Ekologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium, Linnaeus 1758) pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan, Jawa Barat

(1)

1.1 Latar Belakang

Pantai Mayangan terletak di Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Hutan mangrove di Kabupaten Subang mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Menurunnya kerapatan populasi hutan mangrove antara lain telah mengurangi fungsinya sebagai penahan abrasi. Degradasi ini terjadi karena ulah manusia dengan menjadikan mangrove sebagai bahan bakar atau bahan bangunan, konversi kawasan hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti tambak ikan dan udang, pemukiman, serta kawasan industri (BAPPEDA Jawa Barat 2008). Kerusakan mangrove juga dapat mengancam keberadaan salah satu biota yang ada disekitar mangrove tersebut. Salah satunya yaitu keong bakau (Telescopium telescopium).

Keong bakau merupakan moluska asli mangrove yang mudah ditemukan di bagian tengah hutan mangrove. Keong bakau sering ditemukan dalam jumlah berlimpah di daerah pertambakan yang berbatasan dengan hutan mangrove. Selain itu, keong bakau juga banyak ditemukan di sungai-sungai yang dekat dengan daerah pertambakan (Hamsiah 2000). Berdasarkan analisis citra satelit lansat tahun 2005/2006, luas hutan mangrove di Kecamatan Legon Kulon adalah 333,05 ha dengan kerusakan luar kawasan mangrove sebesar 169,01 ha (BPDASctw 2012). Tingkat kerusakannya sudah mencapai 50 % dari luas lahan mangrove yang ada.

Kerusakan lahan mangrove dari tahun ke tahun semakin meluas. Ditinjau dari data kerusakan mangrove yang didapatkan pada tahun 2005/2006, perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pembukaan lahan mangrove terhadap kelangsungan hidup biota yang ada didalamnya, khususnya jenis keong bakau (T. telescopium).

1.2 Rumusan Masalah

Pantai Mayangan mengalami kerusakan ekosistem mangrove akibat adanya kegiatan tambak sehingga luasan mangrove di sana berkurang. Di Pantai Mayangan, terutama di daerah lahan terlantar bekas tambak ditemukan banyak jenis keong bakau (T. telescopium). Terdapat dua daerah yang menjadi lokasi penelitian


(2)

terdahulu menunjukkan keong bakau banyak terdapat ditemukan di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di lahan bermangrove yang merupakan habitat aslinya (Budiman 1991). Oleh karena itu, untuk mengetahui pengaruh keberadaan mangrove terhadap populasi keong bakau tersebut perlu dikaji mengenai populasi keong bakau. Perumusan masalah keong bakau di Mangrove Pantai Mayangan ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Perumusan masalah keong bakau di Mangrove Pantai Mayangan Biota asosiasi

(Keong bakau) Fenomena terjadi penyusutan

area mangrove

Populasi

Hubungan panjang-bobot Pertumbuhan populasi Pola sebaran

Kepadatan Faktor kondisi

Aspek kehidupan

Keterkaitan keong bakau dengan habitat (tambak dan ekosistem mangrove)


(3)

Penelitian mengenai populasi keong bakau diperlukan untuk : 1. Mengkaji populasi keong bakau.

2. Mengetahui keterkaitan keong bakau dengan habitat (tambak dan ekosistem mangrove).

3. Menentukan strategi pengelolaan keong bakau.

1.4 Manfaat

Data hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan untuk pengelolaan sumber daya pantai Mayangan, terutama keong bakau (T. telescopium) dan ekosistem Mangrove Pantai Mayangan itu sendiri.


(4)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Keong Bakau (Telescopium Telescopium)

Keong bakau (Telescopium telescopium) disebut juga “Blencong” di daerah Mayangan, banyak ditemukan di daerah lahan terlantar bekas tambak di daerah tersebut. Klasifikasi keong bakau menurut zipcodezoo (2011) (Gambar 2):

Filum : Mollusca Kelas : Gastropoda Ordo : Neotaenioglossa Famili : Potamididae Genus : Telescopium

Spesies : Telescopium telescopium, Linnaeus 1758 Nama umum : Keong bakau

Nama lokal : Blencong

Gambar 2. Keong bakau (Telescopium telescopium) Sumber: Houbrick 1991

Cangkang keong bakau berbentuk kerucut, panjang, ramping, dan agak mendatar pada bagian dasarnya. Warna cangkang coklat keruh, coklat keunguan, dan coklat kehitaman, lapisan luar cangkang dilengkapi garis spiral yang sangat rapat dan mempunyai jalur yang melengkung ke dalam. Panjang cangkang berkisar


(5)

dapat mencapai ukuran 90-100 mm (Houbrick 1991), namun menurut Brand (1974) in Houbrick (1991) cangkang keong dapat mencapai 130 mm.

Keong bakau dewasa dimakan oleh kepiting (Scylla serrata) dan dimanfaatkan manusia sebagai makanan di Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Filipina (Tryon 1882 in Houbrick 1991). Keong bakau yang masih juvenil biasanya dimangsa oleh kepiting bakau, burung, dan mamalia.

2.2 Bioekologi Keong Bakau

Keong bakau adalah deposit feeder, menggunakan extensible snout untuk menelan lumpur dan detritus dari permukaan endapan lumpur pada saat surut. Lasiak dan Dye (1986) in Houbrick (1991) menyatakan bahwa Keong bakau makan pada saat surut. Observasi ini dikonfirmasi oleh Alexander et al. (1979) in Houbrick (1991) bahwa ada penurunan kadar enzim dalam cangkang pada saat pasang dan menunjukkan keong bakau dalam keadaan tidak makan saat tertutupi oleh air. Namun demikian, Budiman (1988) in Houbrick (1991) menyatakan bahwa keong bakau dapat mempertahankan aktivitas makan dengan menggunakan extensible snout bahkan ketika tertutup oleh pasang. Kemungkinan hal ini terjadi karena makanan lebih dibutuhkan untuk aktivitas seksual daripada untuk tumbuh. Menurut Wahono (1991) keong bakau lebih banyak menghabiskan energi dari makanan untuk bereproduksi dibandingkan untuk tumbuh.

Keong jantan dan betina memiliki saluran silia. Pada jantan, saluran ini berfungsi sebagai penyalur sperma saat bereproduksi ke aperture betina (Budiman in Houbrick 1991). Menurut Ramamoorthi dan Natarajan (1973) in Houbrick (1991) bahwa di habitat alaminya (di permukaan lumpur muara Vellar Porto Novo, India), keong ini bereproduksi di permukaan lumpur daerah perairan dangkal dari April hingga Juli. Populasi telur keong bakau dapat mencapai 50.000 telur dengan diameter telur 1250 mm Telur tiap individu dikelilingi oleh fluida, albumen, dan kapsul transparan. Larva keong bakau bebas berenang di perairan. Larva ini menetas setelah 96 jam ditelurkan (Ramamoorthi dan Natarajan 1973 in Houbrick 1991).


(6)

mangrove yang dapat ditemukan di bagian tengah hutan mangrove. Moluska asli secara alami memilih hutan mangrove sebagai tempat satu-satunya tempat hidup. Genangan air yang cukup luas, kaya akan bahan organik dan terbuka (karena pohon tumbang) disukai oleh keong bakau (Budiman 1991).

Keong bakau sering ditemukan dalam jumlah berlimpah di daerah pertambakan yang berbatasan dengan hutan mangrove, juga pada sungai-sungai yang dekat dengan daerah pertambakan (Hamsiah 2000). Menurut Soekendarsi et al. (1996) in Hamsiah (2000), hewan ini banyak ditemukan di daerah pertambakan yang dekat dengan mulut sungai dan dapat hidup pada kadar garam 1-2 ppt, hewan ini lebih banyak membenamkan diri dalam lumpur yang kaya bahan organik daripada di atas substrat lumpur. Houbrick (1991) menyatakan bahwa individu keong bakau sering berkelompok.

Kehadiran keong bakau di pertambakan tidak alami, karena adanya campur tangan manusia yang membuat tambak sebagai tempat yang disukai oleh keong bakau. Suasana tambak yang baik untuk pertumbuhan pakan memperbesar keberhasilan aktivitas reproduksi dan rendahnya musuh alami atau penyakit, sehingga dapat meninggikan populasi keong bakau (Budiman 1991).

Selama musim kering dan periode tidak aktif, keong bakau sering berkelompok dan berlindung di bawah bakau, suhu ekstrim dapat mengakibatkan kematian yang tinggi. Meskipun suhu tinggi kemungkinan dapat menyebabkan kematian, hewan ini dapat bertahan pada periode kekeringan. Benson (1834) melaporkan bahwa hewan ini dapat bertahan lebih dari enam bulan, meskipun tidak selalu terendam air laut. Pola sebaran pada tingkat jenis maupun marga moluska di hutan bakau tidak punya pola tetap. Pola persebaran akan bertambah dengan adanya kebiasaan migrasi dalam pola hidup (Budiman 1991).

2.3 Kondisi Lingkungan Keong Bakau

Beberapa faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman dan distribusi moluska yaitu pasir, lumpur dan tanah liat, organik, oksigen terlarut, pH, salinitas dan sulfida (Yap dan Noorhaidah 2011). Nybakken (1992) in Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa kebanyakan estuari didominasi oleh substrat lumpur. Selanjutnya dijelaskan bahwa lumpur yang terdapat di dalam muara merupakan penjebak bahan organik yang baik. Sedangkan perairan yang arusnya kuat akan


(7)

bahwa kecepatan arus secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Nilai pH substrat erat hubungannya dengan bahan organik substrat, jenis substrat dan kandungan oksigen. Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme dan reaksi enzimatik. Moss in Suwondo et al. (2006) menyatakan bahwa Gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang pHnya lebih besar dari 7 dan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai pH untuk biota laut di daerah mangrove adalah 7-8,5.

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan juga pola penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya antara 0-40oC. Kebanyakan organisme laut telah mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang biak dalam kisaran suhu yang lebih sempit daripada kisaran total 0-40oC (Nybakken 1988). Pengaruh suhu secara langsung dapat dilihat dari kemampuannya mempengaruhi laju fotosintesis dari tumbuh-tumbuhan dan juga proses fisiologi hewan. Pengaruh secara tidak langsung dapat dilihat dari pengaruh suhu terhadap daya larut zat-zat organik di laut seperti karbondioksida sebagai bahan respirasi hewan-hewan di laut dan terhadap daya larut oksigen (Nybakken 1992 in Fernedy (2008). Perkins (1974) in Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa kisaran suhu yang dianggap layak bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah 25- 32oC. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai suhu untuk biota laut di daerah mangrove adalah 28-32oC.

Nybakken (1992) in Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa pembentukan endapan mendapat pengaruh dari laut, karena air laut juga mengandung cukup banyak materi tersuspensi (Tabel 1). Air laut memiliki nilai padatan terlarut total (TDS) yang tinggi karena mengandung banyak senyawa kimia dan berpengaruh terhadap tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik (Effendi 2007) (tabel 2).


(8)

Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi (TSS)

Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan

<25 Tidak berpengaruh

25-80 Sedikit berpengaruh

81-400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982 in Effendi 2007

Tabel 2. Hubungan antara TDS dengan salinitas

Nilai TDS (mg/liter) Tingkat salinitas

0-1000 Air tawar

1001-3000 Agak asin/ payau (slightly saline) 3001-10000 Keasinan sedang (moderately saline)

10001-100000 Asin (saline)

>100000 Sangat asin (brine)

Sumber: Effendi 2007

Kelarutan gas-gas dalam air laut adalah suatu fungsi dari suhu, makin rendah suhu makin besar kelarutannya. Makin dingin suatu badan air, makin banyak oksigen yang dapat dikandungnya (Nybakken 1988). Batas minimal kadar oksigen terlarut bagi organisme pantai adalah 4 mg/l, selebihnya tergantung ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran pencemaran, dan suhu air (Suwondo et al. 2006) dan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai DO untuk biota laut di daerah mangrove adalah > 5 mg/L. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai salinitas untuk biota laut di daerah mangrove adalah sampai dengan 34. Redoks potensial berhubungan erat dengan kandungan oksigen yang terdapat dalam sedimen (Rhoads 1974 in Efriyeldi 1999).


(9)

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian berlangsung selama 6 bulan dari Mei - Oktober 2011 dengan interval pengambilan contoh satu bulan satu kali. Penelitian ini dilakukan di Pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat. Lokasi pengambilan contoh keong bakau secara geografis terletak pada koordinat 107046’39,99’’ BT dan 6013’05,5’’ BT untuk lahan terlantar bekas tambak (stasiun 1) serta 107047’07,8’’ BT dan 6013’11,7’’ BT untuk daerah bermangrove (stasiun 2). Pengambilan contoh selama penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu area lahan terlantar bekas tambak sebagai stasiun 1 dan area yang ditanami mangrove sebagai stasiun 2 (Gambar 3).

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah transek kuadrat 1 x 1 m2, Eikman Grab, termometer, secchi disk, cammerer water sampler, indikator pH, refraktometer, botol BOD, syringe, gelas ukur, gelas piala, pipet, erlenmeyer, botol contoh air 1 liter, cool box, koran, plastik, jangka sorong, palu, dan alat tulis. Bahan yang


(10)

digunakan adalah reagen untuk titrasi oksigen terlarut (MnSO4, NaOHKI, H2SO4,

Na-thiosulfat, dan amilum).

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Desain pengambilan contoh

Pengambilan contoh keong dilakukan di dua stasiun dengan masing-masing stasiun terdiri dari 3 ulangan, dengan jarak antar ulangan 1 meter. Transek diletakkan di lokasi habitat keong bakau yang ditandai dengan kehadiran keong tersebut. Keong bakau yang masuk dalam transek diambil menggunakan tangan untuk pengamatan parameter biologi. Parameter fisika dan kimia perairan diukur per stasiun. Parameter fisika yang diukur terdiri atas salinitas, suhu, kedalaman, kecerahan, TDS, dan TSS; sedangkan parameter kimia yang diukur adalah pH, oksigen terlarut (DO), dan COD. Selain itu, terdapat pengukuran parameter fisika substrat (tekstur substrat) dan kimia substrat (C-organik). Contoh air yang telah diambil, dimasukkan ke dalam cool box yang sudah terisi es batu (Tabel 3).

Tabel 3. Alat dan metode analisa parameter fisika-kimia perairan dan substrat

Parameter Unit Alat Tempat

Fisika air

Suhu oC Termometer In situ

Salinitas % Refraktometer In situ Kedalaman m Tongkat skala In situ Kecerahan m Secchi disk In situ

TDS mg/l TDS meter Ek situ

TSS mg/l Kertas saring Ek situ

Kimia air

pH Kertas pH In situ

DO mg/l Titrasi In situ

COD Titrasi Ek situ

Fisika substrat

Tekstur Substrat % Kantong plastik Ek situ

Kimia substrat

C-organik % Kantong plastik Ek situ

Pengambilan substrat hanya dilakukan pada bulan pertama dan bulan terakhir pengambilan contoh. Contoh substrat dasar perairan diambil satu contoh pada setiap stasiun menggunakan Eikman Grab.


(11)

Keong dimasukkan dalam plastik berlabel yang sudah diberi nama stasiun dan titik tempat keong diambil, kemudian disimpan dalan cool box yang sudah diisi es batu dan dilapisi oleh kertas koran. Keong bakau diukur panjang dan beratnya. Pengukuran panjang menggunakan jangka sorong dan timbangan digital. Berat yang diukur yaitu berat total, berat cangkang, dan berat daging. Daging keong diambil setelah cangkangnya dihancurkan terlebih dahulu dengan palu (Gambar 4).

Gambar 4. Pengamatan keong bakau

Contoh substrat dianalisis di Laboratorium Tanah, IPB untuk penentuan tekstur substrat yang terdiri dari tiga fraksi yaitu pasir, debu, dan liat. Penentuan fraksi tersebut mengacu pada konsep segitiga millar (Gambar 5).


(12)

Gambar 5. Tipe struktur tanah berdasarkan persentase pasir, debu, dan liat (Millar et al. 1965 in Brower et al. 1990)

3.4 Analisis Data

Analisis data yang digunakan diantaranya adalah hubungan panjang-bobot, pengelompokkan ukuran, densitas, pola sebaran, faktor kondisi, dan indeks berat daging. Setelah analisis data, disusun strategi pengelolaan untuk keong bakau.

3.4.1 Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi

Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang berat digambarkan dengan W = aLb, a dan b adalah konstanta yang didapatkan dari perhitungan regresi. Sedangkan W adalah berat dan L adalah panjang. Jika b sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak berubah bentuknya disebut dengan pertumbuhan isometrik. Jika b lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila b kurang dari 3 menunjukkan keadaan pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan bobotnya dan jika b lebih besar dari 3 menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjangnya (Effendie 2005).


(13)

Keterangan :

W = Berat tubuh keong bakau (gram) L = Panjang keong bakau (mm) a dan b = Konstanta

Salah satu derivat penting dari pertumbuhan ialah faktor kondisi. Faktor kondisi ini menunjukkan keadaan kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendi 2007).

L

b

a W FK =

Keterangan:

FK = Faktor kondisi W = Bobot (gram) L = Panjang (mm)

3.4.2 Pengelompokan ukuran

Pengukuran sebaran ukuran panjang keong bakau didapatkan dengan membuat selang kelas. Berikut ini adalah tahapan membuat sebaran frekuensi panjang:

1. Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari semua data panjang total keong bakau.

2. Dari hasil pengamatan frekuensi pada setiap selang kelas panjang keong ditetapkan jumlah kelas dan interval.

3. Menentukan limit bawah kelas untuk selang kelas yang pertama kemudian limit atas kelasnya. Limit atas didapatkan dengan menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas.

4. Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas.

5. Menentukan nilai tengah kelas masing-masing kelas dengan merata-ratakan limit kelas.

6. Menentukan frekuensi masing-masing kelas.

Setelah menentukan sebaran frekuensi panjang untuk masing-masing kelas, sebaran frekuensi diplotkan dalam bentuk grafik menggunakan FISAT Version 1.2.2 untuk menentukan jumlah distribusi normalnya. Grafik tersebut menggambarkan


(14)

3.4.3 Densitas (kepadatan) populasi

Kepadatan populasi keong bakau dapat dihitung dalam per satuan luas:

m x D= Keterangan:

D = Kepadatan populasi (individu/m2)

x = Jumlah individu pada area yang diukur (individu) m = Luas area pengambilan contoh (1 x 1 m2)

3.4.4 Pola sebaran populasi

Pola sebaran keong bakau dihitung dengan menggunakan indeks sebaran Morisita (Brower et al. 1990):

) 1 ( 2 − − =

N N N Xi n Id Keterangan:

Id = Indeks sebaran Morisita

n = Jumlah stasiun pengambilan contoh

Xi = Jumlah individu di setiap stasiun pengambilan contoh N = Jumlah total individu pada seluruh stasiun

Kriteria hasil perhitungan Indeks Morisita adalah sebagai berikut: Id < 1 : Pola sebaran acak

Id =1 : Pola sebaran seragam Id > 1 : Pola sebaran mengelompok

Untuk menguji pola penyebaran digunakan sebaran chi square (X2), yaitu untuk membandingkan nilai harapan hitung dengan nilai pengamatan (Brower et al. 1990):

N N

X n

X ⎟−

⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ =

2 2 Keterangan:

X2 = Chi square

n = Jumlah stasiun pengambilan contoh

N = Jumlah total individu yang terdapat dalam n plot


(15)

Nilai Indeks Berat Daging didapatkan dari hasil perhitungan: )

(

) ( gram total

Berat

gram daging

Berat IBD=

3.4.6 Strategi pengelolaan

Strategi pengelolaan keong bakau disusun berdaarkan analisis faktor penyebab dengan menggunakan matriks permasalahan yang terdiri atas komponen masalah, faktor penyebab permasalahan, serta strategi pengelolaan yang digunakan untuk memecahkan masalah (Tabel 4).

Tabel 4. Matriks pengelolaan

No. Masalah Faktor Penyebab Strategi Pengelolaan

1 ... ... ...

2 ... ... ...


(16)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Kajian populasi

Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan yang lebih tinggi di lahan bekas tambak dengan nilai kepadatan rata-rata 21 ind/m2 sedangkan kepadatan di daerah bermangrove 12 ind/m2. Selain itu ditunjukkan oleh nilai faktor kondisi keong bakau dan indeks berat daging yang memiliki nilai lebih tinggi di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan daerah bermangrove. Pola sebaran yang terbentuk di lahan terlantar bekas tambak yaitu acak; sedangkan di daerah bermangrove seragam. Hubungan panjang-bobot keong bakau di kedua stasiun memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (Tabel 5).

Tabel 5. Parameter populasi keong bakau Habitat Kepadatan

(ind/m2)

Pola Sebaran

Hubungan

panjang-bobot

Faktor kondisi

Indeks berat daging (IBD)

Lahan bekas

tambak 21 Acak

Allometrik

negatif 1,0133 23,3965

Mangrove 12 Seragam Allometrik

negatif 0,9406 20,1740

Kepadatan

Kepadatan keong bakau dinyatakan dalam satuan individu/m2. Populasi keong bakau di lahan terlantar bekas tambak lebih banyak dibandingkan populasi keong bakau di Mangrove. Rata-rata kepadatan keong bakau di lahan terlantar bekas tambak dari Mei sampai dengan Oktober adalah 13, 11, 23, 32, 31, dan 16 ind/m2. Rata-rata kepadatan keong bakau di daerah bermangrove dari Mei sampai dengan Oktober adalah 8, 9, 6, 15, 21, dan 8 ind/m2 (Gambar 6).


