Identifikasi Dan Ekspresi Gen Protein Selubung Pepper Vein Yellows Virus Pada Escherichia Coli

IDENTIFIKASI DAN EKSPRESI GEN PROTEIN SELUBUNG
Pepper vein yellows virus PADA Escherichia coli

RITA KURNIA APINDIATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan
Ekspresi Gen Protein Selubung Pepper vein yellows virus pada Escherichia
coli adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.


Bogor, Februari 2016
Rita Kurnia Apindiati
NIM A352120091

RINGKASAN
RITA KURNIA APINDIATI. Identifikasi dan Ekspresi Gen Protein Selubung
Pepper vein yellows virus pada Escherichia coli. Dibimbing oleh GEDE
SUASTIKA dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN.
Penyakit klorosis pada tanaman cabai yang disebabkan oleh Pepper vein
yellows virus (PeVYV) anggota dari genus Polerovirus (famili Luteoviridae) telah
ditemukan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada
pertanaman cabai di Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar,
Provinsi Bali, tanaman cabai bergejala klorosis banyak ditemukan dalam
intensitas tinggi. Tanaman sakit menunjukkan gejala kuning pada lamina, tetapi
tulang daun tetap berwarna hijau. Sejauh ini belum tersedia secara komersial
antiserum spesifik PeVYV untuk kepentingan deteksi, sehingga upaya membuat
antiserum perlu dilakukan. Salah satu teknik terbaru dalam menyediakan sumber
antigen untuk pembuatan antiserum ialah melalui teknik molekuler ekspresi gen
protein selubung virus pada bakteri kompeten yang sesuai. Penelitian ini bertujuan

untuk mengidentifikasi Pepper vein yellows virus (PeVYV) berdasarkan sifat
penularan virus menggunakan Aphis nasturtii, bentuk dan ukuran partikel virus,
deteksi RNA total dengan reverse transcription-polymerase chain reaction
(RT-PCR), perunutan sekuen nukleotida, dan ekspresi gen protein selubung
PeVYV pada bakteri ekspresi Escherichia coli.
PeVYV dapat ditularkan dari tanaman cabai sakit ke tanaman cabai sehat
oleh serangga A. nasturtii (Homoptera: Aphididae). Partikel PeVYV berbentuk
heksagonal dengan diameter ~30 nm. RT-PCR menggunakan primer spesifik
forward BamHI dan reverse PstI berhasil mengamplifikasi target gen protein
selubung PeVYV berukuran ~650 pb. Sekuen gen protein selubung PeVYV isolat
Bali, Indonesia memiliki homologi sebesar 99% dengan PeVYV isolat Jepang dan
Taiwan. PeVYV berhasil dibuktikan sebagai penyebab penyakit klorosis pada
tanaman cabai asal Bali, Indonesia. DNA CP-PeVYV dikloning pada vektor
ekspresi pQE30 (Qiagen) pada situs enzim restriksi BamHI dan PstI untuk
membentuk plasmid rekombinan pQE30-CP-PeVYV dengan fusi protein putatif.
Optimasi ekspresi rekombinan CP-PeVYV dilakukan pada beberapa suhu
inkubasi yang berbeda (25, 28, 30, dan 37 oC), konsentrasi akhir Isoprophyl-β-Dthiogalactoside (IPTG) (0.25, 0.5, dan 1 mM) dan waktu panen setelah diinduksi
IPTG (3, 6, 9, 12, dan 15 jam).
Gen protein selubung PeVYV berukuran ~650 pb diamplifikasi dengan
primer spesifik, dikloning pada vektor ekspresi pQE30, ditransformasi, dan

dikayakan ekspresi gen tersebut (overexpression) pada bakteri ekspresi E. coli
strain M15[pREP4]. Analisis SDS-PAGE menunjukkan rekombinan gen protein
selubung PeVYV berhasil terekspresi dengan pita protein putatif berukuran
~25 kDa setelah 6 jam diinduksi dengan 0.5 mM IPTG pada suhu 37 °C, tetapi
perlu dioptimasi agar ekspresi gen melimpah.

Penyediaan protein selubung PeVYV murni dapat digunakan sebagai
imunogen pada tubuh mamalia (kelinci). Antibodi PeVYV yang terbentuk dapat
digunakan sebagai bahan deteksi virus yang bersangkutan.
Kata kunci: Aphis nasturtii, cabai, coat protein, ekspresi, Indonesia, Pepper vein
yellows virus (PeVYV), Polerovirus

SUMMARY
RITA KURNIA APINDIATI. Identification and expression of Pepper vein
yellows virus coat protein gene in Escherichia coli. Under supervision of GEDE
SUASTIKA and KIKIN HAMZAH MUTAQIN.
Based on a survey conducted at chili pepper growing area in Kertha
village, Payangan subdistrict, Gianyar district, Bali province, it has been found
that chili pepper plants with chlorosis symptoms caused by the virus were at high
incidence. Infected plants showed leaf yellow symptom, but the veins remain

green. A specific antiserum for PeVYV has not been available commercially.
An advance techniques in providing antigen for antiserum production is through
molecular approach by overexpressed the coat protein gene in a suitable
competent bacteria. This research was aimed to carry out identification of the
Pepper vein yellows virus (PeVYV) from Kertha village, Payangan, Gianyar, Bali
Province based on its transmission property by Aphis nasturtii, the morphology of
virus particles, detection of total RNA by reverse transcription-polymerase chain
reaction (RT-PCR), sequencing of nucleotide and expression the coat protein gene
of PeVYV in Escherichia coli.
The results showed that PeVYV can be transmitted from infected plant to
healthy plant by A. nasturtii (Homoptera: Aphididae). PeVYV particles are
hexagonal with the diameter of ~30 nm. RT-PCR of total RNA from chlorotic
plants, using specific BamHI and PstI primer pair for coat protein gene of
Polerovirus genus, were successful to amplify a DNA target sized ~650 bp. Coat
protein gene sequence of PeVYV isolates from Bali, Indonesia has 99%
homology over PeVYV isolates from Jepang and Taiwan. PeVYV has been
proven as the cause of chlorosis in chilipepper plants in Bali, Indonesia.
Furthermore, CP-PeVYV DNA was cloned into the expression vector pQE30
(Qiagen) at the same restriction enzyme BamHI and PstI sites to form the
recombinant plasmid pQE30-CP-PeVYV a fusion putative protein. Optimization

of the expression of recombinant CP-PeVYV performed at different incubation
temperatures (25, 28, 30, and 37 ºC), final concentration of isoprophyl-β-Dthiogalactoside (IPTG) (0.25, 0.5, and 1 mM ) and the time of harvesting after
IPTG induction (3, 6, 9, 12, and 15 hours).
A ~650 bp gene of PeVYV coat protein was amplified using specific
primers, then was cloned into pQE30 expression vector. The recombinant CP gene
was over expressed in E. coli strain M15[pREP4]. SDS-PAGE analysis showed
that the recombinant coat protein gene PeVYV was expressed into a putative
protein band with size about ~25 kDa at 6 hours after induction by 0.5 mM IPTG
on 37 °C, but needs to be optimized to result in higher expression. Further
purification of PeVYV CP is necessary to provide immunogen for production of
its antibody within suitable mammals.
Keywords: Aphis nasturtii, chili pepper, coat protein, expression, Indonesia,
Pepper vein yellows virus (PeVYV), Polerovirus

