EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUTAN KEMASYARAKATAN (Studi di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013)
ABSTRACT
EVALUATION OF IMPLEMENTATION FORESTRY COMMUNITY POLICY (Studies in Sumber Jaya Subdistrict, West Lampung Regency 2013 )
by ADE IRAWAN
This research aims to obtain a description and analyzed the evaluation of implementation community forestry policy in Sumber Jaya Subdistrict in West Lampung Regency 2013. The terms are aspects of policy standards and objectives, communication between the organization and activity measurement, organizational characteristics, conditions of social, economic, and political, resources, implementing and attitudes, as well as enabling and constraining factors. This study used a qualitative research approach that describes the type of descriptive facts that occur in the field related to the study. The method of collecting data is through documentation, observation, and interviews. The data analysis using data reduction, data presentation, drawing conclusions, and to achieve the validity of the data is done by triangulation of data.
Based on the research results that the evaluation of implementation community forestry policy in the West Lampung Regency spelled in Sumber Jaya Subdistrict is not being successful. This is because there is still a problem in the implementation of which is still found problems community forest area boundaries and the low of the holder of the Community Forest Management (IUPHKm) handed the General Plan and Community Forest Operational Plan.
The suggestions of writers for the evaluation of implementation community forestry policy in the West Lampung Regency on Sumber Jaya Subdistrict is as follows: (1) Forest Service needs to provide training in the work plan and report utilization of community forestry activities. (2) Forest Service must conduct forestry extension recruitment to accompany each group of community forestry. (3) the Government should also give attention to the budget provision. Government should be budgeted funds from the budget for the implementation of community forestry policy, so there is no shortage of budget, so that the implementation process can run smoothly and optimally.
(2)
ABSTRAK
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUTAN KEMASYARAKATAN (Studi di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013)
Oleh ADE IRAWAN
Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran (deskripsi) dan menganalisis tentang evaluasi pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013 yang ditinjau dari aspek standar dan sasaran kebijakan, komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktifitas, karakteristik organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, dan sikap pelaksana, serta faktor penghambat dan pendorong. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif yang menggambarkan fakta-fakta yang terjadi dilapangan yang berhubungan dengan penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, observasi, dan wawancara. Teknik analisa data menggunakan reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan untuk mencapai keabsahan data dilakukan dengan triangulasi data.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat terbilang belum berhasil. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaannya masih terdapat masalah diantaranya yaitu masih ditemukan masalah tata batas area hutan kemasyarakatan dan masih rendahnya pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) menyerahkan Rencana Umum dan Rencana Operasional Hutan Kemasyarakatan.
Saran-saran dari peneliti untuk pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat yaitu sebagai berikut; (1) Dinas Kehutanan perlu memberikan pelatihan dalam menyusun rencana kerja dan pembuatan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan. (2) Dinas Kehutanan harus melakukan rekuitmen penyuluh kehutanan untuk mendampingi setiap kelompok hutan kemasyarakatan. (3) Pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pemberian anggaran. Pemerintan harus menganggarkan dana dari APBD untuk pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan, sehingga tidak terjadi kekurangan anggaran, agar proses implemetasi dapat berjalan dengan lancar dan optimal.
(3)
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUTAN KEMASYARAKATAN (Studi di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013)
Oleh ADE IRAWAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA
Pada
Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2014
(4)
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUTAN KEMASYARAKATAN (Studi di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013)
(Skripsi)
Oleh ADE IRAWAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2014
(5)
RIWAYAT HIDUP
Peneliti bernama Ade Irawan, dilahirkan di Suka Jaya, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat, pada 21 Oktober 1991 yang merupakan putra ketiga dari 3 (tiga) bersaudara dari pasangan Bapak Nur Cholis dan Ibu Hati Haryati.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh peneliti antara lain:
1. SD Negeri 1 Suka Jaya dan diselesaikan di SD Negeri 1 Bumi Dipasena Sejahtera, Tulang Bawang pada tahun 2001
2. SMP Negeri 1 Way Tenong pada tahun 2007
3. SMA Negeri 1 Way Tenong, Lampung Barat yang diselesaikan pada tahun 2010.
Pada tahun 2010 peneliti diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2012 penulis pernah menjadi pemenang PKM Bidang Kewirausahaan Dikti Kemendikbud RI tentang Bisnis Makanan Ringan (Snack Crispy) Tulang Ikan. Selain kuliah peneliti pun aktif di beberapa organisasi kampus yaitu FSPI Unila. Kemudian pada tahun 2012 peneliti melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mataram Marga, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.
(6)
MOTO
“
Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya ALLAH selalu bersama kita
”
.
(Q.S. At-taubah : 4)
“Seseorang yang cemerlang hari ini datangnya dari seseorang yang biasa,
tetapi yang menjadikannya cemerlang karena usahanya yang luar biasa.”
(Drs. Berchah Pitoewas, M.H)
“
Kesuksesan itu sejalan de
ngan kesabaran dan pengorbanan.”
(7)
PERSEMBAHAN
Puji syukur kekhadirat Allah SWT dengan ketulusan dan keikhlasan
kupersembahkan sebentuk karya ini sebagai bakti cinta dan
sayangku kepada :
Kedua orangtuaku tercinta Ayahanda Nur Cholis dan Ibunda Hati Haryati
yang selama ini telah memberikan cinta, kasih sayang, dan dukungan moril maupun materil
yang dengan selalu setia menanti
dan mendo’akan
keberhasilanku.
Kakakku Erna Wati, S.Pd dan Nur Evitasari, S.Pd yang dengan cinta
dan kasih sayangnya selalu membimbing dan mendukung serta
mendo’akan keberhasilanku.
Nenekku tercinta Uung, dengan kasih sayangnya
selalu mendoakan keberhasilanku
Dan seluruh keluarga besarku di Lampung Barat dan Jawa Timur yang selalu
memberikan perhatian
dan do’a
kepadaku,
serta untuk almamater tercintaku
Universitas Lampung
(8)
SANWACANA
Bismillaahirrahmaanirrahim,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayahnya-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Program Hutan Kemasyarakatan (Studi di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari hambatan yang datang baik dari luar dan dari dalam diri peneliti. Penulisan skripsi terselesaikan berkat dukungan dan bimbingan, bantuan, serta petunjuk dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
2. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.Sos., M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara.
3. Bapak Prof. Dr. Yulianto, Drs., M.S., selaku Pembimbing Akademik. 4. Bapak Simon Sumanjoyo H, S.AN, M.A., selaku Sekertaris Jurusan Ilmu
(9)
5. Ibu Dra. Dian Kagungan, M.H., selaku Pembimbing I yang telah memberikam nasehat, arahan, ilmu, waktu, dan tenaga selama proses pendidikan dan penyusunan skripsi ini hingga akhir.
6. Ibu Dewie Brima Atika, S.IP., M.Si., selaku Pembimbing II yang telah memberikam nasehat, arahan, ilmu, waktu, dan tenaga selama proses pendidikan dan penyusunan skripsi ini hingga akhir.
7. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang telah mewariskan ilmunya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan serta membimbing penulis selama menempuh studi.
8. Bapak Ir. Amirian, M.P selaku Kepala Dinas Kehutanan Lampung Barat yang telah bersedia menjadi informan serta telah memberikan bantuan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Bapak Buhroni Ibrahim selaku Kepala Unit Pelayanan Teknis Dinas Kehutanan Kecamatan Sumberjaya yang telah bersedia menjadi informan serta telah memberikan bantuan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini.
10.Kedua orangtuaku tercinta Ayahanda Nur Cholis dan Ibunda Hati Haryati yang selama ini telah memberikan cinta, kasih sayang, dan dukungan
moril maupun materil yang dengan selalu setia menanti dan mendo’akan
(10)
mendo’akan keberhasilanku.
12.Nenekku tercinta Uung, dengan kasih sayangnya selalu mendoakan keberhasilanku.
13.Terimakasih buat Nuzul, Bunga, Pandu, Enggi yang sudah mau jadi pembahas dan Karina, Fadri, yang sudah mau jadi moderator.
14.Kepada sahabatku: Aris, Jodi (terimakasih buat bantuan-bantuannya, buat tumpangannya), fadri, yogis, anjas (semangat buat drafnya). Sahabat SMA agus, agung (terimakasih buat bantuannya saat riset).
15.Kepada keluarga besar Ilmu administrasi Negara FISIP UNILA angkatan 10 yang tidak bisa disebutkan satu per satu ,sebagai keluarga besar yang telah menjadi inspirasi Tri Darma Perguruan Tinggiku.
16.Serta semua pihak yang terlibat dan belum disebutkan namanya satu per satu, terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.
Bandar Lampung, 17 Juni 2014 Penulis,
(11)
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ………...
DAFTAR TABEL………
DAFTAR GAMBAR ………..
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………... 1
B. Rumusan Masalah ……….. 13
C. Tujuan Penelitian ………... 13
D. Manfaat Penelitian ………..………... 14 II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Publik……….……...
1. Pengertian Kebijakan Publik ………. 2. Tahap-Tahap Kebijakan Publik……….. 3. Unsur-Unsur Kebijakan Publik ………. 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Publik……. B. Evaluasi Kebijakan Publik
1. Pengertian Evaluasi Kebijakan Publik……….. 2. Pendekatan Evaluasi Kebijakan Publik………. 3. Tipe Evaluasi Kebijakan Publik……….……... 4. Fungsi Evaluasi Kebijakan Publik……….…...
ii v vi
1 8 9 9
10 10 12 14 17
21 23 24 25
(12)
C. Hutan Kemasyarakatan (Hkm)
1. Gerakan Hutan Kemasyarakatan di Indonesia………….… 2. Pengertian Hutan Kemasyarakatan ………….…...….…... 3. Maksud dan Tujuan Hutan Kemasyarakatan………….…... 4. Aktor-Aktor dalam Hutan Kemasyarakatan………….….... D. Kerangka Pikir………..………....….…... III. METODE PENELITIAN
A. Tipe dan Pendekatan Penelitian ………...………...
B. Fokus Penelitian ……….………..………...
C. Lokasi Penelitian…….……….………....
D. Jenis dan Sumber Data…….……….………...
E. Instrumen Penelitian…….……….………...
F. Teknik Analisis Data…….………...
G. Teknik Keabsahan Data ………... IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Barat………... 1. Sejarah Perkembangan Kabupaten Lampung Barat……...
2. Geografis…….……….………....
B. Gambaran Umum Kecamatan Sumberjaya………... C. Gambaran Umum Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat...
1. Struktur Organisasi………...… 2. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan Dinas Kehuanan
Kabupaten Lampung Barat ………...… D. Kondisi Umum Hutan Kabupaten Lampung Barat……….………... E. Kebijakan Hutan Kemasyarakatan………...…
36 36 37 38 40 40 41 27 27 30 31 32 44 44 46 49 53 53 55 60 63
(13)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Evaluasi pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di
Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat………...… 1. Standar dan Sasaran Kebijakan………...…
2. Sumber Daya………...………
3. Komunikasi Antara Organisasi dan Pengukuran Aktifitas…
4. Sikap Pelaksana………...………
5. Kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik....……… 6. Karakteristik Organisasi…………...………... B. Fakto-Faktor Penghambat dan Pendorong Dalam
Kebijakan Hutan Kemasyarakatan ……...……….... VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………...………...
B. Saran………...……….……....
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
66 66 78 84 86 88 96
97
101 103
(14)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel. 1 Tipe Evaluasi Kebijakan………..………. 25
Tabel. 2 Informan Penelitian………..………….… 39
Tabel. 3 Data Luasan Wilayah Kabupaten Lampung Barat……….. 48 Tabel. 4 Kepadatan Penduduk per Pekon Kecamatan Sumberjaya 2012……... 52 Tabel. 5 Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan Dinas Kehuanan
Kabupaten Lampung Barat………..…. 55
Tabel. 6 Pembagian Kawasan Hutan Kabupaten Lampung Barat……… 60 Tabel. 7 Pembagian Luasah Hutan di Kabupaten Lampung Barat…………... 61 Tabel. 8 Data Kerusakan Kawasan Hutan di Kabupaten Lampung Barat…… 62 Tabel. 9 Daftar Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan
di Provinsi Lampung…….………..……… 64
Tabel. 10 Data Kerusakan Lahan di Kawasan Hutan Kabupaten
Lampung Barat………..………. 75
Tabel. 11 Data Jumlah Kelompok Hutan Kemasyarakatan
di Kecamatan Sumberjaya………...…… 78 Tabel. 12 Data Kelompok Tani Pengelola Hutan Lindung untuk
Mendapatkan Pencadangan Areal Hutan Kemasyarakatan
di Kecamatan Sumberjaya 2013………. 80
Tabel. 13 Jumlah Penduduk dan Persentase Pengangguran Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal di Provinsi Lampung
Tahun 2011………..….. 88
Tabel. 14 Penghasilan Masyarakat Sebelum dan Sesudah
(15)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar. 1 Alur Kerangka Pikir……….………..…………. 35
(16)
DAFTAR PUSTAKA
Agustino Leo, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung: ALFABETA
Fauzi Hamdani, 2012, Pembangunan Hutan Berbasis Kehutanan Sosial, Bandung: CV. Karya Putra Darwati
Feriyanti Suci. Evaluasi Implementasi Program Konvensi Minyak Tanah Ke Gas LPG 3 KG Di Kelurahan Aren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi Tahun 2007. Dalam Administratio. No.6. 2009. Hal 586: Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNILA.
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media
Moleong, Lexy J, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nogi S. Hesel, Tangkilisan, 2003, Kebijakan Publik Yang Membumi, Yogyakarta: Lukman Offset
Nugroho Riant, 2012, Public Policy, Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Patilima Hamid, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta
Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan. Bandung: Refika Aditama
(17)
Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
Suhendang Endang, 2013, Pengantar Ilmu Kehutanan, Bogor: IPB Press
Wahab, Solichin Abdul, 2004, Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara
Wibawa S, Purbokusumo, dan Pramusito Agus, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Winarno Budi, 2012, Kebijakan Publik, Teori, Proses dan Studi Kasus, Jakarta: CAPS
Wulandari Christine, 2009, Buku Ajar Hutan Kemasyarakatan, Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Undang-Undang:
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.18/Menhut-II/2009 tentang Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.13/Menhut-II/2010 tentang Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan
(18)
6 September 2013.
www.dephut.net, diakses pada tanggal 6 September 2013.
(19)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan yang mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta hektar atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia. Menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 20,50 juta hektar, hutan lindung seluas 33,52 juta hektar, hutan produksi seluas 58,25 juta hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,08 juta hektar. (Sumber: www.dephut.net di akses 6 September 2013 pukul 14.00). Seiring dengan meningkatnya laju konversi hutan yang diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahun untuk lahan pertanian, pemukiman, serta pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat disadari telah mengurangi luasan serta fungsi hutan yang pada gilirannya menimbulkan banyak masalah seperti kerusakan sistem ekologi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan bahkan perubahan iklim global.
