BAHAN UAS Perlindungan Konsumen
1.
Latar Belakang
Berdasarkan sejarah, bangsa Indonesia telah sejak lama
dikunjungi pedagangpedagang
1)dari negara lain di dunia,
karena memiliki daya tarik berupa kekayaan alam yang
melimpah. Indonesia adalah Negara kaya raya, memiliki jumlah
penduduk yang banyak. Masyarakat Indonesia yang setiap
tahunnya bertambah, merupakan pangsa pasar yang sangat
potensial dan menjanjikan bagi para pelaku usaha dalam
maupun luar negeri untuk menjalankan kegiatan usahanya.
2)Terlebih pada era globalisasi saat ini, dimana salah satu
aspeknya adalah globalisasi industri, menjadikan produksi
1 ) Menurut Bayu Seto Hardjowahono, aktivitas manusia yang disebut dengan “perdagangan” (commerce/trade), pada dasarnya berkisar di sekitar upaya manusia untuk melaksanakan pertukaran dan atau distribusi barang/jasa (exchange and/or distribution of goods/services). Dalam arti yang lebih sempit, orang mempersamakan istilah “perdagangan” dengan istilah bisnis (business), yang sebenarnya lebih terarah pada aktivitas pertukaran dan atau distribusi barang dan jasa yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku nya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan dengan nilai ekonomis tertentu. Lihat… Bayu Seto Hardjowahono, Perlindungan Konsumen Dan Transaksi/Kontrak Keagenan, Distributorship Dan Waralaba, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008.
2 ) Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang luas seluruh wilayahnya yaitu 5.176.800 Km2, yang terdiri dari luas lautannya 3.257.357 km2, dan luas daratannya yang merupakan hasil penjumlahan dari 13.000 buah pulau besar kecil yaitu 1.919.443 km2. Wilayah yang cukup luas tersebut dapat memberikan masa depan yang cerah dalam meningkatkan ekonomi seluruh penduduknya. Laju pertumbuhan penduduk negara Indonesia sangat tinggi, menurut Biro Pusat Statistik Jakarta sampai tahun 2000, penduduk Indonesia sudah mencapai 203,4 juta jiwa lebih. Dalam Rachmat Kusnadi, Geografi, Grafindo Pratama, Bandung, April 2001, hlm. 15.
Menurut Sensus Penduduk 2000, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 205.1 juta jiwa, menempatkan Indonesia sebagai negara ke-empat terbesar setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Sekitar 121 juta atau 60.1 persen di antaranya tinggal di pulau Jawa, pulau yang paling padat penduduknya dengan tingkat kepadatan 103 jiwa per kilometer per segi. Penduduk Indonesia tahun 2010 diperkirakan sekitar 234.2 juta. (Sensus Penduduk 2010) internet. Diunduh tanggal 25 Juli 2010 jam 10.50 WIB.
(2)
sebagai alternatif bagi banyak pelaku usaha untuk
menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi oleh
konsumen, terutama Indonesia yang memiliki begitu banyak
sumber kekayaan alam sebagai bahan baku dan jumlah
penduduk yang cukup banyak, menjadikan tempat pemasaran
dan produksi berbagai produk yang ideal.
Kini kita tidak sadar akan kenyataan bahwa telah
berlangsung penjajahan ekonomis pada tataran global. Dunia
Pertama (negaranegara maju) secara sistematik dan halus
memaksakan kehendaknya dan mengeksploitasi Dunia Ketiga.
Gejala inilah yang sejak setengah abad yang lalu telah menjadi
keprihatinan utama Soekarno, Nasser, Nehru, dan rekan
rekannya di seantero AsiaAfrika, seperti yang dapat kita baca
dalam Deklarasi Bandung 1955.
3)Kemudian pada tanggal 21 Pebruari 1957 Soekarno
melancarkan “Konsepsi Baru”, dan mengatakan : “Maka
akhirnya saya sampai kepada keyakinan bahwa kita telah
memakai satu sistem yang salah, satu stijl pemerintahan yang
salah, yaitu stijl yang kita namakan demokrasi Barat. Dan oleh
karena demokrasi ini adalah demokrasi impor, bukan
demokrasi Indonesia, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa
kita sendiri, maka kita mengalami segenap eksesekses dari
sekedar memakai barang impor. Maka oleh karena itu : Mari
3 ) Kiranya kita perlu memperhatikan peringatan Marx dan Lenin akan bahaya kapitalisme khususnya bagi Dunia Ketiga. Soekarno dan teman-temannya menyadari hal tersebut, sementara kita dewasa ini tidak. Ada gejala inlander-sindrom di sini : semua yang berasal dari negeri Barat itu baik adanya, sambil kita tidak menyadari bahwa para elit kita diperalat, dan rakyat kita dieksploitasi. Gejala ini tampak sewaktu Soeharto sebagai Presiden mengundang para Kepala Negara ke Bogor guna menandatangani kesepakatan yang menyangkut perdagangan bebas. Sadarkah kita bahwa kita telah dengan sukarela mengikat leher kita dengan tali gantungan ? Lihat…Koerniatmanto Soetoprawiro, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Sambutan, Tim Editor Ida Susanti/Bayu Seto, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan bekerjasama dengan Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.vii-viii.
(3)
kita kembali kepada jiwa kita sendiri.”
4)Kembali kepada jiwa
kita sendiri, bermakna kembali kepada kepribadian sendiri
yakni Pancasila.
5)Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilainilai
Pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental
bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima
sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang
fundamental. Nilainilai dasar dari Pancasila tersebut adalah
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
4 ) Konsepsi Baru presiden 1957; Penerbit Dep. Penerangan, hal. 7/10. Dalam Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Editor : Achmad Suhardi Kartohadiprodjo dkk, GATRA Pustaka, tanpa kota, 2010, hlm.68.
5 ) Kepribadian adalah ekspresi jiwa manusia. Dengan sebutan “ekspresi” itu, maka jelaslah, bahwa “kepribadian” ini ialah apa yang dinyatakan oleh manusia dari jiwanya dan dengan jalan begitu dapat diketahui dan dirasakan oleh manusia lainnya, yang berdasarkan pernyataan tadi dapat mengatakan: “kepribadian si anu adalah demikian”. Pernyataan jiwa yang merupakan kepribadian ini dapat diselami melalui tingkah laku manusia, apa yang disusunnya, baik dengan kata-kata – tertulis, dengan lisan – maupun dalam pembentukan-pembentukannya, dan lain-lain. Mengenai suatu bangsa ialah melalui kebudayaannya. Dengan kata-kata, bahwa kita sekarang harus kembali ke “kepribadian Indonesia”, maka sesungguhnya ini merupakan suatu pengakuan, bahwa kepribadian bangsa Indonesia itu sekarang masih dalam keadaan kabur. Sungguh bukan suatu kerendahan; sebaliknya suatu keluhuran, kalau suatu bangsa mengetahui dan berani mengakui cacat-cacatnya. Dengan demikian, maka dalam menuju ke suatu kehidupan dengan pedoman “kembali ke pribadian Indonesia” itu kita perlu menelaah kepribadian bangsa Indonesia pada masa yang lampau. Kepribadian pada masa lampau ini, berdasarkan pada apa yang dikemukakan tadi, dapat dicari melalui kebudayaan bangsa kita. Mengenai manusia Indonesia dalam hubungannya dengan manusia lainnya maka hukum adat kitalah merupakan bahan yang sangat penting. Karena dalam hukum adatlah terdapat pernyataan bangsa kita tentang hubungannya antara individu dan individu; tentang adil dan tidak adil; pokoknya tentang tempat individu dalam pergaulan hidupnya. Kembali ke kepribadian bangsa Indonesia adalah merupakan inti dan menjadi tolak pangkalnya; sedang “idee” lainnya – Sosialisme a la Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Konsepsi Baru – kalau penglihatan pembicara tidak terlalu meleset, adalah memang sesuai dengan Kepribadian Indonesia, yang tampak dalam Hukum Adat kita itu. Berhubungan dengan itu dan mengingat alam pikiran yang merupakan latar belakang dari Hukum Adat itu jauh berlainan daripada alam pikiran yang terdapat pada apa yang kita namakan dan terkenal dengan “demokrasi Barat” dengan sosialismenya, maka tidakkah lebih sempurna kalau kita meninggalkan istilah demokrasi dan sosialisme itu, dan menamakan usaha dan cita-cita kita itu “Negara Pancasila” dan “masyarakat Pancasila” masing-masing untuk mengganti “demokrasi terpimpin” dan “sosialisme a la Indonesia?”.
Lihat … Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Editor : Achmad Suhardi Kartohadiprodjo dkk, GATRA Pustaka, tanpa kota, 2010, hlm.105-108.
(4)
permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dengan pernyataan secara singkat
bahwa nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai
keadilan.
6)Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas,
mendominasi berbagai aktivitas bisnis (barang/jasa) manusia
dewasa ini. Kegiatan bisnis dilakukan manusia di desakota
dunia, anakdewasa, miskinkaya, pendidikan rendahtinggi,
formalinformal, yang kesemuanya bertujuan untuk mencari
keuntungan yang tidak ada lain diperoleh dari hasil penjualan
barang/jasa kepada konsumen. Di dalam transaksi jualbeli
barang dan jasa setidaktidaknya terdapat dua pihak yang
saling berhubungan, yaitu : pertama, pihak penyedia barang
6 ) Upaya lain dalam mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai Pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber pada Pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya adalah mengatur tentang Etika Ekonomi dan Bisnis. Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.
