KEHIDUPAN ARAT SABULUNGAN DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL MENTAWAI.

(1)

KEHIDUPAN ARAT SABULUNGAN DALAM MASYARAKAT

TRADISIONAL MENTAWAI (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama Terhadap

Perkembangan Arat Sabulungan 1954-1978)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Skripsi Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh : IKA ROSYANI

0605937

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

“KEHIDUPAN ARAT SABULUNGAN DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL

MENTAWAI (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama terhadap Perkembangan Arat Sabulungan 1954-1978)”

Oleh: IKA ROSYANI

0605937

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

© IKA ROYANI 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Okober 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Kehidupan Arat Sabulungan Dalam Masyarakat Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama terhadap Perkembangan Arat Sabulungan 1954-1978)”

Ika Rosyani (0605937)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH Pembimbing I

Didin Saripudin, Ph.D 19700506199702 1001

Pembimbing II

Drs. Ayi Budi Santosa M.Si NIP: 19630311198901 1001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Universitas Pendidikan Indonesia

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP: 19570408198403 1 003


(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Kehidupan Arat Sabulungan dalam Masyarakat Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama terhadap Perkembangan Arat

Sabulungan 1954-1978)”. Penulisan skripsi bertolak dari rasa ingin tahu penulis terhadap kebudayaan masyarakat tradisional Mentawai yang hampir punah, dengan sistem religinya Arat sabulungan. Kepercayaan tersebut berlandaskan kepada alam, di mana masyarakat tradisional Mentawai percaya akan kekuatan dewa-dewa yaitu; Tai

Kabagat Koat (dewa laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua

(roh awang-awang). Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pengaruh Rapat Tiga Agama terhadap keberadaan Arat Sabulungan serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat tradisional Mentawai. Bagaimana kehidupan beragama masyarakat tradisional Mentawai serta perubahan yang terjadi pada masyarakat Mentawai. Untuk memfokuskan penelitian, penulis merumuskan empat pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kehidupan Arat Sabulungan dalam masyarakat Mentawai sebelum Rapat Tiga Agama?(2) Apa yang melatarbelakangi diadakannya Rapat Tiga Agama?(3) Bagaimana peran pemerintah dalam pelaksanaan Rapat Tiga Agama?(4) Bagaimana Pengaruh Rapat Tiga Agama terhadap Arat Sabulungan dalam Masyarakat Mentawai? Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode historis yang meliputi pengumpulan sumber (dalam hal ini sumber tulisan), kritik sumber, interpretasi dan historoigrafi. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menitikberatkan pada sumber tertulis, mengingat sangat teerbatas waktu dan lain hal maka peulis tidak dapat melakukan penelitian langsung ke Kepulauan Mentawai. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan yang dianut masyarakat Mentawai adalah Arat Sabulungan. Arat Sabulungan ini mengatur hidup masyarakat Mentawai dalam satu kesatuan yang disebut uma. Uma juga merujuk pada rumah besar, di mana dalam uma dilakukan segala aktifitas yang berkaitan dengan Arat Sabulungan, yang semua aktifitasnya. Mereka hidup bersahaja dengan mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Seluruh ktifitas mereka dipimpin oleh ketua adat yang disebut Rimata dan Sikerei. Kemudian, keberadaan Arat Sabulungan mulai hilang secara berangsur-angsur akibat dari diadakannya Rapat Tiga Agama (Islam, Protestan dan Sabulungan) dengan bantuan Pemerintah melalui SK No. 167/PROMOSI/1954. Kebudayaan Mentawai merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai warisan bagi generasi berikutnya. Suatu keyakinan yang tetap menjaga dan menyeimbangkan kehidupan masyarakat Mentawai, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam, yang mulai tergerus oleh kemajuan jaman dan kebutuhan akan ekonomi tunai. Sebelum diadakannya Rapat Tiga Agama, kehidupan masyarakat Mentawai hidup dengan sesama masyarakat dan juga menajga kelestarian alam. Kemudian datangnya orang-orang luar pulau mengkibatkan kontak budaya dan secara perlahan terjadi perubahan. Namun, ketidaksabaran para pendatang memunculkan pemikiran untuk mengubah tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat Mentawai secara paksa melalui Rapat Tiga Agama. Dengan instan mengubah tatanan kehidupan masyarakat Mentawai, terutama mengubah sistem religinya. Menghilangkan Arat Sabulungan dan menggantinya dengan agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Perubahan dalam sistem religi ini kemudian menyebar pada berubahnya sistem sosial-budaya masyarakat Mentawai. Mengakibatkan terkikisnya budaya lokal yang tergerus modernisasi, yang kemudian hampir dan bahkan dilupakan oleh generasi muda masyarakat Mentawai.


(5)

ABSTRACT

This titled " Life Arat Sabulungan in Mentawai Traditional Society ( Study Results Meeting of the Three Religions of the Progress Arat Sabulungan 1954-1978 ) ". Contrary thesis of curiosity author of the culture of traditional societies Mentawai endangered , with its religious system Arat Sabulungan . The belief is based on nature, where traditional Mentawai people believe in the power of the gods namely ; Tai Kabagat Koat (god of the sea), Tai Ka - leleu ( spirit forests and mountains ), and Tai Ka Manua (spirit of the clouds). The issues raised in this paper is the influence of the Meeting of the Three Religions Arat Sabulungan existence and its impact on traditional Mentawai people's lives. How Mentawai traditional religious communities as well as the changes that occurred in the Mentawai people. To focus the study, the authors formulate the following four questions: (1) How is life in the Mentawai people Arat Sabulungan before the Meeting of the Three Religions? (2) What is behind the holding of the Meeting Three Religions? (3) What is the role of government in the implementation of the Meeting of the Three Religions? (4) How to Influence Meeting of the Three Religions of the Arat Sabulungan in Mentawai Society? In this study, the method used is the historical method that includes collection source (in this case the source text), source criticism, interpretation and historoigrafi. In conducting this study, the authors focused on written sources, given the very teerbatas time and other things it can not do research peulis directly to the Mentawai Islands. The results of this study indicate that the beliefs held Mentawai people are Arat Sabulungan. Arat is set Sabulungan Mentawai people live in one unit called uma. Uma also refer to the big house, where the uma do all the activities related to Sabulungan Arat, who all activities. They rely on a simple life with nature to meet their needs. The whole ktifitas them led by traditional leaders called Rimata and Sikerei. Then , the existence of Arat Sabulungan began to disappear gradually as a result of the holding of the Meeting three religions (Islam, Protestantism and Sabulungan) with the help of the Government through Decree No. 167/PROMOSI/1954. Mentawai culture is the cultural wealth of the nation as a legacy for the next generation. A belief that while maintaining and balancing the life of the Mentawai people, both with fellow human beings and with nature, which began to be eroded by the progress of time and the need for cash economy. Prior to the Meeting of the Three Religions, Mentawai people live life with other people and also menajga nature. Then the guys come from outside the island 's dance culture contact and change is slowly happening. How ever, the impatience of the newcomers bring ideas to change the order of the socio-cultural life of the Mentawai people forced by Meeting Three Religions. Instantly change the order of the Mentawai people's lives, especially change its religious system. Arat Sabulungan eliminate and replace it with an official religion recognized by the government. Changes in the religious system and then spread to the changing socio-cultural system of the Mentawai people. Resulted in the erosion of local culture that eroded modernization, and even then almost forgotten by the younger generation of the Mentawai people.


(6)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN BERITA ACARA

SURAT PERNYATAAN……….. i

KATA PENGANTAR……… ii

UCAPAN TERIMAKASIH……….. iii

ABSTRAK...……… iv

DAFTAR ISI..……… v

DAFTAR TABEL.……… vii

DAFTAR GAMBAR..……… viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian……… 1

1.2 Rumusan Masalah………. 6

1.3 Tujuan Penelitian……… 6

1.4 Manfaat Penelitian………….……… 7

1.5 Metode Penelitian…………..……… 7

1.6 Teknik Pengumpulan Data……….……… 8

1.7 Struktur Organisasi Skripsi……….……….………… 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Tradisional………..……… 12

2.2 Perubahan Sosial……….………….……… 16

2.2.1 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan Budaya……… 17

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jalannya Proses Perubahan……… 18

2.2.3 Faktor-Faktor yang Menghalangi Jalannya Perubahan Sosial dan Kebudayaan……… 19

2.3 Sistem Sosial-Budaya Masyarakat Mentawai…..……… 20

2.4 Sistem Religi Masyarakat Mentawai………..……… 24

2.4.1 Agama………. 24

2.4.2 Kepercayaan……… 25

2.4.3 Perbedaan Agama dan Kepercayaan……… 25

2.4.4 Animisme……….. 26

2.5 Penelitian Terdahulu……… 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian……… 31

3.2 Teknik Pengumpulan Data……… 33

3.3 Prosedur Penelitian……… 34

3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian……..………… 34

3.3.2 Penyusunan Perencanaan Penelitian……… 34

3.3.3 Proses Bimbingan………..…… 35

3.4 Pelaksanaan Penelitian……… 35

3.4.1 Heuristik (Pengumpulan Sumber)……… 35

3.4.2 Kritik Sumber……… 36


(7)

3.4.4 Historiografi……… 39 BAB IV PENGHAPUSAN ARAT SABULUNGAN DALAM RAPAT TIGA

AGAMA

4.1 Keadaan Umum Masyarakat Tradisional Mentawai……… 41 4.1.1 Keadan Geografis Kepulauan Mentawai……… 41 4.1.2 Kondisi Peduduk dan Mata Pencaharian Masyarakat

Mentawai………. 44

4.1.2.1 Kondisi Penduduk……… 44 4.1.2.2 Mata Pencaharian……… 49 4.2 Kehidupan Arat Sabulungan dalam Masyarakat Mentawai……… 62 4.2.1 Kehidupan Religi……… 62 4.2.2 Kehidupan Sosial……….….……….. 64 4.2.3 Ti’ti (Tradisi Rajah Tubuh )……… 76 4.3 Latar Belakang Rapat Tiga Agama di Kepulauan Mentawai……… 83 4.3.1 Masuknya Penduduk Luar Pulau ke Kepulauan Mentawai.. 83 4.3.2 Masuknya Agama Baru ke Kepulauan Mentawai……….. 84

