Kepercayaan Tradisional "Arat Sabulungan" dan Penghapusannya di Mentawai

Mulhadi: Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”...

KEPERCAYAAN TRADISIONAL “ARAT SABULUNGAN”
DAN PENGHAPUSANNYA DI MENTAWAI
Mulhadi
Abstract: For the people of Mentawai, Arat Sabulungan is a system of
knowledge, value and norm to understand their environment. On the other side,
Arat Sabulungan is a form of religious system that to believe supernatural like
spirit, in the sky, earth, land, forest, water, or in the tree. Actually Arat
Sabulungan is different with a religion and it is not from the religion that exist in
Indonesia. It is more like an animism. Arat Sabulungan then has made a problem
so that government has stopped it. It is interest to know how Arat Sabulungan in
Mentawai has begun and stopped.
Kata Kunci: Kepercayaan, “Arat Sabulangan”, Penghapusannya

Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik yang
letaknya memanjang di bagian paling barat Indonesia, lebih dari seratus kilometer di hadapan
garis pesisir pulau Sumatera. Sekalipun dari segi posisi geografis merupakan suatu kelompok,
namun kebudayaan tradisional penduduk pulau-pulau tersebut sangat berbeda. Pulau Nias
misalnya, terkenal karena monumen-monumen batunya yang besar-besar (megalith) serta
kehebatan wujud desa-desanya yang merupakan pencerminan pola pemikiran hierarkis dengan

menonjolkan keturunan; pola pemikiran ini sangat mewarnai sistem sosial dan agama, dan
merupakan kekhasan tradisi kebudayaan zaman perunggu di Indonesia. Tetapi kebudayaan
tradisional di Kepulauan Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius,
(dibeberapa tempat di pedalaman Pulau Siberut misalnya,penulis) masih menampakkan wujud
neolitik atau zaman batu muda (Schefold. 1991:13). Kekunoan yang aneh dari wujud
kebudayaan di Mentawai sudah menarik perhatian orang-orang yang datang ke situ pada abad
ke-18. Mereka terheran-heran ketika menyadari bahwa orang Mentawai lebih banyak
menampakkan kemiripan dengan penduduk kepulauan Hawaii, Tahiti serta kepulauan
Polynesia (Fund. 1980:61).
Orang Mentawai memiliki kulit tubuh yang kuning kecoklatan, mata yang cendrung
sipit, serta rambut kejur nan tipis, merupakan ciri dari homo sapiens yang paling awal datang
ke Kepulauan Indonesia. Dengan mempertimbangkan bahasa yang digunakan, mereka
digolongkan ke dalam rumpun Proto Melayu yang mempunyai akar-akar kebudayaan neolitik
dengan sedikit pengaruh zaman perunggu, tetapi tidak dipengaruhi oleh Buddhisme,
Hindhuisme, maupun Islam, kecuali dalam puluhan tahun belakangan ini. Sekaligus
menunjukkan bahwa mereka telah ada beberapa ribu tahun yang lalu, dan menjadikan
kebudayaan Mentawai sebagai kebudayaan tertua yang masih ada dan tersisa di Indonesia
(Swasono. 1997:192).
Orang Mentawai dikenal dengan sistem religi (kepercayaan) masyarakatnya yang
disebut Sabulungan, yang dilandasi oleh keyakinan akan adanya dewa-dewa, kekuatan gaib

lainnya serta roh-roh leluhur. Karena itu secara umum adat mereka pun disebut Arat
Sabulungan. Sedangkan mereka sendiri sering dijuluki sebagai orang Sabulungan.
50

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Menarik untuk diketahui bahwa kepercayaan Arat Sabulungan masih memiliki
eksistensi dalam kehidupan masyarakat asli Mentawai. Kehadirannya sangat terasa manakala
kita berada di lingkungan penduduk desa yang bermukim di Pulau Siberut. Ada keyakinan
bahwa bertahannya kepercayaanya ini disebabkan desa-desa (laggai) di Pulau Siberut
umumnya (secara geografis) berada jauh di pedalaman yang sangat sulit dijamah dengan alat
transportasi biasa. Disamping faktor lain, seperti ikatan mereka yang sangat kuat pada hukum
adatnya. Walaupun Protestan, Islam dan Katolik sudah menjadi agama resmi penduduk asli
Mentawai (sejak tahun 1954), tetapi pada umumnya mereka masih menjalankan prinsip-prinsip
hidup ala Arat Sabulungan dalam kehidupan sehari-hari. Hingga saat ini belum ada sistem
hukum adat baru yang mampu menggantikan posisi Arat Sabulungan yang selama ini mereka
junjung tinggi karena mereka beranggapan bahwa Arat Sabulungan sebagian besar prinsipprinsipnya masih relevan dengan budaya dan cita-cita hukum masyarakatnya.
Namun demikian, secara historis, kepercayaan ini sudah pernah dilarang oleh
Pemerintah pada tahun 1954, penduduk asli disuruh memilih satu dari lima agama yang resmi
diakui pemerintah (pada saat itu di Mentawai baru dimasuki dua agama yakni Protestan dan
Islam). (Cohen. 1993: A18)

Namun upaya tersebut ternyata tidak langsung membuahkan hasil. Upaya tersebut
masih harus diikuti dengan beragam taktik dan strategi hingga akhir tahun 1970-an sehingga
membuat orang Mentawai kewalahan untuk mempertahankan konsistensinya, pelan-pelan
mereka mulai meninggalkan kepercayaan dan adat istiadatnya beralih menganut kepercayaan
baru yang mau tidak mau harus diterima.
Dalam kontek pembangunan dan peradaban modern, Pemerintah dan missionaries
memiliki pendapat yang sama bahwa kepercayaan Sabulungan adalah bentuk sistem religi suku
bangsa primitive yang pernah ada di bumi Mentawai, sehingga sudah tidak sepantasnya hidup
atau dianut oleh masyarakat Mentawai saat ini, oleh karenanya tidaklah salah untuk
disingkirkan dari kehidupan orang Mentawai. Dalam usaha ini kelihatan sangat nyata bahwa
pemerintah dan missionaries bekerjasama (bahu membahu) untuk menyingkirkan pengaruh
Arat Sabulungan dari bumi Mentawai. Saat ini, mayoritas orang Mentawai memeluk Agama
Kristen Protestan, dan sebagian lagi beragama Katolik dan Islam. Walaupun demikian,
sebagian besar orang Mentawai di Siberut masih memegang teguh religinya yang asli yakni
Arat Sabulungan. (Rudito. 1993: hal.62)
Artikel ini ingin mengupas lebih detail mengenai makna Arat Sabulungan bagi orang
Mentawai, dilajutkan dengan uraian mengenai pemahaman orang luar Mentawai (Pemerintah)
bahwa Arat Sabulungan merupakan bagian tidak terpisahkan dari aliran-aliran kepercayaan
atau kebatinan lainnya, serta landasan yuridis penghapusan Arat Sabulungan berbarengan
dengan penghapusan bentuk-bentuk aliran kepercayaan atau kebatinan lainnya di Indonesia.

