BAHAN UAS Perlindungan Konsumen

(1)

1.

Latar Belakang

Berdasarkan sejarah, bangsa Indonesia telah sejak lama

dikunjungi   pedagang­pedagang

1)

  dari   negara   lain   di   dunia,

karena   memiliki   daya   tarik   berupa   kekayaan   alam   yang

melimpah. Indonesia adalah Negara kaya raya, memiliki jumlah

penduduk   yang   banyak.  Masyarakat   Indonesia   yang   setiap

tahunnya   bertambah,   merupakan   pangsa   pasar   yang   sangat

potensial   dan   menjanjikan   bagi   para   pelaku   usaha   dalam

maupun luar negeri untuk menjalankan kegiatan usahanya.

2)

Terlebih   pada   era   globalisasi   saat   ini,   dimana   salah   satu

aspeknya   adalah   globalisasi   industri,   menjadikan   produksi

1 ) Menurut Bayu Seto Hardjowahono, aktivitas manusia yang disebut dengan “perdagangan” (commerce/trade), pada dasarnya berkisar di sekitar upaya manusia untuk melaksanakan pertukaran dan atau distribusi barang/jasa (exchange and/or distribution of goods/services). Dalam arti yang lebih sempit, orang mempersamakan istilah “perdagangan” dengan istilah bisnis (business), yang sebenarnya lebih terarah pada aktivitas pertukaran dan atau distribusi barang dan jasa yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku nya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan dengan nilai ekonomis tertentu. Lihat… Bayu Seto Hardjowahono, Perlindungan Konsumen Dan Transaksi/Kontrak Keagenan, Distributorship Dan Waralaba, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008.

2 ) Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang luas seluruh wilayahnya yaitu 5.176.800 Km2, yang terdiri dari luas lautannya 3.257.357 km2, dan luas daratannya yang merupakan hasil penjumlahan dari 13.000 buah pulau besar kecil yaitu  1.919.443 km2. Wilayah yang cukup luas tersebut dapat memberikan masa depan yang cerah dalam meningkatkan ekonomi seluruh penduduknya. Laju pertumbuhan penduduk negara Indonesia sangat tinggi, menurut Biro Pusat Statistik Jakarta sampai tahun 2000, penduduk Indonesia sudah mencapai 203,4 juta jiwa lebih. Dalam Rachmat Kusnadi, Geografi, Grafindo Pratama, Bandung, April 2001, hlm. 15.

Menurut Sensus Penduduk 2000, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 205.1 juta jiwa, menempatkan Indonesia sebagai negara ke-empat terbesar setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Sekitar 121 juta atau 60.1 persen di antaranya tinggal di pulau Jawa, pulau yang paling padat penduduknya dengan tingkat kepadatan 103 jiwa per kilometer per segi. Penduduk Indonesia tahun 2010 diperkirakan sekitar 234.2 juta. (Sensus Penduduk 2010) internet. Diunduh tanggal 25 Juli 2010 jam 10.50 WIB.


(2)

sebagai   alternatif   bagi   banyak   pelaku   usaha   untuk

menghasilkan   barang   dan   jasa   untuk   dikonsumsi   oleh

konsumen,   terutama   Indonesia   yang   memiliki   begitu  banyak

sumber   kekayaan   alam   sebagai   bahan   baku   dan   jumlah

penduduk yang cukup banyak, menjadikan tempat pemasaran

dan produksi berbagai produk yang ideal.

Kini   kita   tidak   sadar   akan   kenyataan   bahwa   telah

berlangsung penjajahan ekonomis pada tataran global. Dunia

Pertama   (negara­negara   maju)   secara   sistematik   dan   halus

memaksakan kehendaknya dan mengeksploitasi Dunia Ketiga.

Gejala inilah yang sejak setengah abad yang lalu telah menjadi

keprihatinan   utama   Soekarno,   Nasser,   Nehru,   dan   rekan­

rekannya di seantero Asia­Afrika, seperti yang dapat kita baca

dalam Deklarasi Bandung 1955.

3)

Kemudian  pada   tanggal   21   Pebruari   1957   Soekarno

melancarkan   “Konsepsi   Baru”,   dan   mengatakan   :  “Maka

akhirnya   saya   sampai   kepada   keyakinan   bahwa   kita   telah

memakai satu sistem yang salah, satu stijl pemerintahan yang

salah, yaitu stijl yang kita namakan demokrasi Barat. Dan oleh

karena   demokrasi   ini   adalah   demokrasi   impor,   bukan

demokrasi Indonesia, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa

kita   sendiri,   maka   kita   mengalami   segenap   ekses­ekses   dari

sekedar memakai barang impor.  Maka oleh karena itu : Mari

3 ) Kiranya kita perlu memperhatikan peringatan Marx dan Lenin akan bahaya kapitalisme khususnya bagi Dunia Ketiga. Soekarno dan teman-temannya menyadari hal tersebut, sementara kita dewasa ini tidak. Ada gejala inlander-sindrom di sini : semua yang berasal dari negeri Barat itu baik adanya, sambil kita tidak menyadari bahwa para elit kita diperalat, dan rakyat kita dieksploitasi. Gejala ini tampak sewaktu Soeharto sebagai Presiden mengundang para Kepala Negara ke Bogor guna menandatangani kesepakatan yang menyangkut perdagangan bebas. Sadarkah kita bahwa kita telah dengan sukarela mengikat leher kita dengan tali gantungan ? Lihat…Koerniatmanto Soetoprawiro, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Sambutan, Tim Editor Ida Susanti/Bayu Seto, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan bekerjasama dengan Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.vii-viii.


(3)

kita kembali kepada jiwa kita sendiri.”

4)

  Kembali kepada jiwa

kita   sendiri,   bermakna   kembali   kepada   kepribadian   sendiri

yakni Pancasila.

5)

Diterimanya  Pancasila   sebagai   dasar   negara   dan

ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai­nilai

Pancasila   dijadikan   landasan   pokok,   landasan   fundamental

bagi   penyelenggaraan  negara  Indonesia.   Pancasila   berisi   lima

sila   yang   pada   hakikatnya   berisi   lima   nilai   dasar   yang

fundamental.   Nilai­nilai   dasar   dari  Pancasila   tersebut   adalah

nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan Yang Adil

dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang

dipimpin

 

oleh

 

hikmat

 

kebijaksanaan

 

dalam

4 ) Konsepsi Baru presiden 1957; Penerbit Dep. Penerangan, hal. 7/10. Dalam Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Editor : Achmad Suhardi Kartohadiprodjo dkk, GATRA Pustaka, tanpa kota, 2010, hlm.68.

5 ) Kepribadian adalah ekspresi jiwa manusia. Dengan sebutan “ekspresi” itu, maka jelaslah, bahwa “kepribadian” ini ialah apa yang dinyatakan oleh manusia dari jiwanya dan dengan jalan begitu dapat diketahui dan dirasakan oleh manusia lainnya, yang berdasarkan pernyataan tadi dapat mengatakan: “kepribadian si anu adalah demikian”. Pernyataan jiwa yang merupakan kepribadian ini dapat diselami melalui tingkah laku manusia, apa yang disusunnya, baik dengan kata-kata – tertulis, dengan lisan – maupun dalam pembentukan-pembentukannya, dan lain-lain. Mengenai suatu bangsa ialah melalui kebudayaannya. Dengan kata-kata, bahwa kita sekarang harus kembali ke “kepribadian Indonesia”, maka sesungguhnya ini merupakan suatu pengakuan, bahwa kepribadian bangsa Indonesia itu sekarang masih dalam keadaan kabur. Sungguh bukan suatu kerendahan; sebaliknya suatu keluhuran, kalau suatu bangsa mengetahui dan berani mengakui cacat-cacatnya. Dengan demikian, maka dalam menuju ke suatu kehidupan dengan pedoman “kembali ke pribadian Indonesia” itu kita perlu menelaah kepribadian bangsa Indonesia pada masa yang lampau. Kepribadian pada masa lampau ini, berdasarkan pada apa yang dikemukakan tadi, dapat dicari melalui kebudayaan bangsa kita. Mengenai manusia Indonesia dalam hubungannya dengan manusia lainnya maka hukum adat kitalah merupakan bahan yang sangat penting. Karena dalam hukum adatlah terdapat pernyataan bangsa kita tentang hubungannya antara individu dan individu; tentang adil dan tidak adil; pokoknya tentang tempat individu dalam pergaulan hidupnya. Kembali ke kepribadian bangsa Indonesia adalah merupakan inti dan menjadi tolak pangkalnya; sedang “idee” lainnya – Sosialisme a la Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Konsepsi Baru – kalau penglihatan pembicara tidak terlalu meleset, adalah memang sesuai dengan Kepribadian Indonesia, yang tampak dalam Hukum Adat kita itu. Berhubungan dengan itu dan mengingat alam pikiran yang merupakan latar belakang dari Hukum Adat itu jauh berlainan daripada alam pikiran yang terdapat pada apa yang kita namakan dan terkenal dengan “demokrasi Barat” dengan sosialismenya, maka tidakkah lebih sempurna kalau kita meninggalkan istilah demokrasi dan sosialisme itu, dan menamakan usaha dan cita-cita kita itu “Negara Pancasila” dan “masyarakat Pancasila” masing-masing untuk mengganti “demokrasi terpimpin” dan “sosialisme a la Indonesia?”.

Lihat … Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Editor : Achmad Suhardi Kartohadiprodjo dkk, GATRA Pustaka, tanpa kota, 2010, hlm.105-108.


(4)

permusyawaratan/perwakilan,   dan   nilai   Keadilan  Sosial   bagi

seluruh   rakyat  Indonesia.   Dengan   pernyataan   secara   singkat

bahwa   nilai   dasar   Pancasila   adalah   nilai   ketuhanan,   nilai

kemanusiaan,   nilai   persatuan,   nilai   kerakyatan,   dan   nilai

keadilan.