Sumber : http://uzey.blogspot.com/2009/09/pancasila-sebagai-sumber-nilai.html .
Lihat...Pancasila sebagai Sumber Nilai. Tautan :
http://www.gudangmateri.com/2010/10/pancasila-sebagai-sumber-nilai.html Redaktur Achmad Zulfikar Sunday, October 24, 2010 GudangMateri.com Diunduh tanggal 20 November 2010 jam 19.25 WIB.
(5)
atau penyelenggara jasa, kedua, pihak pemakai/pengguna
barang atau jasa itu.
Dalam literatur ekonomi, kelompok pertama disebut
sebagai pengusaha atau pelaku usaha
7), sedang kelompok
kedua disebut sebagai konsumen
8), dan disadari atau tidak,
setiap manusia adalah konsumen.
9)Semua pelaku usaha adalah
konsumen, sebaliknya tidak semua konsumen adalah pelaku
7 ) Istilah produsen secara umum adalah penghasil (yang menghasilkan barang-barang). Lihat Tim Peneliti BPHN dibawah pimpinan Ibrahim Idham, Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Terhadap Konsumen Atas Kelalaian Produsen. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1992, hlm 3.
Pada pihak penyedia barang atau penyelenggara jasa terdapat :
(a) Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor) (b) Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen)
(c) Penyalur barang atau jasa (distributor)
Dalam literatur ekonomi, kelompok ini disebut sebagai pengusaha. Lihat...Az. Nasution,
Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm 17- 19.
8 ) Pasal 1 angka 2 UU RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyebutkan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Penjelasan : Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Jadi menurut Bayu Seto Hardjowahono, pengertian konsumen diartikan secara lebih sempit dibandingkan dengan pengertian “konsumen” dalam pengertian sehari-hari yang membedakannya ke dalam :
- Konsumen Umum atau pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk kebutuhan tertentu.
- Konsumen Antara atau pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial, atau yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
- Konsumen Akhir adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau rumah tangganya dengan tujuan tidak untuk memperdagangkan kembali. Dengan kata lain, konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk.
Dalam lingkup UUPK, konsumen hanya mencakup pengertian Konsumen Akhir. Jadi perlindungan hukum yang diatur di dalam UUPK adalah perlindungan atas hak-hak konsumen dalam hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen (business to consumer transaction) saja. Lihat…Bayu Seto Hardjowahono, Perlindungan Konsumen dan Transaksi/Kontrak Keagenan, Distributorship dan Waralaba, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008, hlm.8-9,1.
9 ) Penjelasan mengenai ini, baca : Edmond Cahn, Law in the Consumer Perpective, University of Pennsylvania Law Review, No. 112 (1963) : 1-27, dalam Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 148.
(6)
usaha, sehingga masalahmasalah yang dihadapi oleh konsumen
adalah menyangkut semua lapisan dan golongan masyarakat
yang perlu mendapat perhatian Dewan.
10)Sementara itu pembangunan nasional melalui
pertumbuhan dan perkembangan industri yang pesat, telah
mendorong makin meningkatnya produksi barang dan jasa
yang beredar di masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari berkembangnya ilmu dan teknologi yang digunakan dalam
mesin, peralatan kerja dan bahanbahan kimia dalam proses
produksi di berbagai tingkatan dan sektor kegiatan. Namun di
sisi lain, cukup banyak konsumen yang tingkat kesadaran
akan hakhaknya, pengetahuan terhadap teknologi, pendidikan
serta pendapatannya masih rendah, dan pada umumnya
konsumen, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
11),
10 ) Surat Pengusul DPR RI Nomor : 05/LEGNAS/KES.BANG/XI/98 tanggal 20 Nopember 1998, perihal : Penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Usul Inisiatif tentang Perlindungan Konsumen. Lihat...Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 2001, hlm.6.
Apabila dikatakan bahwa setiap manusia adalah konsumen (termasuk juga pelaku usaha, karena pelaku usaha yang memproduksi suatu produk/komuditas tertentu, ia pasti menjadi konsumen dari produk/komuditas yang diproduksi oleh pelaku usaha lain). Menurut B. Arief Sidharta, pada permulaan orang membuat atau memproduk sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sendiri (jadi, produsen adalah juga pengguna) atau untuk memenuhi permintaan orang lain pada barang atau produk yang dihasilkannya. (Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, FH Unpar, Februari 2008), maka konsumen itu adalah seluruh rakyat Indonesia, contoh semua orang adalah konsumen listrik, bahkan seseorang dapat menjadi konsumen dari beberapa produk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dewan : “…sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh konsumen adalah menyangkut semua lapisan dan golongan masyarakat yang perlu mendapat perhatian Dewan.”
11 ) Tidak ada seorang pun manusia yang bukan konsumen, mulai dari bayi yang masih dikandung, sampai manusia usia lanjut/kakek-nenek (manula), dari manusia jalanan (gelandangan dan pengemis/gepeng), hingga pejabat tinggi negara/presiden, termasuk pengusaha, semuanya adalah konsumen. Setiap orang bisa menjadi konsumen dari satu atau beberapa produk barang maupun jasa, seperti konsumen makanan, minuman, pakaian, perumahan (sandang, pangan, papan), transportasi, jasa listrik, telekomunikasi, pendidikan, kesehatan dan banyak lagi. Dan bahkan sejak terjadinya praktik transaksi barang/makanan, pada jaman purbakala sekalipun, konsumen sudah ada.
Namun demikian dalam kenyataannya, konsumen selalu lebih berada dalam posisi merugi, oleh karena itu di dunia muncul gerakan perlindungan konsumen, termasuk di Indonesia. Sudah sejak lama, aktivis perlindungan konsumen memperjuangkan agar di Indonesia terbentuk UUPK, dan pada 20 April 1999, pemerintah BJ Habibie, mengesahkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dengan kata lain, UU ini lahir karena adanya perjuangan
(7)
memiliki kultur “nrimo” (tidak mau ambil pusing), selain itu
tidak sedikit suatu peristiwa selalu menempatkan konsumen
sebagai korban ketidakadilan pihak pelaku usaha maupun
pemerintah.
12)Kondisi konsumen tersebut sejalan dengan yang
dikemukakan B. Arief Sidharta :
“Demikianlah,
dalam
kenyataan
kemasyarakatan, manusia sebagai konsumen
akhir, yakni sebagai pengguna akhir dari suatu
produk yang tidak menggunakan produk
tersebut untuk memproduksi suatu produk
lain, selalu menjadi sasaran dari kegiatan
pemasaran produkproduk industri, antara lain
dengan memanfaatkan periklanan dan berbagai
cara lain. Keadaan ini menyebabkan manusia
sebagai konsumen akhir ditempatkan dalam
posisi yang tidak menguntungkan dalam
hubungannya
dengan
pihak
yang
menyelenggarakan industri dan atau yang
menawarkan suatu produk kepadanya (pelaku
usaha). Posisi yang lebih lemah ini antara lain
disebabkan oleh kenyataan bahwa ia tidak
berada dalam posisi untuk dapat mengetahui
bagaimana berlangsungnya proses yang telah
menghasilkan produk tersebut.
13)kalangan aktifis perlindungan konsumen (selain adanya ‘political will‘ pemerintah ketika itu). Menurut Az. Nasution, secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada dalam posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya saing / daya tawar. Lihat...Az. Nasution, Konsumen Dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1995 hlm 65.
12 ) Seringkali konsumen mendapatkan produk yang dikonsumsinya menimbulkan kerugian bahkan mengakibatkan kematian. Kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah, sebagai contoh adalah naiknya harga kebutuhan pokok, naiknya tarif, bahan bakar minyak, atau konversi migas yang menimbulkan kecelakaan/kematian akibat meledaknya kompor tabung gas 3 kg.
13 ) Selanjutnya menurut B.Arief Sidharta, hubungan yang tidak seimbang tersebut membuka peluang bagi pelaku usaha, yang didorong oleh semangat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, untuk menyalahgunakan posisinya yang lebih unggul dalam hubungannya dengan konsumen akhir. Penyalahgunaan tersebut hampir selalu membawa kerugian bagi pihak konsumen akhir, yang sering kali juga tidak menyadari bahwa ia telah dirugikan. Dan ketika ia menyadari, sering kali secara yuridis ia berada dalam posisi yang lebih lemah, misalnya karena berlakunya asas kebebasan berkontrak dan terkait padanya berlakunya secara implisit adagium atau asas caveat emptor
(pembeli hendaknya waspada). Untuk memulihkan keimbangan dalam hubungan antara manusia sebagai konsumen akhir dan pelaku usaha, demi keadilan, maka di berbagai negara timbullah undang-undang untuk memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah dalam hubungan
(8)
Kerugian yang diderita konsumen selama ini, cenderung
dianggap biasa/wajar baik oleh pelaku usaha, pemerintah
maupun oleh konsumen sendiri. Bahkan konsumen
menganggap kerugian atau penderitaan akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa dianggap sebagai musibah/nasib yang
sudah seharusnya terjadi (tidak bisa ditawar). Konsumen
barang dan/atau jasa tidak hanya dihadapkan pada persoalan
ketidaktahuan akan manfaat atau guna barang dan/atau jasa
yang ditawarkan/disediakan pelaku usaha, akan tetapi
masalah daya beli yang terbatas dari sebagian besar
masyarakat konsumen Indonesia mengakibatkan belum
tercapainya kemampuan untuk membeli barangbarang yang
benarbenar memenuhi persyaratan mutu.