(20)
Selain laju konversi hutan, masalah pembalakan liar atau illegal logging, atau penebangan liar, merupakan penyumbang kerusakan hutan terbesar di Indonesia.
Illegal logging adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Kegiatan illegal logging berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. Laju kerusakan hutan (deforestasi) 2004-2009 yang dirilis Kementerian Kehutanan (Kemhut), mencapai 1,7 juta hektar per tahun. Data dari The UN Food dan Agriculture Organization (FAO), justru menyebut angka kerusakan hutan di Indonesia periode Mei 2010 berkisar 500.000 hektare per tahun. (Sumber: http ://www.merdeka.com diakses 6 September 2013 pukul 14.20).
Penyebab masih terjadinya konversi hutan dan pembalakan liar atau illegal logging ialah masih banyaknya masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi salah satu yang perlu terus diupayakan bersama untuk mengurangi angka kemiskinan dan mengurangi terjadinya konversi hutan dan pembalakan liar. Menurut data Dinas Kehutanan Republik Indonesia Tahun 2011, masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan tesebar di 2.805 desa, di sekitar kawasan hutan yang tersebar di 16.605 desa, umumnya tergolong miskin. Seiring dengan adanya reformasi, terjadi perubahan paradigma dan cara berpikir dalam melihat dan mempersepsikan bagaimana mengelola hutan secara lebih baik di Indonesia. Pengelolaan hutan yang lebih menitikberatkan pada fungsi ekonomi komersial dan ekologis yang selama ini diterapkan secara rigid terbukti tidak mampu
(21)
menjembatani kebutuhan sosial-ekonomi subsistem masyarakat terutama mereka yang hidupnya memiliki ikatan historis saling ketergantungan dengan ekosistem hutan di sekitar mereka. Kaitannya dengan hal ini, Kementrian Kehutanan mulai memberikan perhatian yang semakin besar kepada program-program Hutan Kemasyarakatan.
Kebijakan pembangunan kehutanan yang sentralistik diyakini sebagian kalangan tidak begitu efektif menjaga kawasan hutan. Peningkatan partisipasi masyarakat baik dalam kebijakan dan juga dalam pengelolaan sumber daya hutan, dapat mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan. Pengakuan tentang pentingnya masyarakat sebagai basis pembangunan kehutanan di Indonesia dinyatakan dengan tegas pada perubahan paradigma tersebut yang kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk kebijakan. Salah satu kebijakan penting yang dapat menjadi cermin kemauan pemerintah mengembalikan masyarakat lokal sebagai aktor utama pembangunan kehutanan di Indonesia adalah kebijakan Hutan Kemasyarakatan. Melalui program ini, akses masyarakat dalam mengelola hutan kembali dibuka setelah sekian lama tertutup.
Kebijakan hutan kemasyarakatan memberikan peluang nyata bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Ini terwujud dari pemberian akses kepada masyarakat. Hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan memberikan hak akses kepada masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dan pengelolaan hutan. Sesuai dengan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP Nomor 34 Tahun 2002 Pasal 51 menyebutkan secara tegas bahwa pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan sekitar hutan dilaksanakan dalam rangka penguatan kelembagaan masyarakat
(22)
dalam memanfaatkan hutan. Di samping itu pengembangan hutan kemasyarakatan merupakan wujud implementasi kebijakan desentralisasi bidang kehutanan, peranan pemerintah daerah terutama pemerintah kabupaten/kota akan sangat penting, karena seluruh aspek teknis pelaksanaan program akan menjadi tanggungjawab bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kebijakan Hutan kemasyarakatan pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya adalah Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan Hutan Kemasyarakatan masih sangat kecil. Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non kayu. Menteri kehutanan juga merancang pelayanan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Promosi bentuk Hutan Kemasyarakatan ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Kemudian Keputusan Menteri Kehutanan tersebut dirubah dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Peraturan ini lagi-lagi tidak membuahkan hasil yang maksimal
(23)
karena tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Keputusan-keputusan terhadap kehutanan masyarakat di atas juga pada intinya digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan Hak Pengusaha Hutan (HPH) skala besar.
Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannyanya (Peraturan Menteri Kehutanan No.P.18/Menhut-II/2009, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011). Peraturan tersebut menjelaskan petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perijinan dan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Peraturan tersebutkan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Kemasyarakatan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat sehingga mereka mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P52 / Menhut – II / 2011 Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Tujuan Hutan kemasyarakatan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan memberi
(24)
akses lebih besar pada masyarakat sekitar hutan untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan guna peningkatan pendapatan dan kualitas hidup mereka.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011) Hutan kemasyarakatan hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Ketentuannya, hutannya tidak dibebani hak atau ijin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Hutan kemasyarakatan diperuntukkan bagi masyarakat miskin setempat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan. Kebijakan Hutan kemasyarakatan mengizinkan masyarakat untuk dapat mengelola sebagian dari sumberdaya hutan dengan rambu-rambu yang telah ditentukan. Masyarakat yang dipercaya membangun hutan dengan sistem berkelompok ini, akan mendapat imbalan oleh pemerintah dalam bentuk kepastian penguasaan lahan dengan jenis Izin Hak Kelola (bukan hak kepemilikan).
Saat ini, di beberapa tempat di Indonesia, telah banyak kelompok-kelompok yang berkegiatan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan, termasuk beberapa diantaranya di Provinsi Lampung, untuk mengimplemetasikan kebijakan Hutan kemasyarakatan pihak kehutanan di Provinsi Lampung menetapkan pencadangan areal Hutan kemasyarakatan seluas ± 291.727 hektar yang meliputi Hutan Lindung seluas 198.470 hektar, Suaka Alam/Taman Nasional seluas 59.627 hektar dan Hutan Produksi seluas 33.630 hektar yang tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung dan pada umumnya wilayah kawasan hutan
(25)
tersebut telah rusak atau telah diusahakan oleh masyarakat sehingga secara teknis menunjukkan bahwa fungsi hutan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. (Sumber: www.dephut.net diakses 6 September 2013 pukul 14.30).
Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang menjalankan kebijakan program Hutan Kemasyarakatan, yaitu berada di Kecamatan Sumber Jaya daerah hutan Rigis Jaya II yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31 Tahun 2001 seluas 251,65 hektar. Kemudian dengan keluarnya Peraturan Mentri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) selama 35 tahun. Diinisiasi dan difasilitasi oleh LSM Lingkungan Hidup WATALA dengan dukungan berbagai pihak. Areal Hutan kemasyarakatan Rigis Jaya II ini juga dipilih oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) sebagai Laboratorium Kehutanan Masyarakat (KM) dan Perubahan Iklim. Kawasan Rigis Jaya II sangat penting dalam penyeimbang ekosistem mikro, sumber penghasilan, listrik mikrohidro, dan jasa lingkungan. Program Hutan kemasyarakatan ini telah memberi dampak langsung bagi masyarakat kawasan Rigis Jaya II secara ekonomi, dan dampak tidak langsung bagi masyarakat Lampung Barat dan masyarakat global (iklim).
Pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya daerah hutan Rigis Jaya II, ternyata masih terdapat masalah-masalah dalam pelaksanaan kebijakan Hutan Kemasyaraakatan. Permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan adalah masalah tata batas area hutan kemasyarakatan dan masih rendahnya pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) menyerahkan Rencana Umum dan Rencana Operasional Hutan
(26)
Kemasyarakatan. Ada 22 kelompok Hutan Kemasyarakatan pemegang IUPHKm, dan baru 7 yang telah selesai menyusun Rencana Umum dan Rencana Operasional. Padahal, Rencana Umum dan Rencana Operasional merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan pemegang izin sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Rencana Umum dan Rencana Operasional cukup rumit dilaksanakan tanpa dukungan dan fasilitasi pihak lain. Ada hal-hal teknis yang cukup berat untuk dilaksanakan, seperti keharusan membuat peta andil, peta batas, berbasis GIS/GPS, pendataan tanam tumbuh, dan lainnya. (Sumber: Lampung.antaranews.com diakses 8 September 2013 pukul 20.00.)
Memperhatikan permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (Studi di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana evaluasi pelaksanaan kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013?
2. Apa sajakah faktor-faktor penghambat dan pendorong proses implementasi kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat?
(27)
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran (deskripsi) dan menganalisis tentang evaluasi pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013.
2. Menjelaskan faktor-faktor pendukung dan penghambat proses implementasi kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
1. Secara akademis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi studi Ilmu Administrasi Negara, khususnya mengenai implementasi dan evaluasi kebijakan publik.
2. Secara praktis diharapkan penelitian ini mampu memberikan masukan yang bermanfaat bagi masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat khususnya Dinas Kehutanan.
(28)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik
Istilah kebijakan publik sering digunakan dalam beberapa penelitian, khususnya disiplin ilmu sosial. Menurut Dye (dalam Agustino, 2008:7) kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan., melalui definisi ini kita mendapat pemahaman bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan pemerintah dan apa yang sesunguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah. Selain itu, Friedrich (dalam Wahab, 2004:3) menyatakan bahwa kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Menurut Pasolong (2007:39), kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, berorientasi kepada kepentingan publik dan merupakan suatu tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh pemerintah, demi kepentingan publik. Dilihat dari definisi kebijakan publik di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan yang diambil dan merupakan suatu tindakan
(29)
yang dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik.
Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan-kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan oleh apa yang oleh David Easton disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para eksekutif, para legislator, para hakim, para administrator, para monarki dan lain sebagainya.
Menurut Wahab (2004:6) ciri-ciri kebijakan publik antara lain:
a. Kebijaksanaan negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan negara dalam sistem-sistem politik moderen pada umumnya bukanlah merupakan tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan.
b. Kebijaksanaan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri.
c. Kebijaksanaan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.
d. Kebijaaksanaan negara mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Bentuk positif, kebijaksanaan negara mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sementara dalam bentuknya yang negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak,
(30)
atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.
Dilihat dari ciri-ciri kebijakan publik di atas, kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan, bukan tindakan yang acak dan kebetulan, kebijakan publik merupakan suatu tindakan yang direncanakan dan terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah.
2. Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang tidak mudah karena membutuhkan banyak proses. Dye (dalam Nugroho, 2012:529) mengembangkan proses kebijakan sebagai berikut:
a. Identifikasi masalah (identification of policy problem) b. Penyusunan agenda (agenda setting)
c. Formulasi kebijakan (policy formulation)
d. Pengesahan kebijakan (policy legitimation)
e. Implementasi kebijakan (policy implementation)
f. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Sedangkan menurut Dunn (dalam Winarno, 2012:36) tahap-tahap kebijakan publik adalah:
a. Tahap Penyusunan Agenda
Merupakan tahap penempatan masalah pada agenda publik oleh para pejabat yang dipilih dan diangkat. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.
(31)
b. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada.
c. Tahap Adopsi Kebijakan
Banyaknya alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Tahap Implementasi Kebijakan
Semua program hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah di ambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah dilaksanakan oelh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia.
e. Tahap Penilaian Kebijakan atau Evaluasi
Tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukan ukuran-ukuran yang
(32)
menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah menarik dampak yang diinginkan.
Dilihat dari tahap-tahap kebijakan di atas, telah menjelaskan bahwa tahap-tahap kebijakan merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dan semua bagian saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Penelitian ini lebih memfokuskan pada tahap penilaian kebijakan atau evaluasi.
3. Unsur-Unsur Kebijakan
Dilihat dari segi struktur terdapat lima unsur kebijakan menurut Abidin (2004:45): a. Tujuan kebijakan, bahwa suatu kebijakan dibuat karena ada tujuan yang ingin dicapai. Tanpa ada tujuan tidak perlu ada kebijakan, demikian tujuan menjadi unsur pertama dari suatu kebijakan. Tidak demikian semua kebijakan mempunyai uraian yang sama tentang tujuan itu. Perbedaan terletak tidak sekedar pada jangka waktu mencapai tujuan dimaksud, tetapi juga ada posisi, gambaran, orientasi, dan dukungannya. Kebijakan yang baik mempunya tujuan yang baik. Tujuan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria, yaitu: diinginkan untuk dicapai, rasional atau realistis, jelas dan berorientasi ke depan.
b. Masalah, masalah marupaka unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan. Tidak ada artinya suatu cara atau metode yang baik untuk pemecahan suatu masalah kebijakan kalau pemecahannya dilakukan bagi masalah yang tidak benar.
c. Tuntutan (demand), sudah diketahui partisipasi merupakan indikasi dari masyarakat maju (Huntington, 1990:1). Partisipasi itu berbentuk
(33)
dukungan, tuntutan dan tantangan atau kritik seperti halnya partisipasi pada umumnya, tuntutan dapat bersifat moderat atau radikal. Tergantung pada pentingnya dari tuntutan tersebut.
d. Dampak, dampak merupakan tujuan lanjutan yang timbul sebagai pengaruh dari tercapainya suatu tujuan.
e. Sasaran atau alat kebijakan, suatu kebijakan dilaksanakan dengan menggunkan sarana yang dimaksud. Beberapa dari sarana ini antara lain: kekuasaan, insentif, pengembangan, simbolis dan perubahan kebijakan itu sendiri.
Sedangkan menurut Dunn (dalam Wibawa, 1999), kebijakan secara umum mempunyai 5 (lima) unsur utama, yaitu:
1) Masalah publik (Public Issue): merupakan isu sentral yang akan diselesaikan dengan sebuah kebijakan. Seperti disampaikan di depan, kebijakan selalu diformulasikan untuk mengatasi ataupun mencegah timbulnya masalah, khususnya masalah yang bersifat isu publik. Masalah disebut sebagai isu publik manakala masalah itu menjadi keprihatinan
(Concern) masyarakat luas dan mempengaruhi hajat hidup masyarakat luas.
2) Nilai Kebijakan (Value); setiap kebijakan selalu mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan untuk menciptakan tata nilai baru atau norma baru dalam organisasi. Seringkali nilai yang ada di masyarakat atau anggota organisasi berbeda dengan nilai yang ada di pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi dan komunikasi yang intens pada saat merumuskan kebijakan.
(34)
3) Siklus Kebijakan; proses penetapan kebijakan sebenarnya adalah sebuah proses yang siklis dan bersifat kontinum, yang terdiri atas tiga tahap: Perumusan kebijakan (Policy Formulation), Penerapan kebijakan (Policy Implementation), dan Evaluasi kebijakan (Policy Review). Ketiga tahap atau proses dalam siklus tersebut saling berhubungan dan saling tergantung, kompleks serta tidak linear, yang ketiganya disebut sebagai
Policy Analysis.
