Perlindungan Konsumen (3) perlindungan konsumen perlindungan konsumen

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………2
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..3
a.LATAR BELAKANG PERLINDUNGAN KONSUMEN……………………….............3
b.RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………………4
c. METODE PEMBAHASAN……………………………………………………………...5
PEMBAHASAN…………...……………………………………………………………… 5
KESIMPULAN.. ..................................................................................................................18
PENUTUP.............................................................................................................................19

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunianya kami
dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul
“Ringkasan Hukum Perlindungan Konsumen“.
Di dalam pembuatan makalah ini, saya berusaha menguraikan dan menjelaskan tentang
perlindungan terhadap konsumen. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati saya
menyampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah PHB. Yang telah memberikan waktu
dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan

banyak kekurangannya, oleh karena itu saya mengharapkan saran, kritik dan petunjuk dari
berbagai pihak untuk pembuatan makalah ini menjadi lebih baik dikemudian hari.
Terimakasih

PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan
pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih
banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu,
masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.
Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era
globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk
barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi,
iklan, maupun penawaran barang secara langsung.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya
akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa
disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.
Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat
telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi
produk barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan

besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak
yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan
bisa dengan mudah dikonsumsi.
Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang,
tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik
pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan
konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen,
memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi,
mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa
diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan
berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk
mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik.

Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang
direncanakan adalah untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara
tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan
penuh rasa tanggung jawab. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah mereka mempunyai
hak yang dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen sehingga dapat melakukan
sasial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya
undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan upaya

perlindungan konsumen di indonesia dapat lebih diperhatikan.
Pada penulisan makalah ini kita akan membahas mengenai bagaimana perlindungan terhadap
konsumen serta apa saja hak dan kewajiban konsumen. Dalam makalah ini kami juga akan
menjelaskan tentang prinsip ,asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen yang mungkin
akan berguna bagi pembaca khususnya mahasiswa/I dimasa yang akan datang.

b. RUMUSAN MASALAH
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi
terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan
haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen.
Selain kurangnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-hak dan kewajibanya yang terkait
dengan

tingkat

pendidikannya

yang


rendah,pemerintah

selaku

penentu

kebijakan,perumus,pelaksana sekaligus pengawas atas jalanya peraturan yang telah dibuat
sepertinya masih kurang serius dalam menjalankan kewajibannya.
Produsen yang yang mencari keuntungan pun masih membandel dengan menghalalkan segala
cara untuk memaksimalkan laba yang diperoleh tanpa memperhatikan undang-undang yang
berlaku serta keselamatan konsumennya.

c. METODE PEMBAHASAN
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode literatur kaji pustaka terhadap
buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah yang kami buat dan juga bersumber dari
beberapa artikel dari internet.

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu

atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari
pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang
dan jasa.
2.2Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap
hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen
merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam
hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30
Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan UndangUndang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah
selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal
20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan
perlindungan adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 ,
dan Pasal 33.

Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No.
3821

Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005
tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan

diundang-undangkannya

masalah

perlindungan


konsumen,

dimungkinkan

dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya
secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan
perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah
perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai
berikut :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001
tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang

Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota
Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.

Keputusan

Menteri

Perindustrian

dan

Perdagangan

Republik

Indonesia

Nomor


302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
2.3. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen
disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk
melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan
harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya,
konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau
menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian
hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup
dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara
keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau

jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh
perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi
barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan perdagangan
bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah
memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai
manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasayang

diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis
dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi
lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen
menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku
usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang
merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan
haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.
Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan

hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha
yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial
merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen
melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara
integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para
pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim
berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi
persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya
tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini
dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada
filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum
yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun
manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik
Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab
sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada
beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta
sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1989 tentang Paten;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19
Tahun 1989 tentang Merek;
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual
(HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah
diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban
setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang- undang baru yang pada
dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian,
Undang-undang

tentang

Perlindungan

Konsumen

ini

merupakan

paying

yang

mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
2.4. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan
tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di
tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

2.4.1. Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan
konsumen.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan

konsumen

harus

memberikan

manfaat

sebesar-

besarnya

bagi

kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d. Asas keamanan dan
keselamatan konsumen.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.

2.4.2. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai
konsumen.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.5.Hak dan Kewajiban Konsumen
2.5.1.Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan
tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang
kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap
dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih
jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan .
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam
pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan
antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain
hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang
dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal
dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan
demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya
hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu
yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen (bab VII),
bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X, dan XI).
2.5.2.Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Kewajiban Konsumen adalah :
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2.6.Prinsip-Prinsip perlindungan konsumen
2.6.1.prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat
subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat
subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah
timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang
berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak
konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor
kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen
diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk
melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan
standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen
(hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen)
Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan
tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang
didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan
konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya
unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Teori
tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan yang maksimal
kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan
gugatan kepada

produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara

konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi
produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.

Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip
tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat
pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen
untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada
kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian
atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum
dengan produsen.
Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap
hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung
jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang
tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah
dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi
ini bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung
jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan
kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab
mutlak.
2.6.2. Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan
konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang
dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk
rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian
atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab
bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang
sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah

dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya
memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani
tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab
berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk
perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
Pembatasan waktu gugatan.
Persyaratan pemberitahuan.
Kemungkinan adanya bantahan.
Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.

2.6.3. Prisip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini,
produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan
produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat
(konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan
produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini,
maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak
aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur
kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang
product liability adalah :
Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian
seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin
bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak
demikian dia harus bertanggung jawab.

KESIMPULAN
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan
hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak
atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada
konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta
kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan
UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena
yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen
untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga
dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai
mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai
dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh
pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta
harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa membahayakan
konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum.

lV.PENUTUP
Semoga makalah ini dapat memberi penjelasan dan dapat mengingatkan para
pembaca bahwa kita sebagai konsumen memiliki hak-hak serta kewajiban yang harus kita
laksanakan, dan kita juga memiliki perlindungan penuh atas hukum dan UU yang berlaku
yang bisa digunakan kapan saja ketika diri kita endapat perlakuakuan yang tidak sesuai
dengan apa-apa yang telah ditetapkan bagi konsumen.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa/mahasiswi, dan bisa
dijadikan referensi dalam melakukan kajian-kajian ilmiah tentang hukum perlindungan
konsumen.