(17)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Mei Juni Juli Agustus September Oktober

Bulan K e pa da ta n ( Ind/ m 2 )

Lahan bekas tambak Mangrove

Gambar 6. Kepadatan keong bakau (ind/m2)

Kepadatan keong bakau paling tinggi di lahan terlantar bekas tambak adalah pada Agustus dengan nilai rata-rata kepadatan populasi 32 ind/m2. Jumlah keseluruhan keong bakau yang ditemukan paling banyak pada Agustus dengan jumlah sampel 86 individu; sedangkan pada Mangrove, kepadatan keong bakau tertinggi terdapat pada September dengan nilai 21 ind/m2 serta jumlah sampel terbanyak yang ditemukan pada September yaitu 62 individu.

Pola sebaran populasi

Pola sebaran populasi keong bakau berdasarkan hasil perhitungan indeks morisita, pola sebarannya adalah seragam, acak, dan mengelompok. Nilai indeks morisita yang didapat dari kedua stasiun didapatkan memiliki pola sebaran seragam, acak, dan mengelompok. Kemudian dilanjutkan dengan perhitungan uji chi-square pada selang kepercayaan 95 % (Tabel 6).

Tabel 6. Pola sebaran populasi keong bakau

Bulan

Lahan Bekas Tambak Mangrove Indeks

morisita (Id)

Chi-square Pola sebaran

Indeks morisita (Id)

Chi-square Pola sebaran

Mei 0,3050 4,7692 Acak 0,1511 13,0000 Seragam

Juni 0,3023 21,3548 Seragam 0,1768 13,2308 Seragam Juli 1,0985 14,8955 Mengelompok 0,0337 0,8235 Acak Agustus 1,9136 5,5106 Acak 0,3684 0,4000 Acak September 1,6802 0,0879 Acak 1,1727 31,0968 Mengelompok Oktober 0,4872 6,1250 Seragam 0,1471 12,2500 Seragam


(18)

Setelah dilakukan uji chi-square, di lahan terlantar bekas tambak pola sebaran seragam terjadi saat Juni dan Oktober. Pola sebaran acak terjadi saat Mei, Agustus, dan September. Pola sebaran mengelompok terjadi saat Juli. Di daerah bermangrove, pola sebaran seragam terjadi saat Mei, Juni, dan Oktober. Pola sebaran acak terjadi saat Juli dan Agustus. Pola sebaran mengelompok terjadi saat September.

Kelompok umur

Pertumbuhan populasi keong bakau dari Mei sampai dengan Oktober menunjukkan kelompok umur sebanyak satu sampai dengan lima kelompok umur setiap bulannya. Di lahan terlantar bekas tambak, pertumbuhan menunjukkan keong bakau memiliki tiga kelompok umur pada Mei, lima kelompok umur pada Juni, dua kelompok umur pada Juli, tiga kelompok umur pada Agustus, satu kelompok umur pada September, dan tiga kelompok umur pada Oktober. Di mangrove, terdapat tiga kelompok umur pada Mei, satu kelompok umur pada Juni, dan tiga kelompok umur pada Juli, Agustus, September, dan Oktober.

Di lahan terlantar bekas tambak, terdapat tiga kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 75,18 mm, 83,06 mm, dan 95,30 mm pada Mei. Pada Juni terdapat lima kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 72,86 mm, 77,64 mm, 83,41 mm, 87,41 mm, dan 92,25 mm. Pada Juli terdapat dua kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 79,85 mm dan 87,50 mm. Pada Agustus terdapat tiga kelompok umur dengan panjang rata-rata 71,31 mm, 80,50 mm, dan 87,39 mm. Pada September terdapat satu kelompok umur dengan panjang rata-rata 81,62 mm. Pada Oktober terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 81,71 mm, 87,81 mm dan 94,25 mm (Gambar 6).


(19)

Gambar 7. Pertumbuhan populasi keong bakau

Kemudian pada Mei di mangrove terdapat tiga kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 65,45 mm, 74,53 mm, dan 82,64 mm. Pada Juni terdapat satu kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 72,12 mm. Pada Juli terdapat tiga kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 59,45 mm, 73,70 mm, dan 83,31 mm. Pada Agustus terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 64,31 mm, 70,39 mm, dan 77,54 mm. Pada September terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 73,70 mm, 81,04 mm, dan 93,45 mm. Pada Oktober terdapat tiga kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 67,02 mm, 75,19, dan 87,45 mm.

Di lahan terlantar bekas tambak, pada Mei terdapat tiga kelompok umur kemudian pada Juni terdapat lima kelompok umur. Hal ini dapat menunjukkan


(20)

adanya pertambahan individu yang baru. Dari Juni ke Juli mengalami penurunan kelompok umur hal ini dapat diakibatkan karena adanya beberapa kelompok umur yang sudah tergantikan oleh individu baru. Dari Juli ke Agustus terdapat tiga kelompok umur baru dan pada September terdapat kelompok umur yang baru. Pada Oktober, terdapat tiga kelompok umur yang menunjukkan petumbuhan dari individu pada September. Adanya individu baru yang muncul menunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan dari hasil reproduksi pada bulan sebelumnya. Di mangrove, dari bulan Mei ke Juni terjadi penurunan kelompok umur. Dari Juni ke Juli terdapat tiga kelompok umur yang menunjukkan pertumbuhan individu dari bulan sebelumnya, hal yang sama terjadi pada Agustus dan September.

Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi

Keong bakau memiliki bentuk tubuh kerucut yang memiliki pola pertumbuhan ke arah apex. Berdasarkan hasil pengamatan panjang-bobot menunjukkan nilai b=1,8798 untuk stasiun lahan terlantar bekas tambak dan b=1,8683 untuk stasiun bermangrove, yang berarti pola pertumbuhannya adalah allometrik negatif. Nilai b menunjukkan nilai kurang dari 3. Jika b lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila harga b kurang dari 3 menunjukkan keadaan kurus yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan bobotnya (Effendi 2005).

Nilai koefisien determinasi (R2) tertinggi keong bakau yang hidup di lahan terlantar bekas tambak yaitu 0,6334 pada Juli dan terendah yaitu 0,4077 pada Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa panjang keong bakau mempengaruhi bobot total keong bakau sebesar 63,34% pada Juli dan 40,77% pada Oktober; sedangkan nilai koefisien determinasi (R2) tertinggi keong bakau yang hidup di daerah bermangrove yaitu 0,8749 pada Juli dan terendah yaitu 0,3949 pada Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa panjang keong bakau mempengaruhi bobot total keong bakau sebesar 87,49% pada Juli dan 39,49% pada Oktober (Gambar 8).


(21)

(22)

Faktor kondisi menunjukkan keadaan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan bobot (Gambar 9). 0,5000 0,6000 0,7000 0,8000 0,9000 1,0000 1,1000 1,2000 1,3000

Mei Juni Juli Agustus September Oktober

Bulan Fak tor K o n d is i

Lahan bekas tambak Mangrove

Gambar 9. Faktor kondisi keong bakau

Nilai faktor kondisi rata-rata keong bakau dari Mei sampai dengan Oktober di lahan terlantar bekas tambak yaitu 1,0244; 1,0389; 1,0293; 0,9717; 1,0255; dan 0,9902. Nilai faktor kondisi tertinggi yaitu pada Juni sebesar 1,0389 dan terendah pada Agustus sebesar 0,9717. Nilai faktor kondisi rata-rata keong bakau di daerah bermangrove dari Mei sampai dengan Oktober yaitu 0,9309; 0,8802; 0,9689; 0,9741; 0,9249; dan 0,9647. Nilai faktor kondisi tertinggi yaitu pada Agustus sebesar 0,9741 dan terendah pada Juni sebesar 0,8802.

Indeks berat daging (IBD)

Berdasarkan hasil perhitungan, nilai indeks berat daging di lahan terlantar bekas tambak dari Mei sampai dengan Oktober yaitu 20,4091; 22,8618; 23,2759; 27,2842; 22,9295; dan 23,6286. Nilai indeks berat daging di daerah bermangrove dari Mei sampai dengan Oktober yaitu 17,9824; 20,5749; 20,7214; 21,6132; 20,6297; dan 19,5227 (Gambar 10).


(23)

0 5 10 15 20 25

Mei Juni Juli Agustus September Oktober

Bulan

Inde

k

s

B

e

ra

t D

a

g

ing (

%

)

Lahan Bekas Tambak Mangrove

Gambar 10. Indeks berat daging keong bakau

Nilai IBD menunjukkan bahwa pertumbuhan keong bakau mengalami kenaikan dari Mei sampai dengan Agustus dan mulai menurun dari Agustus sampai Oktober. Nilai IBD paling tinggi terjadi saat Agustus. Nilai IBD lahan bekas tambak lebih tinggi dibandingkan IBD daerah bermangrove.

4.1.2 Kondisi lingkungan perairan

Kondisi lingkungan perairan di kedua stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Umumnya konsidi perairan di kedua stasiun mendukung untuk kehidupan keong bakau. Hal ini diperlihatkan oleh beberapa parameter lingkungan perairan yang memiliki kisaran normal. Namun demikian, beberapa parameter perlu dicermati karena berpotensi menjadi faktor pembatas, salah satunya adalah konsentrasi oksigen terlarut yang memiliki nilai di bawah 5 mg/l (Tabel 7).


(24)

Tabel 7. Parameter fisika kimia dan perairan

Lahan bekas tambak Mangrove

Parameter Rata-rata Simpangan baku Rata-rata Simpangan baku

Suhu (°C) 31,67 2,34 31,08 2,11

Salinitas 30,33 3,39 29,00 4,15

Kedalaman (cm) 126,67 42,27 147,50 23,18

TSS (mg/l) 29,20 24,32 26,60 21,14

TDS (mg/l) 24724,00 12562,76 25954,00 13524,63

Tekstur Substrat Liat

pH 7,67 0,52 7,33 0,52

DO (mg/l) 2,67 0,41 4,00 1,27

C-Organik (%) 5,50 0,57 5,07 1,07

COD (mg O2/l) 735,10 601,94 235,23 276,39

Nilai suhu rata-rata di lahan bekas adalah 31,67oC dan di Mangrove 31,08oC, hal ini menunjukkan bahwa suhu di kedua stasiun masih dalam batas normal suhu untuk wilayah mangrove yaitu 28-32oC (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Salinitas di lahan terlantar bekas tambak dan mangrove memiliki nilai rata-rata salinitas 30,33 dan 29. Salinitas tersebut masih sesuai untuk lingkungan mangrove yaitu dengan batas salinitas sampai dengan 34 (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). TSS di kedua stasiun masih dapat dikatakan normal untuk wilayah mangrove dengan batas nilai TSS 80 mg/l (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Nilai TDS di lahan terlantar bekas tambak memiliki nilai rata-rata 24724 mg/l dan 25954 mg/l di daerah bermangrove. Nilai TDS di kedua stasiun termasuk tinggi karena termasuk TDS air laut. TDS air laut yang tinggi dikarenakan banyaknya kandungan senyawa kimia yang juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas (Effendi 2007).

Nilai pH di lahan terlantar bekas tambak dan mangrove memiliki nilai pH 7-8. Nilai pH tersebut masih dalam batas normal, yaitu dalam kisaran 7-8,5 (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Nilai rata-rata oksigen terlarut lahan terlantar bekas tambak adalah 2,67 mg/l dan mangrove 4 mg/l. Nilai tersebut menunjukkan bahwa oksigen terlarut di kedua stasiun tidak dalam batas normal untuk biota laut yaitu harus lebih besar dari 5 mg/l (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004). Nilai C-organik di lahan terlantar bekas tambak memiliki nilai rata-rata 5,50 % dan mangrove memiliki nilai rata-rata 5,07 %. Nilai C-organik tersebut termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi, karena berada dalam kisaran nilai 2,31-7,09 % (Kusumahadi 2008). Nilai COD di lahan terlantar


(25)

rata-rata 235,23 mgO2/l. Tekstur substrat yang ditempati oleh keong bakau di kedua

stasiun adalah liat (Gambar 10).

Gambar 11. Kondisi lingkungan perairan keong bakau

4.2 Pembahasan

Hasil akhir menunjukkan populasi keong bakau lebih baik kondisinya di lahan terlantar bekas tambak daripada daerah bermangrove. Hal ini terutama ditunjukkan oleh parameter kepadatan, faktor kondisi, indeks berat daging (IBD), dan kondisi lingkungan perairan terutama COD dan C-organik.

Kepadatan populasi keong bakau di lahan terlantar bekas tambak yang tinggi dapat disebabkan oleh beberapa faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman dan distribusi moluska yaitu pasir, lumpur dan tanah liat, organik, oksigen terlarut, pH, salinitas dan sulfida (Yap dan Noorhaidah 2011). Selain itu, kondisi lahan terlantar bekas tambak sesuai untuk keong bakau dengan ketersediaan makanan lebih banyak dibandingkan di mangrove. Keberadaan suatu individu dalam suatu wilayah juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi yaitu keberadaan COD dan C-Organik. Keterkaitan jumlah karbon, dalam hal ini COD dan C-Organik dalam mempengaruhi kepadatan keong bakau terkait dengan aktivitas pertumbuhan keong bakau. Berdasarkan analisis didapatkan nilai COD dan C-organik substrat di lahan terlantar bekas tambak lebih tinggi dibandingkan dengan di mangrove. Nilai COD di lahan terlantar bekas tambak memiliki nilai rata-rata 735,12 mgO2/l dan mangrove

memiliki nilai rata-rata 235,23 mgO2/l serta. Suasana tambak yang baik untuk

pertumbuhan pakan memperbesar keberhasilan aktivitas reproduksi dan rendahnya musuh alami atau penyakit, sehingga dapat meninggikan populasi keong bakau.

0 40 80 120 160

Suhu (°C) Salinitas (‰) Kedalaman (cm) Kecerahan (cm) TSS (mg/l) 0 4 8 12

pH DO (mg/l) C-Organik (%)

0 5000 10000 15000 20000 25000

TDS (mg/l) COD (mg O2/l)

Lahan bekas tambak Mangrove


(26)

Selain itu, keong bakau menyukai tempat lahan terbuka dan banyak sinar matahari (Budiman 1991).

Kondisi lingkungan perairan seperti pH yang sesuai untuk gastropoda. Moss in Suwondo et al. (2006) menyatakan bahwa gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang pHnya lebih besar dari 7 dan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai pH untuk biota laut di daerah mangrove adalah 7-8,5. Hasil pengukuran sesuai dengan kondisi lingkungan perairan yang disukai oleh keong bakau, sehingga keong bakau dapat hidup dan berkembang di lahan bekas tambak dibandingkan pada mangrove yang hasil pengukuran derajat keasamannya jauh dibawah batas yang disukai oleh keong bakau.

Pengukuran kepadatan keong bakau dapat menjadi awalan untuk penentuan pola sebaran dari keong bakau. Pada dasarnya, pola sebaran keong bakau terbagi atas tiga jenis yaitu pola sebaran acak, seragam, dan mengelompok. Masing-masing pola sebaran memiliki karakteristik yang berbeda. Hasil analisis terdapat tiga jenis pola sebaran keong bakau pada lokasi penelitian yaitu pola sebaran seragam, acak, dan mengelompok. Hal ini berbeda dengan pernyataan Houbrick (1991) yang menyatakan bahwa individu keong bakau sering berkelompok. Pola sebaran pada tingkat jenis maupun marga moluska di hutan bakau tidak punya pola tetap. Pola persebaran akan bertambah dengan adanya kebiasaan migrasi dalam pola hidup (Budiman 1991). Kemungkinan pasang surut dan suhu juga dapat mempengaruhi penyebaran keong bakau. Sebagian besar gastropoda ketika air surut akan turun ke bawah batang pohon dan terkadang merayap di dasar perairan; sedangkan saat pasang naik gastropoda merayap ke atas sampai ketinggian sedikit di atas air pasang, bahkan dapat mencapai 200 cm dari tempat semula (Tee 1982 in Maulana 2004). Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan juga pola penyebaran organisme (Nybakken 1988).

Hasil analisis pola sebaran pada penelitian ini lebih diakibatkan oleh adanya hal teknis yang mempengaruhi pengambilan keong bakau menggunakan transek, yaitu jarak antar transek yang hanya berjarak 1 m. Jarak antar transek yang berdekatan dapat menunjukkan hasil yang tidak akurat dikarenakan saat keong yang diambil dalam transek kemungkinan masih dalam satu kumpulan individu yang membentuk pola sebaran tertentu.


(27)

daya tahan hidup dan keseimbangan antara laju kelahiran dan kematian. Distribusi umur dalam populasi menggambarkan kemampuan daya tahan, potensi reproduksi populasi, dan potensi pertumbuhan populasi (Krebs 1994 in Leimena et al. 2006). Selama enam bulan, keong bakau mengalami pertumbuhan populasi serta melakukan reproduksi. Hal ini digambarkan oleh distribusi umur keong bakau dalam populasi yang menunjukkan adanya individu baru dan pertumbuhan keong bakau dari individu sebelumnya dengan munculnya panjang rata-rata keong bakau yang baru serta adanya panjang tubuh keong bakau yang mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya.

Kelompok umur berkaitan dengan pertumbuhan dari keong bakau. Banyaknya kelompok umur digambarkan dengan titik-titik yang membentuk garis pertumbuhan keong bakau. Apabila titik menyebar maka terdapat kelompok umur lebih dari satu sedangkan jika titik tersebut mengumpul menjadi satu kumpulan titik maka hanya ada satu kelompok umur. Terdapat satu kelompok umur saat Juni dan terlihat dari titik hasil regresi panjang bobot yang mengumpul menunjukkan bahwa hanya ada satu kelompok umur saat itu; sedangkan selain bulan Juni, terdapat lebih dari satu kelompok umur, terlihat dari titik hasil regresi yang menyebar.

Berdasarkan nilai b tiap bulan, keong bakau mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Di lahan terlantar bekas tambak, pertumbuhan keong bakau mengalami kenaikan dari Mei sampai dengan bulan Juli. Kemudian pertumbuhan mengalami penurunan pada Agustus, naik kembali pada September, dan turun pada Oktober. Di mangrove, pertumbuhan keong bakau naik dari Mei sampai dengan Juli, dan mengalami penurunan dari Agustus sampai dengan Oktober. Pertumbuhan dapat mengalami penurunan hal ini dapat diakibatkan oleh aktivitas keong bakau yang bereproduksi, menurut Wahono (1991) keong bakau lebih banyak menghabiskan energi dari makanan untuk bereproduksi dibandingkan untuk tumbuh. Hal ini dapat terlihat pula dari faktor kondisi. Perbedaan faktor kondisi setiap bulannya dapat disebabkan oleh umur dan strategi reproduksi setiap individu, apakah suatu individu mengumpulkan energi untuk pertumbuhan atau untuk persiapan reproduksi (Beesley 1988 in Komala et al. 2011). Nilai faktor kondisi


(28)

yang menurun dapat diakibatkan adanya kegiatan bereproduksi; sedangkan faktor kondisi yang meningkat akibat adanya pertumbuhan dari keong bakau.

Faktor kondisi berkaitan dengan indeks berat daging (IBD). IBD saat Agustus merupakan nilai tertinggi IBD di kedua stasiun. Faktor kondisi dan IBD di daerah bermangrove menunjukkan nilai tertinggi saat Agustus. Hal ini berarti pertumbuhan keong bakau mencapai puncak saat bulan Agustus di daerah bermangrove.

Kondisi keong bakau yang kurus dapat diakibatkan karena lingkungan yang sudah terganggu. Faktor lingkungan yang terganggu dapat mengakibatkan keong bakau stress dan salah satu faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah kelarutan oksigen yang rendah. Kelarutan oksigen yang rendah dapat diakibatkan oleh bahan organik tinggi yang berasal dari buangan aktivitas tambak atau serasah mangrove (Purnamaningtyas dan Syam 2010). Bahan organik yang dihasilkan dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah air tambak yang dibuang, sistem resirkulasi, penggunaan tambak/kanal pengendapan, dan penanaman mangrove. Selain itu, keong bakau yang kurus diakibatkan oleh energi yang digunakan keong bakau lebih banyak untuk bereproduksi dibandingkan untuk tumbuh. Populasi keong bakau di mangrove rendah, sedangkan di lahan tambak tinggi. Hal ini diakibatkan oleh berkurangnya luasan mangrove, karena mangrove adalah habitat asli keong bakau dan adanya predator alami keong bakau yaitu kepiting bakau. Pengelolaan untuk keong bakau dapat dilakukan dengan melakukan penanaman mangrove dan apabila melakukan penangkapan keong bakau, dapat dilakukan di lahan bekas tambak yang memiliki populasi keong bakau lebih tinggi (Tabel 8).


(29)

No. Masalah Faktor Penyebab Strategi Pengelolaan 1. Keong bakau kurus -Kondisi keong yang stress

dapat diakibatkan oleh lingkungan yang terganggu, salah satunya adalah nilai oksigen terlarut yang rendah -Kekurangan makanan -Energi lebih banyak digunakan untuk reproduksi daripada untuk pertumbuhan

-Mengurangi jumlah air tambak yang dibuang -Sistem resirkulasi -Penggunaan tambak/ kanal pengendapan

2. Populasi keong bakau di mangrove rendah

-Luasan hutan mangrove berkurang menyebabkan keong bakau kekurangan makanan dan berpindah tempat ke lahan bekas tambak -Pemangsaan oleh kepiting bakau

-Penanaman mangrove -Penangkapan keong bakau dilakukan di lahan bekas tambak


(30)

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak daripada daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh parameter kepadatan, faktor kondisi, indeks berat daging (IBD), dan kondisi lingkungan perairan terutama COD dan C-organik. Pola sebaran populasi keong bakau yang ditemukan adalah seragam, acak, dan mengelompok.

Keong bakau yang kurus diakibatkan oleh kondisi lingkungan keong bakau yang terganggu. Kondisi lingkungan yang terganggu dapat mengakibatkan keong bakau stress. Kondisi lingkungan yang mengakibatkan keong bakau stress adalah oksigen terlarut yang rendah. Hal ini diakibatkan oleh bahan organik tinggi yang dihasilkan buangan tambak, untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan pengurangan jumlah air tambak yang dibuang, sistem resirkulasi, penggunaan tambak/kanal pengendapan, dan penanaman mangrove. Selain itu keong bakau yang kurus diakibatkan oleh penggunaan energi untuk reproduksi lebih dominan dibandingkan untuk tumbuh.

Populasi keong bakau di mangrove rendah dikarenakan luasan mangrove berkurang. Mangrove merupakan habitat asli keong bakau untuk hidup dan makan. Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk keong bakau adalah penanaman kembali mangrove untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di mangrove dan penangkapan keong bakau di tempat yang memiliki kepadatan keong bakau yang tinggi yaitu di lahan bekas tambak.

5.2 Saran

1. Metode pengambilan sampel keong bakau hendaknya dapat disempurnakan dengan mempertimbangkan pola sebaran populasi keong bakau.


(31)

1758) PADA EKOSISTEM MANGROVE PANTAI MAYANGAN,

JAWA BARAT

GITA RAHMAWATI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(32)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Ekologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium, Linnaeus 1758) pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan, Jawa Barat

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Gita Rahmawati


(33)

Gita Rahmawati. C24080049. Ekologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium, Linnaeus 1758) pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Fredinan Yulianda dan Agustinus M. Samosir.

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki kekayaan akan biota, salah satunya adalah keong bakau (T. telescopium). Saat ini wilayah mangrove di Pantai Mayangan telah mengalami kerusakan yang disebabkan karena adanya kegiatan tambak sehingga luasan mangrove menjadi berkurang dan lingkungan menjadi berubah. Menurut Budiman (1991), keong bakau secara alami memilih hutan mangrove sebagai satu-satunya tempat hidupnya sehingga menurunnya luasan mangrove dikhawatirkan dapat membahayakan keberadaan keong bakau di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh mangrove terhadap populasi keong bakau di Pantai Mayangan.

Penelitian ini dilakukan di Pantai Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang-Jawa Barat dari Mei - Oktober 2011 dengan interval pengambilan contoh satu bulan satu kali. Pengambilan contoh dilakukan di dua tempat, yaitu di lahan terlantar bekas tambak (stasiun 1) dan area bermangrove (stasiun 2). Setiap stasiun terdiri dari 3 ulangan, menggunakan transek 1 x 1 m2. Pengamatan contoh keong dilakukan di Laboratorium Biologi Makro 1. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan dilakukan secara insitu, sedangkan untuk TDS, TSS, dan COD dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan. Contoh substrat dasar perairan diambil pada bulan pertama dan bulan terakhir pengembilan contoh. Substrat dianalisis di Laboratorium Rutin Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah.

Hasil penelitian menunjukkan populasi keong bakau di mangrove rendah. Keong bakau di lahan terlantar bekas tambak memiliki kepadatan lebih besar daripada di mangrove. Pola sebaran keong bakau berdasarkan indeks morisita adalah seragam, acak, dan mengelompok. Keong bakau memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif dengan nilai b<3 yang menunjukkan pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertumbuhan bobotnya. Faktor kondisi keong bakau di lahan terlantar bekas tambak lebih tinggi dibandingkan faktor kondisi keong bakau di daerah bermangrove. Parameter fisika-kimia perairan umumnya mendukung pertumbuhan keong bakau. Nilai indeks berat daging keong bakau menunjukkan bahwa bobot daging keong bakau memiliki nilai lebih kecil dibandingkan nilai bobot cangkangnya. Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk keong bakau adalah mengurangi jumlah air tambak yang dibuang, sistem resirkulasi, penggunaan tambak/kanal pengendapan untuk menanggulangi oksigen terlarut yang rendah, penanaman mangrove untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di mangrove, dan penangkapan keong bakau di tempat yang memiliki kepadatan keong bakau yang tinggi yaitu di lahan bekas tambak.


(34)

EKOLOGI KEONG BAKAU (

Telescopium telescopium

Linnaeus

1758) PADA EKOSISTEM MANGROVE PANTAI MAYANGAN,

JAWA BARAT

GITA RAHMAWATI C24080049

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(35)

Judul Penelitian : Ekologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium, Linnaeus 1758) pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan, Jawa Barat

Nama : Gita Rahmawati

NIM : C24080049

Program Studi : Manajemen Sumber Daya Perairan

Menyetujui,

Tanggal lulus: 27 Nopember 2012 Pembimbing 1

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc NIP. 19630731 198803 1 002

Pembimbing 2

Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil NIP. 19611211 198703 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002


(36)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ekologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium Linnaeus 1758) pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan, Jawa Barat”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam membimbing, memberi masukan, serta arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini terutama kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen pembimbing.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan masih banyak keterbatasan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki tulisan ini. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Februari 2013


(37)

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M. Sc selaku penguji tamu dan Dr. Majariana Krisanti, S. Pi, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan masukan, saran, nasehat, dan perbaikan.

3. Kepala Bagian Ekobiologi dan Konservasi Sumber daya Perairan (EKSP), Departemen Manajemen Sumber daya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian Pantai Mayangan 2011.

4. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, motivasi, dan nasehat selama perkuliahan.

5. Keluarga tercinta yaitu ibu (Heni Wagiati), nenek (Mimin Aminah), Adik (Denti Rachmadianti), dan saudara (Asry Djanuarty) atas doa, nasihat, dan dukungan baik secara moril maupun materil.

6. Ahmad Zahid S.Pi, M.Si dan keluarga besar Pak Nita yang telah membantu dalam proses pengambilan contoh di Pantai Mayangan.

7. Seluruh staf Tata Usaha MSP dan Bapak Ruslan selaku staf Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I) yang telah membantu memperlancar proses penelitian.

8. Teman-teman satu tim penelitian Mayangan (Intan, Dina, Rina, Indah, Vinni, Dea, Putu, dan Kanti) atas bantuan, semangat, dukungan, dan nasehat selama penelitian hingga penyusunan skripsi.

9. Teman-teman MSP 45 atas perhatian, motivasi, dan nasehatnya.

10. Eni, Rani, Sakina, Heristiana, dan Renaya yang selalu memberi semangat, dukungan, dan saran dalam penyusunan skripsi ini.


(38)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 6 September 1990 dari pasangan Bapak Agus Deni Rachmansyah dan Ibu Heni Wagiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu TK Kidang Kencana (1995-1996), SD Negeri Pasir Hayam (1996-2002). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan formal di SMP Negeri 1 Cianjur (2002-2005) dan SMA Negeri 1 Cianjur (2005-2008). Pada tahun 2008, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumber daya Perairan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota divisi Pengembangan Sumber daya Manusia Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber daya Perairan (HIMASPER) (2010/2011), anggota divisi Cerdas Forum Keluarga Muslim (FKMC) (2010/2011), Sekretaris Forum Keluarga Muslim (FKMC) (2011/2012) serta aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan. Selain itu, penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Avertebrata Air (2010/2011) dan Ekotoksikologi Perairan (2011/2012).

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Ekologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium, Linnaeus 1758) pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan, Jawa Barat”.


(39)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 1 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Keong Bakau (Telescopium

Telescopium) ... 4 2.2 Bioekologi Keong Bakau ... 5 2.3 Kondisi Lingkungan Keong Bakau ... 6

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 9 3.2 Alat dan Bahan ... 9 3.3 Metode Kerja ... 10 3.3.1 Desain pengambilan contoh ... 10 3.3.2 Persiapan dan pengamatan ... 11 3.4 Analisis Data ... 12 3.4.1 Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi ... 12 3.4.2 Pengelompokan ukuran ... 13 3.4.3 Densitas (kepadatan) populasi ... 14 3.4.4 Pola sebaran populasi ... 14 3.4.5 Indeks berat daging ... 15 3.4.6 Strategi pengelolaan ... 15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil ... 16 4.1.1 Kajian populasi ... 16 4.1.2 Kondisi lingkungan perairan ... 23 4.2 Pembahasan ... 25

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan ... 30 5.2 Saran ... 30


(40)

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(41)

Halaman 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai

padatan tersuspensi (TSS) ... 8 2. Hubungan antara TDS dengan salinitas ... 8 3. Alat dan metode analisa parameter fisika-kimia perairan dan substrat ... 10 4. Matriks pengelolaan ... 15 5. Parameter populasi keong bakau ... 16 6. Pola sebaran populasi keong bakau ... 17 7. Parameter fisika kimia dan perairan ... 24 8. Matriks pengelolaan keong bakau di Pantai Mayangan... 29


(42)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Perumusan masalah keong bakau di Mangrove Pantai Mayangan ... 2 2. Keong bakau (Telescopium telescopium) ... 4 3. Peta lokasi penelitian ... 9 4. Pengamatan keong bakau ... 11 5. Tipe struktur tanah berdasarkan persentase pasir, debu, dan liat (Millar

et al. 1965 in Brower et al. 1990) ... 12 6. Kepadatan keong bakau (ind/m2) ... 17 7. Pertumbuhan populasi keong bakau ... 19 8. Hubungan panjang bobot keong bakau di Pantai Mayangan ... 21 9. Faktor kondisi keong bakau ... 22 10. Indeks berat daging keong bakau ... 23 11. Kondisi lingkungan perairan keong bakau ... 25


(43)

Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 34 2. Rumus TDS ... 35 3. Rumus TSS ... 35 4. Rumus DO ... 35 5. Data kelompok umur ... 35


(44)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pantai Mayangan terletak di Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Hutan mangrove di Kabupaten Subang mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Menurunnya kerapatan populasi hutan mangrove antara lain telah mengurangi fungsinya sebagai penahan abrasi. Degradasi ini terjadi karena ulah manusia dengan menjadikan mangrove sebagai bahan bakar atau bahan bangunan, konversi kawasan hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti tambak ikan dan udang, pemukiman, serta kawasan industri (BAPPEDA Jawa Barat 2008). Kerusakan mangrove juga dapat mengancam keberadaan salah satu biota yang ada disekitar mangrove tersebut. Salah satunya yaitu keong bakau (Telescopium telescopium).

Keong bakau merupakan moluska asli mangrove yang mudah ditemukan di bagian tengah hutan mangrove. Keong bakau sering ditemukan dalam jumlah berlimpah di daerah pertambakan yang berbatasan dengan hutan mangrove. Selain itu, keong bakau juga banyak ditemukan di sungai-sungai yang dekat dengan daerah pertambakan (Hamsiah 2000). Berdasarkan analisis citra satelit lansat tahun 2005/2006, luas hutan mangrove di Kecamatan Legon Kulon adalah 333,05 ha dengan kerusakan luar kawasan mangrove sebesar 169,01 ha (BPDASctw 2012). Tingkat kerusakannya sudah mencapai 50 % dari luas lahan mangrove yang ada.

Kerusakan lahan mangrove dari tahun ke tahun semakin meluas. Ditinjau dari data kerusakan mangrove yang didapatkan pada tahun 2005/2006, perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pembukaan lahan mangrove terhadap kelangsungan hidup biota yang ada didalamnya, khususnya jenis keong bakau (T. telescopium).

1.2 Rumusan Masalah

Pantai Mayangan mengalami kerusakan ekosistem mangrove akibat adanya kegiatan tambak sehingga luasan mangrove di sana berkurang. Di Pantai Mayangan, terutama di daerah lahan terlantar bekas tambak ditemukan banyak jenis keong bakau (T. telescopium). Terdapat dua daerah yang menjadi lokasi penelitian yaitu lahan terlantar bekas tambak terlantar dan daerah bermangrove. Penelitian


(45)

bekas tambak dibandingkan di lahan bermangrove yang merupakan habitat aslinya (Budiman 1991). Oleh karena itu, untuk mengetahui pengaruh keberadaan mangrove terhadap populasi keong bakau tersebut perlu dikaji mengenai populasi keong bakau. Perumusan masalah keong bakau di Mangrove Pantai Mayangan ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Perumusan masalah keong bakau di Mangrove Pantai Mayangan Biota asosiasi

(Keong bakau) Fenomena terjadi penyusutan

area mangrove

Populasi

Hubungan panjang-bobot Pertumbuhan populasi Pola sebaran

Kepadatan Faktor kondisi

Aspek kehidupan

Keterkaitan keong bakau dengan habitat (tambak dan ekosistem mangrove)


(46)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai populasi keong bakau diperlukan untuk : 1. Mengkaji populasi keong bakau.

2. Mengetahui keterkaitan keong bakau dengan habitat (tambak dan ekosistem mangrove).

3. Menentukan strategi pengelolaan keong bakau.

1.4 Manfaat

Data hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan untuk pengelolaan sumber daya pantai Mayangan, terutama keong bakau (T. telescopium) dan ekosistem Mangrove Pantai Mayangan itu sendiri.


(47)

2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Keong Bakau (Telescopium Telescopium)

Keong bakau (Telescopium telescopium) disebut juga “Blencong” di daerah Mayangan, banyak ditemukan di daerah lahan terlantar bekas tambak di daerah tersebut. Klasifikasi keong bakau menurut zipcodezoo (2011) (Gambar 2):

Filum : Mollusca Kelas : Gastropoda Ordo : Neotaenioglossa Famili : Potamididae Genus : Telescopium

Spesies : Telescopium telescopium, Linnaeus 1758 Nama umum : Keong bakau

Nama lokal : Blencong

Gambar 2. Keong bakau (Telescopium telescopium) Sumber: Houbrick 1991

Cangkang keong bakau berbentuk kerucut, panjang, ramping, dan agak mendatar pada bagian dasarnya. Warna cangkang coklat keruh, coklat keunguan, dan coklat kehitaman, lapisan luar cangkang dilengkapi garis spiral yang sangat


(48)

antara 7,5-11 cm (Barnes 1974 in Hamsiah 2000). Ukuran cangkang dewasa normal dapat mencapai ukuran 90-100 mm (Houbrick 1991), namun menurut Brand (1974) in Houbrick (1991) cangkang keong dapat mencapai 130 mm.

Keong bakau dewasa dimakan oleh kepiting (Scylla serrata) dan dimanfaatkan manusia sebagai makanan di Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Filipina (Tryon 1882 in Houbrick 1991). Keong bakau yang masih juvenil biasanya dimangsa oleh kepiting bakau, burung, dan mamalia.

2.2 Bioekologi Keong Bakau

Keong bakau adalah deposit feeder, menggunakan extensible snout untuk menelan lumpur dan detritus dari permukaan endapan lumpur pada saat surut. Lasiak dan Dye (1986) in Houbrick (1991) menyatakan bahwa Keong bakau makan pada saat surut. Observasi ini dikonfirmasi oleh Alexander et al. (1979) in Houbrick (1991) bahwa ada penurunan kadar enzim dalam cangkang pada saat pasang dan menunjukkan keong bakau dalam keadaan tidak makan saat tertutupi oleh air. Namun demikian, Budiman (1988) in Houbrick (1991) menyatakan bahwa keong bakau dapat mempertahankan aktivitas makan dengan menggunakan extensible snout bahkan ketika tertutup oleh pasang. Kemungkinan hal ini terjadi karena makanan lebih dibutuhkan untuk aktivitas seksual daripada untuk tumbuh. Menurut Wahono (1991) keong bakau lebih banyak menghabiskan energi dari makanan untuk bereproduksi dibandingkan untuk tumbuh.

Keong jantan dan betina memiliki saluran silia. Pada jantan, saluran ini berfungsi sebagai penyalur sperma saat bereproduksi ke aperture betina (Budiman in Houbrick 1991). Menurut Ramamoorthi dan Natarajan (1973) in Houbrick (1991) bahwa di habitat alaminya (di permukaan lumpur muara Vellar Porto Novo, India), keong ini bereproduksi di permukaan lumpur daerah perairan dangkal dari April hingga Juli. Populasi telur keong bakau dapat mencapai 50.000 telur dengan diameter telur 1250 mm Telur tiap individu dikelilingi oleh fluida, albumen, dan kapsul transparan. Larva keong bakau bebas berenang di perairan. Larva ini menetas setelah 96 jam ditelurkan (Ramamoorthi dan Natarajan 1973 in Houbrick 1991).

Keong bakau menyukai tempat lahan terbuka dan banyak sinar matahari serta substrat lumpur halus di tengah hutan. Keong bakau merupakan moluska asli


(49)

secara alami memilih hutan mangrove sebagai tempat satu-satunya tempat hidup. Genangan air yang cukup luas, kaya akan bahan organik dan terbuka (karena pohon tumbang) disukai oleh keong bakau (Budiman 1991).

Keong bakau sering ditemukan dalam jumlah berlimpah di daerah pertambakan yang berbatasan dengan hutan mangrove, juga pada sungai-sungai yang dekat dengan daerah pertambakan (Hamsiah 2000). Menurut Soekendarsi et al. (1996) in Hamsiah (2000), hewan ini banyak ditemukan di daerah pertambakan yang dekat dengan mulut sungai dan dapat hidup pada kadar garam 1-2 ppt, hewan ini lebih banyak membenamkan diri dalam lumpur yang kaya bahan organik daripada di atas substrat lumpur. Houbrick (1991) menyatakan bahwa individu keong bakau sering berkelompok.

Kehadiran keong bakau di pertambakan tidak alami, karena adanya campur tangan manusia yang membuat tambak sebagai tempat yang disukai oleh keong bakau. Suasana tambak yang baik untuk pertumbuhan pakan memperbesar keberhasilan aktivitas reproduksi dan rendahnya musuh alami atau penyakit, sehingga dapat meninggikan populasi keong bakau (Budiman 1991).

Selama musim kering dan periode tidak aktif, keong bakau sering berkelompok dan berlindung di bawah bakau, suhu ekstrim dapat mengakibatkan kematian yang tinggi. Meskipun suhu tinggi kemungkinan dapat menyebabkan kematian, hewan ini dapat bertahan pada periode kekeringan. Benson (1834) melaporkan bahwa hewan ini dapat bertahan lebih dari enam bulan, meskipun tidak selalu terendam air laut. Pola sebaran pada tingkat jenis maupun marga moluska di hutan bakau tidak punya pola tetap. Pola persebaran akan bertambah dengan adanya kebiasaan migrasi dalam pola hidup (Budiman 1991).

2.3 Kondisi Lingkungan Keong Bakau

Beberapa faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman dan distribusi moluska yaitu pasir, lumpur dan tanah liat, organik, oksigen terlarut, pH, salinitas dan sulfida (Yap dan Noorhaidah 2011). Nybakken (1992) in Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa kebanyakan estuari didominasi oleh substrat lumpur. Selanjutnya dijelaskan bahwa lumpur yang terdapat di dalam muara merupakan


(50)

banyak ditemukan substrat berpasir. Odum (1971) in Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa kecepatan arus secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Nilai pH substrat erat hubungannya dengan bahan organik substrat, jenis substrat dan kandungan oksigen. Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme dan reaksi enzimatik. Moss in Suwondo et al. (2006) menyatakan bahwa Gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang pHnya lebih besar dari 7 dan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai pH untuk biota laut di daerah mangrove adalah 7-8,5.

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan juga pola penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya antara 0-40oC. Kebanyakan organisme laut telah mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang biak dalam kisaran suhu yang lebih sempit daripada kisaran total 0-40oC (Nybakken 1988). Pengaruh suhu secara langsung dapat dilihat dari kemampuannya mempengaruhi laju fotosintesis dari tumbuh-tumbuhan dan juga proses fisiologi hewan. Pengaruh secara tidak langsung dapat dilihat dari pengaruh suhu terhadap daya larut zat-zat organik di laut seperti karbondioksida sebagai bahan respirasi hewan-hewan di laut dan terhadap daya larut oksigen (Nybakken 1992 in Fernedy (2008). Perkins (1974) in Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa kisaran suhu yang dianggap layak bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah 25- 32oC. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai suhu untuk biota laut di daerah mangrove adalah 28-32oC.

Nybakken (1992) in Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa pembentukan endapan mendapat pengaruh dari laut, karena air laut juga mengandung cukup banyak materi tersuspensi (Tabel 1). Air laut memiliki nilai padatan terlarut total (TDS) yang tinggi karena mengandung banyak senyawa kimia dan berpengaruh terhadap tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik (Effendi 2007) (tabel 2).


(51)

tersuspensi (TSS)

Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan

<25 Tidak berpengaruh

25-80 Sedikit berpengaruh

81-400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982 in Effendi 2007

Tabel 2. Hubungan antara TDS dengan salinitas

Nilai TDS (mg/liter) Tingkat salinitas

0-1000 Air tawar

1001-3000 Agak asin/ payau (slightly saline) 3001-10000 Keasinan sedang (moderately saline)

10001-100000 Asin (saline)

>100000 Sangat asin (brine)

Sumber: Effendi 2007

Kelarutan gas-gas dalam air laut adalah suatu fungsi dari suhu, makin rendah suhu makin besar kelarutannya. Makin dingin suatu badan air, makin banyak oksigen yang dapat dikandungnya (Nybakken 1988). Batas minimal kadar oksigen terlarut bagi organisme pantai adalah 4 mg/l, selebihnya tergantung ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran pencemaran, dan suhu air (Suwondo et al. 2006) dan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai DO untuk biota laut di daerah mangrove adalah > 5 mg/L. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) nilai salinitas untuk biota laut di daerah mangrove adalah sampai dengan 34. Redoks potensial berhubungan erat dengan kandungan oksigen yang terdapat dalam sedimen (Rhoads 1974 in Efriyeldi 1999).


(52)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian berlangsung selama 6 bulan dari Mei - Oktober 2011 dengan interval pengambilan contoh satu bulan satu kali. Penelitian ini dilakukan di Pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat. Lokasi pengambilan contoh keong bakau secara geografis terletak pada koordinat 107046’39,99’’ BT dan 6013’05,5’’ BT untuk lahan terlantar bekas tambak (stasiun 1) serta 107047’07,8’’ BT dan 6013’11,7’’ BT untuk daerah bermangrove (stasiun 2). Pengambilan contoh selama penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu area lahan terlantar bekas tambak sebagai stasiun 1 dan area yang ditanami mangrove sebagai stasiun 2 (Gambar 3).