4.4 Rapat Tiga Agama……… 94

4.4.1 Peran Pemerintah dalam Rapat Tiga Agama……… 94 4.4.2 Reaksi Masyarakat Tradisional Terhadap Penghapusan

Arat Sabulungan………. 99

4.4.3 Dampak Penghapusan Arat Sabulungan Terhadap

Kehidupan Masyarakat Mentawai……….. 100 4.4.3.1 Hilangnya Fungsi Uma……… 103 4.4.3.2Hilangnya Peranan Tokoh-Tokoh Penting dalam

Arat Sabulungan (Rimata dan Sikerei)……… 105 4.4.3.3Hilangnya Seni Ti’ti yang Menjadi Identitas

Kesukuan……… 109

4.4.3.4Hilangnya Kearifan Lokal dengan Menjaga

Kelestarian Alam……….……… 110 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……… 116

5.2 Saran……… 119

DAFTAR PUSTAKA……… 121

LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

4.1 Tabel Jumlah Penduduk Mentawai Tahun 1954……… 44 4.2 Tabel Aktivitas Zending Protestan……….. 86


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Gambar Kepulauan Mentawai……… 43 Gambar 4.2. Denah Bangunan Uma Tampak Atas………. 46 Gambar 4.3 Denah letak pengolahan sagu……….. 50


(10)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Kepulauan Mentawai adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Kabupaten ini terdiri dari empat pulau besar yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan yang dihuni oleh mayoritas masyarakat suku Mentawai. Selain itu masih ada beberapa pulau kecil lainnya yang berpenghuni namun sebagian besar pulau yang lain hanya ditanami dengan pohon kelapa. Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten yang terletak memanjang di bagian paling barat Pulau Sumatera dan dikelilingi oleh Samudera Hindia. Daerah ini memiliki potensi alam yang banyak, selain dalam bidang perkebunan, pertanian dan perikanan. Kepulauan Mentawai juga memiliki potensi untuk menjadi daerah wisata.

Di Kepulauan Mentawai, khususnya Siberut terdapat sebuah suku tradisional Mentawai yang hingga kini masih bertahan. Sistem mata pencaharian masyarakat tradisional Mentawai ini pada umumnya adalah berladang, berburu, meramu dan beternak. Masyarakat Mentawai biasanya pergi ke hutan untuk menebang sagu yang merupakan makanan pokok mereka. Pada dasarnya pekerjaan yang dilakukan masyarakat Mentawai didasarkan pada jenis kelamin, setiap keluarga dari sudut pandang ekonomi memenuhi kebutuhannya sendiri tetapi bantuan dari teman-teman dan keluarga lain pun ada, hal ini dapat dilihat dari pembangunan rumah baru, membuat sampan atau merambah hutan untuk ladang (Balai Taman Nasional Siberut, 2003: 12).

Meski mengikuti sistem pemerintahan resmi Indonesia, masyarakat Mentawai juga tidak lepas dari sistem sosial dan pemerintah dalam kebudayaan tradisional meraka. Semua masyarakat tergabung dalam satu kesatuan yang utuh dan berkedudukan sama. Kecuali sikerei atau dukun yang kedudukannya lebih tinggi dibanding masyarakat lain karena dianggap dapat menyembuhkan dan memimpin setiap upacara adat. Serta Rimata yang berfungsi sebagai kepala suku.

Penghuni uma adalah garis keturunan ayah (patrilineal). Kaum perempuan atau istri berasal dari uma yang lain, yang statusnya akan masuk ke dalam uma milik suami setelah menikah, tetapi harus kembali ke uma asal bila menjadi janda. Pada uma pula


(11)

ditemukan mitologi masyarakat adat Mentawai yang menjelaskan tingkah laku mereka sehari-hari. Kearifan lokal tentang bagaimana mencari tempat berlindung saat gempa terjadi dan rangkaian setelahnya; berupa tanda-tanda alam yang dipakai untuk menentukan siklus pertanian dan segala hal berhubungan dengan kehidupan. Namun, kini, mendirikan atau memperbaiki uma adalah satu kemewahan yang sulit dijangkau (Mahmud, 2010: 1).

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Mentawai adalah bahasa Mentawai, dan sebagian besar masyarakat Mentawai dalam tidak dapat berbahasa Indonesia. Terutama masyarakat dalam di bagian dalam pulau Siberut. Kesenian yang ada pada masyarakat Mentawai sebenarnya tidak dapat terlepas dari sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Mentawai itu sendiri. Adapun kesenian yang ada di Mentawai adalah seni tari yang biasanya digunakan atau dipentaskan pada saat diadakan upacara adat seperti, upacara panen, upacara pemanggilan roh, upacara pembuatan rumah adat, dan lain-lain. Kesenian yang paling populer pada masyarakat Mentawai adalah seni merajah tubuh atau (ti’ti) dalam bahasa Mentawai. Atau yang

lebih populer dikenal oleh masyarakat umum yaitu tato. Tato itu sendiri memiliki kedudukan yang sangat penting pada sistem religi masyarakat Mentawai, karena tato Mentawai bukan hanya sekedar gambar. Tapi tato pada masyarakat Mentawai lebih pada identitas kesukuan.

Suku Mentawai memiliki kebudayaan tradisional yang masih sangat kental dengan nuansa animisme. Kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat suku tradisional Mentawai adalah ''Arat Sabulungan''. Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulung atau daun. Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau

ketse. Inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (dewa

laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang) (Fajar, 2009: 2).

Arat” memiliki makna yang sangat luas. Dalam bahasa dan kebudayaan

Mentawai, arat mencakup segala hal yang digolongkan kepada tradisi. Tradisi nenek moyang yang mutlak harus diterima tanpa gugatan, karena telah diperjuangkan dari masa ke masa, yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat selama ratusan tahun. Oleh karena itu, arat menjadi filsafat hidup, norma kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam keluarga dan suku. Arat merupakan warisan suci, karena


(12)

semenjak dahulu ditemukan oleh nenek moyang dan kelestariannya harus dijaga dengan baik (Coronese,1986: 36).

Arat Sabulungan dipakai dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan,

pengobatan, pindah rumah, dan penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orang tua memanggil sikerei dan rimata (kepala suku). Mereka akan berunding menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah

Sipatiti yaitu seniman tato. Keahliannya harus dibayar dengan seekor babi. Sebelum

penatoan akan dilakukan punen enegat, yaitu upacara inisiasi yang dipimpin sikerei, di

puturukat (galeri milik sipatiti). Tubuh anak yang akan dirajah itu lalu mulai digambar

dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa.

Sayangnya keberadaan kepercayaan Arat Sabulungan ini nyaris punah, hal ini dikarenakan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan itu dibuat setelah diadakannya Rapat Tiga Agama, yaitu; Islam, Protestan dan Sabulungan. Dalam rapat tersebut, dihasilkan beberapa keputusan mengenai kelanjutan dari kepercayaan arat sabulungan, yaitu:

1. Agama Sabulungan (asli Mentawai) harus dihapuskan dengan paksa dengan bantuan polisi;

2. Dalam tempo 3 bulan diberi kebebasan memilih agama Kristen Protestan atau agam Islam kepada penduduk asli, dan kalau dalam tempo tersebut tidak dilakukan pilihan maka semua alat-alat pujaan agama Sabulungan harus dibakar oleh polisi, dan diancam dengan hukuman (Sihombing, 1979: 10). Berdasarkan hasil keputusan dari Rapat Tiga Agama tersebut, maka pemerintah yang pada saat itu dipimpin oleh kabinet Ali Sastroamijoyo sebagai Perdana Mentri yang menjabat antara 1953-1955 mengeluarkan suatu kebijakan. Yaitu dengan dikeluarkannya SK No. 167/PROMOSI/1954. Berdasarkan SK itulah Pemerintah melalui institusi Kejaksaan melakukan pengawasan, penyelidikan dan bahkan pelarangan terhadap semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang ada dan berkembang di masyarakat, yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pemerintah pada saat itu yang hanya mengakui beberapa agama.

Maka dari itu, pemerintah memaksa seluruh masyarakat Mentawai untuk memeluk agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Dan masyarakat


(13)

Mentawai diberi waktu selama tiga bulan untuk meninggalkan Arat Sabulungan dan menggantinya dengan agama resmi yang ada di Indonesia yang saat itu baru masuk agama Islam dan Protestan. Bagi yang tidak mengindahkan perintah tersebut, pemerintah akan melakukan pemusnahan dan pembakaran terhadap segala sarana peribadahan termasuk segala aksesoris (simbol-simbol) yang berbau primitif. Tekanan, ancaman dan pemaksaan itu berlangsung terus menerus hingga penghujung tahun 70-an.

“...in the Sukarno era, the Mentawaians hardly corresponded to the image of the national Indonesia personality, and everything was undertaken to adapt them to it as soon as possible. In 1954 a decree was promulgated prohibiting their tradition religion, which was said to be heathen; all the inhabitants were given three months to decide whether they wanted to covert to Christianity or to Islam. Anyone who did not choose within this period was threatened with punishment by the police or by mission teachers, and his ritual equipment was burned....At the same time, external features such as glass-beaded jewelry, the long hair of the men, loincloths, tattoos and the custom of chiseling the incisors

to a point were forbidden as marks of unIndonesian primitiveness.” ( Schefold, 1991: 22).

Pada sisi lain, keiginan Soekarno untuk mengubah cara hidup orang Mentawai ke arah kepribadian Nasional Indonesia yang sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya dipandang sangat baik. Tetapi beberapa kalangan memandang tindakan pemusnahan dan pembakaran benda-benda kultural sebagai tindakan yang berlebihan karena merupakan pemberangusan kepribadian dasar yang sesungguhnya dengan sengaja menghilangkan ciri khas (jati diri) orang Mentawai untuk segera mengadopsi kepribadian nasional yang dikehendaki oleh penguasa yang sebetulnya belum tentu sesuai dengan orang Mentawai pada saat sebelum diadakannya Rapat Tiga Agama.

Dalam kasus ini, Arat Sabulungan yang kemudian dikatagorikan oleh pemerintah sebagai bagian dari aliran kepercayaan harus dihapuskan. Akibat dari dikeluarkannya SK tersebut, maka dapat dipastikan kedudukan dan keberadaan kebudayaan suku Mentawai terancam punah. Meskipun pada kenyataannya, hingga kini

Arat Sabulungan ini tidak benar-benar ditinggalkan. Karena keyakinan yang dimiliki

masyarakat Mentawai yang sudah mendarah daging tidak serta-merta dapat dihilangkan. Selain itu, dalam wawancara terhadap beberapa mayarakat Mentawai yang dilakukan oleh Aman Durga seorang pecinta seni lulusan SI STSI Yogyakarta. Banyak dari mereka yang masuk agama baru yang dibawa oleh pemerintah karena takut pada ancaman-ancaman yang dilakukan pemerintah terhadap mereka.