MAKNA ARAT SABULUNGAN BAGI ORANG MENTAWAI
Animisme menjadi landasan pokok kepercayaan orang Mentawai. Mereka percaya
bukan hanya manusia saja yang memiliki roh dan jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan,
batu dan air, bahkan pelangi pun mempunyai jiwa. Lebih dari itu, bagian-bagian dari suatu
kerangka benda kadang-kadang mempunyai jiwa. Walaupun demikian, ada juga sebagian
orang Mentawai yang menolak Arat Sabulungan disamakan dengan animisme.
Animisme adalah kepercayaan tentang eksistensi jiwa-jiwa dan roh-roh, (Peter Salim.
1997: 65),atau kepercayaan khusus bahwa semua fenomena natural, seperti tumbuhan,
binatang, bebatuan, petir dan gempa bumi mempunyai jiwa, serta bisa mempengaruhi segala
aktivitas manusia (animism is specialized the belief that all natural things, such as plants,
animals, rocks, thunder and earthquakes, have spirits and can influence human events).
(Cambridge International Dictionary of English, (London. 1996: 49).
51

Mulhadi: Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”...

Kepercayaan kepada makhluk halus dan roh-roh ini merupakan asas kepercayaan
yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai
bahwa setiap benda di Bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar),
mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia,

malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian
mereka (http://id.wikipedia.org/wiki/Animisme)
Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami tempat-tempat yang dinyatakan di atas,
kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke
dalam tubuh hewan. Kepercayaan ini juga berlaku pada masyarakat suku Nias yang
mempercayai bahwa seekor tikus yang keluar masuk dari rumah merupakan roh daripada
wanita yang telah mati beranak. Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi
atau harimau dan dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan
pada masa hidupnya. Kepercayaan ini menyerupai kepercayaan reinkarnasi seperti yang
terdapat pada agama Hindu dan Budha.
Selain dari jiwa, orang Mentawai juga percaya kepada roh-roh, baik yang bertempat di
udara, laut, darat (perut bumi), maupun hutan belantara. Roh-roh itu dibedakan dengan jiwa.
Roh dapat berpindah-pindah, bisa hidup sendiri dan terbang ke luar dari tubuh dan leluasa
berhubungan dengannya. Konsep kepercayaan seperti inilah yang disebut Arat Sabulungan.
Kebanyakan orang Mentawai masih sangat animis dan bahkan belum sepenuhnya percaya pada
aktivitas misionaris Kristen maupun agama resmi lain, walaupun secara formil mereka sudah
menganut agama tersebut. (Encyclopædia Britannica Article, dalam http://www.britannica.
com/eb/article-9052052/Mentawai-Islands)
“Arat” memiliki makna yang sangat luas. Dalam bahasa dan kebudayaan Mentawai,
arat mencakup segala hal yang digolongkan kepada tradisi. Tradisi nenek moyang yang mutlak

harus diterima tanpa gugatan, karena telah diperjuangkan dari masa ke masa, yang mendarah
daging dalam kehidupan masyarakat selama ratusan tahun. Oleh karena itu, arat menjadi
filsafat hidup, norma kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam keluarga dan suku. Arat
merupakan warisan suci, karena semenjak dahulu ditemukan oleh nenek moyang dan
kelestariannya harus dijaga dengan baik. (Coronese:1986: 36)
Hidup dalam bimbingan arat menyebabkan orang Mentawai menjadi konservatif,
namun hal yang demikian tidak dapat mencabut akar kebebasan dalam kehidupan, malah tetap
menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia. Setiap perbuatan yang baik senantiasa
sesuai dengan arat. Tingkah laku yang bertentangan dengan arat disebut dosa. Sesuatu hal yang
belum pernah berlaku dan mengganggu keselarasan hidup di masyarakat dianggap sebagai
kejahatan.
Mentaati arat berarti merelakan diri dibimbing oleh tradisi, yang menjadi ukuran
prima dalam setiap moralitas. Arat dijadikan landasan pokok dan norma dalam penentuan
segalanya: manusia, binatang, fenomena natural (gejala alamiah), dan rentetan waktu. Garis
besar haluan hidup berpedoman kepada arat, dan aratlah yang langsung mengaturnya. Semua
tingkah laku dan aktifitas sosial masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mengacu pada arat.
Arat bagi masyarakat Mentawai adalah keselarasan dengan dunia, pemersatu dengan uma dan
jaminan hidup yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Dengan kata lain, arat
memiliki makna sebagai cara bagi orang Mentawai merefleksikan dirinya dengan dunia, baik
dunia materil maupun dengan dunia non-materil (supranatural).

“Sabulungan” merupakan nama yang dipakai untuk menyebut kepercayaan orang
Mentawai, yakni roh-roh. Jika dicermati dari struktur katanya, sabulungan berasal dari kata
bulug atau bulung yang berarti daun. Setelah mendapat awalan sa (sa=sekumpulan) dan
akhiran an (an=banyak). Maka sabulungan berarti sekumpulan dedaunan. Ini ada benarnya,
disebabkan dedaunan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan orang Mentawai.
52

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Dalam setiap upacara ritual yang diselenggarakan, seperti kelahiran, perkawinan, pengobatan,
maupun kematian, selalu menggunakan dedaunan sebagai perangkat, atau perlengkapannya.
Namun demikian, ada sebagian orang Mentawai yang tidak sepenuhnya setuju cara
penerjemahan seperti di atas. Menurut mereka, sabulungan adalah sekedar sebuah nama atau
sebutan yang ditujukan untuk mengidentifikasi dunia supra natural (dunia roh-roh).
Pada prinsipnya Arat Sabulungan merupakan suatu sistem pengetahuan, nilai, norma,
dan aturan hidup yang dipegang kuat oleh masyarakat Mentawai dalam memahami serta
menginterpretasi lingkungan yang ada di sekitarnya yang terdiri dari pola-pola interaksi
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, udara dan juga benda-benda hasil buatan
manusia. Hasil pemahaman tersebut digunakan untuk mendorong terwujudnya tindakan yang
muncul dari orang-orang sebagai anggota masyarakat suku bangsa Mentawai. (Rudito. 1999:
104 -105)

