Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

(1)

IDENTIFIKASI DAMPAK PENDAPATAN MASYARAKAT

TERHADAP PENGGUNAAN HUTAN MANGROVE

BERBASIS SILVOFISHERY DI KECAMATAN HAMPARAN

PERAK, KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh:

Indah Pratiwi Panggabean 101201002

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

IDENTIFIKASI DAMPAK PENDAPATAN MASYARAKAT

TERHADAP PENGGUNAAN HUTAN MANGROVE

BERBASIS SILVOFISHERY DI KECAMATAN HAMPARAN

PERAK, KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh:

INDAH PRATIWI PANGGABEAN 101201002/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

Nama : Indah Pratiwi Panggabean NIM : 101201002

Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Mohammad Basyuni S.Hut, M.Si, Ph.D.

NIP. 19730421 200012 1 001 NIP. 19750525 200003 1003 Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan

NIP. 19710406 200112 2 001


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis Lahir Di Kota Siantar Pada Tanggal 29 September 1992. Anak Pertama Dari Dua Bersaudara Dari Bapak Halomoan Panggabean Dan Ibu Nuraini Tarigan.

Penulis menyelesaikan Sekolah Pendidikan Dasar di SD Negeri 097805 pematang siantar, pada tahun 2004, menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Taman Siswa Pematang Siantar pada tahun 2007, menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Taman Siswa Pematang Siantar pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur undangan PMP dan selesai pada tahun 2014.

Selama duduk dibangku perkuliahan penulis aktif dalam komunitas Rain Forest dan di BKM Baytul Asyjaar Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Penulis menyelesaikan dengan baik Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) tahun 2012 di Taman Hutan Raya Berastagi selama 10 hari dan juga Praktik Kerja Lapang selama sebulan di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, KPH Sukabumi.


(5)

ABSTRAK

INDAH PRATIWI PANGGABEAN. Identifikasi Dampak Pendapatan

Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Dibawah bimbingan

MOHAMMAD BASYUNI, S.HUT, M.Si, Ph.D dan YUNUS AFIFUDDIN , S.HUT, M.Si

Ekosistem hutan mangrove merupakan kawasan hutan diwilayah pantai. Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak pendapatan masyarakat terhadap penggunaan hutan mangrove berbasis silvofishery di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian mengambil sampel dari tiga desa yang merupakan desa yang memanfaatklan mangrove untuk penggunaan tambak berbasis silvofishery. Ketiga desa tersebut menggunakan model silvofishery dengan model kao-kao, dengan ciri vegetasi mangrove mengelilingi tambak. Masing masing desa tergabung dalam satu kelompok tani, Desa Lama tergabung dengan Kelompok Tani Paluh Pandan, Desa Paluh Manan tergabung dalam Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari dan Desa Paluh Kurau tergabung dalam Kelompok Tani Serai Mangrove. Pemanfaatan mangrove melalui silvofishery ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakatnya, terlebih lagi pengelola tambak tidak memerlukan pangan untuk tambak dalam jumlah yang besar, karna asupan pangan untuk tambak telah terpenuhi oleh mangrove.


(6)

ABSTRAK

INDAH PRATIWI PANGGABEAN. Identification The Impact Of People's

Income Against Mangrove Forests Use Based Silvofishery At Hamparan Perak District Deli Serdang Regency. Supervised by MOHAMMAD BASYUNI and

YUNUS AFIFUDDIN.

Mangrove ecosystem is a coastal forest region. Silvofishery or often referred as wanamina is a form of integrated activities between brackish water aquaculture and mangrove development on the same location. The purpose of this research is to identify the impact of people's income against the use of mangrove forests based on silvofishery at Hamparan Perak district, Deli Serdang regency. The research sample is taken from three villages which utilizes mangrove as embankment based silvofishery. A third of the village using silvofishery model kao-kao, with mangrove vegetation surrounds the pond. Each village incorporated in one group of farmers, The village of Lama merged with the farmers groups of Paluh Pandan, Paluh Manan village incorporated in farmers groups of Kehutanan Hijau Lestari and Paluh Kurau village incorporated in farmers group of Serai Mangrove. Utilization of mangrove forests based silvofishery is impacted against people’s income, especially embankment management does not require a large amount of food, because food intake for the embankment has been provided by mangrove forests.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini.

Penelitian ini berjudul Identifikasi Dampak Pendapatan Masyaraka tterhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengidentifikasi dampak pendapatan masyarakat terhadap penggunaan hutan mangrove berbasis silvofishery di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang..

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D dan Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing kedua saya serta kepada seluruh teman-teman yang telah mendukung dalam hasil penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hasil penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan baik itu dari struktur penulisan maupun penyampaiannya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dapat memperbaiki dalam penulisan hasil penelitian ini. Demikianlah penulis ucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penilitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi umum lokasi penelitian ... 4

Hutan Mangrove ... 4

Silvofishery dan Wanamina ... 8

Model Silvofishery dan Wanamina ... 9

Social Ekonomi ... 10

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 12


(9)

Alat dan Bahan Penelitian ... 12

Metode Pengumpulan Data ... 13

Populasi dan Sampel Penelitian ... 13

Pengumpul Data ... 13

Pengolahan Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian ... 17

Karakteristik Responden Penelitian ... 18

Umur ... 18

Lama Menetap ... 19

Pendidikan ... 20

Pekerjaan ... 21

Tingkat pendidikan ... 22

Tambak Silvofishery... 23

Desa Lama ... 23

Model Tambak Silvofishery di Desa Lama ... 25

Desa Paluh Manan ... 26

Model Tambak Silvofishery di Desa Paluh Manan ... 28

Desa Paluh Kurau ... 29


(10)

Eksistensi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat ... 33

KESIMPULAN

Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Peta Batas Kecamatan Hamparan Perak pada tahun 2012 ... 13

2. Bagan Alir Penelitian ... 17

3. Model tambak di Desa Lama ... 25

4. Model tambak di Desa Paluh Manan ... 28


(12)

DAFTAR TABEL

1. Distribusi responden berdasarkan umur ... 19

2. Distribusi responden berdasarkan lama menetap ... 19

3. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani masyarakat Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Desa Paluh Kurau ... 20

4. Jenis pekerjaan responden ... 21

5. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan perbulan ... 22

6. Biaya operasional untuk kolam dalam jangka waktu 6 bulan ... 24

7. Hasil produksi untuk satu kolam dalam jangka waktu 4 bulan ... 24

8. Biaya operasional untuk satu kolam dalam jangka waktu 6 bulan ... 30

9. Hasil produksi untuk 1 kolam dalam jangka waktu 4 bulan ... 27

10. Modal operasional untuk satu kolam dalam jangka waktu 6 bulan .... 29


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar kuisioner untuk masyarakat ... 41

2. Gambar 1 tambak desa lama ... 52

3. Gambar 2 tambak desa paluh kurau ... 52

4. Gambar 3 hasil tambak desa paluh kurau ... 52

5. Gambar 1 tambak desa paluh manan ... 53


(14)

ABSTRAK

INDAH PRATIWI PANGGABEAN. Identifikasi Dampak Pendapatan

Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Dibawah bimbingan

MOHAMMAD BASYUNI, S.HUT, M.Si, Ph.D dan YUNUS AFIFUDDIN , S.HUT, M.Si

Ekosistem hutan mangrove merupakan kawasan hutan diwilayah pantai. Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak pendapatan masyarakat terhadap penggunaan hutan mangrove berbasis silvofishery di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian mengambil sampel dari tiga desa yang merupakan desa yang memanfaatklan mangrove untuk penggunaan tambak berbasis silvofishery. Ketiga desa tersebut menggunakan model silvofishery dengan model kao-kao, dengan ciri vegetasi mangrove mengelilingi tambak. Masing masing desa tergabung dalam satu kelompok tani, Desa Lama tergabung dengan Kelompok Tani Paluh Pandan, Desa Paluh Manan tergabung dalam Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari dan Desa Paluh Kurau tergabung dalam Kelompok Tani Serai Mangrove. Pemanfaatan mangrove melalui silvofishery ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakatnya, terlebih lagi pengelola tambak tidak memerlukan pangan untuk tambak dalam jumlah yang besar, karna asupan pangan untuk tambak telah terpenuhi oleh mangrove.


(15)

ABSTRAK

INDAH PRATIWI PANGGABEAN. Identification The Impact Of People's

Income Against Mangrove Forests Use Based Silvofishery At Hamparan Perak District Deli Serdang Regency. Supervised by MOHAMMAD BASYUNI and

YUNUS AFIFUDDIN.

Mangrove ecosystem is a coastal forest region. Silvofishery or often referred as wanamina is a form of integrated activities between brackish water aquaculture and mangrove development on the same location. The purpose of this research is to identify the impact of people's income against the use of mangrove forests based on silvofishery at Hamparan Perak district, Deli Serdang regency. The research sample is taken from three villages which utilizes mangrove as embankment based silvofishery. A third of the village using silvofishery model kao-kao, with mangrove vegetation surrounds the pond. Each village incorporated in one group of farmers, The village of Lama merged with the farmers groups of Paluh Pandan, Paluh Manan village incorporated in farmers groups of Kehutanan Hijau Lestari and Paluh Kurau village incorporated in farmers group of Serai Mangrove. Utilization of mangrove forests based silvofishery is impacted against people’s income, especially embankment management does not require a large amount of food, because food intake for the embankment has been provided by mangrove forests.


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia mempunyai luas lautan 5,8 km2 dengan jumlah pulau 17.506 dan garis pantai 81.000 km. Selain itu Indonesia juga kaya akan biodiversitas dan kekayaan alam laut yang sangat indah baik dari terumbu karang, mangrove, lamun dan biota-biota lautnya. Kekayaan ini sangatlah berpotensial untuk kemajuan Indonesia dari sektor perikanan dan kelautannya, baik itu dilihat dari fungsi ekologis maupun ekonomisnya. Namun pada kenyataannya hasil dan peranannya itu tidak berfungsi pada tempatnya serta masih banyak pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab (Supriharyono, 2009).

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Sumatera Utara yang merupakan salah satu provinsi yang memiliki hutan mangrove yang cukup luas. Luas keseluruhan hutan mangrove Sumatera Utara mencapai 364.580,95 ha, sebanyak 280.939,71 ha dilaporkan dalam kondisi rusak berat (77,06 %), 47.645,41 ha dalam keadaan rusak sedang (13,06%) dan 35.995,83 ha dalam kondisi tidak rusak (9,87%) (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kecamatan Hamparan Perak, provinsi Sumatera Utara. Jika dilihat di 12 Kabupaten/kota yang memilki hutan mangrove di Sumatera Utara, kerusakan paling tinggi berada di wilayah Kabupaten Labuhan Batu yaitu mencapai 121.702,1 ha dari luas yang ada yakni 128.438,2 ha sedangkan kondisi yang masih baik hanya 2.250,7 ha. Seperti halnya di Kabupaten Labuhan Batu, kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kecamatan Hamparan Perak yakni sekitar 60% dari luasan yang dulunya merupakan kawasan


(17)

hutan mangrove yang cukup baik (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).

Sebagian masyarakat pesisir dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan memanfaatkan ekosistem hutan mangrove misalnya dengan memanfaatkan flora dan fauna mangrove untuk keperluan sehari-hari maupun untuk komersil. Selain itu, hutan mangrove banyak yang dikonversi menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya. Dampak ekologis akibat berkurangnya ekosistem mangrove karena kerusakan adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya (Rochana, 2006).

Menurunnya kualitan dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang meningkat, penurunan jumlah tangkapan ikan bagi perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh kearah darat, malaria dan lainnya. Namun integrasi lahan hutan mangrove dengan peruntukan lainnya tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi kawasan hutan mangrove, contohnya wanamina/silvofishery. Melalui kegiatan wanamina ini diharapkan mampu menambah pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian vegetasi mangrove, namun belum ada studi terkait dengan kegiatan silvofishery terhadap dampak sosial ekonomi masyarakat terhadap penggunaan lahan mangrove dengan tambak dan silvofishery. Oleh karena itu, penelitian tentang dampak sosial ekonomi masyarakat dalam penggunaan hutan mangrove berbasis silvofishery di Kecamatan Hamparan Perak penting untuk dilakukan


(18)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak pendapatan masyarakat terhadap penggunaan hutan mangrove berbasis silvofishery di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diperoleh manfaat penggunaan hutan mangrove berbasis silvofishery terhadap pendapatan masyarakat sekitar hutan mangrove yang meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai dampak pemanfaatan ekosistem mangrove.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan hamparan perak umumnya adalah pesisir pantai, yang memiliki kawasan hutan mangrove yang luas. Dan juga dalam kondisi yang cukup baik. Kawasan hutan mangrove banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai mata pencarian utama. Melalui system silvofishery yang dilakukan di kawasan sekitar mangrove. Hal ini menjadi dampak yang baik bagi pelestarian hutan mangrove (Simanjuntak, 2008).

Kecamatan Hamparan Perak merupakan salah satu kawasan di Sumatera Utara. berada di dataran rendah yang merupakan bagian lembah Deli di wilayah pantai Timur Sumatera. Terletak di posisi 30 43’ Lintang Utara dan 980 38’ Bujur Timur yang dapat dicapai dari Kota Medan setelah menyusuri tepi Sungai Deli sejauh 14 km ke arah Utara/Belawan, dan kemudian menyeberangi sungai Deli sejauh 2 km ke arah Barat. Terletak pada 1,5 meter dari permukaan laut (dpl) dan merupakan lahan rawa yang banyak dipengaruhi pasang surut air laut. Diyakini, kawasan ini memiliki kesibukan yang luar biasa sebagai Bandar pelabuhan besar berskala Internasional yang dikelola dibawah satu kekuatan administratif pada masa abad ke-7 M hingga 14 M (Badan Pusat Statistik Kecamatan Hamparan Perak, 2012).

Hutan Mangrove

Hutan mangrove saat ini menjadi trend perbincangan, terutama setelah bencana tsunami di akhir tahun 2004 menelan ratusan ribu korban dan kehancuran


(20)

hutan mangrove lebat dampak tsunami sangat minim atau tidak membahayakan, seperti yang dijumpai di pantai utara Nias (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).

Banyak yang menganggap hutan mangrove seperti lahan terlantar yang tidak bermanfaat. Oleh karenanya lebih baik dikonversi menjadi areal tambak, perkebunan (kelapa sawit), misalnya, yang jelas manfaat ekonominya. Praktek konversi mangrove yang umum dilakukan adalah menebang habis pepohonan mangrove sampai ke pinggir pantai. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tambak yang diusahakan dengan menebang habis hutan mangrove hanya produktif selama 3-4 tahun awal saja, setelahnya sudah tidak menguntungkan sehingga kemudian areal tersebut ditinggalkan begitu saja. Dampak kondisi ini adalah meningkatnya abrasi pantai, instrusi air laut dan berbagai dampak lainnya kerena pelindung alami pantai yang berupa tegakan hutan mangrove hilang. Kasus abrasi di pantai utara Jawa, pantai selatan Lampung merupakan bukti, dimana pantai hilang dengan lebar lebih dari 10 m. Bisa dibayangkan luasnya pantai yang hilang atau pulau-pulau kecil, misalnya pulau Tapak Kuda di Langkat. Kondisi yang sama juga terjadi di sebagian besar pantai Aceh dan Sumatera Utara. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 6 tahun, yakni dalam periode 1993 – 1999, sekitar 97% hutan mangrove di Aceh dan 27% hutan mangrove di Sumutera Utara hilang dan rusak (Puspita et al 2005).