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI DAN EKSPRESI GEN PROTEIN SELUBUNG
Pepper vein yellows virus PADA Escherichia coli

RITA KURNIA APINDIATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Identifikasi dan Ekspresi Gen
Protein Selubung Pepper vein yellows virus pada Escherichia coli” ini dapat
diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gede Suastika, MSc sebagai
Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi sebagai
Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan,
saran, dan motivasi selama penelitian dan penulisan tesis ini. Dr Ir Tri Asmira
Damayanti, MAgr sebagai Dosen Penguji Luar Komisi dan Prof Dr Ir Sri
Hendrastuti Hidayat, MSc sebagai Ketua Program Pascasarjana Fitopatologi
terima kasih atas masukan dan sarannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Fitrianingrum Kurniawati, SP MSi yang telah memberikan pengayaan
ilmu, Muhammad Rizal, SP MSi, Lutfi Afifah, SP MSi dan Ida Parida, SP MSi,
rekan-rekan mahasiswa PS Fitopatologi angkatan 2012, rekan-rekan
di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB atas
bantuan dan kebersamaannya.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih teruntuk Ayahanda

Sodikin, SSos, Ibunda Jumirah, SPdSD, Amin Nur Hidayat, Arina Nur Khotimah
atas segala doa, curahan kasih sayangnya, dan dukungannya kepada penulis
selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Rita Kurnia Apindiati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanaman Cabai
Penyakit-Penyakit Virus pada Tanaman Cabai
Pepper vein yellows virus (PeVYV)
Metode Deteksi Virus pada Tanaman Cabai
Mikroskop Elektron
Teknik Serologi
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Kloning Fragmen DNA
Vektor pQE-30 dalam Sistem Ekspresi Protein

3
3
3
4
6
6
7

8
8
9

3 METODE
Tempat dan Waktu
Penyiapan Isolat PeVYV
Mikroskopi Elektron pada Tanaman Cabai
Penularan Polerovirus dengan Kutudaun
Isolasi RNA Total dari Tanaman Sakit
RT-PCR
Sintesis cDNA
Amplifikasi DNA
Visualisasi DNA
Analisis Sekuen Nukleotida
Kloning Gen Protein Selubung PeVYV
Desain Primer
Elusi Produk PCR
Restriksi Plasmid pQE30 dan Gen CP PeVYV
Konstruksi Vektor Ekspresi

Persiapan Kompeten Sel E. coli strain M15[pREP4]
Ligasi Plasmid pQE30 dan Gen CP PeVYV
Transformasi
Konfirmasi Transforman dan PCR Koloni
Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYV pada E. coli M15[pREP4]

10
10
10
10
10
10
11
11
11
11
11
12
12
12
12
12
13
13
13
14
14

Optimasi Ekspresi Protein CP-PeVYV
Analisis Protein dengan SDS-PAGE

14
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat PeVYV
Mikroskopi Elektron pada Tanaman Cabai
Penularan Polerovirus dengan Kutudaun
Amplifikasi DNA
Perunutan Sekuen Nukleotida
Kloning Gen Protein Selubung PeVYV
Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYVpada E. coli M15[pREP4]

16
16
16
17
18
19
21
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25
25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

29

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1
2

Tingkat kesamaan sekuen nukleotida sebagian gen protein selubung (CP)
PeVYV isolat Payangan, Bali, Indonesia dengan isolat lainnya
Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYV pada E. coli M15[pREP4]
berdasarkan optimasi suhu, konsentrasi IPTG, dan waktu setelah
pemberian IPTG dengan analisis SDS-PAGE

20

23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Diagram organisasi genom PLRV (Polerovirus) Genomic RNA
Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein (Qiagen 2008)
Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein CP-PeVYV
Gejala klorosis pada tanaman cabai di daerah Payangan, Gianyar, Bali
Mikrograf elektron partikel virus
(A) Daun cabai sakit sebagai inokulum; (B) Daun tanaman cabai sakit
hasil penularan vektor kutudaun; dan (C) kutudaun A. nasturtii
Hasil amplifikasi DNA sampel daun tanaman cabai bergejala klorosis
Hasil amplifikasi DNA dari hasil penularan menggunakan A. nasturtii

5
9
13
16
17
17
18
19

9
10
11
12

Filogenetika kekerabatan PeVYV isolat cabai Bali, Indonesia
Hasil transformasi (A) kontrol negatif tanpa diberi plasmid (K-); (B)
koloni E. coli strain M15[pREP4]
Hasil PCR terhadap koloni tunggal E. coli rekombinan yang membawa
plasmid pQE30-CP-PeVYV
(a) Representasi skematik konstruksi CP-PeVYV pada vektor ekspresi
pQE30 dengan enzim restriksi BamHI dan PstI, (B) Ekspresi gen CPPeVYV pada E.coli

20
21
22

24

DAFTAR LAMPIRAN
1

Pensejajaran sekuen nukleotida sebagian gen coat protein (CP) isolat
cabai Bali, Indonesia, terhadap isolat-isolat lain di dunia

29

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura
yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Produktivitas cabai besar dari
tahun 2010 sampai 2014 secara berfluktuasi berturut-turut yaitu 6.58, 7.34, 7.93,
8.16, dan 8.35 ton per ha sedangkan produktivitas cabai rawit dari tahun 2010
sampai 2014 secara berfluktuasi berturut-turut yaitu 4.58, 5.01, 5.75, 5.70, dan
5.93 ton per ha (BPS 2015). Hal tersebut dikarenakan oleh adanya faktor-faktor
pembatas produksi yaitu lingkungan abiotik, teknik budidaya yang kurang
optimum serta masalah hama dan penyakit tanaman. Penyakit yang termasuk
penting pada tanaman cabai di Indonesia adalah yang disebabkan oleh beberapa
virus antara lain Geminivirus, Cucumber mosaic virus (CMV), Chili veinal mottle
virus (ChiVMV), Tobacco mosaic virus (TMV), serta Pepper vein yellows virus
(PeVYV).
PeVYV (Luteoviridae; Polerovirus) dilaporkan sebagai penyebab penyakit
klorosis. Gejala infeksi virus yang khas yaitu menguning namun tulang daun tetap
hijau sehingga tampak menyirip. Gejala ini ditemukan pada tanaman cabai di
Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali (Suastika
et al. 2012). Pada tahun 1981, tanaman paprika menunjukkan gejala klorosis
dengan tulang daun menguning dan daun menggulung di beberapa daerah di
Kitanakagusuku, Okinawa, Ishigaki, dan Miyako, Jepang. Gejala ini awalnya
diduga disebabkan oleh defisiensi magnesium. Namun, Yonaha et al. (1995)
menduga penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus. Berdasarkan pengamatan
partikel virus yang diisolasi dari tanaman, partikel virus menyerupai Luteovirus,
virus bereplikasi di jaringan floem, serta dapat ditularkan melalui penyambungan
dan vektor Aphis gossypii Glover (Gray & Gildow 2003; Murakami et al. 2011).
Buah sakit menunjukkan gejala berwarna tidak seragam dan berubah warna
(diskolorisasi) pada tanaman paprika di Spanyol (Villanueva et al. 2013).
Identifikasi virus sebagai penyebab penyakit merupakan salah satu faktor kunci
yang menentukan keberhasilan pengendalian di lapangan. Oleh karena itu,
konfirmasi virus penyebab gejala klorosis ini perlu dilakukan melalui diagnosis
baik secara biologi dan molekuler.
Teknik molekuler yang umum digunakan yaitu Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang seringkali tidak efisien untuk deteksi
rutin virus dalam skala besar, sehingga metode serologi seperti ELISA masih
menjadi pilihan untuk deteksi dini sampel atau monitoring penyakit di lapangan.
Selain itu, uji serologi juga dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi virus
dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga
vektor, dan mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Deteksi
virus menggunakan uji serologi memerlukan adanya antiserum yang dibutuhkan
untuk proses pendeteksian virus pada tanaman uji dengan gejala yang
ditimbulkan. Produksi antiserum memerlukan antigen dalam jumlah dan kualitas
yang cukup. Namun, sangat sulit mendapatkan virus murni dalam jumlah yang
cukup pada virus yang distribusinya dalam jaringan tanaman terbatas pada floem
dan konsentrasi rendah seperti PeVYV. Berkembangnya teknik biologi molekuler