Arat Sabulungan adalah adat istiadat yang hidup dalam masyarakat yang tercakup di
dalamnya kepercayaan kepada hal-hal yang bersifat supra natural seperti roh-roh dan arwaharwah yang mendiami seluruh alam ini, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, tanah dan bendabenda hasil buatan manusia, sehingga merupakan juga kosmologi orang Mentawai. Pada sisi
lain, Arat Sabulungan juga merupakan bentuk sistem religi (bukan agama) orang Mentawai
yang meyakini adanya dunia supranatural yakni berupa roh-roh, baik yang bertempat tinggal
atau hidup di langit, bumi, tanah, hutan belantara, air, laut, ataupun yang berada di pohon.
Kepercayaan religius orang Mentawai mencerminkan kehidupan sosial mereka.
Keseimbangan dan keserasian dalam hubungan-hubungan yang dicita-citakan di dalam dan
antar uma juga diterapkan dalam dunia supranatural mereka. Menariknya, di alam suparantural
ini tidak terdapat kekuatan yang paling dominan. Semua roh dan jiwa saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi satu sama lain. Tanpa campur tangan manusia, kekuatan-kekuatan ini
berada dalam suatu keadaan yang seimbang. (Schefold. 1988; 207).
Bagi orang Mentawai, segala sesuatu yang ada sebutannya – manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, benda, dan bahkan fenomena yang tampak sesaat saja seperti pelangi dan
langit tak berawan – memiliki jiwa atau roh (simagere). (Melvin Ember, Carol R. Ember, and
Ian Skoggard (Ed.). 2002; 210).
Bagian-bagian dari satu keseluruhan yang lebih besar pun dikatakan memiliki roh:
rumah sebagai satu keseluruhan mempunyai roh, tetapi begitu pula halnya dengan lantai, atap,
balok-balok dan sebagainya. Roh merupakan semacam padanan spiritual dari segala sesuatu
yang ada, dan merupakan makhluk individual yang dapat melepaskan diri dari tubuh kasar
serta berkeliaran secara mandiri. Sewaktu mengembara, roh-roh saling bertemu dan dapat

saling mempengaruhi. Ini berlaku baik bagi roh segala sesuatu yang nampak, maupun roh
nenek moyang serta kelompok roh yang baik dan jahat yang bermukim di alam sekitar.
Roh terwujud bersama jasad yang ditempati, tetapi kemudian, apabila jasad itu
musnah, roh bersangkutan tidak akan ikut musnah, melainkan hidup terus. Menurut orang
Mentawai hal itu sudah pasti begitu, setidak-tidaknya pada manusia dan hewan; pada mereka
roh-roh yang terus hidup memainkan peranan dalam upacara-upacara. Sedangkan apa yang
selanjutnya terjadi dengan roh tumbuh-tumbuhan serta benda, apabila jasadnya sudah lenyap,
tidak dijadikan pemikiran. Antara roh dan jasad selalu ada hubungan, dan apa yang dilakukan
oleh salah satu diantaranya akan mempengaruhi yang lainnya. Ini dinampakkan dengan jelas
dalam berbagai perilaku seremonial. Misalnya saja, para dukun (sikerei) dari suatu uma
(Schefold. 1985;19) pada kesempatan-kesempatan tertentu dalam rangka upacara yang
dilakukan di dalam kelompok sendiri memanggil roh para anggota kelompok jiran, dengan
tujuan agar jasad mereka datang untuk meminta para dukun yang bersangkutan agar melakukan
fungsi mereka. Panggilan agar datang ke kelompok-kelompok lain akan meninggikan martabat

53

Mulhadi: Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”...

seorang dukun, kecuali itu sebagai imbalan ia akan memperoleh daging (namun imbalan

berupa daging ini kemudian harus dibagi-bagi dengan para anggota semua).
Perilaku serupa nampak sebelum pergi berburu. Roh satwa yang akan dijadikan
sasaran perburuan – monyet, rusa, babi hutan – dimanterai agar datang ke uma. Kemudian,
apabila dalam perburuan dijumpai seekor satwa seperti itu – katakanlah rusa, maka rusa itu
secara tak sadar ingin sekali kena panah pemburu, supaya nanti bisa bergabung lagi dengan
rohnya yang sudah terbujuk datang ke uma. Dengan begitu rusa menjadi mangsa yang
gampang diperoleh. Tengkorak satwa buruan kemudian dibersihkan dengan cermat, lalu
dihiasi; tujuannya adalah agar roh satwa itu tetap merasa senang berada disitu. Saban kali
sebelum pergi berburu dihidangkan sajian pada tengkorak-tengkorak itu, disertai permintaan
semoga roh-roh satwa yang sudah tinggal tengkorak itu memanggil roh kerabatnya agar datang
menemani dan tinggal pula di uma.
Benda-bendapun diperlakukan dengan tindakan ritual yang serupa. Dalam setiap
proses pernikahan termasuk pula bertukaran benda-benda milik antara kedua belah uma yang
terlibat, kelompok kerabat pengantin pria lebih banyak memberi hadiah (disebut ala toga)
daripada kelompok kerabat pengantin wanita (iba toga), karena wanita itu kemudian akan
pindah dan menjadi anggota uma suaminya. Sebelum kelompok kerabat pengantin wanita
berangkat untuk melangsungkan perundingan dengan para kerabat pengantin pria mengenai
hal-hal yang menyangkut jenis dan nilai ala toga yang akan diminta, para kerabat pengantin
wanita mengadakan upacara memanggil roh benda-benda tersebut seperti roh panci-panci
(periuk), kuali, parang, beliung (kapak), kelambu dan lainnya agar pindah dari uma calon

pengantin pria dan datang ke uma mereka. Jika kemudian ternyata bahwa para kerabat
mempelai pria dengan rela memberikan benda-benda yang diingini, maka itu berarti bahwa
upacara pemanggilan roh-roh itu berhasil.
ARAT SABULUNGAN SEBAGAI ALIRAN KEPERCAYAAN/KEBATINAN
Arat Sabulungan merupakan asas kepercayaan yang pertama kali dikenal oleh orang
Mentawai. Karena keterisolirannya, kepercayaan ini bertahan hingga saat ini, walaupun
eksistensinya lebih kental dijumpai pada orang-orang Mentawai yang bermukim di Pulau
Siberut. Hal ini masuk akal mengingat Pulau Siberut merupakan pulau terbesar yang sangat
sulit dijangkau dari segi geografisnya, baik melalui jalur darat, sungai, maupun pantai.
Disamping itu, Pulau Siberut merupakan tempat bermukim penduduk asli Mentawai dan di
pulau ini pulalah kepercayaan Arat Sabulungan pertama kali mulai berkembang. Walaupun
masyarakatnya sudah menganut agama monoteisme (Protestan, Islam dan Katolik), namun
mereka masih enggan melepaskan diri dari aktivitas dan ritual-ritual (puliaijat) yang bernuansa
Arat Sabulungan. Hampir setiap sisi aktivitas hidup warganya diwarnai muatan Arat
Sabulungan.
Menurut hemat Penulis, sebenarnya Arat Sabulungan tidak bisa disamakan dengan
“aliran kepercayaan”, atau “aliran kebatinan”, namun demikian dalam kategorisasi “aliran
kepercayaan atau kebatinan” yang dibuat oleh pemerintah ternyata mencakup juga di dalamnya
suatu ajaran animisme (apapun bentuknya) seperti Arat Sabulungan. Disini kelihatan bahwa
pemerintah/penguasa memandang Arat Sabulungan sebagai kepercayaan yang memiliki
hubungan dengan aliran kepercayaan/kebatinan. Akhirnya, Arat Sabulungan mau tidak mau
harus diterima sebagai bentuk “aliran kepercayaan” atau “aliran kebatinan” walaupun
sebenarnya ia lebih tepat disebut sebagai “kepercayaan tradisional” (traditional religion)
sebagaimana dikemukakan oleh (Schefold. 1998; 271). Dikatakan sebagai “kepercayaan
tradisional” karena Arat Sabulungan sudah ada pada masa-masa awal keberadaan orang
Mentawai ratusan tahun silam. Sedangkan istilah aliran kepercayaan baru dikenal oleh
masyarakat Indonesia sejak tahun 1977, walaupun kehadiran formalnya pernah diintrodusir
54