6)

Globalisasi   ekonomi   dan   perdagangan   bebas,

mendominasi   berbagai  aktivitas   bisnis   (barang/jasa)  manusia

dewasa  ini.  Kegiatan  bisnis   dilakukan manusia  di  desa­kota­

dunia,   anak­dewasa,   miskin­kaya,   pendidikan   rendah­tinggi,

formal­informal,   yang   kesemuanya   bertujuan   untuk   mencari

keuntungan yang tidak ada lain diperoleh dari hasil penjualan

barang/jasa   kepada   konsumen.  Di   dalam   transaksi   jual­beli

barang   dan   jasa   setidak­tidaknya   terdapat   dua   pihak   yang

saling   berhubungan,   yaitu   :  pertama,  pihak   penyedia   barang

6 ) Upaya lain dalam mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai Pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber pada Pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya adalah mengatur tentang Etika Ekonomi dan Bisnis. Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.

Sumber : http://uzey.blogspot.com/2009/09/pancasila-sebagai-sumber-nilai.html .

Lihat...Pancasila sebagai Sumber Nilai. Tautan :

http://www.gudangmateri.com/2010/10/pancasila-sebagai-sumber-nilai.html Redaktur Achmad Zulfikar Sunday, October 24, 2010 GudangMateri.com Diunduh tanggal 20 November 2010 jam 19.25 WIB.


(5)

atau   penyelenggara   jasa,  kedua,  pihak   pemakai/pengguna

barang atau jasa itu. 

Dalam   literatur   ekonomi,   kelompok   pertama   disebut

sebagai  pengusaha  atau  pelaku   usaha

7)

,  sedang   kelompok

kedua   disebut   sebagai  konsumen

8)

,   dan   disadari   atau   tidak,

setiap manusia adalah konsumen.

9)

 Semua pelaku usaha adalah

konsumen,   sebaliknya   tidak   semua   konsumen   adalah   pelaku

7 ) Istilah produsen secara umum adalah penghasil (yang menghasilkan barang-barang). Lihat Tim Peneliti BPHN dibawah pimpinan Ibrahim Idham, Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Terhadap Konsumen Atas Kelalaian Produsen. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1992, hlm 3.

Pada pihak penyedia barang atau penyelenggara jasa terdapat :

(a) Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor) (b) Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen)

(c) Penyalur barang atau jasa (distributor)

Dalam literatur ekonomi, kelompok ini disebut sebagai pengusaha. Lihat...Az. Nasution,

Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm 17- 19.

8 ) Pasal 1 angka 2 UU RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyebutkan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Penjelasan : Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.

Jadi menurut Bayu Seto Hardjowahono, pengertian konsumen diartikan secara lebih sempit dibandingkan dengan pengertian “konsumen” dalam pengertian sehari-hari yang membedakannya ke dalam :

- Konsumen Umum atau pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk kebutuhan tertentu.

- Konsumen Antara atau pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial, atau yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

- Konsumen Akhir adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau rumah tangganya dengan tujuan tidak untuk memperdagangkan kembali. Dengan kata lain, konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk.

Dalam lingkup UUPK, konsumen hanya mencakup pengertian Konsumen Akhir. Jadi perlindungan hukum yang diatur di dalam UUPK adalah perlindungan atas hak-hak konsumen dalam hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen (business to consumer transaction) saja. Lihat…Bayu Seto Hardjowahono, Perlindungan Konsumen dan Transaksi/Kontrak Keagenan, Distributorship dan Waralaba, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008, hlm.8-9,1.

9 ) Penjelasan mengenai ini, baca : Edmond Cahn, Law in the Consumer Perpective, University of Pennsylvania Law Review, No. 112 (1963) : 1-27, dalam Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 148.


(6)

usaha, sehingga masalah­masalah yang dihadapi oleh konsumen

adalah   menyangkut   semua   lapisan   dan   golongan   masyarakat

yang perlu mendapat perhatian Dewan.

10)

Sementara   itu   pembangunan   nasional   melalui

pertumbuhan   dan   perkembangan   industri   yang   pesat,   telah

mendorong   makin   meningkatnya   produksi   barang   dan   jasa

yang beredar di masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi

dari berkembangnya ilmu dan teknologi yang digunakan dalam

mesin,  peralatan kerja dan bahan­bahan kimia dalam proses

produksi di berbagai tingkatan dan sektor kegiatan. Namun di

sisi   lain,   cukup   banyak   konsumen   yang   tingkat   kesadaran

akan hak­haknya, pengetahuan terhadap teknologi, pendidikan

serta   pendapatannya   masih   rendah,   dan   pada   umumnya

konsumen,   sebagai   bagian   dari   masyarakat   Indonesia

11)

,

10 ) Surat Pengusul DPR RI Nomor : 05/LEGNAS/KES.BANG/XI/98 tanggal 20 Nopember 1998, perihal : Penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Usul Inisiatif tentang Perlindungan Konsumen. Lihat...Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 2001, hlm.6.

Apabila dikatakan bahwa setiap manusia adalah konsumen (termasuk juga pelaku usaha, karena pelaku usaha yang memproduksi suatu produk/komuditas tertentu, ia pasti menjadi konsumen dari produk/komuditas yang diproduksi oleh pelaku usaha lain). Menurut B. Arief Sidharta, pada permulaan orang membuat atau memproduk sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sendiri (jadi, produsen adalah juga pengguna) atau untuk memenuhi permintaan orang lain pada barang atau produk yang dihasilkannya. (Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, FH Unpar, Februari 2008), maka konsumen itu adalah seluruh rakyat Indonesia, contoh semua orang adalah konsumen listrik, bahkan seseorang dapat menjadi konsumen dari beberapa produk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dewan : “…sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh konsumen adalah menyangkut semua lapisan dan golongan masyarakat yang perlu mendapat perhatian Dewan.”

11 ) Tidak ada seorang pun manusia yang bukan konsumen, mulai dari bayi yang masih dikandung, sampai manusia usia lanjut/kakek-nenek (manula), dari manusia jalanan (gelandangan dan pengemis/gepeng), hingga pejabat tinggi negara/presiden, termasuk pengusaha, semuanya adalah konsumen. Setiap orang bisa menjadi konsumen dari satu atau beberapa produk barang maupun jasa, seperti konsumen makanan, minuman, pakaian, perumahan (sandang, pangan, papan), transportasi, jasa listrik, telekomunikasi, pendidikan, kesehatan dan banyak lagi. Dan bahkan sejak terjadinya praktik transaksi barang/makanan, pada jaman purbakala sekalipun, konsumen sudah ada.

Namun demikian dalam kenyataannya, konsumen selalu lebih berada dalam posisi merugi, oleh karena itu di dunia muncul gerakan perlindungan konsumen, termasuk di Indonesia. Sudah sejak lama, aktivis perlindungan konsumen memperjuangkan agar di Indonesia terbentuk UUPK, dan pada 20 April 1999, pemerintah BJ Habibie, mengesahkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dengan kata lain, UU ini lahir karena adanya perjuangan


(7)

memiliki   kultur   “nrimo”   (tidak   mau   ambil   pusing),   selain   itu

tidak   sedikit   suatu   peristiwa   selalu   menempatkan   konsumen

sebagai   korban   ketidakadilan   pihak   pelaku   usaha   maupun

pemerintah.

 12)

Kondisi   konsumen   tersebut   sejalan   dengan   yang

dikemukakan B. Arief Sidharta :

“Demikianlah,

 

dalam

 

kenyataan

kemasyarakatan,   manusia   sebagai   konsumen

akhir, yakni sebagai pengguna akhir dari suatu

produk   yang   tidak   menggunakan   produk

tersebut   untuk   memproduksi   suatu   produk

lain,   selalu   menjadi   sasaran   dari   kegiatan

pemasaran produk­produk industri, antara lain

dengan memanfaatkan periklanan dan berbagai

cara   lain.   Keadaan   ini   menyebabkan   manusia

sebagai   konsumen   akhir   ditempatkan   dalam

posisi   yang   tidak   menguntungkan   dalam

hubungannya

 

dengan

 

pihak

 

yang

menyelenggarakan   industri   dan   atau   yang

menawarkan  suatu  produk   kepadanya   (pelaku

usaha). Posisi yang lebih lemah ini antara lain

disebabkan   oleh   kenyataan   bahwa   ia   tidak

berada   dalam   posisi   untuk   dapat   mengetahui

bagaimana   berlangsungnya   proses   yang   telah

menghasilkan produk tersebut.

13)

kalangan aktifis perlindungan konsumen (selain adanya ‘political will‘ pemerintah ketika itu). Menurut Az. Nasution, secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada dalam posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya saing / daya tawar. Lihat...Az. Nasution, Konsumen Dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1995 hlm 65.

12 ) Seringkali konsumen mendapatkan produk yang dikonsumsinya menimbulkan kerugian bahkan mengakibatkan kematian. Kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah, sebagai contoh adalah naiknya harga kebutuhan pokok, naiknya tarif, bahan bakar minyak, atau konversi migas yang menimbulkan kecelakaan/kematian akibat meledaknya kompor tabung gas 3 kg.

13 ) Selanjutnya menurut B.Arief Sidharta, hubungan yang tidak seimbang tersebut membuka peluang bagi pelaku usaha, yang didorong oleh semangat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, untuk menyalahgunakan posisinya yang lebih unggul dalam hubungannya dengan konsumen akhir. Penyalahgunaan tersebut hampir selalu membawa kerugian bagi pihak konsumen akhir, yang sering kali juga tidak menyadari bahwa ia telah dirugikan. Dan ketika ia menyadari, sering kali secara yuridis ia berada dalam posisi yang lebih lemah, misalnya karena berlakunya asas kebebasan berkontrak dan terkait padanya berlakunya secara implisit adagium atau asas caveat emptor

(pembeli hendaknya waspada). Untuk memulihkan keimbangan dalam hubungan antara manusia sebagai konsumen akhir dan pelaku usaha, demi keadilan, maka di berbagai negara timbullah undang-undang untuk memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah dalam hubungan


(8)

Kerugian yang diderita konsumen selama ini, cenderung

dianggap   biasa/wajar   baik   oleh   pelaku   usaha,   pemerintah

maupun   oleh   konsumen   sendiri.   Bahkan   konsumen

menganggap kerugian atau penderitaan akibat mengkonsumsi

barang   dan/atau   jasa   dianggap   sebagai   musibah/nasib   yang

sudah   seharusnya   terjadi   (tidak   bisa   ditawar).  Konsumen

barang dan/atau jasa tidak hanya dihadapkan pada persoalan

ketidaktahuan akan manfaat atau guna barang dan/atau jasa

yang   ditawarkan/disediakan   pelaku   usaha,   akan   tetapi

masalah   daya   beli   yang   terbatas   dari   sebagian   besar

masyarakat   konsumen  Indonesia  mengakibatkan   belum

tercapainya   kemampuan   untuk   membeli   barang­barang   yang

benar­benar   memenuhi   persyaratan   mutu.