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah transek kuadrat 1 x 1 m2, Eikman Grab, termometer, secchi disk, cammerer water sampler, indikator pH, refraktometer, botol BOD, syringe, gelas ukur, gelas piala, pipet, erlenmeyer, botol contoh air 1 liter, cool box, koran, plastik, jangka sorong, palu, dan alat tulis. Bahan yang


(53)

Na-thiosulfat, dan amilum).

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Desain pengambilan contoh

Pengambilan contoh keong dilakukan di dua stasiun dengan masing-masing stasiun terdiri dari 3 ulangan, dengan jarak antar ulangan 1 meter. Transek diletakkan di lokasi habitat keong bakau yang ditandai dengan kehadiran keong tersebut. Keong bakau yang masuk dalam transek diambil menggunakan tangan untuk pengamatan parameter biologi. Parameter fisika dan kimia perairan diukur per stasiun. Parameter fisika yang diukur terdiri atas salinitas, suhu, kedalaman, kecerahan, TDS, dan TSS; sedangkan parameter kimia yang diukur adalah pH, oksigen terlarut (DO), dan COD. Selain itu, terdapat pengukuran parameter fisika substrat (tekstur substrat) dan kimia substrat (C-organik). Contoh air yang telah diambil, dimasukkan ke dalam cool box yang sudah terisi es batu (Tabel 3).

Tabel 3. Alat dan metode analisa parameter fisika-kimia perairan dan substrat

Parameter Unit Alat Tempat

Fisika air

Suhu oC Termometer In situ

Salinitas % Refraktometer In situ Kedalaman m Tongkat skala In situ Kecerahan m Secchi disk In situ

TDS mg/l TDS meter Ek situ

TSS mg/l Kertas saring Ek situ

Kimia air

pH Kertas pH In situ

DO mg/l Titrasi In situ

COD Titrasi Ek situ

Fisika substrat

Tekstur Substrat % Kantong plastik Ek situ

Kimia substrat

C-organik % Kantong plastik Ek situ

Pengambilan substrat hanya dilakukan pada bulan pertama dan bulan terakhir pengambilan contoh. Contoh substrat dasar perairan diambil satu contoh pada setiap stasiun menggunakan Eikman Grab.


(54)

3.3.2 Persiapan dan pengamatan

Keong dimasukkan dalam plastik berlabel yang sudah diberi nama stasiun dan titik tempat keong diambil, kemudian disimpan dalan cool box yang sudah diisi es batu dan dilapisi oleh kertas koran. Keong bakau diukur panjang dan beratnya. Pengukuran panjang menggunakan jangka sorong dan timbangan digital. Berat yang diukur yaitu berat total, berat cangkang, dan berat daging. Daging keong diambil setelah cangkangnya dihancurkan terlebih dahulu dengan palu (Gambar 4).

Gambar 4. Pengamatan keong bakau

Contoh substrat dianalisis di Laboratorium Tanah, IPB untuk penentuan tekstur substrat yang terdiri dari tiga fraksi yaitu pasir, debu, dan liat. Penentuan fraksi tersebut mengacu pada konsep segitiga millar (Gambar 5).


(55)

Gambar 5. Tipe struktur tanah berdasarkan persentase pasir, debu, dan liat (Millar et al. 1965 in Brower et al. 1990)

3.4 Analisis Data

Analisis data yang digunakan diantaranya adalah hubungan panjang-bobot, pengelompokkan ukuran, densitas, pola sebaran, faktor kondisi, dan indeks berat daging. Setelah analisis data, disusun strategi pengelolaan untuk keong bakau.

3.4.1 Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi

Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang berat digambarkan dengan W = aLb, a dan b adalah konstanta yang didapatkan dari perhitungan regresi. Sedangkan W adalah berat dan L adalah panjang. Jika b sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak berubah bentuknya disebut dengan pertumbuhan isometrik. Jika b lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila b kurang dari 3 menunjukkan keadaan pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan bobotnya dan jika b lebih besar dari 3 menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan


(56)

b

aL W = Keterangan :

W = Berat tubuh keong bakau (gram) L = Panjang keong bakau (mm) a dan b = Konstanta

Salah satu derivat penting dari pertumbuhan ialah faktor kondisi. Faktor kondisi ini menunjukkan keadaan kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendi 2007).

L

b

a W FK =

Keterangan:

FK = Faktor kondisi W = Bobot (gram) L = Panjang (mm)

3.4.2 Pengelompokan ukuran

Pengukuran sebaran ukuran panjang keong bakau didapatkan dengan membuat selang kelas. Berikut ini adalah tahapan membuat sebaran frekuensi panjang:

1. Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari semua data panjang total keong bakau.

2. Dari hasil pengamatan frekuensi pada setiap selang kelas panjang keong ditetapkan jumlah kelas dan interval.

3. Menentukan limit bawah kelas untuk selang kelas yang pertama kemudian limit atas kelasnya. Limit atas didapatkan dengan menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas.

4. Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas.

5. Menentukan nilai tengah kelas masing-masing kelas dengan merata-ratakan limit kelas.

6. Menentukan frekuensi masing-masing kelas.

Setelah menentukan sebaran frekuensi panjang untuk masing-masing kelas, sebaran frekuensi diplotkan dalam bentuk grafik menggunakan FISAT Version 1.2.2 untuk menentukan jumlah distribusi normalnya. Grafik tersebut menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort).


(57)

Kepadatan populasi keong bakau dapat dihitung dalam per satuan luas:

m x D= Keterangan:

D = Kepadatan populasi (individu/m2)

x = Jumlah individu pada area yang diukur (individu) m = Luas area pengambilan contoh (1 x 1 m2)

3.4.4 Pola sebaran populasi

Pola sebaran keong bakau dihitung dengan menggunakan indeks sebaran Morisita (Brower et al. 1990):

) 1 ( 2 − − =

N N N Xi n Id Keterangan:

Id = Indeks sebaran Morisita

n = Jumlah stasiun pengambilan contoh

Xi = Jumlah individu di setiap stasiun pengambilan contoh N = Jumlah total individu pada seluruh stasiun

Kriteria hasil perhitungan Indeks Morisita adalah sebagai berikut: Id < 1 : Pola sebaran acak

Id =1 : Pola sebaran seragam Id > 1 : Pola sebaran mengelompok

Untuk menguji pola penyebaran digunakan sebaran chi square (X2), yaitu untuk membandingkan nilai harapan hitung dengan nilai pengamatan (Brower et al. 1990):

N N

X n

X ⎟−

⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ =

2 2 Keterangan:

X2 = Chi square

n = Jumlah stasiun pengambilan contoh

N = Jumlah total individu yang terdapat dalam n plot


(58)

3.4.5 Indeks berat daging

Nilai Indeks Berat Daging didapatkan dari hasil perhitungan: )

(

) ( gram total

Berat

gram daging

Berat IBD=

3.4.6 Strategi pengelolaan

Strategi pengelolaan keong bakau disusun berdaarkan analisis faktor penyebab dengan menggunakan matriks permasalahan yang terdiri atas komponen masalah, faktor penyebab permasalahan, serta strategi pengelolaan yang digunakan untuk memecahkan masalah (Tabel 4).

Tabel 4. Matriks pengelolaan

No. Masalah Faktor Penyebab Strategi Pengelolaan

1 ... ... ...

2 ... ... ...


(59)

4.1 Hasil

4.1.1 Kajian populasi

Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan yang lebih tinggi di lahan bekas tambak dengan nilai kepadatan rata-rata 21 ind/m2 sedangkan kepadatan di daerah bermangrove 12 ind/m2. Selain itu ditunjukkan oleh nilai faktor kondisi keong bakau dan indeks berat daging yang memiliki nilai lebih tinggi di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan daerah bermangrove. Pola sebaran yang terbentuk di lahan terlantar bekas tambak yaitu acak; sedangkan di daerah bermangrove seragam. Hubungan panjang-bobot keong bakau di kedua stasiun memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (Tabel 5).

Tabel 5. Parameter populasi keong bakau Habitat Kepadatan

(ind/m2)

Pola Sebaran

Hubungan

panjang-bobot

Faktor kondisi

Indeks berat daging (IBD)

Lahan bekas

tambak 21 Acak

Allometrik

negatif 1,0133 23,3965

Mangrove 12 Seragam Allometrik

negatif 0,9406 20,1740

Kepadatan

Kepadatan keong bakau dinyatakan dalam satuan individu/m2. Populasi keong bakau di lahan terlantar bekas tambak lebih banyak dibandingkan populasi keong bakau di Mangrove. Rata-rata kepadatan keong bakau di lahan terlantar bekas tambak dari Mei sampai dengan Oktober adalah 13, 11, 23, 32, 31, dan 16 ind/m2. Rata-rata kepadatan keong bakau di daerah bermangrove dari Mei sampai dengan Oktober adalah 8, 9, 6, 15, 21, dan 8 ind/m2 (Gambar 6).


(60)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Mei Juni Juli Agustus September Oktober

Bulan K e pa da ta n ( Ind/ m 2 )

Lahan bekas tambak Mangrove

Gambar 6. Kepadatan keong bakau (ind/m2)

Kepadatan keong bakau paling tinggi di lahan terlantar bekas tambak adalah pada Agustus dengan nilai rata-rata kepadatan populasi 32 ind/m2. Jumlah keseluruhan keong bakau yang ditemukan paling banyak pada Agustus dengan jumlah sampel 86 individu; sedangkan pada Mangrove, kepadatan keong bakau tertinggi terdapat pada September dengan nilai 21 ind/m2 serta jumlah sampel terbanyak yang ditemukan pada September yaitu 62 individu.

Pola sebaran populasi

Pola sebaran populasi keong bakau berdasarkan hasil perhitungan indeks morisita, pola sebarannya adalah seragam, acak, dan mengelompok. Nilai indeks morisita yang didapat dari kedua stasiun didapatkan memiliki pola sebaran seragam, acak, dan mengelompok. Kemudian dilanjutkan dengan perhitungan uji chi-square pada selang kepercayaan 95 % (Tabel 6).

Tabel 6. Pola sebaran populasi keong bakau

Bulan

Lahan Bekas Tambak Mangrove Indeks

morisita (Id)

Chi-square Pola sebaran

Indeks morisita (Id)

Chi-square Pola sebaran

Mei 0,3050 4,7692 Acak 0,1511 13,0000 Seragam

Juni 0,3023 21,3548 Seragam 0,1768 13,2308 Seragam Juli 1,0985 14,8955 Mengelompok 0,0337 0,8235 Acak Agustus 1,9136 5,5106 Acak 0,3684 0,4000 Acak September 1,6802 0,0879 Acak 1,1727 31,0968 Mengelompok Oktober 0,4872 6,1250 Seragam 0,1471 12,2500 Seragam


(61)

sebaran seragam terjadi saat Juni dan Oktober. Pola sebaran acak terjadi saat Mei, Agustus, dan September. Pola sebaran mengelompok terjadi saat Juli. Di daerah bermangrove, pola sebaran seragam terjadi saat Mei, Juni, dan Oktober. Pola sebaran acak terjadi saat Juli dan Agustus. Pola sebaran mengelompok terjadi saat September.

Kelompok umur

Pertumbuhan populasi keong bakau dari Mei sampai dengan Oktober menunjukkan kelompok umur sebanyak satu sampai dengan lima kelompok umur setiap bulannya. Di lahan terlantar bekas tambak, pertumbuhan menunjukkan keong bakau memiliki tiga kelompok umur pada Mei, lima kelompok umur pada Juni, dua kelompok umur pada Juli, tiga kelompok umur pada Agustus, satu kelompok umur pada September, dan tiga kelompok umur pada Oktober. Di mangrove, terdapat tiga kelompok umur pada Mei, satu kelompok umur pada Juni, dan tiga kelompok umur pada Juli, Agustus, September, dan Oktober.

Di lahan terlantar bekas tambak, terdapat tiga kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 75,18 mm, 83,06 mm, dan 95,30 mm pada Mei. Pada Juni terdapat lima kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 72,86 mm, 77,64 mm, 83,41 mm, 87,41 mm, dan 92,25 mm. Pada Juli terdapat dua kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 79,85 mm dan 87,50 mm. Pada Agustus terdapat tiga kelompok umur dengan panjang rata-rata 71,31 mm, 80,50 mm, dan 87,39 mm. Pada September terdapat satu kelompok umur dengan panjang rata-rata 81,62 mm. Pada Oktober terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 81,71 mm, 87,81 mm dan 94,25 mm (Gambar 6).


(62)

Gambar 7. Pertumbuhan populasi keong bakau

Kemudian pada Mei di mangrove terdapat tiga kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 65,45 mm, 74,53 mm, dan 82,64 mm. Pada Juni terdapat satu kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 72,12 mm. Pada Juli terdapat tiga kelompok umur dengan nilai rata-rata panjang 59,45 mm, 73,70 mm, dan 83,31 mm. Pada Agustus terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 64,31 mm, 70,39 mm, dan 77,54 mm. Pada September terdapat tiga kelompok umur dengan rata-rata panjang 73,70 mm, 81,04 mm, dan 93,45 mm. Pada Oktober terdapat tiga kelompok umur dengan nilai panjang rata-rata 67,02 mm, 75,19, dan 87,45 mm.

Di lahan terlantar bekas tambak, pada Mei terdapat tiga kelompok umur kemudian pada Juni terdapat lima kelompok umur. Hal ini dapat menunjukkan


(63)

kelompok umur hal ini dapat diakibatkan karena adanya beberapa kelompok umur yang sudah tergantikan oleh individu baru. Dari Juli ke Agustus terdapat tiga kelompok umur baru dan pada September terdapat kelompok umur yang baru. Pada Oktober, terdapat tiga kelompok umur yang menunjukkan petumbuhan dari individu pada September. Adanya individu baru yang muncul menunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan dari hasil reproduksi pada bulan sebelumnya. Di mangrove, dari bulan Mei ke Juni terjadi penurunan kelompok umur. Dari Juni ke Juli terdapat tiga kelompok umur yang menunjukkan pertumbuhan individu dari bulan sebelumnya, hal yang sama terjadi pada Agustus dan September.

Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi

Keong bakau memiliki bentuk tubuh kerucut yang memiliki pola pertumbuhan ke arah apex. Berdasarkan hasil pengamatan panjang-bobot menunjukkan nilai b=1,8798 untuk stasiun lahan terlantar bekas tambak dan b=1,8683 untuk stasiun bermangrove, yang berarti pola pertumbuhannya adalah allometrik negatif. Nilai b menunjukkan nilai kurang dari 3. Jika b lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila harga b kurang dari 3 menunjukkan keadaan kurus yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan bobotnya (Effendi 2005).

Nilai koefisien determinasi (R2) tertinggi keong bakau yang hidup di lahan terlantar bekas tambak yaitu 0,6334 pada Juli dan terendah yaitu 0,4077 pada Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa panjang keong bakau mempengaruhi bobot total keong bakau sebesar 63,34% pada Juli dan 40,77% pada Oktober; sedangkan nilai koefisien determinasi (R2) tertinggi keong bakau yang hidup di daerah bermangrove yaitu 0,8749 pada Juli dan terendah yaitu 0,3949 pada Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa panjang keong bakau mempengaruhi bobot total keong bakau sebesar 87,49% pada Juli dan 39,49% pada Oktober (Gambar 8).


(64)

(1)

Maulana R. 2004. Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan pesisir batu Ampar Kalimantan Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Noorhaidah dan Yap. 2011. Gill and digestive caecum of telescopium telescopium as biomonitors of pb bioavailability and contamination by pb in the tropical intertidal area. Sains Malaysiana 40(10)(2011): 1075-1085.

Nybakken, James W. 1988. Biologi Laut. PT Gramedia: Jakarta. Hlm. 367.

Purnamaningtyas S. E, & Syam A.R. 2010. Kajian kualitas air dalam mendukung pemacuan stok kepiting bakau di Mayangan Subang, Jawa Barat. LIMNOTEK 17 (1): 85-93.

Suwondo, Febrita E, Sumanti F. 2006. Struktur komunitas gastropoda pada hutan mangrove di pulau sipora kabupaten kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jurnal Biogenesis 2(1): 25-29.

Wahono. 1991. Aktivitas harian dua jenis keong potamididae di hutan mangrove teluk hurun, lampung selatan. Media Konservasi III (3): 41-47.

Zipcodezoo. 2011. Telescopium telescopium. [terhubung berkala]. http://www.zipcodezoo.com. [19 Juni 2011].


(2)


(3)

Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian


(4)

Lampiran 2. Rumus TDS

TDS (mg/L) = 106

100 ) ( × − ml gram c d

d merupakan berat (mg) mangkuk dan residu, c adalah berat (mg) mangkuk.

Lampiran 3. Rumus TSS

TSS (mg/L) = 106

100 ) ( × − ml gram b a

a merupakan berat (mg) kertas saring dan residu, b adalah berat (mg) kertas saring.

Lampiran 4. Rumus DO

Lampiran 5. Data kelompok umur

Stasiun 1

skb ska bkb bka xi fmei fjun fjul fags fsept fokt

69,3 71,2 69,25 71,25 70,25 0 0 1 3 1 0

71,3 73,2 71,25 73,25 72,25 1 3 0 4 1 0

73,3 75,2 73,25 75,25 74,25 2 2 5 4 4 0

75,3 77,2 75,25 77,25 76,25 5 4 6 10 8 4

77,3 79,2 77,25 79,25 78,25 3 5 7 6 11 6

79,3 81,2 79,25 81,25 80,25 4 3 17 17 15 11

81,3 83,2 81,25 83,25 82,25 4 2 6 13 17 4

83,3 85,2 83,25 85,25 84,25 4 3 10 9 10 13

85,3 87,2 85,25 87,25 86,25 6 2 4 10 8 2

87,3 89,2 87,25 89,25 88,25 2 4 8 7 2 5


(5)

Lampiran 5. (Lanjutan) Stasiun 2

skb ska bkb bka xi fmei fjun fjul fags fsept fokt

58,5 60,4 58,45 60,45 59,45 0 0 1 0 0 0

60,5 62,4 60,45 62,45 61,45 0 0 0 0 0 0

62,5 64,4 62,45 64,45 63,45 0 0 0 1 0 0

64,5 66,4 64,45 66,45 65,45 1 0 0 1 0 1

66,5 68,4 66,45 68,45 67,45 0 1 1 0 2 3

68,5 70,4 68,45 70,45 69,45 1 2 1 6 2 1

70,5 72,4 70,45 72,45 71,45 5 6 4 6 11 3

72,5 74,4 72,45 74,45 73,45 3 5 1 6 9 5

74,5 76,4 74,45 76,45 75,45 2 5 3 4 7 3

76,5 78,4 76,45 78,45 77,45 3 2 1 9 12 2

78,5 80,4 78,45 80,45 79,45 2 0 2 2 3 4

80,5 82,4 80,45 82,45 81,45 3 0 0 4 8 0

82,5 84,4 82,45 84,45 83,45 4 0 0 3 4 1

84,5 86,4 84,45 86,45 85,45 0 0 1 1 3 0

86,5 88,4 86,45 88,45 87,45 0 0 0 1 0 1

88,5 90,4 88,45 90,45 89,45 0 0 0 0 0 0

90,5 92,4 90,45 92,45 91,45 0 0 0 1 0 0

92,5 94,4 92,45 94,45 93,45 0 0 0 0 1 0

94,5 96,4 94,45 96,45 95,45 0 0 0 0 0 0


(6)

RINGKASAN

Gita Rahmawati. C24080049. Ekologi Keong Bakau (Telescopium Telescopium,

Linnaeus 1758) pada Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Fredinan Yulianda dan Agustinus M. Samosir.

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki kekayaan akan biota, salah satunya adalah keong bakau (T. telescopium). Saat ini wilayah mangrove di Pantai Mayangan telah mengalami kerusakan yang disebabkan karena adanya kegiatan tambak sehingga luasan mangrove menjadi berkurang dan lingkungan menjadi berubah. Menurut Budiman (1991), keong bakau secara alami memilih hutan mangrove sebagai satu-satunya tempat hidupnya sehingga menurunnya luasan mangrove dikhawatirkan dapat membahayakan keberadaan keong bakau di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh mangrove terhadap populasi keong bakau di Pantai Mayangan.

Penelitian ini dilakukan di Pantai Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang-Jawa Barat dari Mei - Oktober 2011 dengan interval pengambilan contoh satu bulan satu kali. Pengambilan contoh dilakukan di dua tempat, yaitu di lahan terlantar bekas tambak (stasiun 1) dan area bermangrove (stasiun 2). Setiap stasiun terdiri dari 3 ulangan, menggunakan transek 1 x 1 m2. Pengamatan contoh keong dilakukan di Laboratorium Biologi Makro 1. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan dilakukan secara insitu, sedangkan untuk TDS, TSS, dan COD dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan. Contoh substrat dasar perairan diambil pada bulan pertama dan bulan terakhir pengembilan contoh. Substrat dianalisis di Laboratorium Rutin Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah.

Hasil penelitian menunjukkan populasi keong bakau di mangrove rendah. Keong bakau di lahan terlantar bekas tambak memiliki kepadatan lebih besar daripada di mangrove. Pola sebaran keong bakau berdasarkan indeks morisita adalah seragam, acak, dan mengelompok. Keong bakau memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif dengan nilai b<3 yang menunjukkan pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertumbuhan bobotnya. Faktor kondisi keong bakau di lahan terlantar bekas tambak lebih tinggi dibandingkan faktor kondisi keong bakau di daerah bermangrove. Parameter fisika-kimia perairan umumnya mendukung pertumbuhan keong bakau. Nilai indeks berat daging keong bakau menunjukkan bahwa bobot daging keong bakau memiliki nilai lebih kecil dibandingkan nilai bobot cangkangnya. Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk keong bakau adalah