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
dalam GBHN 1973. Aliran kepercayaan usianya masih sangat muda dan kelahirannya sangat
dipengaruhi oleh dan merupakan rivalitas (sempalan) dari keberadaan agama-agama resmi
yang diakui oleh Negara, seperti Islam, Protestan, Katolik, Budah, Hindu dan Konghucu.
Bagi orang Mentawai, Arat Sabulungan dijadikan sebagai falsafah hidup, tata nilai,
norma ataupun tata perilaku yang pernah ada pada masa dahulu yang keberadaannya sangat
diperlukan sesuai dengan tingkat peradaban ketika itu dalam rangka merefleksikan diri baik
terhadap sesama, lingkungan, maupun dengan dunia supranatural. Walaupun Arat Sabulungan
pernah dijunjung tinggi dan dipertahankan keberadaannya oleh generasi tua Mentawai dahulu,
namun demikian, orang Mentawai tidak pernah menganggapnya sebagai agama baru, apalagi
berusaha memperjuangkannya agar sejajar dengan agama-agama resmi yang diakui pemerintah
saat ini, seperti pada kasus-kasus aliran kepercayaan lainnya. Bahkan generasi muda Mentawai
saat ini umumnya sudah tidak tahu dengan jenis kepercayaan yang pernah ada dan dianut oleh
nenek moyang mereka dahulu.
Arat Sabulungan juga tidak mengandung ajaran sesat seperti aliran-aliran kepercayaan
lainnya sehingga harus diberangus keberadaannya. Hanya saja kehadirannya dianggap sebagai
ancaman karena mengandung pemujaan-pemujaan yang bertolak belakang dengan prinsipprinsip dasar agama-agama monoteisme saat ini. Arat Sabulungan dipandang sebagai
kepercayaan golongan masyarakat primitif yang pernah ada tetapi sudah tidak up to date
(tertinggal) dengan kehidupan masyarakat dalam konteks kekinian dan tidak perlu
dikembangkan ataupun mendapat dukungan dalam pengembangannya. Sehingga ia
ditempatkan sejajar dengan aliran kepercayaan atau kebatinan lainnya yang harus dihapuskan.
Pelarangan Arat Sabulungan oleh pemerintah pada tahun 1954 bukan lantaran ia
mengandung ajaran sesat atau menyesatkan, karena ia bukan sempalan dari salah satu agama
resmi yang diakui pemerintah, melainkan semata-mata perasaan takut pemerintah karena ia
dianggap berpotensi mengancam stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia kala itu.
Walaupun demikian, pada sisi lain sebenarnya pemerintah memiliki tujuan positif agar suku
bangsa Mentawai (yang dipandang sebagai masyarakat terasing saat itu) sejajar dan bisa
menempatkan diri sebagai bagian yang terintegrasi dari bangsa Indonesia yang sedang
membangun serta memiliki hak yang sama untuk berkembang seperti suku-suku bangsa
Indonesia lainnya. Dalam konteks pembangunan nasional yang adil dan merata, pemerintah
memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk tidak membiarkan sebagian dari
warganegara atau kelompok masyarakat tertentu seperti Mentawai tetap dalam kondisi
ketertinggalan dengan kungkungan budaya lokal dan kepercayaan tradisionalnya. Atas dasar
itu, pemerintah melakukan pelarangan terhadap Arat Sabulungan yang puncaknya dilakukan
pada tahun 1954 dengan terselenggaranya Rapat Tiga Agama. Walaupun demikian, Revolusi
Budaya yang dilancarkan oleh penguasa pada masa itu berpengaruh negatif pada hilangnya
identitas budaya asli orang Mentawai, yang seyogyanya tetap terus dijaga sebagai asset
berharga dalam konteks pembangunan saat ini.
Menurut apa yang dipahami selama ini, “aliran kepercayaan” merupakan suatu ajaran
pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak bersandarkan
sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada. Dengan kata lain, paham “aliran
kepercayaan” tidak berpegang ataupun tidak menganut pada suatu ajaran agama tertentu
(Rachmat Basuki Soeropranoto, Aliran Kepercayaan, Minggu, 26 Maret 2000, dalam
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/03/26/0015.html)
Karena tidak menganut suatu ajaran agama tertentu, maka terbukalah suatu kondisi
bagi penganjur gerakan “aliran kepercayaan” untuk merumuskan atau menafsirkan ajaran
moral dan “penembahan kepada Tuhan” sesuai dengan pendapat dan pengalaman hidup
sendiri. Hal ini mengakibatkan berbagai gerakan kebatinan yang bernaung dalam sebutan

55

Mulhadi: Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”...

“aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” itu tidak mempunyai guru dan ajaran yang
sama satu dengan lainnya.
Ada "aliran kepercayaan" yang dalam ajarannya mencampur-adukkan
pengertian ajaran lslam dengan agama Hindu dan Budha. Ada pula “aliran kepercayaan” yang
mengajarkan animisme dan tahyul, serta ada yang pada akhirnya tenggelam dalam bentuk
pemujaan seks, yang melahirkan ritual “menembah Tuhan yang pornografis dan sebagainya.
Aliran kepercayaan tidak memiliki standar falsafah hidup dan ketuhanan tertentu, sehingga
menimbulkan suatu kondisi dimana terbukanya aliran ini terhadap pengaruh bermacam-macam
falsafah, agama, ideologi, pemikiran yang wishful thinking, bahkan penyembahan nenek
moyang dan sebagainya ke dalam ajaran itu.
Sebagian orang di Indonesia kemungkinan masih ingat dengan beberapa contoh aliran
kepercayaan seperti Islam Murni, Pangestu, Subud, Ngelmu Sejati, Islam Hak, dan bahkan ada
yang menamakan diri “Agama Pancasila”. Yang disebut “Agama Pancasila” itu muncul di desa
Pamengpeuk, Bandung, yang ajarannya mengangkat lima dasar negara kita menjadi agama
atau dasar kepercayaan seseorang. Tetapi sebagaimana ajaran yang tidak berpijak pada dasar
yang kuat, “Agama Pancasila” sudah tidak ketahuan nasibnya
Sejarah lahirnya aliran kepercayaan itu sebenarnya bermula semenjak tumbangnya
PKI tahun 1966, kelompok-kelompok komunis ini mencari payung untuk perlindungan.
Mereka menggunakan alternatif berlindung di bawah pergerakan Islam, Kristen, dan
sebagainya. Kemudian para penganut aliran kepercayaan ini memiliki perasaan trauma dan
dendam yang membuat mereka jadi atheis. Penyebabnya karena orang-orang komunis ini
banyak yang dibunuh oleh orang Islam. Dengan masuknya kaum komunis di kalangan
organisasi formal seperti pergerakan Kristen, Islam, dan sebagainya, menimbulkan semangat
baru tumbuhnya aliran kepercayaan. Bahkan mereka tumbuh sangat pesat setelah merasa
mendapat legitimasi dari GBHN dan para pejabat yang mendukungnya. Apalagi didukung
oleh sikap politik orang-orang seperti Ali Moertopo, Djatikusumo, Soedjono Humardhani pada
tahun 1973. (Aliran ini Akan Merongrong Kewibawaan Islam
dalam
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/11/16/0025.html, hal.2)
Melihat struktur dan kondisi ajaran yang tidak mempunyai pembakuan itu, maka
aliran kepercayaan mudah disusupi atau memunculkan pemikiran-pemikiran tahyul,
perdukunan, pencabulan, ramalan-ramalan palsu dan sebagainya. Untuk mengatasi
kemungkinan-kemungkinan negatif itu, pada masa Orde Lama Kejaksaan Agung membentuk
Panitia Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), guna mengawasi kegiatan aliran
kepercayaan agar supaya tidak membahayakan kepentingan masyarakat dan negara.
Menurut catatan resmi PAKEM, di Jawa Tengah terdapat 103 gerakan aliran
kepercayaan, sedangkan di Sumatera Timur terdapat 96 gerakan. Tentang jumlah gerakannya
mengingat struktur dan ajarannya tentu bisa bertambah atau berkurang mengingat mudah sekali
seorang penganjur yang berpengaruh membangun suatu gerakan baru. Di lain pihak, gerakan
lama bisa lenyap dan dilupakan apabila penganjurnya meninggal dunia dan tidak mempunyai
murid yang punya cukup kharisma untuk meneruskan ajarannya. Disamping itu, tentu saja
terdapat gerakan aliran kepercayaan yang kecil-kecil dan tidak terorganisir berupa praktekpraktek perdukunan, macam-macam “orangtua” yang juga mempunyai murid-murid yang
kepercayaan kepada agamanya kurang kuat.
Di berbagai negara Eropa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen atau
Katolik itu, tidak seluruh penduduknya merupakan jemaat gereja yang setia. Bahkan sekarang
ini terdapat sejumlah besar penduduk yang walaupun tercatat sebagai beragama
Kristen/Katolik tetapi tidak pernah datang ke gereja atau menjadi anggota jemaat gereja
tertentu. Keadaan tersebut lebih parah daripada di Indonesia. Apabila di Indonesia masjidmasjid pada umumnya penuh dikunjungi jamaahnya sehingga perlu didirikan masjid-masjid
56

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
baru, maka sebaliknya di Eropa terdapat banyak gereja yang kosong karena ditinggal oleh
jemaatnya. Bahkan sejumlah gereja terpaksa ditawarkan dan dijual kepada yang berminat.
Kekosongan rohani yang ditinggalkan oleh gereja ini, akhirnya diisi oleh ajaran-ajaran
kerohanian yang apabila di Indonesia dinamakan “aliran kepercayaan”. Gerakan-gerakan
“aliran kepercayaan” ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Ajaran kerohanian
seperti TM (Transcendental Meditation) yang diajarkan oleh Maharesh-maharesh dari India
mendapatkan puluhan ribu pengikut yang fanatik.
Aliran kepercayaan bisa berarti ajaran tahyul, bisa ajaran moral, atau bisa juga
diartikan ajaran animisme. Pendeknya mengandung seribu macam ajaran, atau “ajaran seribu
muka” yang berbeda satu dengan lainnya, bergantung dari siapa penganjurnya ataua siapa
“orangtua”-nya. Dengan demikian bagi suatu negara demokratis, mensejajarkan “aliran
kepercayaan” dengan agama rakyatnya adalah sama dengan melegalisir anarki. Suatu anarki
pemikiran, anarki terhadap falsafah hidup dan anarki terhadap suatu way of life. Ini semua
berarti suatu kemunduran peradaban bagi suatu bangsa. Itu semua berarti kembali ke kondisi
zaman purbakala, yaitu menyamakan ajaran Nabi Ibrahim, nenek moyang agama-agama
monotheisme dengan ajaran para dukun-dukun Raja Namrud.
Dengan meneliti sejarah, maka agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam,
diakui oleh semua pihak telah atau pernah menghasilkan suatu peradaban dan suatu tatanan
moral yang berpengaruh luas di masyarakat. Semua agama besar itu telah dan pernah menjadi
pendorong besar bagi kemajuan peradaban dunia. Tidaklah mengherankan bila dari agamaagama besar itu muncul tokoh-tokoh sejarah yang telah memberikan suatu teladan hidup yang
gemilang.
Di Indonesia, pernah ada usaha-usaha dari orang-orang tertentu di pemerintahan Orde
Baru untuk memberikan tempat yang sejajar dengan agama kepada “aliran kepercayaan”.
Padahal, “aliran kepercayaan” merupakan aliran pemikiran yang mengambang yang tidak
mempunyai pembakuan atas ajarannya dan tidak punya sejarah peradaban sebagaimana agamaagama besar.
Alasan yuridis yang dijadikan landasan argumentasi untuk membenarkan masuknya
aliran kepercayaan ke dalam GBHN ialah frase pada Pasal 29 ayat 2 yaitu: “...menurut
agamanya dan kepercayaannya itu...”. Berdasarkan frase tersebut maka dipaksakan masuknya
“aliran kepercayaan” ke dalam GBHN. Pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan frase “dan kepercayaannya itu” adalah pengakuan atas aliran kepercayaan, adalah
sangat dicari-cari.
Kita mengenal adanya nama “aliran kepercayaan kepada Tuhan YME” itu baru pada
tahun 1977, yang kita ketahui adalah nama baru dari “aliran kebatinan”. Ketika Indonesia baru
saja merdeka dan UUD 1945 sedang disusun oleh pendiri negara kita, mereka tidak mengenal
istilah “aliran kepercayaan”. Jelas istilah itu sangat artifisial, dibuat-buat untuk mengelabui
rakyat.
Apabila pada tahun 1945 para pendiri Republik ini mengakui “aliran kepercayaan atau
aliran kebatinan” yang dimaksudkan tentu dalam UUD 1945 terdapat aturan mengenai hal itu.
Tetapi istilah “aliran kepercayaan atau aliran kebatinan” tidak termuat di dalam UUD 1945.
Pada UUD 1945 terdapat hanya satu bab mengenai agama, apabila memang yang
bernama “kepercayaan” itu mempunyai arti tersendiri di luar agama, tentulah pada Bab XI
tidak disebut Agama saja melainkan Agama dan Kepercayaan. Barulah setelah 32 tahun
Merdeka (1978) penguasa dengan sewenang-wenang mensejajarkan agama dengan
kepercayaan yang di tahun 1945 tidak ada yang mengenalnya.
Bung Hatta, tokoh proklamator yang ketika itu masih hidup, ketika masalah “aliran
kepercayaan” yang menghebohkan itu dimunculkan, menegaskan kepada delegasi PPP bahwa
yang dimaksud dengan kata “kepercayaannya itu” yang termuat pada Pasal 29 ayat 2 UUD
57

Mulhadi: Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”...

1945 adalah kepercayaan kepada agama. Bung Hatta adalah proklamator yang turut menyusun
UUD 1945, jadi beliau tahu persis maksud dari kata-kata itu.
Berdasarkan penjelasan Bung Hatta itu, maka bisa dikatakan bahwa pemerintah Orde
Baru telah memutar-balikkan makna UUD 1945. Selain itu dipaksakannya aliran kepercayaan
masuk ke dalam GBHN menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah melakukan penodaan
agama, melanggar Ketetapan Presiden RI No. 1 tahun 1965, dan melanggar KUHP Pasal 156a, karena pemerintah Orde Baru telah berbuat suatu tindakan “dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke Tuhanan Yang Maha Esa”.
Berbeda dengan Bung Hatta, Koentjaraningrat membedakan antara agama dan
kepercayaan. Agama menurutnya adalah semua sitem religi yang secara resmi diakui oleh
negara kita. Sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut agama-agama yang resmi diakui oleh
negara seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, dan Hindu. Sedangkan kepercayaan
memiliki arti yang khas yakni semua sistem religi yang berada di luar kategori itu atau belum
diakui oleh negara sebagai agama (Koentjaraningrat. 1974;.137, 141-142)
Sebenarnya, anjuran agar aliran kepercayaan ini dihentikan tersirat dalam pidato Pak
Harto pada tahun 1978, yang intinya mengatakan bahwa “aliran kepercayaan itu bukanlah
agama dan harus dikembalikan kepada pemeluk agamanya. Jangan sampai aliran kepercayaan
ini menjurus ke agama baru.” Tetapi melihat perkembangannya, sejak tahun 1973 sampai
sekarang, aliran kepercayaan tumbuh subur sehingga sangat mengkhawatirkan.
PENGHAPUSAN KEPERCAYAAN TRADISIONAL “ARAT SABULUNGAN”
Penghapusan kepercayaan Arat Sabulungan tidak lepas kaitannya dengan kebijakan
pemerintah berkaitan dengan penghapusan Aliran-aliran Kepercayaan atau Aliran Kebatinan
yang dianggap meresahkan kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa.
Gerakan ini dimulai pada masa pemerintahan Soekarno, melalui Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo (menjabat 1953-1955), yakni dengan dibentuknya sebuah Panitia
Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat (disingkat
Panitia Interdep Pakem) dengan SK No.167/PROMOSI/1954. Panitia itu diketuai oleh RHK
Sosrodanukusumo, Kepala Jawatan Reserse Pusat Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung,
dengan tugas sebagai berikut: (1) Mempelajari dan menyelidiki bentuk, corak dan tujuan dari
kepercayaan-kepercayaan di dalam masyarakat beserta cara-cara perkawinan yang terjadi di
dalam masyarakat. (2) Mempertimbangkan mengusulkan kepada Pemerintah, Peraturanperaturan/Undang-undang yang mengatur apa yang tersebut pada Pasal 1 di atas dan
membatasinya untuk ketenteraman kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang
demokratis sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 33 UUD Sementara RI.
(Ahmad Baso. 2004: 1)
Berdasarkan SK No.167/PROMOSI/1954 itulah Pemerintah melalui institusi
Kejaksaan melakukan pengawasan, penyelidikan dan bahkan pelarangan terhadap semua
bentuk kepercayaan-kepercayaan yang ada dan berkembang di masyarakat, yang dianggap
tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pemerintah pada saat itu yang hanya
mengakui beberapa agama. Hadirnya aliran-aliran kepercayaan tersebut berikut dengan caracara perkawinannya juga telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, sehingga
pemerintah dipaksa untuk menertibkannya. Oleh sebab itulah pada puncaknya muncul
tindakan-tindakan yang mengarah pada pemaksaan agar masyarakat disuruh memilih salah satu
agama resmi yang diakui pemerintah. Kondisi ini juga dialami oleh orang Mentawai dengan
berlangsungnya Rapat Tiga Agama pada tahun 1954, yang intinya memerintahkan orang
Mentawai yang masih menganut Arat Sabulungan (dalam waktu tiga bulan) untuk
meninggalkan kepercayaannya dan memilih salah satu agama yang diakui pemerintah (saat
itu baru ada Islam dan Protestan). Bagi yang tidak mengindahkan perintah tersebut, pemerintah
58