(14)

Sebenarnya, masuknya Protetan dan Islam di Mentawai mengalami pro dan kontra. Dalam hal ini, ada penduduk asli Mentawai yang dengan suka rela berpindah agama dari Sabulungan kemudian berganti menjadi penganut Islam ataupun Protestan. Namun tidak sedikit pula mereka yang menolak berpindah kepercayaan. Maka dari itu, disinilah terjadi pemaksaan-pemaksaan serta pengrusakan-pengrusakan dan pembakaran-pembakaran terhadap alat-alat pemujaan, dan dengan itu pula, kedudukan

rimata dan sikerei turut dihapuskan pula.

Dari sudut pandang pengetahuan, memang sangat disesalkan pembakaran budaya materil (buluat), ketsaila, gong (lailai dan sebagainya) tadi karena dengan itu kita kehilangan peninggalan nenek moyang yang amat berguna sebagai warisan bagi generasi-generasi yang akan datang,….. (Sihombing, 1979: 11).

Seperti apa dan bagaimana kehidupan masyarakat Mentawai ini, adalah merupakan suatu kebudayaan tradisional. Suatu kebudayaan asli bangsa Indonesia yang sekiranya merupakan bagian dari kekayaan bangsa. Namun dalam kebijakannya, ternyata pemerintah beranggapan bahwa kebudayaan ini tidak layak untuk dipertahankan. Maka dari itu, penulis merasa sangat tertarik sekali untuk mengangkat permasalahan ini.

Selain daripada itu, ini merupakan pemaksaan agama terhadap agama. Di mana dalam UUD itu sendiri dicantumkan bahwa setiap masyarkat berhak memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Seperti yang tercantun dalam UUD tahun 1945 pasal 29 ayat 2 yang berisi:

“ (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu” (Prastyo, 2011: 1).

Berdasarkan isi undang-undang tersebut, seharusnya pemerintah membebaskan seluruh masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu. Karena apa yang dilakukan pemrintah ketika itu adalah bentuk pemaksaan. Namun pada kenyataannya, dalam rapat tiga agama memutuskan untuk memaksa suku Mentawai yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia memeluk agama yang disarankan Pemerintah, yaitu agama Islam dan Kristen.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk mengkaji tentang kebudayaan tradisional Mentawai serta penghapusannya oleh pemerintah Indonesia. Adapun alasan peneliti mengambil kajian ini adalah dikarenakan penulis ingin menganalisis bagaimana perkembangan Kebudayaan Mentawai (Arat Sabulungan


(15)

sebelum masuknya agama Islam dan Kristen serta dampaknya bagi kehidupan sosial budaya dan agama setelah kedatangan agama Islam dan Kristen.

Adapun pengambilan angka tahun yaitu antara tahun 1954-1978. Pengambilan tahun 1954 adalah pada saat diadakannya Rapat Tiga Agama di Mentawai dan secara sistematis mulai menghilangkan kebudayaan Mentawai itu sendiri. Kemudian pembatasan pada tahun 1978 adalah momentum yang sangat penting. Yaitu pidato yang dilakukan oleh Presiden Soeharto yang berkaitan dengan aliran kepercayaan. Pidato tersebut terwujud dalam tindakan-tindakan nyata pemerintah dalam menghapuskan kepercayaan Arat Sabulungan. Hal ini bertujuan untuk melihat proses perubahan yang dialami oleh masyarakat tradisional Mentawai setelah diadakan Rapat Tiga Agama. 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka untuk memudahkan dalam melakukan penelitian dan mengarahkan dalam pembahasan, penulis melakukan beberapa identifikasi beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan yaitu:

“Bagaimana Peranan dan Pengaruh Rapat Tiga Agama terhadap Keberadaan Kepercayaan Arat Sabulungan yang Dianut Suku Tradisional Mentawai?”.

Mengingat batasan masalah tersebut terlalu luas, maka untuk memudahkan dalam melakukan penelitian dan mengarahkan dalam pembahasan, maka penulis mengidentifikasi rumusan masalah tersebut kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kehidupan Arat Sabulungan dalam masyarakat Mentawai

sebelum Rapat Tiga Agama?

2. Apa yang melatarbelakangi diadakannya Rapat Tiga Agama?

3. Bagaimana peran pemerintah dalam pelaksanaan Rapat Tiga Agama?

4. Bagaimana Pengaruh Rapat Tiga Agama terhadap Arat Sabulungan dalam Masyarakat Mentawai?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam mengkaji tulisan yang berjudul “Kehidupan Arat Sabulungan dalam

Masyarakat Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama terhadap Perkembangan Arat Sabulungan 1954-1978)” ini, penulis memaparkan beberapa tujuan penulisan, seperti yang tertulis dibawah ini:

1. Mendeskripsikan latar belakang serta awal penyebab diadakannya Rapat Tiga Agama di Mentawai.

2. Mendeskrifsikan peranan pemerintah dalam Rapat Tiga Agama

3. Menganalisis pengaruh Rapat Tiga Agama terhadap Arat Sabulungan pada Suku Mentawai.


(16)

4. Menganalisis dampak penghapusan Arat Sabulungan terhadap Sistem Sosial Masyarakat Mentawai.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam mengkaji tulisan yang berjudul “Kehidupan Arat Sabulungan dalam

Masyarakat Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama pada terhadap Perkembangan Arat Sabulungan 1954-1978)” ini, penulis memaparkan beberapa manfaat penelitian, seperti yang tertulis dibawah ini:

1. Memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan penelitian sejarah mengenai perkembangan kebudayaan tradisional di Indonesia,

2. Memberikan kontribusi terhadap pencarian sumber-sumber yang akan mendukung pengungkapan terhadap kebudayaan tradisional Masyarakat Mentawai, dan

3. Memberikan informasi kepada penulis dan pembaca mengenai peristiwa penghapusan Arat Sabulungan di Kepulauan Mentawai oleh Pemerintah.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Metode ini lazim digunakan dalam penelitian sejarah. Melalui metode ini dilakukan suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986: 32). Adapun langkah-langkah penelitian ini mengacu pada proses metodologi penelitian dalam penelitian sejarah yang mengandung empat langkah penting:

a. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang

berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Dalam proses mencari sumber-sumber ini, penulis mendatangi berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan UPI, perpustakaan daerah, perpustakaan Universitas Indonesia, dan perpustakaan ITB. Selain itu penulis pun mencari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, seperti membeli buku-buku di Gramedia, Palasari, Gunung Agung, pameran buku dan mencari sumber-sumber melalui internet.

Tahap Heuristik ini dimulai dengan menentukan sumber mana yang akan dan pantas digunakan untuk topik yang dibahas, di mana sumber ini didapatkan dan bagaimana cara untuk menemukan sumber itu. Sumber sejarah biasanya dibagi menjadi sumber sejarah primer dan sumber sejarah sekunder. Sumber sejarah primer yang dapat digunakan untuk mengkaji permasalahan yang ada dalam skripsi ini adalah beberapa buku yang bertemakan mengenai suku Mentawai. Seperti


(17)

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Prof. Dr. Koentjaraningrat mengenai tujuh unsur kebudayaan suku bangsa Mentawai. Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan” dan Penghapusannya di Mentawai dalam jurnal Mulhadi mengenai

dasar penghapusan kepercayaan masyarakat tradisional Mentawai.

b. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah, baik isi

maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan oleh penulis untuk melihat layak tidaknya isi dari sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan. Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk dari sumber tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap sumber-sumber yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

c. Interpretasi, dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber

yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Kegiatan penafisiran ini dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan proposal ini. Misalnya, dalam kegiatan ini, penulis memberi penekanan penafsiran terhadap data dan fakta yang diperoleh dari sumber-sumber primer dan sekunder yang berkaitan dengan Peristiwa penghapusan Arat Sabulungan dalam kepercayaan Suku Mentawai.

d. Historiografi, merupakan langkah terakhir dalam penulisan ini. Dalam hal ini

penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyusunnya dalam suatu tulisan yang jelas dalam bahasa yang sederhana dan menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

1.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengkajian skripsi yang berjudul “Kehidupan Arat Sabulungan dalam

Masyarakat Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama terhadap Perkembangan Arat Sabulungan 1954-1978)” teknik penelitian yang digunakan oleh penulis adalah Studi Literatur. Studi literatur digunakan oleh penulis untuk


(18)

mengumpulkan fakta dari berbagai sumber yang relevan dengan penelitian yang dikaji, semua itu dapat memberikan informasi mengenai permasalahan yang hendak dikaji.

Teknik-teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut ini:

Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan dan menganalisis materi dari berbagai literatur yang relevan untuk memecahkan permasalahan penelitian. Penulis juga berusaha membandingkan antara literatur yang satu dengan yang lainnya supaya mendapatkan data yang akurat. Tentu saja penulis banyak menggunakan buku-buku yang berhubungan dengan peristiwa penghapusan Arat Sabulungan dalam keprcayaan Suku tradisional Mentawai. Di sini penulis mencari sumber-sumber yang relevan dengan masalah yang dikaji, baik itu berupa buku-buku, dokumen, dan lain sebagainya. Dalam mencari sumber tertulis tersebut, penulis mandatangi beberapa perpustakaan baik yang berada di Bandung maupun yang berada di daerah Jakarta sendiri. Di antaranya yaitu Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, Perpustakaan Universitas Pajajaran, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan Perpustakaan Universitas Indonesia.

Sumber-sumber tersebut apabila disimpulkan akan berupa evidensi tertulis seperti buku, arsip-arsip yang berhubungan dengan kebudayaan Mentawai. Tahapan-tahapan yang diuraikan oleh penulis tersebut masih berupa perencanaan, sementara langkah-langkah yang sedang dan telah dilakukan saat ini adalah membaca literatur yang berhubungan dengan kebudayaan suku Mentawai serta upaya penghapusan Arat

Sabulungan. Buku-buku tersebut telah diperoleh beberapa buah setelah penulis

melakukan heuristik. Sampai saat ini penulis masih menemui banyak kesulitan untuk melakukan wawancara karena pelaku serta saksi sejarahnya yang kebanyakan sudah meninggal.