4) Pendekatan dalam Kebijakan; pada setiap tahap siklus kebijakan perlu disertai dengan penerapan pendekatan (Approaches) yang sesuai. Tahap formulasi, pendekatan yang banyak dipergunakan adalah pendekatan normatif, valuatif, prediktif, ataupun empirik. Tahap implementasi banyak menggunakan pendekatan struktural (organisasional) ataupun pendekatan manajerial. Sedangkan tahap evaluasi menggunakan pendekatan yang sama dengan tahap formulasi. Pemilihan pendekatan yang digunakan sangat menentukan tingkat efektivitas dan keberhasilan sebuah kebijakan.
5) Konsekuensi Kebijakan; pada setiap penerapan kebijakan perlu dicermati akibat yang dapat ditimbulkan. Memantau hasil kebijakan, kita harus membedakan dua jenis akibat; luaran (Output) dan dampak (Impact). Apapun bentuk dan isi kebijakan pada umumnya akan memberikan dampak atau konsekuensi yang ditimbulkan. Tingkat intensitas konsekuensi akan berbeda antara satu kebijakan dengan yang lain, juga dapat berbeda berdasar dimensi tempat dan waktu. Konsekuensi lain yang juga perlu diperhatikan adalah timbulnya resistensi (penolakan) dan perilaku negatif.
(35)
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Publik
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Menurut Edwards III (dalam Subarsono, 2006:90), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel:
a. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
b. Sumberdaya
Walaupun isu kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal kertas menjadi dokumen saja.
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor
(36)
memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. d. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
Keempat varibel di atas merupakan variabel atau faktor-faktor keberhasilan suatu kebijakan publik, dan keempat variabel tesebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 2004:78), jalan yang menghubungkan antara kebijaksanaan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel-variabel bebas tersebut ialah:
a. Ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksanaan kebijakan.
b. Sumber-sumber kebijakan
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemempuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia
(37)
merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suat kebijakan proses implementasi.
c. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan pubik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya.
d. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Koordinasi meupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik.
e. Sikap para pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi kebijakan keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.
f. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah, sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut William N. Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:21), mengatakan kebijakan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi yaitu:
(38)
a. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.
b. Komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktifitas
Banyak dalam program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
c. Karakteristik organisasi
Karakteristik adalah mencakup birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.
d. Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi, lingkungan dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok -kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan.
Karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
e. Sumber daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya
manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human
(39)
f. Sikap pelaksana
Sikap pelaksana ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan, kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan intensitas disposisi implementor, yakni preferensi atau kecendrungan nilai yang dimiliki oleh implementor.
Dilihat dari penjelasan para ahli di atas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan publik dapat disimpulkam bahwa dalam melaksanakan kebijakan publik terdapat faktor dasar agar kebijakan publik tersebut berjalan dengan baik, yaitu harus adanya komunikasi antar aktor, adanya sumberdaya yang menjalankan kebijakan, adanya karakter dalam diri implementator, dan adanya birokrat yang mendukung kebijakan public tersebut.
B. Tinjauan Mengenai Evaluasi Kebijakan Publik 1. Pengertian Evaluasi Kebijakan Publik
Bagian akhir dari suatu proses kebijakan yang dipandang sebagai pola aktivitas yang berturut adalah evaluasi kebijakan. Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah harus dinilai apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan atau tidak. Evaluasi kebijakan sebenarnya juga membahas persoalan perencanaan, isi, implementasi, dan tentu saja efek atau pengaruh dari kebijakan itu sendiri. Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi kebijakan publik meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih dampak yang
(40)
diinginkan. Lebih singkat evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan
untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan.
Menurut Winarno (2012:229) mengatakan bahwa secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup subtansi, implementasi dan dampak dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Sedangkan menurut William Dunn (dalam Agustino, 2008:187) evaluasi kebijakan berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat-manfaat hasil kebijakan. Ketika ia bernilai dan bermanfaat bagi penilaian atas penyelesaian masalah, maka hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan dan sasaran bagi evaluator, secara khusus, dan pengguna lainnya secara umum.
Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dalam proses suatu kebijakan. Evaluasi secara lengkap mengandung tiga pengertian menurut Dunn dalam Riant Nugraho (2012:730), yaitu:
a. Evaluasi awal, sejak dari proses perumusan kebijakan sampai saat sebelum dilaksanakan.
b. Evaluasi dalam proses pelaksanaan
c. Evaluasi akhir, yang dilakukan setelah selesai proses pelaksanaan kabijakan.
Dalam penelitian Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Program Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013, evaluasi yang dipakai adalah evaluasi dalam pelaksanaan atau monitoring.
(41)
Karena dengan mengevaluasi pelaksanakan, Kebijakan Hutan Kemasyarakatan akan mencapai keberhasilan suatu pelaksanaan kebijakan yang telah direncanakan.
Berdasarkan definisi-definisi evaluasi kebijakan yang dikemukakan para ahli di atas, evaluasi kebijakam merupakan suatu tahapan penilaian dan pengukuran keberhasilan terhadap suatu kebijakan, serta ingin melihat kebijakan tersebut berhasil atau tidak. Sehingga dapat menentukan langkah yang diambil dimasa yang akan datang. Evaluasi pelaksanaan kebijakan program hutan kemasyarakatan ingin menilai bagaimana pencapaian hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kebijakan program hutan kemasyarakatan dan untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan progran hutan kemasyarakatan.
2. Pendekatan Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut Dunn (dalam Riant Nugroho, 2012:319-320) pendekatan terhadap evaluasi kebijakan ialah:
a. Evaluasi Semu adalah proses pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok, ataupun masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utama dari model evaluasi ini adalah bahwa ukuran tentang manfaat dan nilai merupakan suatu yang dapat terbukti sendiri oleh ukuran-ukuran masing-masing individu, kelompok atau pun masyarakat.
b. Evaluasi Formal, tujuan evaluasi formal (formal evaluator) adalah untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai
(42)
hasil-hasil kebijakan yang didasarkan atas tujuan formal program kebijakan secara deskriptif. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target yang diumumkan secara formal merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.
c. Evaluasi Keputusan Teoretis (Decission Theoritic Evaluator) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam.
3. Tipe Evaluasi Kebijakan Publik
Tabel. 1 Tipe Evaluasi Kebijakan menurut Willian Dunn
Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektivitas Apakah hasil yang
diinginkan telah tercapai?
Unit pelayanan
Efesiensi Seberapa banyak usaha
diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Unit biaya
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian
hasil yang diinginkan
memecahkan masalah?
Biaya tetap, efektivitas tetap
Peralatan Apakah biaya dan manfaat
didistribusikan secara
merata kepada kelompok-kelompok berbeda?
Kriteria pareto, kriteria kaldor-hicks, kriteria rawls
Responsivitas Apakah hasil kebijakan
memuaskan kebutuhan,
preferensi atau nilai-nilai kelompok tertentu?
Konsistensi survei warga negara
Ketepatan Apakah hasil yang
diinginkan bener-benar
berguna atau bernilai?
Program publik harus
merata dan efisien Sumber: Nugroho (2012:729)
(43)
Menurut Anderson (dalam Winarno, 2012:230) membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe:
a) Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, maka evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.
b) Tipe kedua, merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya bebijakan atau program-program tertentu.
c) Tipe ketiga adalah tipe evaluasi kebijakan sistematis. Tipe ini secara komparatif masi dianggap baru, tetapi akhir-akhir ini telah mendapatkan perhatian yang meningkat dari para peminat kebijakan publik. Evaluasi sistematis melihat secara objektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.
