengan mengemulsikan antigen dengan adjuvan.
Salah satunya adalah Freund’s adjuvan yang terdiri atas adjuvan Freund lengkap
(Freund adjuvant complete, FAC) dan adjuvan Freund tidak lengkap (Freund
adjuvant incomplete, FAI). FAC adalah pengemulsi air-dalam-minyak yang
mengandung surfaktan mannide monoleate dan ekstrak Mycobacterium
tuberculosis dan M. butyricum yang memiliki sisi aktif muramil dipeptida (nacetylmuramyl-L-alanyl-D-isoglutamin). Muramil dipeptida berperan untuk merangsang
fungsi makrofag dan respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Adjuvan ini
memiliki tingkat toksisitas yang tinggi dan sebagian besar hanya diberikan untuk
satu kali penyuntikan. Rute penyuntikan terbaik melalui subkutan atau intradermal.
FAI tidak mengandung ekstrak Mycobacterium tuberculosis dan M. butyricum
sehingga efektifitas dalam merangsang pembentukan antibodi lebih rendah
dibandingkan dengan FAC, namun FAI memiliki tingkat toksisitas yang lebih
rendah. Kombinasi penggunaan kedua adjuvan tersebut dapat memberikan produksi
antibodi yang optimal (Pohanka 2009).
Imunoglobulin (Ig) merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum
memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin
secara kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua
rantai berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan
memiliki reaksi yang spesifik. Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan
sifat-sifat dasarnya berupa derajat kelarutan dalam larutan garam, muatan
elektrostatik, berat molekul, dan struktur antigeniknya. Terdapat lima golongan
imunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig E dan Ig D. Diantara lima golongan
imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan imunoglobulin yang umum digunakan
dalam produksi bahan biologis untuk imunodiagnostik. Hal tersebut dikarenakan
Ig G memiliki persentase jumlah paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum
normal dibandingkan dengan Ig M (antibodi pertama yang muncul dalam respon
primer), Ig A, Ig E, dan Ig D. Ig G memiliki struktur monomer dengan berat
molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder
(Guyton dan Hall 2007).
Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas
dua rantai berat identik serta dua rantai ringan. Rantai berat dan rantai ringan
polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel
(hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki bagian
konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel. Variabel (v) atau
bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki fungsi khusus untuk
melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan menentukan sifat
biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G dalam jaringan,
pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada kompleks
komplemen, kemudahan Ig G dalam melewati membran, dan beberapa sifat
biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007).
Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan
Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai
banyak kegunaan, diantaranya untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit
9
tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus
tumbuhan dalam tubuh serangga vektor, dan mengetahui hubungan kekerabatan
antar virus (Agrios 2005). Metode deteksi dan identifikasi virus secara serologi
yang banyak diaplikasikan diantaranya adalah agarose gel precipitation test
(AGPT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dan dot blot
immunoblotting assay (DBIA).
Agarose gel precipitation test (AGPT) merupakan metode deteksi yang
termasuk deteksi konvensional namun masih banyak digunakan sampai saat ini.
AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur
titer antigen atau antibodi. Prinsip pengujian ini adalah pergerakan molekul antibodi
dan antigen melalui pori agarosa yang diletakkan mendatar pada tempat-tempat
dengan jarak yang beraturan dan saling berdifusi sehingga terjadi hubungan tarik
menarik antara molekul-molekul tersebut dalam agarosa. Setelah sampai pada
lokasi tertentu, kedua molekul-molekul tersebut akan saling bertemu dan reaksi
antara antigen dengan antibodi ini ditunjukkan oleh terbentuknya garis presipitasi
berupa garis putih yang tampak pada tempat gelap (Hull 2014).
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu teknik
deteksi serologi yang saat ini banyak digunakan untuk mendeteksi virus dan
patogen tanaman lainnya (Agrios 2005). Prinsip dari teknik ini adalah terbentuknya
kompleks antigen-antibodi yang teradsorpsi ke sumur plat mikrotiter yang terbuat
dari bahan polistirena. Keunggulan deteksi serologi dengan ELISA untuk virus
tumbuhan di antaranya virus dapat terdeteksi walaupun dalam konsentrasi yang
rendah (1-10 ng mL-1), antibodi yang digunakan sangat sedikit, metode ini dapat
digunakan untuk deteksi virus dalam skala besar, dan hasil deteksi dapat diukur
secara kuantitatif (Djikstra dan De Jager 1998).
Pada umumnya ELISA dapat dibagi menjadi 2 yaitu direct double antibody
sandwich ELISA (DAS-ELISA) dan indirect ELISA (I-ELISA). Perbedaan utama
DAS ELISA dan I-ELISA terletak pada urutan peletakan antigen (sampel virus).
Pada metode DAS-ELISA, antigen diletakkan setelah antibodi primer. Antibodi
sekunder diletakkan setelah antigen. DAS-ELISA memerlukan antibodi sekunder
yang spesifik untuk antigen yang dideteksi. Pada metode I-ELISA, antigen
diletakkan terlebih dahulu kemudian antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan
setelah antibodi primer. Hasil deteksi dikatakan positif apabila terjadi perubahan
warna menjadi kuning pada sumuran plat mikrotiter setelah pemberian enzim
substrat. DAS-ELISA sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, namun
penggunaannya dalam program indexing memiliki masalah karena spesifikasinya
yang tinggi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan
serologi antara virus lebih stabil (Burns 2010).
Dot blot immunobinding assay (DBIA). DBIA merupakan uji serologi yang
memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dan prosedur yang sangat sederhana.
Antibodi dan sampel tanaman yang diuji diblot pada kertas membran nitroselulosa.
DBIA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan dengan
jumlah sampel yang ada. Perubahan menjadi warna ungu pada kertas membran
menunjukkan hasil deteksi positif yang berarti terjadi ikatan yang spesifik antara
antibodi dan sampel tanaman yang diuji (Sumi et al. 2009). Dalam pengerjaannya,
teknik DBIA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus, selain itu sampel
yang sudah diblot pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang
panjang (Chang et al. 2010).
10
3 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB; Laboratorium Imunologi Veteriner
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Unit
Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB mulai
September 2014 hingga Maret 2016.
Metode Penelitian
Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR
Ekstraksi RNA total. Isolat SCSMV asal Pasuruan diperoleh dari koleksi
Laboratorium Virologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. RNA total diisolasi
dari 0.1 g daun terinfeksi SCSMV dengan metode Cethyl Trimethyl Ammonium
Bromide (CTAB) (Doyle dan Doyle 1990). Sebanyak 1 g daun tebu yang
menunjukkan gejala infeksi SCSMV digerus dengan nitrogen cair pada mortar
steril, setelah itu ditambahkan 500 L bufer ekstraksi. Hasil gerusan dimasukan ke
dalam tabung mikro 2 mL dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit. Pada
masa inkubasi, tabung dibolak-balik setiap 10 menit untuk membantu proses lisis.
Sebanyak 500 L fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1) ditambahkan dan
disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 10 menit. Supernatan
dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 mL dan ditambahkan kloroform:isoamil
alkohol (24:1) sebanyak 1x volume supernatan dan disentrifugasi dengan kecepatan
13 000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru
dan ditambahkan etanol 70 % sebanyak 1x volume supernatan. Tabung mikro
disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 5 menit. RNA total
dikeringanginkan dan dilarutkan dalam 50 L bufer TE.
Sintesis cDNA. RNA hasil ekstraksi disintesis menjadi cDNA berdasarkan
metode Damayanti et al. (2010). Premiks untuk sintesis cDNA dicampurkan pada
tabung mikro yang terdiri atas 2.5 µL RNA total yang berfungsi sebagai cetakan,
1 µL 10 µM 3’-primer oligo d(T)20, 0.5 µL 10 mM dNTP (deoksi ribonukleotida
triphosphat), dan air bebas nuklease ditambahkan hingga konsentrasi campuran 7
µL. Premiks didenaturasi selama 5 menit pada suhu 65 °C dan selanjutnya
didinginkan pada es. Pada premiks selanjutnya ditambahkan 2 µL 5x RT bufer, 0.5
µL RNAse Inhibitor (40 U µL-1) (Ribolock, Thermo Scientific), 1 µL 50 mM DTT
(dithiothreitol), dan 0.5 µL MMuLV (200 U µL-1) (Revertaid, Thermo Scientific),
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 42 °C dan selama 5 menit pada suhu 95 °C untuk
inaktivasi enzim.
PCR. Amplifikasi dilakukan dengan total volume premiks PCR sebanyak 25
L yang terdiri atas 1 µL cDNA, 1 µL 10 µM primer forward, 1 µL 10 µM primer
reverse, 12.5 µL Go Taq Green (Thermo Scientific), dan 9.5 µL air bebas nuklease.
Primer forward SCSMV-BamF4 (5’-AAGGATCCGGAGAGCAAGGAACACA3’) dan primer reverse SCSMV-HindR3 (5’-TATAAGCTTTCAGTGCTGGGCG
CG-3’) (Damayanti 2014, komunikasi pribadi) yang masing-masing disisipi situs
11
restriksi BamHI dan HindIII (garis bawah) digunakan untuk mengamplifikasi gen
CP-SCSMV. Amplifikasi dilakukan berdasarkan metode Damayanti et al. (2010)
menggunakan program predenaturasi pada 94 oC selama 5 menit dan dilanjutkan
dengan program amplifikasi yang terdiri atas 35 siklus dengan tahapan denaturasi
pada suhu 94 oC selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 47 oC selama 1
menit, dan pemanjangan DNA pada suhu 72 oC selama 2 menit. PCR diakhiri
dengan tahapan ekstensi pada suhu 72 oC selama 30 menit. Waktu ekstensi selama
30 menit bertujuan memperpanjang poly-(A) pada ujung amplikon sehingga
memperbesar peluang menempelnya amplikon pada vektor TA pada tahap kloning.
Visualisasi hasil PCR. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1%
dalam 0.5x TBE. Sebanyak 5 L penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific) dan 5 L
DNA hasil PCR masing-masing dimasukkan ke dalam sumur gel dan
dielektroforesis selama 50 menit pada tegangan 50 V. Gel selanjutnya direndam
pada 0.1% etidium bromida selama 15 menit dan air steril selama 5 menit. Gel
kemudian divisualisasi di bawah UV transluminator.
Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli
Sel kompeten merupakan sel bakteri yang digunakan dalam proses
transformasi plasmid pada tahapan kloning (E. coli JM107) dan subkloning (E. coli
BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS). Pembuatan sel kompeten dilakukan
berdasarkan metode Sambrook dan Russel (2001). Ketiga strain E. coli masingmasing dikultur dalam 5 mL media LB dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan
150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 oC. Sebanyak 300 L hasil kultur ditambahkan
ke dalam 60 mL media luria bertani (LB) dan diinkubasi bergoyang dengan
kecepatan 150 rpm pada suhu 37 oC hingga nilai OD600 = 0.2-0.25. Hasil kultur
kedua kemudian dipindahkan ke tabung mikro sebanyak 2 mL dan disentrifugasi
dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang
dan pelet bakteri yang terbentuk diresuspensi dengan menggunakan 1 mL 50 mM
CaCl2 dan diinkubasi di dalam wadah berisi es selama 30 menit. Setelah diinkubasi,
bakteri disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 oC.
Pelet diresuspensi dengan 50 mM CaCl2 20% gliserol sebanyak 50 µL. Suspensi
tersebut disimpan di dalam lemari es suhu -80 oC untuk digunakan dalam proses
transformasi.
Kloning Gen CP-SCSMV pada pTZ57R/T
Kloning merupakan teknik untuk menggabu
PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL
Sugarcane streak mosaic virus MENGGUNAKAN ANTIGEN
PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI
GEN PADA Escherichia coli
HAMDAYANTY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Antiserum
Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein
Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Hamdayanty
NIM A352130051
iv
v
RINGKASAN
HAMDAYANTY. Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus
Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada
Escherichia coli. Dibimbing oleh TRI ASMIRA DAMAYANTI dan SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT.
Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah salah satu virus penting
penyebab gejala mosaik bergaris pada tanaman tebu di Indonesia saat ini. Penyakit
SCSMV dapat menyebar dengan cepat karena dapat menular secara mekanis
melalui pisau potong saat penyiapan atau pemanenan bagal dan bersifat tular bagal.
Antiserum komersial untuk mendeteksi dan memonitor perkembangan SCSMV di
lapangan belum tersedia. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat
dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu
bebas virus. Penelitian ini bertujuan memproduksi antiserum poliklonal
menggunakan antigen protein selubung SCSMV (CP-SCSMV) hasil ekspresi gen
pada bakteri Escherichia coli.
Gen CP-SCSMV diamplifikasi dengan RT-PCR menggunakan primer
spesifik gen CP yang memiliki ujung situs enzim restriksi BamHI dan HindIII,
kemudian amplikon dikloning pada vektor kloning pTZ57R/T dan dikonfirmasi
melalui koloni PCR, isolasi plasmid, dan perunutan DNA. CP-SCSMV selanjutnya
disubkloning ke vektor ekspresi pET-28a pada situs enzim restriksi BamHI dan
HindIII membentuk rekombinan pET-SCSMV dan ditransformasi pada 2 strain
bakteri ekspresi yaitu E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Optimasi
ekspresi protein dilakukan terhadap konsentrasi IPTG (0.25, 0.50, 0.75, dan 1.0
mM), suhu inkubasi (25, 30, dan 37 ºC), dan waktu panen setelah diinduksi IPTG
(3, 6, 9, 12, dan 18 jam). Protein hasil ekspresi selanjutnya dipurifikasi dan
digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum poliklonal SCSMV pada
kelinci strain New Zealand. Antiserum yang dihasilkan selanjutnya diuji
sensitivitas dan selektivitasnya dalam mendeteksi SCSMV dengan 3 metode deteksi
serologi yaitu AGPT, I-ELISA, dan DBIA.
Gen CP-SCSMV berhasil diamplifikasi dengan primer spesifik CP-SCSMV.
Gen CP-SCSMV berukuran 855 pb dan mengode 285 asam amino. Homologi
nukleotida dan asam amino diantara 3 klon CP-SCSMV masing-masing mencapai
99.7% dan 100%. CP-SCSMV memiliki homologi sikuen nukleotida dan asam
amino tertinggi masing-masing dengan isolat Indonesia (97.3%) dan Cina (98.9%).
CP-SCSMV berhasil disubkloning pada vektor ekspresi dan terekspresi pada fraksi
pelet (insoluble) bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Analisis
SDS-PAGE menunjukkan pita protein yang berhasil terekspresi berukuran ±35.4
kDa yang merupakan fusi antara protein vektor ekspresi dan CP-SCSMV. Ekspresi
gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 25 oC dengan konsentrasi
IPTG 0.25 mM dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG pada E. coli BL21(DE3)
sedangkan pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS, ekspresi gen CP-SCSMV
optimal didapatkan pada suhu inkubasi 30 oC dengan konsentrasi IPTG 0.25 mM
IPTG, dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG. Ekspresi gen protein rekombinan
CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dipengaruhi
oleh faktor suhu dan waktu inkubasi. Peningkatan konsentrasi IPTG dan waktu
vi
inkubasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan ekspresi gen CPSCSMV.