Selesai proses pemilihan topik dan heuristik dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan evaluasi secara kritis terhadap semua fakta yang telah ditemukan. Pada tahap ini penulis melakukan pengkajian mendalam terhadap sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Penelaahan lebih jauh lagi tentang kepercayaan tradisional suku bangsa Mentawai dan penghapusannya melalui Rapat Tiga Agama. Dengan demikian, penulis lebih memahami tentang kebenaran semua kejadian yang menjadi topik penelitian. Kritik intern terhadap arsip-arsip, film dokumenter milik Durga dilakukan dengan melihat keaslian dokumen tersebut.


(19)

Tahap selanjutnya setelah melakukan tahapan krititk sumber adalah tahapan interpretasi dan penulisan sejarah (Historiografi). Sebagaimana dikatakan oleh Helius Sjamsuddin (2007: 153), tahap penulisan dan interpretasi sejarah bukan merupakan kegiatan terpisah melainkan kegiatan yang bersamaan. Dalam proses interpretasi penulis mencoba menafsirkan data-data yang diperoleh selama penelitian. Penafsiran terhadap fakta-fakta dalam kajian “Kehidupan Arat Sabulungan dalam Masyarakat

Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama terhadap Perkembangan Arat

Sabulungan 1954-1978)” mengunakan beberapa pendekatan interdisipliner dengan menggunakan pendekatan historis yang didukung dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dalam menjelaskan kebudayaan masyarakat Mentawai.

1.7 Struktur Organisasi Skripsi

Untuk dapat memberikan gambaran yang jelas dalam penelitian skripsi ini, maka disusunlah struktur organisasi sebagai berikut:

BAB I Merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan kerangka pemikiran yang berkaitan dengan latar belakang masalah yang menguraikan tentang penghapusan

Arat Sabulungan dan masalah-masalah yang muncul dalam kaitannya dengan

dilakukannya tapat tiga agama, perumusan dan pembatasan masalah yang mencoba mengambil beberapa permasalahan yang layak dan penting untuk dikaji dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian yang memuat maksud-maksud dari pemilihan masalah tersebut, tinjauan pustaka dan landasan teoritis yang berusaha mencari kerangka berfikir dalam melihat permasalahan yang dikaji dari proposal ini, metode penelitian yang dijadikan standar baku dalam menuliskan sejarah yang hendak dikaji, serta sistematika penulisan.

BAB II Merupakan kajian teoritis. Bab ini mencoba menguraikan tentang teori-teori dalam memahami tentang penghapusan Arat Sabulungan pada masyarakat tradisional Mentawai. Dalam hal ini, teori yang penulis gunakan adalah Teori Identitas Sosial, dan Teori Perubahan Sosial. Selain itu, diuraikan juga secara lebih komprehensif tentang beberapa buku yang relevan sebagai sumber rujukan utama serta berkaitan dengan kebudayaan Mentawai.

BAB III Merupakan metode penelitian. Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Heuristik yaitu proses pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini, Kritik yaitu


(20)

proses pengolahan data sejarah sehingga menjadi fakta yang reliabel dan otentik, interpretasi yaitu penafsiran sejarawan terhadap fakta-fakta dengan mengunakan pendekatan dan metode penafsiran tertentu, serta historiografi yaitu proses penulisan fakta-fakta sejarah itu agar dapat dinikmati dan dikomunikasikan pada banyak orang. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memberikan arahan dalam pemecahan mengenai permasalahan penelitian yang akan dikaji, yakni yang berhubungan dengan penelitian mengenai penghapusan Arat Sabulungan di Kepulauan Mentawai ini dengan menggunakan metode historis dan teknik pengumpulan data dengan melakukan studi kepustakaan dan wawancara.

BAB IV Berisi pembahasan mengeni penghapusan Arat Sabulungan. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis. Uraian tersebut berdasarkan permasalahan atau pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan pada bab pertama. Bab ini mencoba menguraikan latar belakang terjadinya peristiwa penghapusan Arat Sabulungan sebagai kepercayaan tradisional masyarakat Mentawai, dan dampak dari peristiwa itu sendiri bagi pekembangan kebudayaan suku tradisional Mentawai. Tentunya pembahasan disini disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah ditentukan di awal. Pada bab ini diuraikan juga mengenai jawaban-jawaban permasalahan penelitian. Hal tersebut merupakan bagian dalam pengolahan hasil penelitian mengenai kajian Peristiwa penghapusan kebudayaan tradisional Mentawai sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah diajukan sebelumnya. Mulai dari hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu sampai dengan dampak yang diakibatkan setelah terjadinya peristiwa tersebut terhadap masyarakat Mentawai.

BAB V Merupakan kesimpulan. Bab ini menguraikan hasil-hasil temuan dan pandangan penulis tentang penghapusan kepercayaan tradisional Mentawai dan dampaknya bagi masyerakat Mentawai. pada dasarnya dalam bab ini dituangkan interpretasi penulis setelah menganalisis hasil penelitian tersebut. Bab ini bukan merupakan rangkuman penelitian, melainkan hasil pemahaman penulis dalam memecahkan permasalahan.


(21)

(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian

Dalam bab ini diuraikan mengenai metode penelitian yang penulis gunakan untuk mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan judul skripsi yang dibahas. Metodologi yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis, dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan teknik pengumpulan data berupa studi literatur. Metode historis adalah proses mengguji dan menganalisis secara kritis peninggalan masa lalu dan menulis hasil karya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang disebut historiografi (Gottschalk, 1986:32). Sedangkan meurut Ismaun (2005:35), yang dimaksud dengan metode sejarah ialah:

”proses untuk mengkaji dan menguji kebenaran rekaman dan peninggalan -peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya”.

Lebih lanjut lagi Widja (1998:19) mengatakan bahwa ”sejarah yang berkaitan dengan kejadian masa lampau manusia, tetapi tidak semua kejadian bisa diungkapkan, sehingga studi tentang sejarah sebenarnya dianggap bukan sebagai studi masa lampau itu sendiri, tetapi studi tentang jejak-jejak kekinian dari peristiwa masa lampau.” pendapat yang diutaraka Widja ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Gottschalk di atas.

Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode historis sangan sesuai karena data dan fakta yang diperlukan berasal dari masa lampau, dengan demikian kondisi yang terjadi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Dalam bukunya Ismaun mengatakan bahwa ada beberapa langkah yang dilakukan dalam mengembangkan metode historis ini meliputi:

1. Heuristik, yaitu cara dalam mengumpulkan jejak-jejak sejarah yang dianggap relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Heuristik merupakan salah satu tahap awal dalam penulisan sejarah seperti mencari, menemukan dan mengumpulkan data-data atau sumber-sumber yang berhubungan dengan tema yang dikaji yaitu berkaitan dengan Mentawai. Pada tahap ini, peneliti memperoleh data-data yang berhubungan dengan permasalahan penulis yang berupa sumber tertulis.


(23)

2. Kritik, yaitu tahapan kedua dalam penulisan sejarah yang bertujuan melakukan kritik terhadap sumber yang didapatkan. Tujuan yang hendak dicapai dalam tahap ini adalah untuk dapat memilih sumber yang relevan dengan masalah yang dikaji, dan membandingkan data–data yang sudah diperoleh dari sumber-sumber primer ataupun sekunder dan disesuaikan dengan tema ataupun judul penulisan skripsi ini. 3. Interpretasi, yaitu proses penafsiran fakta-fakta sejarah serta penyusunan yang

menyangkut seleksi sejarah. Fakta sejarah yang ditemukan tersebut kemudian dihubungkan dengan konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji yaitu gambaran yang jelas mengenai dampak Rapat Tiga Agama terhadap kepercayaan arat sabulungan di Mentawai.

4. Historiografi, yaitu tahap terakhir dari penulisan sejarah. Di mana dalam tahap ini penulis melakukan proses penyusunan hasil interpretasi yang telah diperoleh sehingga menjadi satu kesatuan sejarah yang utuh dalam bentuk skripsi dengan judul “Kehidupan Arat Sabulungan dalam Masyarakat Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama pada Tahun 1954 terhadap Perkembangan Arat Sabulungan)”.

Secara singkat Wood Gray (Sjamsuddin, 2007: 89) mengemukakan ada enam langkah dalam metode historis yaitu:

1. Memilih suatu topik yang sesuai.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.

3. Membuat catatan apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung.

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber).

5. Menyusun hasil-hasil penelirian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benardan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan senelumnya.

6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannnya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

Pendapat lain yang juga dikemukakan oleh Kuntowijoyo (2003:89), bahwa dalam melaksanakan penelitian sejarah terdapat lima tahapan yang harus ditempuh, yaitu:


(24)

1. Pemilihan topik, 2. Pengumpulan sumber,

3. Verifikasi (kritik sejarah atau keabsahan sumber), 4. Interpretasi, analisis dan sintesis, serta

5. Penulisan

Berdasarkan keempat pendapat di atas, pada dasarnya terdapat satu kesamaan dalam metode historis ini. Pada umumnya langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini adalah mengumpulkan sumber-sumber, menganalisis, dan menyajikannya dalam bentuk karya tulis ilmiah.

Untuk memperkuat analisis maka penulis menggunakan pendekatan interdisipliner dalam menulis skripsi ini. Pendekatan interdisipliner merupkan pendekatan dengan meminjam dari ilmu sosial yang lain seperti ilmu sosiologi dan antropologi. Konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu sosiologi seperti status sosial, peranan sosial, perubahan sosial dan lain-lain. Konsep-konsep dari ilmu antropologi dipergunakan untuk mengkaji mengenai agama dan budaya Mentawai untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai budaya dan agama yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman tentang masalah yang akan dibahas baik keseluruhan maupun kedalamannya semakin jelas (Sjamsuddin, 2007:304).

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan penulis adalah studi dokumentasi dan studi literatur. Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian (Soehartono, 1995: 70). Sumber dari studi dokumentasi adalah berupa catatan atau dokumen yang tersedia seperti biografi, surat-surat dan buku harian (Faisal, 1992: 53), yang termasuk kedalam studi dokumentasi tidak selalu data-data yang berupa arsip dan dokumen saja, tetapi juga meliputi monument, artefak, foto, rekaman video, rekaman kaset dan sebagainya (Kartodirdjo dalam Koentjaraningrat, 1993: 46). Studi dokumentasi yang dilakukan penulis dilakukan terhadap foto atau gambar yang ditemukan dan berhubungan dengan kebudayaan Mentawai serta video dokumenter.