2
seperti amplifikasi DNA, kloning, dan ekpresi gen pada bakteri ekspresi
memungkinkan didapatkan sumber imunogen yang melimpah (Fajardo et al.
2007).
Keterbatasan penyediaan antiserum PeVYV menjadi kendala dalam
metode deteksi sampel secara serologi. Metode serologi dijadikan pilihan untuk
mendeteksi sampel dalam jumlah besar, contohnya enzyme linked immunosorbent
assay (ELISA). Produksi antiserum dalam jumlah yang cukup dapat mendukung
metode serologi yang digunakan sebagai metode deteksi. Perkembangan teknik
biologi molekuler, kloning, dan ekpresi gen virus dapat menjadi strategi penting
untuk mendapatkan antigen dalam jumlah besar dengan konsentrasi seragam dan
stabil (Fajardo et al. 2007). Produksi antiserum dalam skala besar bisa dilakukan
dengan pembuatan protein rekombinan dari patogen target. Teknik produksi
antigen (imunogen) melalui cara ini sangat sesuai bagi produksi antiserum pada
virus dengan konsentrasi rendah dan distribusinya dalam jaringan floem tanaman
(phloem limited). Hal ini karena sulit mendapatkan virus murni dengan jumlah
yang cukup sebagai imunogen dalam produksi antiserum.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi PeVYV didasarkan pada
sifat penularan virus menggunakan A. nasturtii, bentuk dan ukuran partikel virus,
deteksi RNA total dengan reverse transcription-polymerase chain reaction
(RT-PCR), dan perunutan sekuen nukleotida, serta mengekspresikan gen protein
selubung PeVYV pada bakteri ekspresi Escherichia coli.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini berupa protein selubung PeVYV murni
dapat digunakan sebagai imunogen pada tubuh mamalia (kelinci) sehingga
terbentuk antibodi terhadap PeVYV yang kemudian dapat digunakan sebagai
sarana deteksi virus yang bersangkutan.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanaman Cabai
Tanaman cabai adalah tanaman perdu dengan rasa buah pedas yang
disebabkan oleh kandungan kapsaisin. Cabai besar atau cabai merah (Capsicum
annuum L.) dan cabai rawit (C. frutescens L.) termasuk anggota famili Solanaceae
yang diketahui dibudidayakan secara luas di Indonesia. Secara umum cabai
memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak,
kabohidarat, kalsium, vitamin A, B1, dan C (Piay et al. 2010). Tanaman cabai
telah digunakan sebagai perasa pedas, aroma, dan bahan pengawet. Selain
penggunaannya sebagai bahan masakan, cabai telah dieksplorasi sebagai
antimikroba dan antijamur (Omolo et al 2014). Tanaman cabai mampu hidup pada
dataran rendah maupun dataran tinggi sampai dengan ketinggian 1400 m di atas
permukaan laut. Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai merah
adalah 25 – 27 ºC pada siang hari dan 18 – 20 ºC pada malam hari. Lahan yang
paling cocok untuk tanaman cabai merah di Indonesia yaitu jenis tanah mediteran
dan aluvial dengan tipe iklim D3/E3, yaitu 0 – 5 bulan basah dan 4 – 6 bulan
kering. Tanaman cabai mempunyai toleransi sedang terhadap kemasaman tanah
dan dapat tumbuh baik pada kisaran pH 5.5 – 6.8. Tanaman cabai merah dapat
mengalami gejala klorosis dan kerdil yang disebabkan oleh kekurangan Ca, Mg,
dan P atau keracunan Al dan Mn. Cabai merah termasuk tanaman yang tidak
tahan terhadap kekeringan, tetapi juga tidak tahan terhadap genangan air. Syaratsyarat tumbuh tanaman cabai harus dipenuhi agar diperoleh pertumbuhan tanaman
yang baik dan optimum sehingga memperoleh hasil yang tinggi (Sumarni &
Muharam 2005).
Penyakit-Penyakit Virus pada Tanaman Cabai
Jenis-jenis virus penting yang menginfeksi tanaman cabai di Indonesia
awalnya meliputi Geminivirus, Cucumber mosaic virus (CMV), Chili veinal
mottle virus (ChiVMV), dan Tobacco mosaic virus (TMV) (Duriat et al. 2007).
Virus-virus tersebut diketahui menyebabkan penurunan produksi secara kualitatif
dan kuantitatif (Sulandari 2004). Geminivirus dari genus Begomovirus biasa
dikenal dengan penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai dengan gejala
berupa bercak kuning di sekitar tulang daun, tampak vein clearing yang
berkembang jelas, dengan tulang daun menebal dan dan daun menggulung ke atas
(cupping). Tanaman cabai yang mengalami infeksi lanjut menunjukkan gejala
daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil, dan produksi buah
menurun atau tidak berbuah. Virus ini tidak dapat ditularkan melalui benih, tetapi
dapat ditularkan melalui serangga vektor kutu kebul dan grafting
(penyambungan). Kutu kebul dapat menularkan Geminivirus secara persisten
(Fauquet et al. 2003; Sulandari et al. 2006). CMV termasuk dalam kelompok
Cucumovirus adalah virus yang memiliki kisaran inang paling luas menginfeksi
lebih dari 770 spesies tanaman dari 85 famili. Infeksi CMV pada cabai dapat
menyebabkan perubahan warna (mosaik atau belang), perubahan bentuk
(menggulung, deformasi, menyempit, mengkerut, shoestring, dan kerdil), serta

