Analisis Semiotik Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta

(1)

iv

PETRUK PADA PERISTIWA MELETUSNYA

GUNUNG MERAPI DI YOGYAKARTA

Oleh: Ficky Pratama NIM. 41806069 Pembimbing: Drs. Manap Solihat, M.Si

Penelitian ini bertujuan analisis semiotika foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta, dengan Proses semiosis inilah yang terjadi dalam fenomena awan Petruk di puncak gunung Merapi. Sesuatu yang kita baca, lihat, atau dengar ditafsirkan sesuai dengan pengalaman dan sudut pandang kita masing-masing, Proses berpikir tentang adanya fenomena mistis ini kemudian disampaikan kepada masyarakat yang kebetulan, memiliki pengalaman budaya yang sama.

Untuk menganalisis sebuah makna yang terkandung dalam sebuah Foto dapat diteliti melalui sebuah studi analisis data kualitatif, berupa Analisis Semiotika. Dalam hal ini peneliti foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta akan dianalisis dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, dokumentasi (Indepth Interview), studi pustaka, internit searching dan Penelusuran Data Online. Subjek penelitian dari penelitian ini adalah Foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta. Sebelum dilakukan wawancara sebelumnya peneliti melakukan observasi prapenelitian. Lalu hasil wawancara di deskripsikan berdasarkan interprestasi peneliti yang didasarkan oleh teori-teori yang ada.

Hasil penelitian ini menunjukan, Foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta, yang memiliki makna Denotasi bahwa asap Petruk yang ada pada foto di gunung merapi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai tanda bahwa adanya letusan gunung merapi yang sangat besar, makna Konotasi ini Foto Awan Gunung Merapi Berbentuk Petruk yang mengakibatkan tanda bencana, makna Mitos dari foto ini ialah Sosok petruk tersebut dapat dijadikan suatu tanda yang mempunyai makna yang dimana sesosok mbah petruk telah muncul dan menagih janjinya kepada masyarakat.

Kesimpulan dari penelitian yang dilaksankan oleh peneliti dimana semiotika Foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta, yaitu makna Denotasi yang mengakibatkan sebuah tanda kebetulan, makna Konotasi sebuah tanda bencana, makna Mitos yang mempunyai makna kepada masyarakat bahwa tokoh petruk adalah penguasa gunung merapi.

Saran peneliti setelah melaksanakan penelitian ini sebaiknya menyarankan supaya penelitian ini dapat dijadikan suatu referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya khususnya untuk mengkaji bidang ilmu Fotografi dan agar dapat memilih lebih selektif, unik, dan menarik untuk tema-tema penelitian.


(2)

v

PETRUK ERUPTION VOLCANO IN YOGYAKARTA

By:

Ficky Pratama NIM. 41806069 This Essay guided under:

Drs. Manap Solihat, M.Si

This study purpose to analyze the semiotics analysis photos events on-shaped cloud petruk eruption volcano in Yogyakarta, with a process of semiosis is what happens in the phenomenon of cloud Petruk at the top of Mount Merapi. Something that we read, see, or hear construed in accordance with the experiences and perspectives each of us, thinking process about the existence of mystical phenomena are then delivered to the people who incidentally, has the same cultural experiences.

To analyze the meaning contained in a photo can be investigated through a study of qualitative data analysis, form analysis of Semiotics. In this photo researcher Petruk-shaped cloud in the events of the eruption of Mount Merapi in Yogyakarta will be analyzed using a semiotic analysis of Roland Barthes. Technique of data collecting is done by using in-depth interviews, documentation (indepth interviews), book study, internet searching and search data online. The research subject of this research is shaped cloud photos Petruk at Merapi volcano eruption events in Yogyakarta. Prior to conducting the interviews the researchers conducted observations prapenelitian. Then the interview described by researchers based interpretation by existing theories.

The study research is indicate that the purpose the, photos Petruk-shaped cloud in the events of the eruption of Mount Merapi in Yogyakarta, which has a meaning denotation that the existing smoke Petruk Mount Merapi in the photo can be interpreted as a sign that an eruption of Mount Merapi which is very large, this connotation meaning Cloud Photos Petruk Shaped Mount Merapi disaster that resulted in the sign, the meaning of myth from this picture is Petruk figure it can be a sign that has meaning where a figure has emerged champion Petruk and collect his promise to the community.

Conclusions from the research that was conducted by researchers where semiotics Photos Petruk-shaped cloud in the events of the eruption of Mount Merapi in Yogyakarta, namely the meaning of which resulted in a sign denotation coincidence, connotation meaning a sign of disaster, the meaning of myth that has meaning to the people that character is the master of Mount Merapi Petruk.

Suggestions researchers after conducting this research should suggest that this research can be used as a reference for subsequent researchers to study the field of science, especially photography and to be able to choose more selective, unique, and interesting to research themes.


(3)

1 1.1. Latar Belakang Penelitian

Bagi kebanyakan orang, foto mungkin dianggap tidak penting dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Bahkan ketika diajukan kepada para peminat fotografi, jawaban yang biasanya mengemuka adalah definisi yang diberikan oleh kamus, yaitu gambar yang dihasilkan dengan menangkap cahaya pada medium yang telah dilapisi bahan kimia peka cahaya atau sensor digital (kombinasi dari photo yang berarti cahaya, dan graph yang berarti catatan, tulisan, atau lukisan). Tidak banyak yang sadar bahwa di balik kesederhanaan artefak yang benama foto tersimpan kerumitan yang membuat definisi foto tidak sesederhana yang dibayangkan.1

Sebuah foto, terkadang memuat sebuah arti yang maha besar. Bahkan terkadang si fotografer sendiri tak berpikir bagaimana gambar yang mereka ambil akan mengubah nasib seseorang. Yang lebih luar biasa adalah bagaimana foto mampu mengungkap hal yang tersembunyi, menggelitik nurani semua orang, bahkan tak jarang menjadi picu ledak persatuan dan perlawanan.

1


(4)

Salah satu foto yang menarik banyak perhatian pada tahun 2010 ini adalah foto awan berbentuk petruk yang diambil oleh Suswanto 40 tahun,warga Dusun Anom, Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Magelang, Jawa Tengah pada saat terjadi peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta. Dalam foto yang diambil oleh salah seorang warga Kecamatan Srumbung Magelang awan itu menyerupai wajah Petruk, salah satu punakawan dalam pewayangan Jawa yang berhidung mancung.

Proses semiosis inilah yang terjadi pula dalam fenomena awan Petruk di puncak gunung Merapi. Sesuatu yang kita baca, lihat, atau dengar ditafsirkan sesuai dengan pengalaman dan sudut pandang kita masing-masing. Proses berpikir tentang adanya fenomena mistis ini kemudian disampaikan kepada masyarakat, yang kebetulan, memiliki pengalaman budaya yang sama. Seperti yang terlihat dalam gambar berikut ini:


(5)

Gambar 1

Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta

Sumber:(http://thephenomena.wordpress.com/2010/11/01/penampak an-mbah-petruk-sebelum-gunung-merapi-meletus/)

Dalam Penelitian ini Foto awan berbentuk petruk menurut peneliti merupakan foto jurnalistik. Hal ini ditinjau dari salah satu pengertian bahwa foto jurnalistik adalah foto yang mengandung nilai berita yang sudah dipublikasikan ataupun disiarkan melalui media tertentu kepada seluas-luasnya khalayak baru, dan tentang foto awan berbentuk petruk ini merupakan foto yang telah banyak diketahui publik karena telah dimuat diberbagai media.

”Foto jurnalistik adalah suatu peristiwa nyata yang penting, dan berharga untuk diketahui umum, tersaji dalam bentuk foto, yang kemudian disiarkan atau dipublikasikan dalam media cetak. Pemahaman dalam foto terjadi lewat penglihatan dan dapat


(6)

menimbulkan respon emosional lebih cepat dari pada tulisan. (Sugiarto, 2006)”.

Foto awan berbentuk petruk menjadi bahan pengamatan yang menarik. Untuk menganalisis sebuah makna yang terkandung dalam sebuah Foto dapat diteliti melalui sebuah studi analisis data kualitatif, berupa Analisis Semiotika. Dalam hal ini peneliti foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta akan dianalisis dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut.

”Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise”

(Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan


(7)

informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal tanda-tanda merupakan merupakan perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama dengan manusia2. semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki, ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).2

Semiotika atau semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana manusia (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:197; Kurniawan, 2001:53)

Menurut Roland Barthes semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Untuk menganalisis makna dari tanda-tanda dalam foto semiotika dengan pendekatan Roland Barthes, dia membuat sebuah model yang


(8)

sistematis untuk menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus dari model ini menggaris besarkan pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) :

Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered system), yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).

Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realittas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning) pada hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, Foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap ke dua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta


(9)

nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan.

Bedasarkan latar belakang masalah diatas maka peneliti mengambil rumusan masalah yaitu ; ” Bagaimana Analisis Semiotika Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta”

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan dari latar belakang diatas peneliti mengambil identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Makna Denotasi Pada Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta? 2. Bagaimana Makna Konotasi Pada Foto Awan Berbentuk Petruk


(10)

3. Bagaimana Mitos Pada Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta?

4. Bagaimana Analisa Semiotika Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud penelitian

Maksud dari penelitian ini untuk mengetahui dan menelaah lebih jauh mengenai Bagaimana makna konotasi,makna denotasi dan mitos yang terdapat dalam foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Sementara, untuk tujuan dari penelitian ini didasarkan pada rincian identifikasi masalah yang telah dikemukakan, yaitu:

1. Untuk mengetahui Makna Denotasi, Pada Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta

2. Untuk mengetahui Makna Konotasi, Pada Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta

3. Untuk mengetahui Mitos, Pada Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta


(11)

4. Untuk mengetahui Analisa Semiotika, Foto Awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang dapat dijadikan sebagai praktik bagi perkembangan Ilmu Komunikasi, khususnya kajian Komunikasi dalam bidang Fotografi dengan spesifikasi ilmu semiologi atau semiotika sebagai kajian tersendiri dalam bidang Komunikasi.

1.4.2. Kegunaan Praktis a. Bagi Universitas

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan dijadikan literatur dalam mendukung materi-materi perkuliahan bagi Universitas, Program Studi, dan mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi, khususnya bidang kajian fotografi Jurnalistik untuk melakukan penelitian selanjutnya.

b. Bagi Peneliti

Dengan dilakukannya penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu serta pengetahuan baik dari segi teoritis ataupun praktisnya bagi peneliti, untuk mengetahui lebih jauh mengenai materi dari penelitian itu sendiri serta hal-hal yang berkaitan dengan kajian


(12)

ilmu yang sesuai dengan bidang ilmu yang peneliti dapatkan selama perkuliahan. Dengan penelitian ini juga memberikan wawasan kepada peneliti, bahwa dalam kehidupan ini dipenuhi oleh tanda-yang tidak hanya cukup melihat maknanya dari apa yang terlihat, namun perlu diperhatikan pula makna lain yang terkandung dibalik tanda itu.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan bukan hanya bermanfaat bagi Pihak Universitas dan Peneliti, melainkan agar bisa bermanfaat juga bagi masyarakat sebagai suatu pemahaman tentang suatu foto melalui pemahaman makna, isi atau pesan dan nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam suatu foto.

1.5. Kerangka Pemikiran 1.5.1. Kerangka Teoritis

Foto jurnalistik merupakan salah satu produk jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan selain tulisan yang berbau berita (straight news/ hard news, berita bertafsir, berita berkedalaman/deep reports) maupun non berita (artikel, feature, tajuk rencana, pojok, karikatur dan surat pembaca). Dan sebagai produk dalam pemberitaan, tentunya foto jurnalistik memiliki peran penting dalam media cetak maupun cyber media (internet). Jadi karya foto jurnalistik sudah mendapat pengakuan sebagai


(13)

karya jurnalistik dalam bentuk visual untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.

”Foto sebagai salah satu medium bahasa verbal memiliki pesan yang serupa dengan kata-kata didalam berita. Efektifitas penyampaian pesan dalam suatu foto tersebut sangat tinggi, foto mencetuskan pandangan dunia kedalam benak manusia. Bahkan hasil bidikan foto lebih jauh ampuh dari gambar atau lukisan. (Cahyadi:22:16)”.

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori Roland Barthes. Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti penafsir tanda atau tanda dimana sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu tentang tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari “tanda” dan biasa disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan.

aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi. Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan semiotik


(14)

linguistic yang dirintis oleh mentornya Saussure. Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusis. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; bagi Barthes, strukturnya ialah gambar; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya itu mendahului subjek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan. dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda.

Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.

Untuk membahas semiotika gambar, pendekatan struktural Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis, tentang gambar memadai untuk melihat fenomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Fenomena gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan masih menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita. Dilihat dari sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar


(15)

dapat kita tempatkan dalam satu garis dengan kritik budaya media (culture industry).

Barthes menggunakan istilah “orders of signification. First order of signification adalah denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of signification.” Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan antara pesan denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan secara


(16)

keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto. Sebagai contoh: secara denotatif, Babi adalah nama sejenis binatang, namun secara konotatif “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain, seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya.

Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu.

Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real unreality. Disebut unrealitykarena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal anteriority), tidak pernah dapat memenuhi kategori here-now, sekarang disini; dan disebut real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara spasial.

Peta Barthes tentang bagaimana tanda bekerja lazimnya ditampilkan seperti gambar berikut.


(17)

Gambar Bab 1.2 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier 2. Signified

(Penanda) (Petanda)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA DENOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber: Paul Cobley & Litzza Jansz.1999.Introducing Semiotics.NY:Totem Books,hlm 51

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan


(18)

keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua.

Di dalam mitos pula terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sitem yang unik, mitos dibangun oleh suatu system rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Roland Barthes, seperti yang dikutip Fiske, (2004, h. 128) menjelaskan : Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu


(19)

makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap ke dua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan.

Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang.


(20)

Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).Roland Barthes pernah mengatakan,”Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.

Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form, concept dan signification. Form/penanda merupakan subyek, concept/petanda adalah obyek dan signification/tanda merupakan hasil perpaduan dari keduanya.

Menurut Fiske, mitos (myth) adalah bagaimana menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.


(21)

Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi. Menurut Susilo, mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Menurut Van Zoest, ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth).

Adapun dua tahap penandaaan signifikasi (two order of significationt) Barthes dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar Bab 1.3

Signifikasi Dua Tahap Barthers

Firs order second

order

Reality Sign Culture

Form

Content

Sumber: John Fiske,Introductiont to communication studies,1990, hlm.88 dalam (Sobur, 2001:12)

Connotationt Signifier

Signified

Myth Denotationt


(22)

1.5.2. Kerangka Konseptual

Dari teori diatas diungkapkan bahwa pengalaman akan membentuk seseorang untuk memberikan persepsi terhadap tanda yang pernah ia lihat, dengar, atau diperoleh nya dalam hal ini dalam bentuk foto.

Gambar 1.2

Sumber:(http://thephenomena.wordpress.com/2010/11/01/penamp akan-mbah-petruk-sebelum-gunung-merapi-meletus/)


(23)

Gambar 1.3

Aplikasi Peta Tanda Roland Barthes 1. Awan Petruk 2. Meletusnya

Gunung Merapi

3. Awan Berbentuk Petruk

4. Awan Petruk 5. Meletusnya

Gunung Merapi

6. Mitos

Sumber: Paul Cobley & Litzza Jansz.1999.Introducing Semiotics.NY:Totem Books,hlm 51

.

Pada penelitian ini Analisis semiotika foto awan berbentuk petruk. Denotatif, konotatif, dan mitos yang terdapat dalam teori Rolands Bartrhes diaplikasikan pada foto yang akan dianalisi yaitu foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta.

1. Penanda yang mengandung makna pada foto tesebut awan petruk dimana petruk adalah seorang tokoh wayang punakawan yang memiliki hidung sangat mancung dan memiliki kuncir di belakang dipercaya sebagai salah satu penguasa gunung merapi di Yogyakarta.


(24)

2. Dalam penerapan teori Rolands Bartrhes di atas menunjukan bahwa Penanda pada foto tersebut yaitu awan petruk yang berarti mengandung makna sebagai penguasa gaib gunung merapi yang akan menimbulkan makna Petanda sebagai salah satu tanda akan terjadinya letusan gunung merapi yang sangat besar yang akan melanda sebagian besar wilayah di Yogyakarta.