Antiserum yang dihasilkan dari 2 ekor kelinci adalah ±72.5 mL. Antiserum
SCSMV tidak dapat mendeteksi SCSMV dengan metode AGPT. Sensitivitas
antiserum pada metode I-ELISA mencapai pengenceran antiserum 1:1000 dan
pengenceran antigen 1:100. Uji serologi dengan metode DBIA lebih sensitif
dibandingkan dengan deteksi I-ELISA yang ditunjukkan dengan sensitivitas
antiserum yang mencapai 1:10 000. Antiserum poliklonal SCSMV yang diproduksi
juga menunjukkan selektivitas yang cukup baik yang ditandai dengan tidak
terdeteksinya SCMV pada metode I-ELISA.
Antiserum SCSMV hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk deteksi
SCSMV secara serologi untuk memonitor perkembangan SCSMV di lapangan.
Antiserum SCSMV ini juga dapat digunakan untuk deteksi awal SCSMV,
khususnya pada kebun induk tebu sehingga diharapakan dapat memberi peran yang
cukup besar dalam penyediaan bagal tebu bebas virus. Hal ini diharapkan dapat
mencegah penyebaran SCSMV yang lebih luas. Pengembangan metode produksi
antiserum dengan mengunakan protein rekombinan hasil ekspresi pada E. coli
memberi peluang yang besar dalam produksi antiserum dalam jumlah yang besar
dan kualitas yang baik.
Kata kunci : deteksi serologi, imunogen, kloning, Potyviridae, tebu
vii
SUMMARY
HAMDAYANTY. Production of Sugarcane streak mosaic virus Polyclonal
Antiserum Using Recombinant Coat Protein Antigen Expressed in Escherichia coli.
Supervised by TRI ASMIRA DAMAYANTI and SRI HENDRASTUTI
HIDAYAT
Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) is one of an important virus causing
streak mosaic disease in sugarcane. The virus spreads rapidly since it is easily
transmitted mechanically through cutting knives during preparation of planting
materials or harvesting and it’s a sett-borne virus. Antiserum for routine detection
and to monitor the disease development in the field is not available yet
commercially. An effort to produce antiserum is necessary to detect SCSMV
especially to provide virus-free setts. The research was conducted to produce
SCSMV polyclonal antiserum using expressed of SCSMV coat protein (SCSMVCP) gene in Escherichia coli as antigen.
SCSMV-CP gene was amplified by RT-PCR using specific primers for CP
gene with BamHI and HindIII restriction enzyme sites at the end of primers,
followed by cloning the amplicon into pTZ57R/T and confirmation the insert by
PCR colony, plasmid isolation, and DNA sequencing. Subsequently, the SCSMVCP was subcloned into pET-28a vector expression in the BamHI and HindIII
restriction site and the plasmid was transformed into two expression bacteria, i.e.
E. coli BL21(DE3) and Rosetta-gami(DE3)pLysS. The concentration of IPTG
(0.25, 0.50, 0.75, and 1.0 mM), incubation temperature (25, 30, and 37 ºC), and
bacterial harvesting time (3, 6, 9, 12, and 18 h) after IPTG induction were optimized
to find the best condition for protein expression. Expressed protein is purified and
used as antigene to produce polyclonal antiserum of SCSMV on New Zealand
rabbits. Sensitivity and selectivity of recombinant antiserum to detect SCSMV were
examined for serological test such as AGPT, I-ELISA, and DBIA.
SCSMV-CP gene was succesfully amplified by specific primer for SCSMVCP. The SCSMV-CP sized 855 bp and encoded 285 amino acids. The homology of
nucleotide and amino acid sequences among three of pTZ-SCSMV-CP clones are
99.7% and 100%. It showed the highest nucleotide and amino acid homology with
isolate from Indonesia (97.3%) and China (98.9%), respectively. SCSMV-CP was
successfully subcloned into vector expression and expressed in insoluble fraction
in both bacterial host. Optimal protein expression of SCSMV-CP recombinant was
obtained at temperature 25 oC with IPTG concentration 0.25 mM and harvested at
9 h after IPTG induction in E. coli BL21(DE3), while at temperature 30 oC with
IPTG concentration 0.25 mM and harvested 9 h after IPTG induction in E. coli
Rosetta(DE3)pLysS. SDS-PAGE analysis showed that SCSMV-CP recombinant
expressed as a fusion of vector and SCSMV-CP protein with size ±35.4 kDa. The
optimal condition to express the SCSMV-CP recombinant gene in E. coli
BL21(DE3) and E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS was affected by the incubation
temperature and bacterial harvesting time. Increasing of IPTG concentration and
bacterial harvesting time are not always give positive correlation with expression
of CP-SCSMV gene.
viii
The total volume of antiserum obtained from 2 immunized rabbits were ±72.5
mL. Antiserum of SCSMV unable to detect SCSMV by AGPT method. Sensitivity
of antiserum SCSMV by I-ELISA is up to 1:1000 of antiserum dilution and 1:100
of antigen dilution. Detection of SCSMV by DBIA showed more sensitive than IELISA with antiserum dilution up to 1:10 000. Antiserum of SCSMV reacted
negatively against SCMV antigen in I-ELISA method, indicating the selectivity of
SCSMV antiserum.
Antiserum resulted from this study can be used to detect SCSMV with
serological test and monitor the disease development in the field. Antiserum
SCSMV also can be used to provide a virus-free setts with early detection,
especially in mother seed sugarcane plantation. It is expected can prevent the
spreading of SCSMV. Development method for production of antiserum using
recombinant protein which is expressed in E. coli provide a great opportunities to
get an abundant antiserum with good quality.
Keywords: cloning, immunogene, Potyviridae, serological test, sugarcane
ix
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
x
xi
PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL
Sugarcane streak mosaic virus MENGGUNAKAN ANTIGEN
PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI
GEN PADA Escherichia coli
HAMDAYANTY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
xii
/
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Giyanto, MSi
xiii
xiv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat, hidayah, karunia, dan kemudahan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Produksi Antiserum Poliklonal
Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung
Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli”. Tesis ini disusun sebagai
keseluruhan rangkaian penelitian yang telah dilaksanakan pada September 2014
sampai Maret 2016 guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan
magister pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr Ir Tri
Asmira Damayanti, MAgr selaku pembimbing pertama atas segala bentuk
bimbingan, motivasi, ilmu, pengalaman, kesabaran, dan dukungan moral yang
diberikan kepada penulis dari awal penulisan hingga saat ini. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku pembimbing kedua
yang telah sabar membimbing, memberikan masukan, dukungan, dan perbaikanperbaikan dalam rangka kelancaran penyelesaian studi. Ucapan terima kasih pula
kepada Dr Ir Giyanto MSi selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan
wawasan yang diberikan untuk penyempurnaan penyusunan tesis. Secara khusus
penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada orang tua penulis
Bapak M Yusuf SE MM dan Ibu Wahida SPd, atas segala pengertian, dorongan,
semangat, dan doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan.
Ucapan terima kasih kepada Dr Ir Tri Puji Priyatno MSc atas kesediaannya
memberikan masukan untuk pengoptimalan ekspresi gen dalam penelitian ini.
Terima kasih kepada Prof Dr drh Retno D Soedjoedono MS, Dr drh Okti Nadia
Putri MSi, dan staf laboratorium Imunologi Veteriner FKH IPB atas bimbingan dan
bantuannya dalam produksi antiserum. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) yang telah membiayai pendidikan magister
tahun 2013-2015 dan Australian Centre for International Agricultural Research
(ACIAR) yang telah membiayai sebagian besar penelitian ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan penelitian
Erniawati, Syaiful Khoiri, dan Rita Kurniawati atas masukan dan bantuan yang
diberikan dalam rangka kelancaran penelitan. Terima kasih kepada Sari Nurulita,
Rizki Khaerunnisa, Prabawati HP, Susanti Mugi L, dan seluruh anggota
Laboratorium Virologi Tumbuhan atas masukan, semangat, bantuan, dan
kebersamaan yang diberikan kepada penulis selama menjalankan penelitian di
laboratorium. Terima kasih kepada keluarga besar Fitopatologi, terkhusus temanteman Fitopatologi 2013, dan teman-teman yang senantiasa memberikan bantuan,
dukungan, dan masukan dalam penulisan tesis ini.