Penelitian evaluasi pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan ini masuk ke dalam tipe kedua, karena dalam penelitian ini memfokuskan diri pada bekerjanya bebijakan atau pelaksanaan kebijakan.
4. Fungsi Evaluasi Kebijakan Publik
Wibawa (dalam Nugroho, 2012:734), menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu:
a. Eksplanasi, melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antarberbagai dimensi realita yang diamatinya. Evaluasi ini evaluator
(44)
dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
b. Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
c. Audit, melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ketangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
d. Akunting, dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.
Sedangkan menurut Dunn (dalam Agustino, 2008:188) fungsi evaluasi kebijakan adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi kebijakan harus memberi informasi yang valid dan dipercaya mengenai kinerja kebijakan. Kinerja kebijakan yang dinilai dalam evaluasi kebijakan melingkupi:
1. Seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan kebijakan/program.
2. Apakah kebijakan yang ditempuh oleh implementing agencies
sudah benar-benar efektif, responsif, akuntabel, dan adil.
3. Bagaimana efek dan dampak dari kebijakan itu sendiri, evaluator harus dapat memanfaatkan output dan outcome yang dihasilkan dari suatu implementasi kebijakan.
b. Evaluasi kebijakan berfungsi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.
(45)
c. Evaluasi kebijakan juga untuk memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk bagi perumusan masalah maupun pada rekomendasi kebijakan.
d. Evaluasi kebijakan pun dapat berfungsi dalam menyumbangkan alternatif kebijakan yang lebih baru atau revisi atas kebijakan-kebijakan publik dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang ada sebenarnya perlu diganti dengan yang lebih baik.
C. Tinjauan Mengenai Hutan Kemasyarakatan (Hkm) 1. Gerakan Hutan Kemasyarakatan di Indonesia
Menurut Fauzi (2012:87), Hutan Kemasyarakatan atau sering disebut Community Foresty di Indonesia sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan masih merupakan gagasan baru dan konsep-konsep tentang apa community forest, ada yang bilang community forest adalah sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat dimana kepastian akses masyarakat terhadap hutan dijaminkan. Ada yang bilang
community forest adalah pengakuan hak masyarakat adat atas kawasan hutan dan pengembalian ke sistem pengelolaan hutan secara tradisional atau lokal yang sudah ada sejak lama. Ada juga persepsi bahwa community forest adalah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan kehutanan secara langsung, sebagai mitra dengan pihak lain.
2. Pengertian Hutan Kemasyarakatan (Hkm)
Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
(46)
lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dikelompokkan menjadi hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Menutut Helms (dalam Suhendang, 2013:56) hutan adalah sebuah ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, sering kali terdiri dari tegakan-tegakan yang beraneka ragam sifat, seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur dan proses-proses yang berhubungan. Umumnya menyangkut padang rumput, sungai, ikan dan satwa liar. Hutan mencakup juga bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik non-industri, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung dan hutan kota. Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (dalam Suhendang, 2013:57), hutan adalah suatu ekosistem yang bercirikan liputan pohon yang cukup luas, baik yang lebat atau kurang lebat.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep pengelolaan yang ideal ini dalam praktiknya malah bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Selama ini pemerintah dan pengusaha lebih memilih mengelola hutan secara otoritarian. Kebijakan ini telah memunculkan berbagai akumulasi konflik dalam
(47)
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dasarnya adalah legalitas penguasaan hutan secara sepihak yang dilakukan oleh negara. Sedangkan masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan seringkali menjadi kambing hitam, padahal rakyat telah mengelola hutan yang telah dilakukan secara turun temurun.
Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry
memiliki beberapa pengertian, yaitu :
a. Hutan kemasyarakatan menurut Keputusan Menteri Kehutanan RI No 31 tahun 2000 adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.
b. Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 Pasal 1 menjelaskan bahwa Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Pelaksanaan program hutan kemasyarakatan terdapat beberapa istilah yang perlu dipahami, diantaranya :
a. Pemberdayaan Masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
(48)
b. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
c. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
d. Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) adalah hak yang diberikan oleh menteri kepada masyaraka setempat melalui koperasinya untuk melakukan program hutan kemasyarakatan dalam jangka waktu tertentu.
Hutan kemasyarakatan merupakan sistem pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat yang berada di sekitar hutan dianggap sebagai stake holder yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan hutan. Sistem pengelolaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar pengelolaan hutan berkelanjutan.
3. Maksud dan Tujuan Hutan Kemasyarakatan
a. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 Pasal 3, Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.
(49)
b. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 Pasal 4, Hutan kemasyarakatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil, dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Sedangkan menurut Kementrian Kehutanan dan Perkebunan (1999), maksud dari pelaksanaan hutan kemasyarakatan adalah pemberdayaan masyarakat dan pemberian kepercayaan kepada masyarakat setempat yang tinggal di dalam sekitar kawasan hutan untuk mengusahakan hutan negara sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan pengetahuan sehingga kelestarian sumberdaya hutan dapat dipertahankan. Menurut (Dephutbun, 1999) pembangunan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk:
a. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat.
b. Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat pengusaha hutan.
c. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan manfaat hutan.
d. Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan.
e. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat.
f. Mendorong serta mempercepat pembangunan wilayah.
4. Aktor-Aktor dalam Hutan Kemasyarakatan
Menurut Fauzi (2012:88) ada tiga aktor yang berperan dalam kebjakan Hutan kemasyarakatan, yaitu:
(50)
a. Masyarakat, masyarakat melalui aksi meminta haknya kembali atas kawasan hutan yang menggunakan sistem pengelolaan hutan secara tradisional.
b. Kelompok pemerhati yang mempunyai komitmen pada kehidupan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Kelompok ini terdri dari (1) kelompok pemerhati non- pemerintah dan (2) kelompok pemerhati di dalam tubuh organisasi pemerintah.
c. Pemerintah (melalui kebijakan) yang sudah mulai bergerak di tingkat retorik dan beberapa kegiatan sebagai langkah awal twtapi masih belum memastikan akses dan hak masyarakat terhadap hutan dan masih belum mengakui, menerima dan menjamin keberlanjutan sistem pengelolaan hutan secara tradisional.
D. Kerangka Pikir
Banyaknya masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yaitu sekitar 2.805 desa yang berada di dalam kawasan hutan dan 16.605 desa di sekitar kawasan hutan, umumnya tergolong miskin. (Dinas Kehutanan Republik Indonesia Tahun 2011). Banyaknya masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan seperti kerusakan sistem ekologi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan bahkan perubahan iklim global serta masalah pembalakan liar atau illegal logging.
Melihat masalah di atas, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pihak kehutanan di
(51)
Provinsi Lampung menetapkan pencadangan areal Hutan kemasyarakatan seluas ± 291.727 hektar yang meliputi Hutan Lindung seluas 198.470 hektar, Suaka Alam/Taman Nasional seluas 59.627 hektar dan Hutan Produksi seluas 33.630 hektar. (Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2011). Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang menjalankan kebijakan program Hutan Kemasyarakatan, yaitu berada di Kecamatan Sumber Jaya daerah hutan Rigis Jaya II yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31 Tahun 2001 seluas 251,65 hektar.