3. Makna Denotasi pada foto ini menunjukan bahawa gunung merapi mengeluarkan awan yang berbentuk awan petruk sebagai salah satu makna bahwa gunung merapi di Yogyakarta tersebut akan kembali meletus dengan letusan yang sangat besar yang akan melanda daerah di Yogyakarta.

4. Makna Konotasi pada foto ini menunjukan adanya fenomena alam pada gunung merapi di Yogyakarta yang mengeluarkan awan berbentuk petruk. Di percaya sebagai fenomena bahwa penguasa gaib gunung merapi telah marah. hidung Petruk yang menghadap Yogyakarta mengandung arti Merapi mengincar Yogyakarta. Dia beralasan, dengan anggapan di Yogyakarta banyak orang-orang tidak baik karena itulah menjadi incaran Merapi. Para penunggu Merapi marah dengan kondisi masyarakat.

5. Mitos pada foto yaitu adanya Awan berbentuk kepala Petruk merupakan perwujudan dari Mbah petruk salah satu penguasa di puncak Merapi. Kemana hidung panjang Petruk mengarah, di sana merapi akan


(25)

mengeluarkan semburan awan panas atau bahkan mungkin lahar panas. "Berarti kota Yogyakarta yang bakal kena sampah (awan panas) gunung Merapi. Malah bisa saja lebih dari itu, misalnya lahar panas,".

1.6. Pertanyaan Penelitian 1. Makna Denotasi

a. Apa makna signifier Yang Terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

b. Apa makna signified Yang Terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

c. Apa Mitos yang terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

2. Makna Konotasi

a. Apa makna signifier Yang Terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

b. Apa makna signified Yang Terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

c. Apa Mitos yang terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

3. Makna Mitos

a. Apa makna Denotasi yang terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

b. Apa makna Konotasi yang terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk


(26)

c. Apa makna signifier Yang Terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

d. Apa makna signified Yang Terkandung Dalam Foto Awan Berbentuk Petruk

1.7. Subjek Penelitian dan Informan 1.7.1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sesuatu, baik orang, benda ataupun lembaga (organisasi), yang sifat-keadaannya akan diteliti. Dengan kata lain subjek penelitian adalah sesuatu yang di dalam dirinya melekat atau terkandung. Dalam penelitian ini yang dijadikan subjek penelitian adalah foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta. dengan penelitian menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yaitu menganalisis tanda dan makna yang tampak dan tidak tampak pada foto serta mitos yang ada pada tanda.

1.7.2. Informan

Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan informan Untuk lebih memperoleh informasi dan pandangan mengenai permasalahan Analisis Semiotika foto, apa benar dalam sebuah foto yaitu dalam penelitian ini dapat dianalisis melalui tanda yang terdapat dalam Foto tersebut, yang akhirnya dapat memunculkan interpretasi atau pemahaman makna dari sipenerima tanda.


(27)

“Menurut Webster’s New Collegiate Directionary, seorang Informan adalah seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulang kata-kata, farsa, dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai imitasi dan sumber informasi (Spradley, 2006 : 36)”.

“Moleong mengungkapkan bahwa seorang Informan adalah sumber data yang dibutuhkan oleh peneliti dalam sebuah penelitian. Subjek dari penelitian ini adalah informan yang memahami tentang Analisis Semiotika”. Foto, Dipilih guna mendapatkan informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, dimana terlebih dahulu peneliti menetapkan siapa saja informannya dan kemudian mendelegasikan tugas dibidangnya yang sesuai dengan tema penelitian, berbicara atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan oleh subjek lain (Moleong, 2001; 90)

Informan kunci yang peneliti gunakan dalam penelitian ini terdiri dari ahli fotografi dan ahli semiotika yaitu Drs. Oji Kurniadi, M.Si dan Ferry Darmawan, S.Sos., M.Ds.

Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling dimana dijadikan informan dengan pertimbangan bahwa merekalah yang paling mengetahui informasi yang akan diteliti.

Selanjutnya, guna mengatasi kemelencengan dalam pengumpulan data maka dilakukan triangulasi informasi baik dari segi sumber data maupun triangulasi data. Data yang dikumpulkan diperiksa kembali bersama-sama dengan informan. Langkah ini


(28)

memungkinkan dilihat kembali akan kebenaran informasi yang dikumpulkan. Sedangkan triangulasi metode dilakukan untuk mencocokkan informasi yang diperoleh dari satu teknik pengumpulan data (wawancara mendalam) dengan teknik yang lainnya (pengamatan partisipatif).

1.8. Metode penelitian

Metode penelitian merupakan prosedur yang dipergunakan dalam upaya mendapatkan data ataupun informasi guna memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Penentuan dan teknik yang diggunakan haruslah dapat mencerminkan relevansi dengan fenomena penelitian yang telah diuraikan dalam konteks penelitian

Pendekatan yang dianggap sesuai dengan penelitian ini adalah Pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika (semiotic analysis) Rolands Barthes. yang merupakan bagian dari salah satu kelompok metode analisis Foto.

Judistira K.Garna (1999:32)menyebutkan bahwa :

”Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan peneliti yang berupaya memahami gejala-gejala yang sedemikian ruapa yang tidak memrlukan kuantifikasi, atau karena gejala-gejala tersebut tidak dimungkinkan diukur secara tepat.”


(29)

”Penelitian kualitattif harus fokus pada makna-makna subjektif, definisi, kiasan,simbol dan gambaran dari kasus tertentu, hingga mampu menangkap aspek-aspek sosial.”

Sedangkan Menurut Bodgan dan Taylor (Moleong, 2002:3) menyatakan bahwa

”Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus. Fokus dari studi kasus adalah pengembangan suatu analisis mendalam dari sebuah kasus atau beberapa kasus. Studi kasus adalah suatu eksplorasi dari sebuah system terbatas atau suatu kasus secara mendetail, pengumpulan data secara mendalam dari informasi-informasi (Creswell, 1998 : 61)”.

Hal seperti ini juga dipertegas oleh Creswell (1998:14) yang mengatakan bahwa:

”Penelitian kualitatif adalah penelitian yang latar tempat dan waktunya alamiah. Paradigma ini juga memungkinkan untuk dilakukan interprestasi secara kualitatif atas data-data penelitian yang telah diperoleh. Disamping itu, jenis penelitian ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interprestasi altenatif (Littlejohn, 1996:16)”

Penelitian kualitatif dalam ilmu komunikasi adalah sebagai perspektif subjektif. Asumsi-asumsi dan pendekatan serta teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sangat relevan dengan ciri-ciri dari penelitian yang berperspektif subjektif seperti : (1) sifat realitas yang bersifat ganda, rumit, semu, dinamis (mudah berubah-ubah), dikonstruksikan, dan holistic : pembenaran realitas bersifat relative, (2) actor (subyek) bersifat aktif, kreatif dan memiliki kemauan bebas, dimana


(30)

prilaku komunikai secara internal ikendalikan oleh individu, (3) sifat hubungan dalam dan mengenai realitas , (4) hubungan peneliti dengan subjek penelitian juga bersifat strata, empati, akrab, interraktif, timbal balik, saling mempengaruhi dan berjangka lama, (5) tujuan penelitian terkait dengan hal-hal yeng bersifat khusus, (6) metode penelitian yang deskriptif, (7) analisis bersifat induktif, (8) otentisitas adalah kriteria kualitas penelitian subyektif, dan (9) nilai, etika, dan pilihan moral penelitian melekat dalam proses penelitian. (Mulyana, 2002:147-148)

1.9. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi

Metode atau teknik pengumpulan data melalui dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sosial. Dokumen merupakan catatan yang didalamnya terdapat sebuah peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen tersebut bisa dalam bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental seseorang.

Dokumen yang peneliti kumpulkan untuk melakukan penelitian ini yaitu tentang foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta.

b. Wawancara Mendalam(Indepth Interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan


(31)

jawaban atas pertanyaan itu. Maksud dari mengadakan wawancara itu sendiri, seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985), dikutip dalam Moleong yakni, “untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain” (Moleong, 2007, p. 186).3

Pada penelitian ini, untuk memperdalam lagi data yang akan diperoleh maka dalam penelitian ini akan menggunakan wawancara mendalam (Indepth interview). Jenis wawancara ini dimaksudkan untuk kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan pada persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian. Pedoman wawancara mengancar- ancarkan peneliti mengenai data mana yang akan lebih dipentingkan. Pedoman wawancara biasanya tidak berisi pertanyaan-pertanyaan yang mendetail, tetapi sekadar garis besar tentang data atau mendetail, tetapi sekadar garis besar tentang data atau informasi apa yang ingin didapatkan dari informan yang nanti akan dikembangkan dengan memperhatikan perkembangan, konteks, dan situasi wawancara (Pawito, 2007, 133). Supaya hasil wawancara yang didapat, terekam dengan baik, peneliti akan melakukan wawancara kepada informan yang telah ditentukan, maka dibutuhkan alat-alat sebagai berikut:

a. Buku catatan, yang berfungsi untuk mencatat semua hasil dari interview dengan informan.

3


(32)

b. Tape recorder, berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan pada saat interview berlangsung.

c. Hasil wawancara yang berisikan pertanyaan dan jawaban dari informan secara lengkap.

Narasumber yang akan diwanwancara untuk memperoleh data adalah

ahli fotografi dan ahli semiotika yaitu Drs. Oji Kurniadi, M.Si dan Ferry Darmawan, S.Sos., M.Ds.

c. Studi Kepustakaan

Dalam suatu penelitian tidak terlepas dari perolehan data melalui referensi buku-buku atau literatur. Studi kepustakaan ini dilakukan untuk memenuhi atau mempelajari serta mengutip pendapat-pendapat para ahli yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti.

d. Internet Searchingatau Penelusuran Data Online

Untuk menghasilkan data yang lebih maskimal, peneliti juga memanfatkan dunia maya (internet) dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

Metode penelusuran data online adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data-informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah


(33)

mungkin, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. (Bungin, 2007:125)

Untuk memperoleh data secara online ini dilakukan dengan cara browsing atau megunduh data yang diperlukan dari internet melalui web sitetertentu.

1.10. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan, analisis data adalah, “Proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain” (Sugiyono, 2008:244)”.

Terdapat beberapa tahap dalam analisa data yang umum dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu (Huberman dan Miles dalam Bungin, 2003:69)

1. Kategorisasi dan reduksi data, peneliti mengumpulkan informasi-informasi yang penting yang terkait dengan masalah penelitian, dan selanjutnya mengelompokan data tersebut sesuai dengan topik masalahnya.

2. Sajian data. Data yang telah terkumpul dan dikelompokan itu kemudian disusun sistematis sehingga peneliti dapat melihat dan menelaah komponen-komponen penting dari sajian data.


(34)

3. Penarikan kesimpulan. Pada tahap ini, peneliti melakukan interpretasi data sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan penelitian. Dari interpretasi yang dilakukan akan diperoleh kesimpulan dalam menjawab masalah penelitian.

Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan yaitu jenis analisis data deskriptif-kualitatif. Menurut Burhan Bungin dalam bukunya “Penelitian Kualitatif”:

“Strategi analisis data deskriptif-kualitatif pada dasarnya memiliki kesamaan dengan desain deskriptif-kuantitatif. Desain deskriptif-kualitatif biasa disebut pula dengan kuasi kualitatif atau kualitatif semu. Karena itu, desain strategi ini belum benar-benar kualitatif karena konstruksinya masih dipengaruhi oleh tradisi kuantitatif, terutama dalam menempatkan teori pada data yang diperolehnya” (Bungin, 2007:146)”.

1.11.Lokasi dan Waktu Peneliian 1.11.1. Lokasi penelitian

Dalam penelitian kali ini peneliti melakukan penelitian yang bertempat di Kota Bandung.

1.11.2. Waktu Penelitian

Penelitian dengan analisis semiotika ini dilakukan selama 6 bulan, terhitung mulai dari bulan Oktober 2010 hingga Februari 2011 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 1. Jadwal Penelitian berikut :


(35)

Tabel 1 Jadwal Penelitian

No Uraian

September 2010 Oktober 2010 November 2010 Desember 2010 Januari 2011 Febuari 2011

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Persiapan - Pengajuan judul - ACC Judul - Bertemu pembimbing

- Penulisan BAB I - Bimbingan

- Seminar UP - Penulisan BAB II - Bimbingan - Penulisan BAB III - Bimbingan 2 Pengumpulan data

- Instansi - Wawancara - Bimbingan 3 Pengolahan data

- Penulisan BAB IV - Bimbingan 4 Penulisan BAB V

Bimbingan 5 Penyusunan skripsi

Bimbingan 6 Sidang


(36)

1.12 Sitematika Penulisan

Hasil dari penelitian ini, dituangkan dalam skripsi yang disusun berdasarkan sistematika penulisan berikut ini:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian secara teoritis dan praktis, kerangka pemikiran secara teoritis dan konseptual, teknik pengumpulan dan analisis data, populasi dan sampel, lokasi dan waktu penelitian, serta sistematika penulisannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan dan dijelaskan mengenai teori-teori berdasarkan studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan atau kasus yang diteliti dalam penelitian ini.

BAB III OBJEK PENELITIAN

Sementara pada bab ini berisikan uraian mengenai objek atau tempat peneliti melakukan penelitian, yaitu Foto Awan Berbentuk Petruk Dalam Bab ini akan dibahas dan dijelaskan tentang gambaran umum Foto Awan Berbentuk Petruk Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta meliputi: Peristiwa Meletusnya gunung merapi, dan mitos Mbah Petruk.


(37)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisikan tentang uraian dari hasil penelitian berdasarkan analisis data yang dilakukan oleh peneliti. Uraian dari hasil penelitian berdasarkan data yang terkumpul dari lapangan, mencakup tentang Analisis Semiotika .foto awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yoyakarta. Yang peneliti peroleh melalui metode wawancara, dokumentasi, studi kepustakaan, dan internet searching atau penelusuran data online. Kemudian dalam Bab ini akan dilakukan pula penganalisisan terhadap data-data tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan guna menjawab identifikasi masalah yang menjadi acuan dalam penelitian ini serta di cantumkan pula saran-saran untuk kampus Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung, serta para peneliti selanjutnya.


(38)

36

2.1. Tinjauan Tentang Ilmu Komunikasi

2.1.1. Pengertian Ilmu Komunikasi

Ilmu Komunikasi merupakan ilmu yang mempunyai kontinuitas tinggi, tidak bersifat absolut atau berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, hal tersebut dikarenakan objek materi dari Ilmu Komunikasi adalah perbuatan, perilaku atau tingkah laku manusia yang selalu dipengaruhi oleh lingkungan.

Menurut para ahli, Imu Komunikasi dianggap bagian dari ilmu sosial dan merupakan ilmu terapan (applied science), dan karena termasuk ke dalam

ilmu sosial dan ilmu terapan, maka Ilmu Komunikasi sifatnya interdisipliner atau multidisipliner. Hal itu disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama yang termasuk ke dalam ilmu sosial/ilmu kemasyarakatan.

Bierstedt, dalam menyusun urutan ilmu, menganggap jurnalistik

(istilah lain komunikasi) sebagai bagian dari ilmu, dalam hal ini ilmu terapan. Hal ini wajar karena pada tahun 1457, ketika ia menulis bukunya, journalismdi

Amerika Serikat sudah berkembang menjadi ilmu (science), bukan sekedar

pengetahuan (knowledge).

Joseph Pulitzer, seorang tokoh pers kenamaan Amerika Serikat yang

pada tahun 1903 mendambakan didirikannya “School of Journalism” sebagai

lembaga pendidikan untuk meningkatkan penegtahuan para wartawan. Gagasan itu mendapat tanggapan positif dari Charles Eliot (Rektor Universitas


(39)

Harvard) dan Nicolas Murray Butler (Rektor Universitas Columbia), karena

ternyata journalism tidak hanya mempelajari dan meneliti hal-hal yang

bersangkutan dengan persuratkabaran semata, tapi juga media masssa lainnya, antara lain radio dan televisi. Selain itu, radio dan televisi juga menyiarkan produk-produk siaran lainnya, Maka journalism berkembang menjadi masss

communication. (Effendy, 2005 : 3-4)

Effendy menjelaskan lebih jauh, bahwa dalam perkembangan

selanjutnya, mass communication dianggap tidak tepat lagi karena tidak

merupakan proses komunikasi yang menyeluruh. Penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld, Bernald Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Robert

Merton, Frank Stanton, Wilbur Schramm, Everett M. Rogers, dan para

cendekiawan lainnya menunjukkan bahwa:

”Gejala sosial yang diakibatkan oleh media massa tidak hanya berlangsung satu tahap, tetapi banyak tahap. Ini dikenal dengan two-step flow communication dan multistep flow communication. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar hasil komunikasi antarpersona (interpersonal communication) dan komunikasi kelompok (group communication) sebagai kelanjutan dari komunikasi massa (mass communication)” (Effendy, 2005 : 4).

Karena itu, di Amerika serikat muncul communication science atau

kadang juga dinamakan communicology, yaitu ilmu yang mempelajari

gejala-gejala sosial sebagai akibat dari proses komunikasi massa, komunikasi kelompok, dan komunikasi antarpersona.

Kebutuhan orang-orang Amerika akan science of communication, sudah

tampak sejak 1940-an, ketika seorang sarjana bernama Carl I. Hovland


(40)

Hovlandmendefinisikan science of communication sebagai: “A systemic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitude are formed” (Effendy, 2005:4).

(Upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap) (Effendy, 2005:10).

Sedangkan prosesnya sendiri dari komunikasi itu oleh Hovland

didefinisikan sebagai:“The process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behaviour and attitude are forme.” (Effendy, 2005 : 4).

(Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate))” (Mulyana, 2003:62).

Selain itu, Joseph A Devito menegaskan bahwa komunikologi adalah

ilmu komunikasi, terutama komunikasi oleh dan di antara manusia. Seorang komunikologi adalah ahli ilmu komunikasi. Istilah komunikasi dipergunakan untuk menunjukkan tiga bidang studi yang berbeda: proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan studi mengenai proses komunikasi.

Luasnya komunikasi ini didefinisikan oleh Devitosebagai:

“Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang mendapat distorsi dari ganggua-ngangguan, dalam suatu konteks, yang menimbulkan efek dan kesempatan arus balik. Oleh karena itu, kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen sebagai berikut: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian atau proses encoding, penerimaan atau proses decoding, arus balik dan efek. Unsur-unsur tersebut agaknya paling esensial dalam setiap pertimbangan mengenai kegiatan komunikasi. Ini dapat kita namakan kesemestaan komunikasi; Unsur-unsur yang terdapat pada setiap kegiatan komunikasi, apakah itu intra-persona, antarpersona, kelompok kecil, pidato, komunikasi massa atau komunikasi antarbudaya.” (Effendy, 2005 : 5)

Itulah perkembangan singkat mengenai Ilmu Komunikasi yang mulainya di Amerika Serikat pada awal tahun 1900-an. Apabila kita ingin


(41)

melihat lebih luas lagi mengenai komunikasi, kita dapat merujuk pada asal kata dari istilah komunikasi atau dalam bahasa Ingris communication, yang berasal

dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti

sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.

Dari asal kata komunikasi diatas jelas, bahwa komunikasi merupakan suatu proses yang mempunyai tujuan yaitu tercapainya suatu kesamaan makna atau arti, diantara individu yang terlibat dalam interaksi dalam suatu komunikasi. Untuk lebih jelas lagi mengenai pengertian komunikasi, dapat dilihat beberapa definisi komunikasi menurut para ahli.

Menurut Roger dan D Lawrence (1981), mengatakan bahwa

komunikasi adalah:

“Suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam” (Cangara, 2004 :19)

Sementara Raymond S Ross, melihat komunikasi yang berawal

dari proses penyampaian suatu lambang:

A transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in such a way as to help another elicit from his own experiences a meaning or responses similar to that intended by the source.”

(Proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber.) (Rakhmat, 2007:3).

Lain halnya dengan definisi komunikasi yang diberikan oleh Onong

Uchjana Effendy. Menurutnya komunikasi yaitu: “Proses pernyataan antara


(42)

lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.” (Effendy, 1993 :28)

Dari beberapa pengertian mengenai komunikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses pertukaran pesan atau informasi antara dua orang atau lebih, untuk memperoleh kesamaan arti atau makna diantara mereka.

2.1.2. Komponen-komponen Komunikasi

Berdasarkan beberapa pengertian komunikasi diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi terdiri dari proses yang di dalamnya terdapat unsur atau komponen. Menurut Effendy (2005:6), Ruang

Lingkup Ilmu Komunikasi berdasarkan komponennya terdiri dari : 1. Komunikator (communicator)

2. Pesan (message)

3. Media (media)

4. Komunikan (communicant)

5. Efek (effect)

Untuk itu, Lasswell memberikan paradigma bahwa komunikasi

adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

2.1.2.1. Komunikator dan Komunikan

Komunikator dan komunikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses komunikasi. Komunikator sering juga disebut sebagai sumber atau dalam bahasa Inggrisnya disebut source, sender, atau


(43)

Hafied Cangara dalam bukunya ”Pengantar Ilmu Komunikasi”

mengatakan bahwa:

”Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Dalam komunikasi antar manusia, sumber bisa terdiri dari satu orang, tetapi bisa juga dalam bentuk kelompok misalnya partai, organisasi atau lembaga” (Cangara, 2004:23).

Begitu pula dengan komunikator atau penerima, atau dalam bahasa Inggris disebut audienceatau receiver.

Cangara menjelaskan, ”Penerima bisa terdiri dari satu orang atau

lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai, atau negara”. Selain itu, ”dalam proses komunikasi telah dipahami bahwa keberadaan penerima adalah akibat karena adanya sumber. Tidak ada penerima jika tidak ada sumber”.

Cangarapun menekankan:

”Kenallah khalayakmu adalah prinsip dasar dalam berkomunikasi. Karena mengetahui dan memahami karakteristik penerima (khalayak), berarti suatu peluang untuk mencapai keberhasilan komunikasi” (Cangara, 2004:25).

2.1.2.2. Pesan

Pesan yang dalam bahasa Inggris disebut message, content, atau

information, salah unsur dalam komunikasi yang teramat penting, karena

salah satu tujuan dari komunikasi yaitu menyampaikan atau mengkomunikasikan pesan itu sendiri. Cangaramenjelaskan bahwa:

”Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat, atau propaganda” (Cangara, 2004:23).


(44)

2.1.2.3. Media

Media dalam proses komunikasi yaitu, ”Alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima” (Cangara, 2004:23).

Media yang digunakan dalam proses komunikasi bermacam-macam, tergantung dari konteks komunikasi yang berlaku dalam proses komunikasi tersebut. Komunikasi antarpribadi misalnya, dalam hal ini media yang digunakan yaitu pancaindera.

Selain itu, ”Ada juga saluran komunikasi seperti telepon, surat, telegram yang digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi” (Cangara, 2004:24).

Lebih jelas lagi Cangara menjelaskan, dalam konteks komunikasi

massa media, yaitu:

”Alat yang dapat menghubungkan antara sumber dan penerima yang sifatnya terbuka, di mana setiap orang dapat melihat, membaca, dan mendengarnya. Media dalam komunikasi massa dapat dibedakan atas dua macam, yakni media cetak dan media elektronik. Media cetak seperti halnya surata kabar, majalah, buku, leaflet, brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk, dan sebagainya. Sedangkan media elektronik antara lain: radio, film, televisi, video recording, komputer, electronic board, audio casette, dan semacamnya” (Cangara, 2004:24).

2.1.2.4. Efek

Efek atau dapat disebut pengaruh, juga merupakan bagian dari proses komunikasi. Namun, efek ini dapat dikatakan sebagai akibat dari proses komunikasi yang telah dilakukan. Seperti yang dijelaskan

Cangara, masih dalam bukunya ”Pengantar Ilmu Komunikasi”, pengaruh

atau efek adalah:

”Perbedaaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa


(45)

terjadi pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang” (De Fleur, 1982, dalam Cangara, 2004:25).

Oleh sebab itu, Cangara mengatakan, ”Pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerimaan pesan” (Cangara, 2004:25).

2.2.Tinjauan Tentang Komunikasi Massa

2.2.1.Definisi Komunikasi Massa

Para ahli komunikasi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan komunikasi massa adalah kegiatan komunikasi yang mengharuskan unsur-unsur yang terlibat didalamnya saling mendukung dan bekerja sama, untuk terlaksananya kegiatan komunikasi massa ataupun komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa. Kemudian para ahli komunikasi membatasi pengertian media massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film.

Bagaimana peliknya komunikasi massa, seperti yang dikatakan oleh Onong Uchjana Effendy dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, yaitu:

“Yang dimaksud dengan komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa, yang meliputi surat kabar, yang mempunyai sirkulasi yang luas, radio dan televisi yang siarannya ditujukan kepada umum dan film-film yang dipetunjukan di gedung-gedung bioskop” (Effendy, 1990:11).

Sedangkan menurut Oemi Abdurrahman, Massa Commnunication


(46)

yaitu pers radio dan televisi dengan nama “Message” dapat diterima oleh

komunikannya yang anonim dari heterogen secara “Timely” (tepat), masal dan

simultaneously (bersamaan). (Abdurrahman, 1989:75). Sementara itu Astrid S. Susanto mengemukakan pendapatnya dengan orang banyak yang heterogen dengan latar belakang sosial pendidikan dan ekonomi” (Susanto, 1982:79).

Begitu banyaknya definisi tentang komunikasi massa, akan tetapi sebetulnya tujuan komunikasi massa adalah sama, yaitu menyampaikan pesan melalui media yang mampu menjangkau khlayak yang banyak. Seperti yang disimpulkan oleh Meletzke (1983), yang dikutip Jalludin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi:

1. Komunikasi kita artikan setiap bentuk komunikasi massa yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar. 2. Komunikasi massa dibedakan dengan komunikasi lainnya dengan suatu

kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagai khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar komunikasi dapat sampai pada saat yang sama. Semua orang mewakili berbagai masyarakat.

3. Bentuk komunikasi massa dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama, sebagai berikut: diarahkan kepada khalayak yang relatif besar heterogen anonim, pesan disampaikan secara terbuka seringkali dapat mencapai banyak khalayak, secara serentak,


(47)

bersifat sekilas, komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan biaya yang besar (Rakhmat,1983:212-213).

Komunikasi massa terbatas pada proses penyebaran pesan melalui media massa yakni surat kabar, radio, televisi, film, majalah, dan buku, tidak mencakup proses komunikasi tatap muka (face to face communication) yang

juga tidak kurang pentingnya, terutama dalam kehidupan organisasi.

2.2.2.Ciri-ciri Komunikasi Massa

Seperti dikatakan oleh Severin dan Tankard, Jr, komunikasi massa adalah keterampilan, seni, dan ilmu, dikaitkan dengan pendapat Devito bahwa komunikasi massa ditujukan kepada massa melalui media massa jika dibandingkan dengan jenis-jenis komunikasi lainnya, maka komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus antara lain :

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah yaitu berbeda dengan komunikasi antar persona yang berlangsung dua arah, komunikasi massa berlangsung satu arah. Berarti bahwa tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikator.

2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga, artinya media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu, komunikatornya melembaga atau dalam bahasa asing disebut Institusionalized Communicator atau Organized communicator.

3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum (public) karena ditujukan


(48)

komunikasi massa menimbulkan keserempakan artinya media massa memiliki kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan.

4. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen artinya bahwa komunikan atau khalayak merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaan secara terpencar-pencar, dimana satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam segala hal, jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita, dan sebagainya.

2.2.3.Fungsi Komunikasi Massa

Harold D. Lasswell, pakar komunikasi terkenal, juga telah menampilkan pendapatnya mengenai fungsi komunikasi itu. Dikatakan bahwa proses komunikasi di masyarakat menunjukan tiga fungsi:

1. Pengamatan terhadap lingkungan, penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai masyarakat dan bagian-bagian unsur didalamnya.

2. Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan. 3. Penyebaran warisan sosial. Disini berperan para pendidik, baik dalam

kehidupan rumah tangganya maupun di sekolah, yang mewariskan kehidupan sosial pada keturunan berikutnya (Effendy, 1984 : 27).


(49)

Sedangkan fungsi komunikasi massa menurut Sean McBride dan kawan-kawan dalam buku Aneka Suara, Satu Dunia (Many Voices one World)

adalah sebagai berikut :

1. Informasi merupakan suatu proses pengumpulan, penyampaian, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta, dan pesan, opini dan komentar yang dibutuhkan agar orang dapat mengerti dan bereaksi secara jelas terhadap kondisi internasional, lingkungan, dan orang lain, agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

2. Sosialisasi (pemasyarakatan) merupakan penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif, yang menyebabkan ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif didalam masyarakat. 3. Motivasi merupakan penjelasan setiap tujuan masyarakat jangka

pendek maupun jangka panjang, mendorong orang menentukan pilihannya dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar.

4. Perdebatan dan diskusi yaitu menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik, meyediakan bukti-bukti yang relevan yang diperlukan untuk kepentingan umum dan agar masyarakat lebih melibatkan diri dalam masalah yang menyangkut kegiatan bersama di tingkat internasional, nasional, dan lokal.

5. Pendidikan merupakan pengalihan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak, dan


(50)

pendidikan keterampilan, serta kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan.

6. Memajukan kebudayaan yaitu penyebarluasan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, perkembangan kebudayaan dengan memperluas horizon seseorang, membangunkan imajinasi dan mendorong kreativitas serta kebutuhan estetiknya.

7. Hiburan merupakan penyebarluasan sinyal, simbol, suara, dan citra dari drama, tari, kesenian, kesusastraan, musik, komedi, olah raga, permainan, dan sebaigainya untuk rekreasi dan kesenangan kelompok dan individu.

8. Intergrasi merupakan penyedia bagi bangsa, kelompok, dan individu, kesempatan memperoleh berbagai pesan yang diperlukan mereka agar mereka dapat saling kenal, mengerti, dan menghargai kondisi, pandangan, dan keinginan orang lain.

2.2.4 Karakteristik Komunikasi Massa

Karakteristik komunikasi massa meliputi lima hal berikut di bawah ini: 1. Komunikasi massa bersifat umum

Pesan komunikasi yang disampaikan melalui media massa adalah terbuka untuk semua orang. Meskipun pesan komunikasi masa bersifat umum dan terbuka, sama sekali terbuka juga jarang diperoleh, disebabkan faktor yang bersifat paksaan yang timbul karena struktur social.


(51)

2. Komunikan bersifat heterogen

Massa dalam komunikasi massa terjadi dari orang yang heterogen yang meliputi penduduk yang bertenpat tinggal dalam kondisi yang sangat berbeda, dengan kebudayaan yang beragam, berasal dari berbagai lapisan masyarakat.

Komunikan dalam komunikasi massa adalah orang yang disatukan oleh suatu minat yang sama yang mempunyai bentuk tingkah laku yang sama dan terbuka bagi pengaktifan tujuan yang sama; meskipun demikian orang-orang yang tersnagkut tadi tidak saling mengenal, berinteraksi secara terbatas, dan tidak terorganisasi. Komposisi komunikan tersebut tergeser-geser terus-menerus, serta tidak mempunyai kepemimpinan atau perasaan identitas.

3. Media Massa menimbulkan keserempakan

Yang dimaksudkan dengan keserempakan alah keserempakan dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah. Keserempakan juga adalah penting untuk keseragaman dalam seleksi dan interpretasi pesan. Tanpa komunikasi massa hanya pesan-pesan yang sangat sederhana saja yang disiarkan tanpa perubahan dari orang yang satu ke orang yang lain.

4. Hubungan komunikator – komunikan bersifat non-pribadi.

Dalam komunikasi massa, hubungan antara komunukator dan komunikan bersifat non-pribadi, karena komunikan yang anonim


(52)

dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam peranannya yang bersifat umum sebagai komunikator.

5. Berlangsung satu arah (one way communication)

Yaitu komunikator kepada komunikan. Tanggapan atau reaksi muncul belakangan (Romly, 2002:4).

2.3.Tinjauan Tentang Jurnalistik

2.3.1.Definisi Jurnalistik

Menurut Asep Syamsul M Romli melalui bukunya ”Jurnalistik Terapan,

Pedoman Kewartawanan dan Penulisan”, pengertian jurnalistik dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu pengertian jurnalistik secara harfiyah, konseptual, dan praktis.

Secara harfiyah, jurnalistik (journalsitic) yaitu:

”Kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya ’jurnal’ (journal), artinya laporan atau catatan, atau ’jour’ dalam bahasa Prancis yang berarti ’hari’ (day) atau ’catatan harian’ (diary). Dalam bahasa Belanda, journalistiek artinya penyiaran catatan harian” (Romli, 2005:1).