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
melalui peace maintenance-nya akan melakukan pemusnahan dan pembakaran terhadap segala
sarana peribadahan termasuk segala aksesoris (simbol-simbol) yang berbau primitif. Tekanan,
ancaman dan pemaksaan itu berlangsung terus menerus hingga penghujung tahun 70-an.
“...in the Sukarno era, the Mentawaians hardly corresponded to the image of the
national Indonesia personality, and everything was undertaken to adapt them to it as soon as
possible. In 1954 a decree was promulgated prohibiting their tradition religion, which was
said to be heathen; all the inhabitants were given three months to decide whether they wanted
to covert to Christianity or to Islam. Anyone who did not choose within this period was
threatened with punishment by the police or by mission teachers, and his ritual equipment was
burned....At the same time, external features such as glass-beaded jewelry, the long hair of the
men, loincloths, tattoos and the custom of chiseling the incisors to a point were forbidden as
marks of unIndonesian primitiveness.” (Reimard Schefold).
Pada sisi lain, keiginan Soekarno untuk mengubah cara hidup orang Mentawai ke arah
kepribadian nasional Indonesia yang sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya dipandang
sangat baik.Tetapi beberapa kalangan memandang tindakan pemusnahan dan pembakaran
benda-benda kultural sebagai tindakan yang berlebihan karena merupakan pemberangusan
kepribadian dasar yang sesungguhnya dengan sengaja menghilangkan ciri khas (jati diri) orang
Mentawai untuk segera mengadopsi kepribadian nasional yang dikehendaki oleh penguasa
yang sebetulnya belum tentu sesuai dengan orang Mentawai kala itu.
Dikeluarkannya SK No.167/PROMOSI/1954 sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi
merupakan tindak lanjut atas ketentuan Pasal 18 dan Pasal 43 UUDS 1950. Pasal 18
menyebutkan bahwa “Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan
dan persekutuan agama yang diakui”. Sedangkan Pasal 43 menyebutkan bahwa “Penguasa
mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patut taat kepada undangundang termasuk aturan hukum yang tidak tertulis”.
Dari bunyi Pasal 18 di atas kelihatan dengan jelas bahwa penguasa hanya memberi
perlindungan kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. Tidak termasuk
kepercayaan-kepercayaan lainnya yang berada di luar agama resmi pemerintah. Apabila
persekutuan dan perkumpulan agama tersebut melakukan praktik yang bersifat mengancam
kestabilan negara, walaupun persekutuan atau perkumpulan itu terkait dengan salah satu agama
yang diakui pemerintah, maka akan dimusnahkan karena dipandang tidak taat kepada undangundang dan hukum tidak tertulis. Jadi, ketentuan Pasal 43 UUDS 1950 sangat elastis dan
memiliki jangkauan sangat luas sesuai dengan keinginan penguasa.
Secara sosiologis dan yuridis, pembentukan panitia ini pada awalnya sebagai sarana
untuk melakukan kontrol terhadap banyaknya bermunculan bentuk-bentuk kepercayaan dalam
masyarakat, berikut dengan berbagai bentuk perkawinan di beberapa daerah yang dilaksanakan
oleh pengikut aliran kepercayaan dengan cara-cara mereka sendiri. Namun secara politik,
kehadiran beragam kepercayaan, plus unsur kedaerahannya yang sangat kental menimbulkan
kekhwatiran (rasa takut) tersendiri pada penguasa akan munculnya rongrongan atau ancaman
terhadap stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mengefektifkan upaya-upaya penangkalan itu, pada tahun 1958 Kejaksaan
Agung membentuk Bagian Gerakan Agama dan Kepercayaan Masyarakat, yang kemudian,
pada 1960 lembaga ini ditingkatkan menjadi Biro Pakem dengan tugas mengkoordinir tugas
pengawasan terhadap aliran-aliran kepercayaan di dalam masyarakat bersama dengan instansiinstansi pemerintah lainnya untuk kepentingan keagamaan dan ketertiban umum. Dalam
rangka menciptakan ketenteraman dalam masyarakat, lembaga ini pun kemudian diperluas
jangkauan keberlakuannya menjadi nasional, didirikan di tiap-tiap propinsi dan kabupaten,
melalui Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pakem Pusat No. 34/Pakem/S.E./61 tanggal
7 April 1961 tentang Instruksi pembentukan Batasan Pakem di tiap-tiap propinsi dan di daerah59

Mulhadi: Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”...

daerah. Surat ini ditandatangani oleh Menteri atau Jaksa Agung Mr.R.Goenawan, dan
ditujukan kepada semua Jaksa Tinggi/Koordinator Kejaksaan Pengadilan Negara di seluruh
Indonesia. Di antara tugas Bagian Pakem ini adalah mengikuti, memperhatikan, mengawasi
gerak-gerik serta perkembangan dari semua gerakan agama, semua aliran-aliran
kepercayaan/kebatinan, memeriksa atau mempelajari buku-buku brosur-brosur keagamaan atau
aliran kepercayaan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, demi kepentingan dan
ketertiban umum. (Ahmad Baso ; 2)
Di dalam Surat Instruksi Jaksa Agung No. 1/Insr/Secr/1963 tanggal 5 Februari 1963
tentang Penyelesaian Persoalan di Bidang Pakem Kejaksaan, dijelaskan lebih lanjut tugas-tugas
Pakem. Tugas-tugas tersebut berinti pengawasan yang diarahkan pada gejala-gejala yang dapat
menghalangi jalannya pembangunan seperti: (1) Ajaran-ajaran/gerakan-gerakan yang dapat
menimbulkan gangguan ketertiban/keamanan umum; (2) Ajaran-ajaran/gerakan-gerakan yang
dapat merugikan para pengikutnya atau masyarakat umumnya di bidang mental/spirituil dan
materil. Dalam hal suatu gerakan agama/aliran kepercayaan menampakkan tanda-tanda dan
kecenderungan ke arah kesesatan, maka Tim Pakem harus mengambil tindakan pencegahan.
Dalam surat instruksi yang ditandatangani oleh Menteri atau Jaksa Agung M.
Kadaroesman ini juga dipaparkan, bilamana kegiatan-kegiatan itu mengandung unsur pidana
maka kepada penanggungjawab kegiatan itu dituntut di pengadilan dan aliran tersebut dilarang.
Bila tidak ada unsur pidana tetapi dinilai membahayakan maka aliran tersebut dilarang dan
penanggung jawabnya diberi peringatan. Tiga bulan kemudian, muncul surat beriktunya lagi
dari Kejaksaan Agung. Isinya untuk mengarahkan perhatian terhadap makin banyaknya kitabkitab yang dianggap merusak dan juga terhadap praktek latihan keagamaan. Yaitu, Surat
Instruksi Jaksa Agung M. Kadaroesman SH No. 5/Sectr/Secr/1963 tanggal 8 Maret 1963
tentang Perhatian terhadap kitab-kitab dan cara-cara latihan aliran-aliran atau gerakan-gerakan
keagamaan/kepercayaan.Yang diperhatikan secara khusus adalah praktek atau latihan
keagamaan yang melanggar kesusilaan, dan juga kitab-kitab agama yang isinya dinilai
merusak, dan kegiatan keagamaan yang menjiplak atau memalsukan kitab-kitab ajaran agama
pihak lain dengan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, meski Penetapan Presiden No. 1
tahun 1965 belum lahir, sejumlah pelarangan dalam bidang agama dan kepercayaan sudah
diefektifkan. Misalnya Keputusan Perdana Menteri RI Ir Djuanda No. 122/PROMOSI/1959,
tanggal 21 Maret 1959, tentang Pelarangan Organisasi Agama Eyang berada di desa Maparah,
Kecamatan Panjalu, kabupaten Ciamis beserta cabang-cabangnya di seluruh Indonesia. Juga,
Keputusan Presiden RI Ir Soekarno No 264 tahun 1962 tertanggal 15 Agustus 1962 tentang
Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Club Society,
Vrijmetsclaren Loge (Loge Agung Indonesia). Melalui Keputusan Presiden RI No. 34 tahun
1963 tertanggal 3 April 1963 tentang Perhimpunan Theosofi Cabang Indonesia (PT TIFA
Surabaya) berkedudukan di Jakarta beserta loge-loge dan Federasi Loge-logenya di seluruh
Indonesia ditetapkan pula sebagai Organisasi Terlarang. Ini dikuatkan oleh pasal 2 ayat 3
dalam UU No. 15 tahun 1961 tentang Kejaksaaan RI yang menyatakan Kejaksaan mengawasi
aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Kemudian
lahirlah Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 (Zulfan.K, Pencegahan Penyalahgunaan dan
Penodaan Agama, Kamis 1 April 1999, dalam http://groups.google.co.id/group/soc.culture.
indonesia/browse_thread/) tanggal 27 Januari 1965 yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai
presiden dan pemimpin besar revolusi. Penetapan ini kemudian menjadi hukum positif yang
mengatur tindakan-tindakan yang dilarang dalam rangka “melindungi kesucian agama dan
ketenteraman kehidupan beragama”. Karena Penpres tersebut tidak memenuhi ketentuan
formal dalam pembentukan undang-undang, maka dengan UU No.5 Tahun 1969, Penpres No.1
Tahun 1965 menjadi UU No.1/PNPS/1965. UU No.1/PNPS/1965 ini kemudian dipakai di
masa Orde Baru oleh dua lembaga berwenang, yakni Kejaksaan Agung dan Departemen
60