Implemetasikan Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya, ternyata masih terdapat kemdala-kendala dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu peneliti mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Variabel yang digunakan untuk menganalisis pelaksanaan kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat adalah model kebijakan William N. Dunn, meliputi:
1. Standar dan sasaran kebijakan hutan Kemasyarakatan 2. Sumberdaya pelaksana kebijakan hutan kemasyarakatan 3. Komunikasi antara organisasi dan pengukuran
4. Sikap Pelaksana
5. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik 6. Karakteristik organisasi
Komponen di atas merupakan alat analisis yang akan peneliti gunakan dalam Mengevaluasi Pelaksanaan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan
(52)
Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013. Peneliti juga menggunakan variabel di atas untuk mengetahui faktor-faktor pendorong dan faktor penghambat dalam Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Program Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013. Alur kerangka pikir dalam tulisan ini akan peneliti gambarkan dalam bagan berikut:
(53)
Gambar 1. Alur Kerangka Pikir:
Banyaknya masyarakat yang tingggal di dalam dan di sekitar hutan mengakibatkan terjadinya
kerusakan hutan seperti kerusakan sistem ekologi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan bahkan perubahan iklim global
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P52/Menhut-II/2011 Tentang
Hutan Kemasyarakatan
Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Program Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013, dapat dianalisis melalui:
1. Standar dan sasaran kebijakan 2. Sumberdaya
3. Komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktifitas
4. Sikap pelaksana
5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik; dan
6. Karakteristik organisasi.
Sumber: Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:21)
Faktor Penghambat dan Pendorong dalam Evaluasi Pelaksanaan
Kebijakan Program Hutan Kemasyarakatan
di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten
(54)
III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif, yang bertujuan untuk memaparkan fenomena yang ada dengan memaparkan data secara kata-kata, gambar dan bukan dengan angka. Menurut Moloeng (2005:11) dalam jenis penelitian ini data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Laporan penelitian akan berisi kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut dapat berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainya.
Kemudian pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Sugiono (2005:1), pendekatan penelitian kualitatif adalah pendekatan penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumnpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hal penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
B. Fokus Penelitian
Adanya penetapan fokus dalam penelitian kualitatif adalah untuk memberikan batasan dalam pengumpulan data, sehingga dengan pembatasan ini peneliti
(55)
memfokuskan penelitian terhadap masalah-masalah yang menjadi tujuan penelitian.
Penelitan ini difokuskan pada:
1. Evaluasi pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat, yaitu:
a. Standar dan sasaran kebijakan b. Sumber daya
c. Komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktifitas d. Sikap pelaksana
e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik f. Karakteristik organisasi
Sumber: Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:21)
2. Faktor-faktor penghambat dan pendorong proses pelaksanaan kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini di Hutan kemasyarakatan Register 45B Bukit Rigis Jaya II yaitu di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat, karena Kecamatan Sumber Jaya merupakan Kecamatan yang menjalankan kebijakan hutan kemasyarakatan serta salah satu kelompok hutan kemasyarakatannya menjadi contoh Kebijakan Hutan kemasyarakatan Nasional.
(56)
D. Jenis Data dan Sumber Data
1. Jenis Data dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari kata-kata dan tindakan informan serta peristiwa-peristiwa tertentu yang berkaitan dengan fokus penelitian dan merupakan hasil pengumpulan peneliti sendiri selama berada dilokasi penelitian. Secara aplikatif data primer ini diperoleh peneliti selama proses pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi terhadap pelaksanaan kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat.
b. Data skunder adalah data-data tertulis yang digunakan sebagai informasi pendukung dalam analisis data primer. Data ini pada umumnya berupa data-data tertulis seperti, monografi, laporan kegiatan, notulansi rapat, berita acara kegiatan, matriks kegiatan, data-data statistik, surat-surat keputusan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumbe Jaya Kabupaten Lampung Barat.
2. Sumber Data
Apabila peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data, maka sumber data disebut informan. Informan yaitu orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti baik tertulis maupun lisan. Peneliti menggunakan teknik observasi, maka sumber data dapat berupa benda, gerak atau proses tertentu. Apabila peneliti menggunakan teknik observasi yang menjadi sumber data, maka isi catatan adalah subjek penelitian. Peneliti mengklasifikasi menjadi tiga yaitu :
(57)
a. Informan (melalui wawancara)
Wawancara ini peneliti lakukan terhadap berbagai lembaga terkait dalam Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Program Hutan Kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013, adapun informan dalam penelitian ini, peneliti gambarkan pada tabel di bawah ini:
Tabel.2 Informan Penelitian
No Jabatan Instansi
1 Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat
Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat 2 Kepala Unit Pelayanan Teknis
(UPT) Dinas Kehutanan Kecamatan Sumber Jaya
Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat
3 Camat Sumber Jaya Kecamatan Sumberjaya
4 Kelompok Tani Kecamatan Sumberjaya
5 WATALA Lembaga Swadaya
Masyarakat Sumber: diolah peneliti
b. Dokumen
Dokumen yang berkaitan dengan kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat adalah Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat tentang Hutan Kemasyarakatan.
c. Observasi
Sumber data ini berasal dari pristiwa-pristiwa yang terjadi selama peneliti berada di lokasi penelitian, dimana peneliti berinteraksi secara penuh dalam situasi sosial dengan subjek penelitian. Teknik ini digunkanan untuk mengamati, memahami peristiwa secara cermat, mendalan dan terfokus terhadap subjek penelitian, baik dalam suasana formal maupun santai.
(58)
E. Instrumen Penelitian
Pengumpulan data ini dibantu dengan menggunakan instrumen penelitian, antara lain:
1. Peneliti, yaitu dengan menggunakan alat panca indra melakukan pengamatan dan pencataan secara seksama terhadap fenomena yang terjadi di tempat penelitian, dan sebagaimana disampaikan oleh Moleong maka instrumen dari penelitian ini adalah manusia.
2. Perangkat penunjang lainnya seperti: interview guide (pedoman wawancara), dan filed note ( catatan-catatan lapangan) dan alat bantu yang lain (recorder, buku, catatan, pensil, dan lain-lain).
F. Teknik Analisa Data
Berdasarkan pada jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, maka dari data yang tekumpul, akan dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif yaitu dengan cara melukiskan hasil penelitian hasil penelitian dalam bentuk kata-kata atau kalimat-kalimat sehingga dengan demikian penulis menguraikan secara mendalam hasil penelitian tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan.
Analisis data penelitian kualitatif menurut Huberman (dalam Iskandar, 2008:222) dapat dilakukan melalui langkah-langkah, sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan peroses penggumpulan data penelitian, seorang peneliti dapat menemukan kapan saja waktu untuk mendapatkan data yang banyak, apabila peneliti mampu menerapkan metode observasi,
(59)
wawancara atau berbagai dokumen yang berhubungan dengan subjek yang diteliti. Reduksi data berlangsung selama penelitian di lapangan sampai pola pelaporan penelitian selesai. Penelitian ini memilih dan menyeleksi data yang sesuai dengan aspek-aspek terkait kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat. 2. Penyajian Data
Data diklasifikasikan atau dianalisis yang kemudian disusun secara sistematis atau stimulan sehingga data yang diperoleh dapat menjelaskan atau menjawab masalah yang diteliti.
3. Mengambil Kesimpulan
Mengambil kesimpulan merupakan analisis lanjutan dari reduksi data, dan display data sehingga data dapat disimpulkan, dan peneliti masih berpeluang untuk menerima masukan. Penarikan kesimpulan sementara masih dapat diuji kembali dengan data di lapangan, dengan cara merefleksikan kembali, triangulasi, diskusi, sehingga kebenaran ilmiah dapat tercapai.