Sementara secara konseptual, jurnalistik dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yaitu:

1. Sebagai proses, jurnalistik adalah ”aktivitas” mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melaui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).

2. Sebagai teknik, jurnalistik adalah ”keahlian” (expertise) atau


(53)

termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara.

3. Sebagai ilmu, jurnalistik adalah ”bidang kajian” mengenai pembuatan dan menyebarluaskan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, dan ide) melalui media massa. Jurnalistik termasuk ilmu terapan (applied science) yang

dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat sendiri (Romli, 2005:2).

2.3.2.Komponen Jurnalistik

Namun, secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita (news processing) dan penyebarluasannya melalui media massa.

Dari pengertian kedua ini, kita dapat melihat adanya empat komponen dalam dunia jurnalistik:

1. Informasi

2. Penyusunan Informasi 3. Penyebarluasan Informasi 4. Media massa (Romli, 2005:3)

2.4.Tinjauan Tentang Foto

2.4.1.Tinjauan Tentang Fotografi dan Foto Jurnalistik

”Fotografi menurut Amir Hamzah Sulaeman mengatakan bahwa fotografi berasal dari kata foto dan grafi yang masing-masing kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut: foto artinya cahaya dan grafi artinya menulis jadi arti fotografi secara keseluruhan adalah menulis dengan bantuan cahaya, atau lebih dikenal dengan menggambar dengan bantuan cahaya atau merekam gambar melalui media kamera dengan bantuan cahaya (1981;94)”.


(54)

Fotografi juga merupakan gambar, fotopun merupakan alat visual efektif yang dapat menvisualkan sesuatu lebih kongkrit dan akurat, dapat mengatasi ruang dan waktu. Sesuatu yang terjadi di tempat lain dapat dilihat oleh orang jauh melalui foto setelah kejadian itu berlalu.

Pada dasarnya tujuan dan hakekat fotografi adalah komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi antara fotografer dengan penikmatnya, yaitu fotografer sebagai pengatar atau perekam peristiwa untuk disajikan kehadapan khalayak ramai melalui media foto.

Fotografi kewartawanan mempunyai daya jangkau yang sangat luas. Dia menyusupi seluruh fase intelektual hidup kita, membawa pengaruh besar atas pemikiran dan pembentukan pendapat publik. Kerja seorang wartawan foto adalah titipan mata dari masyarakat di mana foto yang tersaji adalah benar-benar bersifat jujur dan adil. Fotografi kewartawanan atau jurnalis adalah profesi pekerjaan untuk memperoleh bahan gambar bagi pemakaian editorial dalam surat kabar, majalah serta penerbitan lain. Sedangkan pekerjaannya sendiri memperoleh gambar-gambar yang akan melukiskan berita, memperkuat berita yang ditulis oleh reporter dan menyajikan berita secara visual.

Photo-Journalism menurut Norman, dipahami sebagai mencakup

kombinasi gambar-gambar(ilustrasi) dan cerita (story). (1981; 183) fotografi

pers merupakan pekerjaan memperoleh bahan gambar-gambar bagi pemakai editorial dalam surat kabar, majalah dan penerbitan lainnya, sudah ada pada pers Indonesia. Pekerjaan press fotographer adalah memperoleh


(55)

gambar-gambar yang akan melukiskan berita, memperkuat cerita yang ditulis oleh reporter dan menyajikan berita secara visual.

Sesuai dengan sasaran yang esensial dari pekerjaan jurnalistik atau kewartawanan, yaitu membantu khalayak ramai mengembangkan sikap untuk menghargai apa yang dianggap baik, di samping merangsang kemauan untuk merubah apa yang dianggap kurang baik. Salah satu ciri yang dimiliki para juru foto koran adalah secepatnya disampaikan kehadapan sidang pembaca. Secepatnya berarti sesuai dengan sajian kehangatan peristiwa itu sendiri, sehingga betapa baiknya sebuah photo belumlah punya arti sebagai berita jika hanya disimpan dalam laci atau album.

Fotojurnalisik adalah suatu media sajian informasi berupa bukti visual (gambar) atas berbagai peristiwa yang disampaikan kepada masyarakat seluas-luasnya dengan tempo dan waktu yang cepat.

Foto jurnalistik secara umum memiliki ciri-ciri sebagai berikut; Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri --berita yang mandiri; menjadi pelengkap (ilustrasi) suatu berita/artikel; Dimuat dalam suatu media, media cetak atau online.

Foto jurnalistik juga merupakan media penyampai. Untuk jenis fotojurnalistik biasanya alat penyampai melalui media massa, surat kabar (koran), majalah, tabloid dsb. Dan dalam perkembangan, kini foto-foto peristiwa juga bisa diakses melalui media internet.


(56)

Pada awalnya fotojurnalistik ini hanya sebagai foto pendukung sebuah penerbitan saja. Namun dalam perkembangannya fotojurnalistik tak lagi sebagai foto pelengkap. Tetapi kini foto jurnalistik berkembang pesat dan mampu menjadi sebuah foto berita yang mandiri di dalam sebuah penerbitan.

Foto ini adalah kelompok foto yang digolongkan sebagai foto yang tujuan permotretannya karena keinginan “bercerita” pada orang lain. Jadi foto-foto di jenis ini kepentingan utamanya ingin menyampaikan pesan (massage)

pada orang lain dengan maksud agar orang lain tersebut melakukan sesuatu tindakan psikis maupun psikologis terhadap suatu peristiwa yang disajikan.

2.4.2.Karakteristik Foto Jurnalistik

1. Pada dasarnya foto jurnalistik adalah merupakan gabungan antara foto dan berita. Sehingga keduanya antara foto dan berita (teks foto) memiliki keterikatan yang tak bisa dipisahkan. Sebuah foto mampu memberikan informasi yang lengkap apabila dilengkapi keterangan foto (caption). Berdasarkan standar internasional press keterangan foto (teks foto) selalu melekat di dalam foto itu sendiri dengan melilihat keterangan foto di dalam file info buka photoshop.

2. Foto jurnalistik disajikan dengan sejujur-jujurnya, bagaimana adanya tanpa ada rekayasa dalam penyajiannya. Fotojurnalistik biasanya memiliki media berupa media cetak, koran, majalah, tabloid dll, tanpa melihat berapa jumlah tiras yang diterbitkan. Namun dalam perkembangannya kini fotojurnalitik bisa dilihat melalui internet.


(57)

3. Lingkup foto jurnalistik adalah manusia. Itu sebabnya seorang jurnalis foto harus punya kepentingan mutlak pada manusia. Sehingga dalam penyajiannya fotojurnalistik selalu ada unsur manusia, Seorang redaktur akan selalu menanyakan "Kok fotomu nggak ada manusianya". Itu sebabnya unsur manusia di dalam fotojurnalistik sangatlah penting dan mutlak.

4. Bentuk liputan foto jurnalitik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kempuan seseorang jurnalisfoto yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita. Tuga junalisfoto adalah melaporkan apa yang dilihat oleh mata kemudian direkam dalam sebuah gambar (image) yang kemudian disampaikan secara luas melalui media massa. Berilah kesan bawa pembaca (masyarakat) seolah-olah berada dilokasi peristiwa. Itu sebabnya bagi seorang fotojurnalis sangat pentik memiliki kemampuan dalam melakukan perekaman yang dituangkan dalam sebuah gambar yang dengan mudah dipahami oleh orang awam (masyarakat luas).

5. Foto jurnalistik adalah media komonukasi visual hasil liputan dari seorang fotojurnalis yang disampaikan kepada masyarakat luas. Fotojurnalistik juga merupakan media ekspresi seorang jurnalisfoto terhadap hasil karya-karyanya setelah melakukan hasil liputannya. Sehingga tak heran jika dalam sebuah media menyiapkan halamannya secara khusus untuk memajang foto-foto hasil liputan jurnalisfotonya. Baik foto yang di sajikan dalam bentuk display maupun dalam bentuk essai foto (foto bercerita).


(58)

6. Foto jurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual yang luas, jeli, arif dan bermoral dalam menilai foto-foto yang dihasilkan oleh fotojurnalis. Seorang penyunting (redaktur foto) juga harus mampu membantu mematangkan ide-ide dan konsep jurnalisfoto yang melakukan liputan terhasap sebuah peristiwa. Penyunting foto juga harus mampu memberi masukan, memilih foto agar tidak monoton terhadap foto-foto yang hendak disiarkan (dimuat). 4. Foto jurnalistik memiliki akurasi yang tinggi, karena seorang jurnalis

secara langsung merekam peristiwa yang terjadi dilokasi. Pada setiap event seperti bentrokan, kerusuhan, perang dsb, seorang fotojurnalis selalu berada di garda paling depan, guna mengabadikan peristiwa melalui kameranya.1

2.5.Tinjauan Tentang Semiotika

2.5.1.Definisi Semiotika

Menurut Preminger, semiotika adalah ilmu tentang tanda yang menganggap bahwa fenomena sosial dan masyarakat itu merupakan tanda- tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvesi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (dalam Sobur, 2001, p. 96).

Semiotik sebagai suatu modal dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar

4


(1)

122

PEDOMAN WAWANCARA

Analisis Semiotika Foto Asap Berbentuk Petruk Pada Meletusnya Gunung Merapi Di Yogyakarta.

Nara Sumber : Bpk. Drs. Odji Kurniadi, M.Si. Sebagai : Ahli Fotografi dan Semiotika Hari/Tanggal : Senin, 4 Februari 2011

4. Klasifikasi Makna Denotasi :

Makna denotasi yang terdapat dalam foto Awan berbentuk petruk pada peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta menurut peneliti menandakan bahwa yaitu asap Petruk, gunung merapi, Visualisasi gambar asap Petruk yang ada pada foto di gunung merapi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai tanda bahwa adanya letusan gunung merapi yang sangat besar. Sosok petruk tersebut dapat dijadikan suatu tanda yang mempunyai makna yang dimana sesosok mbah petruk telah muncul dan menagih janjinya kepada masyarakat Yogyakarta. Apakah Menurut Bapak Itu benar?

Jawaban:Saya kira foto ini dapat di nilai dari awal mula siapa yang mengutarakan terlebih dahulu pendapatnya dengan persepsi apakah foto ini berbentuk petruk atau berbentuk gatot kaca dan bisa di bilang bentuk apapun, itu terjadi karena persepsi masing-masing orang, setelah di sambungkan dengan budaya dan kejadian orang dapat lebih meyakinkan makna tersebut dengan adanya fenomena.


(2)

5. Klasifikasi Makna Konotasi :

Makna konotasi ini timbul didasari oleh kebudayaan masyarakat Jawa tetapi sebenarnya bisa menimbulkan makna konotasi yang berbeda bagi setiap orang. Kepercayaan masyarakatlah yang menghubung-hubungkan arti makna foto tersebut sebagai pertanda alam yang mengingatkan akan terjadinya sebuah peristiwa atau bencana dimana petruk yang sedang menoleh ke kanan menandakan letusan gunung merapi yang sangat besar akan terjadi di arah selatan Yogyakarta sebagai luapan kemarahan Petruk yang merupakan pengejawantahan rakyat.

Apakah Menurut Bapak itu benar?

Jawaban: Saya katakan foto tersebut tidak menimbulkan makna konotasi apapun apabila di ambil dari sudut pandang logika, logika yang tidak dilatarbelakangi peristiwa dan kebudayaan dan makna tersebut akan timbul tergantung siapa orang yang ditanya, latar kebudayaan orang tersebut sehingga apapun jawaban yang akan ditimbulkan dapat di benarkan.

6. Klasifikasi Makna Mitos :

Makna Mitos pesan-pesan yang di berikan oleh masyarakat verbal dan non verbal dalam foto Awan berbentuk Petruk pada Peristiwa meletusnya gunung merapi di Yogyakarta yang di mana Sosok petruk tersebut dapat dijadikan suatu tanda yang mempunyai makna yang dimana sesosok mbah petruk telah muncul dan menagih janjinya kepada masyarakat dan diyakini oleh masyarakat setempat awan berbentuk petruk tersebut ialah penguasa gaib Merapi yang “bertanggungjawab” terhadap dunia “gaib” Merapi gunung merapi


(3)

124

Jawaban:Foto ini sudah bisa menceritakan bahwa apa yang telah terjadi pada foto asap berbentuk petruk ini dapat membuat keyakinan masyarakat bahwa petruk adalah seorang punakawan yang sangat penting dalam gunung merapi, karena petruk telah menguasai kawah gunung merapi dan sudah di percayai turun menurun karena itu masyarakat juga mempercayai bahwa sosok petruk tersebut sedang menunggu gunung merapi tersebut.


(4)

(5)

119

Bandung, 4 Februari 2011

Kepada YTH. Informan Penelitian Di tempat

Dengan Hormat,

Peneliti Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indoneia (UNIKOM) Bandung :

Nama : Ficky Pratama

NIM : 41806069

Semester : Sembilan (9)

Sedang melakukan penelitian skripsi dalam rangka memenuhi ujian sarjana yang berjudul “Analisis Semiotika Tentang Foto Awan Berbentuk Petruk pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta”.

Sehubung dengan hal diatas, saya berharap Bapak bersedia membantu kelancaran penelitian ini dengan menjawab wawancara mendalam yang akan saya lakukan. Jawaban Bapak merupakan informasi yang sangat berarti. Oleh karena itu, kelengkapan dalam wawancara mendalam dan kejujuran dalam menjawab pertanyaan sangat peneliti harapkan.

Adapun hasil dari wawancara yang dilakukan hanya untuk digunakan sebagai bahan penelitian dan tidak digunakan untuk kepentingan lainnya. Demikian surat ini disampaikan atas perhatian, dukungan dan kerjasama Bapak saya ucapkan terima kasih banyak.

Hormat Saya


(6)

ii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Ahli Madya, Sarjana, Master dan Doktor) baik di Universitas Komputer Indonesia maupun Perguruan Tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah dan dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dan jelas ditentukan sebagai acuan dalam naskah yang telah disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sangsi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini serta lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.

Bandung, Februari 2011

( Ficky Pratama ) NIM. 41806069


Dokumen yang terkait

ANALISIS SEMIOTIK UPACARA "LABUHAN" DI GUNUNG MERAPI

0 26 56

PENDAHULUAN PENGARUH PEMBERITAAN BENCANA ALAM MELETUSNYA GUNUNG MERAPI TERHADAP SIKAP MASYARAKAT.

0 4 33

PENUTUP PENGARUH PEMBERITAAN BENCANA ALAM MELETUSNYA GUNUNG MERAPI TERHADAP SIKAP MASYARAKAT.

0 4 7

TEKNIK FOTO JURNALISTIK BENCANA ALAM MELETUSNYA GUNUNG MERAPI DI YOGYAKARTA TEKNIK FOTO JURNALISTIK BENCANA ALAM MELETUSNYA GUNUNG MERAPI DI YOGYAKARTA DALAM SURAT KABAR HARIAN LOKAL (Analisis Isi Kuantitatif Foto Jurnalistik Pada Peristiwa Meletusnya Gu

0 5 15

BAB 1 TEKNIK FOTO JURNALISTIK BENCANA ALAM MELETUSNYA GUNUNG MERAPI DI YOGYAKARTA DALAM SURAT KABAR HARIAN LOKAL (Analisis Isi Kuantitatif Foto Jurnalistik Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Surat Kabar Harian Ked

0 4 34

KESIMPULAN DAN SARAN TEKNIK FOTO JURNALISTIK BENCANA ALAM MELETUSNYA GUNUNG MERAPI DI YOGYAKARTA DALAM SURAT KABAR HARIAN LOKAL (Analisis Isi Kuantitatif Foto Jurnalistik Pada Peristiwa Meletusnya Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Surat K

0 2 134

Awan Panas Merapi.

0 0 2

Analisis Kerentanan Penduduk Terhadap Bahaya Awan Panas Gunung Merapi Studi Kasus Kecamtan Cangkringan Kabupaten Sleman D.I. Yogyakarta.

0 0 19

STRATEGI STRATEGI UNTUK BERTAHAN hidup

0 1 91

Pengaruh pengalaman anak terhadap pengetahuannya : studi kasus tentang pengetahuan anak mengenai Gunung Merapi berkaitan dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada bulan Oktober dan November 2010 di Yogyakarta - USD Repository

0 1 207