BAB IV MAKNA PERJANJIAN PERKAWINAN ADAT DAYAK
NGAJU
1. Pementasan Ulang Kehidupan Leluhur
Perjanjian perkawinan merupakan bagian dari perkawinan yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Dayak Ngaju. Bagi
masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bersepakat untuk membangun kehidupan bersama yang
mempunyai dasar dan pengukuhan yang luhur dan suci. Keluhuran dan kesucian perkawinan ini diungkapkan oleh Hermogenes
Ugang sebagai bentuk-bentuk keluhuran yang bersumber pada kekuatan Raying Sang Pencipta yang oleh orang Ngaju diamalkan dan dihayati secara tekun dan
teliti.
182
Kekuatan Raying yang adikodrati ini membuat seluruh tatanan kehidupan masyarakat menjadi suci sakral, dengan kata lain segala sesuatu yang jasmani
adalah rohani, dan yang rohani itu ada pada segala sesuatu yang jasmani.
183
Untuk menjaga dan mempertahankan keluhuran perkawinan, maka masyarakat Dayak
Ngaju memiliki perjanjian dalam perkawinan. Bila kita berbicara mengenai perjanjian perkawinan, mau tidak mau kita berbicara tentang asal mula perkawinan
dan asal mula perjanjian perkawinan. Sebagaimana diungkapkan dalam bab tiga, orang Dayak melihat bahwa adat perkawinan sudah diatur sejak semula, yaitu sejak
nenek moyang mereka yang pertama yaitu: Raja Garing Hatungku dengan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang. Ketika itu manusia belum menyadari bahwa
perbuatan mereka dapat mencemarkan keluhuran hidup. Hal itu terjadi pada waktu
182
Hermogenes Ugang, Menelusuri 48-49
183
Ibid.
Garing Hatungku dan Nyai Endas ketika melangsungkan perkawinan tanpa “pentahbisan” dari Raying. Perkawinan yang “tidak resmi” itu mengakibatkan Nyai
Endas mengalami keguguran berkali-kali dan akibat keguguran itu menghasilkan segala jenis binatang, tumbuhan liar dan sebagainya lih. Bab I.
Jika merujuk pada konsep di atas, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan sebagai salah satu bentuk keluhuran yang bersumber dari Raying, yang
dianggap sakral. Kesakralan perjanjian perkawinan juga dapat dilihat ketika terjadi
pelanggaran terhadap perjanjian maka, si pelanggar akan mendapat sanksi adat singer karena dianggap melanggar keluhuran perkawinan. Pelanggaran ini
disebut Durkheim sebagai pelanggaran religius yang berakibat hukuman-hukuman dan penderitaan bagi pelanggarnya; masyarakat sekitar juga ikut menghukumnya,
sehingga si pelanggar menderita lahir batin.
184
Bagi masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan
merupakan pementasan ulang kehidupan leluhur. Melalui perjanjian itu, sepasang suami istri berjanji untuk
selalu setia satu sama lain. Barang-barang hadat yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan keluarganya, merupakan simbol-simbol yang
memiliki makna dan nilai-nilai moral, penghargaan, kesungguhan dan kesetiaan. Pemberian seorang calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanitanya
merupakan pementasan ulang peristiwa lampau yang pernah dialami oleh leluhur manusia. Sebagaimana Garing Hatungku memberikanmenyanggupi permintaan
Nyai Endas, demikian juga seorang laki-laki berusaha untuk memenuhi permintaan dari pihak perempuan dan keluarganya.
184
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, Translated by Joseph Word Swain 1976, 302 dalam Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri
Bergson, Yogyakarta: Kanisius, 1994, 60.
Masyarakat Dayak Ngaju memahami bahwa perkawinan yang luhur dan suci adalah perkawinan yang sesuai dengan tatanan adat, yaitu melalui tahapan-tahapan
seperti: Bisik Kurik dan Hakumbang Auh, Mamanggul, Maja Misek dan pemenuhan hukum adat perkawinan Jalan hadat. Carol dan Melvin mengatakan bahwa
beberapa tahapan yang dilakukan sebelum perkawinan ini merupakan salah satu bentuk upacara dan perayaan dari suatu perkawinan yang resmi.
185
Jika di analisis, perkawinan yang disertai dengan perayaan-perayaan merupakan perkawinan yang terjadi karena mereka telah melakukan perkawinan
berdasarkan keluhuran
perkawinan. Perayaan
tersebut sebagai
sarana pemberitahuan kepada masyarakat yang hadir, bahwa kedua orang tersebut sudah
melaksanakan perkawinan menurut hukum adat Dayak Ngaju. Pemberitahuan ini hanya dapat dilakukan oleh kedua mempelai, orang tua dan keluarga mempelai
yang tidak melanggar kesucian perkawinan seperti yang diajarkan oleh leluhur; dalam pengertian bahwa kedua mempelai tidak melanggar keluhuran perkawinan
dengan perbuatan yang melanggar kesusilaan melakukan hubungan seks sebelum menikah. Perkawinan yang tidak sesuai dengan adat akan mendatangkan bencana
dan hal-hal yang buruk dalam perkawinan, sebagaimana yang dialami oleh nenek moyang pertama ketika perkawinan mereka tidak direstui oleh Raying Hatalla
Langit.
2. Mempererat Hubungan Sosial