G. Teknik Keabsahan Data
Menurut Moleong (dalam Iskandar, 2008:228) untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan, antara lain:
1. Kesahihan Internal (Credibilty)
Kesahihan internal pada dasarnya sama dengan validitas internal. Penjaminan keabsahan data melalui kesahihan internal dapat dilakukan dengan beberapa kriteria teknik pemeriksaan. Kegiatan-kegiatan yang
(60)
dilakukan oleh peneliti untuk memeriksa kredibilitas atau keabsahan internal antara lain:
a. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap suatu data. Triangulasi sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data memanfaatkan penggunaan sumber, metode, peneliti, teori (Dezin dalam Moleong, 2005: 330).
b. Tersedianya refernsi
Ketersediaan dan kecukupan refernsi dapat mendukung kepercayaan data penelitian, seperi penyediaan foto, handycam,
tape recorder, referensi ini dapat digunakan sewaktu mengadakan pengamatan, peneliti dapat menggunakan tape recorder,
Handphone camera untuk merekam materi wawancara. Mengingatkan kesahihan internal dalam penelitian ini, kecukupan refernsial yang dimiliki oleh peneliti adalah catatan beruapa tulisan serta Hendphone recorder hasil wawancara dan Handphone camera berupa foto padayang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan huta kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat.
2. Kesahihan Eksternal (Transferability)
Kesahihan eksternal merupakan persoalan empris bergantung dengan kesamaan konteks, untuk dapat orang lain memahami temuan penelitian
(61)
maka peneliti bertanggung jawab menyediakan laporan deskreiptif yang rinci, jelas, sistematis, empiris, jika ingin membuat sesuatu keputusan tentang validitas eksternal tersebut.
3. Keterandalan (Dependenbility)
Menguji keteradilan data penelitian, jika dua atau beberapa kali penelitian dengan fokus penelitian dengan masalah diulang penelitiannya dalam suatu kondisi yang sama, maka dikatakan memiliki keterandalan dalam suatu kondisi yang sama maka dikatakan memilki ketarandalan yang tinggi.
4. Kepastian (Comfirmability)
Kriteria kepastian berasal dari konsep objektivitas dari segi kesepakatan antarsubjek. Artinya, objek atau tindakan sesuatu tergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Objektif dalam pengertiannya berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Penelitian kualitatif konsep objektif bukan ditetetapkan pada orang melainkan pada data yang diperoleh melalui validitas kepastian.
(1)
102
kemasyarakatan. Dukungan masyarakat merupakan dukungan yang sangat penting untuk memperkuat dukungan politik dan kebijakan yang ada.
e. Dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat Kecamatan Sumberjaya masih tergolong rendah. Rendahnya kondisi ekonomi masyarakat, masyarakat akan termotivasi dalam menjalankan kebijakan hutan kemasyarakatan. Kondisi sosial dalam hal ini hubugan antar kelompok hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya cukup baik. Sedangkan kondisi politik di Kecamatan Sumberjaya cukup baik pula, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat mendukung dan mendorong kebijakan hutan kemasyarakatan.
f. Dilihat dari karakteristik organisasi, hubungan antar birokrasi dalam pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya seperti hubungan antara Pemerintan Kabupaten Lampung Barat dengan Kabupaten lain, serta dengan Dinas Kenutanan belum cukup baik.
2. Faktor-faktor penghambat dan pendorong kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat tahun 2013:
a. Faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya yaitu:
1. Terbatasnya tenaga penyuluh kehutanan dalam memfaslitasi masyarakat
2. Terbatasnya dana operasional untuk pembinaan dan pendampingan kelompok
(2)
103
3. Belum adanya SOP yang jelas dalam mengatur hubungan antar kabupaten
4. Tidak adanya kejelasan waktu dalam proses pemberian IUPHKm kepada kelompok hutam kemasyarakatan
5. Keterbatasan pengetahuan tentang manajemen kelompok dan peraturan atau kebijakan kehutanan, dan melaksanakan rencana kerja
b. Faktor pendorong dalam proses implementasi kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumberjaya yaitu:
1. Pemerintah melakukan sosialisasi program hutan kemasyarakatan dan memberikan bantuan bibit MPTS (Multi Purpose Tress Species) kepada kelompok masyarakat
2. Mengadakan pertemuan rutin 3 bulanan dengan kelompok hutan kemasyarakatan dan pembinaan rutin ke desa-desa yang berbatasan dengan hutan lindung
3. Pemberian izin hutan kemasyarakatan kepada masyarakat 4. Pembentukan kelompok hutan kemasyarakatan
5. Penanaman tanaman MPTS (Multi Purpose Tress Species) dan pengamanan hutan yang masih ada.
B. Saran
Adapun rekomendasi saran untuk Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung barat dalam mengimplementasikan kebijakan hutan kemasyarakatan, antara lain: 1. Agar pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan dapat berjalan sesuai
(3)
104
menyusun rencana kerja dan pembuatan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan.
2. Dinas Kehutanan harus melakukan recruitment penyuluh kehutanan untuk mendampingi setiap kelompok hutan kemasyarakatan.
3. Pemerintah harus membuat SOP yang jelas dalam mengatur hubungan antar kabupaten, sehingga masalah tata batas dapat terselesaikan.
4. Pemerintah harus menetapkan batas waktu dalam pemberian IUPHKm kepada kelompok hutan kemasyarakatan, agar masyarakat mendapatkan kepastiah waktu dalam proses pemberian IUPHKm.
5. Pemerintah juga harus merevisi Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan, di dalam peraturan tersebut pemerintan harus memasukkan anggarkan dana dari APBN atau APBD untuk pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan, sehingga tidak terjadi kekurangan anggaran, agar proses implemetasi dapat berjalan dengan lancar dan optimal.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Agustino Leo, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung: ALFABETA
Fauzi Hamdani, 2012, Pembangunan Hutan Berbasis Kehutanan Sosial, Bandung: CV. Karya Putra Darwati
Feriyanti Suci. Evaluasi Implementasi Program Konvensi Minyak Tanah Ke Gas LPG 3 KG Di Kelurahan Aren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi Tahun 2007. Dalam Administratio. No.6. 2009. Hal 586: Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNILA.
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media
Moleong, Lexy J, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nogi S. Hesel, Tangkilisan, 2003, Kebijakan Publik Yang Membumi, Yogyakarta: Lukman Offset
Nugroho Riant, 2012, Public Policy, Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Patilima Hamid, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta
Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan. Bandung: Refika Aditama
(5)
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta
Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
Suhendang Endang, 2013, Pengantar Ilmu Kehutanan, Bogor: IPB Press
Wahab, Solichin Abdul, 2004, Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara
Wibawa S, Purbokusumo, dan Pramusito Agus, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Winarno Budi, 2012, Kebijakan Publik, Teori, Proses dan Studi Kasus, Jakarta: CAPS
Wulandari Christine, 2009, Buku Ajar Hutan Kemasyarakatan, Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Undang-Undang:
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.18/Menhut-II/2009 tentang Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.13/Menhut-II/2010 tentang Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan
(6)
Website:
http ://www.merdeka.com/pernik/dephut-data-kerusakan-hutan, diakses pada tanggal 6 September 2013.
www.dephut.net, diakses pada tanggal 6 September 2013.