14)

  Sedangkan

terbatasnya   kemampuan   mereka   tersebut   seringkali

tersebut, yakni pihak konsumen. Demikianlah di Indonesia lahir Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan mulai berlaku, yakni mengikat semua pihak, pada tanggal 20 April 2000. Lihat…B.Arief Sidharta, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Dokter, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008, hlm.11.

Menurut Bayu Seto Hardjowahono, transaksi-transaksi yang diadakan di antara para pelaku usaha hampir selalu dituangkan di dalam kontrak-kontrak bisnis seperti, transaksi-transaksi keagenan,

distributorship atau franchise pada dasarnya merupakan transaksi yang diadakan di antara para pelaku usaha (business to business to transactions). Kesepakatan-kesepakatan bisnis yang diadakan di antara mereka umumnya tertuang di dalam kontrak-kontrak semacam itu, dan dampak dari berlakunya kontrak-kontrak itulah yang pada gilirannya dapat membawa dampak terhadap pelayanan pihak-pihak itu terhadap konsumen di dalam masyarakat. Atau, aspek-aspek dari transaksi antar pelaku usaha ini yang secara langsung atau tidak langsung berdampak tertentu pada konsumen atau pengguna akhir dari barang dan jasa yang menjadi obyek transaksi-transaksi semacam itu. Penulis (Bayu Seto H-pen) tidak berpretensi bahwa transaksi-transaksi antar pelaku usaha di luar ketiga jenis transaksi itu tidak berpotensi untuk membawa dampak terhadap konsumen akhir. Jenis transaksi di atas dipilih karena tujuan akhir yang hendak dicapai oleh transaksi-transaksi ini seringkali sama, yaitu menyediakan produk barang dan atau jasa bagi konsumen akhir di masyarakat yang akan memanfaatkannya untuk kepentingan personal. Lihat juga… Bayu Seto Hardjowahono, Perlindungan Konsumen dan Transaksi/Kontrak Keagenan, Distributorship dan Waralaba, Materi Pelatihan Anggota BPSK Kota & Kabupaten Bandung, diselenggarakan atas kerjasama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 15, 16, 22, 23 & 29 Februari 2008, hlm.1-2, 9.

14 ) Sebagian pelaku usaha beranggapan bahwa produk yang berkualitas berarti akan meningkatkan biaya produksi, sehingga produk yang berkualitas rendah itulah yang murah biaya produksinya. Demikian pun anggapan sebagian konsumen, bahwa yang penting produk murah, meskipun kualitasnya rendah. Hal ini dapat dilihat dari sebagian masyarakat berburu produk-produk diskon, obral, cuci gudang, atau produk impor yang murah.


(9)

dimanfaatkan   oleh   pelaku   usaha   untuk   menentukan

harga/tarif   barang   dan/atau   jasa   tanpa   memperhatikan

kepentingan konsumen.

Selain   itu,   kenyataan   dalam   praktik   bisnis   di   negara

kita masih banyak konsumen yang tidak bebas memilih barang

dan/atau   jasa   yang   diperlukan.   Hal   ini   diakibatkan   karena

upaya   pelaku   usaha   baik   secara   langsung   maupun   tidak

langsung,   mendorong/menggiring   konsumen   untuk   hanya

memilih   barang/produk   yang   dihasilkannya,   seperti   melalui

iklan   atau   promosi.   Di   samping   itu,   pengaturan   tentang

perdagangan   global   melalui   WTO   (World   Trade

Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) dirasakan adanya

diskriminasi dan ketidakadilan.

15)

Membanjirnya   produk­produk   yang   dihasilkan   pelaku

usaha baik dalam dan luar negeri yang beredar di Indonesia

16)

,

15 ) Artidjo Alkostar menyebutkan, secara tegas Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Amanat para pendiri Republik yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 mengandung pesan yang sangat dalam maknanya. Bagaimana supaya rakyat Indonesia dapat melaksanakan kehidupan yang bebas sebagai suatu bangsa yang merdeka – hal itu menuntut adanya prasyarat-prasyarat tertentu. Baik yang menyangkut perangkat hukum dan perundang-undangan, maupun sistem hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai aspek kehidupannya. Kata Pengantar pada Identitas Hukum Nasional, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1997, hlm.v.

Menurut Sri-Edi Swasono, itulah sebabnya sejak awal Sritua Arief mengecam ketika Menteri Perdagangan RI dengan mudahnya menandatangani kesepakatan Uruguay Round (multilateral trade agreement) dalam rangka pasar-bebasnya GATT, yang menomorduakan kepentingan negara-negara berkembang. GATT diberi julukan the rich men’s club. Desakan yang dikemukakan dalam

The Haberler Report yang diperkuat ekonom-ekonom terkemuka yaitu Gottfried Haberler, James Meade, Jan Tinbergen dan Roberto Campos untuk menjaga kepentingan ekspor negara-negara berkembang, tidak digubris negara-negara maju (Arief 1998) dan keangkuhan GATT ini diwarisi WTO. Dari GATT dan WTO inilah berkecamuk liberalisme (dan neoliberalisme) di Indonesia. Ini yang menyeramkan dan mengagetkan. Pada 29 November 2004 di Laos ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) ditandatangani, pihak Cina oleh Menteri Bo Xi-lai dan Indonesia oleh Menteri Mari Elka Pangestu. “Terperangkaplah” Indonesia oleh kekuatan ekonomi global, khususnya oleh China. Lihat...Sri-Edi Swasono, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Nasional, Naskah Orasi Ilmiah, Kumpulan Naskah, 2010, hlm.18.

16 ) Menurut Sri-Edi Swasono, barang-barang dari luar negeri, terutama dari China secara luar biasa telah membanjiri Indonesia. Saat ini 17 persen impor nonmigas Indonesia datang dari China, sedang hanya 8,5 persen ekspor nonmigas Indonesia masuk ke China. Defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China ini bukanlah sekadar ketimpangan hubungan dagang, tetapi proses


(10)

di   satu   sisi   memberikan   kemudahan   bagi   konsumen   untuk

memilih   produksi   barang   dan   jasa   sesuai   dengan

kebutuhannya,   tetapi   di   lain   pihak   kondisi   tersebut

mengandung potensi pelaku usaha dalam memproduksi barang

atau  jasa  tidak  memperhatikan   kesehatan,   keselamatan,   dan

keamanan   konsumen,   bahkan   tidak   jarang   pelaku   usaha

melakukan   kejahatan

17)

  terhadap   konsumen,   semata­mata

karena keuntungan yang menjadi tujuan utamanya.

18)

  Kondisi

tergusurnya industri Indonesia oleh industri China. Deindustrialisasi mulai meluas. Sektor-sektor industri permesinan, perkebunan/pertanian, makanan dan minuman, plastik, tekstil dan produk tekstil, elektronik, besi baja, restoran, perdagangan retail mulai tergoyahkan dan kita boleh mencemasinya. Diperkirakan untuk masa mendatang arus predatorik ini akan makin besar dan membahayakan. Kasus ini hanya salah satu dari banyak hal dimana pemerintah terdikte oleh ide pasar-bebas dan persaingan-bebas. Lihat... Sri-Edi Swasono, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Nasional, Naskah Orasi Ilmiah, Kumpulan Naskah, 2010, hlm.14, 17. 17 ) Kaitannya dengan praktik usaha jahat yang dilakukan pelaku usaha dalam memproduksi barang

atau jasa terutama melalui kejahatan korporasi, M. Arief Amrullah menyebutkan “Perkembangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakatnya. Semula, hanya kejahatan konvensional yang dianggap sebagai kejahatan yang sesungguhnya, namun dalam perkembangannya seiring dengan pertumbuhan korporasi yang semakin pesat dalam bidang kegiatan ekonomi, termasuk kejahatan ekonomi di bidang perbankan, muncul yang disebut dengan kejahatan korporasi.” Lihat M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 1.

18 ) Consumerism adalah istilah yang sering ditafsirkan salah oleh beberapa orang sebagai konsumsi secara berlebih-lebihan. Arti consumerism adalah gerakan masyarakat untuk melindungi konsumen dari praktek sewenang-wenang para produsen. Contoh consumerism di Indonesia adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang memperjuangkan hak-hak konsumen, Majelis Ulama Indonesia yang membantu konsumen mendapatkan makanan halal, dan lain-lain. Dasar pemikirannya sederhana. Umumnya konsumen tidak memiliki informasi yang cukup mendalam tentang produk yang dibelinya. Sebaliknya produsen mengetahui lebih detil produk yang mereka buat dan jual. Artinya konsumen adalah si “lemah” dan produsen adalah si “kuat”. Akibatnya, tidak jarang ada produsen yang tergoda untuk memanipulasi keunggulan informasi yang dimilikinya demi laba yang akan didapatnya. Hal demikian juga oleh BUMN, misalnya memungut biaya administrasi yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dan oleh PT Telkom atau oleh bank dengan menentukan biaya provisi dll dalam pinjaman kredit, atau rumah sakit yang mengenakan biaya-biaya pengobatan. Selain itu menggunakan debt collector yang kurang memperhatikan etika dalam menjalankan penagihan. Mereka menggunakan bahan yang kualitasnya lebih rendah, mengurangi spesifikasi produk dan sebagainya, termasuk menggunakan bahan pengganti yang tidak baik bagi konsumennya demi uang. Risikonya? Konsumen yang harus menanggung. Risiko tanggung konsumen. Pembenarannya: Salahnya sendiri konsumen beli barang kok tidak hati-hati. Periksa dong sebelum membeli. Kampanye yang digembargemborkan adalah “Let the consumer beware”. Karena alasan itulah consumerism muncul. Nama lainnya yang sekarang sering muncul adalah

consumer movement. Memang, konsumen harus ada yang melindungi. Harus ada badan atau lembaga yang memberikan informasi kepada konsumen apa yang mereka harus lakukan bila dirugikan oleh produsen. Kampanye yang sekarang seharusnya mulai dilakukan pemerintah adalah “Let the producer beware”. Lembaga-lembaga pembela konsumen di Indonesia rupanya


(11)

inilah mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen

menjadi   tidak   seimbang   dan   konsumen   berada   pada   posisi

yang lemah.