4
mengalami nekrosis. Virus ini tidak dapat ditularkan melalui benih, tetapi dapat
ditularkan melalui serangga vektor kutudaun. Tanaman paprika dapat ditularkan
oleh Myzus persicae yang merupakan vektor yang paling efisien di iklim dingin,
sedangkan A. gossypii merupakan vektor utama untuk iklim hangat secara
nonpersisten (Green & Kim 1991). Tanaman cabai yang terinfeksi ChiVMV
menujukkan gejala mosaik dengan daun belang dan berwarna hijau gelap. Gejala
yang paling jelas terdapat pada daun muda dan pertumbuhannya akan terhambat
serta memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang. Selain itu, buah
akan menunjukkan gejala mosaik belang. Hal ini akan berdampak pada
kehilangan hasil secara signifikan. Penularan virus ini dilakukan secara non
persisten melalui kutudaun seperti: M. persicae, A. gossypii, A .craccivora, A.
spiraecola, dan Hysteroneura setariae (Cerkaukas 2004). Selain virus-virus tersebut
di atas, di Indonesia dilaporkan Pepper vein yellows virus (PeVYV) dapat
menyebabkan penyakit klorosis pada tanaman cabai (Suastika et al. 2012).
Pepper vein yellows virus (PeVYV)
PeVYV pada awalnya diklasifikasikan sebagai spesies dari genus
Luteovirus, kemudian oleh Murakami et al. (2011) sebagai spesies baru dari genus
Polerovirus anggota famili Luteoviridae berdasarkan analisis urutan genom secara
lengkap. PeVYV pertama kali dilaporkan pada tahun 1981, tanaman paprika
menunjukkan gejala klorosis dengan tulang daun menguning dan daun
menggulung di Kitanakagusuku, Okinawa, Jepang. Gejala yang sama ditemukan
pada area yang berbeda yaitu di Okinawa, Ishigaki, dan Kepulauan Miyako yang
diduga disebabkan oleh infeksi virus (Yonaha et al. 1995). Gejala ini awalnya
diduga disebabkan oleh defisiensi magnesium. PeVYV tersebut diketahui
menginfeksi beberapa Solanaceae seperti Capsicum spp., terbukti dari gejala khas
yang dihasilkan setelah infeksi yaitu tulang daun menguning (Rast 1992). Selain
itu, tipikal gejala pada daun tanaman inang yaitu kerdil, kemerahan atau
menguning maupun deformasi daun (Brault et al. 2001). Gejala ini biasanya
disertai dengan bentuk buah yang mengalami malformasi (Yonaha et al. 1995).
Villanueva et al. (2013) menyatakan bahwa gejala pada buah paprika berupa buah
berwarna tidak seragam dan berubah warna (diskolorisasi). Berdasarkan
pengamatan partikel virus yang diisolasi dari tanaman menyerupai Luteovirus
menunjukkan bahwa PeVYV bereplikasi di jaringan floem, serta dapat ditularkan
melalui grafting (penyambungan) dan vektor A. gossypii Glover (Murakami et al.
2011).
PeVYV memiliki morfologi berupa virion dengan diameter berukuran
25 – 30 nm, berbentuk heksagonal, dan terdiri dari dua CP genom RNA berantai
tunggal (King et al. 2012). Genom RNA PeVYV(no. aksesi AB594828)
berukuran 6244 pb terdiri atas 6 ORFs utama (Gambar 1), yaitu ORF0, ORF1,
ORF2, ORF3, ORF4, dan ORF5 (Regenmortel et al. 2000; NCBI 2013). ORF0
terdiri atas sebuah sekuen F-box konsensus yang berperan dalam interaksi antar
protein mengkode protein 0 (P0) terdiri atas 249 asam amino, ORF1 dan ORF2
mengkode fusion protein P1-P2 terdiri atas 1085 asam amino, yang diduga
berperan sebagai RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) berupa enzim
pengkatalisis RNA yang ditranslasikan pada sebuah frameshift a-1 oleh
heptanukleotida, ORF3 mengkode protein 3 (P3) terdiri atas 206 asam amino yang

5
merupakan coat protein (CP: protein selubung) yang berperan dalam kemampuan
virus untuk menginfeksi tanaman apabila CP tersebut diekspresikan, selanjutnya
ditransfer oleh movement protein (MP) dari satu sel ke sel lainnya yang
merupakan ORF4 yang mengkode protein 4 (P4) terdiri atas 156 asam amino yang
merupakan protein VPg genome linked, dan ORF5 mengkode protein 5 (P5) yang
terdiri atas 736 asam amino dan memiliki read-through domain (RTD) yang
merupakan perpanjangan CP (ORF3) (NCBI 2013). PeVYV (Polerovirus)
mempunyai non coding region (NCR) intergenik pada nt 199 antara ORF2 dan
ORF3, sedangkan Luteovirus dan Enamovirus mempunyai sebuah NCR
intergenik sekitar nt 100. Selain itu, Polerovirus ini terdiri atas utas tunggal RNA
yang bersifat infeksius, linear, dan positive sense ssRNA (Regenmortel et al.
2000).

Gambar 1 Diagram organisasi genom Polerovirus pada famili Luteoviridae
(Regenmortel et al. 2000).
Penularan PeVYV (Polerovirus) tidak dapat dilakukan secara inokulasi
mekanis menggunakan daun dari tanaman sakit. Namun, dapat dilakukan
menggunakan penyambungan (grafting) dan vektor kutudaun. Inokulasi
menggunakan kutudaun dan teknik penyambungan (grafting) dapat digunakan
untuk menentukan kisaran inang dari PeVYV. Yonaha et al. (1995) menyebutkan
bahwa C. annuum L. var. grossum Sendt. dan C. annuum L. var. longum Sendt.
dapat diinfeksi oleh PeVYV melalui teknik penyambungan (grafting). Sedangkan
C. frustescens L., Nicotiana tabacum L., N. glutinosa L., N. rustica L., dan
Solanum melongena L. tidak dapat diinfeksi oleh PeVYV melalui teknik
penyambungan (grafting) tersebut.
Penularan virus dari anggota famili Luteoviridae oleh serangga vektor,
yaitu kutu daun, terjadi secara persisten sirkulatif yang dapat terbagi menjadi
empat proses yang berbeda yaitu konsumsi virus dari tanaman inang ke lumen
saluran pencernaan kutu tersebut, periode akuisisi virus melalui saluran
pencernaan vektor, periode retensi dalam jaringan dan haemocoel, dan periode
transmisi melalui kelenjar ludah dan masuk ke jaringan floem tanaman inang. Alat
mulut dari kutudaun ini terdiri atas pemanjangan stilet maksila dan mandibulata
yang berlokasi di labium. Stilet digunakan untuk proses konsumsi virus dari
tanaman sakit bergejala klorosis pada sel pendamping jaringan floem. Penetrasi
dilakukan dengan menembus jaringan secara interselular melalui lamela tengah