Akhir kata penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang.
Bogor, Agustus 2016
Hamdayanty
xv
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan
3
Manfaat
3
Hipotesis
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
3
Syarat Tumbuh Tanaman Tebu
3
Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV)
4
Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan
6
Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli
7
Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal
7
Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan
8
3 BAHAN DAN METODE
10
Tempat dan Waktu
10
Metode Penelitian
10
Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR
10
Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli
11
Kloning Gen CP-SCSMV pada pTZ57R/T
11
Ekspresi Gen CP-SCSMV pada Bakteri Ekspresi
15
Produksi Antiserum SCSMV
16
Pengujian Antiserum SCSMV
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Amplifikasi Gen CP-SCSMV dan Kloning CP-SCSMV pada pTZ57R/T 19
Subkloning Gen CP- SCSMV pada pET-28a
21
Ekspresi Gen CP-SCSMV Rekombinan pada Bakteri Ekspresi
23
Produksi Antiserum SCSMV
26
Penggunaan Antiserum Rekombinan SCSMV dalam Deteksi Serologi
27
Pembahasan Umum
30
5 SIMPULAN DAN SARAN
32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
52
xvi
DAFTAR TABEL
1 Komposisi gel SDS-PAGE
15
2 Homologi sikuen nukleotida dan asam amino CP-SCSMV_Klon_2
dengan CP-SCSMV hasil kloning lainnya dan CP-SCSMV dari GenBank
20
3 Tingkat ekspresi protein rekombinan CP-SCSMV pada bakteri E. coli
BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS pada suhu, konsentrasi
IPTG, dan waktu inkubasi setelah pemberian IPTG yang berbeda
24
4 Nilai absorbansi ELISA (NAE) hasil I-ELISA menggunakan serum yang
diperoleh dari waktu pengambilan darah yang berbeda
27
5 Sensitivitas antiserum rekombinan poliklonal SCSMV dalam I-ELISA
pada berbagai tingkat pengenceran antigen SCSMV
28
6 Selektivitas antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCMV
29
DAFTAR GAMBAR
1 Organisasi genom SCSMV
5
2 Vektor kloning pTZ57R/T
12
3 Vektor ekspresi pET-28a (Novagen 1998)
14
4 Visualisasi hasil amplifikasi gen CP-SCSMV
19
5 Konfirmasi transforman hasil TA-kloning
20
6 Visualisasi 8 klon DNA hasil PCR koloni pET-SCSMV
21
7 Ekspektasi fusi protein pET-28a (
) dan CP-SCSMV (
)
22
8 Protein rekombinan pET-SCSMV hasil purifikasi dari E. coli BL21
(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS
25
9 Uji sensitivitas dan selektivitas antiserum SCSMV dengan deteksi
serologi DBIA
30
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Hasil transformasi pTZ-SCSMV pada E. coli strain JM107 yang
ditumbuhkan pada media LBA-Ampisilin
41
Restriksi 5 klon pTZ-SCSMV dengan BamHI dan HindIII yang menghasilkan 2 pita DNA yaitu pita DNA berukuran ±850 pb yang merupakan ukuran CP-SCSMV dan ±2886 pb yang merupakan ukuran
pTZ57R/T
41
Runutan basa nukleotida CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat
CP-SCSMV pada GenBank
42
4 Runutan asam amino CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat CPSCSMV pada GenBank
45
1
2
3
5
Susunan asam nukleat pTZ-SCSMV yang benar dan CP-SCSMV yang
memiliki orientasi terbalik
47
6 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli
BL21(DE3) dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi IPTG berbeda
48
Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli
Rosetta-gami(DE3)pLysS dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi
IPTG berbeda
49
Reaksi antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCSMV pada
metode AGPT
50
Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat
pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 1)
50
10 Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat
pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 2)
51
7
8
9
xviii
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) merupakan virus yang
menyebabkan mosaik bergaris (streak mosaic) pada tebu. SCSMV termasuk dalam
famili Potyviridae, genus Susmovirus (Xu et al. 2010), dan memiliki hubungan
kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum mosaic virus (King et
al. 2012). SCSMV pertama kali dilaporkan oleh Hall et al. (1998) menginfeksi klon
tebu asal Pakistan dan selanjutnya dilaporkan telah menginfeksi tanaman tebu di
India, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Cina (Hema et al. 1999, Chatenet et al.
2005), dan Indonesia (Damayanti dan Putra 2011).
SCSMV merupakan virus yang relatif baru di Indonesia yang dilaporkan
menginfeksi klon-klon tebu komersial, terutama klon PS 864, di Jawa Tengah dan
Jawa Timur pada tahun 2007. Klon PS 864 merupakan klon unggulan yang banyak
dikembangkan oleh petani dan pabrik gula karena anakan banyak, serempak,
rendemen gula tinggi, dan tahan terhadap infeksi Sugarcane mosaic virus (SCMV)
(Damayanti et al. 2011). Munculnya penyakit mosaik bergaris oleh SCSMV yang
mampu menginfeksi klon PS 864 merupakan masalah baru yang dapat menurunkan
produktivitas tebu di Indonesia. Penurunan hasil produksi brangkasan tebu dan
rendemen gula pada tingkat insidensi penyakit SCSMV 50% berturut-turut berkisar
16 – 17% dan 19 – 21% (Asnawi 2009). Tingginya penurunan hasil produksi gula
akibat infeksi SCSMV pada tebu menjadi salah satu kendala dalam mewujudkan
program peningkatan produksi gula untuk mencapai swasembada gula konsumsi
pada tahun 2009.
Infeksi SCSMV menyebar sangat cepat karena SCSMV bersifat tular bagal,
penularannya difasilitasi melalui pisau potong yang digunakan saat penyiapan bagal
sebelum tanam atau saat panen (Damayanti dan Putra 2011). Upaya pengendalian
virus tular bahan perbanyakan seperti SCSMV ini ialah dengan menanam bagal
bebas virus. Oleh karena itu, sistem deteksi yang mudah dan akurat tinggi
diperlukan untuk deteksi rutin dalam penyediaan bagal tebu yang sehat.
Salah satu metode untuk mendeteksi virus dalam jumlah sampel tanaman
yang banyak dan hasil yang akurat adalah menggunakan uji serologi. Uji serologi
yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi virus antara lain mass spectrometry
analyses, double-difusion test, dot blot immunoblotting assay (DBIA), tissue-blot
immunoblotting assay (TBIA), western blotting, agarose gel precipitation test
(AGPT), dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Wilson 2014).
Keberhasilan dan ketelitian uji serologi sangat tergantung pada ketersediaan
antiserum dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Belum tersedianya
antiserum spesifik SCSMV secara komersial menjadi salah satu kendala deteksi
SCSMV secara serologi. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat
dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu
bebas virus dan monitoring penyakit di lapangan.
Langkah awal dalam penyediaan antiserum adalah mendapatkan siapan virus
yang akan digunakan sebagai antigen dalam produksi antiserum. Siapan virus yang
dipurifikasi dari tanaman terinfeksi untuk digunakan sebagai antigen dapat
menghasilkan antiserum yang bersifat tidak spesifik sehingga dapat terjadi reaksi
2
silang dengan protein tanaman inang saat digunakan untuk deteksi (Li et al. 1998).
Kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode
penyediaan antigen melalui ekspresi suatu gen tertentu yang disisipkan dalam
plasmid vektor ekspresi pada Escherichia coli. Metode penyiapan antigen untuk
produksi antiserum melalui teknik tersebut telah berhasil dilaporkan untuk beberapa
virus diantaranya Sugarcane streak mosaic virus (Hema et al. 2003), Grapevine
leafroll virus 2 (Ling et al. 2007), Chrysanthemum virus B (Singh et al. 2011),
Blackeye cowpea mosaic virus (Koohapitagtam dan Nualsri 2013), Potato virus X
dan Potato leaf roll virus (Abdel-Salam 2013). Keunggulan penyediaan antigen
dengan metode ini antara lain tersedianya antigen dalam jumlah yang mencukupi
setiap saat apabila diperlukan untuk produksi antiserum (Cotillon et al. 2005), dan
cocok untuk penyediaan antigen dari virus yang memiliki konsentrasi yang rendah
dalam jaringan tanaman, virus yang menginfeksi jaringan tanaman yang keras, dan
distribusinya terbatas dalam jaringan tanaman (floem-limited) (Ling et al. 2007).
Berdasarkan pertimbangan keunggulan di atas maka perlu diupayakan
produksi antigen SCSMV dengan memanfaatkan teknologi ekspresi gen pada
bakteri ekspresi yang selanjutnya digunakan untuk produksi antiserum. Hingga
tahun 2016, belum terdapat laporan mengenai pemanfaatan metode ekspresi gen
untuk penyiapan antigen virus tanaman dalam rangka produksi antiserum di
Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan metode ekspresi gen perlu dikembangkan
untuk menyediakan antiserum yang mencukupi yang sangat diperlukan untuk
mewujudkan pendeteksian SCSMV yang cepat dan akurat sehingga diharapkan
dapat mengurangi penyebaran SCSMV khususnya melalui bagal tebu terinfeksi
virus.
Perumusan Masalah
Penyebaran SCSMV yang cepat pada perkebunan tebu di Indonesia
disebabkan oleh penggunaan bahan perbanyakan vegetatif tebu yang berasal dari
tanaman induk yang terinfeksi SCSMV. Salah satu upaya mencegah penyebaran
SCSMV adalah dengan menggunakan bahan perbanyakan tebu yang bebas virus.
Metode deteksi yang cepat dan akurat diperlukan untuk menentukan tanaman induk
tebu yang bebas SCSMV, khususnya untuk mendeteksi SCSMV dalam jumlah
sampel yang banyak. Deteksi serologi merupakan teknik yang dapat memenuhi
kriteria tersebut. Antiserum merupakan perangkat penting yang dibutuhkan dalam
aplikasi deteksi serologi sehingga ketersediaan antiserum sangat diperlukan untuk
mendeteksi SCSMV. Antigen SCSMV dengan konsentrasi yang tinggi dan spesifik
diperlukan untuk produksi antiserum dengan kualitas yang baik. Kloning CPSCSMV pada plasmid vektor ekspresi dan ekspresi gen CP-SCSMV pada bakteri
ekspresi E. coli menjanjikan tersedianya antigen dalam jumlah yang cukup untuk
produksi antiserum yang spesifik SCSMV.
3
Tujuan
1.
2.
3.
4.
Melakukan konstruksi dan memperoleh klon rekombinan CP-SCSMV.
Memproduksi protein rekombinan CP-SCSMV melalui teknologi ekspresi gen
pada bakteri ekspresi.
Memproduksi antiserum poliklonal CP-SCSMV dengan antigen hasil ekspresi
gen CP-SCSMV.
Mendapatkan titer antiserum yang optimal dalam mendeteksi SCSMV melalui
metode serologi AGPT, I-ELISA, dan DBIA
Manfaat
Antiserum CP-SCSMV yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan
dalam deteksi rutin SCSMV secara serologi pada bahan perbanyakan vegetatif
bagal dan sampel lapangan untuk pemantauan distribusi SCSMV
Hipotesis
1.
2.
3.
4.
Gen CP-SCSMV dapat disisipkan pada plasmid vektor ekspresi sehingga
diperoleh plasmid rekombinan CP-SCSMV.
Gen CP-SCSMV dapat diekspresikan pada bakteri ekspresi sehingga
diperoleh protein rekombinan CP-SCSMV.
Protein rekombinan CP-SCSMV dapat digunakan sebagai antigen untuk
produksi antiserum poliklonal SCSMV.
Salah satu titer antiserum poliklonal SCSMV yang diuji merupakan titer
antiserum yang optimal untuk mendeteksi SCSMV pada masing-masing
metode serologi yang digunakan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Syarat Tumbuh Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam famili Gramineae atau
Poaceae yaitu jenis rumput-rumputan tahunan dengan tinggi sekitar 2-4 m dan
diameter 5 cm. Persyaratan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu
adalah hujan yang merata hingga tanaman berumur 8 bulan. Kebutuhan ini
berkurang sampai menjelang panen. Tanaman tebu tumbuh baik pada daerah
beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan tebu > 70%
dan suhu udara berkisar antara 28-34 oC. Ketinggian tempat yang baik untuk
pertumbuhan tebu adalah 5-500 m dpl. Suhu udara yang tinggi diikuti dengan
kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi merupakan kondisi yang sesuai bagi
pertumbuhan vegetatif tanaman (Moore dan Bootha 2014).
Tebu dapat tumbuh pada ketinggian 0-1300 m di Indonesia. Tanaman tebu
sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari
4
4.5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman.
Pemberian kapur pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu.
Hasil tebu akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara
makro sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi
dari batas kritisnya (James 2004).
Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung.
Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman. Secara
komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam bentuk
bagal. Rata-rata setiap 1 ha kebun bibit tebu di Jawa dapat memenuhi kebutuhan 8
ha kebun tebu giling, sedangkan 1 ha kebun bibit tebu di luar Jawa hanya dapat
memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat benih 2008). Tanaman
tebu dapat dipanen dalam waktu kurang lebih 1 tahun (James 2004).
Secara ekonomi tebu merupakan tanaman yang penting, karena merupakan
bahan baku utama pembuatan gula pasir. Selain itu industri furfural, dextran, dan
alkohol juga sangat tergantung pada tanaman ini. Produk samping industri gula
dapat dikembangkan menjadi bahan nutrisi pakan ternak, bahan makanan,
pembuatan kertas dan sebagai sumber energi bahan bakar (Moore dan Bootha
2014).
Salah satu faktor pembatas produksi gula adalah infeksi penyakit pada
tanaman tebu. Penyakit yang dapat menginfeksi tanaman tebu diantaranya karat
(Puccinia kuehnii dan P. melanocephala), akar merah (Colletotrichum falcatum),
bercak coklat (Cercospora koepkei dan Helminthosporium sacchari), bercak cincin
(Leptosphaeria sacchari), dan layu (Cephalosporium sacchari) (Sathe et al. 2009).
Penyakit yang disebabkan oleh patogen dari kelompok virus yang menyerang
tanaman tebu adalah Sugarcane mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic
virus (SCSMV) (Rao et al. 2006), dan Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV)
(Viswanathan et al. 2008).
Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV)
SCSMV pertama kali ditemukan oleh Hall et al. (1998) dari tanaman tebu
asal Pakistan yang diekspor ke USA. Selanjutnya virus tersebut dilaporkan oleh
Hema et al. (1999) telah menginfeksi tebu di India. Chatenet et al. (2005)
melaporkan bahwa beberapa sampel tanaman tebu yang berasal dari Bangladesh,
India, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam positif terinfeksi SCSMV. Pada
tahun 2011, SCSMV telah menginfeksi pertanaman tebu di Cina yang diketahui
berasal dari asesi bahan perbanyakan tebu yang diimpor India. Di luar Asia,
SCSMV juga telah dilaporkan menginfeksi koleksi bahan perbanyakan tebu di
Colombia (Cardona et al. 2006).
SCSMV tergolong virus baru di Indonesia yang pertama kali dilaporkan pada
tanaman tebu di Jawa tahun 2007 di 59 kebun tebu dengan intensitas serangan 062%. Gejala mosaik yang mirip dengan mosaik bergaris ditemukan di Jawa Tengah
(PG Mojo dan Sragi), Yogyakarta (PG Madukismo), dan Jawa Timur (PG Tulangan
dan Kebon Agung). SCSMV dilaporkan menginfeksi klon-klon tebu komersial dan
dominan menginfeksi klon PS 864. Klon PS 864 saat ini merupakan klon unggulan
yang banyak dikembangkan oleh para petani dan pabrik gula karena anakannya
banyak dan rendemennya tinggi (Damayanti dan Putra 2011).
5
Nama Sugarcane streak mosaic virus pertama kali diperkenalkan oleh Hall et
al. pada tahun 1998 dan dikelompokkan dalam famili Potyviridae. SCSMV
memiliki hubungan kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum
mosaic virus (King et al. 2012). SCSMV memiliki partikel berbentuk filamen lentur
berukuran 890 x 15 nm. Asam nukleat SCSMV berupa single-sranded RNA (RNA
utas tunggal), positive sense, berukuran ±10 kb, dan dienkapsidasi oleh protein
selubung dengan berat molekul 40 kDa (Hema et al. 1999; Hema et al. 2003;
Damayanti dan Putra 2011).
Genom SCSMV mengodekan poliprotein yang tersusun atas 3131 asam
amino dan ditranslasi membentuk 10 protein utama yaitu P1, HC-Pro, P3, 6K1, CI,
6K2, VPg, NIa-Pro, NIb, dan CP (Xu et al. 2010, Li et al. 2011). Organisasi genom
SCSMV dalam RNA untuk produksi protein adalah P1 (1–361 nt), HC-Pro (362–
831 nt), P3 (832–1161 nt), 6K1 (1162–1210 nt), CI (1211–1866 nt), 6K2 (1867–
1914 nt); VPg (1915–2112 nt), NIa-Pro (2113–2348 nt), NIb (2349–2850 nt), dan
CP (2851–3131 nt) (Prameswari et al. 2013) (Gambar 1). Thermal inactivation
point (TIP) yaitu suhu yang dapat menginaktifkan virus berkisar 55-60 oC
(Damayanti et a.l 2010), dilution end point (DEP) atau titik batas pengenceran
SCSMV untuk dapat menimbulkan penyakit adalah 10-4 – 10-5, longevity in vitro
(LIV) atau ketahanan in vitro virus yaitu waktu virus selama dalam cairan perasan
masih bersifat infeksius adalah 1-2 hari pada suhu ruang dan 8-9 hari pada suhu
4 oC (Hema et al. 1999).
P1
HC-Pro
P3
6
K
1
CI
6
K
2
VPg
NIaPro
Nib
CP
Gambar 1 Organisasi genom SCSMV. P1 (1–361 nt), helper component proteinase
(HC-Pro) (362–831 nt), P3 (832–1161 nt), 6K1 (1162–1210 nt),
cytoplasmic inclution (CI) (1211–1866 nt), 6K2 (1867–1914 nt); virus
protein genome (VPg) (1915–2112 nt), nuclear inclusion a protease
(NIa-Pro) (2113–2348 nt), nuclear inclusion b (NIb) (2349–2850 nt),
dan coat protein (CP) (2851–3131 nt) (Prameswari et al. 2013)
Gejala khas infeksi SCSMV mirip dengan yang disebabkan oleh Sugarcane
mosaic virus (SCMV) yaitu adanya pola yang teratur antara hijau muda atau
kekuningan dan hijau normal pada helai daun (Damayanti dan Putra 2011). Gejala
SCSMV berupa mosaik bergaris dan pada beberapa infeksi yang parah
menyebabkan warna pucat pada daun, garis-garis mosaik kekuningan pada daun,
dan daun tampak lebih transparan di bawah sinar matahari dibandingkan dengan
daun yang sehat (Prabowo et al. 2014).
SCSMV dapat ditularkan secara mekanis dan vegetatif melalui bagal tebu
yang telah terinfeksi. Penularan melalui bahan vegetatif tebu ini menjadi penting
karena perbanyakan tebu sebagian besar menggunakan benih dari bagal vegetatif.
Penularan melalui pisau potong saat perbanyakan benih sebelum tanam atau saat
panen dapat menjadi sangat efisien dalam menyebarkan SCSMV. Selain tanaman
tebu, SCSMV dapat menginfeksi beberapa tanaman lain dari famili Poaceae yaitu
sorgum, jagung, dan Dactyloctenium aegypticum. Sampai saat ini belum ada
6
laporan mengenai serangga vektor yang dapat menularkan SCSMV (Damayanti dan
Putra 2011).
Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan
DNA rekombinan adalah suatu DNA hasil rekayasa yang berasal dari satu
sumber atau lebih yang tergabung ke dalam satu molekul rekombinan (Barnum
2005). Teknik penggabungan molekul DNA tersebut dikenal sebagai teknik DNA
rekombinan. DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang
merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang berupa
gen target suatu makhluk hidup. Vektor tersebut berfungsi sebagai pembawa DNA
asing yang berasal dari suatu organisme untuk dipindahkan ke dalam organisme
lain. Gen yang terkandung pada DNA rekombinan di dalam organisme resipien
diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein (Muladno 2010).
Teknologi DNA rekombinan, juga disebut gene cloning, adalah suatu istilah
yang mencakup sejumlah protokol percobaan yang bertujuan mentransfer informasi
genetik (DNA) dari suatu organisme ke organisme yang lain. Pada prinsipnya
kloning adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses
pengembangbiakan sel bakteri. Pembentukan DNA rekombinan secara umum
mengikuti prosedur sebagai berikut: (1) DNA target (DNA asing, DNA insert, DNA
klon) dari organisme donor diekstrak, dipotong secara enzimatik, kemudian
disambung dengan plasmid atau DNA vektor (cloning vector) untuk membentuk
suatu bentuk baru yang disebut molekul DNA rekombinan (rDNA), (2) DNA
rekombinan tersebut ditransfer ke dalam sel inang. Proses introduksi DNA
rekombinan ke dalam suatu sel inang atau bakteri disebut transformasi. Sel yang
digunakan dalam proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten, (3)
sel-sel bakteri tersebut dikultur dan diseleksi atau dimurnikan, kemudian diisolasi,
(4) sel-sel bakteri inang yang telah dimurnikan dan diisolasi, siap dikultur atau
dikembangbiakkan untuk memproduksi protein spesifik yang dikode oleh DNA
klon yang terkandung dalam DNA rekombinan (Glick et al. 2009).
DNA vektor memiliki karakter substansial diantaranya titik awal replikasi,
sisi penyisipan fragmen DNA asing, penanda genetik untuk seleksi bakteri
rekombinan yang mengandung plasmid dengan DNA asing, dan sinyal transkripsi
dan translasi (Yuwono et al. 2005). Salah satu DNA vektor yang dapat digunakan
dalam kloning adalah pTZ57R/T. Vektor pTZ57R/T memiliki kelebihan timin (T)
yang menggantung di ujung terbuka plasmid (T-overhang) sehingga dapat
digunakan untuk menempel pada produk PCR yang memiliki kelebihan adenin (A)
pada ujungnya. Plasmid pTZ57R/T juga termasuk plasmid high copy number yang
cocok untuk menyimpan gen insert dalam suatu inang (Thermo Scientific 2012).
Pembuatan DNA rekombinan membutuhkan bantuan dua macam enzim
untuk vektor yang tidak memiliki T-overhang, yaitu enzim endonuklease
(restriction enzyme) yang berperan sebagai pemotong molekul DNA dan enzim
ligase yang berfungsi untuk menggabungkan molekul-molekul DNA yang telah
dipotong oleh enzim restriksi (Muladno 2010, Barnum 2005). Enzim restriksi ini
memotong kedua molekul DNA tersebut pada lokasi yang sama dengan membentuk
potongan sticky end (ujung lengket) atau blunt end (ujung tumpul). Selanjutnya
enzim ligase DNA menggabungkan kedua molekul DNA tersebut dengan ikatan
kovalen menjadi satu molekul DNA rekombinan (Muladno 2010).
7
Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli
Ekspresi gen merupakan suatu proses transkripsi materi genetik (DNA) di
dalam sel menjadi RNA dan selanjutnya ditranslasi menjadi protein yang spesifik
(Madigan et al. 2009). Bakteri yang banyak digunakan pada ekspresi gen untuk
produksi protein adalah E. coli. Hal ini disebabkan pertumbuhan E. coli yang cepat,
pengulturan yang mudah, stabil dalam laboratorium, dapat mengekspresikan
protein asing, dan dapat menoleransi protein asing yang diekspresikan.
Pertumbuhan E. coli yang cepat menjadi salah satu hal yang penting produksi
protein yang maksimal (Lodge et al. 2007).
Gen-gen pada E. coli yang bertanggung jawab dalam ekspresi gen, pada
umumnya diorganisasikan dalam struktur operon. Suatu operon adalah organisasi
beberapa gen struktural yang ekspresinya dikendalikan oleh satu promotor yang
sama. Sebagai contoh adalah operon lac yaitu operon yang mengendalikan
kemampuan metabolisme laktosa pada bakteri E. coli. Dalam operon lac terdapat
tiga macam gen struktural yang mengode gen protein yang berbeda. Gen struktural
ini akan ditranskripsi bersama-sama menjadi satu untuaian mRNA. Proses
transkripsi dikendalikan oleh satu promotor yang sama. Aktivitas promotor akan
diatur oleh gen represor (lacI) yang mengode protein represor. Operator adalah
bagian integral dalam promotor lac yang merupakan tempat pelekatan molekul
protein represor (Yuwono 2005). Konsep ini dikembangkan dalam DNA
rekombinan dengan menyisipkan DNA target pada bagian downstream promotor
yang selanjutnya akan akan ditranslasi menjadi protein.
Ekspresi gen dalam sel prokariot seperti E. coli diinduksi dengan isopropyls-D-thiogalactopyranoside (IPTG). IPTG akan berikatan dengan protein represor
sehingga tidak terjadi interaksi antara protein represor dengan operator. Hal ini
mengakibatkan RNA polimerase dapat berikatan dengan promoter yang selanjutnya
dapat memulai transkripsi dan translasi protein yang diinginkan. Jika tidak terdapat
suatu induser (IPTG) maka protein represor akan berikatan dengan operator dan
mencegah RNA polimerase untuk dapat mentranskripsi gen asing sehingga tidak
dapat ditranslasi menjadi suatu protein rekombinan (Snustad dan Simmons 2011).
Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal
Antibodi poliklonal adalah antibodi yang dapat diperoleh dari hasil
hiperimunisasi. Hiperimunisasi merupakan imunisasi yang dilakukan secara
sengaja terhadap hewan dengan suatu antigen spesifik. Hewan yang sering
digunakan untuk produksi antibodi poliklonal antara lain, ayam, domba, marmot,
hamster, kuda, tikus, dan kambing. Pemilihan hewan harus berdasarkan pada: 1)
jumlah antibodi yang dibutuhkan, 2) hubungan antara donor antigen dan resipien
penghasil antibodi (secara umum hubungan filogenetik yang lebih jauh,
mempunyai potensi yang lebih baik untuk respon antibodi titer tinggi), 3)
karakteristik penting antibodi yang akan dibuat. Beberapa manfaat antibodi
poliklonal antara lain: 1) antibodi poliklonal mampu mengenali banyak epitop,
sehingga antibodi poliklonal lebih toleran terhadap perubahan kecil di alam, 2)
antibodi poliklonal dapat dihasilkan pada berbagai spesies, antara lain kelinci,
domba, kambing, dan ayam, 3) antibodi poliklonal kadang-kadang digunakan
8
ketika antigen alami pada spesies tak teruji tidak diketahui. Antibodi terdiri dari
unit dasar yang disebut imunoglobulin (Burry 2010).
Imunisasi dapat dilakukan dengan mengemulsikan antigen dengan adjuvan.
Salah satunya adalah Freund’s adjuvan yang terdiri atas adjuvan Freund lengkap
(Freund adjuvant complete, FAC) dan adjuvan Freund tidak lengkap (Freund
adjuvant incomplete, FAI). FAC adalah pengemulsi air-dalam-minyak yang
mengandung surfaktan mannide monoleate dan ekstrak Mycobacterium
tuberculosis dan M. butyricum yang memiliki sisi aktif muramil dipeptida (nacetylmuramyl-L-alanyl-D-isoglutamin). Muramil dipeptida berperan untuk merangsang
fungsi makrofag dan respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Adjuvan ini
memiliki tingkat toksisitas yang tinggi dan sebagian besar hanya diberikan untuk
satu kali penyuntikan. Rute penyuntikan terbaik melalui subkutan atau intradermal.
FAI tidak mengandung ekstrak Mycobacterium tuberculosis dan M. butyricum
sehingga efektifitas dalam merangsang pembentukan antibodi lebih rendah
dibandingkan dengan FAC, namun FAI memiliki tingkat toksisitas yang lebih
rendah. Kombinasi penggunaan kedua adjuvan tersebut dapat memberikan produksi
antibodi yang optimal (Pohanka 2009).
Imunoglobulin (Ig) merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum
memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin
secara kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua
rantai berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan
memiliki reaksi yang spesifik. Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan
sifat-sifat dasarnya berupa derajat kelarutan dalam larutan garam, muatan
elektrostatik, berat molekul, dan struktur antigeniknya. Terdapat lima golongan
imunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig E dan Ig D. Diantara lima golongan
imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan imunoglobulin yang umum digunakan
dalam produksi bahan biologis untuk imunodiagnostik. Hal tersebut dikarenakan
Ig G memiliki persentase jumlah paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum
normal dibandingkan dengan Ig M (antibodi pertama yang muncul dalam respon
primer), Ig A, Ig E, dan Ig D. Ig G memiliki struktur monomer dengan berat
molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder
(Guyton dan Hall 2007).
Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas
dua rantai berat identik serta dua rantai ringan. Rantai berat dan rantai ringan
polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel
(hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki bagian
konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel. Variabel (v) atau
bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki fungsi khusus untuk
melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan menentukan sifat
biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G dalam jaringan,
pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada kompleks
komplemen, kemudahan Ig G dalam melewati membran, dan beberapa sifat
biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007).
Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan
Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai
banyak kegunaan, diantaranya untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit
9
tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus
tumbuhan dalam tubuh serangga vektor, dan mengetahui hubungan kekerabatan
antar virus (Agrios 2005). Metode deteksi dan identifikasi virus secara serologi
yang banyak diaplikasikan diantaranya adalah agarose gel precipitation test
(AGPT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dan dot blot
immunoblotting assay (DBIA).
Agarose gel precipitation test (AGPT) merupakan metode deteksi yang
termasuk deteksi konvensional namun masih banyak digunakan sampai saat ini.
AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur
titer antigen atau antibodi. Prinsip pengujian ini adalah pergerakan molekul antibodi
dan antigen melalui pori agarosa yang diletakkan mendatar pada tempat-tempat
dengan jarak yang beraturan dan saling berdifusi sehingga terjadi hubungan tarik
menarik antara molekul-molekul tersebut dalam agarosa. Setelah sampai pada
lokasi tertentu, kedua molekul-molekul tersebut akan saling bertemu dan reaksi
antara antigen dengan antibodi ini ditunjukkan oleh terbentuknya garis presipitasi
berupa garis putih yang tampak pada tempat gelap (Hull 2014).
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu teknik
deteksi serologi yang saat ini banyak digunakan untuk mendeteksi virus dan
patogen tanaman lainnya (Agrios 2005). Prinsip dari teknik ini adalah terbentuknya
kompleks antigen-antibodi yang teradsorpsi ke sumur plat mikrotiter yang terbuat
dari bahan polistirena. Keunggulan deteksi serologi dengan ELISA untuk virus
tumbuhan di antaranya virus dapat terdeteksi walaupun dalam konsentrasi yang
rendah (1-10 ng mL-1), antibodi yang digunakan sangat sedikit, metode ini dapat
digunakan untuk deteksi virus dalam skala besar, dan hasil deteksi dapat diukur
secara kuantitatif (Djikstra dan De Jager 1998).
Pada umumnya ELISA dapat dibagi menjadi 2 yaitu direct double antibody
sandwich ELISA (DAS-ELISA) dan indirect ELISA (I-ELISA). Perbedaan utama
DAS ELISA dan I-ELISA terletak pada urutan peletakan antigen (sampel virus).
Pada metode DAS-ELISA, antigen diletakkan setelah antibodi primer. Antibodi
sekunder diletakkan setelah antigen. DAS-ELISA memerlukan antibodi sekunder
yang spesifik untuk antigen yang dideteksi. Pada metode I-ELISA, antigen
diletakkan terlebih dahulu kemudian antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan
setelah antibodi primer. Hasil deteksi dikatakan positif apabila terjadi perubahan
warna menjadi kuning pada sumuran plat mikrotiter setelah pemberian enzim
substrat. DAS-ELISA sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, namun
penggunaannya dalam program indexing memiliki masalah karena spesifikasinya
yang tinggi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan
serologi antara virus lebih stabil (Burns 2010).
Dot blot immunobinding assay (DBIA). DBIA merupakan uji serologi yang
memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dan prosedur yang sangat sederhana.
Antibodi dan sampel tanaman yang diuji diblot pada kertas membran nitroselulosa.
DBIA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan dengan
jumlah sampel yang ada. Perubahan menjadi warna ungu pada kertas membran
menunjukkan hasil deteksi positif yang berarti terjadi ikatan yang spesifik antara
antibodi dan sampel tanaman yang diuji (Sumi et al. 2009). Dalam pengerjaannya,
teknik DBIA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus, selain itu sampel
yang sudah diblot pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang
panjang (Chang et al. 2010).
10
3 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB; Laboratorium Imunologi Veteriner
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Unit
Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB mulai
September 2014 hingga Maret 2016.
Metode Penelitian
Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR
Ekstraksi RNA total. Isolat SCSMV asal Pasuruan diperoleh dari koleksi
Laboratorium Virologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. RNA total diisolasi
dari 0.1 g daun terinfeksi SCSMV dengan metode Cethyl Trimethyl Ammonium
Bromide (CTAB) (Doyle dan Doyle 1990). Sebanyak 1 g daun tebu yang
menunjukkan gejala infeksi SCSMV digerus dengan nitrogen cair pada mortar
steril, setelah itu ditambahkan 500 L bufer ekstraksi. Hasil gerusan dimasukan ke
dalam tabung mikro 2 mL dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit. Pada
masa inkubasi, tabung dibolak-balik setiap 10 menit untuk membantu proses lisis.
Sebanyak 500 L fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1) ditambahkan dan
disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 10 menit. Supernatan
dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 mL dan ditambahkan kloroform:isoamil
alkohol (24:1) sebanyak 1x volume supernatan dan disentrifugasi dengan kecepatan
13 000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru
dan ditambahkan etanol 70 % sebanyak 1x volume supernatan. Tabung mikro
disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 5 menit. RNA total
dikeringanginkan dan dilarutkan dalam 50 L bufer TE.
Sintesis cDNA. RNA hasil ekstraksi disintesis menjadi cDNA berdasarkan
metode Damayanti et al. (2010). Premiks untuk sintesis cDNA dicampurkan pada
tabung mikro yang terdiri atas 2.5 µL RNA total yang berfungsi sebagai cetakan,
1 µL 10 µM 3’-primer oligo d(T)20, 0.5 µL 10 mM dNTP (deoksi ribonukleotida
triphosphat), dan air bebas nuklease ditambahkan hingga konsentrasi campuran 7
µL. Premiks didenaturasi selama 5 menit pada suhu 65 °C dan selanjutnya
didinginkan pada es. Pada premiks selanjutnya ditambahkan 2 µL 5x RT bufer, 0.5
µL RNAse Inhibitor (40 U µL-1) (Ribolock, Thermo Scientific), 1 µL 50 mM DTT
(dithiothreitol), dan 0.5 µL MMuLV (200 U µL-1) (Revertaid, Thermo Scientific),
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 42 °C dan selama 5 menit pada suhu 95 °C untuk
inaktivasi enzim.
PCR. Amplifikasi dilakukan dengan total volume premiks PCR sebanyak 25
L yang terdiri atas 1 µL cDNA, 1 µL 10 µM primer forward, 1 µL 10 µM primer
reverse, 12.5 µL Go Taq Green (Thermo Scientific), dan 9.5 µL air bebas nuklease.
Primer forward SCSMV-BamF4 (5’-AAGGATCCGGAGAGCAAGGAACACA3’) dan primer reverse SCSMV-HindR3 (5’-TATAAGCTTTCAGTGCTGGGCG
CG-3’) (Damayanti 2014, komunikasi pribadi) yang masing-masing disisipi situs
11
restriksi BamHI dan HindIII (garis bawah) digunakan untuk mengamplifikasi gen
CP-SCSMV. Amplifikasi dilakukan berdasarkan metode Damayanti et al. (2010)
menggunakan program predenaturasi pada 94 oC selama 5 menit dan dilanjutkan
dengan program amplifikasi yang terdiri atas 35 siklus dengan tahapan denaturasi
pada suhu 94 oC selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 47 oC selama 1
menit, dan pemanjangan DNA pada suhu 72 oC selama 2 menit. PCR diakhiri
dengan tahapan ekstensi pada suhu 72 oC selama 30 menit. Waktu ekstensi selama
30 menit bertujuan memperpanjang poly-(A) pada ujung amplikon sehingga
memperbesar peluang menempelnya amplikon pada vektor TA pada tahap kloning.
Visualisasi hasil PCR. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1%
dalam 0.5x TBE. Sebanyak 5 L penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific) dan 5 L
DNA hasil PCR masing-masing dimasukkan ke dalam sumur gel dan
dielektroforesis selama 50 menit pada tegangan 50 V. Gel selanjutnya direndam
pada 0.1% etidium bromida selama 15 menit dan air steril selama 5 menit. Gel
kemudian divisualisasi di bawah UV transluminator.
Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli
Sel kompeten merupakan sel bakteri yang digunakan dalam proses
transformasi plasmid pada tahapan kloning (E. coli JM107) dan subkloning (E. coli
BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS). Pembuatan sel kompeten dilakukan
berdasarkan metode Sambrook dan Russel (2001). Ketiga strain E. coli masingmasing dikultur dalam 5 mL media LB dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan
150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 oC. Sebanyak 300 L hasil kultur ditambahkan
ke dalam 60 mL media luria bertani (LB) dan diinkubasi bergoyang dengan
kecepatan 150 rpm pada suhu 37 oC hingga nilai OD600 = 0.2-0.25. Hasil kultur
kedua kemudian dipindahkan ke tabung mikro sebanyak 2 mL dan disentrifugasi
dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang
dan pelet bakteri yang terbentuk diresuspensi dengan menggunakan 1 mL 50 mM
CaCl2 dan diinkubasi di dalam wadah berisi es selama 30 menit. Setelah diinkubasi,
bakteri disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 oC.
Pelet diresuspensi dengan 50 mM CaCl2 20% gliserol sebanyak 50 µL. Suspensi
tersebut disimpan di dalam lemari es suhu -80 oC untuk digunakan dalam proses
transformasi.
Kloning Gen CP-SCSMV pada pTZ57R/T
Kloning merupakan teknik untuk menggabu