Mempererat Hubungan Sosial Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB IV

Masyarakat Dayak Ngaju memahami bahwa perkawinan yang luhur dan suci adalah perkawinan yang sesuai dengan tatanan adat, yaitu melalui tahapan-tahapan seperti: Bisik Kurik dan Hakumbang Auh, Mamanggul, Maja Misek dan pemenuhan hukum adat perkawinan Jalan hadat. Carol dan Melvin mengatakan bahwa beberapa tahapan yang dilakukan sebelum perkawinan ini merupakan salah satu bentuk upacara dan perayaan dari suatu perkawinan yang resmi. 185 Jika di analisis, perkawinan yang disertai dengan perayaan-perayaan merupakan perkawinan yang terjadi karena mereka telah melakukan perkawinan berdasarkan keluhuran perkawinan. Perayaan tersebut sebagai sarana pemberitahuan kepada masyarakat yang hadir, bahwa kedua orang tersebut sudah melaksanakan perkawinan menurut hukum adat Dayak Ngaju. Pemberitahuan ini hanya dapat dilakukan oleh kedua mempelai, orang tua dan keluarga mempelai yang tidak melanggar kesucian perkawinan seperti yang diajarkan oleh leluhur; dalam pengertian bahwa kedua mempelai tidak melanggar keluhuran perkawinan dengan perbuatan yang melanggar kesusilaan melakukan hubungan seks sebelum menikah. Perkawinan yang tidak sesuai dengan adat akan mendatangkan bencana dan hal-hal yang buruk dalam perkawinan, sebagaimana yang dialami oleh nenek moyang pertama ketika perkawinan mereka tidak direstui oleh Raying Hatalla Langit.