Selain teknik di atas, dilakukan juga kunjungan pada perpustakaan UPI dan UNPAD serta mencari buku di toko-toko buku yang tersebar di Bandung dan Jakarta untuk menemukan sumber literatur yang mendukung penulisan ini. Setelah data-data


(25)

terkumpul maka penulis mulai mempelajari, mengkaji dan mengidentifikasi serta memilih sumber yang relevan sehingga dapat digunakan dalam penulisan. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan membaca dan mengkaji buku-buku serta artikel yang dapat membantu penulisan yang dikaji yaitu mengenai Arat Sabulungan yang ada di Mentawai.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mencoba memaparkan beberapa langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian sehingga dapat menjadi karya tulis yang ilmiah yang sesuai dengan tuntutan keilmuan. Langkah-langkah yang dilakukan tersebut terbagi ke dalam tiga tahap yaitu persiapan, pelaksanaan dan laporan penelitian.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian

Langkah awal yang dilakukan oleh penulis sebelum melakukan penelitian adalah penentuan tema. Sebelum diserahkan kepada tim Peretimbangan Penulisan Skripsi (TPPS), tema dijabarkan terlebih dahulu dengan judul “Kehidupan Arat Sabulungan dalam Masyarakat Tradisional Mentawai (Kajian Hasil Rapat Tiga Agama

pada Tahun 1954 terhadap Perkembangan Arat Sabulungan 1954-1978)” Setelah judul tersebut disetujui oleh TPPS Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, kemudian penulis menyusun suatu rancangan penelitian dalam bentuk proposal.

3.3.2 Penyusunan Perencanaan penelitian

Pada tahap ini penulis mulai melakukan studi literatur, yaitu meneliti dan mempelajari buku-buku, artikel dan dokumen yang relevan dengan tema kajian penelitian. Setelah studi literatur penulis kemudian menyajikannya dalam bentuk proposal skripsi. Proposal ini kemudian diajukan kepada TPS. Setelah ditinjau, diteliti dan beberapa kali melakukan revisi, melalui surat keputusan TPPS No 015/TPPS/JPS/2011. Diadakan seminar skripsi yang diselenggarakan pada tanggal 21 Februari 2011, sekaligus penunjukan pembimbing I dan II.

Pada dasarnya proposal penelitian tersebut memuat tentang: 1. Judul penelitian

2. Latar Belakang Masalah 3. Perumusan Masalah 4. Tujuan Penelitian


(26)

5. Manfaat penelitian 6. Tinjauan Pustaka

7. Metode dan Teknik Penelituan 8. Sistematika Penulisan

9. Daftar Pustaka 3.3.3 Proses Bimbingan

Pada tahap ini mulai dilakukan proses bimbingan dengan pembimbing I dan pembimbing II. Proses bimbingan adalah proses yang sangat diperlukan, karena dalam proses ini penulis dapat berdiskusi dengnan pembimbing I dan pembimbing II sehingga penulis dapat arahan berupa komentar dan perbaikan dari kedua pembimbing tersebut. 3.4 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian merupakan faktor yang sangat penting dari rangkaian proses penelitian dalam mendapat data dan fakta yang relevan. Dalam hal ini penulis menempuh beberapa tahap, antara lain:

3.4.1 Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Menurut Sjamsuddin (2007:95) sumber sejarah (Historical Sources) merupakan segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan pada kita mengenai suatu kenyataan atau tindakan manusia pada masa lampau. Heuristik merupakan langkah awal yang dilakukan penulis ketika melakukan penelitian yang meliputi tahap pencarian dan pengumpulan sumber yang relevan dengan penelitian.

Dalam proses pengumpulan sumber, telah dititik beratkan pada sumber tertulis, karena peristiwa ini sudah cukup lampau sehingga tokoh dan saksi dalam peristiwa ini sudah tidak layak dijadikan sebagai sumber penelitian. Pada tahap ini, penulis berusaha mencari data yang diperlukan sebagai sumber dalam penelitian dengan menggunakan studi literatur. Sumber tersebut merupakan buku-buku, artikel maupun karya ilmiah yang sesuai dengan tema. Selain itu juga ada beberapa gambar dan video dokumenter yang berkaitan dengan kebudayaan Mentawai.

Dalam pelaksanaan pengumpulan sumber tertulis ini penulis pengadakan kunjungan ke beberapa perustakaan Perguruan Tinggi di Bandung diantaranya UPI, UNPAD, ITB serta kunjungan ke Arsip Nasional Jakarta. Kunjungan ke beberapa perpustakaan tersebut diperoleh beberapa buku yaitu buku Taman Nasional Sinerut


(27)

pemulis juga melakukan kunjungan ke beberapa toko buku yang ada di Bandung yaitu, Gramedia, Palasari dan ke penerbit Balai Pustaka Jakarta serta kolektor buku dan berhasil mengumpulkan beberapa buku diantaranya, Mentawai, Mainan Bagi Roh:

Kebudyaan Mentwai, dll.

3.4.2 Kritik Sumber

Langkah kedua setelah melakukan heuristik adalah melakukan kritik sumber. Dalam usaha mencari kebudayan kebenaran (truth), sejarawan diharapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil (Sjamsuddin, 2007:131). Pada tahap ini data-data yang telah diperoleh berupa sumber tertulis ataupun sumber tulisan dipilih untuk menyelidiki keobjektifan sumber, keterkaitan dan kesesuaiannya. Dengan kritik ini maka akan memudahkan dalam penulisan karya ilmiah yang benar-benar objektif tanpa rekayasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Adapun kritik yang dilakukan penulis dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut, 1. Kritik Eksternal

Keritik eksternal merupakan suatu cara untuk memulai otensitas sumber sejarah (Ismaun, 2005:50). Sedangkan menurut Sjamsuddin (2007: 134), yang dimaksud dengan kritik eksternal adalah suatu penelitian asal usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin dan untuk mengetahui apakah suatu waktu sejak awalnya sumber tersebut telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal yang dilakukan penulis dalam penelitian ini, adalah keritik sumber terhadap sumber tertulis.

Keritik sumber terhadap sumber tertulis dilakukan dengan cara memilih buku-buku yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dikaji. Kritik terhadap sumber-sumber buku tidak terlalu dalam dengan pertimbangan bahwa buku-buku tersebut merupakan cetakan yang didalamnya memuat nama penulis, penerbit dan tahun terbit serta tempat buku tersebut diterbitkan, sehingga kriteria tersebut dianggap sebagai suatu jenis pertanggungjawaban atas buku tersebut.

Buku yang berjudul “Mentawai” karya Herman Sihombing. Penulis tidak langsung mencantumkan buku tersebut sebagai salah satu sumber utama dalam penulisan skripsi ini. Tetapi melakukan kritik eksternal terlebih dahaulu terhadap


(28)

buku tesebut apakah sudah memenuhi syarat sebagai salah satu sumber utama. Kemudian setelah dilakukan kritik eksternal, baru didapatlah hasil di mana buku tersebut layak dijadikan sebagai sumber utama dengan hasil temuan sebagai berikut. Di mana buku yang berjudul “Mentawai” karya Herman Sihombing tersebut merupakan buku yang diterbitkan oleh penerbit Pradnya Paramita pada tahun 1979 di Jakarta.

Adapun buku lain yang layak dijadikan sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah buku karya Reimar Schefold yang berjudul “Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai” yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta pada tahun 1991. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa buku ini memenuhi standar sebagai sumber karena telah memenuhi kriteria dan lolos uji kritik eksternal.

Selain kedua buku di atas, masih banyak buku lagi yang layak dijadikan sebagai sumber skripsi diantaranya, Menyusuri Pelosok Mentawai karya Yongki Salmeno tahun 1994, Berebut Hutan Siberut karya Darmanto dan Abidah B. Setyowati yang diterbitkan pada tahu 2012, dan ada juga beberapa artikel dalam majalah kebudayaan diantaranya majalah Tapian tahun 2010 dan Warisan yang terbit setiap bulan. Semua sumber yang disebutkan di atas adalah sumber yang dianggap pantas sebagaikan sumber dalam penulisan skripsi ini, karena semua sumber di atas dapat di pertanggung jawaban.

2. Kritik Internal

Kritik internal terhadap sumber sejarah adalah suatu kritik yang dilakukan untuk menilai kredibilkitas sumber dengan mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatnya, tanggung jawab dan moralnya (Ismaun, 2005:50). Dengan demikian, keritik internal merupakan suatu cara pengujian yang dilakukan terhadap aspek dalam yang berupa isi sumber. Dalam tahap ini penulis akan melakukan kritik internal terhadap sumber-sumber tertulis yang telah diperoleh berupa buku referensi dan beberapa dokumen dengan cara membandingkan dengan sumber lain.

Seperti pada kritik eksternal di atas, penulis juga melakukan kritik eksternal terhadap sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Buku yang berjudul Mentawai karya Herman Sihombing. Buku tersebut layak dijadikan sumber skripsi oleh penulis karena di dalamnya berisikan tentang suku Mentawai serta tentang kepercayaan mereka yaitu Arat Sabulungan. Selain itu, di dalamnya juga berisikan tentang masa-masa ketika mulai diadakannya rapat tiga agama. Bahkan masa-masa-masa-masa sebelum


(29)

diadakannya rapat tiga agama. Buku ini cukup rinci membahas mengenai bagaimana

arat sabulungan dihapuskan oleh agama-agama pendatang dengan bantuan pemerintah.

Dalam buku ini juga dibahas mengenai perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial-budaya masyarakat Mentawai. Bagaimana masyarakat Mentawai menghadapi perubahan yang begitu cepat dan cenderung dipaksakan.

Sebagai pembanding, penulis juga akan mencoba mengkritik buku yang berjudul “Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai” karya Reimar Schefold yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1991. Dalam buku ini membahas mengenai segenap kehidupan masyarakat Mentawai secara keseluruhan. Dalam buku ini, fokus utamanya adalah mengenai bagaimana masyarakat Mentawai menjalani kehidupannya. Tidak hanya mengenai hubungan mereka dengan sesama manusia, tapi juga menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. Dari buku inilah penulis dapat melihat secara mendalam mengenai masyarakat Mentawai dan membedakan dengan corak kehidupan masyarakat suku lain.

Adapun buku lain yang dijadikan pembanding dalam penulisan ini adalah buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1993 yang berjudul “Sastra Lisan Mentawai”. Tidak hanya membahas mengenai kehidupan sosial masyarakat Mentawai, buku ini lebih mendalam membahas mengenai sastra lisan Mentawai. dalam buku ini cerita-cerita rakyat yang berasal dari seluruh daerah Mentawai. Cerita-cerita inilah yang kemudian menjadi pengetahuan bagi sejarah masyarakat Mentawai itu sendiri, serta menghidupkan tradisi-tradisi lisan Mentawai yang membentuk jati diri masyarakat Mentawai. Adapun hal lain yang dibahas dalam buku ini adalah mengenai sejarah masuknya orang-orang dari luar daerah yang kemudian membawa kebudayaan mereka, yang keudian menjadi pemicu lahirnya Rapat Tiga Agama itu sendiri.

3.4.3 Interpretasi (Penafsiran data)

Tahap interpretasi merupakan tahap penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh agar dapat memiliki makna. Langkah awal yang dilakukan penulis dalam tahap ini adalah mengolah, menyusun dan menafsirkan fakta yang telah diuji kebenarannya. Kemudian fakta yang telah didapat tersebut disimpulkan dan dirumuskan sehingga akan terwujud suatu cerita sejarah (Ismaun, 2005:49-50). Dengan


(30)

kegiatan ini maka akan diperoleh suatu gambaran terhadap pokok-pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

Untuk mempertajam analisis dalam suatu permasalahan yang dikaji dan agar penulis dapat mengungkapkan suatu peristiwa sejarah secara utuh dan menyeluruh maka digunakan pendekatan interdisipliner pada tahap interpretasi ini. Pendekatan interdisipliner dalam penelitian ini artinya ilmu sejarah dijadikan sebagai disiplin ilmu utama dalam mengkaji permasalahan dengan dibantu oleh disiplin ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi. Dengan pendekatan ini diharapkan penulis memperoleh gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang sedang dikaji secara menyeluruh. Konsep-konsep yang yang dipinjam dari sosiologi seperti, status sosial, perubahan sosial, peranan sosial dan lain-lain. Konsep-konsep dari antropologi yang dipergunakan diantaranya mengenai agama, dan budaya Mentawai.

Pada tahap ini penulis memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian ini, misalnya penulis memberikan tekanan terhadap data-data yang penulis peroleh dari sumber tertulis yang berkaitan dengan kebudayaan Mentawai, khususnya Arat Sabulungan.

Menurut penafsiran penulis berdasarkan data-data yang penulis dapat dari hasil penelitian bahwa, dampak yang terjadi dengan diadakannya rapat tiga agama berdampak besar bagi kelangsungan budaya tradisional masyarakat Mentawai. Sudah banyak anak suku-anak suku yang beralih dan meinggalkan kepercayaan mereka. Namun bagaimanapun juga masih ada anak dalam Mentawai yang tetap bertahan terhadap kepercayaannya tersebut. Bahkan dewasa ini, anak dalam yang mencoba mengalir dalam modernisasi dan mencari ilmu sampai ke ibu kota kembali merintis dan membangun kembali sisa-sisa kebudayaan mereka yang hampir punah. Dan mencoba memperkenalkan pada dunia tentang kebudayaan mereka.

3.4.4 Historiografi

Historoigrafi merupakan tahap akhir dalam penulisan karya ilmiah ini atau disebut sebagai laporan penelitian. Pendapat Sjamsuddin (2007:153) mengenai laporan penelitian yaitu,

“Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengarahkan seluruh daya pikirnya, bukan daya keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya ia harus mengkasilkan suatu sintesis dari


(31)

seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan yang utuh yang disebut historiografi.”

Dalam laporan penelitian ini penulis menyampaikan hasil temuannya tentang kebudayaan Mentawai khususnya tentang Arat Sabulungan dengan cara menyusunnya dalam suatu tulisan yang jelas dalam bahasa yang sederhana dan menggunakan bahasa penulisan yang baik dan benar, serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Penulisan laporan ini dituangkan ke dalam karya tulis ilmiah yang disebut skripsi. Penulisan laporan ini dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan. Penggunakan yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan interdisipliner. Laporan ini tercipta sesuai dengan metode penulisan sejarah, dan disesuaikan dengan teknik penulisan karya ilmiah tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Universitas Pendidilkan Indonesia. Adapun tujuan dari laporan hasil penelitian ini untuk memenuhi kebutuhan studi akademis tingkat sarjana pada jurusan pendidikan sejarah FPIPS UPI.


(32)

(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Arat Sabulungan adalah akar budaya dan juga cara pandang hidup masyarakat

Mentawai yang tetap menjaga dan mengatur masyarakat Mentawai melalui tabu dan pantrngannya. Keberadaan Arat Sabulungan ini juga berperan penting pada seluruh tatanan keh idupan masyarakat Mentawai seperti kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Arat Sabulungan mengajarkan tentang perilaku terhadap sesama dan juga menjaga kearifan lokal dengan melestarikan alam. Masyarakat Mentawai bersama kepercayaannya terhadap Arat Sabulungan menjaga keseimbangan alam. Hidup sederhana bersama-sama dengan masyarakat lainnya. Arat Sabulungan juga menjaga agar masyarakatnya tetap memegang teguh aturan-aturan, nilai serta norma yang berlaku pada masyarakat Mentawai. Mereka percaya terhadap roh-roh leluhur dan dewa mereka yaitu Tai Kabagat Koat (dewa laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan

Tai Ka Manua (roh awang-awang). Masyarakat tradisional Mentawai percaya akan

kekuatan besar mereka (dewa-dewa) yang tercermin dalam setiap penomena alam sepeti hujan, petir, gelombang dahsyat dan lain-lain.

Sebelum didakannya Rapat Tiga Agama, kehidupan masyarakat Mentawai berjalan dengan selaras bersama alam dalam Arat Sabulungan. Mereka hidup harmonis dengan keyakinan mereka terhadap Arat Sabulungan yang mereka warisi dan mereka jaga dari leluhur mereka. Mereka hidup dengan ketradisionalan mereka. Hidup sederhana dengan mengandalkan apa yang disediakan oleh alam. Menebang sagu dari kebun yang mereka tanam sendiri, berburu di hutan, sungai dan juga laut. Dengan menggunakan pakaian sederhana berupa cawat yang terbuat dari kulit pohon. Mereka tinggal bersama dalam sebuah uma dengan sistem yang egaliter. Semua sudah tersedia di alam. Kehidupan mereka cenderung mudah dan santai. Tidak perlu repot mengurus segala kebutuhan hidup karena semua sudah tersedia di alam. Meskipun demikian, masyarakat tradisional Mentawai tidak menutup diri dari dunia luar. Mereka melakukan kontak dengan oraang luar yang datang ke Kepulauan Mentawai untuk mendapat hasil bumi Mentawai. Melalui pertukaran, sedikit demi sedikit masyarakat Mentawai mulai mengenali adanya kebudayaan di luar kebudayaan mereka, mengenali barang-barang yang tidak dapat mereka buat sendiri tapi kemudian mempermudah aktifitas mereka.


(34)

Kontak itu secara tidak langsung mengubah kebiasan masyarakat Mentawai, namun tidak terlalu mendasar. Kemudian muncul keinginan orang luar untuk mengubah sistem religi dan juga cara hidup masyarakat tradisional Mentawai. Hal itu dikarenakan, bahwa sekian lama mereka (penduduk luar pulau) berada di Mentawai namun tidak membuat masyarakat Mentawai tertarik untuk bergabung dengan agama mereka. Setelah berdatangan beberapa agama, kemudian munculah konflik yang disebabkan perebutan dalam penyiaran agama. Maka dari itu, dengan bantuan pemerintah Orde Lama diadakanlah Rapat Tiga Agama. Rapat yang diadakan oleh Agama Islam, Protestan dan Sabulugan. Hasil rapat tersebut menghasilkan keputusan bahwa masyarakat tradisional Mentawai harus meninggalan Arat Sabulungan dan menggantikannya. Dimana mereka wajib memilih salah satu agama yang disarankan oleh pemerintah, yaitu Islam atau Protestan.

Dengan diadakannya Rapat Tiga Agama, kemudian keberadaan Arat

Sabulungan punah. Masyarakat tradisional Mentawai dipaksa meninggalkan kehidupan

mereka yang tradisional. Mengganti keyakinan terhadap Arat Sabulungan, menanggalkan segala atribut yang berbau primitif, seperti cawat yang merupakan pakaian sehari-hari mereka serta meninggalkan kebiasaan mentato tubuh mereka karena dianggap tidak seuai dengan kemajuan jaman. Seluruh aktifitas Sabulungan mereka dibatasi bahkan dilarang. Kehidupan mereka diusik oleh para pendatang. Mereka dipaksa mengikuti cara hidup pendatang. Berpakaian dengan kain, dipaksa bercocok tanam dan meninggalkan kebiasaan memakan sagu dan berburu babi hutan dan juga monyet. Dengan Rapat Tiga Agama, semua berubah. Aktifitas yang berbau Sabulungan ditinggalan. Hal ini berdampak pada hilangnya identitas masyarakat Mentawai, seperti budaya Ti’ti, serta hilangnya kearfan lokal seperti menjaga keseimbangan alam.

Selain itu, kehidupan sosial mereka yang terhimpun dalam uma tidak ada lagi. Struktur uma mulai goyah. Masyarakat dipaksa meninggalkan uma dan dangau mereka. Kemudian, mereka dipaksa tinggal di pemukiman modern bentukan pemerintah, di mana bertujuan agar masyarakat Mentawai yang masih tradisional dapat dikelola dan diatur dengan mudah. Tujuan pemerintah dan agama-agama yang diakui pemerintah saat itu tidaklah salah. Keberadaan agama Sabulungan memanglah dianggap kebudayaan primitif oleh mereka. Menyembah dewa-dewa dianggap sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan kehidupan kala itu. Namun, sepertinya mengadakan Rapat Tiga Agama dengan isi bahwa masyarakat Mentawai harus berpindah keyakinan


(35)

dan memilih agama yang diakui oleh pemerintah ketika itu terlalu berlebihan. Karena bagaimanapun juga, keyakinan seseorang tidak dapat dipaksakan. Mungkin jika saja pihak yang berwenang ketika itu dengan para penyiar agama memiliki rasa optimis untuk dapat merubah keyakinan dan menghilangkan Arat Sabulungan dari bumi Mentawai, tentu saja pemaksaan itu tidak akan terjadi. Karena seperti diketahui, pemaksaan itu hanya akan memunculkan konflik-konflik sosial lain serta memunculkan perubahan hanya dipermukaannya saja. Karena banyak masyarakat tradisional Mentawai berpindah agama hanya diluar saja karena takut pada aparat dan segala sanksi yang diberikan.

Selain itu, terhapusnya arat sabulungan dari Mentawai juga berdampak terhadap hilangnya budaya ti’ti yang dipandang sebagai identitas masyarakat tradisional Mentawai. Tidak ada lagi generasi muda Mentawai yang tertarik untuk menato tubuh mereka. Sedangkan generasi tua, tidak dapat menyelesaikan tato mereka. Banyak dari tato mereka yang tidak lengkap. Bahkan, kemudian mereka yang ingin menambah tatonya agar lengkap menjadi kesulitan mencari Sipatiti (seniman tato).

Akan tetapi, meskipun budaya tradisional Mentawai nyaris punah. Tidak dapat dipungkiri, meskipun belum sepenuhnya terjadi. Masyarakat Mentawai dapat disejajarkan dengan suku bangsa lain di Indonesia. Mereka (generasi muda) sudah tidak lagi buta huruf. Banyak dari mereka yang sudah memiliki kesadaran akan arti penting pendidikan formal. Tetapi banyak yang masih sulit menjangkau sekolah-sekolah. Seperti penduduk di pedalaman Siberut. Meski telah dibangun bayak sarana-sarana pendidikan. Baik oleh pemerintah (sekolah negeri), ada juga sekolah-sekolah bentikan Agama-agama Monoteis (Islam, Protestan dan Katolik). Selain itu, dibangun juga sarana-sarana kesehatan. Sehingga masyarakat tidak sulit untuk berobat. Suatu nilai positif untuk masyarakat Mentawai karena untuk memperoleh kesehatan tidak lagi sulit dan tidak harus pergi ke Padang dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun berbanding terbalik, hal ini mengakibatkan peran Sikerei tergeser meski tidak benar-benar ditinggalkan. Karena, meski sudah dianggap modern, masih banyak orang yang tetap pergi berobat kepada Sikerei.

Selain itu, banyak generasi-generasi muda Mentawai sudah mulai mementingkan pendidikan dan tidak berkutat membantu orang tua mereka di ladang. Terpengaruh dan tertarik menjalani kehidupan modern dari orang-orang luar pulau yang datang. Tidak sedikit dari mereka yang pergi ke Ibu Kota untuk melanjutkan


(36)

pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan tidak sedikit dengan menggunakan beasiswa dari program pemerintah maupun dari agama-agama baru yang mereka anut. Kemudian, setelah mereka menyelesaikan pendidikan, tidak sedikit dari mereka yang kembali ke kampung halaman mereka dan membangun kembali desa-desa mereka baik dalam hal sosial, ekonomi dan budaya dengan ilmu yang mereka bawa dari ibu kota.

5.2 Saran

Kebudayaan Mentawai yang nyaris punah ini menarik minat para wisatawan untuk melihatnya. Pariwisata yang merupakan salah satu sumber devisa melalui keunikan-keunikan budayanya, namun terancam oleh erosi budaya. Meskipun tidak harus menghidupkan kembali Arat Sabulungan, setiap aktifias-aktifitas yang bersifat budya lokal patut untuk diperjuangkan. Seperti upacara-upacara adat, kesenian tari dan juga menghasilkan kembali hasil budaya-budaya fisik berupa atribut-atribut kesukuan. Selain itu, informasi-informasi mengenai suku-suku terasing di Indoesia harus diperbanyak. Karena banyak turis asing yang berdatangan untuk melihat suku tradisional Mentawai yang mereka ketahui melalui buku Stefano Coronese. Kepada dinas yang berwenang dalam budaya dan pariwisata, menghidupkan kembali budaya-budaya materil Mentawai, akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan pariwisata budaya lokal dan juga membantu meningkatkan tarap hidup masyarakat Mentawai. Misal dengan dibentuk suatu badan yang menampung seniman-seniman budaya Mentawai. Seperti sanggar tari tradisional Mentawai dan juga kesenian ti’ti (rajah tubuh) untuk kepentingan pariwisata. Dapat juga membangun ekowisata untuk kesejahteraan masyarakat Mentawai.

Alangkah lebih baik jika pemerintah berkenan menghidupkan kembali sisa-sisa kebudayaan Mentawai yang nyaris punah. Melalui kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan, serta berkenaan dengan pariwisata budaya. Selain bagus sebagai wisata budaya Indonesia. Hidupnya kembali kebudayaan Mentawai akan membentuk kembali jati diri suku Mentawai, sehingga anak-anak Mentawai dan generasi selanjutnya dapat mengenali asal-usul mereka dan mengenali kebudayaan yang hampir dilupakan oleh masyarakat asli Mentawai. Setidaknya, membiarkan generasi selanjutnya (orang-orang Mentawai) membangun kembali kebudayaan mereka. Akan lebih baik pula bahwa kebudayaan Mentawai dimasukan kedalam


(37)

kurikulum di sekolah-sekolah di Mentawai untuk memperkenalkan budaya lokal pada anak-anak sebagai generasi penerus agar tidak melupakan budaya asli mereka.

Selain itu, untuk Pemda setempat hendaknya bidang pendidikan dan kesehatan lebih diintensifkan. Karena, belum semua penduduk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan dengan merata, terutama yang tinggal di pedalaman. Selain itu, kesenjangan sosio-ekonomi antara penduduk asli dengan para pendatang cukup jauh. Alangkah lebih bijaksana jika Mentawai tidak hanya diambil sumber daya alamnya, tetapi sumber daya manusia juga diberdayakan. Saran yang terakhir, khususnya bermanfaat secara langsung bagi generasi muda Mentawai selanjutnya adalah dengan memasukan kebudayaan Mentawai kedalam kurikulum pendidikan. Karena seperti yang diketahui, sejarah mengajarkan kita tentang kebijaksanaan. Bila generasi muda Mentawai mengetahui asal-usul mereka, maka mereka tidak akan kehilangan identitas mereka. Karena, bila tidak dilestarikan melalui pendidikan, maka sejarah lisan tentang Mentawai lambat laun akan terlupakan. Maka dari itu, sebaiknya budayawan juga memberi informasi tertulis mengenai Mentawai melalui buku-buku, jurnal ataupun artikel agar masyarakat luar dapat mengenal kebudayaan Mentawai.

Akhirnya penulis merasa bahwa karya tulis ini memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan sumber yang dimiliki penulis. Selain itu, penulis merasa belum maksumal dalam menyajikan hasil temuan penulis. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk penelitian selanjutnya. Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.


(38)

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abidin, M. (1997). Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai: 30 tahun perjalanan da’wah lla’llah Metawai menggapai cahaya Iman 1967-1997. DDII: Jakarta. Andinka, R. (2011). Motif Utama Tato Mentawai: Suatu Interpretasi Tato Tradisional

antar Daerah di Mentawai. Skripsi SI pada Fakultas Ilmu Seni dan Sastra

Universitas Pasundan Bandung: Tidak diterbitkan.

Balai Taman Nasional Siberut . (2003). Taman Nasional Sinerut Kabupaten Kepulauan

Mentawai, Sumatra Barat: Balai Taman Nasional Siberut: Sumatra Barat.

Boelaars, Y. (1984). Kepribadian Indonesia Modern. Jakarta: PT. Gramedia. Cohen, B. J.(1992). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:Reka Cipta.

Coronese, S.(1986). Kebudayaan Suku Mentawai. Bandung: Grafidian Jaya.

Darmanto dan Setyowati .(2012). Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,

Kekuasaan, dan Politik Ekologi. Jakarta: Gramedia.

Depdikbud. (1993). Sastra Lisan Mentawai. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Durga, A. (2011). “Tato adalah Budaya Indonesia”. Warisan Indonesia II. (Januari 2011).

Faisal, S. (1992). Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali.

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Habib, M. (1989). Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya. Surabaya:Usaha Nasional.

Horton, P. B. dan Hunt, C. L. (1991). Sosiologi Jilid I. Jakarta: Erlangga. Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah.Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah.

Kartodirdjo. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.

Kutowidjoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Koentjaraningrat. (1990). Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. (1993). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka utama.

Meyers, dan Bernard, S. (2003). Mc Graw Hill Dictionary of Art, Vol 3, Mc Graw Hill Bokk Company, New York.

Mulhadi. (2007). Landasan yuridis Penghapusan Kepercayaan tradisional ”Arat

Sabulungan” di Mentawai. Skripsi SI pada Fakultas Hukum USU Medan: Tidak diterbitkan.


(40)

Mulyana, dan Rakhmat, J. (2008). Komunikasi antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Persoon, G. (1995). Pulau Siberut. Jakarta: Bathara.

Rahmannul, M. (2011). Pergeseran Makna Tato Tradisional Mentawai Sebagai

Identitas Pada Mahasiswa Mentawai Di Jakarta.Skripsi SI pada Jurusan

Jurnalistik Fakultas ilmu komunikasi Universitas padjadjaran Bandung: Tidak Terbit.

Rosa, A. (1994). Eksistensi Tato Sebagai Salah Satu Karya Seni Rupa Tradisional

Masyarakat Mentawai. Tesisi S2 pada fakultas Seni Rupa dan Disain ITB

Bandung. Tidak diterbitkan.

Rudito, B. (1993). Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Pulau Sumatra (dalam koentjaraningrat) (peny.), masyarakat terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Sajogyo (1985). Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta:

Rajawali Perss.

Salim, P. (1997). The Contemporary Indonesia-English Dictionary. Jakarta: Modern English Press.

Salmeno, Y. (1994). Menyusuri Pelosok Mentawai. Jakarta: Puspa Swara.

Sandipras dan Mulyono, T. (2011a). “Menjenguk Mentawai yang Gundah”. Warisan Indonesia I. (Januari 2011)

Sandipras dan Mulyono, T. (2011b).”Mentawai: Jangan Sampai Roh Laut Marah

Lagi”.Warisan Indonesia I. (Januari 2011).

Sandipras dan Mulyono, T. (2011c). “Ti’ti, Baju Abadi Orang Mentawai”.Warisan Indonesia I. (Januari 2011).

Schefold, R.(1991). Mainan Bagi Roh:Kebudayaan Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka. Sihombing, H. (1979). Mentawai. Jakarta:Pradnya Paramita.

Sikaraja, B. (2010). “Arat Sabulungn: Pemusnahan Sebuah Peradaban”. Tapian (April 2010)

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud Direktorat Pendidikan Tinggi Proyek Tenga Akaemi.

Soehartono, I. (1995). Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali.

Soekmono. (2008). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Soemardjan dan Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan

Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Spina, B.(1981). Mitos dan Legenda Suku Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumaatmadja, N. (1998). Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan

Hidup. Bandung: Alfaabeta.

Suparlan, P. (1982). Kebudayaan, Masyarakat dan Agama dalam Pengetahuan Budaya


(1)

48

kurikulum di sekolah-sekolah di Mentawai untuk memperkenalkan budaya lokal pada anak-anak sebagai generasi penerus agar tidak melupakan budaya asli mereka.

Selain itu, untuk Pemda setempat hendaknya bidang pendidikan dan kesehatan lebih diintensifkan. Karena, belum semua penduduk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan dengan merata, terutama yang tinggal di pedalaman. Selain itu, kesenjangan sosio-ekonomi antara penduduk asli dengan para pendatang cukup jauh. Alangkah lebih bijaksana jika Mentawai tidak hanya diambil sumber daya alamnya, tetapi sumber daya manusia juga diberdayakan. Saran yang terakhir, khususnya bermanfaat secara langsung bagi generasi muda Mentawai selanjutnya adalah dengan memasukan kebudayaan Mentawai kedalam kurikulum pendidikan. Karena seperti yang diketahui, sejarah mengajarkan kita tentang kebijaksanaan. Bila generasi muda Mentawai mengetahui asal-usul mereka, maka mereka tidak akan kehilangan identitas mereka. Karena, bila tidak dilestarikan melalui pendidikan, maka sejarah lisan tentang Mentawai lambat laun akan terlupakan. Maka dari itu, sebaiknya budayawan juga memberi informasi tertulis mengenai Mentawai melalui buku-buku, jurnal ataupun artikel agar masyarakat luar dapat mengenal kebudayaan Mentawai.

Akhirnya penulis merasa bahwa karya tulis ini memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan sumber yang dimiliki penulis. Selain itu, penulis merasa belum maksumal dalam menyajikan hasil temuan penulis. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk penelitian selanjutnya. Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.


(2)

(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abidin, M. (1997). Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai: 30 tahun perjalanan

da’wah lla’llah Metawai menggapai cahaya Iman 1967-1997. DDII: Jakarta. Andinka, R. (2011). Motif Utama Tato Mentawai: Suatu Interpretasi Tato Tradisional

antar Daerah di Mentawai. Skripsi SI pada Fakultas Ilmu Seni dan Sastra

Universitas Pasundan Bandung: Tidak diterbitkan.

Balai Taman Nasional Siberut . (2003). Taman Nasional Sinerut Kabupaten Kepulauan

Mentawai, Sumatra Barat: Balai Taman Nasional Siberut: Sumatra Barat.

Boelaars, Y. (1984). Kepribadian Indonesia Modern. Jakarta: PT. Gramedia. Cohen, B. J.(1992). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:Reka Cipta.

Coronese, S.(1986). Kebudayaan Suku Mentawai. Bandung: Grafidian Jaya.

Darmanto dan Setyowati .(2012). Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,

Kekuasaan, dan Politik Ekologi. Jakarta: Gramedia.

Depdikbud. (1993). Sastra Lisan Mentawai. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Durga, A. (2011). “Tato adalah Budaya Indonesia”. Warisan Indonesia II. (Januari 2011).

Faisal, S. (1992). Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali.

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Habib, M. (1989). Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya. Surabaya:Usaha Nasional.

Horton, P. B. dan Hunt, C. L. (1991). Sosiologi Jilid I. Jakarta: Erlangga. Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah.Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah.

Kartodirdjo. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.

Kutowidjoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Koentjaraningrat. (1990). Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. (1993). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka utama.

Meyers, dan Bernard, S. (2003). Mc Graw Hill Dictionary of Art, Vol 3, Mc Graw Hill Bokk Company, New York.

Mulhadi. (2007). Landasan yuridis Penghapusan Kepercayaan tradisional ”Arat

Sabulungan” di Mentawai. Skripsi SI pada Fakultas Hukum USU Medan:


(4)

Mulyana, dan Rakhmat, J. (2008). Komunikasi antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Persoon, G. (1995). Pulau Siberut. Jakarta: Bathara.

Rahmannul, M. (2011). Pergeseran Makna Tato Tradisional Mentawai Sebagai

Identitas Pada Mahasiswa Mentawai Di Jakarta.Skripsi SI pada Jurusan

Jurnalistik Fakultas ilmu komunikasi Universitas padjadjaran Bandung: Tidak Terbit.

Rosa, A. (1994). Eksistensi Tato Sebagai Salah Satu Karya Seni Rupa Tradisional

Masyarakat Mentawai. Tesisi S2 pada fakultas Seni Rupa dan Disain ITB

Bandung. Tidak diterbitkan.

Rudito, B. (1993). Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Pulau Sumatra (dalam koentjaraningrat) (peny.), masyarakat terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Sajogyo (1985). Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta:

Rajawali Perss.

Salim, P. (1997). The Contemporary Indonesia-English Dictionary. Jakarta: Modern English Press.

Salmeno, Y. (1994). Menyusuri Pelosok Mentawai. Jakarta: Puspa Swara.

Sandipras dan Mulyono, T. (2011a). “Menjenguk Mentawai yang Gundah”. Warisan Indonesia I. (Januari 2011)

Sandipras dan Mulyono, T. (2011b).”Mentawai: Jangan Sampai Roh Laut Marah

Lagi”.Warisan Indonesia I. (Januari 2011).

Sandipras dan Mulyono, T. (2011c). “Ti’ti, Baju Abadi Orang Mentawai”.Warisan Indonesia I. (Januari 2011).

Schefold, R.(1991). Mainan Bagi Roh:Kebudayaan Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka. Sihombing, H. (1979). Mentawai. Jakarta:Pradnya Paramita.

Sikaraja, B. (2010). “Arat Sabulungn: Pemusnahan Sebuah Peradaban”. Tapian (April 2010)

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud Direktorat Pendidikan Tinggi Proyek Tenga Akaemi.

Soehartono, I. (1995). Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali.

Soekmono. (2008). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Soemardjan dan Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan

Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Spina, B.(1981). Mitos dan Legenda Suku Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumaatmadja, N. (1998). Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan

Hidup. Bandung: Alfaabeta.

Suparlan, P. (1982). Kebudayaan, Masyarakat dan Agama dalam Pengetahuan Budaya


(5)

Tim UPI. (2012). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Departemen Pendidikan Nasional UPI.

Widja, I. G. (1998). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Saty Kencana.

Wijaya, P.(2011). “Mentawai Erosi”.Warisan Indonesia I.(Januari 2011) Wulandari, D. (2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Jakarta: Gramedia. Internet:

Alan G. dan Guimaraes, V. (2013). Animism. [Online]. Tersedia: http://www.themystica.com/mystica/articles/a/animism.htm [2 April 2013] Dimas, S. (2012). Definisi Masyarakat . [Online]. Tersedia:

http://definisimu.com/2012/09/definisi-masyarakat.html [22 Maret 2013]. Fajar, S. (2009). Mitos dalam Masyarakat Adat Mentawai (Mengangkat Jati Diri lewat

Tradisi Lisan). [Online]. Tersedia:

http://www.kemahsastra.com/artikelesei/bahasa-dan-sastra-daerah/68-mitos-dalam-masyarakat-adat-mentawai.html. [16 Februari 2011]

Mahmud, A. (2010) Uma Mentawai yang Terancam. Kompas.Com [Online]. Tersedia: http://www1.kompas.com/read/xml/2010/06/05/0315517/ uma.mentawai. yang.terancam. html. [16 Februari 2011].

Prasetyo, A. (2011). Mengenai Pasal 29 UUD 1945. [Online]. Tersedia: http://Visualshare.com/2011/02/mengenai-pasal-29-uud-1954. html [05 Januari 2012].

Rido, M. (2010). Kearifan Tradisional Suku Mentawai. [Online]. Tersedia: http://ridoyakusa.com/p/kearifan-tradisional-suku-mentawai.html [13 Januari 2013].

Saerejen, M. (2013). Sistem Perkawinan Adat di (Mayoritas) Kepulauan Mentawai.

[online]. Tersedia:

http://www.puailiggoubat.com/index.php?mod=artikel&id=478 [24 april 2013] Siberut. (2010). Uma Mentawai. [Online]. Tersedia:

http://tubutaratlaggai.com/2010/05/uma-mentawai.html [10 Agustus 2013]. Taman Nasional Siberut. (2009). Sosial-Budaya Masyarakat Mentawai. [online].

Teersedia: http://tamannasionalsiberut.org/sosial-budaya-masyarakat-mentawai.html [10 agustus 2013].

Tempo. (2012). Cara Berburu Orang Mentawai. [Online]. Tersedia: http://www.tempo.co/read/news/2012/09/21/199430943/Cara-Berburu-Warga-Mentawai. [13 Januari 2013].

Wandra, E. (2013). Mengenal Mentawai. [Online]. Tersedia:

http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2013/02/10/mengenal-mentawai-532475.html [13 Januari 2013].

_______.Mentawai Islands, Encyclopædia Britannica Article, [Online]. Tersedia:

http://www.britannica.com/eb/article-9052052/Mentawai-Islands. html [05 Januari 2012].


(6)

________. (2009). Tadisional. [Online]. Tersedia: http//jalius12.woerdpress.com/2009.10/06/tradisional.htm. [22 Maret 2013]. ________. (2012). Masyarakat Tradisional. [Online]. Tersedia;

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2134672-masyarakat-tradisional/#ixzz2OF1k4G00/htm. [22 Maret 2013].

_____. (2012). Rumah Adat Nusantara: Rumah Adat Suku Mentawai. [online]. Tersedia: http://rumahadat.com/2012/04/25/rumah-adat-suku-mentawai/[25 april 2012].