6
yang memisahkan epidermis dan mesofil sel. Setelah stilet mencapai jaringan
floem, stilet tersebut didorong melalui dinding sel ke dalam sitoplasma. Periode
makan sekitar 15 - 30 menit kemudian konsumsi virus terjadi dalam 1 - 5 menit
pada floem. Konsumsi virus ini bersifat spesifik dan apabila virus tersebut tidak
spesifik maka akan keluar bersama madu di dalam kotoran. Periode akuisisi
terjadi ketika virus diangkut melalui jaringan epitel usus aphid dan dilepaskan ke
dalam haemocoel sekitar 12 - 16 jam. Virus bertahan di haemolimf selama
beberapa minggu dan secara pasif diangkut ke kelenjar ludah dan masuk ke
jaringan floem tanaman inang. Periode laten secara sirkulatif terjadi antara periode
waktu kutudaun berhasil saat transmisi dan konsumsi virus. Secara umum, periode
laten minimum untuk transmisi yang efisien sedikitnya 24 jam dan dapat
diperpanjang 3 - 4 hari. Panjang periode laten dipengaruhi oleh genetik,
konsentrasi virus di jaringan tanaman, dan faktor lingkungan misalnya suhu (Gray
& Gildow 2003).
Metode Deteksi Virus pada Tanaman Cabai
Deteksi tanaman cabai yang terinfeksi oleh virus secara umum dapat
dilakukan secara konvensional maupun molekuler. Teknik deteksi secara
konvensional dilakukan dengan cara melihat perkembangan gejala pada tanaman
yang terinfeksi, penggunaan tanaman indikator, sifat fisik virus, mikroskopi
elektron. Teknik deteksi secara molekuler dilakukan dengan uji serologi, RTPCR, dan kloning DNA virus. Teknik deteksi secara konvensional relatif mudah
dan murah untuk diaplikasikan, tetapi teknik ini hanya dapat dilakukan pada
virus-virus yang telah dilaporkan dan tidak dapat memberikan informasi spesies
virus yang menginfeksi. Sebagai contoh, deteksi dan identifikasi Begomovirus
dengan metode konvensional sering tidak mungkin dilakukan karena tidak semua
anggota genus Begomovirus dapat ditularkan secara mekanis dengan cairan
perasan tanaman terinfeksi (Aidawati 2006). Oleh karena itu, teknik deteksi secara
molekuler hingga kini dianggap teknik yang paling akurat, cepat, dan dapat
memberikan informasi yang komprehensif mengenai penyebab penyakit tanaman
cabai yang disebabkan oleh virus.
Mikroskopi Elektron
Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop menggunakan elektrostatik
dan elektromagnetik yang mampu melakukan pembesaran objek sampai dua juta
kali untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki
kemampuan pembesaran objek serta resolusi tajam daripada mikroskop cahaya.
Hamburan elektron merupakan hal mendasar yang perlu diketahui untuk semua
mikroskop termasuk mikroskop elektron. Elektron merupakan partikel bermuatan
negatif dan bermassa rendah sehingga mudah dibelokkan melewati elektron
lainnya. Terdapat dua jenis mikroskop elektron yaitu TEM (Transmission electron
microscope) dan SEM (Scanning electron microsope). TEM dikembangkan
karena adanya resolusi gambar yang terbatas dari penggunaan mikroskop cahaya
oleh panjang gelombang cahaya tampak. TEM digunakan untuk pencitraan,
pengukuran, modeling, serta manipulasi materi yang dapat dicapai dengan
nanokarakterisasi. Aplikasi utama TEM antara lain analisis mikrostruktur,
identifikasi defek, analisis interfesa, struktur kristal, tatanan atom pada kristal,

7
serta analisa elemental skalananometer. Namun, berbeda halnya dengan SEM
yang diketahui memfokuskan sinar elektron di permukaan obyek dan mengambil
gambarnya dengan mendeteksi elektron yang muncul dari permukaan objek,
biasanya digunakan untuk studi arsitektur jasad renik secara tiga dimensi.
Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah cara elektron yang ditembakkan
oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, menggunakan sampel yang
sangat tipis sehingga dapat ditembus oleh elektron kemudian hasilnya diolah
menjadi gambar. Berbeda halnya pada SEM, sampel tidak ditembus oleh elektron
sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang
ditangkap oleh detektor. TEM memiliki resolusi superior 0.1 - 0.2 nm lebih besar
dari SEM, mampu mendapatkan informasi komposisi dan kristalografi dari bahan
uji dengan resolusi tinggi, serta memungkinkan mendapatkan berbagai signal
utama dari satu lokasi yang sama (Williams & Carter 2009).
Terdapat dua teknik yang dikembangkan dengan mikroskop elektron, yaitu
bayangan logam (metal shadowing atau shadow casting) dan pewarnaan negatif
(negative staining). Teknik bayangan logam merupakan teknik SEM yang
digunakan untuk memberikan gambar tiga dimensi yang biasanya untuk
mempelajari bentuk virus dan bakteri kemudian dilapisi logam berat seperti emas
atau palladium sehingga menciptakan bayangan spesimen. Teknik pewarnaan
negatif merupakan teknik TEM yaitu metode yang digunakan untuk mengiris selsel mikroba menjadi irisan tipis mikroskopis mengunakan metal berat seperti
timah atau uranil asetat sehinggga terlihat jelas adanya struktur dan ukuran virus
dari latar belakang yang gelap (Noordam 1973).
Teknik Serologi
Uji serologi merupakan upaya pengembangan dari teknik diagnosis secara
konvensional. Prinsip utama uji serologi adalah mereaksikan antibodi dengan
antigen yang sesuai. Sifat khas antobodi dan antigen dimanfaatkan sebagai alat
identifikasi patogen dan diagnosis penyakit virus pada tanaman. Antibodi adalah
zat kekebalan yang dilepaskan oleh sel darah putih untuk mengenali serta
menetralisir antigen yang masuk ke dalam tubuh. Antigen adalah senyawa yang
mampu mengimbas tanggap imun apabila diinjeksikan ke dalam hewan berdarah
panas. Ketersediaan antiserum dengan kualitas baik memiliki peran penting dalam
menentukan keberhasilan dan ketelitian diagnosis virus (Kumari et al. 2006).
Beberapa teknik deteksi virus yang berbasis serologi antara lain teknik
difusi agar, dotblotimmunoblotting assay (DBIA), tissue-blotimmunoblotting
assay (TBIA), Western blotting, agarose gel precipitation test (AGPT), dan
enzyme linkedimmunosorbent assay (ELISA) (Wilson 2014). Teknik difusi agar
menggunakan antiserum yang bereaksi baik terhadap virus dan protein dari
tanaman uji yang bertemu pada zona presipitasi pada agar. Selain itu pada teknik
difusi agar diperlukan virus dan antibodi dengan konsentrasi yang benar. AGPT
menggunakan teknik presipitasi (pengendapan) antigen oleh antibodi yang sesuai.
Uji ini bersifat kualitatif yaitu dapat mengetahui tingkat spesifik keberadaan
antibodi terhadap antigen (Noordam 1973). Namun, uji serologi yang sering
digunakan untuk mendeteksi virus dalam jumah banyak, akurat, mampu
menghitung titer (kuantitatif), dan lebih fleksibel adalah ELISA. Ciri utama
ELISA adalah penggunaan enzim (alkalin fosfatase atau peroksidase) untuk reaksi
imunologi. Ikatan kovalen antara molekul imunoglobulin dan enzim dapat

8
digunakan untuk mengamplifikasi reaksi antigen dan antibodi. Teknik ELISA
terbagi menjadi double antibody sandwich ELISA (DAS-ELISA) dan indirect
ELISA (I-ELISA). Perbedaan utama DAS ELISA dan I-ELISA terletak pada
urutan peletakan antigen (sampel virus) (Hampton et al. 1990).
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Deteksi PeVYV pada cabai sangat diperlukan dalam strategi pengendalian.
Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, amplifikasi
RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis, maupun diagnosis agensia infektif
maupun penyakit genetik. RT-PCR merupakan teknik PCR yang dapat
menggandakan RNA menjadi DNA. Teknik RT-PCR terdiri atas dua reaksi yaitu
reaksi transkripsi balik (reverse transcription) yang menggunakan genom RNA
virus sebagai cetakan dan menghasilkan cDNA primer (untai tunggal) serta reaksi
penggandaan PCR. Reaksi PCR sangat sensitif sehingga dapat melipatgandakan
satu molekul DNA dan memisahkan gen-gen tunggal dari sekelompok sekuen
genom. Primer yang digunakan sesuai dengan virus yang akan dideteksi. PCR
merupakan teknik yang relatif sederhana dan merupakan teknik penggandaan
(amplifikasi) dengan menggunakan DNA primer yang memiliki runutan
nukleotida khas untuk molekul asam nukleat yang akan dideteksi. Primer
merupakan molekul oligonukleotida yang disintesis in vitro dan runutan
nukleotidanya disesuaikan dengan genom virus yang akan dideteksi. PCR hanya
akan menggandakan asam nukleat yang sesuai dengan primer (Yuwono 2006).
Berdasarkan Murakami et al. (2011) telah dilakukan deteksi RT-PCR
menggunakan beberapa primer dari PeVYV dari tanaman terinfeksi dengan
ukuran produk RT-PCR dari 300 sampai 800 bp yang diperoleh sesuai dengan
metode Ryabov dan diklon ke pGEM-T Easy Vector (Promega). RT-PCR
dilakukan dengan menggunakan sampel dari tanaman terinfeksi, membenarkan
bahwa urutan sekuen merupakan urutan PeVYV.
Kloning Fragmen DNA
Kloning, disebut juga teknologi DNA rekombinan, merupakan suatu
metode untuk menggandakan sebuah gen yang meliputi serangkaian proses isolasi
fragmen DNA spesifik dari genom suatu organisme, penentuan sekuen atau
fragmen DNA, pembentukan molekul DNA rekombinan, dan ekpresi gen target
dalam sel inang. DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang
merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang
berupa gen target suatu mahluk hidup (Sambrook et al. 2001).
Vektor berperan sebagai pembawa gen yang masuk ke sel inang dalam
proses replikasi. Contoh vektor ekspresi yang banyak digunakan yaitu plasmid.
Plasmid merupakan molekul DNA sirkuler yang terdapat dalam bakteri dan
berbagai organisme lain. Beberapa metode yang dikembangkan untuk pemurnian
DNA plasmid dari bakteri meliputi beberapa tahapan yaitu mengkulturkan bakteri,
pemanenan, dan lisis bakteri serta pemurnian DNA plasmid. Plasmid dimurnikan
dari biakan yang ditumbuhkan dalam media cair yang mengandung antibiotik
kemudian diinokulasikan bersama koloni bakteri tunggal pada media agar.
Penggunaan plasmid pada teknik rekombinan didasarkan pada beberapa alasan,
yaitu ukurannya kecil, tingkat replikasi plasmid tinggi dalam sel inangnya,

9
resisten terhadap antibiotik, dan memiliki beberapa situs restriksi yang unik
(Sambrook et al. 2001; Paolella 1998).
Vektor pQE-30 dalam Sistem Ekspresi Protein
Ekspresi gen adalah proses regulasi gen dari organisasi genom makhluk
hidup. Ekspresi gen pada prokariot dikenal dengan istilah sistem operon berupa
sekelompok gen struktural yang ekspresinya dikendalikan oleh satu promoter
yang sama. Salah satu organisme prokariot yang memiliki sistem operon yaitu
E. coli. E.coli mampu melakukan metabolisme laktosa karena memiliki sistem
operon yang disebut operon lac yaitu satu gen regulator (gen lac I) dan tiga
struktural yaitu gen lacZ, lacy, dan lacA. Gen lacZ mengkode β-galaktosidase
yang berfungsi menghidrolisis laktosa menjadi monosakarida yaitu galaktosa dan
glukosa; gen lacY mengkode enzim permease yang berfungsi meningkatkan
permeabilitas sel sehingga laktosa dapat diangkut dari luar sel ke dalam sel; dan
gen lacA mengkode trans-asetilase (Robert 2006).
Vektor ekspresi merupakan mediator yang digunakan untuk
mengekspresikan gen asing sehingga dapat dikenali oleh sel inang, contohnya
plasmid. Penggunaan primer pQE-30 Sequencing-Primer Set dapat digunakan
untuk penyisipan runutan pada vektor pQE-30. Primer yang dimasukkan dalam
reaksi PCR mengandung vektor untuk disekuen, dNTPs, DNA polymerase, dan
rantai fluorescens mengakhiri analog nukleotida (dye terminators). E. coli strain
M15[pREP4] dan SG13009[Prep4] membawa plasmid pREP4 yang konstitutif
sehingga memungkinkan ekspresi antar protein sebelum induksi IPTG serta
diseleksi melalui antibiotik kanamisin. Plasmid pQE-30 (Gambar 2) berukuran
sekitar 3.4 kb yang memiliki promoter T5, lacO, synthetic ribosome-binding site
(RBSII), ATG (start codon), sekuen 6xHis tag, multicloning site (MCS) dan stop
codons (Qiagen 2008). Ekspresi protein diinduksi dengan penambahan isopropyl–
thio-D-galactose (IPTG).

Gambar 2 Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein. PT5: promoter T5, lac
O: operator lac, RBS: ribosome binding site, ATG: start kodon, 6xHis:
sekuen His tag, MCS: multiple cloning site, stop codons: kodon stop
pada reading frame ketiga, Col EI: Col EI origin of replication,
Ampicillin: gen resisten ampisilin (Qiagen 2008).

10

3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan
Desember 2014 di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penyiapan Isolat PeVYV
Sampel tanaman cabai yang bergejala klorosis berasal dari Desa Kertha,
Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Sampel tersebut
merupakan koleksi hidup yang dipelihara di Laboratorium Virologi Tumbuhan,
Departeman Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang
digunakan sebagai sumber inokulum virus PeVYV.
Mikroskopi Elektron Partikel Polerovirus
Daun cabai bergejala dicacah halus kemudian sap yang diperoleh
diteteskan ke grid secara negative staining menggunakan Glutaraldehyde dengan
25% Aqueous Solution (0.1 M Cacodylate Buffer pH 7.4 ditambah 3% Sukrosa).
Spesimen tersebut diwarnai uranyl acetate dan lead citrate dan diamati
menggunakan mikroskop elektron (JEOL JEM 1010, 80 kV) di Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman Jakarta.
Penularan Polerovirus dengan Kutudaun
Penularan Polerovirus dilakukan menggunakan serangga kutudaun Aphis
sp. tanaman cabai sakit ke tanaman cabai sehat. Sejumlah nimfa kutudaun yang
tidak bersayap dipuasakan selama 120 menit. Sebanyak 50 ekor kutudaun tersebut
diletakkan pada tanaman cabai yang terinfeksi Polerovirus dengan periode makan
akuisisi selama 15 menit, kemudian dipindahkan menggunakan kuas ke tanaman
cabai sehat berumur empat minggu sebanyak 5 ekor setiap tanaman dengan
periode inokulasi 24 jam. Kutudaun tersebut disingkirkan dan tanaman dipelihara
di dalam kurungan kedap serangga. Pengamatan selama 14 hari dan dilakukan
identifikasi terhadap spesies kutudaun menggunakan kunci identifikasi Blackman
dan Eastop (2000).
Isolasi RNA Total dari Tanaman Sakit
Isolasi RNA total dari daun cabai bergejala menggunakan Xprep Plant
RNA Mini Kit (Phile Korea TechnologyTM) sesuai protokol yang dianjurkan.
Sebanyak 0.1 g daun bergejala digerus bersama nitrogen cair dalam mortar
dengan pistil dan ditambahkan 450 μL bufer XPRB yang mengandung 1%
merkaptoetanol. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung filter column dan
disentrifugasi 13 000 rpm selama 2 menit. Selanjutnya supernatan dipipet dan
dipindahkan ke tabung mikro baru dan ditambahkan etanol 96% sebanyak

11
0.5 volume (~225 µL) dari supernatan, kemudian dipindahkan ke dalam tabung
XPLR mini column dan disentrifugasi 13 000 rpm selama 1 menit, kemudian
dicuci menggunakan 500 µL wash buffer 1 dan 750 µL wash buffer 2, selanjutnya
disentrifugasi 13 000 rpm selama 1 menit, kemudian dibuang dan ditambahkan
50 µL Rnase-freewater sehingga diperoleh RNA total.
RT-PCR
Sintesis cDNA
cDNA disintesis dengan reaktan RT-PCR terdiri atas 2 µL RNA total,
2 µL dNTP 10 mM (Thermo ScientificTM, US), 0.75 µL oligo d(T) 10 mM
(Thermo ScientificTM, US), 2 µL bufer RT 5x (Thermo ScientificTM, US), 0.35 µL
DTT (Thermo ScientificTM, US), 0.35 µL RNase inhibitor (Ribolock-Thermo
ScientificTM, US), 0.35 µL MMuLV reverse transcriptase (Revertaid-Thermo
ScientificTM, US), 2.2 µL air bebas nuklease sampai volume total (Thermo
ScientificTM, US). Reaksi RT dilakukan pada suhu 42 °C selama 60 menit dan
dilanjutkan inaktivasi enzim RT pada suhu 95 °C selama 5 menit.
Amplifikasi DNA
Reaktan PCR dilakukan dengan volume total 25 µL, terdiri atas cDNA
3 µL, Go Tag Green Master Mix 2x 12.5 µL (Promega®, US), air bebas nuklease
7.5 µL, amplifikasi protein selubung dilakukan dengan menggunakan sepasang
primer spesifik CP PeVYV. Primer forward F-BamHI (5’-AATTAA
GGATCCCAATACGGGAGGGGTTAGGAGAAAT-3’) dan primer reverse
R-PstI
(3’-AATTAACTGCAGTTTCGGGTTGTGCAATTGCACAGTA-5’)
(Suastika et al. 2012) masing-masing 1 µL. Reaksi PCR dilakukan dengan Perkin
Elmer 480 Thermocycler (Applied Biosystem®, US). Program PCR yang
digunakan yaitu denaturasi inisiasi pada 94 °C selama 5 menit, kemudian
dilanjutkan 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 94 °C selama 30 detik,
penempelan primer (annealing) pada suhu 50 °C selama 1 menit, pemanjangan
pada suhu 72 °C selama 1 menit, dan diikuti pemanjangan akhir pada suhu 72 °C
selama 10 menit.
Visualisasi DNA
Visualisasi fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dielektroforesis
menggunakan gel agarosa 1% dalam bufer Tris-borate EDTA (TBE) 0.5X dengan
tegangan 100 volt DC selama 30 menit. Pengamatan dilakukan dengan UV
transiluminator setelah direndam dalam larutan ethidium bromide 2% selama
15 menit.
Analisis Sekuen Nukleotida
Analisis keragaman genetik untuk mengetahui tingkat homologi isolat
PeVYV dengan isolat lainnya. Perunutan nukleotida dilakukan di First Base®,
Malaysia untuk merunut hasil amplifikasi gen CP PeVYV. Hasil sekuensing dari
sampel tanaman cabai kemudian dilakukan analisis homologi menggunakan
program blast (www.ncbi.com). Homologi gen CP PeVYV terhadap anggota

12
Polerovirus lainnya yang terdeposit dalam Genbank dianalisis dengan program
ClustalW BioEdit. Pohon filogenetik berdasarkan runutan nukleotida gen CP
dibuat menggunakan program perangkat lunak Molecular Evolutionary Genetic
Analysis (MEGA 5.1) menggunakan neighbour joining dengan bootstrap
sebanyak 1000 kali.
Kloning Gen Protein Selubung PeVYV
Desain Primer
Desain primer gen CP PeVYV diperoleh dari sekuen gen protein selubung
dari GenBank dan sekuen nukleotida PeVYV hasil sekuensing. Primer forward
didesain mulai dari ujung 5’ berupa start codon yang tidak diikutkan dalam frame
gen CP dan digantikan oleh start codon yang ada pada vektor ekspresi pQE30
kemudian ditambahkan sekuen tambahan AATTAA dan enzim restriksi BamHI
(GGATCC). Primer reverse diakhiri stop codon dari ORF gen CP PeVYV dan
ditambahkan sekuen tambahan AATTAA dan ditambahkan sekuen dari enzim
restriksi PstI (CTGCAG) pada ujung 3’ (Suastika et al. 2012).
Elusi Produk PCR
Produk PCR dari hasil RT-PCR dielektroforesis dalam gel agarose 1%.
Produk PCR dan marker DNA 1 Kpb (Thermo ScientificTM, US), masing-masing
10 µL dan 5 µL dimasukkan ke dalam sumuran yang telah disiapkan pada gel
agarose. Elektroforesis dilakukan selama 30 menit pada 100 volt. DNA yang telah
dielektroforesis kemudian divisualisasi dengan UV transiluminator. Pengamatan
dilakukan dengan UV transiluminator setelah direndam dalam larutan ethidium
bromide 2% selama 15 menit. Bagian gel tepat pada produk PCR dipotong dan
dimasukkan ke tabung yang sudah ditambahkan 500 µL Bufer DF (Hi Yield®,
China), kemudian divortex dan diinkubasi pada suhu 55 °C sampai gel cair.
Siapan kemudian dimasukkan ke DF column dan disentrifugasi dengan kecepatan
8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya, 500 µL wash buffer (Hi Yield®, China)
dimasukkan dalam DF column dan disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm
selama 1 menit. Sebanyak 20 µL Bufer Elusi (Hi Yield®, China) dimasukkan
dalam DF column dan disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit.
Hasil elusi (yang merupakan gen CP PeVYV) disimpan pada suhu -20 °C.
Restriksi Plasmid pQE30 dan Gen CP PeVYV
Plasmid pQE30 dan gen CP PeVYV (hasil PCR) direstriksi dengan enzim
BamHI dan PstI. Reaktan untuk masing-masing restriksi yang dilakukan dengan
total volume 20 µL memiliki komponen: 1 µL plasmid pQE30, 1 µL enzim
BamHI, 1 µL enzim PstI, 2 µL medium bufer, dan 15 µL ddH2O. Reaksi restriksi
dinkubasi pada suhu 37 °C selama semalam.
Konstruksi Vektor Ekspresi
Ekpresi gen protein selubung dalam pQE30 dilakukan dengan
menggunakan promoter T5. Gen protein selubung PeVYV disisipkan pada tempat

13
pemotongan BamHI/PstI. Selain itu, terdapat promoter T5 atau operon lac
sebelum start codon, protein His tag, dan stop codon pada ujung belakang dari
pQE30 sehingga terbentuk pQE30 CP-PeVYV (Gambar 3).

Gambar 3 Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein CP-PeVYV.
Persiapan Kompeten Sel E. coli strain M15[pREP4]
Stok E. coli strain M15[pREP4] dalam gliserol digoreskan pada media
agar LB yang mengandung ampisilin 50 µg/mL dan kanamisin 25 µg/mL,
kemudian diinkubasi semalam pada suhu 37 °C. Biakan E. coli strain
M15[pREP4] tersebut dipindahkan ke dalam 5 mL LB broth yang mengandung
antibiotik kemudian diinkubasi semalam pada suhu 37 °C, kemudian biakan
bakteri tersebut dipindahkan ke dalam 50 mL media A (LB, MgSO47H2O 10 mM,
glukosa 0.2%) dan diinkubasi selama 2 jam, kemudian dipindahkan ke tabung
Falcon steril dan diinkubasi dalam es selama 10 menit kemudian disetrifugasi
dengan kecepatan 4000 rpm, selama 15 menit pada suhu 4 °C. Supernatan
dibuang dan diambil peletnya. Pelet diresuspensi dengan 2.5 mL media B (LB,
gliserol 36%, PEG 7000 12%, dan MgSO47H2O 12 mM). Siapan bakteri tersebut
kemudian dipindahpisahkan masing-masing 100 µL ke tabung eppendorf 1.5 mL
dan disimpan di freezer -80 °C sampai digunakan untuk transformasi (Nishimura
et al. 2003).
Ligasi Plasmid dan Gen CP PeVYV
Gen CP PeVYV disisipkan ke dalam plasmid pQE30 melalui reaksi ligasi
mengikuti prosedur yang dibuat produsen plasmid (Qiagen®, US). Ligation mix
dengan total volume 10 µL terdiri atas 2 µL plasmid pQE30, 2 µL gen CP
PeVYV, 1 µL enzim T4 DNA ligase 10X, 1 µL bufer ligasi, dan 4 µL ddH2O.
Reaksi ligasi dilakukan pada suhu 4 °C selama 16 jam. Hasil ligasi akan
menghasilkan plasmid pQE30 yang mempunyai insert gen CP PeVYV, yang
untuk selanjutnya disebut plasmid pQE30-CP PeVYV.
Transformasi
Transformasi dilakukan dengan mencampur 10 µL hasil ligasi dengan
100 µL sel kompeten E. coli strain M15[pREP4], kemudian diinkubasi dalam
suhu 0 ºC selama 20 menit, heat shock pada suhu 42 °C selama 1 menit,
didinginkan dalam suhu 0 ºC selama 2 menit, ditambahkan 500 µL LB cair, dan
diinkubasi dengan dishaker pada suhu 37 °C selama 4 jam, kemudian disentrifus

14
12 000 rpm 1 menit dan supernatan dibuang. Pelet dan LB yang masih tersisa
sampai 100 µL dihomogenasi, dan terakhir ditumbuhkan dalam media LB agar
mengandung ampisilin 50 µg/mL dan kanamisin 25 µg/mL (Sambrook & Russel
2001).
Konfirmasi Transforman dan PCR Koloni
Transforman ditumbuhkan pada media LB cair yang mengandung
ampisilin 50 µg/mL dan kanamisin 25 µg/mL. Sel dari biakan yang berumur
18 jam dipanen dan diisolasi plasmidnya dengan metode lisis alkalin (Sambrook
& Russel 2001). Konfirmasi transfroman dilakukan dengan klon rekombinan yang
dicek menggunakan koloni PCR.
Satu tusuk gigi klon transforman dimasukkan ke tabung eppendorf berisi
ddH2O 10 µL dan diinkubasi pada suhu 95 °C selama 10 menit disiapkan sebagai
template PCR sebanyak 1 µL. Reaktan PCR dilakukan dengan volume total
20 µL, primer PeVYV forward F-BamHI dan primer reverse R-PstI masingmasing 1 µL. Reaksi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer 480 Thermocycler
(Applied Biosystem®, US). Program PCR yang digunakan yaitu denaturasi
inisiasi pada 94 °C selama 5 menit, kemudian dilanjutkan 35 siklus yang terdiri
atas denaturasi 94 °C selama 30 detik, penempelan primer (annealing) pada suhu
50 °C selama 1 menit, pemanjangan pada suhu 72 °C selama 1 menit, dan diikuti
pemanjangan akhir pada suhu 72 °C selama 10 menit. Hasil amplifikasi PCR
plasmid tersebut dengan dielektroforesis menggunakan gel agarosa 1% dalam
buffer Tris-borate (TBE) 0.5X pada tegangan 100 volt selama 30 menit.
Pengamatan dilakukan dengan UV transluminator setelah direndam dalam larutan
ethidium bromide 2% selama 15 menit.
Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYV pada E. coli M15[pREP4]
Optimasi Ekspresi Protein CP-PeVYV
E.coli strain M15[pREP4] yang membawa plasmid rekombinan pQE30CP-PeVYV diinokulasi ke dalam 10 mL media LB yang mengandung ampisilin
50 g/mL dan kanamisin 25 g/mL. Biakan diinkubasi di dalam orbital shaker
(150 rpm) pada suhu 37 oC selama satu malam, kemudian sebanyak 100 l biakan
diinokulasikan ke dalam 10 mL media LB yang mengandung antibiotik dan
diinkubasikan di dalam orbital shaker (150 rpm) pada suhu 37 oC. Optimasi
kultur ekspresi dilakukan pada 3 kondisi yang berbeda yaitu konsentrasi IPTG,
waktu panen bakteri, dan suhu selama inkubasi bakteri yang berbeda. Setelah
pertumbuhan bakteri mencapai OD600 0.5 (sekitar 3-4 jam), biakan diinduksi
dengan 3