14)Sedangkan
terbatasnya kemampuan mereka tersebut seringkali
tersebut, yakni pihak konsumen. Demikianlah di Indonesia lahir Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan mulai berlaku, yakni mengikat semua pihak, pada tanggal 20 April 2000. Lihat…B.Arief Sidharta, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Dokter, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008, hlm.11.
Menurut Bayu Seto Hardjowahono, transaksi-transaksi yang diadakan di antara para pelaku usaha hampir selalu dituangkan di dalam kontrak-kontrak bisnis seperti, transaksi-transaksi keagenan,
distributorship atau franchise pada dasarnya merupakan transaksi yang diadakan di antara para pelaku usaha (business to business to transactions). Kesepakatan-kesepakatan bisnis yang diadakan di antara mereka umumnya tertuang di dalam kontrak-kontrak semacam itu, dan dampak dari berlakunya kontrak-kontrak itulah yang pada gilirannya dapat membawa dampak terhadap pelayanan pihak-pihak itu terhadap konsumen di dalam masyarakat. Atau, aspek-aspek dari transaksi antar pelaku usaha ini yang secara langsung atau tidak langsung berdampak tertentu pada konsumen atau pengguna akhir dari barang dan jasa yang menjadi obyek transaksi-transaksi semacam itu. Penulis (Bayu Seto H-pen) tidak berpretensi bahwa transaksi-transaksi antar pelaku usaha di luar ketiga jenis transaksi itu tidak berpotensi untuk membawa dampak terhadap konsumen akhir. Jenis transaksi di atas dipilih karena tujuan akhir yang hendak dicapai oleh transaksi-transaksi ini seringkali sama, yaitu menyediakan produk barang dan atau jasa bagi konsumen akhir di masyarakat yang akan memanfaatkannya untuk kepentingan personal. Lihat juga… Bayu Seto Hardjowahono, Perlindungan Konsumen dan Transaksi/Kontrak Keagenan, Distributorship dan Waralaba, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008, hlm.1-2, 9.
14 ) Sebagian pelaku usaha beranggapan bahwa produk yang berkualitas berarti akan meningkatkan biaya produksi, sehingga produk yang berkualitas rendah itulah yang murah biaya produksinya. Demikian pun anggapan sebagian konsumen, bahwa yang penting produk murah, meskipun kualitasnya rendah. Hal ini dapat dilihat dari sebagian masyarakat berburu produk-produk diskon, obral, cuci gudang, atau produk impor yang murah.
(9)
dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menentukan
harga/tarif barang dan/atau jasa tanpa memperhatikan
kepentingan konsumen.
Selain itu, kenyataan dalam praktik bisnis di negara
kita masih banyak konsumen yang tidak bebas memilih barang
dan/atau jasa yang diperlukan. Hal ini diakibatkan karena
upaya pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung, mendorong/menggiring konsumen untuk hanya
memilih barang/produk yang dihasilkannya, seperti melalui
iklan atau promosi. Di samping itu, pengaturan tentang
perdagangan global melalui WTO (World Trade
Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) dirasakan adanya
diskriminasi dan ketidakadilan.
15)Membanjirnya produkproduk yang dihasilkan pelaku
usaha baik dalam dan luar negeri yang beredar di Indonesia
16),
15 ) Artidjo Alkostar menyebutkan, secara tegas Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Amanat para pendiri Republik yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 mengandung pesan yang sangat dalam maknanya. Bagaimana supaya rakyat Indonesia dapat melaksanakan kehidupan yang bebas sebagai suatu bangsa yang merdeka – hal itu menuntut adanya prasyarat-prasyarat tertentu. Baik yang menyangkut perangkat hukum dan perundang-undangan, maupun sistem hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai aspek kehidupannya. Kata Pengantar pada Identitas Hukum Nasional, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1997, hlm.v.
Menurut Sri-Edi Swasono, itulah sebabnya sejak awal Sritua Arief mengecam ketika Menteri Perdagangan RI dengan mudahnya menandatangani kesepakatan Uruguay Round (multilateral trade agreement) dalam rangka pasar-bebasnya GATT, yang menomorduakan kepentingan negara-negara berkembang. GATT diberi julukan the rich men’s club. Desakan yang dikemukakan dalam
The Haberler Report yang diperkuat ekonom-ekonom terkemuka yaitu Gottfried Haberler, James Meade, Jan Tinbergen dan Roberto Campos untuk menjaga kepentingan ekspor negara-negara berkembang, tidak digubris negara-negara maju (Arief 1998) dan keangkuhan GATT ini diwarisi WTO. Dari GATT dan WTO inilah berkecamuk liberalisme (dan neoliberalisme) di Indonesia. Ini yang menyeramkan dan mengagetkan. Pada 29 November 2004 di Laos ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) ditandatangani, pihak Cina oleh Menteri Bo Xi-lai dan Indonesia oleh Menteri Mari Elka Pangestu. “Terperangkaplah” Indonesia oleh kekuatan ekonomi global, khususnya oleh China. Lihat...Sri-Edi Swasono, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Nasional, Naskah Orasi Ilmiah, Kumpulan Naskah, 2010, hlm.18.
16 ) Menurut Sri-Edi Swasono, barang-barang dari luar negeri, terutama dari China secara luar biasa telah membanjiri Indonesia. Saat ini 17 persen impor nonmigas Indonesia datang dari China, sedang hanya 8,5 persen ekspor nonmigas Indonesia masuk ke China. Defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China ini bukanlah sekadar ketimpangan hubungan dagang, tetapi proses
(10)
di satu sisi memberikan kemudahan bagi konsumen untuk
memilih produksi barang dan jasa sesuai dengan
kebutuhannya, tetapi di lain pihak kondisi tersebut
mengandung potensi pelaku usaha dalam memproduksi barang
atau jasa tidak memperhatikan kesehatan, keselamatan, dan
keamanan konsumen, bahkan tidak jarang pelaku usaha
melakukan kejahatan
17)terhadap konsumen, sematamata
karena keuntungan yang menjadi tujuan utamanya.
18)Kondisi
tergusurnya industri Indonesia oleh industri China. Deindustrialisasi mulai meluas. Sektor-sektor industri permesinan, perkebunan/pertanian, makanan dan minuman, plastik, tekstil dan produk tekstil, elektronik, besi baja, restoran, perdagangan retail mulai tergoyahkan dan kita boleh mencemasinya. Diperkirakan untuk masa mendatang arus predatorik ini akan makin besar dan membahayakan. Kasus ini hanya salah satu dari banyak hal dimana pemerintah terdikte oleh ide pasar-bebas dan persaingan-bebas. Lihat... Sri-Edi Swasono, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Nasional, Naskah Orasi Ilmiah, Kumpulan Naskah, 2010, hlm.14, 17. 17 ) Kaitannya dengan praktik usaha jahat yang dilakukan pelaku usaha dalam memproduksi barang
atau jasa terutama melalui kejahatan korporasi, M. Arief Amrullah menyebutkan “Perkembangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakatnya. Semula, hanya kejahatan konvensional yang dianggap sebagai kejahatan yang sesungguhnya, namun dalam perkembangannya seiring dengan pertumbuhan korporasi yang semakin pesat dalam bidang kegiatan ekonomi, termasuk kejahatan ekonomi di bidang perbankan, muncul yang disebut dengan kejahatan korporasi.” Lihat M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 1.
18 ) Consumerism adalah istilah yang sering ditafsirkan salah oleh beberapa orang sebagai konsumsi secara berlebih-lebihan. Arti consumerism adalah gerakan masyarakat untuk melindungi konsumen dari praktek sewenang-wenang para produsen. Contoh consumerism di Indonesia adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang memperjuangkan hak-hak konsumen, Majelis Ulama Indonesia yang membantu konsumen mendapatkan makanan halal, dan lain-lain. Dasar pemikirannya sederhana. Umumnya konsumen tidak memiliki informasi yang cukup mendalam tentang produk yang dibelinya. Sebaliknya produsen mengetahui lebih detil produk yang mereka buat dan jual. Artinya konsumen adalah si “lemah” dan produsen adalah si “kuat”. Akibatnya, tidak jarang ada produsen yang tergoda untuk memanipulasi keunggulan informasi yang dimilikinya demi laba yang akan didapatnya. Hal demikian juga oleh BUMN, misalnya memungut biaya administrasi yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dan oleh PT Telkom atau oleh bank dengan menentukan biaya provisi dll dalam pinjaman kredit, atau rumah sakit yang mengenakan biaya-biaya pengobatan. Selain itu menggunakan debt collector yang kurang memperhatikan etika dalam menjalankan penagihan. Mereka menggunakan bahan yang kualitasnya lebih rendah, mengurangi spesifikasi produk dan sebagainya, termasuk menggunakan bahan pengganti yang tidak baik bagi konsumennya demi uang. Risikonya? Konsumen yang harus menanggung. Risiko tanggung konsumen. Pembenarannya: Salahnya sendiri konsumen beli barang kok tidak hati-hati. Periksa dong sebelum membeli. Kampanye yang digembargemborkan adalah “Let the consumer beware”. Karena alasan itulah consumerism muncul. Nama lainnya yang sekarang sering muncul adalah
consumer movement. Memang, konsumen harus ada yang melindungi. Harus ada badan atau lembaga yang memberikan informasi kepada konsumen apa yang mereka harus lakukan bila dirugikan oleh produsen. Kampanye yang sekarang seharusnya mulai dilakukan pemerintah adalah “Let the producer beware”. Lembaga-lembaga pembela konsumen di Indonesia rupanya
(11)
inilah mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi
yang lemah.
19)Pengaturan dalam memberikan perlindungan
keamanan, keselamatan atau kesehatan kepada konsumen,
sudah cukup lama dikenal baik di Indonesia maupun di luar
harus berteriak lebih lantang lagi. Harus ada insentif bagi perusahaan yang menjual goods dan harus ada pinalti bagi mereka yang menjual bads.(Djarot Suseno, Perlindungan Konsumen di Indonesia. Mau kemana ?, e-mail: [email protected], 31 Agustus 2006 (09:08), Staf Pengajar Lembaga Manajemen PPM, (artikel ini pernah dimuat di majalah Eksekutif edisi Maret 2006) 19 ) Bila dicermati faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya masih rendah. Para konsumen merupakan golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha, karena itu diperlukan seperangkat aturan hukum untuk melindungi konsumen. (http://www.ikht.net/artikel_lengkap.php?id=17)
Beragam faktor penting sebagai penyebab lemahnya konsumen. Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BHPN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah : 1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya;
2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana hak-haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya;
3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya;
4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan; 5. Posisi konsumen yang lemah.
Lihat... N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm 42.
Selain itu, menurut Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), setidaknya ada beberapa indikator yang menggambarkan betapa memprihatinkannya kondisi perlindungan konsumen di Indonesia, diantaranya :
1. Masih sulitnya masyarakat mendapatkan kebutuhan dasar mereka di bidang kesehatan dan pendidikan, serta fasilitas publik seperti air, BBM, listrik dan telepon.
2. Tidak jelasnya sejumlah kasus-kasus pelanggaran konsumen yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan perusahaan go public.
Di luar lemahnya penegakkan hukum, baik BPKN maupun YLKI, berpendapat ada empat faktor yang menyebabkan kondisi perlindungan konsumen di Indonesia begitu memprihatinkan, diantaranya :
1. Masih adanya hubungan asimetris antara produsen dengan konsumen.
2. Konsumen secara umum tidak memiliki posisi tawar yang cukup terhadap pelaku usaha.
3. Pemerintah secara umum cenderung berpihak kepada pelaku usaha.
4. Tidak adanya rasa kepedulian yang cukup dari institusi penegak hukum yang ada, baik itu kejaksaan, pengadilan maupun kepolisian.
Lihat...Lokakarya Internasional, Advokasi Kebijakan Perlindungan Konsumen Di Indonesia : Belajar Dari Negara-Negara Tetangga, 19 Desember 2005.
(12)
negeri.
20)Saat ini banyak negara yang menganggap modern telah
memiliki undangundang perlindungan konsumen.
21)Bahkan hakekat tentang perlindungan konsumen, telah
lama diatur dalam Kitab Suci Agama. Agamaagama besar
dunia telah memberikan perhatiannya terhadap kepentingan
konsumen, seperti dalam agama Islam konsumen diatur dalam
beberapa ayat AlQuran dan Hadis, dalam agama Kristen,
20 ) Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan yang khusus memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk menyediakan sarana peradilannya. Perlindungan konsumen di negara-negara Eropa, sebagai suatu kawasan regional yang meliputi 25 negara, telah sejak lama ada dan jauh lebih kuat dibandingkan dengan di negara-negara berkembang pada umumnya. Perlindungan konsumen di Eropa merupakan hal yang penting. Sejak terjadinya krisis BSE (bovine-spongiform-enchepalophaty) atau lebih populer dikenal sebagai kasus sapi gila (mad cow) dan skandal lainnya yang menyangkut bahan pangan, dan juga kasus Thalidomide (Kasus Thalidomide, yaitu kasus obat yang digunakan pada masa kehamilan yang menyebabkan cacat lahir. Disinyalir terdapat sekitar 8.000 (delapan ribu) bayi yang memiliki cacat lahir tersebar di lebih 30 (tiga puluh) negara, 450 (empat ratus lima puluh) bayi di antaranya terdapat di Inggris), soal perlindungan konsumen di UE menjadi masalah utama publik. Oleh karena para warga membutuhkan penerangan dan perlindungan terhadap bahan yang berbahaya, maka UE menetapkan ketentuan dan standar baru dan lebih ketat di bidang perlindungan konsumen, yang harus diimplementasikan oleh semua negara anggota.
Secara khusus Uni Eropa membentuk satu direktorat jenderal yang menangani isu konsumen. Lembaga ini disebut Direktorat Jenderal Kesehatan dan Perlindungan Konsumen, yang pada tanggal 20 Juli 2004 menerbitkan suatu dokumen yang antara lain berisi tentang pertunjuk sistem perlindungan konsumen yaitu adanya “sepuluh prinsip dasar perlindungan konsumen” di Uni Eropa. Sebuah organisasi konsumen yang disebut Consumentenbond yaitu organisasi non-profit yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran konsumen. Organisasi ini merupakan organisasi konsumen terbesar di Eropa. Sebagai upaya perlindungan konsumen, selain memiliki
Consumer Protection Act (CPA) 1987, di Inggris pemerintah membentuk sebuah direktorat yang berada di bawah tanggungjawab Departemen Perdagangan dan Industri, untuk menjalankan tugas-tugas perlindungan konsumen. Direktorat ini adalah Direktorat Kebijakan Konsumen dan Persaingan (The Consumer and Competition Policy Directorate atau CCP). Di Belanda, masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumen berada di bawah tanggung jawab Inspektorat Jenderal Perlindungan Kesehatan. Lihat ... Hukum Perlindungan Konsumen, penyunting Husni Syawali/Neni Sri Imaniyati, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 11 dan 85.
21 ) Negara-negara yang memiliki undang-undang perlindungan konsumen diantaranya : - India, The Consumer Protection Act, 1986 (yang diamandemen tahun 1993); - Korea Selatan, Consumer Protection Act, 1986;
- Thailand, Consumer Protection Act, 1979 dan pada April 1985 diamandemen;
- Singapura, The Consumer Protection (Trade Descrition and Safety Requirement) Act, 1975; - Jepang, The Consumer Protection Fundamental Act, 1968;
- Australia The Consumer Affair Act, 1978; - Irlandia The Consumer Information Act, 1978; - Finlandia The Consumer Protection Act, 1978;
- Canada The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection Amandement Act, 1971;
(13)
Hindu dan Budha pun demikian, khususnya pandangan
mengenai penggunaan alatalat Ukur, Takar, Timbang, dan
Perlengkapannya (UTTP).
22)Demikian pun di Indonesia, baik Pancasila sebagai
Falsafah Bangsa maupun UUD 1945 sebagai hukum dasar
(grundnorm), telah mengatur tentang perlindungan terhadap
konsumen. Diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa
“Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; dan
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa.”
Peraturan perundangundangan yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan keamanan, keselamatan atau
kesehatan kepada konsumen, saat ini dapat dijumpai terutama
dalam UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK)
23)yang telah diundangkan dalam Lembaran
- Inggris Consumer Protection Act (CPA) 1987, dan
- Amerika Serikat The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act (UTPCP)
1967, diamendir tahun 1969 dan 1970, kemudian Unfair Trade Practises and Consumer Protection (Lousiana) Law, 1973;
- Selain itu Filipina (1992); Vietnam (1999); Malaysia (1999).
Lihat … Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen & Instrumen-instrumen Hukumnya, Edisi Revisi Cetakan Ke-3, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.14-15.
22 ) Brosur mengenai alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP), Direktorat Metrologi Legal.
23 ) Dengan terbentuknya UU No. 8 Tahun 1999, maka Indonesia menganut pemikiran bahwa perlu undang-undang khusus, namun tetap diakui norma-norma hukum perlindungan konsumen pada undang-undang sektoral. Untuk mempertegas kerangka pemikiran ini, maka penjelasan UUPK menyatakan bahwa Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang. (Dalam penjelasan umum UUPK disebutkan ada 23 Undang-Undang sektoral yang sudah memuat norma perlindungan konsumen). Keberadaan UUPK sebagai UU Payung perlu dilihat dari perspektif ini. Artinya, tidak ada niat dari keberadan UUPK untuk mengesampingkan undang-undang sektoral yang sudah ada dan yang akan ada. Secara eksplisit disebutkan untuk memperkuat sistem hukum yang sudah ada. Dalam tataran praktis kita dapat mengatakan bahwa Undang-Undang Perbankan telah memuat ketentuan yang melindungi kepentingan nasabah, namun norma yang terdapat dalam UU Perbankan perlulah diperkuat dengan visi dan prinsip perlindungan konsumen. Posisi sebagai undang-undangan payung ini yang menjadi dasar bagi saya (Inosentius Samsul-pen) untuk mengatakan bahwa hubungan undang-undang sektoral dengan UUPK bukanlah hubungan lex specialis dan lex generalis.
(14)
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 tertanggal 20
April 1999 dan diberlakukan 20 April 2000, sampai tahun 2010
undangundang ini genap sepuluh tahun. Namun, pelanggaran
terhadap hakhak konsumen yang dilakukan oleh pelaku
ekonomi, baik swasta, koperasi maupun negara (Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah), setiap hari, setiap
jam, setiap menit, bahkan setiap detik, berpotensi terus terjadi,
karena tidak ada waktu yang kosong bagi manusia untuk
melakukan transaksi barang maupun jasa.
Selama ini, banyak kasus sengketa konsumen di
Indonesia yang merupakan pelanggaran terhadap Hukum
Perlindungan Konsumen
24), yang pada umumnya sebagai
pelanggaran terhadap hakhak konsumen sehingga mengundang
banyak perhatian dan bahkan menimbulkan kontroversi. Dari
sekian banyak masalah yang berkaitan dengan perlindungan
konsumen dapat dikemukakan masalah yang “permanen”, yang
timbul setiap tahun yakni kenaikan harga dan pelayanan
transportasi menjelang bulan ramadhan dan idul fitri, serta
pelayanan ibadah haji yang tidak surut dari berbagai
permasalahan yang timbul. Selain itu, belum adanya ketentuan
Melainkan hubungan yang bersifat saling melengkapi dan memperkuat (complementary).
Lihat ... Inosentius Samsul, materi seminar 10 Tahun UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, bertempat di Ruang Laboratorium Fakultas Hukum UNPAS, Jln, Lengkong Besar No. 68 Bandung, pada hari Senin, 20 April 2009.
24 ) Pasal 1 angka 1 UU RI Nomor 8 Tahun 1999 tentangPerlindungan Konsumen menyebutkan : “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Perlindungan konsumen saat ini telah menjadi disiplin ilmu hukum tersendiri yaitu hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen. Seperti yang disampaikan Mochtar Kusumaatmadja berdasarkan rumusan Hukum Internasional, maka Hukum Konsumen adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja, maka yang dimaksud dengan Hukum Perlindungan Konsumen adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang atau jasa konsumen. Lihat...M. Solly Lubis, op.cit, hlm. 209-210.
(15)
yang mewajibkan setiap makanan termasuk rumah makan
memberikan informasi tentang kehalalan, sehingga
perlindungan terhadap konsumen muslim yang dalam ajaran
agamanya dilarang memakan makanan haram, jelasjelas tidak
terlindungi.
25)Apabila kita gambarkan/petakan praktik pelaksanaan
perlindungan konsumen
26)di Indonesia saat ini, ada dua pihak
sebagai stakeholders yang mempengaruhinya. Pertama, yakni
pemerintah yang tidak secara langsung mempengaruhi
perlindungan konsumen dalam bentuk pembuatan berbagai
kebijakan yang dikeluarkan oleh departemen terkait, seperti
kebijakan pajak penghasilan yang dibebankan kepada
konsumen, maupun kebijakan pemerintah melalui BUMN
27)yang secara langsung mempengaruhi konsumen, seperti
kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) atau Tarif
25 ) Pengaturan dalam undang-undang mengenai jaminan halal ini tidak akan berbenturan dengan sistem perekonomian nasional menurut Pasal 33 UUD 1945. Sebaliknya pengaturan semacam ini akan memberikan dukungan konstitusional dan yuridis bagi terciptanya pertumbuhan usaha yang sehat dalam kehidupan perekonomian nasional, dan menciptakan persaingan yang sehat pula bagi perdagangan nasional, regional, maupun global.
26 ) Menurut Johannes Gunawan, sebagai upaya yuridik untuk memberikan perlindungan konsumen, yaitu : a. do nothing strategy (you can’t fight the city hall); b. miscellaneous; c.
legislation (legislative area); d. litigation; dan e. voluntary self regulation. Dari 5 (lima) macam strategi perlindungan konsumen di atas, maka strategi yang dapat dikualifikasi sebagai Perlindungan Hukum terhadap Konsumen adalah : a. legislation (legislative area); b. litigation; dan c. voluntary self regulation.
Perlindungan hukum terhadap konsumen melalui legislation (legislative area) dilakukan dengan jalan merancang dan menetapkan pelbagai peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum kepada konsumen secara litigation adalah mengajukan perkara yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen ke pengadilan. Sedangkan Voluntary self regulation adalah perancangan dan penetapan peraturan oleh pelaku usaha sendiri secara sukarela (voluntary) di dalam perusahaannya (baik barang maupun jasa), yang merupakan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen. (Johannes Gunawan, 1998; Materi Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum)
27 ) Pasal 1 angka 3 UUPK, menyebutkan : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” (Penjelasan : Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.).
(16)
Dasar Listrik (TDL). Kedua, di luar pemerintah/non pemerintah
(kebijakan DPR/legislatif, BPKN, BPSK, dan LPKSM).
28)Dari kebijakan pemerintah di atas, kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah melalui BUMN
29)ini dapat
berdampak luas terhadap munculnya praktikpraktik usaha
yang merugikan konsumen (effect snowball), yang dilakukan
oleh pelaku ekonomi lain seperti swasta dan koperasi,
28 ) Untuk mengetahui gambaran praktek pelaksanaan perlindungan konsumen, kita dapat melihat kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia seperti diuraikan di bawah ini.
Bentuk kebijakan pemerintah dalam mewujudkan Perlindungan Konsumen.
Regulasi : Undang-undang Perlindungan Konsumen (No. 8/1999)
Struktural : Direktorat Perlindungan Konsumen (Dirjen PDN Dept Perdag RI), dan Seksi Perlindungan Konsumen (di Disperindag Propinsi, Kabupaten dan Kota)
Di luar struktur : Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Masyarakat : Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
Posisi & Peran Departemen Perdagangan
• Selaku departemen teknis di bidang perdagangan.
• Melakukan koordinasi atas penyelenggaraan Perlindungan Konsumen (Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 30 UUPK)
- Terciptanya iklim usaha yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen - Berkembangnya LPKSM dan BPSK
- Meningkatnya kualitas SDM dan kegiatan pengembangan perlindungan konsumen - Pengawasan barang beredar dan jasa
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
Dit. Bina Usaha dan PP
Dit. Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (Pengawasan barang beredar & jasa; 6 Parameter (Standar, Label, Iklan, Cara menjual, Klausula baku, Layanan purna jual)
Dit. Bina Pasar & Distr.
Dit. Perlindungan Konsumen (Kebijakan PK, Pembinaan Konsumen dan Pelaku usaha, Kelembagaan PK)
Dit. Metrologi : Penanganan UTTP (PK dari sisi transaksi kuantitas barang)
Departemen/Instansi Teknis Terkait (Dep. Kesehatan, Dep. ESDM, Dep. Perhubungan, Dep. Kelautan dan Perikanan, Dep. Pertanian, Dep. Keuangan, dan lain-lain)
Institusi Terkait (BPKN, BPOM, MUI, BI, dan lain-lain)
Dinas Indag Propinsi/Kab/Kota Instansi terkait lain.
Dikutip dari bahan materi yang disampaikan oleh narasumber dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat pada Rakor Pembentukan Tim Pengawas Barang Beredar yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Bandung, 3 Desember 2009.
29 ) Perilaku BUMN menurut Inosentius Samsul, secara normatif, UUPK tidak membedakan Badan Usaha Milik Swasta dan BUMN. UUPK hanya memberikan perhatian pada usaha kecil dan menengah (lihat Penjelasan Umum UUPK). Oleh karena itu, apabila terdapat perilaku BUMN yang merugikan konsumen, hal itu lebih sebagai suatu tindakan yang dipengaruhi oleh sisa-sisa dari budaya kerja lama dari BUMN tersebut. Secara hukum, jelas bahwa BUMN dan Badan Usaha Swasta memiliki kedudukan yang sama, sehingga dapat digugat dan dimintakan
(17)
contohnya dengan naiknya TDL berimbas pada perilaku
menaikkan hargaharga yang dilakukan pelaku usaha lain.
30)Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa
menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan TDL
pada tahun ini.
31)Penyelesaian masalah perlindungan
konsumen, bahkan tidak jarang melibatkan peranan pemerintah,
seringkali berakhir tanpa penyelesaian secara tuntas meski telah
ada putusan dari Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung. Contoh
yang berkaitan dengan gugatan konsumen terhadap BUMN di
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam kasus listrik
atau air PDAM.
Kebijakan yang dibuat BUMN yang terakhir ini paling
menonjol, yang menimbulkan kerugian bagi konsumen sebagai
contoh bisa disebutkan adalah kebijakan konversi minyak
pertanggunjawaban berdasarkan UUPK. Lihat ... Inosentius Samsul, materi seminar 10 Tahun UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, bertempat di Ruang Laboratorium Fakultas Hukum UNPAS, Jln, Lengkong Besar No. 68 Bandung, pada hari Senin, 20 April 2009.
30 ) Rakyat atau konsumen listrik dalam berbagai persoalan sering berada pada posisi kena gencet kebijakan PLN. Dewasa ini wacana kenaikkan TDL, meski pelayanannya sering byar-pet. Pengamat Kelistrikan Tumiran, Minggu (2/5/2010), terang-terangan menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Alasannya, kenaikan TDL berimbas kepada beban perekonomian rakyat kecil sehingga harus dibatalkan. Sebaliknya, pemerintah dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencari alternatif melalui kajian matang guna meringankan biaya produksi. "Saat ini industri dalam negeri juga tengah menghadapi gempuran produk impor. Kini ada ancaman kenaikan TDL yang membuat mereka sulit bersaing," katanya. Kalau kalah bersaing, mereka pasti banting setir jadi pedagang. Jika itu terjadi menimbulkan masalah baru. "Banyak pekerja terpaksa kena PHK," tandasnya. Kenaikan TDL ini juga bakal berimbas buruk terhadap usaha kecil seperti konveksi pakaian, warnet, laundry sampai usaha ikan hias. "Jadi bukan industri yang gede saja, usaha kecil juga bisa gulung tikar," tandasnya. Rakyat Digencet Lewat TDL, 03 May 2010, Bangka Pos/Pos Kota, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib. 31 ) Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan
menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun ini. "Yang jelas TDL juga tidak akan naik. Kita akan konsentrasi memperbaiki kinerja PLN dan menyelesaikan masalah keuangan PLN jadi lebih kuat, dan memperkuat kehandalan suplai PLN biar tidak byar pet lagi," kata Hatta di Jakarta, Rabu. Hatta menjelaskan, pemerintah saat ini sedang menghitung peningkatan marjin usaha dari PLN dari 5-8% dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan PLN sehingga tidak terlalu menggantungkan diri pada APBN."Masih ada opsi opsi lain yang tersedia, yang target utamanya adalah kehandalan pasokan. PLN jangan sampai byar pet di seluruh Indonesia. Sedangkan opsi untuk mencapai itu banyak sekali misal menaikkan subsidi, mendorong PLN menerbitkan obligasi, melibatkan peran pemerintah daerah, peran swasta dan banyak lagi opsi lainnya," katanya. Lihat... Hatta Jamin Tarif Listrik 2010 Tidak Naik, 14 Jan 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.
(18)
tanah ke gas yang menimbulkan terjadinya peristiwa
meledaknya tabung gas secara beruntun. Terjadinya peristiwa
ini kebanyakan diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi atas
penggunaan kompor gas dan asesorisnya, sehingga masyarakat
yang semula menggunakan minyak tanah dalam memasak dan
beralih ke gas, banyak yang salah menggunakannya.
32)Upaya yang paling efektif untuk mencegah berulangnya
peristiwa kecelakaan meledaknya tabung gas, adalah dengan
melakukan penarikan tabung gas beserta asesorisnya yang
tidak ber SNI. Namun tampaknya pemerintah raguragu
melakukan penarikan ini. Penarikan produk adalah langkah
yang dilakukan perusahaan menarik satu batch (kelompok
produksi) atau seluruh produk, karena temuan yang bisa
mengancam keselamatan atau keamanan. Penarikan produk
dilakukan untuk menghindari timbulnya korban lebih banyak
dan kemungkinan tuntutan hukum akibat kelalaian atau
kecerobohan produsen. Penarikan produk adalah langkah
mahal karena perusahaan harus mengeluarkan biaya
penggantian produk tersebut atau mungkin membayar
kerugian lain akibat produk yang cacat. Namun, biaya mahal
penarikan produk tersebut sering dianggap lebih hemat jika
32 ) Tabung gas ukuran 3 kg mulai digunakan pada 2007 sebagai konversi minyak tanah untuk penghematan subsidi yang membebani APBN. Media menyebutkan, hingga Juni 2010 telah beredar 60 juta tabung gas 3 kg dan 7 juta tabung 12 kg. Sementara itu, hasil penelitian Badan Standardisasi Nasional (BSN) menunjukkan bahwa 66 persen tabung yang beredar di masyarakat tidak memenuhi standar. Jumlah kecelakaan dari 2008 hingga Juni 2010 ada 36 kasus ledakan. Banyaknya ledakan gas adalah indikator bahwa telah terjadi hal-hal yang sangat tidak biasa dalam pelayanan gas untuk konsumen. Tabung gas dan slangnya adalah produk yang disajikan kepada masyarakat untuk dinikmati dengan tenang, nyaman, dan bisa meringankan beban ekonomi masyarakat kelas bawah. Dengan misi melayani tersebut, kecelakaan seperti ledakan, apalagi memakan korban, sama sekali tidak bisa diberi toleransi. Lihat ... Halim Mahfudz, Kelambanan dalam Penanganan Tabung Gas, Edisi 15 Juli 2010, Koran Tempo, Copyright TEMPOinteraktif 2008, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib. Lihat juga...
Kasus Elpiji, 30 Lembaga Konsumen Ancam Pemerintah, Pikiran Rakyat, Selasa, 3 Agustus 2010. Bataviase.co.id. Diunduh tanggal 4 Agustus 2010 jam 23.05 WIB.
(19)
dibandingkan dengan kerugian brand yang cacat atau reputasi
perusahaan yang hancur.
33)Bahkan Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN) sebelum kenaikan TDL menyebutkan bahwa
konsumen listrik rumah tangga dibawah 450 volt ampere akan
digratiskan
.
34)Namun, akhirnya Direktur Utama PT PLN (Persero)
mencabut sendiri wacana pemberian listrik gratis bagi
pelanggan golongan masyarakat miskin (pengguna golongan
450 VA) yang pernah dilontarkannya.
35)Kebijakan kenaikan
33 ) Secara global, penarikan produk bisa terjadi setiap tahun. Pada 2010 ini sudah terjadi beberapa langkah penarikan produk, seperti penarikan jutaan mobil merek Toyota, terutama di AS, Cina, dan Eropa. Di AS, McDonald menarik dari peredaran cangkir Shrek Forever After karena dikhawatirkan bahan dalam cat pewarnanya bisa menjadi racun jika tersentuh tangan. Johnson & Johnson menarik 43 jenis obat anak-anak yang dijual tanpa resep dokter di setidaknya 12 negara hanya karena “mungkin tidak memenuhi syarat standar manufaktur”. Lihat … Halim Mahfudz,
Kelambanan dalam Penanganan Tabung Gas, Edisi 15 Juli 2010, Koran Tempo, Copyright TEMPOinteraktif 2008, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.
Kasus tabung gas di Indonesia tidak dengan jelas mengungkap apa sebenarnya yang terjadi. Masyarakat tidak memperoleh informasi jelas di mana persoalannya; tabung, slang, atau regulator. Cara media massa memberitakan kecelakaan juga tidak membantu memberikan pengertian yang benar. Persoalan menjadi lebih membingungkan karena pemerintah tidak tegas mengakui di mana letak kesalahan dan siapa yang akan bertanggung jawab. Birokrasi memang menjadi salah satu titik tanpa kejelasan tanggung jawab.
Produksi tabung gas diawasi oleh Kementerian Perindustrian, distribusi diawasi oleh Kementerian Perdagangan, sementara pengisian bahan gas dilakukan oleh Pertamina. Adapun slang diproduksi entah oleh siapa lagi. Dengan deretan panjang birokrasi ini, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan. Merujuk pada misi konversi minyak tanah ke gas untuk menurunkan beban subsidi yang memberatkan APBN dan meringankan beban masyarakat, 8 korban tewas dan puluhan luka-luka serta rumah-rumah yang hancur sudah lebih dari cukup bagi pemerintah untuk memperlakukan situasi ini sebagai sebuah krisis. Tak perlu diperlakukan sebagai bencana nasional, melainkan sebuah krisis yang membutuhkan penanganan cepat dan tepat. Lihat … Halim Mahfudz, Kelambanan dalam Penanganan Tabung Gas, Edisi 15 Juli 2010, Koran Tempo, Copyright TEMPOinteraktif 2008, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.
34 ) Ali Imron Hamid Wartawan, ”Pepesan" Kosong Bernama Listrik Gratis, Harian Ekonomi NERACA, 15 Jun 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.
35 ) Akhirnya Direktur Utama PT PLN (Persero) Dahlan Iskan mencabut sendiri wacana pemberian listrik gratis bagi pelanggan golongan masyarakat miskin (pengguna golongan 450 VA) yang pernah dilontarkannya. Itu dilakukannya setelah usulan revolusionernya itu ramai menuai protes dari DPR. Pemerintah pun menilai bahwa usulan itu sekadar wacana pribadi karena penetapan tarif listrik menjadi domain penuh Kementerian ESDM melalui konsultasi DPR. "Dengan wacana yang tidak diusulkan oleh Pak Menteri ESDM, itu sama saja saya sudah cabut wacana itu," ujar Dahlan di sela rapat kerja Komisi VII DPR bersama PLN dan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh, di DPR, Jakarta, Selasa (15/6).Dalam kesempatan itu, Darwin menilai bahwa
(20)
TDL juga dianggap sebagai kebijakan yang memberatkan
konsumen, karena kebijakan ini lahir pada waktu yang
“bersamaan” dengan terjadinya musibah beruntun meledaknya
tabung gas akibat kebijakan konversi dan menjelang bulan
ramadhan dimana kenaikan harga barangbarang pokok sudah
biasa naik.
Dari sekian banyak kebijakan BUMN yang
menimbulkan kebingungan dan kerugian terhadap konsumen,
kebanyakan menyangkut komoditas yang dikelola oleh BUMN
secara monopolistik
36), sehingga kerugian konsumen itu karena
disebabkan tidak ada pilihan lain.
penerapan wacana listrik gratis bagi pelanggan listrik 450 volt ampere (VA) sulit dilakukan. Pemerintah merasa masih banyak masyarakat Indonesia lainnya yang belum mendapatkan listrik. "Kita harus tahu bahwa rakyat termiskin kita itu bukan hanya pelanggan 450 VA. Ada yang lebih miskin lagi yang belum dapat listrik," ujar Darwin. Menurut Darwin, pembebasan pembayaran listrik bagi pelanggan berdaya 450 VA itu pun akan membatasi kemampuan pemerintah untuk memberikan listrik kepada masyarakat yang belum dapat listrik. Saat ini sebanyak 19 juta kepala keluarga di Indonesia belum bisa menikmati listrik.Karena itu, usulan listrik gratis dinilai menjadi sekadar wacana Dahlan Iskan selaku pribadi, bukan atas nama Direksi PLN."Jadi boleh saja punya usul, tapi penetapan tarif listrik itu tetap domain pemerintah. Dengan demikian kami simpulkan. Pak Dahlan sudah mencabutnya," ujar Darwin.
Wacana Listrik Gratis Dicabut, 16 Jun 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.
36 )PLN-Pertamina perlu antisipasi. Kenaikan yang terus dilakukan perusahaan monopoli dan menyentuh hajat hidup orang banyak, seperti PLN dan pertamina mengundang pertanyaan dari beberapa kalangan. Analis Universitas Nomensen, Parulian Simanjuntak, turut menyayangkan kebijakan pemerintah. Secara teori, menurutnya, sebagai perusahaan monopoli, seharusnya tidak mengalami kerugian, apalagi PLN dan pertamina tidak punya saingan. Seharusnya, lanjut Parulian, perlu antisipasi akan hal tersebut. Sebab, perusahaan monopoli di Indonesia ini menjadi semakin suka-suka menentukan harga. “Padahal, banyak negara yang mensubsidi BBM dan listrik ke masyarakatnya. Ini perlu diantisipasi. Karena kebutuhan terus naik, sementara pendapatan tetap begitu saja,” jelasnya, kepada Waspada Online, siang ini. Editor : Wahyu Hidayat (dat01/wol-mdn/dita) Monday, 12 July 2010 12:21 Monday, 12 July 2010 12:21 WASPADA ONLINE Warta - Medan Diunduh tanggal 23 Juli 2010 jam 21.43 wib.
(21)
37)
Sementara apabila kita kembalikan kepada amanat
Pancasila dan UUD 1945 bahwa pemerintah (BUMN) wajib
untuk mensejahterakan rakyat.
Di sisi lain, walaupun sudah ada lembagalembaga yang
bertugas melakukan pengawasan terhadap produk pelaku
usaha, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
38),
namun perhatian/kebijakan pemerintah terhadap konsumen/
37 ) Ramainya pemberitaan di media massa peristiwa ledakan tabung gas di beberapa daerah, temyata tidak menurunkan minat masyarakat Kota dan Kabupaten Sukabumi terhadap pembelian gas baik untuk tabung ukuran 12 kg maupun ukuran 3 kg. Wakil Ketua Hiswana Migas Sukabumi, Iwan Ardawi menjelaskan, hingga saat ini kebutuhan gas di ke dua wilayah Sukabumi tersebut, masih terbilang stabil! Pada kisaran 1 juta 100 kilogram per bulannya. Angka tersebut, adalah angka yang sama selama tiga bulan terakhir. Ledakan Gas Tidak Pengaruhi Minat Warga Terhadap Gas, 19 Jul 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.
38 ) Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan A. Dasar hukum
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1998 tentang Pengesahan International Convention on the Safety of Life at Sea 1974;
Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000, dirubah dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Perubahan Keputusan Presiden No.103/2001.
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor
264A/MENKES/SKB/VII/2003 – Nomor O2/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya.
Peraturan Menteri Perdagangan No.04/M-DAG/PER/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 56/M-DAG/PER/12/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan pengendalian Minuman Beralkohol.
(22)
perlindungan konsumen masih sangat kurang. Hal ini dapat
dilihat dari sikap/langkahlangkah pemerintah misalnya dalam
menangani masalah makanan yang mengandung zatzat
berbahaya seperti boraks, formalin, pemerintah selama ini
mengambil tindakan yang temporer dan parsial.
39)Sementara itu perbedaan prinsip antara konsumen
dengan pelaku usaha sangat jauh, di mana konsumen membeli
barang/jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya,
sedangkan pelaku usaha membuat barang/jasa dengan tujuan
untuk mencari keuntungan (tidak ada pelaku usaha dalam
usahanya yang mau rugi).
Selain itu masih cukup banyak ketentuan dalam UUPK
yang belum ada peraturan atau landasan hukum teknisnya,
seperti perjanjian kerjasama antara Menteri Perdagangan
dengan Kapolri tentang bantuan Polri dalam pelaksanaan
tugastugas BPSK dan tidak sedikit pelaku usaha yang
melanggar UUPK tidak dilakukan penindakan oleh pemerintah,
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan pengawasan Bahan berbahaya.
Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.21.1662 Tanggal 4 April 2008 tentang Penetapan Visi dan Misi Badan POM.
B. Tugas, Tanggung Jawab, Visi dan Misi
Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Mempunyai tugas : Melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugasnya, Badan POM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, khususnya dalam menyusun peraturan yang berkaitan dengan lembaga pemerintah lain dan pemecahan masalah dalam penerapan peraturan.
Visi : Obat dan makanan terjamin aman, bermanfaat dan bermutu.
Misi : Melindungi masyarakat dari obat dan makanaan yang berisiko terhadap kesehatan Dikutip dari bahan materi yang disampaikan oleh narasumber dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan pada Rakor Pembentukan Tim Pengawas Barang Beredar yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Bandung, 3 Desember 2009.
39 ) Kebijakan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi dinilai rawan gejolak sosial, apalagi jika mekanisme pembatasan diberlakukan hanya dengan menggunakan stiker sebagai pembeda antara mobil yang diperbolehkan menggunakan BBM subsidi dan bukan. Lihat…Pembatasan BBM Rawan Gejolak. Stiker Paling tidak Aman. PR, 25 April 2012.
(1)
Seperti diuraikan di atas, bahwa upaya perlindungan
konsumen tidak cukup hanya dibuatkan hukum positif (aspek
hukum dan peraturan perundangundangan), lebih dari itu
perlu dibangun politik hukum perlindungan konsumen yang
lebih tegas dan jelas, yang mencakup sistem hukum secara
keseluruhan.
102)Politik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada
pembuat undangundang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menetapkan undangundang dan juga kepada para
penyelenggara atas pelaksana putusan pengadilan.
103)Sedangkan Muladi mengatakan bahwa politik hukum (legal
policy) dalam arti kebijakan negara (public policy) di bidang
hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial yaitu
usaha setiap masyarakat/pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bisa
mengandung dua dimensi yang terkait satu sama lain, yaitu
102) Dalam hubungan itu, Lili Rasjidi membagi sistem hukum menjadi komponen-komponen
sebagai berikut : (1) Masyarakat hukum; (2) Budaya Hukum; (3) Filsafat Hukum; (4) Ilmu Hukum; (5) Konsep Hukum; (6) Pembentukan Hukum; (7) Bentuk Hukum; (8) Penerapan Hukum; (9) Evaluasi Hukum. Selanjutnya menurut Lili Rasjidi, tujuan utama dari pendekatan sistem adalah untuk menggambarkan karakter objek suatu cabang ilmu secara seutuhnya, untuk menghindari kerugian yang dapat timbul dari pengabaian terhadap karakter objek yang seharusnya diperhitungkan, hal terpenting bagi suatu proses sistem adalah keseimbangan potensi dan fungsi masing-masing komponennya. Kerusakan salah satu komponen dapat merusak keseimbangan global dan karenanya juga akan berpengaruh terhadap perwujudan tujuan sistem itu. Maka hakikat dari suatu pembangunan sistem adalah pembangunan terhadap komponen-komponennya. Lihat Lili Rasjidi/I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 135, 152-166.
103) M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 13 dalam
Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Penerbit PT RajaGrafindo, Jakarta, 2004, hlm. 50.
(2)
kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan
kebijakan perlindungan sosial (social defence policy)
104)Politik hukum yang dibahas Moh. Mahfud MD,
pengkajiannya dianggap sebagai alternatif yang tidak
konvensional dalam studi ilmu hukum.
105)Sedangkan dua ahli
Hukum Tata Negara dari Belanda, Burkens dan Belinfante,
misalnya, tercatat sebagai orangorang yang pandangannya
berbeda. (tentang letak politik hukumpen) Burken mengatakan
bahwa Hukum Tata Negara itu hanya mempelajari hukum
positif, sedangkan Belinfante berpendapat bahwa obyek Hukum
Tata Negara itu mencakup juga halhal yang di luar hukum
positif. Cakupan studi Hukum Tata Negara versi Belinfante
inilah yang memberi tempat bagi studi tentang Politk Hukum
sebagai bagian dari ilmu hukum, khususnya Hukum Tata
Negara.
106)104) Menurut Muladi, hukum dan politik hukum, (legal policy) padadasarnya merupakan produk
dari sistem politik. Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang berlaku. Uraian di atas menempatkan hukum sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable.
Dalam masa transisi dari suatu rezim otoriter menuju rezim demokratis terjadi pergeseran nilai yang mengakibatkan hukum mempunyai “fungsi ganda” (dual function). Artinya, proses politisasi hukum tetap terjadi oleh rezim baru yang reformis dan demokratis, di mana hukum digunakan untuk membongkar dan mempengaruhi agar tatanan sosial menjadi aspiratif dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum sebagai independent variable terhadap kehidupan sosial politik. Lihat Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Penerbit The Habibie Centre, Jakarta, 2002, hlm. 259-260.
105) Karena kajian tersebut memperhadapkan secara interplay antara politik dan hukum sebagai
subsistem kemasyarakatan. Menurut Mahfud, sampai pertengahan tahun 1990-an, pada umumnya studi hukum lebih ditekankan pada studi normatif, terutama hukum positif, sebagaimana terbukti bahwa sampai saat itu di berbagai Fakultas Hukum belum ada mata kuliah Politik Hukum. Mata kuliah Politik Hukum baru muncul sebagai mata kuliah wajib mula-mula untuk program pascasarjana S2 atau Program Magister Ilmu Hukum pada pertengahan tahun 1990-an melalui beberapa Keputusan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional.
Moh. Mahfud MD bergelut di dalam kegiatan akademik dan politik sekaligus. Sebagai akademisi di bidang hukum, ia aktif berdiskusi dengan mahasiswa juga dengan para guru besar di berbagai kampus. Sebagai politisi yang menjadi anggota DPR, ia juga ikut terlibat langsung dalam proses legislasi dan perdebatan-perdebatan politik dalam pembentukan dan penegakkan
hukum. Lihat Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Penerbit
Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 1 dan hlm xi.
(3)
Bagi Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau
arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk
mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa
pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam
arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan
negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang
bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem
itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya
Pancasila, yang melahirkan kaidahkaidah penuntun hukum.
Apabila menurut ilmu pengetahuan hukum, sekurang
kurangnya ada tiga landasan perundangundangan yaitu :
landasan filosofis; landasan sosiologis dan landasan yuridis,
107)demikian pun dalam politik hukum. Suatu Politik Hukum
dikatakan mempunyai landasan filosofis (filisofische grondslag)
apabila rumusannya atau normanormanya mendapatkan
pembenaran (rechtvaardiging) dikaji secara filosofis. Berarti
mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila dipikirkan
secara mendalam. Alasan tersebut sesuai dengan citacita dan
pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup
bermasyarakat. Sesuai dengan citacita kebenaran (idée der
waarheid) citacita keadilan (idée der gerechtigheid).
Suatu Politik Hukum dikatakan mempunyai landasan
sosiologis (sociologische grondslag) apabila ketentuan
ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran
hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundangundangan
yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi hurufhuruf
mati belaka. Landasan yuridis (rechtsgrond) atau disebut juga
107) Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara,
Jakarta, 1987, hlm. 91. Mengenai pembentukan perundang-undangan saat ini mengacu pada ketentuan undang Nomor 12 Tahun 2011 yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.
(4)
landasan hukum atau dasar hukum ataupun legalitas adalah
landasan atau dasar yang terdapat dalam ketentuanketentuan
hukum yang lebih tinggi derajatnya. Landasan yuridis ini dapat
pula dibedakan menjadi dua macam yaitu: Pertama, Landasan
yuridis yang beraspek formal yaitu ketentuanketentuan
hukum yang memberi kewenangan kepada badan
pembentuknya. Misalnya untuk badan pembentuk undang
undang adalah Pasal 20. Berbeda dengan ketentuan sebelum
diamandemen bahwa badan pembentuk undangundang
adalah tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 20
ayat (1) UUD 1945.
108)Kedua, landasan yuridis yang beraspek
materiil adalah ketentuanketentuan hukum tentang masalah
atau persoalan apa yang harus diatur.
109)108 ) Pembentukan undang-undang menurut ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Hasil Amandemen
memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat karena dalam hal ini apabila rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Lihat… Eli Ruslina, Dasar Perekonomian Indonesia : Telah Terjadi Penyimpangan Mandat Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 2010.
109 ) Menurut Koentjaraningrat kebutuhan hidup manusia itu banyak, di antaranya ada delapan
macam yaitu :
1. Domestic institutions.
Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, ialah yang sering disebut kinship atau domestic institutions. Contoh : pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan kanak-kanak, perceraian dan sebagainya.
2. Economic institutions.
Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencarian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta dan benda, ialah economic institutions. Contoh : pertanian, peternakan, pemburuan, feodalisme, industry, barter, koperasi, penjualan dan sebagainya.
3. Educational institutions.
Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, ialah educational institutions. Contoh : pengasuhan anak-anak, pendidikan rakyat, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pemberantasan buta huruf, pendidikan keagamaan, pers, perspustakaan umum dan sebagainya.
4. Scientific institutions.
Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta sekelilingnya, ialah scientific institutions. Contoh : metodik ilmiah, penelitian, pendidikan ilmiah dan sebagainya.
(5)
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dapat disebut
sebagai contoh tentang politik hukum, tetapi ia hanya bagian
dari ilmu politik hukum.
110)Sementara itu, ilmu atau studi
politik hukum bukan hanya menyangkut policy atau arah resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan melainkan
menyangkut juga berbagai hal yang terkait dengan arah resmi
itu, misalnya politik apa yang melatarbelakangi, budaya hukum
apa yang melingkupi, dan problema penegakkan macam apa
yang dihadapi, termasuk harmonisasi produk hukum pusat
dan daerah
111). Berbeda dengan politik hukum, ilmu politik
Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya, dan untuk rekreasi, ialah aesthetic and recreational institutions. Contoh : seni rupa, seni suara, seni gerak, seni drama, kesusasteraan, sport dan sebagainya.
6. Religious institutions.
Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, ialah religious institutions. Contoh : gereja, doa, kenduri, upacara, penyiaran agama, pantangan, ilmu gaib dan sebagainya.
7. Political institutions.
Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, ialah political institutions. Contoh : Pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian, ketentaraan, dan sebagainya.
8. Somatic institutions.
Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmaniah dari manusia, ialah somatic institutions. Contoh : pemeliharaan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, kedokteran dan sebagainya.
Lihat...Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta, 1987, hlm.16-17.
110 ) Apabila memperhatikan proses legislasi atau pembentukan undang-undang di dalam praktik
kenegaraan saat ini, telah menunjukkan semakin dominan kepentingan (seperti politik, ekonomi) terhadap pembentukan undang-undang. Dalam hal substansi undang-undang yang merugikan masyarakat, penolakan sudah dimulai ketika proses pembahasan RUU tengah berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat. Guna membangunkan pembentuk undang-undang dari suasana yang tidak aspiratif itu berbagai kelompok masyarakat seringkali berupaya mulai dari cara yang halus melalui prosedur hukum, sampai unjuk rasa yang radikal. Melakukan lobi, membangun opini dan menawarkan draf alternatif. Jika cara yang paling lunak itu tidak tercapai, penolakan dengan ancaman mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
111 ) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dan Manajer Hubungan Eksternal Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengemukakan bahwa koordinasi pusat-daerah, pemerintah pusat lemah, ketika dimintai komentar tentang upaya meningkatkan efektivitas hubungan pemerintah pusat dan daerah. Endi kepada SP di Jakarta, Kamis (12/8/2010), mengatakan, selama ini, pilihan cara pusat untuk mengikat komitmen dan ketaatan daerah, melalui instrumen fiskal. Misalnya, untuk pengawasan atas sebuah peraturan daerah (perda), dibuat ketentuan pemotongan dan penundaan dana alokasi umum (DAU). Menurut dia, penggunaan instrumen fiskal tidak selamanya bisa dipertahankan,
(6)
hukum itu membedah semua unsur dalam sistem hukum yang
unsurunsur utamanya oleh Friedman dikelompokkan menjadi
tiga unsur besar, yaitu materi hukum, struktur hukum, dan
budaya hukum.
112)Berdasarkan pendapat para pakar mengenai politik
hukum, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pendapat
pendapat tersebut terakumulasi dalam pendapat Soediman
Kartohadiprodjo, oleh karena itu yang akan dijadikan pisau
analisis dalam penelitian yang berjudul politik hukum
perlindungan konsumen di Indonesia ini adalah batasan politik
hukum yang dikemukakan oleh Soediman Kartohadiprodjo.
fte
dan lebih mencerminkan sikap sepihak pusat. Perlu dibangun mekanisme kelembagaan berbasis koordinasi, mulai dari level perencanaan kebijakan, pembiayaan, hingga implementasi. “Selama ini, koordinasi seperti ini sulit berjalan. Hal itu disebabkan lemahnya ketegasan politik dan kepemimpinan pusat (khususnya Presiden),” katanya. Koordinasi Pusat-Daerah Pemerintah Pusat Lemah.Sumber : Berita Depdagri, Friday, 13 August 2010 17:21:06. Diunduh tgl. 21 November 2010, jam 05.10 WIB.
Lemahnya koordinasi antara pusat daerah tersebut mengakibatkan kebijakan pusat mengenai perlindungan konsumen juga kurang harmonis, hal ini terlihat misalnya dengan tidak efektifnya fungsi pengawasan terhadap barang dan jasa di lapangan, serta masih sangat kurangnya peraturan daerah yang bernuansa perlindungan konsumen, termasuk mengenai persepsi yang berbeda mengenai implementasi perlindungan konsumen, kemudian belum berdirinya BPSK di setiap kebupaten dan kota se Indonesia, serta belum adanya BPKN di tingkat provinsi.