19)

Pengaturan   dalam   memberikan   perlindungan

keamanan,   keselamatan   atau   kesehatan   kepada   konsumen,

sudah cukup lama dikenal baik di Indonesia maupun di luar

harus berteriak lebih lantang lagi. Harus ada insentif bagi perusahaan yang menjual goods dan harus ada pinalti bagi mereka yang menjual bads.(Djarot Suseno, Perlindungan Konsumen di Indonesia. Mau kemana ?, e-mail: [email protected], 31 Agustus 2006 (09:08), Staf Pengajar Lembaga Manajemen PPM, (artikel ini pernah dimuat di majalah Eksekutif edisi Maret 2006) 19 ) Bila dicermati faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran

konsumen akan haknya masih rendah. Para konsumen merupakan golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha, karena itu diperlukan seperangkat aturan hukum untuk melindungi konsumen. (http://www.ikht.net/artikel_lengkap.php?id=17)

Beragam faktor penting sebagai penyebab lemahnya konsumen. Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BHPN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah : 1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya;

2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana hak-haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya;

3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya;

4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan; 5. Posisi konsumen yang lemah.

Lihat... N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm 42.

Selain itu, menurut Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), setidaknya ada beberapa indikator yang menggambarkan betapa memprihatinkannya kondisi perlindungan konsumen di Indonesia, diantaranya :

1. Masih sulitnya masyarakat mendapatkan kebutuhan dasar mereka di bidang kesehatan dan pendidikan, serta fasilitas publik seperti air, BBM, listrik dan telepon.

2. Tidak jelasnya sejumlah kasus-kasus pelanggaran konsumen yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan perusahaan go public.

Di luar lemahnya penegakkan hukum, baik BPKN maupun YLKI, berpendapat ada empat faktor yang menyebabkan kondisi perlindungan konsumen di Indonesia begitu memprihatinkan, diantaranya :

1. Masih adanya hubungan asimetris antara produsen dengan konsumen.

2. Konsumen secara umum tidak memiliki posisi tawar yang cukup terhadap pelaku usaha.

3. Pemerintah secara umum cenderung berpihak kepada pelaku usaha.

4. Tidak adanya rasa kepedulian yang cukup dari institusi penegak hukum yang ada, baik itu kejaksaan, pengadilan maupun kepolisian.

Lihat...Lokakarya Internasional, Advokasi Kebijakan Perlindungan Konsumen Di Indonesia : Belajar Dari Negara-Negara Tetangga, 19 Desember 2005.


(12)

negeri.

20)

 Saat ini banyak negara yang menganggap modern telah

memiliki undang­undang perlindungan konsumen.

 21)

Bahkan hakekat tentang perlindungan konsumen, telah

lama   diatur   dalam   Kitab   Suci   Agama.  Agama­agama   besar

dunia   telah   memberikan   perhatiannya   terhadap   kepentingan

konsumen, seperti dalam agama Islam konsumen diatur dalam

beberapa   ayat   Al­Quran   dan   Hadis,   dalam   agama   Kristen,

20 ) Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan yang khusus memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk menyediakan sarana peradilannya. Perlindungan konsumen di negara-negara Eropa, sebagai suatu kawasan regional yang meliputi 25 negara, telah sejak lama ada dan jauh lebih kuat dibandingkan dengan di negara-negara berkembang pada umumnya. Perlindungan konsumen di Eropa merupakan hal yang penting. Sejak terjadinya krisis BSE (bovine-spongiform-enchepalophaty) atau lebih populer dikenal sebagai kasus sapi gila (mad cow) dan skandal lainnya yang menyangkut bahan pangan, dan juga kasus Thalidomide (Kasus Thalidomide, yaitu kasus obat yang digunakan pada masa kehamilan yang menyebabkan cacat lahir. Disinyalir terdapat sekitar 8.000 (delapan ribu) bayi yang memiliki cacat lahir tersebar di lebih 30 (tiga puluh) negara, 450 (empat ratus lima puluh) bayi di antaranya terdapat di Inggris), soal perlindungan konsumen di UE menjadi masalah utama publik. Oleh karena para warga membutuhkan penerangan dan perlindungan terhadap bahan yang berbahaya, maka UE menetapkan ketentuan dan standar baru dan lebih ketat di bidang perlindungan konsumen, yang harus diimplementasikan oleh semua negara anggota.

Secara khusus Uni Eropa membentuk satu direktorat jenderal yang menangani isu konsumen. Lembaga ini disebut Direktorat Jenderal Kesehatan dan Perlindungan Konsumen, yang pada tanggal 20 Juli 2004 menerbitkan suatu dokumen yang antara lain berisi tentang pertunjuk sistem perlindungan konsumen yaitu adanya “sepuluh prinsip dasar perlindungan konsumen” di Uni Eropa. Sebuah organisasi konsumen yang disebut Consumentenbond yaitu organisasi non-profit yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran konsumen. Organisasi ini merupakan organisasi konsumen terbesar di Eropa. Sebagai upaya perlindungan konsumen, selain memiliki

Consumer Protection Act (CPA) 1987, di Inggris pemerintah membentuk sebuah direktorat yang berada di bawah tanggungjawab Departemen Perdagangan dan Industri, untuk menjalankan tugas-tugas perlindungan konsumen. Direktorat ini adalah Direktorat Kebijakan Konsumen dan Persaingan (The Consumer and Competition Policy Directorate atau CCP). Di Belanda, masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumen berada di bawah tanggung jawab Inspektorat Jenderal Perlindungan Kesehatan. Lihat ... Hukum Perlindungan Konsumen, penyunting Husni Syawali/Neni Sri Imaniyati, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 11 dan 85.

21 ) Negara-negara yang memiliki undang-undang perlindungan konsumen diantaranya : - India, The Consumer Protection Act, 1986 (yang diamandemen tahun 1993); - Korea Selatan, Consumer Protection Act, 1986;

- Thailand, Consumer Protection Act, 1979 dan pada April 1985 diamandemen;

- Singapura, The Consumer Protection (Trade Descrition and Safety Requirement) Act, 1975; - Jepang, The Consumer Protection Fundamental Act, 1968;

- Australia The Consumer Affair Act, 1978; - Irlandia The Consumer Information Act, 1978; - Finlandia The Consumer Protection Act, 1978;

- Canada The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection Amandement Act, 1971;


(13)

Hindu   dan   Budha   pun   demikian,   khususnya   pandangan

mengenai   penggunaan   alat­alat   Ukur,   Takar,   Timbang,   dan

Perlengkapannya (UTTP).

 22)

Demikian   pun   di   Indonesia,   baik   Pancasila   sebagai

Falsafah   Bangsa   maupun   UUD   1945   sebagai   hukum   dasar

(grundnorm),   telah   mengatur   tentang   perlindungan   terhadap

konsumen. Diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa

“Pemerintahan   Negara   Indonesia   yang

 

melindungi   segenap

bangsa   Indonesia   dan   seluruh   tumpah   darah  Indonesia;   dan

memajukan   kesejahteraan   umum,   mencerdaskan   kehidupan

bangsa.”

Peraturan perundang­undangan yang bertujuan untuk

memberikan   perlindungan   keamanan,   keselamatan   atau

kesehatan kepada konsumen, saat ini dapat dijumpai terutama

dalam Undang­Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen  (UUPK)

23)

  yang telah diundangkan dalam Lembaran

- Inggris Consumer Protection Act (CPA) 1987, dan

- Amerika Serikat The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act (UTPCP)

1967, diamendir tahun 1969 dan 1970, kemudian Unfair Trade Practises and Consumer Protection (Lousiana) Law, 1973;

- Selain itu Filipina (1992); Vietnam (1999); Malaysia (1999).

Lihat … Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen & Instrumen-instrumen Hukumnya, Edisi Revisi Cetakan Ke-3, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.14-15.

22 ) Brosur mengenai alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP), Direktorat Metrologi Legal.

23 ) Dengan terbentuknya UU No. 8 Tahun 1999, maka Indonesia menganut pemikiran bahwa perlu undang-undang khusus, namun tetap diakui norma-norma hukum perlindungan konsumen pada undang-undang sektoral. Untuk mempertegas kerangka pemikiran ini, maka penjelasan UUPK menyatakan bahwa Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang. (Dalam penjelasan umum UUPK disebutkan ada 23 Undang-Undang sektoral yang sudah memuat norma perlindungan konsumen). Keberadaan UUPK sebagai UU Payung perlu dilihat dari perspektif ini. Artinya, tidak ada niat dari keberadan UUPK untuk mengesampingkan undang-undang sektoral yang sudah ada dan yang akan ada. Secara eksplisit disebutkan untuk memperkuat sistem hukum yang sudah ada. Dalam tataran praktis kita dapat mengatakan bahwa Undang-Undang Perbankan telah memuat ketentuan yang melindungi kepentingan nasabah, namun norma yang terdapat dalam UU Perbankan perlulah diperkuat dengan visi dan prinsip perlindungan konsumen. Posisi sebagai undang-undangan payung ini yang menjadi dasar bagi saya (Inosentius Samsul-pen) untuk mengatakan bahwa hubungan undang-undang sektoral dengan UUPK bukanlah hubungan lex specialis dan lex generalis.


(14)

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 tertanggal 20

April 1999 dan diberlakukan 20 April 2000, sampai tahun 2010

undang­undang ini genap sepuluh tahun. Namun, pelanggaran

terhadap   hak­hak   konsumen   yang   dilakukan   oleh   pelaku

ekonomi, baik swasta, koperasi maupun negara (Badan Usaha

Milik   Negara/Badan   Usaha   Milik   Daerah),   setiap   hari,   setiap

jam, setiap menit, bahkan setiap detik, berpotensi terus terjadi,

karena   tidak   ada   waktu   yang   kosong   bagi   manusia   untuk

melakukan transaksi barang maupun jasa.

Selama   ini,   banyak   kasus   sengketa   konsumen   di

Indonesia   yang   merupakan   pelanggaran   terhadap   Hukum

Perlindungan   Konsumen

24)

,   yang   pada   umumnya   sebagai

pelanggaran terhadap hak­hak konsumen sehingga mengundang

banyak   perhatian  dan   bahkan   menimbulkan   kontroversi.  Dari

sekian   banyak   masalah   yang   berkaitan   dengan   perlindungan

konsumen dapat dikemukakan masalah yang “permanen”, yang

timbul   setiap   tahun   yakni   kenaikan   harga   dan   pelayanan

transportasi   menjelang   bulan   ramadhan   dan   idul   fitri,   serta

pelayanan   ibadah   haji   yang   tidak   surut   dari   berbagai

permasalahan yang timbul. Selain itu, belum adanya ketentuan

Melainkan hubungan yang bersifat saling melengkapi dan memperkuat (complementary).

Lihat ... Inosentius Samsul, materi seminar 10 Tahun UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, bertempat di Ruang Laboratorium Fakultas Hukum UNPAS, Jln, Lengkong Besar No. 68 Bandung, pada hari Senin, 20 April 2009.

24 ) Pasal 1 angka 1 UU RI Nomor 8 Tahun 1999 tentangPerlindungan Konsumen menyebutkan : “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Perlindungan konsumen saat ini telah menjadi disiplin ilmu hukum tersendiri yaitu hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen. Seperti yang disampaikan Mochtar Kusumaatmadja berdasarkan rumusan Hukum Internasional, maka Hukum Konsumen adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja, maka yang dimaksud dengan Hukum Perlindungan Konsumen adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang atau jasa konsumen. Lihat...M. Solly Lubis, op.cit, hlm. 209-210.


(15)

yang   mewajibkan   setiap   makanan   termasuk   rumah   makan

memberikan   informasi   tentang   kehalalan,   sehingga

perlindungan terhadap konsumen muslim yang dalam ajaran

agamanya dilarang memakan makanan haram, jelas­jelas tidak

terlindungi.

25)

Apabila   kita gambarkan/petakan praktik pelaksanaan

perlindungan konsumen

26)

 di Indonesia saat ini, ada dua pihak

sebagai  stakeholders  yang   mempengaruhinya.  Pertama,   yakni

pemerintah   yang   tidak   secara   langsung   mempengaruhi

perlindungan   konsumen   dalam   bentuk   pembuatan   berbagai

kebijakan   yang   dikeluarkan   oleh   departemen   terkait,   seperti

kebijakan   pajak   penghasilan   yang   dibebankan   kepada

konsumen,   maupun   kebijakan   pemerintah   melalui   BUMN

27)

yang   secara   langsung   mempengaruhi   konsumen,   seperti

kebijakan   kenaikan   Bahan   Bakar   Minyak   (BBM)   atau   Tarif

25 ) Pengaturan dalam undang-undang mengenai jaminan halal ini tidak akan berbenturan dengan sistem perekonomian nasional menurut Pasal 33 UUD 1945. Sebaliknya pengaturan semacam ini akan memberikan dukungan konstitusional dan yuridis bagi terciptanya pertumbuhan usaha yang sehat dalam kehidupan perekonomian nasional, dan menciptakan persaingan yang sehat pula bagi perdagangan nasional, regional, maupun global.

26 ) Menurut Johannes Gunawan, sebagai upaya yuridik untuk memberikan perlindungan konsumen, yaitu : a. do nothing strategy (you can’t fight the city hall); b. miscellaneous; c.

legislation (legislative area); d. litigation; dan e. voluntary self regulation. Dari 5 (lima) macam strategi perlindungan konsumen di atas, maka strategi yang dapat dikualifikasi sebagai Perlindungan Hukum terhadap Konsumen adalah : a. legislation (legislative area); b. litigation; dan c. voluntary self regulation.

Perlindungan hukum terhadap konsumen melalui legislation (legislative area) dilakukan dengan jalan merancang dan menetapkan pelbagai peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum kepada konsumen secara litigation adalah mengajukan perkara yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen ke pengadilan. Sedangkan Voluntary self regulation adalah perancangan dan penetapan peraturan oleh pelaku usaha sendiri secara sukarela (voluntary) di dalam perusahaannya (baik barang maupun jasa), yang merupakan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen. (Johannes Gunawan, 1998; Materi Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum)

27 ) Pasal 1 angka 3 UUPK, menyebutkan : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” (Penjelasan : Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.).


(16)

Dasar Listrik (TDL). Kedua, di luar pemerintah/non pemerintah

(kebijakan DPR/legislatif, BPKN, BPSK, dan LPKSM). 

28)

Dari   kebijakan   pemerintah   di   atas,   kebijakan   yang

dikeluarkan   oleh   pemerintah   melalui   BUMN

29)

  ini   dapat

berdampak   luas   terhadap   munculnya   praktik­praktik   usaha

yang   merugikan   konsumen   (effect   snowball),   yang   dilakukan

oleh   pelaku   ekonomi   lain   seperti   swasta   dan   koperasi,

28 ) Untuk mengetahui gambaran praktek pelaksanaan perlindungan konsumen, kita dapat melihat kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia seperti diuraikan di bawah ini.

Bentuk kebijakan pemerintah dalam mewujudkan Perlindungan Konsumen.

­ Regulasi : Undang-undang Perlindungan Konsumen (No. 8/1999)

­ Struktural : Direktorat Perlindungan Konsumen (Dirjen PDN Dept Perdag RI), dan Seksi Perlindungan Konsumen (di Disperindag Propinsi, Kabupaten dan Kota)

­ Di luar struktur : Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

­ Masyarakat : Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

Posisi & Peran Departemen Perdagangan

• Selaku departemen teknis di bidang perdagangan.

• Melakukan koordinasi atas penyelenggaraan Perlindungan Konsumen (Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 30 UUPK)

- Terciptanya iklim usaha yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen - Berkembangnya LPKSM dan BPSK

- Meningkatnya kualitas SDM dan kegiatan pengembangan perlindungan konsumen - Pengawasan barang beredar dan jasa

Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri

­ Dit. Bina Usaha dan PP

­ Dit. Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (Pengawasan barang beredar & jasa; 6 Parameter (Standar, Label, Iklan, Cara menjual, Klausula baku, Layanan purna jual)

­ Dit. Bina Pasar & Distr.

­ Dit. Perlindungan Konsumen (Kebijakan PK, Pembinaan Konsumen dan Pelaku usaha, Kelembagaan PK)

­ Dit. Metrologi : Penanganan UTTP (PK dari sisi transaksi kuantitas barang)

Departemen/Instansi Teknis Terkait (Dep. Kesehatan, Dep. ESDM, Dep. Perhubungan, Dep. Kelautan dan Perikanan, Dep. Pertanian, Dep. Keuangan, dan lain-lain)

Institusi Terkait (BPKN, BPOM, MUI, BI, dan lain-lain)

Dinas Indag Propinsi/Kab/Kota Instansi terkait lain.

Dikutip dari bahan materi yang disampaikan oleh narasumber dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat pada Rakor Pembentukan Tim Pengawas Barang Beredar yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Bandung, 3 Desember 2009.

29 ) Perilaku BUMN menurut Inosentius Samsul, secara normatif, UUPK tidak membedakan Badan Usaha Milik Swasta dan BUMN. UUPK hanya memberikan perhatian pada usaha kecil dan menengah (lihat Penjelasan Umum UUPK). Oleh karena itu, apabila terdapat perilaku BUMN yang merugikan konsumen, hal itu lebih sebagai suatu tindakan yang dipengaruhi oleh sisa-sisa dari budaya kerja lama dari BUMN tersebut. Secara hukum, jelas bahwa BUMN dan Badan Usaha Swasta memiliki kedudukan yang sama, sehingga dapat digugat dan dimintakan


(17)

contohnya   dengan   naiknya   TDL   berimbas   pada   perilaku

menaikkan   harga­harga   yang   dilakukan   pelaku   usaha   lain.

30)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa

menegaskan   bahwa   pemerintah   tidak   akan   menaikkan   TDL

pada   tahun   ini.

31)

  Penyelesaian   masalah   perlindungan

konsumen, bahkan tidak jarang melibatkan peranan pemerintah,

seringkali berakhir tanpa penyelesaian secara tuntas meski telah

ada putusan dari Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung. Contoh

yang berkaitan dengan gugatan konsumen  terhadap BUMN di

Badan   Penyelesaian   Sengketa   Konsumen   dalam   kasus   listrik

atau air PDAM.

Kebijakan yang dibuat BUMN yang terakhir ini paling

menonjol, yang menimbulkan kerugian bagi konsumen sebagai

contoh   bisa   disebutkan   adalah   kebijakan   konversi   minyak

pertanggunjawaban berdasarkan UUPK. Lihat ... Inosentius Samsul, materi seminar 10 Tahun UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, bertempat di Ruang Laboratorium Fakultas Hukum UNPAS, Jln, Lengkong Besar No. 68 Bandung, pada hari Senin, 20 April 2009.

30 ) Rakyat atau konsumen listrik dalam berbagai persoalan sering berada pada posisi kena gencet kebijakan PLN. Dewasa ini wacana kenaikkan TDL, meski pelayanannya sering byar-pet. Pengamat Kelistrikan Tumiran, Minggu (2/5/2010), terang-terangan menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Alasannya, kenaikan TDL berimbas kepada beban perekonomian rakyat kecil sehingga harus dibatalkan. Sebaliknya, pemerintah dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencari alternatif melalui kajian matang guna meringankan biaya produksi. "Saat ini industri dalam negeri juga tengah menghadapi gempuran produk impor. Kini ada ancaman kenaikan TDL yang membuat mereka sulit bersaing," katanya. Kalau kalah bersaing, mereka pasti banting setir jadi pedagang. Jika itu terjadi menimbulkan masalah baru. "Banyak pekerja terpaksa kena PHK," tandasnya. Kenaikan TDL ini juga bakal berimbas buruk terhadap usaha kecil seperti konveksi pakaian, warnet, laundry sampai usaha ikan hias. "Jadi bukan industri yang gede saja, usaha kecil juga bisa gulung tikar," tandasnya. Rakyat Digencet Lewat TDL, 03 May 2010, Bangka Pos/Pos Kota, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib. 31 ) Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan

menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun ini. "Yang jelas TDL juga tidak akan naik. Kita akan konsentrasi memperbaiki kinerja PLN dan menyelesaikan masalah keuangan PLN jadi lebih kuat, dan memperkuat kehandalan suplai PLN biar tidak byar pet lagi," kata Hatta di Jakarta, Rabu. Hatta menjelaskan, pemerintah saat ini sedang menghitung peningkatan marjin usaha dari PLN dari 5-8% dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan PLN sehingga tidak terlalu menggantungkan diri pada APBN."Masih ada opsi opsi lain yang tersedia, yang target utamanya adalah kehandalan pasokan. PLN jangan sampai byar pet di seluruh Indonesia. Sedangkan opsi untuk mencapai itu banyak sekali misal menaikkan subsidi, mendorong PLN menerbitkan obligasi, melibatkan peran pemerintah daerah, peran swasta dan banyak lagi opsi lainnya," katanya. Lihat... Hatta Jamin Tarif Listrik 2010 Tidak Naik, 14 Jan 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.


(18)

tanah   ke   gas   yang   menimbulkan   terjadinya   peristiwa

meledaknya tabung gas secara beruntun. Terjadinya peristiwa

ini   kebanyakan   diakibatkan   oleh   kurangnya   sosialisasi   atas

penggunaan kompor gas dan asesorisnya, sehingga masyarakat

yang semula menggunakan minyak tanah dalam memasak dan

beralih ke gas, banyak yang salah menggunakannya.

32)

Upaya yang paling efektif untuk mencegah berulangnya

peristiwa   kecelakaan   meledaknya   tabung   gas,   adalah   dengan

melakukan   penarikan   tabung   gas   beserta   asesorisnya   yang

tidak   ber   SNI.  Namun   tampaknya   pemerintah   ragu­ragu

melakukan   penarikan   ini.  Penarikan   produk   adalah   langkah

yang   dilakukan   perusahaan   menarik   satu  batch  (kelompok

produksi)   atau   seluruh   produk,   karena   temuan   yang   bisa

mengancam   keselamatan   atau   keamanan.   Penarikan   produk

dilakukan untuk menghindari timbulnya korban lebih banyak

dan   kemungkinan   tuntutan   hukum   akibat   kelalaian   atau

kecerobohan   produsen.   Penarikan   produk   adalah   langkah

mahal   karena   perusahaan   harus   mengeluarkan   biaya

penggantian   produk   tersebut   atau   mungkin   membayar

kerugian lain akibat produk yang cacat. Namun, biaya mahal

penarikan   produk   tersebut   sering   dianggap   lebih   hemat   jika

32 ) Tabung gas ukuran 3 kg mulai digunakan pada 2007 sebagai konversi minyak tanah untuk penghematan subsidi yang membebani APBN. Media menyebutkan, hingga Juni 2010 telah beredar 60 juta tabung gas 3 kg dan 7 juta tabung 12 kg. Sementara itu, hasil penelitian Badan Standardisasi Nasional (BSN) menunjukkan bahwa 66 persen tabung yang beredar di masyarakat tidak memenuhi standar. Jumlah kecelakaan dari 2008 hingga Juni 2010 ada 36 kasus ledakan. Banyaknya ledakan gas adalah indikator bahwa telah terjadi hal-hal yang sangat tidak biasa dalam pelayanan gas untuk konsumen. Tabung gas dan slangnya adalah produk yang disajikan kepada masyarakat untuk dinikmati dengan tenang, nyaman, dan bisa meringankan beban ekonomi masyarakat kelas bawah. Dengan misi melayani tersebut, kecelakaan seperti ledakan, apalagi memakan korban, sama sekali tidak bisa diberi toleransi. Lihat ... Halim Mahfudz, Kelambanan dalam Penanganan Tabung Gas, Edisi 15 Juli 2010, Koran Tempo, Copyright TEMPOinteraktif 2008, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib. Lihat juga...

Kasus Elpiji, 30 Lembaga Konsumen Ancam Pemerintah, Pikiran Rakyat, Selasa, 3 Agustus 2010. Bataviase.co.id. Diunduh tanggal 4 Agustus 2010 jam 23.05 WIB.


(19)

dibandingkan dengan kerugian brand yang cacat atau reputasi

perusahaan yang hancur.

33)

Bahkan Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik

Negara   (PLN)   sebelum   kenaikan   TDL   menyebutkan   bahwa

konsumen listrik rumah tangga dibawah 450 volt ampere akan

digratiskan

.

34)

  Namun, akhirnya Direktur Utama PT PLN (Persero)

mencabut   sendiri   wacana   pemberian   listrik   gratis   bagi

pelanggan   golongan   masyarakat   miskin   (pengguna   golongan

450   VA)   yang   pernah   dilontarkannya.  

35)

  Kebijakan   kenaikan

33 ) Secara global, penarikan produk bisa terjadi setiap tahun. Pada 2010 ini sudah terjadi beberapa langkah penarikan produk, seperti penarikan jutaan mobil merek Toyota, terutama di AS, Cina, dan Eropa. Di AS, McDonald menarik dari peredaran cangkir Shrek Forever After karena dikhawatirkan bahan dalam cat pewarnanya bisa menjadi racun jika tersentuh tangan. Johnson & Johnson menarik 43 jenis obat anak-anak yang dijual tanpa resep dokter di setidaknya 12 negara hanya karena “mungkin tidak memenuhi syarat standar manufaktur”. Lihat … Halim Mahfudz,

Kelambanan dalam Penanganan Tabung Gas, Edisi 15 Juli 2010, Koran Tempo, Copyright TEMPOinteraktif 2008, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.

Kasus tabung gas di Indonesia tidak dengan jelas mengungkap apa sebenarnya yang terjadi. Masyarakat tidak memperoleh informasi jelas di mana persoalannya; tabung, slang, atau regulator. Cara media massa memberitakan kecelakaan juga tidak membantu memberikan pengertian yang benar. Persoalan menjadi lebih membingungkan karena pemerintah tidak tegas mengakui di mana letak kesalahan dan siapa yang akan bertanggung jawab. Birokrasi memang menjadi salah satu titik tanpa kejelasan tanggung jawab.

Produksi tabung gas diawasi oleh Kementerian Perindustrian, distribusi diawasi oleh Kementerian Perdagangan, sementara pengisian bahan gas dilakukan oleh Pertamina. Adapun slang diproduksi entah oleh siapa lagi. Dengan deretan panjang birokrasi ini, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan. Merujuk pada misi konversi minyak tanah ke gas untuk menurunkan beban subsidi yang memberatkan APBN dan meringankan beban masyarakat, 8 korban tewas dan puluhan luka-luka serta rumah-rumah yang hancur sudah lebih dari cukup bagi pemerintah untuk memperlakukan situasi ini sebagai sebuah krisis. Tak perlu diperlakukan sebagai bencana nasional, melainkan sebuah krisis yang membutuhkan penanganan cepat dan tepat. Lihat … Halim Mahfudz, Kelambanan dalam Penanganan Tabung Gas, Edisi 15 Juli 2010, Koran Tempo, Copyright TEMPOinteraktif 2008, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.

34 ) Ali Imron Hamid Wartawan, ”Pepesan" Kosong Bernama Listrik Gratis, Harian Ekonomi NERACA, 15 Jun 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.

35 ) Akhirnya Direktur Utama PT PLN (Persero) Dahlan Iskan mencabut sendiri wacana pemberian listrik gratis bagi pelanggan golongan masyarakat miskin (pengguna golongan 450 VA) yang pernah dilontarkannya. Itu dilakukannya setelah usulan revolusionernya itu ramai menuai protes dari DPR. Pemerintah pun menilai bahwa usulan itu sekadar wacana pribadi karena penetapan tarif listrik menjadi domain penuh Kementerian ESDM melalui konsultasi DPR. "Dengan wacana yang tidak diusulkan oleh Pak Menteri ESDM, itu sama saja saya sudah cabut wacana itu," ujar Dahlan di sela rapat kerja Komisi VII DPR bersama PLN dan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh, di DPR, Jakarta, Selasa (15/6).Dalam kesempatan itu, Darwin menilai bahwa


(20)

TDL   juga   dianggap   sebagai   kebijakan   yang   memberatkan

konsumen,   karena   kebijakan   ini   lahir   pada   waktu   yang

“bersamaan” dengan terjadinya musibah beruntun meledaknya

tabung   gas   akibat   kebijakan   konversi   dan   menjelang   bulan

ramadhan dimana kenaikan harga barang­barang pokok sudah

biasa naik.

Dari   sekian   banyak   kebijakan   BUMN   yang

menimbulkan kebingungan dan kerugian terhadap konsumen,

kebanyakan menyangkut komoditas yang dikelola oleh BUMN

secara monopolistik

36)

, sehingga kerugian konsumen itu karena

disebabkan tidak ada pilihan lain.

penerapan wacana listrik gratis bagi pelanggan listrik 450 volt ampere (VA) sulit dilakukan. Pemerintah merasa masih banyak masyarakat Indonesia lainnya yang belum mendapatkan listrik. "Kita harus tahu bahwa rakyat termiskin kita itu bukan hanya pelanggan 450 VA. Ada yang lebih miskin lagi yang belum dapat listrik," ujar Darwin. Menurut Darwin, pembebasan pembayaran listrik bagi pelanggan berdaya 450 VA itu pun akan membatasi kemampuan pemerintah untuk memberikan listrik kepada masyarakat yang belum dapat listrik. Saat ini sebanyak 19 juta kepala keluarga di Indonesia belum bisa menikmati listrik.Karena itu, usulan listrik gratis dinilai menjadi sekadar wacana Dahlan Iskan selaku pribadi, bukan atas nama Direksi PLN."Jadi boleh saja punya usul, tapi penetapan tarif listrik itu tetap domain pemerintah. Dengan demikian kami simpulkan. Pak Dahlan sudah mencabutnya," ujar Darwin.

Wacana Listrik Gratis Dicabut, 16 Jun 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.

36 )PLN-Pertamina perlu antisipasi. Kenaikan yang terus dilakukan perusahaan monopoli dan menyentuh hajat hidup orang banyak, seperti PLN dan pertamina mengundang pertanyaan dari beberapa kalangan. Analis Universitas Nomensen, Parulian Simanjuntak, turut menyayangkan kebijakan pemerintah. Secara teori, menurutnya, sebagai perusahaan monopoli, seharusnya tidak mengalami kerugian, apalagi PLN dan pertamina tidak punya saingan. Seharusnya, lanjut Parulian, perlu antisipasi akan hal tersebut. Sebab, perusahaan monopoli di Indonesia ini menjadi semakin suka-suka menentukan harga. “Padahal, banyak negara yang mensubsidi BBM dan listrik ke masyarakatnya. Ini perlu diantisipasi. Karena kebutuhan terus naik, sementara pendapatan tetap begitu saja,” jelasnya, kepada Waspada Online, siang ini. Editor : Wahyu Hidayat (dat01/wol-mdn/dita) Monday, 12 July 2010 12:21 Monday, 12 July 2010 12:21 WASPADA ONLINE Warta - Medan Diunduh tanggal 23 Juli 2010 jam 21.43 wib.


(21)

37)

  Sementara apabila kita kembalikan kepada amanat

Pancasila   dan   UUD   1945   bahwa   pemerintah   (BUMN)   wajib

untuk mensejahterakan rakyat.

Di sisi lain, walaupun sudah ada lembaga­lembaga yang

bertugas   melakukan   pengawasan   terhadap   produk   pelaku

usaha, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

  38)

,

namun  perhatian/kebijakan pemerintah terhadap konsumen/

37 ) Ramainya pemberitaan di media massa peristiwa ledakan tabung gas di beberapa daerah, temyata tidak menurunkan minat masyarakat Kota dan Kabupaten Sukabumi terhadap pembelian gas baik untuk tabung ukuran 12 kg maupun ukuran 3 kg. Wakil Ketua Hiswana Migas Sukabumi, Iwan Ardawi menjelaskan, hingga saat ini kebutuhan gas di ke dua wilayah Sukabumi tersebut, masih terbilang stabil! Pada kisaran 1 juta 100 kilogram per bulannya. Angka tersebut, adalah angka yang sama selama tiga bulan terakhir. Ledakan Gas Tidak Pengaruhi Minat Warga Terhadap Gas, 19 Jul 2010, Harian Ekonomi Neraca, Bataviase.co.id, Diunduh tanggal 20 Juli 2010 jam 20.30 wib.

38 ) Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan A. Dasar hukum

­ Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

­ Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

­ Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

­ Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

­ Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

­ Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

­ Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

­ Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

­ Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan

­ Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1998 tentang Pengesahan International Convention on the Safety of Life at Sea 1974;

­ Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000, dirubah dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

­ Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Perubahan Keputusan Presiden No.103/2001.

­ Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor

264A/MENKES/SKB/VII/2003 – Nomor O2/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan.

­ Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya.

­ Peraturan Menteri Perdagangan No.04/M-DAG/PER/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

­ Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 56/M-DAG/PER/12/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.

­ Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan pengendalian Minuman Beralkohol.


(22)

perlindungan konsumen masih sangat kurang. Hal   ini dapat

dilihat dari sikap/langkah­langkah pemerintah misalnya dalam

menangani   masalah   makanan   yang   mengandung   zat­zat

berbahaya   seperti   boraks,   formalin,   pemerintah   selama   ini

mengambil tindakan yang temporer dan parsial.

 39)

Sementara   itu   perbedaan   prinsip   antara   konsumen

dengan pelaku usaha sangat jauh, di mana konsumen membeli

barang/jasa   dalam   rangka   untuk   memenuhi   kebutuhannya,

sedangkan pelaku usaha membuat barang/jasa dengan tujuan

untuk   mencari keuntungan (tidak ada   pelaku usaha dalam

usahanya yang mau rugi).

Selain itu masih cukup banyak ketentuan dalam UUPK

yang   belum   ada   peraturan   atau   landasan   hukum   teknisnya,

seperti   perjanjian   kerjasama   antara   Menteri   Perdagangan

dengan   Kapolri   tentang   bantuan   Polri   dalam   pelaksanaan

tugas­tugas   BPSK   dan   tidak   sedikit   pelaku   usaha   yang

melanggar UUPK tidak dilakukan penindakan oleh pemerintah,

­ Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan pengawasan Bahan berbahaya.

­ Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.21.1662 Tanggal 4 April 2008 tentang Penetapan Visi dan Misi Badan POM.

B. Tugas, Tanggung Jawab, Visi dan Misi

Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Mempunyai tugas : Melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugasnya, Badan POM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, khususnya dalam menyusun peraturan yang berkaitan dengan lembaga pemerintah lain dan pemecahan masalah dalam penerapan peraturan.

Visi : Obat dan makanan terjamin aman, bermanfaat dan bermutu.

Misi : Melindungi masyarakat dari obat dan makanaan yang berisiko terhadap kesehatan Dikutip dari bahan materi yang disampaikan oleh narasumber dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan pada Rakor Pembentukan Tim Pengawas Barang Beredar yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Bandung, 3 Desember 2009.

39 ) Kebijakan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi dinilai rawan gejolak sosial, apalagi jika mekanisme pembatasan diberlakukan hanya dengan menggunakan stiker sebagai pembeda antara mobil yang diperbolehkan menggunakan BBM subsidi dan bukan. Lihat…Pembatasan BBM Rawan Gejolak. Stiker Paling tidak Aman. PR, 25 April 2012.


(1)

Seperti   diuraikan   di   atas,   bahwa   upaya   perlindungan

konsumen tidak cukup hanya dibuatkan hukum positif (aspek

hukum   dan   peraturan   perundang­undangan),   lebih   dari   itu

perlu   dibangun   politik   hukum  perlindungan   konsumen   yang

lebih   tegas   dan   jelas,   yang   mencakup   sistem   hukum   secara

keseluruhan.

102)

Politik  hukum adalah  suatu ilmu sekaligus  seni   yang

pada   akhirnya   mempunyai   tujuan   praktis   untuk

memungkinkan   peraturan   hukum   positif   dirumuskan   secara

lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada

pembuat undang­undang, tetapi juga kepada pengadilan yang

menetapkan   undang­undang   dan   juga   kepada   para

penyelenggara   atas   pelaksana   putusan   pengadilan.

103)

Sedangkan   Muladi   mengatakan   bahwa   politik   hukum   (legal

policy)   dalam   arti   kebijakan   negara   (public   policy)   di   bidang

hukum   harus   dipahami   sebagai   bagian   kebijakan   sosial   yaitu

usaha   setiap   masyarakat/pemerintah   untuk   meningkatkan

kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bisa

mengandung   dua   dimensi   yang   terkait   satu   sama   lain,   yaitu

102) Dalam hubungan itu, Lili Rasjidi membagi sistem hukum menjadi komponen-komponen

sebagai berikut : (1) Masyarakat hukum; (2) Budaya Hukum; (3) Filsafat Hukum; (4) Ilmu Hukum; (5) Konsep Hukum; (6) Pembentukan Hukum; (7) Bentuk Hukum; (8) Penerapan Hukum; (9) Evaluasi Hukum. Selanjutnya menurut Lili Rasjidi, tujuan utama dari pendekatan sistem adalah untuk menggambarkan karakter objek suatu cabang ilmu secara seutuhnya, untuk menghindari kerugian yang dapat timbul dari pengabaian terhadap karakter objek yang seharusnya diperhitungkan, hal terpenting bagi suatu proses sistem adalah keseimbangan potensi dan fungsi masing-masing komponennya. Kerusakan salah satu komponen dapat merusak keseimbangan global dan karenanya juga akan berpengaruh terhadap perwujudan tujuan sistem itu. Maka hakikat dari suatu pembangunan sistem adalah pembangunan terhadap komponen-komponennya. Lihat Lili Rasjidi/I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 135, 152-166.

103) M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 13 dalam

Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Penerbit PT RajaGrafindo, Jakarta, 2004, hlm. 50.


(2)

kebijakan   kesejahteraan   sosial   (social   welfare   policy)   dan

kebijakan perlindungan sosial (social defence policy)

104)

Politik   hukum   yang   dibahas   Moh.   Mahfud   MD,

pengkajiannya   dianggap   sebagai   alternatif   yang   tidak

konvensional dalam studi ilmu hukum.

105)

  Sedangkan dua  ahli

Hukum   Tata   Negara   dari   Belanda,   Burkens   dan   Belinfante,

misalnya,   tercatat   sebagai   orang­orang   yang   pandangannya

berbeda. (tentang letak politik hukum­pen) Burken mengatakan

bahwa   Hukum   Tata   Negara   itu   hanya   mempelajari   hukum

positif, sedangkan Belinfante berpendapat bahwa obyek Hukum

Tata   Negara   itu  mencakup   juga   hal­hal  yang  di   luar   hukum

positif.   Cakupan   studi   Hukum   Tata   Negara   versi   Belinfante

inilah yang memberi tempat bagi studi tentang Politk Hukum

sebagai   bagian   dari   ilmu   hukum,   khususnya   Hukum   Tata

Negara.

106)

104) Menurut Muladi, hukum dan politik hukum, (legal policy) padadasarnya merupakan produk

dari sistem politik. Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang berlaku. Uraian di atas menempatkan hukum sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable.

Dalam masa transisi dari suatu rezim otoriter menuju rezim demokratis terjadi pergeseran nilai yang mengakibatkan hukum mempunyai “fungsi ganda” (dual function). Artinya, proses politisasi hukum tetap terjadi oleh rezim baru yang reformis dan demokratis, di mana hukum digunakan untuk membongkar dan mempengaruhi agar tatanan sosial menjadi aspiratif dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum sebagai independent variable terhadap kehidupan sosial politik. Lihat Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Penerbit The Habibie Centre, Jakarta, 2002, hlm. 259-260.

105) Karena kajian tersebut memperhadapkan secara interplay antara politik dan hukum sebagai

subsistem kemasyarakatan. Menurut Mahfud, sampai pertengahan tahun 1990-an, pada umumnya studi hukum lebih ditekankan pada studi normatif, terutama hukum positif, sebagaimana terbukti bahwa sampai saat itu di berbagai Fakultas Hukum belum ada mata kuliah Politik Hukum. Mata kuliah Politik Hukum baru muncul sebagai mata kuliah wajib mula-mula untuk program pascasarjana S2 atau Program Magister Ilmu Hukum pada pertengahan tahun 1990-an melalui beberapa Keputusan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional.

Moh. Mahfud MD bergelut di dalam kegiatan akademik dan politik sekaligus. Sebagai akademisi di bidang hukum, ia aktif berdiskusi dengan mahasiswa juga dengan para guru besar di berbagai kampus. Sebagai politisi yang menjadi anggota DPR, ia juga ikut terlibat langsung dalam proses legislasi dan perdebatan-perdebatan politik dalam pembentukan dan penegakkan

hukum. Lihat Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Penerbit

Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 1 dan hlm xi.


(3)

Bagi Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau

arah   hukum   yang   akan   diberlakukan   oleh   negara   untuk

mencapai   tujuan   negara   yang   bentuknya   dapat   berupa

pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam

arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan

negara   dan   sistem   hukum   yang   berlaku   di   negara   yang

bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem

itu   terkandung   di   dalam   Pembukaan   UUD   1945,   khususnya

Pancasila, yang melahirkan kaidah­kaidah penuntun hukum. 

Apabila menurut ilmu pengetahuan hukum, sekurang­

kurangnya   ada   tiga   landasan   perundang­undangan   yaitu   :

landasan filosofis; landasan sosiologis dan landasan yuridis,

107)

demikian   pun   dalam   politik   hukum.  Suatu   Politik   Hukum

dikatakan mempunyai landasan filosofis (filisofische grondslag)

apabila   rumusannya   atau   norma­normanya   mendapatkan

pembenaran   (rechtvaardiging)   dikaji   secara   filosofis.   Berarti

mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila dipikirkan

secara mendalam. Alasan tersebut sesuai dengan cita­cita dan

pandangan   hidup   manusia   dalam   pergaulan   hidup

bermasyarakat.   Sesuai   dengan     cita­cita   kebenaran   (idée der

waarheid) cita­cita keadilan (idée der gerechtigheid).

Suatu  Politik   Hukum  dikatakan  mempunyai  landasan

sosiologis   (sociologische   grondslag)   apabila   ketentuan­

ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran

hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang­undangan

yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf­huruf

mati belaka.  Landasan yuridis  (rechtsgrond) atau disebut juga

107) Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara,

Jakarta, 1987, hlm. 91. Mengenai pembentukan perundang-undangan saat ini mengacu pada ketentuan undang Nomor 12 Tahun 2011 yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.


(4)

landasan hukum atau dasar hukum ataupun legalitas adalah

landasan atau dasar yang terdapat dalam ketentuan­ketentuan

hukum yang lebih tinggi derajatnya. Landasan yuridis ini dapat

pula dibedakan menjadi dua macam yaitu: Pertama, Landasan

yuridis   yang   beraspek   formal   yaitu   ketentuan­ketentuan

hukum   yang   memberi   kewenangan   kepada   badan

pembentuknya.   Misalnya   untuk   badan   pembentuk  undang­

undang adalah Pasal 20. Berbeda dengan ketentuan sebelum

diamandemen   bahwa   badan   pembentuk   undang­undang

adalah tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 20

ayat (1) UUD 1945.

108)

 

Kedua, landasan yuridis yang beraspek

materiil adalah ketentuan­ketentuan hukum tentang masalah

atau persoalan apa yang harus diatur.

109)

108 ) Pembentukan undang-undang menurut ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Hasil Amandemen

memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat karena dalam hal ini apabila rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Lihat… Eli Ruslina, Dasar Perekonomian Indonesia : Telah Terjadi Penyimpangan Mandat Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 2010.

109 ) Menurut Koentjaraningrat kebutuhan hidup manusia itu banyak, di antaranya ada delapan

macam yaitu :

1. Domestic institutions.

Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, ialah yang sering disebut kinship atau domestic institutions. Contoh : pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan kanak-kanak, perceraian dan sebagainya.

2. Economic institutions.

Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencarian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta dan benda, ialah economic institutions. Contoh : pertanian, peternakan, pemburuan, feodalisme, industry, barter, koperasi, penjualan dan sebagainya.

3. Educational institutions.

Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, ialah educational institutions. Contoh : pengasuhan anak-anak, pendidikan rakyat, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pemberantasan buta huruf, pendidikan keagamaan, pers, perspustakaan umum dan sebagainya.

4. Scientific institutions.

Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta sekelilingnya, ialah scientific institutions. Contoh : metodik ilmiah, penelitian, pendidikan ilmiah dan sebagainya.


(5)

Program   Legislasi   Nasional   (Prolegnas)   dapat   disebut

sebagai contoh tentang politik hukum, tetapi ia hanya bagian

dari   ilmu   politik   hukum.

110)

  Sementara   itu,   ilmu   atau   studi

politik hukum bukan hanya menyangkut policy atau arah resmi

tentang   hukum   yang   akan   diberlakukan   melainkan

menyangkut juga berbagai hal yang terkait dengan arah resmi

itu, misalnya politik apa yang melatarbelakangi, budaya hukum

apa  yang   melingkupi,   dan   problema   penegakkan   macam   apa

yang   dihadapi,   termasuk   harmonisasi   produk   hukum   pusat

dan   daerah

111)

.   Berbeda   dengan   politik   hukum,   ilmu   politik

Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya, dan untuk rekreasi, ialah aesthetic and recreational institutions. Contoh : seni rupa, seni suara, seni gerak, seni drama, kesusasteraan, sport dan sebagainya.

6. Religious institutions.

Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, ialah religious institutions. Contoh : gereja, doa, kenduri, upacara, penyiaran agama, pantangan, ilmu gaib dan sebagainya.

7. Political institutions.

Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, ialah political institutions. Contoh : Pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian, ketentaraan, dan sebagainya.

8. Somatic institutions.

Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmaniah dari manusia, ialah somatic institutions. Contoh : pemeliharaan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, kedokteran dan sebagainya.

Lihat...Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta, 1987, hlm.16-17.

110 ) Apabila memperhatikan proses legislasi atau pembentukan undang-undang di dalam praktik

kenegaraan saat ini, telah menunjukkan semakin dominan kepentingan (seperti politik, ekonomi) terhadap pembentukan undang-undang. Dalam hal substansi undang-undang yang merugikan masyarakat, penolakan sudah dimulai ketika proses pembahasan RUU tengah berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat. Guna membangunkan pembentuk undang-undang dari suasana yang tidak aspiratif itu berbagai kelompok masyarakat seringkali berupaya mulai dari cara yang halus melalui prosedur hukum, sampai unjuk rasa yang radikal. Melakukan lobi, membangun opini dan menawarkan draf alternatif. Jika cara yang paling lunak itu tidak tercapai, penolakan dengan ancaman mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

111 ) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dan Manajer Hubungan Eksternal Komite

Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengemukakan bahwa koordinasi pusat-daerah, pemerintah pusat lemah, ketika dimintai komentar tentang upaya meningkatkan efektivitas hubungan pemerintah pusat dan daerah. Endi kepada SP di Jakarta, Kamis (12/8/2010), mengatakan, selama ini, pilihan cara pusat untuk mengikat komitmen dan ketaatan daerah, melalui instrumen fiskal. Misalnya, untuk pengawasan atas sebuah peraturan daerah (perda), dibuat ketentuan pemotongan dan penundaan dana alokasi umum (DAU). Menurut dia, penggunaan instrumen fiskal tidak selamanya bisa dipertahankan,


(6)

hukum itu membedah semua unsur dalam sistem hukum yang

unsur­unsur utamanya oleh Friedman dikelompokkan menjadi

tiga unsur besar, yaitu materi hukum, struktur hukum, dan

budaya hukum.

112)

Berdasarkan   pendapat   para   pakar   mengenai   politik

hukum, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pendapat­

pendapat   tersebut   terakumulasi   dalam   pendapat   Soediman

Kartohadiprodjo,   oleh   karena   itu   yang   akan   dijadikan   pisau

analisis   dalam   penelitian   yang   berjudul   politik   hukum

perlindungan konsumen di Indonesia ini adalah batasan politik

hukum yang dikemukakan oleh Soediman Kartohadiprodjo. 

­­­­­­fte­­­­­

dan lebih mencerminkan sikap sepihak pusat. Perlu dibangun mekanisme kelembagaan berbasis koordinasi, mulai dari level perencanaan kebijakan, pembiayaan, hingga implementasi. “Selama ini, koordinasi seperti ini sulit berjalan. Hal itu disebabkan lemahnya ketegasan politik dan kepemimpinan pusat (khususnya Presiden),” katanya. Koordinasi Pusat-Daerah Pemerintah Pusat Lemah.Sumber : Berita Depdagri, Friday, 13 August 2010 17:21:06. Diunduh tgl. 21 November 2010, jam 05.10 WIB.

Lemahnya koordinasi antara pusat daerah tersebut mengakibatkan kebijakan pusat mengenai perlindungan konsumen juga kurang harmonis, hal ini terlihat misalnya dengan tidak efektifnya fungsi pengawasan terhadap barang dan jasa di lapangan, serta masih sangat kurangnya peraturan daerah yang bernuansa perlindungan konsumen, termasuk mengenai persepsi yang berbeda mengenai implementasi perlindungan konsumen, kemudian belum berdirinya BPSK di setiap kebupaten dan kota se Indonesia, serta belum adanya BPKN di tingkat provinsi.