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas

Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi


(21)

lumpur yang dibawanya dari(Irwanto, 2006).

Menurut Zaitunah (2002) : “hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Secara fisik hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : penahan abrasi pantai; penahan intrusi (peresapan) air laut; penahan angin; menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di

perairan rawa pantai.” Secara Biologi hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang); sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung (Hartina, 1996).

Fungsi hutan mangrove 1. Fungsi fisik

Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan gelombang dan angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke arah darat; mengolah limbah organik, dan sebagainya.


(22)

Hutan mangrove mampu meredam energi arus gelombang laut, ekosistem mangrove juga mampu mereduksi energi gelombang sampai 60%, sehingga keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil gelombang tsunami yang menyerang daerah pantai. Rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan dalam pertimbangan awal bagi perencanaan penanaman hutan mangrove bagi peredaman penjalaran gelombang tsunami di pantai (Mulyadi et al, 2009).

Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan). Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu, dan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb 15 ppm, Cd 0,5 ppm, Ni 2,4 ppm . Selain itu, hutan mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut sebagaimana yang dilaporkan, yakni percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan (Irwanto, 2006).

2. Fungsi biologis

Secara biologi hutan mangrove berfungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah (Gunawan, 2008).


(23)

3. Fungsi ekonomi atau fungsi produksi

Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain. Hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan.

Silvofishery atau Wanamina

Pengertian Silvofishery atau Wanamina

Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove. Silvofishery yang telah dikembangkan selama ini menggunakan jenis Rhizophora


(24)

sp. Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery) (Bengen, 1998).

Silvofishery pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil pemeliharaan ikan di tambak. Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan perikanan (sivofishery). Keuntungan ganda telah diperoleh dari simbiosis ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan, biaya pemeliharaannya murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari. Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi kebutuhan perikanan tersebut. Oleh karena itu keberhasilan silvofishery sangat ditentukan oleh produktivitas fitoplankton (Dahuri, 2002).

Model silvofishery atau model wanamina

Model tambak wanamina terbagi tiga, yaitu; model empang parit, komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang


(25)

berkembang di masyarakat. Pada tambak wanamina model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pada tambak wanamina model komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen, 1998).

Pada tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Berdasarkan 3 pola wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas pertimbangan:

1. Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.

2. Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan. (Bengen, 1998).

Sosial Ekonomi

Teknologi budidaya tambak dengan pola silvofishery oleh masyarakat dilakukan terlebih dahulu dengan menanam bakau di wilayah pesisir. Setelah bakau-bakau tersebut besar, bakaunya di tebang dan tanah yang timbul dari kegiatan penanaman bakau tersebut dibuat jadi tambak. Setelah terbentuk tambak,


(26)

pada pematang tambak ditanami lagi dengan bibit bakau dan masyarakat bisa memelihara ikan bandeng (Channos channos), udang windu (Penaeus monodon) dan rumput laut (Gracillaria) di dalam tambak tersebut (Primavera, 2000).

Dengan model silvofishery tersebut, aspek ekonomi masyarakat terpenuhi dari kegiatan budidaya ikan, udang dan rumput laut dalam tambak, sedangkan aspek perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetap menjaga bakau-bakau di pematang tambak dan bagian terluar dari tambak yang terbentuk dengan greenbelt sekitar 100-200 meter. Kegiatan penanaman bakau dan pembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat walaupun tanpa bantuan pemerintah, sehingga konsep social forestry atau community forestry tercipta dengan sendirinya di wilayah pesisir tersebut.

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih tetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan non-alami. Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan dari ekosistemnya sendiri, seperti ketersediaan makanan, predator, persaingan memperoleh makanan, laju pertumbuhan alami, persaingan ruang dan sebagainya. Sedangkan faktor pembatas non-alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti eksploitasi, pengrusakan habitat dan pencemaran (Setyawan, 2002).


(27)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan September - Desember 2013. Penelitian ini dilakukan di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Gambar 1. Peta Tutupan Lahan di Kecamatan Hamparan Perak pada Tahun 2012

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, peta wilayah kabupaten, serta dokumen lain yang berhubungan dengan lokasi dan kegiatan penelitian.


(28)

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data skunder. Data primer yang digunakan mengenai lahan silvofishery yang digunakan yang diperoleh melalui wawancara, observasi lapangan, dan kuesioner, yang ditujukan langsung kepada masyarakat atau kelompok pengguna lahan silvofishery. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui sumber resmi seperti Badan Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Sumatera Utara. Kementrian Kehutanan, serta instansi pemerintah setempat mengenai informasi lokasi dan kondisi daerah penelitian, dan data-data pendukung lainnya.

Populasi dan Sampel Penelitian

Desa tempat penelitian adalah Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Paluh Kurau di Kecamatan Hamparan Perak, dimana ketiga desa tersebut menerapkan sistem silvofishery, dan tergabung dalam kelompok tani. Jumlah sampel pada penelitian ini diperkirakan sebanyak 52 responden dari ketiga desa masing masing mempunyai satu kelompok tani. Dalam satu kelompok tani mempunyai anggota sebanyak 13-25 orang.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer yang diperlukan adalah :

a. Ciri-ciri keluarga yakni nama, umur, identitas, jumlah anggota keluarga, pendidikan, mata pencaharian.


(29)

b. Pendapatan rumah tangga yakni pendapatan seluruh anggota keluarga dari kegiatan pemanfaatan system silvofishery ditambah pendapatan lainnya. c. Bentuk pemanfaatan sistem silvofishery secara aktual yang dilakukan

kelompok tani dan pengambilan manfaat ekonomi sistem silvofishery tersebut.

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1. Wawancara

Wawancara dilakukan sebagai upaya untuk mengkaji ulang dan melengkapi informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Keterbukaan dan kejujuran responden memberikan informasi sangat penting karena wawancara dilakukan seperti pembicaraan secara informal dan bersifat dialogis, terutama dengan membangun kepercayaan antara responden dan peneliti.

2. Kuisioner

Data yang diambil dari kuisioner pada seluruh sampel penelitian untuk melengkapi hasil dari wawancara yang dilaksanakan sehingga di dapatkan data yang akurat.

3. Observasi

Kegiatan yang dilakukan pada observasi yakni melihat kehidupan sehari-hari masyarakat (kelompok tani) setempat, melihat kegiatan masyarakat dalam pemanfaatan ekosistem mangrove dengan tambak dan interaksi terhadap masyarakat lain.


(30)

2. Data Sekunder

Data sekunder yang diperlukan adalah data umum yang ada instansi Pemerintah Desa, Kecamatan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan Badan Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Sumatera Utara yang meliputi letak dan luas desa, kelompok tani, dan data dari sumber lain.

Pengolahan Data

1. Analisis deskriftif, digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data yang terkumpul dari hasil kuesioner, wawancara, dan observasi

2. Penulisan literatur, dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dengan cara mengumpulkan referensi sebanyak mungkin tentang penelitian ini. Kemudian referensi tersebut dipadukan dengan data-data penelitian baik data primer maupun data skunder yang telah dilakukan analisis data. Penelusuran literatur akan memperkaya isi dari penelitian yang nantinya berguna dan pengguna hasil penelitian ini.


(31)

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian

Mengidentifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery

Persiapan

Survey Pendahuluan

Pengumpulan Data

Pelaksanaan Penelitian Penelusuran Literatur

Data Sekunder Kuisioner

Data Primer Analisis Deskriptif

Kesimpulan


(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga desa yaitu: Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau terletak di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ketiga desa ini merupakan kawasan yang masih mendapatkan pengaruh salinitas, namun tidak begitu dekat dengan pesisir pantai. Pada umum nya mangrove ditanam secara intensif oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, misalnya tambak dan penggunaan komersial lainnya dari tanaman mangrove.

Desa yang menggunakan sistem tekhnologi budidaya tambak semi intensif adalah Desa Paluh Manan karena beberapa petani yang luasan tambaknya hanya 1 ha terbagi kedalam 3 petak yang tidak berdekatan dengan tambak anggota lainnya atau terpisah, kemudian pemasukan dan pengeluaran airnya tidak tergantung dengan pasang surut, serta kedalaman air umumnya 90 cm – 100 cm dan sebagian lainnya yang ada di Desa Paluh Manan menggunakan sistem teknologi budidaya tambak sederhana. Kemudian Desa Lama dan Desa Paluh Kurau termasuk juga kedalam sistem teknologi budidaya tambak sederhana dengan ciri-ciri pengaruh air pasang surut sangat penting untuk budidaya sederhana ini, tetapi bentuk petakan teratur 0,5 – 1 ha, dan produksi yang dicapai umumnya rendah, hal ini sesuai dengan Kusnendar et al, (1999) yang menyatakan bahwa karakter pembagian teknologi terbagi atas 3 diantaranya adalah 1. Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan tidak teratur, luas petakan tambak antara 0,5 – 5 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu < 70 cm,


(33)

produksi yang dicapai umumnya rendah. 2. Tambak semi intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur , luas petakan tambak antara 0,5 – 1 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu >90 cm, produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana dan 3. Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur, luas petakan tambak antara 0,3 – 0,5 hektar, kedalaman air umumnya >1,0 m, produksi yang dicapai umumnya tinggi.

Ketiga desa lokasi penelitian ini memiliki kelompok tani masing-masing dalam mengelola tambak silvofishery. Desa Lama tergabung dalam Kelompok Tani Paluh Pandan dengan tambak silvofishery seluas 6 ha terdiri dari 13 anggota. Desa Paluh Manan memiliki kelompok Tani Lestari Hijau yang berjumlah 25 anggota, dan Desa Paluh kurau memiliki Kelompok Tani Serai Mangrove yang berjumlah 14 anggota.

Karekteristik Responden

Umur

setiap desa memiliki jumlah kelompok tani yang berbeda – beda, Desa Lama memiliki Kelompok Tani Paluh Pandan berjumlah 13 orang, Desa Paluh Manan memiliki Kelompok Tani Lestari Hijau berjumlah 25 orang, dan Desa Paluh kurau memiliki Kelompok Tani Serai Mangrove berjumlah 14 orang. Umur responden dikategorikan kedalam empat kelas umur yakni dari umur 20 tahun sebagai umur responden yang termuda hingga umur tertua yakni umur 70 tahun seperti ditunjukkan pada Tabel 1.


(34)

No Kelas Umur Jumlah Persentasi (%)

1 20 – 30 4 7,70

2 31 – 40 13 25

3 41 – 50 27 51,92

4 51 − 60 6 11,54

5 61 − 70 2 3,84

Total 52 100

Tabel 1. Distribusi anggota kelompok tani berdasarkan umur

Anggota kelompok tani dengan umur 41-50 tahun lebih banyak ditemuka n dilapangan. Hal ini berhubungan dengan bahwa umur demikian banyak yang aktif pada kegiatan kelompok tani dan menggantungkan pendapatannya dengan bekerja sebagai petani tambak. Responden dengan usia produktif tersebut merupakan responden yang telah berumah tangga dan sangat aktif secara langsung di tambak wilayah desa tersebut.

Lama Menetap

Lama seseorang menetap pada wilayah tertentu sangat mempengaruhi pengenalannya terhadap lingkungan. Distribusi anggota kelompok tani berdasarkan lama menetap dapat dilihat pada tabel 2.

No Lama Menetap Jumlah Persentasi (%)

1 0 – 10 1 1,92

2 11 – 20 3 5,77

3 21 – 30 12 2,08

4 >31 36 69,23

Total 52 100

Tabel 2. Distribusi anggota kelompok tani berdasarkan lama menetap

Anggota kelompok tani yang menetap di bawah 20 tahun dominan tidak mengetahui mengenai perubahan-perubahan lingkungan tempat tinggalnya. Sementara anggota kelompok tani yang sejak lahir berada dilokasi tersebut maupun yang telah menetap di atas 20 tahun ternyata lebih mengerti mengenai dinamika perubahan lingkungan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara , hal tersebut terjadi karena kurangnyarasa ingin tahu dari responden terhadap lokasi tempat tinggalnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Abdel (2014) dimana masyarakat yang bertempat tinggal di daerahnya dibawah waktu 20 tahun


(35)

dominan kurang mengetahui mengenai perubahan-perubahan lingkungan yang menjadi tempat barunya.

Pendidikan

Tingkat pendidikan anggota kelompok tani di Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Desa Paluh Kurau diklasifikasikan dalam tiga kategori dimulai dari kategori kategori SD, kategori SMP, dan kategori SMA dapat dilihat Tabel 3.

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentasi (%)

1 SD 29 56

2 SMP 9 17

3 SMA 14 27

Total 52 100

Tabel 3. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani masyarakat Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Desa Paluh Kurau.

Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Desa Paluh Kurau secara umum tergolong rendah. Berbagai faktor penyebab latar belakang rendahnya pendidikan mereka disebabkan oleh rendahnya taraf hidup/perekonomian masyarakat, serta rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Pekerjaan

Masyarakat Kecamatan Hamparan Perak yang merupakan masyarakat peisisir dengan latar belakang perekonomiannya tidak bisa dipisahkan dari produksi perikanan di daerah tersebut. Secara umum perekonomian masyarakatnya ditopang oleh hasil tanaman mangrove dan perikanan. Jenis pekerjaan anggota kelompok tani dapat dilihat pada tabel 4.


(36)

No Jenis pekerjaan

Pekerjaan

Pokok Sampingan

Jumlah Presentase Jumlah Presentase

1 Petani 37 71 % 13 46,42 %

2 Nelayan 14 26 % 14 50 %

3 Wiraswasta 1 1,5 % 1 3,57 %

4 peternak 1 1,5 % 1 3,57 %

Total 52 100% 28 100%

Tabel 4. Jenis pekerjaan anggota kelompok tani

Masyarakat dengan pekerjaan pokok paling banyak adalah sebagai petani, dalam hal ini adalah petani yang menggarap ladang dan petani tanaman mangrove. Profesi nelayan hanya dimiliki oleh orang yang memiliki modal cukup besar untuk membeli sebuah perahu lengkap dengan perlengkapan menangkap ikan.

Masyarakat yang melakukan pekerjaan sampingan jauh dari pemanfaatan mangrove, sepeti terlihat pada Tabel 4. Pekerjaan sampingan dilakukan oleh sebagian besar orang. Contoh dari pekerjaan sampingan tersebut adalah dengan berjualan propagul, bibit mangrove dan lain lain. Pekerjaan sampingan yang ditekuni oleh masyarakat desa pada umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mana tidak tercukupi dari hasil pekerjaan pokok. Penghasilan yang rendah mengakibatkan sebagian besar masyarakat harus memiliki pekerjaan sampingan.

Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan masyarakat pengelola tambak silvofishery dipengaruhi oleh banyak faktor seperti luasan tambak yang dimiliki, sewa lahan, serta pengelolaan untuk tambak, seperti pentingnya menjaga kualitas air agar ikan, kepiting, dan udang terhindar dari penyakit. Distribusi anggota kelompok tani menurut tingkat pendapatan perbulan dapat dilihat pada tabel 5.


(37)

No Pendapatan (Rp.)

Jumlah (orang)

Total Desa Lama Desa Paluh

manan Desa Paluh Kurau

1 600.000 − 1.000.000 8 19 9 36

2 1.000.001 − 1.500.000 4 5 4 14

3 1.500.001 − 2.000.000 1 0 1 1

4 2.000.001 − 2.500.000 0 0 0 0

5 ≥2.500.001 0 1 0 1

Tabel 5. Distribusi anggota kelompok tani menurut tingkat pendapatan perbulan

Anggota kelompok tani yang pendapatannya ≤ Rp.1.000.000 karena tambak yang dimiliki luasanya ≤ 1 ha/orang milik pribadi atau seluas ≥ 1 ha. Kemudian pendapatan berkisar ≥Rp.2.500.000 dikarenakan tambak yang dimiliki sangat luas yakni dengan luas 4 ha milik pribadi dan seluas 2 ha merupakan sewa. Kondisi jumlah pendapatan tersebut dikategorikan sangat rendah sesuai dengan Indikator keluarga sejahtera berdasarkan Badan Pusat Statistik Mei tahun 2013 yang menyebutkan apabila pendapatan masyarakat < Rp. 5.000.000 digolongkan pada kesejahteraan rendah.

Silvofishery di Desa Lama, Desa Paluh manan, dan Desa Paluh Kurau

Desa Lama

Tambak silvofishery di desa Lama yang tergabung dalam kelompok tani Paluh Pandan dengan luasan 6 ha terdiri dari 13 anggota. Kelompok tani Paluh pandan terbentuk pada tahun 2005 pada saat itu tambak menggunakan sistem teknologi tambak intensif, tetapi tiga tahun selanjutnya hasil produksi menurun drastis dan bisa dikatakan hancur. Ekosistem alami di kawasan tropika sering kali amat rentan terhadap degradasi oleh kegiatan penebangan, kebakaran, penggembalaan dan budidaya pertanian dan perladangan yang


(38)

berlebihan yang menyebabkan vegetasi asli sulit untuk pulih kembali. Seperti pernyataan Kusmana (1999) bahwa Kondisi hutan yang rusak tersebut tidak akan pernah dapat untuk pulih kembali seperti semula.

Kelompok tani Paluh Pandan mendapatkan penyuluhan dari Dinas Perikanan pada tahun 2010, melalui penanaman KBR dari dinas Kehutanan mulai ditanam tanaman mangrove seperti R.mucronata dan R.stylosa sebanyak 400 bibit perpetak dan sekarang ada jenis tanaman mangrove lainnya yang tumbuh seperti A. marina dan Acrostichum aureum, dan ada juga tanaman pertanian yang sengaja yang ditanam disela pematang tambak seperti ubi kayu dan rimbang. Dalam 1 kolam biasanya terdiri dari 3 petak yakni seluas 1ha. Untuk biaya pengeluaran tambak silvofisahery dapat dilihat pada Tabel 6.

No Jenis Bibit Harga/ekor (Rp.) Jumlah (ekor) Total (Rp.)

1 Pembuatan bedeng - 12 100.000

2 Bibit mangrove - 400 50.000

3 Pipa paralon 33.300 6 200.000

4 Upah jaga/pemeliharaan - - 100.000

5 jaring 4 25.000 100.000

6 Ikan nila 200 3000 600.000

7 Udang Windu 75 1.000 75.000

8 Kepiting bakau 2.200 48 105.000

Total 1.330.000

Tabel 6. Biaya operasional untuk kolam dalam jangka waktu 6 bulan

Luasan 6 ha merupakan luasan yang produktif dan ada sekitar luasan 3ha yang jarang digunakan karena lahan tersebut harus disewa dengan membayar 1 kolam seharga Rp.1.500.000/tahun. Biaya pembersihan dan pengolahan lahan dilakukan oleh individu masing-masing pengguna tambak silvofishery.

No Jenis Satuan kg (Rp) Jumlah (Kg)

Jumlah Harga (Rp.)

1 Ikan Nila 15.000 325 4.875.000

2 Udang Windu 50.000 23 1.150.000


(39)

Total 7.177.000

Tabel 7. Hasil produksi untuk 1 kolam dalam jangka 4 bulan

Keuntungan bersih total adalah Rp. 5.847.000 maka untuk setiap bulannya diperoleh Rp. 1.461.750. Jumlah tersebut merupakan hasil pendapatan untuk 3ha. Berarti per ha nya dihitung rata-rata menghasilkan Rp.487.250. Sebagai tambak yang menggunakan pakan alami tentunya jumlah ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Yenny (2007) tentang pelestarian hutan mangrove melalui silvofishery dan pengelolaannya, yaitu sebesar 200kg/ha nya. Dimana seharusnya bisa mencapai 400kg/ha nya.

Berikut adalah model tambak silvofishey di desa Lama dapat dilihat pada Gambar 3.

a

b

d c

e f


(40)

Keterangan : a. Waduk b. Tambak c. Pipa paralon

d. Acrostichum aureum. e. Bedengan

f. Mangrove g. Pintu air

Desa ini menggunakan system silvofishery dengan system kao-kao. Dimana sistem kao-kao adalah sistem wanamina dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam (Maryani, 2009). Model kao-kao ini merupakan modifikasi dari Model Empang Parit Tradisional. Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat memelihara ikan/udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung yang mengatur keluar masuknya air (Sofiawan, 2000)

Desa Paluh Manan

Desa Paluh manan membuka lahan tambak udang secara intensif dan bekerja sama dengan pengusaha pada tahun 1990-2000, tetapi usaha ini beresiko cukup tinggi dan tidak ramah lingkungan. Sejak tahun 2005 kelompok binaan mulai melestarikan tambak dengan menanam mangrove dan juga tanaman kelapa sawit di betengannya. Pada tahun 2007 peserta kelompok mendapatkan pelatihan untuk mengembangkan bibit mangrove dan pada tahun yang sama di Desa ini dibentuk Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari.


(41)

No Jenis biaya Biaya (Rp)

1 Pengolahan Lahan 500.000

2 Pupuk Dan Obat-Obatan 500.00

3 Benur Ikan Nila @1250ekor 250.000

4 Benur Udang Teger @200ekor 125.000

5 Sewa Lahan 500.000

6 Tenaga Kerja 750.000

Total 2.625.000

Tabel 8. Biaya operasional untuk 1 kolam dalam jangka waktu 6 bulan

Lahan Desa Paluh Manan seluas 7 ha diantaranya 4.5 ha milik sendiri dan 2.5 ha lainnya adalah sewa, sewa lahan 1 kolam (1 ha) seharga Rp.1.000.000/tahun. Jenis kepiting tidak dibudidayakan karena mempunyai resiko seperti bolong pada bedengan yang akan menambah biaya pengolahan lahan.

No Jenis

Satuan kg

(Rp) Jumlah (Kg) Jumlah Harga (Rp)

1 Ikan Nila 15.000 150 2.250.000

2 Udang 50.000 50 2.500.000

Total 4.750.000

Tabel 9. Hasil produksi untuk 1 kolam dalam jangka 6 bulan

Hasil rata rata yang diperoleh dari lahan tambak Desa Paluh Manan adalah 44,4 kg per ha nya. Dengan kombinasi antara hutan dengan tambak sebesar 20:80 jumlah ini cukup kecil. Jika dibandingkan dengan penelitian Wibowo (2006) dimana dengan pengembangan sistem wanamina secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak 80%:20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi persatuan luas. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan di sekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anakan (nursery ground) yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang tinggi


(42)

daun mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak.Hal tersebut juiga sesuai dengan penelitian Yenny (2007) dimana dengan perbandingan kolam dengan hutan 20 : 80 membuktikan hasil panen yang tinggi yaitu sebesar 350 kg lebih per ha nya. Tingkat hidup benur juga cukup tinggi yaitu sekitar 90 %. Jauh dari standart yang telah ditetapkan. Berikut adalah model tambak silvofishey di Desa Paluh Manan dapat dilihat pada Gambar 4.

a

b c d

e f

Gambar 4. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Manan

Keterangan : a. Jalan desa b. Pipa paralon c. Mangrove


(43)

d. Tambak

e. Paluh (aliran sungai) f. Bedengan

g. Kelapa sawit

Tipe tambak di desa ini adalah tipe jalur atau model kao-kao. Pada model ini mangrove ditanam diatas guludan tambak, biasanya ukuran guludan disesuaikan dengan luasan tambak. Keuntungan model ini adalah ruang pemeliharaan ikan cukup lebar, dan intensitas matahari cukup tinggi. Sedangkan kerugiannya adalah pada saat panen harus dilakukan dengan cara menggiring ikan pada satu sudut tambak

Desa Paluh Kurau

Silvofishery yang ada di Desa Paluh Kurau bukan milik pribadi atau pun sewa melainkan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kelompok Tani Serai Mangrove terbentuk pada tahun 2010 dan dibina oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan bibit mangrove ditanam pada areal tambak pada tahun 2010 seluas 10ha oleh biaya kelompok tani sendiri dan tenaga kerjanya gotong royong sesama anggota Kelompok Tani Serai Mangrove. Tambak silvofishery diuraikan dibawah yakni modal operasional yang dikeluarkan dalam jangka waktu 6 bulan. dapat dilihat pada table Tabel 10.

No Jenis Bibit Harga/ekor (Rp.) Jumlah (ekor) Total (Rp.)

1 Pembuatan bedeng - 12 100.000

2 Bibit mangrove - 400 50.000

3 Pipa paralon 33.300 6 200.000

4 Upah jaga/pemeliharaan - - 100.000

5 Jarring 4 25.000 100.000


(44)

Total 4.470.000 Tabel 10. Modal operasional untuk 1 kolam dalam jangka waktu 6 bulan

Dari biaya operasional untuk lahan tambak seluas 10ha tersebut diperoleh hasil produksi dari 1.600 ekor kepiting bakau jenis Scylla trunguebarica diperoleh hasil selama 6bulan yaitu 640 kg. dimana jika dijual dengan harga pasar yaitu Rp.15.000 /kg nya. Sehingga dari jumlah yang diperoleh maka dihasilkan pendapatan sebesar Rp.9.600.000.

Jumlah biaya 1 kolam adalah 9.600.000 - Rp.4.470.000 = Rp.5.130.000. Hasil yang diperoleh dari produksi 1 kolam sangat tinggi, hal ini dipengaruhi dari model silvofishery yaitu sistem silvofishery yang langsung berada di kawasan ekosistem hutan mangrove. Menurut Wibowo (2006) ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain ikan-ikan yang penting secara ekonomis dan biologis sperti bandeng, belanak dan udang. Dengan kata lain ekosistem mangrove sangat mendukung perikanan. Meskipun usaha perikanan skala kecil dan tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang sangat penting.

Pakan yang digunakan selain berupa pakan alami juga diberikan pakan buatan berupa pelet yang jika di rata-ratakan pakan tersebut mencapai 20 kg untuk sekali siklus panen. Ratio antara jumlah pakan dan produksi persiklus panen atau yang disebut dengan FCR (feed conversion ratio) pada tambak ini adalah 3,2, angka ini merupakan ratio yang tidak diperbolehkan. FCR (feed conversion ratio) merupakan perbandingan antara pakan dan hasil produksi, jadi FCR adalah berapa banyak pakan (kg) yang diberikan untuk menghasilkan 1 kg daging. Seperti dalam penelitian Yenny (2007) bahwa ratio yang diperbolehkan adalah 2. Namun menurut dinas perikanan dan kelautan 2012 bahwa ratio produksi dan pakan yaitu


(45)

1,5. Kurangnya vegetasi mangrove pada tambak menyebabkan berkurangnya suplai energy yang masuk ke dalam kolam sehingga pakan kepiting hanya bergantung dari luar lingkungan tambak. Selanjutnya pakan yang diberikan di tambak ini tidaklah sepenuhnya dari asupan pakan tambahan. Bahkan pakan alami adalah pakan yang memenuhi kebutuhan pakan dalam jumlah besar.

a b

c

d

e

f

Gambar 5. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Kurau Keterangan :

a. Pintu air b. Mangrove c. Pipa paralon


(46)

d. Bedengan

e. Paluh (aliran sungai) f. Tambak

Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang, menurut Puspita, et al (2005) bentuk tambak silvofishery terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka tipe kao-kao serta tipe tasik rejo. Pada desa ini menggunakan tipe empang parit tradisional dengan perbandingan pohon dan tambak yaitu 20 % : 80%.

Perkembangan tanaman pada masing-masing plot dapat berbeda sesuai dengan daya dukung lingkungan dan pola adaptasinya. Pertumbuhan tanaman mangrove pada masing-masing plot dalam empang parit berbeda. Perkembangan ikan pada satu tambak dengan tambak yang lain bisa berbeda sesuai dengan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Perkembangan ikan dapat juga dipengaruhi oleh faktor kesesuaian. Pola silvofishery yang merupakan paduan kegiatan budidaya ini menerapkan tehnik budidaya sederhana. Kegiatan ini dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan produktivitas lahan yang berimplikasi terhadap peningkatan pendapat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Keberadaan dan dipertahankannya vegetasi bakau dalam silvofishery ini berpengaruh positif terhadap kegiatan perikanan terutama sebagai tempat asuhan (nursery ground) dan tempat makan (feeding ground) ikan dan udang yang masuk sendiri diwaktu pasang dalam kegiatan perikanan yang bersifat tradisional. Ikan, udang dan tanaman bakaunya (sebagai penghasil arang, kayu bakar, bahan


(47)

industri penyamak kulit) dapat dipanen kemudian dan secara ekonomis menguntungkan masyarakat sekitarnya.

Eksistensi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi/perspektif secara umum masyarakat sekitar hutan mangrove di berbagai daerah Indonesia yang pantainya memiliki hutan mangrove serta memiliki interaksi dengan hutan mangrove. Sebagaimana disebutkan oleh Alongi (2002) bahwa mangrove dimanfaatkan secara besar dengan cara tradisional maupun cara komersial di seluruh dunia.

No Pertanyaan

Kelas umur (Tahun) Total Persentase (%)

21-30 31-40 41-50 51-60 61-70

1 Mengetahui/

mengenal

a. Ya 4 13 27 6 2 52 100

b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0

2 Memahami manfaat

a. Memahami 4 13 27 6 2 52 100

b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0

3 Mengetahui sebagai

penyangga ekosistem pantai

a. Tahu 4 13 27 6 2 52 100

b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0

4 Penting bagi

kehidupan

a. Sangat penting 1 11 20 3 1 36 69,23

b. Biasa saja 1 1 4 1 0 7 13,46

c. Penting 2 1 3 2 1 9 17,30

d. Tidak penting 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 11. Pemahaman/pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove

Pengetahuan masyarakat sekitar hutan mangrove tentang peranan dan manfaat hutan mangrove terhadap kehidupannya sebenarnya sangat


(48)

mempengaruhi kondisi hutan mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove sering disebabkan oleh aktivitas manusia yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan mangrove (Brown, 2006). Hal ini dikarenakan akses masyarakat yang tinggi berinteraksi dengan hutan tersebut.

Berdasarkan Tabel 11 Ditunjukkan bahwa persentase pemahaman/ pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tergolong sangat baik, hal ini dikarenakan dari responden seluruh nya merupakan anggota kelompok tani yang memanfaatkan mangrove di kehidupan sehari-hari mereka. responden juga memahami jika ekosistem hutan mangrove tersebut berfungsi sebagai penyangga ekosistem pantai. Masyarakat memahami bahwa hutan mampu menahan atau meredam angin kencang yang berasal dari laut, memecah ombak yang menuju darat serta menjaga terjadinya abrasi di wilayah bibir pantai secara alami. Hasil penelitian ini memperlihatkan baiknya pemahaman masyarakat bahwa masyarakat Desa Hamparan Perak merasakan hutan mangrove bermanfaat sebagai sumber penghidupan mereka. Sebagian besar dari responden menjadikan hutan mangrove sebagai mata pencarian utama mereka yang tentunya menjadi penghasilan utama bagi kehidupannya.

Terlihat jelas bahwa lahan mangrove memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pendapatan masyarakatnya yang terutama memanfaatkan mangrove dalam pengkombinasian dengan tambak. Oleh karena itu secara langsung responden juga diuntungkam dengan kondisi tambak yang berada di antara mangrove, selain dapat meminimalkan kebutuhan pangan bagi tambak, lahan mangrove juga bisa menjadi tempat perlindungan untuk ekosistem tambak yang dibudidayakan. Pernyataan ini sesuai dengan peneltian Wibowo (2006) yaitu


(49)

fungsi dan peran ekosistem hutan mangrove sangat penting sebagai tempat untuk memijah, mengasuh anak, berlindung serta mencari makan bagi berbagai jenis ikan. Oleh karena itu , kelestariannya harus dijaga.

Pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tersebut dapat dikategorikan sebagai pengetahuan lokal mengenai peranan hutan mangrove sebagai suatu kesatuan bagi kehidupan mereka, yang diperoleh dari interaksi kehidupan mereka di dalam dan di sekitar hutan mengrove. Para nelayan serta buruh nelayan diketahui sebagai responden yang lebih mengenal ekosistem hutan mangrove. Karena secara langsung mereka menghabiskan keseharian dan berinteraksi dengan ekosistem tersebut untuk mencari kepiting, kayu bakar, serta penebangan kayu/pohon sebagai bahan bangunan maupun dalam pembuatan perahu.

Pengawasan pemerintah seperti dari Dinas Kehutanan Kabupaten melakukan pengawasan yang ketat terkait interaksi dan pemanfaatan hutan mangrove seperti penebangan pohon untuk kontruksi rumah dan kapal/boat serta pancang digunakan untuk mendirikan pondok-pondok sederhana serta untuk kayu bakar dan peralatan menangkap ikan atau kepiting. Eksploitasi sumberdaya alam untuk kebutuhan rumah tangga tidak diberlakukan pengawasan secara resmi sehingga masyarakat diperbolehkan untuk menebang pohon sesuai dengan kebutuhannya (Zorini dkk, 2004).


(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kelompok tani di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Hamparan Perak di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau menggantungkan perekonomiannya di pemanfaatan tanaman mangrove, baik itu pemanfaatan langsung maupun pemanfaatan tidak langsung. Penggunaan lahan mangrove di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Hamparan Perak sangatlah berpengaruh terhadap pendapatan masyarakatnya , dimana masyarakat secara langsung memenuhi kebutuhan ekonominya dengan pemanfaatan tanaman mangrove.

Saran

Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan para kelompok tani tambak untuk membantu langsung dan mensejahterakan mereka.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Alongi, D.M. 2002. Present state and future of the world’s mangrove forests. Environtmental Conservation. 29 (3):331-349.

Bengen, G. B. 1998. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove. Makalah Lokakarya Jaringan Kerja Pelestarian Mangrove, Instiper. Yogyakarta.

BPHM.2006 Hasil Inventarisasi Dan Identifikasi Mangrove BPDAS Asahan Barumun dan SWP DAS Wampu Sei Ular. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, Medan.

Brown, B. 2006. Lima Tahap Rehabilitasi Mangrove. Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove. Mangrove Action Project dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. Yogyakarta.

Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta.

Gunawan, T. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Gunawan, H. dan Anwar, C. 2008. Kualitas Perairan dan Kandungan Merkuri

(Hg) dalam Ikan pada Empang Parit. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Hartina, S. 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.

Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove http//www.geocities.com/irwantoforester/fauna_mangrove.pdf (20 September 2013).

Keraf, S. A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Pn. Buku Kompas.

Kusmana, C. 1999. Pedoman Pembuatan Persemaian Jenis-Jenis Pohon Mangrove.Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Kusnendar, E. K., Coco K., Erik S., 1999. Sistem Resirkulasi Tertutup pada Budidaya Udang Windu Paket teknologi. Direktorat Perikanan. Jakarta. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 22 p.

Maryani, E. 2009. Model Sosialisasi Mitigasi Pada Masyarakat Daerah RawanBencana di Jawa Barat. Bandung: Penelitian HIBAH DIKTI.


(52)

Mulyadi, E., R. Dhania,. dan H. Zubair. 2009. Fungsi Mangrove Sebagai Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN Veteran. Surabaya.

Primavera, J.H. 2000. Integrated Mangrove Aquaculture Systems in Asia. Integrated Coastal Zone Management. Autumn ed. Pp.121-130. Puspita, L., Ratnawati, E., Suryadiputra, I. N. N., Meutia. A. A. 2005. Buku

Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetland Internasional. Bogor.

Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.

Simanjuntak, P. 2008. Pengetahuan Masyarakat Dusun XIV Kampung Nelayan Desa Paluh Kurau Kecamatan Hamparan Perak Tentang Fungsi dan Peranan Mangrove di Pesisir : 101 Halaman. USU Press.

Sofiawan, A. 2000. Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan: Pengembangan Model-Model Silvofishery dalam Warta Konservasi Lahan Basah, Vol. 9 No. 2 November 2000. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.

Rochana. 2006. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. Raswin, M. (2003). Pembesaran Ikan Bandeng. Modul: Pengelolaan air tambak.

Direktorat Jakarta: Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional.

Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Wibowo,K. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan(silvofishery). Pusat Peneliti Tekhnologi Lingkungan. Jakarta.

Yenny. 2007. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Silvofishery dan Pengelolaannya. Kalimantan Barat.

Zaitunah, A. 2002. Kajian, Keberadaan Hutan Mangrove : Peran, Dampak Kerusakan Dan Usaha Konservasi. Universitas Sumatera Utara. Library.usu,ac.id/download/fp/hutan-anita.pdf (20 September 2013).

Zorini, L.O. Contini, C. Jiddawi, N. Ochiewo, J. Shunulaand, J. Cannicci, S. 2004. Participatory appraisal for potential community-based mangrove management in East Africa. Wetlands Ecology and Management. (12):87-102.


(1)

industri penyamak kulit) dapat dipanen kemudian dan secara ekonomis menguntungkan masyarakat sekitarnya.

Eksistensi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi/perspektif secara umum masyarakat sekitar hutan mangrove di berbagai daerah Indonesia yang pantainya memiliki hutan mangrove serta memiliki interaksi dengan hutan mangrove. Sebagaimana disebutkan oleh Alongi (2002) bahwa mangrove dimanfaatkan secara besar dengan cara tradisional maupun cara komersial di seluruh dunia.

No Pertanyaan

Kelas umur (Tahun)

Total

Persentase (%)

21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 1 Mengetahui/

mengenal

a. Ya 4 13 27 6 2 52 100

b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0

2 Memahami manfaat

a. Memahami 4 13 27 6 2 52 100

b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0

3 Mengetahui sebagai penyangga ekosistem pantai

a. Tahu 4 13 27 6 2 52 100

b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0

4 Penting bagi kehidupan

a. Sangat penting 1 11 20 3 1 36 69,23

b. Biasa saja 1 1 4 1 0 7 13,46

c. Penting 2 1 3 2 1 9 17,30

d. Tidak penting 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 11. Pemahaman/pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove

Pengetahuan masyarakat sekitar hutan mangrove tentang peranan dan manfaat hutan mangrove terhadap kehidupannya sebenarnya sangat


(2)

mempengaruhi kondisi hutan mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove sering disebabkan oleh aktivitas manusia yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan mangrove (Brown, 2006). Hal ini dikarenakan akses masyarakat yang tinggi berinteraksi dengan hutan tersebut.

Berdasarkan Tabel 11 Ditunjukkan bahwa persentase pemahaman/ pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tergolong sangat baik, hal ini dikarenakan dari responden seluruh nya merupakan anggota kelompok tani yang memanfaatkan mangrove di kehidupan sehari-hari mereka. responden juga memahami jika ekosistem hutan mangrove tersebut berfungsi sebagai penyangga ekosistem pantai. Masyarakat memahami bahwa hutan mampu menahan atau meredam angin kencang yang berasal dari laut, memecah ombak yang menuju darat serta menjaga terjadinya abrasi di wilayah bibir pantai secara alami. Hasil penelitian ini memperlihatkan baiknya pemahaman masyarakat bahwa masyarakat Desa Hamparan Perak merasakan hutan mangrove bermanfaat sebagai sumber penghidupan mereka. Sebagian besar dari responden menjadikan hutan mangrove sebagai mata pencarian utama mereka yang tentunya menjadi penghasilan utama bagi kehidupannya.

Terlihat jelas bahwa lahan mangrove memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pendapatan masyarakatnya yang terutama memanfaatkan mangrove dalam pengkombinasian dengan tambak. Oleh karena itu secara langsung responden juga diuntungkam dengan kondisi tambak yang berada di antara mangrove, selain dapat meminimalkan kebutuhan pangan bagi tambak, lahan mangrove juga bisa menjadi tempat perlindungan untuk ekosistem tambak yang dibudidayakan. Pernyataan ini sesuai dengan peneltian Wibowo (2006) yaitu


(3)

fungsi dan peran ekosistem hutan mangrove sangat penting sebagai tempat untuk memijah, mengasuh anak, berlindung serta mencari makan bagi berbagai jenis ikan. Oleh karena itu , kelestariannya harus dijaga.

Pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tersebut dapat dikategorikan sebagai pengetahuan lokal mengenai peranan hutan mangrove sebagai suatu kesatuan bagi kehidupan mereka, yang diperoleh dari interaksi kehidupan mereka di dalam dan di sekitar hutan mengrove. Para nelayan serta buruh nelayan diketahui sebagai responden yang lebih mengenal ekosistem hutan mangrove. Karena secara langsung mereka menghabiskan keseharian dan berinteraksi dengan ekosistem tersebut untuk mencari kepiting, kayu bakar, serta penebangan kayu/pohon sebagai bahan bangunan maupun dalam pembuatan perahu.

Pengawasan pemerintah seperti dari Dinas Kehutanan Kabupaten melakukan pengawasan yang ketat terkait interaksi dan pemanfaatan hutan mangrove seperti penebangan pohon untuk kontruksi rumah dan kapal/boat serta pancang digunakan untuk mendirikan pondok-pondok sederhana serta untuk kayu bakar dan peralatan menangkap ikan atau kepiting. Eksploitasi sumberdaya alam untuk kebutuhan rumah tangga tidak diberlakukan pengawasan secara resmi sehingga masyarakat diperbolehkan untuk menebang pohon sesuai dengan kebutuhannya (Zorini dkk, 2004).


(4)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kelompok tani di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Hamparan Perak di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau menggantungkan perekonomiannya di pemanfaatan tanaman mangrove, baik itu pemanfaatan langsung maupun pemanfaatan tidak langsung. Penggunaan lahan mangrove di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Hamparan Perak sangatlah berpengaruh terhadap pendapatan masyarakatnya , dimana masyarakat secara langsung memenuhi kebutuhan ekonominya dengan pemanfaatan tanaman mangrove.

Saran

Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan para kelompok tani tambak untuk membantu langsung dan mensejahterakan mereka.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alongi, D.M. 2002. Present state and future of the world’s mangrove forests. Environtmental Conservation. 29 (3):331-349.

Bengen, G. B. 1998. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove. Makalah Lokakarya Jaringan Kerja Pelestarian Mangrove, Instiper. Yogyakarta.

BPHM.2006 Hasil Inventarisasi Dan Identifikasi Mangrove BPDAS Asahan Barumun dan SWP DAS Wampu Sei Ular. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, Medan.

Brown, B. 2006. Lima Tahap Rehabilitasi Mangrove. Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove. Mangrove Action Project dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. Yogyakarta.

Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta.

Gunawan, T. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Gunawan, H. dan Anwar, C. 2008. Kualitas Perairan dan Kandungan Merkuri

(Hg) dalam Ikan pada Empang Parit. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Hartina, S. 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.

Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove

http//www.geocities.com/irwantoforester/fauna_mangrove.pdf (20

September 2013).

Keraf, S. A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Pn. Buku Kompas.

Kusmana, C. 1999. Pedoman Pembuatan Persemaian Jenis-Jenis Pohon Mangrove.Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Kusnendar, E. K., Coco K., Erik S., 1999. Sistem Resirkulasi Tertutup pada Budidaya Udang Windu Paket teknologi. Direktorat Perikanan. Jakarta. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 22 p.

Maryani, E. 2009. Model Sosialisasi Mitigasi Pada Masyarakat Daerah RawanBencana di Jawa Barat. Bandung: Penelitian HIBAH DIKTI.


(6)

Mulyadi, E., R. Dhania,. dan H. Zubair. 2009. Fungsi Mangrove Sebagai Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN Veteran. Surabaya.

Primavera, J.H. 2000. Integrated Mangrove Aquaculture Systems in Asia. Integrated Coastal Zone Management. Autumn ed. Pp.121-130. Puspita, L., Ratnawati, E., Suryadiputra, I. N. N., Meutia. A. A. 2005. Buku

Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetland Internasional. Bogor.

Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.

Simanjuntak, P. 2008. Pengetahuan Masyarakat Dusun XIV Kampung Nelayan Desa Paluh Kurau Kecamatan Hamparan Perak Tentang Fungsi dan Peranan Mangrove di Pesisir : 101 Halaman. USU Press.

Sofiawan, A. 2000. Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan: Pengembangan Model-Model Silvofishery dalam Warta Konservasi Lahan Basah, Vol. 9 No. 2 November 2000. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.

Rochana. 2006. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. Raswin, M. (2003). Pembesaran Ikan Bandeng. Modul: Pengelolaan air tambak.

Direktorat Jakarta: Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional.

Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Wibowo,K. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan(silvofishery). Pusat Peneliti Tekhnologi Lingkungan. Jakarta.

Yenny. 2007. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Silvofishery dan Pengelolaannya. Kalimantan Barat.

Zaitunah, A. 2002. Kajian, Keberadaan Hutan Mangrove : Peran, Dampak Kerusakan Dan Usaha Konservasi. Universitas Sumatera Utara. Library.usu,ac.id/download/fp/hutan-anita.pdf (20 September 2013).

Zorini, L.O. Contini, C. Jiddawi, N. Ochiewo, J. Shunulaand, J. Cannicci, S. 2004. Participatory appraisal for potential community-based mangrove management in East Africa. Wetlands Ecology and Management. (12):87-102.


Dokumen yang terkait

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

3 19 49

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 1 13

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 2

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 3

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 1 8

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 1 2

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 2

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 3

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 1 11