2. Mempererat Hubungan Sosial

Perjanjian perkawinan sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial. Di dalamnya terdapat unsur kepentingan bersama yang menyatukan kedua keluarga, maupun dua kelompok masyarakat dimana kedua calon mempelai tinggal. Merujuk pada konsep perjanjian perkawinan menurut Soetojo Prawirodamidjojo, terlihat 185 Carol R. Ember and Melvin Ember, Anthropology . . ., 360 bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, berdasarkan asas kebebasan dan kesepakatan bersama dengan tetap berpegang pada hukum, agama dan kesusilaan. 186 Berdasarkan konsep tersebut, perjanjian perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk atas kesepakatan bersama, sebelum perkawinan itu dilaksanakan. Untuk mencapai kesepakatan bersama antar kedua pihak ini, maka didalamnya terjadi hubungan interaksi dan komunikasi antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, keluarga, kerabat dekat dan masyarakat. Hal ini juga terlihat ketika kedua calon mempelai menyatakan keinginan mereka untuk menikah, maka orang tua dan seluruh keluarga mengadakan musyawarah bersama untuk menindak lanjuti masalah tersebut. Pihak orang tua laki-laki pun mengirimkan orang yang bisa dipercaya untuk menyampaikan maksud hati anaknya, bisik kurik yang dilanjutkan dengan hakumbang auh penjajakan. Jika ternyata duit kumbang tidak dikembalikan, maka dilanjutkan dengan acara mamanggul meminang dan setelah itu maja misek bertunangan. Jadi, seluruh proses ini melibatkan tidak hanya kedua calon mempelai, tetapi juga orang tua, keluarga masing-masing pihak, kerabat dan masyarakat. Keterlibatan dari semua pihak ini, menunjukkan dukungan yang diberikan agar pelaksanaan perkawinan dapat berjalan dengan baik. Dan yang paling penting dalam setiap acara tersebut adalah adanya musyawarah dari kedua belah pihak calon mempelai, mengenai perjanjian perkawinan. Pembuatan perjanjian perkawinan merupakan rentetan peristiwa yang membutuhkan pemikiran dari kaum keluarga, kerabat dekat baik pihak laki-laki 186 Lihat Soetojo Prawirodamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,Surabaya: Airlangga University Press, 1994, 57, Lihat juga, K. Wantjik Saleh, SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, 59 maupun pihak keluarga perempuan. Peristiwa ini menunjukkan solidaritas yang tinggi dari seluruh keluarga. Perasaan bahagia dan sukacita terpancar dari sikap seluruh keluarga, karena mereka akan memiliki anggota baru dalam keluarga. Semangat kebersamaan dan persaudaraan yang kuat merupakan cerminan dari falsafah budaya betang yang sudah ada sejak dahulu kala. Demikian juga ketika pembicaraan tiba pada masalah Jalan hadat, maka keluarga kedua belah pihak bermusyawarah untuk menentukan nilai materi pengganti barang garantung, lilis yang pada masa sekarang sulit didapatkan. Dalam hal ini, tidak ada penentuan standar nilai materi yang melembaga seperti yang terdapat pada masyarakat Leo Kunak Rote belis. 187 Walaupun demikian, bukan berarti masyarakat Dayak Ngaju tidak mempunyai standar nilai terhadap status seseorang, tetapi dalam hal ini masyarakat Dayak Ngaju lebih melihat kepada nilai moral yang terkandung dalam pelaksanaan jalan hadat itu. Bahwa di dalam pemberian itu terdapat sikap hormat dan penghargaan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita dan keluarganya. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa besarnya nilai materi barang hadat yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan akan menunjukkan status sosialnya dalam masyarakat. Ketika nilai materi pengganti barang dicantumkan dalam Surat Perjanjian Perkawinan, dalam bentuk rupiah atau sebidang kebun maupun tanah perwatasan, secara otomatis pandangan yang muncul dalam masyarakat adalah: “dia barangai utus oloh toh” tidak sembarangan asal orang ini atau sebaliknya: “oloh biasa ih ampi” sepertinya orang biasasederhana saja. Berbagai tanggapan dan pandangan dari masyarakat mengenai status sosial seseorang pasti muncul. 187 Judith A. Folabessy, “Standarisasi Tu‟u Belis di Leo Kunak-Kabupaten Rote Ndao” Tesis di Universitas Kristen Satya Wacana, 2009. Mengenai status sosial yang dimaksud, Koentjaraningrat mengatakan bahwa dalam beberapa masyarakat terdapat istilah “lapisan sosial takresmi,” artinya: “anggota masyarakat tidak mempunyai kesadaran atau konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan pelapisan dan kelas-kelas dalam masyarakat mereka . . . kecuali hanya dengan sebutan-sebutan yang kabur seperti kaum atasan, kaum terpelajar, golongan menengah, . . . dsb.” 188 Berdasarkan pemahaman ini, nampak jelas bahwa dalam masyarakat Dayak Ngaju, sebelum adanya penghapusan mengenai perbudakan bab III, 1.5, lapisan sosial yang berlaku bersifat resmi. Namun, pada masa sekarang hal itu sudah tidak seketat dulu dan terlihat tidak jelas, sebutan- sebutan yang diberikan kabur. Walau demikian, biasanya anggota masyarakat tahu siapa yang mereka pandang lebih tinggi dari mereka, dan siapakah orang yang mereka pandang lebih rendah dari mereka; dan mereka tahu benar bagaimana mereka bersikap terhadap orang-orang tersebut. 189 Sebab itu, dalam masyarakat Dayak Ngaju hampir tidak pernah terdengar keluhan mengenai pemberian jalan hadat. Karena pihak laki-laki sebagai pihak pemberi cukup tahu dan menyadari kepada siapa, dan keturunan dari mana dia memberikan barang-barang tersebut. Sebaliknya pihak perempuan pun menyadari siapa, dan keturunan dari mana laki- laki yang akan menikah dengannya. Hal itu tentunya sudah diketahui sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Karena itu, biasanya orang tua selalu mengarahkan dan membimbing anak-anaknya dalam memilih pasangannya. Akan dilihat bagaimana kehidupan keluarganya, asal usulnya, kualitas dan pendidikan orang itu. 188 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 175-176 189 Ibid. Dalam masyarakat Dayak Ngaju, persyaratan jalan hadat terdiri dari 16 sampai 17 butir. Persyaratan ini mutlak dan itu tidak bisa dirubah. Biasanya yang sering mendapat perhatian secara khusus adalah palaku dan panginan jandau biaya pesta, karena jumlah yang dibayarkan lebih besar dibanding syarat-syarat yang lain. Untuk Palaku, dibayar dengan 5 lima pikul garantung gong. Jumlah berat barang hadat tersebut, berpedoman pada Palaku ayun indu je bawi Palaku yang dimiliki ibu calon mempelai wanita. Namun dalam hal pembayarannya berbeda, karena disesuaikan dengan nilai materi sekarang. Biasanya Palaku diberikan dari harta kekayaan orang tua calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan, sebagai bentuk berkah dan restu orang tua. Sedangkan untuk panginan jandau, jumlah yang dibayarkan tergantung kesepakatan bersama. Namun sebenarnya, jumlah yang dibayar tidaklah terlalu besar jika pesta itu dilaksanakan dengan sederhana, cukup di rumah mempelai wanitanya, seperti yang dilakukan para orang tua jaman dahulu. Tidak perlu di gedung atau harus acara yang mewah dan makanan istimewa. Karena yang terpenting adalah doa restu dari keluarga maupun masyarakat. Jika dianalisis, barang –barang adat yang diberikan dalam jalan hadat ini bersifat flexibel; dalam arti sesuai dengan keadaan jaman perkawinan itu dilaksanakan, dan kemampuan dari pihak laki-laki. Disini terlihat bahwa masyarakat Dayak Ngaju memiliki aturan yang pada satu pihak tegas dan mutlak, dalam arti tidak dapat ditoleransi. Namun dipihak lain ada aturan-aturan yang longgar, tidak kaku; dalam pengertian dapat ditoleransi sesuai dengan kemampuan. Sifat toleran yang tinggi, tidak memaksakan kehendak sendiri kepada pihak lain, menyebabkan hingga sejauh ini, tidak ada keluhan mengenai pemenuhan adat. Yang penting adalah niat hati dan kesungguhan dari masing-masing pihak. Niat dan kesungguhan hati inilah yang menghantar kedua mempelai untuk memasuki perkawinan. Jadi, pada prinsipnya jumlah nilai materi yang dibayar dalam jalan hadat dibicarakan oleh kedua belah pihak melalui musyawarah, sehingga mencapai kesepakatan. Umumnya nilai materi diberikan sesuai dengan kemampuan pihak laki-laki. Karena bukan masalah jumlah satuan materinya yang menjadi sasaran penting, melainkan nilai-nilai penting yang ada didalamnya. Penerapan Jalan hadat diharapkan tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan adat, tetapi sebagai bukti penghargaan sikap moral calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya, sebagaimana yang terlihat dari makna simbol yang terdapat dalam barang-barang jalan hadat tersebut. Jadi, dalam masyarakat Dayak Ngaju, penerapan Jalan Hadat dilakukan sebagai upaya mempertahankan hubungan sosial agar tetap berjalan dalam keadaan serasi, selaras dan seimbang, terutama hubungan sosial dengan anggota keluarga, baik pihak keluarga mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan dan juga sejumlah masyarakat. Suasana yang akrab, sikap gotong royong dan saling bekerjasama handep, terlihat sejak menjelang pelaksanaan perkawinan sampai hari pelaksanaan perkawinan. Rasa persamaan dan persaudaraaan selama acara ini berlangsung menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi dalam masyarakat Dayak Ngaju

3. Melegitimasi Perkawinan.