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Agama. Pihak Kejaksaan Agung memperluas cakupan UU ini dengan menyebut adanya dua
delik dalam bidang agama, yakni delik penyelewengan agama dan delik anti agama melalui
Surat Kejaksaan Agung RI No. B-1177/D.1/101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang Tindak
Pidana Agama dalam UU No. 1/PNPS/1965. Surat ini menyebutkan, delik penyelewengan
agama adalah perbuatan menfasirkan atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama yang bersangkutan. Penyelewengan kegiatan keagamaan
meliputi penamaan suatu aliran kepercayaan dengan agama, mempergunakan istilah-istilah
agama untuk kegiatan suatu aliran kepercayaan, melakukan ritual/upacara yang menyerupai
upacara suatu agama. Semua kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok pokok agama
yang bersangkutan akan dapat mengaburkan arti kemurnian pokok pokok ajaran agama yang
bersangkutan. Sementara delik anti agama, ada dua perkara yang terlibat, yakni delik
penodaan/penghinaan agama dan delik agar orang tidak menganut suatu agama. Disamping
diatur dalam Penpres No.1 Tahun 1965 jo UU No.5 Tahun 1969, pengawasan maupun
pencegahan penodaan terhadap agama juga sudah diatur di dalam UU No.5 Tahun 1991,
tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 27 angka (3) menyebutkan dua diantara
beberapa tugas dan wewenangnya adalah:“…(d) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara; (e) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan
agama.
Sejak didirikan pada 3 Januari 1946, Departemen Agama mendesak dibuatkannya UU
tentang agama yang akan merinci dan menjabarkan pengertian agama dalam Pasal 29 ayat (1)
dan (2) Bab XI tentang Agama dalam UUD 1945. Karena berbagai perubahan dan pergantian
UUD, dan setelah ada kepastian kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, maka baru
kemudian ada pikiran lagi untuk merencanakan pembuatan UU tentang pokok-pokok
keagamaan. Namun rencana itu tidak segera terwujud, dan sebagai pegangan sementara adalah
Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 seperti disebut di atas. Setelah Orde baru berkuasa, dan
setelah Penetapan Presiden ini dikukuhkan menjadi UU oleh UU No. 5 tahun 1969, Menteri
Agama KH.Moh. Dahlan mengeluarkan SK No. 96 tahun 1969 yang berisi tentang
pembentukan Panitia Penyusun RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Keagamaan dengan
tugas pokok drafting RUU ini. Tapi, panitia ini tidak berhasil melakukan drafting, sebagian
besar karena persoalan definisi agama yang tidak memperoleh kesepakatan. Akhirnya
disepakati untuk tetap kembali ke PNPS ini. Maka, kalau orang-orang Departemen Agama
ditanya apa definisi agama, jawabannya selalu mengacu pada Penetapan Presiden (Penpres)
No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalah gunaan dan
Penodaan agama, dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang
dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain
tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah mempunyai kewajiban
untuk mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut. Anggota Komnas
HAM Chandra Setiawan mengingatkan, Penpres No.1/PNPS/1965 (sekarang UU No.5 Tahun
1969) seharusnya tidak ditafsirkan sebagai aturan diskriminatif. Penpres ini selain
menyebutkan adanya sebagian agama termasuk Konghucu juga mengakui agama dan
panghayat kepercayaan yang disebut-sebut sering menjadi korban praktik diskriminatif
(Penpres no. 1/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama dipertanyakan, 03 Agustus 2004,
dalam http://www.mirifica.net/wmview.php?ArtID=927).
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi
dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat
Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP
yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah

61

Mulhadi: Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”...

dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal
29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama (Kompas; 2006).
Sebagai gambaran, pertengahan September 2004, Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat mengeluarkan laporan tentang tingkat kebebasan beragama internasional (International
Religious Freedom Report). Data yang dibuat dalam dalam rentang 1 Juli 2003-30 Juni 2004
itu menunjukkan Asia mendominasi "daftar hitam" negara yang tingkat kebebasan
beragamanya rendah. Dalam laporan itu, China, Korea Utara, Myanmar, Vietnam, Kuba, dan
Laos dikategorikan sebagai negara yang amat memprihatinkan, yang mempraktikkan
otoritarianisme dan totaliteritarianisme dalam mengontrol dan membatasi kebebasan beragama.
China, misalnya, dituduh telah melakukan tindakan represif terhadap para biku Buddha Tibet,
Muslim Uighur, penganut Katolik Roma, Protestan, dan sekte Falun Gong. Sedangkan Iran,
Pakistan, Arab Saudi, Sudan, Turkmenistan, dan Uzbekistan dikategorikan sebagai negara yang
memusuhi kelompok minoritas atau agama tidak resmi. Negara-negara itu dinilai
memprihatinkan karena terus terlibat dalam aneka pelanggaran sistematis terhadap kebebasan
beragama. Sementara itu, Indonesia, Banglades, India, dan Sri Lanka digolongkan negara yang
mengabaikan diskriminasi sosial atau penyiksaan terhadap kelompok agama minoritas.
(Kompas; 2004).
Khusus Indonesia, diskriminasi itu antara lain tampak dalam kebijakan, pemerintah
hanya mengakui 5 (lima) agama besar. Masyarakat yang tidak memeluk "agama resmi" sering
mendapat perlakuan diskriminatif dari negara, seperti dalam pencatatan perkawinan dan
kelahiran. Begitu pula dengan kelompok adat atau penganut kepercayaan tradisional, sering
diperlakukan diskriminatif karena dianggap "tidak beragama", sedangkan segala bentuk
pelayanan publik sering menjadikan agama sebagai "kunci". Artinya, tanpa mencantumkan
"agama resmi", orang akan mengalami kesulitan memperoleh hak-hak sipil, seperti pelayanan
kartu tanda penduduk (KTP), pencatatan perkawinan, dan sebagainya.
Berbagai diskriminasi hukum diatas dicoba dieliminir melalui UU No.23 Tahun 2006,
tentang Administrasi Kependudukan. Hal itu bisa dilihat dalam Pasal 2 UU No.23 Tahun 2006
yang mengakui atau memberikan hak kepada setiap penduduk (tanpa membedakan status,
agama, warga negara, dan lain-lain) untuk memperoleh: (a) Dokumen Kependudukan; (b)
Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencata