Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) Terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai

Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) Terhadap Pendapatan
Masyarakat Pantai Di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat
Agus Purwoko
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utar
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dampak kerusakan ekosistem hutan bakau
(mangrove) yang terjadi terhadap pendapatan nelayan dan aspek-aspek perekonomian yang
terkait dengan dampak kerusakan ekosistem hutan bakau (mangrove) di Kecamatan Secanggang,
Kabupaten Langkat. Desa terpilih yang menjadi lokasi penelitian adalah Jaring Halus dan Kwala
Besar, dikarenakan kedua desa ini berada di sekitar ekosistem hutan bakau, memiliki garis pantai
yang panjang dan hampir seluruh penduduknya memiliki mata pencaharian yang terkait langsung
dengan sektor perikanan.
Untuk mendapatkan gambaran dampak kerusakan, dilakukan analisis statistik dengan
menggunakan uji t mached pair untuk mengetahui signifikansi perbedaan beberapa indikator
yang dianalisis pada saat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove.
lndikator-indikator tersebut antara lain pendapatan rumah tangga, keragaman jenis biota
tangkapan nelayan, kemudahan bekerja dan berusaha, serta ketersediaan bahan baku dan
komoditas perdagangan yang berbasiskan sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan sektor
perikanan laut/payau sangat terkait dengan eksistensi dan peran ekosistem mangrove sebagai

habitat dan penyangga kehidupan aneka biota taut yang menjadi sumber mata pencaharian
nelayan. Sedangkan untuk mengetahui fungsi konsumsi dan masyarakat pantai digunakan analisis
regresi linier sederhana.
Analisis pendapatan sebelum dan sesudah kerusakan dilakukan dengan pendekatan nilai
kiwari (precent value approach) dikarenakan terdapat perbedaan preferensi terhadap nilai sumber
daya alam seiring dengan perubahan waktu. Keragaman jenis biota tangkapan dianalisis melalui
jenis-jenis yang menjadi langka atau hilang (pendekatan frekuensi perjumpaan) dan tinjauan
persepsi masyarakat terhadap populasi dan keragaman jenis-jenis biota laut tangkapan nelayan.
Adapun kemudahan bekerja dan berusaha serta kondisi ketersediaan bahan baku dan komoditas
perdagangan merupakan analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi sebelum dan sesudah
terjadi kerusakan ekosistem hutan mangrove di lokasi studio.
Dari data kondisi sosial ekonomi responden diperoleh hasil bahwa umumnya masyarakat
di lokasi studi memiliki rumah dengan kategori rumah sederhana (61 %), menggunakan alat
masak utama kompor minyak (94 %) dengan sumber energi utama yang digunakan keluarga
berupa minyak tanah (87 %). Seluruh penduduk (100 %) telah menikmati penerangan yang
bersumber dari listrik PLN. Akan tetapi hampir seluruh penduduk di lokasi studi masih
menggunakan jenis jamban umum atau jamban keluarga yang langsung membuang limbahnya ke
laut/sungai. Adapun sumber air minum yang digunakan umumnya (87 %) berupa air sumur bor
yang diperoleh dengan cara membeli kepada pengusaha swasta lokal yang memiliki sumur bor.
Dari analisis statistik terhadap data diketahui bahwa pendapatan rumah tangga, keragaman

jenis biota tangkapan nelayan, kemudahan bekerja dan berusaha, serta ketersediaan bahan baku
dan komoditas perdagangan antara kondisi sebelum dengan scsudah terjadinya kerusakan
ekosistem mangrove ternyata berbeda secara signifikan pada taraf keyakinan 95 %. Nilai t-hitung
masing masing indikator secara berurut antara lain 7.11 (t-tabel 1.995),20.65 (t-tabel 1.999),
17.02 (t-tabel 1.999), dan 19.20 (t tabel 1.999). Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis

1
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

hasil tangkapan, dimana rata-rata 56.32 % dari jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan
menjadi langka (sulit didapat) dan 35.36 % diantaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi
tertangkap). Selain itu, diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan pendapatan responden akibat
kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata Rp. 667.562,- atau sebesar 33.89 % dari
pendapatan sebelum terjadinya kerusakan, meskipun penurunan tersebut terjadi secara variatif
antar kelompok pekerjaan pokok. Kelompok pekerjaan pokok yang paling tinggi tingkat
penurunannya adalah nelayan pembudidaya dengan proporsi penurunan sebesar 41.12 % dari
total pendapatan semula. Hal ini dikarenakan komoditi yang dibudidayakan di wilayah studi
adalah jenis-jenis ikan kerapu, jenahar, udang dan kepiting bakau yang selama daur hidupnya
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem hutan
bakau/mangrove berdampak langsung terhadap ketersediaan bibit kegiatan budidaya, sehingga

sebagian besar kegiatan budidaya laut maupun payau yang tidak lagi berjalan.
Kerusakan ekosistem hutan mangrove juga berdampak terhadap kesempatan kerja dan
berusaha, dimana 85.4 % masyarakat berpendapat bahwa sebelum kerusakan mereka agak mudah
sampai dengan mudah mendapatkan kesempatan kerja dan berusaha, namun setelah terjadinya
kerusakan terjadi sebaliknya dimana 85.4 % responden menyatakan agak sulit sampai dengan
sulit mendapatkan kesempatan bekerja dan berusaha.
Dalam kajian makro, tingkat pembentukan saving rata-rata keluarga di lokasi studi hanya
sebesar 8 % dari total pendapatan keluarga, jauh lebih rendah dari angka normal yaitu sebesar 15
%. Hal ini berdampak pada kurangnya suport terhadap berkembangnya investasi lokal yang
dampaknya bermuara kepada kurangnya ketersediaan lapangan kerja dan rendahnya multiplier
effect terhadap perekonomian maupun pengembangan wilayah di kawasan pantai Kecamatan
Secanggang. Sedangkan Marginal Prospencity to Consume (MPC) diketahui sebesar 0.807 dan
Marginal Prospencity to Saving (MPS) sebesar 0.193. Hal ini berarti kecenderungan untuk
mengkonsumsi lebih besar dibandingkan dengan hasrat untuk menabung.
Berdasarkan hasil dari penelitian di atas, dapat disarankan beberapa hat sebagai berikut :
1. Pemerintah daerah bersama masyarakat harus segera melakukan upaya rehabilitasi hutan
mangrove yang seiring dengan upaya penyadaran masyarakat terhadap arti pentingnya
ekosistem hutan mangrove bagi kelangsungan hidup mereka. Selain itu, kalangan akademisi
perlu mengkaji bentuk kelembagaan pengelolaan hutan mangrove yang lebih baik, yang
menempatkan masyarakat sebagai pemangku kepentingan sekaligus pelaku utama dalam

pengelolaan hutan bakau.
2. Disarankan agar pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan semua pihak yang
terkait berupaya mengembangkan bentuk-bentuk mata pencaharian alternatif bagi masyarakat
pantai yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam, tidak sekedar eksploitatif,
memberikan nilai tambah yang tinggi, dan sinergi dengan konsep pemanfaatan sumber daya
alam secara lestari melalui pendekatan budaya (kultur) serta sinergi dengan peningkatan
kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk meningkatkan daya tumbuh investasi lokal,
diperlukan kebijakan dan fasilitasi dari pemerintah sebagai triger bagi pengembangan
investasi di kawasan pantai.
3. Perlu dilakukan upaya antisipasi dengan pendekatan ekonomi maupun sosial budaya guna
mencegah dan mengeliminir potensi kerawanan sosial di masyarakat pantai akibat
menurunnya pendapatan serta kesempatan kerja dan berusaha.

2
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara