Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur

(1)

ABSTRAK

PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN HUTAN MANGROVE DI DESA MARGASARI KECAMATAN LABUHAN

MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Oleh

Askasifi Eka Cesario

Kerusakan hutan mangrove sebagai sabuk hijau di pesisir timur Lampung sudah sangat memprihatinkan. Partisipasi kelompok masyarakat Desa Margasari terdiri dari kelompok Margajaya Utama, Margajaya Satu, Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), Pengolah Terasi, Gabungan Kelompok Tani, Nelayan dan Pengolah Ikan berpengaruh dalam pelestarian hutan mangrove. Tujuan penelitian adalah mengetahui tingkat partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dan tipe kelembagaan partisipatif. Penelitian dilaksanakan bulan April 2014 di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan pemberian skor pada setiap kategori jawaban dan deskriptif kualitatif untuk memaparkan tipe kelembagaan partisipatif yang merupakan partisipasi dari seluruh anggota lembaga atau organisasi untuk kemajuan lembaga tersebut (IIRR, 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kelembagaan partisipatif di lokasi penelitian adalah partisipasi pasif yaitu gabungan kelompok tani, kelompok pengolah ikan, kelompok pengolah terasi dan kelompok nelayan, partisipasi konsultatif yaitu kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup, dan partisipasi mobilisasi swakarsa pada kelompok margajaya. Tingkat partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove pada kategori tinggi adalah (73,68%) yang didukung oleh kelompok PLH dan kelompok margajaya, kategori sedang (19,74%) terdiri dari gabungan kelompok tani, pengolah ikan, dan nelayan, kategori rendah (6,58%) yang termasuk di dalamnya adalah gabungan kelompok tani dan kelompok pengolah terasi.


(2)

ABSTRACT

COMMUNITY GROUP PARTICIPATION OF MANGROVE FOREST CONSERVATION IN MARGASARI VILLAGE LABUAN MARINGGAI

DISTRICT OF EAST LAMPUNG REGENCY By

Askasifi Eka Cesario

The damage of mangrove forests as a green belt in the east coast of Lampung was very concerning. This research was conducted on April 2014 in Margasari village Labuan Maringgai District of East Lampung regency. The participation of villagers community that included Margajaya Utama community, Margajaya Satu community, Environmental Education (PLH), Shrimp Paste (terasi) processing group, Farmers group, Fishermen group, and fish processing group give impacts of mangrove conservation. The purpose of this research were to determine the type of institutional participatory and the level of participation society groups of mangrove forests conservation. The method used descriptive quantitative by administering a score in each category answers and descriptive qualitative to present the type of participatory institutional which has definition as participation of each institution member to develop a better institution. Result of the research found that the level of participation of the community in mangrove forests conservation had been very good and Margajaya community was the best one which has mobilisasi swakarsa as type of participatory institutional. Based on the results of the research, it can be concluded that the type of participatory institutional consists of passive participation in the group of farmers, fish processing group, shrimp paste processing (terasi) group and fishermen groups, participation in consultative is community of environmental education and mobilization swakarsa of participation, consists the group of margajaya. The level of participation of community groups in the preservation of mangrove forests on the highest category is 73,68% that is supported by the margajaya group and community of environmental education, then medium category is 19,74% that included farmers group, fish processing group, and fishermen group, then 6,58% of low category is farmers group and shrimp paste (terasi) processing group. Key words: Mangrove forest, community group society, conservation


(3)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Hutan Mangrove ... 6

1. Pengertian Hutan Mangrove ... 6

2. Fungsi Hutan Mangrove ... 7

3. Keadan Mangrove di Indonesia ... 9

4. Karakteristik Hutan Mangrove ... 9

B. Sistem Pengelolaan Hutan Mangrove ... 11


(4)

ii

D. Pengertian Partisipasi ... 14

E. Tipe-Tipe Kelembagaan Prtisipatif ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 19

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

B. Alat da Objek ... 19

C. Batasan Penelitian ... 19

D. Definisi Operasional ... 20

E. Metode Pengumpulan Data ... 20

F. Metode Pengambilan Sampel ... 21

G. Analisis Data ... 24

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 26

A. Kondisi Fisik Wilayah ... 26

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk ... 28

1. Jumlah Penduduk ... 28

2. Tingkat Pendidikan ... 28

3. Mata Pencaharian ... 29

4. Suku dan Agama ... 30

5. Prasarana Ekonomi ... 31

C. Profil Kelompok Masyarakat Desa Margasari ... 32

1. Kelompok Mangrove Margajaya ... 31

2. Kelompok Mangrove PLH ... 33

3. Kelompok Pengolah Terasi ... 34

4. Gabungan Kelompok Tani ... 34


(5)

iii

6. Kelompok Pengolah Ikan ... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Tipe Kelembagaan Partisipatif ... 36

1. Partisipasi Pasif ... 36

2. Partisipasi Konsultatif ... 37

3. Partisipasi Mobilisasi Swakarsa ... 37

B. Tingkat Partisipasi Kelompok Masyarakat ... 38

1. Pengetahuan Kelompok Masyarakat tentang Hutan Mangrove . 39 2. Pengetahuan Kelompok Masyarakat tentang Pelestarian Hutan Mangrove ... 40

3. Partisipasi Kelompok Masyarakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove ... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

A. Kesimpulan ... 48

B. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(6)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Definisi operasional variabel dan parameter pengukuran ... 21

2. Jumlah responden ... 23

3. Pembagian luas Desa Margasari menurut tata guna lahannya... 27

4. Presentase tingkat pendidikan penduduk Desa Margasari ………... 29

5. Jumlah guru dan sarana pendidikan di Desa Margasari ... 29

6. Kategori tingkat pengetahuan dan pemahaman kelompok masyarakat terhadap hutan mangrove ... 31

7. Kategori tingkat pengetahuan dan pemahaman kelompok masyarakat pelestarian hutan mangrove... 33

8. Kategori tingkat partisipasi kelompok masyarakat terhadap pelestarian hutan mangrove... 35

9. Tabulasi skoring kelompok pengolah ikan... 57

10.Tabulasi skoring kelompok pengolah terasi...……….. 57

11.Tabulasi skoring kelompok nelayan...………... 57

12.Tabulasi skoring gabungan kelompok tani ... 58

13.Tabulasi skoring kelompok margajaya ... ... 58


(7)

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 51 2. Foto-foto di lokasi penelitian ……… 52


(9)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya yang sangat luar biasa ini untuk Mama dan Papa tersayang. Terimakasih atas kasih sayang

yang tak terhingga kepadaku, berkat doa dan dukungan kalian aku bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terimakasih atas ketulusan kalian mendidikku dengan kesabaran yang luar biasa hingga aku bisa menjadi lebih

baik hingga saat ini.

Terimakasih kuucapkan kepada Desmayanti eka saputri atas doa, dukungan, bimbingan dan semangat yang tak ada

habisnya. Terimakasih kuucapkan kepada saudara-saudaraku Ardiansyah (KOMTI), Pimen, Sabrok, Pite, Frans, Willy, Tomi, Mail Masha, Madi Caul, Anggara, Zazuli, Ekindo, Viktor, Ancha, Abdian, Wawan, Broy, 2pm(Nay, Bagus, Adunt, Aplita, Evi J), Anggun, Ema, Rafin, Dea, Fadilla, Insani, Eva, Dewi, Dina, Novia A & E, Ade, Anisa, Kurnia, Leoni, Bella dan

seluruh saudara KHT10 (SYLVATEN) yang selalu

mendukungku. Semoga kebersamaan ini takkan lekang oleh waktu. Salam SYLVATEN TILL THE END.

Terimakasih kuucapkan kepada Abang atas bimbingannya serta sahabat-sahabat KKN desa Margasari(Andre, Alen, Satrio, Ami, Aming, Icha, Anisa, Amel) atas dukungannya

dan kerjasamanya untuk penelitian ini.

Terimakasih juga kuucapkan kepada almamater tercinta Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman


(11)

RIWAYAT HIDUP

melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Utama 3 Bandarlampung dan selesai pada tahun 2007. Pendidikan Sekolah Menengah Atas penulis selesaikan di SMAN 12 Bandarlampung dan lulus pada tahun 2010. Pad tahun yang sama, penulis diterima di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri. Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti Praktek Umum pada tahun 2013 di BKPH Gunung Kencana KPH Banten selama 30 hari. Pada awal 2014 penulis mengikuti Kulih Kerja Nyata (KKN) di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur selama 40 hari.

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 05 Mei 1993 dari pasangan Bapak Aswal Junaidi, SH dan Ibu Susilaningsih, SH. Penulis memulai pendidikannya dari Taman Kanak-kanak Pembina I Pahoman pada tahun 1997 dan Sekolah Dasar di SDN 2 Teladan Rawalaut pada tahun 1998 dan selesai pada tahun 2004. Penulis lalu


(12)

(13)

(14)

SANWANCANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul “Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur". Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna langkah penulis berikutnya yang lebih baik. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan skripsi ini akan bermanfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan ke-murahan hati dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini perkenan-kanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S sebagai pembimbing pertama dan ibu Rommy Qurniati, S.P, M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai dari awal penyusunan proposal penelitian sampai skripsi ini terselesaikan.


(15)

2. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

5. Kepala Desa Margasari, Bapak Narto dan sekeluarga yang memberikan arahan saat penelitian dan membantu dalam pengumpulan data skripsi penulis.

6. Bapak Suyani yang telah mendampingi, memberikan arahan saat penelitian dan membantu dalam pengumpulan data skripsi penulis.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, 17 September 2014 Askasifi Eka Cesario


(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani, 2013). Lebih dari itu, hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan memiliki nilai ekologis dan ekonomi yang tinggi. Berdasarkan data ITTO (2012) Asia Tenggara memiliki luas hutan mangrove mencapai 5.104.900 ha atau 33,5% dari luas hutan mangrove dunia, dan Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dengan luasan hutan mangrove 3.189.000 ha. Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki ekosistem hutan mangrove dengan luas 10.533,676 ha (Bakosurtanal, 2009; Saputro, 2009) dalam Ghufran dan Kordi (2012).

Ekosistem mangrove memiliki fungsi penyangga kehidupan manusia yang lebih tinggi daripada ekosistem manapun karena tingkat produktivitas primer yang sangat tinggi. Masyarakat awam lebih menganggap hutan mangrove sebagai tempat sarang nyamuk, banyak ular, tempat yang menyeramkan, angker dan tidak memiliki nilai ekonomi. Karena anggapan tersebut, hutan mangrove banyak dikonversi menjadi lahan tambak, real estate, taman hiburan atau rekreasi yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Hutan mangrove menurut FAO, selama 25


(17)

2

tahun terakhir 3,6 juta ha (sekitar 20%) hutan mangrove telah dikonversi menjadi peruntukan lain. Vegetasi hutan mangrove memiliki fungsi sebagai penahan ombak dan mencegah abrasi. Ketebalan mangrove selebar 200 m dari garis pantai dengan kerapatan 30 pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Rusdianti, 2012).

Kerusakan hutan mangrove sebagai sabuk hijau (green belt) di pesisir timur Lampung sudah sangat memprihatinkan. Lebih dari 50% kerusakan telah terjadi yang disebabkan oleh konversi lahan, pencemaran pantai oleh sampah, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan darat dan lautan, kurangnya usaha penataan dan penegakan hukum (Lembaga Penelitian Unila, 2010). Tahun 1994 terjadi abrasi sampai 500 meter ke arah daratan dan menyebabkan suksesi alami yaitu tanah timbul. Munculnya tanah timbul tersebut membuat status kepemilikan lahan menjadi milik Pemerintah Daerah Lampung Timur (Kustanti, 2014). Melihat kondisi tersebut, masyarakat Desa Margasari berinisiatif untuk menyerahkan pelestarian hutan mangrove kepada Universitas Lampung sebagai hutan pendidikan.

Permohonan tersebut kemudian telah disetujui oleh Pemerintah Daerah Lampung Timur dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Timur yaitu penetapan lokasi untuk pengelolaan hutan mangrove dalam rangka pendidikan, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat seluas 700 ha di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai (Lembaga Penelitian Unila, 2010). Kegiatan pelestarian hutan mangrove melibatkan kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat yang terlibat antara lain kelompok pengolah terasi, kelompok


(18)

3

pengolah ikan, kelompok nelayan, gabungan kelompok tani, kelompok PLH, kelompok margajaya utama, dan kelompok margajaya satu. Luas hutan mangrove di Desa Margasari saat ini menurut Bakosurtanal (2013) adalah 817,59 ha meningkat 117,59 ha (14,4%) selama 3 tahun. Bersarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian tentang tingkat partisipasi kelompok masyarakat terhadap pelestarian hutan mangrove dan tipe kelembagaan partisipatif kelompok masyarakat di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabuputen Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah

Apakah peningkatan luas hutan mangrove di Desa Margasari disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan partisipasi anggota kelompok masyarakat?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui tingkat pengetahuan dan partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Desa Margasari.

2. Mengetahui tipe kelembagaan partisipatif kelompok masyarakat di Desa Margasari.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi masyarakat Desa Margasari untuk memperbaiki kinerja yang berkaitan dengan pelestarian hutan mangrove.


(19)

4

2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian yang sejenis pada masa yang akan datang.

E. Kerangka Pemikiran

Kawasan Hutan Mangrove memiliki potensi sumber daya alam yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal, bijaksana, dan berkelanjutan. Pelestarin hutan mangrove dalam upaya mendukung pengembangan wilayah Kabupaten Lampung Timur harus memperhatikan tiga aspek keberlanjutan, yang meliputi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan atau ekologi. Ketidakserasian dalam pengelolaan ketiga aspek keberlanjutan tersebut dapat berdampak negatif terhadap salah satu aspek. Kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami kerusakan akibat pemanfaatan dan pelestarian yang kurang memperhatikan aspek kelestarian (Mawardi, 2010).

Hutan mangrove di Desa Margasari sudah di rehabilitasi sejak tahun 1995 dan sampai sekarang telah dilakukan pelestarian seluas 700 ha (Lembaga Penelitian Unila, 2010) yang melibatkan seluruh lapisan kelompok masyarakat yang ada di Desa Margasari. Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah terdiri dari kelompok pengolah terasi, kelompok pengolah ikan, kelompok nelayan, kelompok tani, dan kelompok mangrove. Selanjutnya menurut Bakosurtanal (2013) luas hutan mangrove sekarang adalah 817,59 ha meningkat 117,59ha selama 3 tahun. Untuk itu, perlu dikaji tipe kelembagaan partisipasipatif dan tingkat partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di


(20)

5

Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Bagan alur kerangka pemikiran dapat disajikan pada Gambar 1.

Hutan Mangrove

Kerusakan Hutan Mangrove Rehabilitasi Hutan Mangrove

Peran serta Kelompok Masyarakat

Tipe Kelembagaan Partisipasipatif Kelompok

Masyarakat

Gambar 1. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Penelitian.

Tingkat Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian


(21)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Mangrove

1. Pengertian Hutan Mangrove

Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusuma, 2009).

Mangrove merupakan suatu tipe hutan tropik dan subtropik yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sukar tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak


(22)

7

memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003). Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan lembap dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau, atau hutam bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai (pesisir), baik daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan payau atau hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah aluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman didominasi oleh jenis-jenis tanaman bakau. Oleh karena itu, istilah bakau hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus Rizhopora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut (Harahab, 2010).

2. Fungsi Hutan Mangrove

Wilayah mangrove mempunya sifat khas dan unik. Sifat unik mangrove disebabkan oleh luas vertikal pohon dengan organisme daratan menempati bagian atas dan organisme lautan menempati bagian bawah. Kondisi pencampuran antara antara organisme daratan dan lautan ini menggambarkan suatu rangkaian dari darat ke laut dan sebaliknya. Secara ekologis mangrove memegang peranan kunci dalam perputaran nutrien atau unsur hara pada perairan pantai di sekitarnya yang dibantu oleh pergerakan pasang surut air laut. Interaksi vegetasi mangrove


(23)

8

dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan proses biologi beberapa organisme akuatik, yang termasuk melibatkan sejumlah besar mikroorganisme dan makroorganisme. Dapat dikatakan apabila terdapat mangrove berarti disitu pula merupakan daerah perikanan yang subur, karena terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara hutan mangrove dengan tingkat produksi perikanan (Ghufran dan Kordi, 2012).

Nilai penting mangrove lainnya adalah dalam bentuk fungsi ekologisnya sebagai penyeimbang tepian sungai dan pesisir, serta memberikan dinamika pertumbuhan di kawasan pesisir. Dinamika tersebut adalah pengendalian abrasi pantai, menjaga stabilitas sedimen dan bahkan turut berperan dalam menambah luasan lahan daratan dan perlindungan garis pantai. Selain itu juga berperan penting dalam memberikan manfaat untuk ekosistem sekitarnya, termasuk tanah-tanah basah pesisir terumbu karang, dan lamun. Manfaat mangrove selain ditinjau dari fungsi ekologisnya, juga diketahui memiliki nilai ekonomis yang mendorong kegiatan eksploratif, sehingga mangrove rawan terhadap kerusakan (Saputro, dkk, 2009). Maka dari itu, setidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem mangrove yaitu:

1. Fungsi fisik: Pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin, peredam gelombang, penahan dan perangkap sedimen, pencegah intrusi garam, dan sebagai penghasil energi serta hara.

2. Fungai biologis: Sebagai habitat alami biota dan tempat bersarang jenis aves.

3. Fungsi ekonomi: Sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang), bahan


(24)

9

kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis penyamakan kulit, dan obat-obatan (Ghufran dan Kordi, 2012).

3. Keadaan Mangrove di Indonesia

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas, akan tetapi laju deforestrasi hutan mangrove tetap tinggi dan merupakan penyebab utama rusaknya hutan mangrove. Menurut data, akibat deforestasi hutan mangrove menyebabkan hutan mangrove dalam kondisi rusak berat mencapai luas 42%, kondisi rusak mencapai luas 29%, kondisi baik mencapai luas < 23% dan kondisinya sangat baik hanya seluas 6%. Saat ini keberadaan hutan mangrove semakin terdesak oleh kebutuhan manusia, sehingga hutan mangrove sering dibabat habis bahkan sampai punah (Wiyono, 2009). Jika hal ini terus menerus dilakukan maka akan mengakibatkan terjadinya abrasi, hilangnya satwa atau biota laut yang habitatnya sangat memerlukan dukungan dari hutan mangrove.

4. Karakteristik Hutan Mangrove

Menurut Arief (2003) hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada pasang saat purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat melalui aliran air sungai, serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.


(25)

10

a. Struktur Vegetasi dan Daur Hidup Mangrove

Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak, vegetasi hutan Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang termasuk jenis mangrove.

b. Zonasi Ekosistem Mangrove

Menurut Sukardjo (1993) dalam Ghufran dan Kordi (2012) terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu gelombang yang menentukan frekuensi tergenang, salinitas yang berkaitan dengan hubungan osmosis mangrove, substrat, pengaruh darat seperti aliran air masuk dan rembesan air tawar, dan keterbukaan terhadap gelombang yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan. Sedangkan MacNae (1968) dalam Supriharyono (2000) membagi zona mangrove berdasarkan jenis pohon ke dalam enam zona, yaitu:

1. Zona perbatasan dengan daratan

2. Zona semak-semak tumbuhan Ceriops

3. Zona Hutan Bruguiera

4. Zona hutan Rhizophora

5. Zona Avicennia yang menuju ke laut

6. Zona Sonneratia

Zonasi mangrove juga dilakukan berdasarkan salinitas, sebagaimana

dikembangkan oleh de Haan (1931) dalam Supriharyono (2000) yang terbagi kedalam dua divisi yaitu zona air payau ke laut dengan kisaran salinitas antara


(26)

10-11

30 ppt, dan zona air tawar ke air payau dengan salinitas antara 0-10 ppt pada waktu air pasang.

B. Pelestarian Hutan Mangrove

Pelestarian merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekositem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, pelestarian mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman dan level ekosistem (Sunito, 2012).

1. Pola pembangunan hutan mangrove

Pola pembangunan hutan mangrove menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) terbagi atas tiga macam pola sebagai berikut:

a. Pola Swadaya

Hutan mangrove pola swadaya adalah hutan mangrove yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan modal dan tenaga kelompok atau perorangan sendiri.

b. Pola subsidi

Hutan mangrove pola subsidi adalah hutan mangrove yang dibangun dengan subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi diberikan oleh pemerintah melalui inpres penghijauan, padat karya, atau dana


(27)

12

yang lainnya. Hutan mangrove yang secara hidro-orologis kritis dan dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan pengetahuan dan kemampuan.

c. Pola kemitraan

Hutan mangrove pola kemitraan adalah hutan yang dibangun atas kerjasama perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan adalah perusahaan memerlukan bahan baku dan rakyat memerlukan bantuan modal.

Perincian komponen yang terdapat pada setiap subsistem adalah:

1. Subsistem produksi adalah tercapainya keseimbangan produksi dalam jumlah jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan mangrove. Subsistem ini terbagi menjadi empat bagian yaitu pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

2. Subsistem pengelolaan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk, produk akhir yang dijual oleh para petani hutan mangrove atau dipakai sendiri. 3. Subsistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjualan yang optimal,

dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan mangrove terjual di pasar.

Kerusakan dan kepunahan ekosistem mangrove akan berdampak pada kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Karena itu, pengelolaan ekosistem mangrove tentu diupayakan untuk melestarikan ekosistem mangrove. Menurut Ghufran dan Kordi (2012) bentuk-bentuk pelestarian ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:

1. Konservasi Ekosistem Mangrove

Pemerintah Republik Indonesia (melalui Departemen Kehutanan) telah menetapkan sejumlah kawasan konservasi lautan. Inti dari konservasi lautan


(28)

13

adalah perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis beserta sistem-sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman plasma nutfah, pelestarian dan pemanfaatan jenis ekosistemnya.

2. Pengembangan Ekowisata Mangrove

Untuk menekan kerusakan ekosistem mangrove maka pariwisata mangrove diarahkan pada pengembangan ekowisata pesisir dan laut. Ekowisata adalah perpaduan antara pariwisata ke wilayah-wilayah alami, yang melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.

3. Pengembangan Akua-forestri

Akua-forestri atau lebih dikenal sebagai silvofishery merupakan kombinasi pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu, yaitu kehutanan dan perikanan. Pengembangan sistem ini dapat dilakukan tanpa merusak ekosistem mangrove. Budidaya kepiting dengan menggunakan hampang atau keramba di bagian-bagian terbuka secara alami, tanpa perlu menebang vegetasi hutan mangrove.

4. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove melalui penanaman kembali ekosistem mangrove yaang rusak telah menjadi program nasional, yang didukung oleh dunia internasional. Bahkan sejak tahun 2005, penanaman mangrove mengalami peningkatan. Penanaman mangrove mulai melibatkan berbagai kelompok masyarakat, tidak hanya masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Penanaman mangrove juga dilakukan oleh seluruh kalangandari mulai anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua.


(29)

14

C. Kelompok Masyarakat

Menurut Horton (1999) dalam Torang (2012) kelompok adalah sejumlah orang yang memiliki persamaan ciri-ciri tertentu, sejumlah orang yang memiliki pola interaksi yang terorganisir dan terjadi secara berulang-ulang, dan setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Suatu kelompok dapat didefinisikan sebagai unit sosial yang terdiri dari sejumlah individu pada suatu waktu tertentu dengan peranan hubungan tertentu satu sama lain dan secara eksplisit atau implisit memiliki seperangkat norma atau nilai yang mengatur perilaku para anggotanya, paling tidak dalam hal konsekuensi terhadap kelompok. Sedangkan Dahama (1980) dalam Torang (2012) mengungkapkan bahwa dinamika kelompok meliputi banyak kegiatan untuk menunjukkan bagaimana kelompok dapat berbuat sebaik mungkin agar setiap anggota kelompok dapat memberikan sumbangan yang maksimal terhadap kelompoknya.

D. Pengertian Partisipasi

Menurut Wardoyo (1992) partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Soekanto (2009) juga menyatakan bahwa partisipasi mencakup tiga hal, yaitu:

1. Partisipasi meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.


(30)

15

2. Partisipasi adalah suatu konsep perilaku yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Partisipasi juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting bagi sosial masyarakat.

E. Tipe-Tipe Kelembagaan Partisipatif

Tipe kelembagaan partisipatif menurut International Institute of Rural Reconstruction (IIRR) (1998) dibedakan menjadi:

1. Partisipasi Pasif

Partisipasi masyarakat dengan diberitahu tentang hal-hal yang sudah terjadi. Hal ini merupakan tindakan sepihak dari ketua kelompok tanpa menghiraukan tanggapan anggota.

Kriteria:

a. Dalam pelaksanaan kegiatan, tidak melibatkan masyarakat selain anggota kelompok.

b. Pengambilan keputusan dilakukan oleh ketua kelompok secara sepihak.

2. Partisipasi dalam pemberian informasi

Partisipasi masyarakat dengan menjawab pertayaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dengan menggunakan kuisioner atau pendekatan serupa. Masyarakat tidak memiliki kesempatan mempengaruhi cara kerja karena temuan-temuan peneliti tidak dibagikan kepada mereka.

Kriteria:

a. Memberikan banyak informasi tentang kelompok dan hutan mangrove kepada peneliti, mahasiswa, dsb.


(31)

16

b. Memberi arahan dan data-data yang dibutuhkan oleh peneliti.

3. Partisipasi Konsultatif

Partisipasi dengan melibatkan masyarakat dalam analisis, merumuskan permasalahan, dan mengumpulkan informasi. Akan tetapi, bentuk konsultasi tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan pihak luar tidak berkompeten mewakili pandangan masyarakat.

Kriteria:

a. Masyarakat ikut terlibat dalam memberikan saran, pandangan, dan masukan kepada kelompok terhadap suatu hal/masalah tertentu.

b. Pengambilan keputusan tetap ditangan kelompok dan tidak ada campur tangan masyarakat lain.

c. Dalam pelaksanaan kegiatan melibatkan masyarakat.

4. Partisipasi dengan Imbalan Material

Partisipasi masyarakat dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimiliknya, misalnya sebagai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai maupun imbalan material lainnya. Masyarakat boleh menyediakan lahan dan tenaga kerjanya, namun tidak terlibat dalam proses eksperimentasi dan proses pembelajaran. Proses inilah yang selama ini lazim disebut sebagai partisipasi. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan melanjutkan kegiatannya tatkala imbalan dihentikan.

Kriteria:

a. Dalam pelaksanaan kegiatan, masyarakat mengharapkan imbalan dalam bentuk material.


(32)

17

b. Tidak akan ada kegiatan selanjutnya jika imbalan ditiadakan.

c. Mengedepankan kepentingan material diatas kepentingan kelestarian hutan mangrove.

d. Tidak merasa memiliki sehingga tidak harus menjaga sumberdaya yang tersedia.

5. Partisipasi Fungsional

Partisipasi masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan masyarakat tidak hanya pada tahap awal proyek atau perencanaan, tetapi juga setelah keputusan pokok dibuat pihak luar. Kelompok masyarakat cenderung tergantung terhadap pemrakarsa dan fasilitator luar, tetapi menjadi mandiri.

Kriteria:

a. Suatu instansi/lembaga melibatkan masyarakat dalam kegiatan.

b. Intansi/lembaga sebagai pelindung dan membentuk kelompok masyarakat untuk keberlajutan kegiatan.

c. Segala bentuk kegiatan dari awal perencanaan sampai pelaksanaan diserahkan kepada kelompok masyarakat dengan lembaga/intansi terkait memberikan arahan terlebih dahulu.

6. Partisipasi Interaktif

Partisipasi masyarakat dalam tahap analisis, pengembangan rencana kegiatan pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal. Partisipasi dipandang sebagai hak, dan bukan sebagai cara mencapai tujuan proyek. Proses tersebut melibatkan metodologi multidisiplin yang membutuhkan perspektif majemuk serta


(33)

18

membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. Sebagai kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas keputusan lokal, sehingga masyarakat memiliki kewenangan yang jelas untuk memelihara struktur kegiatannya.

Kriteria:

a. Anggota kelompok tidak harus terlibat dalam kegiatan kelompok.

b. Adanya transparasi tentang segala bentuk rumah tangga kelompok, baik kepada anggota maupun pada lokasi sekitar kegiatan.

7. Mobilisasi Swakarsa

Partisipasi masyarakat dengan mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Masyarakat membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, namun memegang kendala pendayagunaan sumberdaya. Kriteria:

a. Membentuk kelompok secara mandiri.

b. Adanya koordinasi atau kerjasama dengan pihak luar untuk menunjang keberhasilan kelompok.


(34)

19

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur pada bulan April 2014.

B. Alat dan Objek

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: alat tulis, kamera, kuisioner, dan laptop. Sedangkan objek pada penelitian ini adalah kelompok masyarakat di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

C. Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini adalah:

1. Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah seluruh kelompok yang terdapat di Desa Margasari yaitu kelompok pengolah terasi, kelompok pengolah ikan, kelompok nelayan, kelompok tani, dan kelompok mangrove.

2. Partisipasi kelompok masyarakat yang merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove yang meliputi pembibitan, penanaman, penyulaman, rehabilitasi, dan patroli.


(35)

20

D. Definisi Operasional

Untuk lebih memudahkan dalam pengukuran konsep, maka suatu konsep dijabarkan dalam bentuk definisi operasional. Definisi operasional adalah penentuan suatu nilai/harga sehingga menjadi variabel atau variabel-variabel yang dapat diukur (Sugiono, 2009).

Tabel 1. Definisi operasional variabel dan parameter pengukuran faktor-faktor yang mempengaruhi peran kelompok masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove.

Variabel Definisi Operasional Parameter Pengukuran Skala Pengukuran Partisipasi kelompok masyarakat Merupakan tingkah laku atau dalam melakukan pengelolaan dan pendidikan hutan mangrove berdasarkan fungsi masing-masing kelompok masyarakat.

1. Baik bila skor ≥ mean atau median 2. Kurang Baik

bila skor < mean atau median

Ordinal

Pelestarian hutan mangrove

Kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna

mewujudkan tujuan hutan mangrove yang lestari.

1. Baik bila skor ≥ mean atau median 2. Kurang Baik

bila skor < mean atau median

Ordinal

E. Metode Pengumpulan Data

a) Data primer

Data primer merupakan data yang belum tersedia dan dapat diperoleh langsung di lapangan dengan menggunakan metode survei yaitu wawancara langsung kepada kelompok masyarakat. Informasi yang diperoleh meliputi keadaan kelompok


(36)

21

masyarakat (umur, jenis kelamin, mata pencaharian, tingkat pendidikan), pengetahuan kelompok masyarakat tentang pelestarian hutan mangrove, partisipasi kelompok masyarakat dalam pengelolaan pelestarian hutan mangrove, dan tipe partisipasi kelompok.

b) Data sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang penelitian yang menggunakan metode studi kepustakaan. Metode ini digunakan untuk mencari, menganalisis, mengumpulkan, dan mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan umum, dan literatur lainnya yang dipakai sebagai bahan referensi. Selain itu, data sekunder juga meliputi keadaan umum lokasi penelitian seperti letak geografis, keadaan fisik lingkungan, sarana dan prasarana di lokasi penelitian.

F. Metode Penentuan Jumlah Sampel

Jumlah kepala keluarga di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur sebanyak 1.894 kepala keluarga dan jumlah kepala keluarga yang tergabung dalam kelompok masyarakat adalah 269 kepala keluarga yang terdiri dari kelompok pengolah terasi, kelompok pengolah ikan, kelompok nelayan, kelompok tani, kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), kelompok marga jaya utama, dan marga jaya satu. Untuk kelompok mangrove yaitu kelompok pendidikan lingkungan hidup (PLH), kelompok Marga Jaya Utama, dan Marga Jaya Satu sampel diperoleh dengan metode sensus yang berjumlah 44 responden. Sedangkan yang bukan kelompok mangrove memiliki populasi berjumlah 110. Sampel diperoleh dengan menggunakan rumus menurut Arikunto (2000) yaitu jika populasi lebih dari 100 maka batas error yang


(37)

22

1

2

e

N

N

n

digunakan adalah 10-15%. Banyaknya sampel yang diambil dapat dihitung dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

Keterangan

n : jumlah responden.

N : jumlah total kelompok masyarakat e : presisi 15%.

Untuk jumlah sampel dari masing-masing kelompok, dihitung dengan menggunakan rumus menurut (Sugiono, 2009), yaitu:

Keterangan:

n : jumlah sampel yang akan diambil pada setiap kelompok. N : jumlah total populasi pada semua kelompok.

Ni : jumlah populasi pada kelompok ke (i). ni : jumlah sampel pada semua kelompok a. Kelompok Pengolah Terasi:

n = 5/110x32 = 2

b. Kelompok Pengolah Ikan: n= 5/110x32

= 2

c. Kelompok Nelayan: n= 20/110x32 = 6


(38)

23

d. Gabungan Kelompok Tani: n= 80/110x32

= 22

Berdasarkan uraian rumus di atas maka jumlah responden pada setiap kelompok disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah responden

No Nama kelompok Jumlah

Anggota

Sampel Ket. 1 Kelompok Mangrove

- Kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

24 24 Sensus

- Kelompok Marga Jaya Utama 10 10 Sensus

- Kelompok Marga Jaya Satu 10 10 Sensus

Jumlah 44 44

2 Kelompok Pengolah Terasi 5 2 Sampling

Kelompok Pengolah Ikan 5 2 Sampling

Kelompok Nelayan 20 6 Sampling

Gabungan Kelompok Tani 80 22 Sampling

Jumlah 110 32

Total 76

Sumber: Monografi Desa Margasari, 2012.

Pengambilan sampel dalam penelitian dilakukan dengan teknik simple random sampling, yaitu seluruh anggota populasi memiliki peluang untuk dijadikan anggota sampel.

Sampel di atas digunakan untuk mencari tingkat pastisipasi anggota kelompok masyarakat terhadap pelestarian hutan mangrove. Sedangkan untuk memperoleh tipe kelembagaan partisipatif, dilakukan wawancara secara mendalam dan sampel diperoleh dengan metode Snowball sampling. Metode snowball sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang akan berhenti prosesnya jika jawaban yang diterima sudah dapat menjawab semua pertanyaan dan dapat mendukung pencapaian tujuan penelitian. Penentuan sampel dipilih dua orang


(39)

24

yang merupakan tokoh kunci dalam penelitian, apabila dengan dua orang tersebut informasi belum lengkap maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih mengetahui dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya begitu seterusnya sampai data menjadi lengkap. Penentuan titik sampel dianggap cukup apabila telah sampai pada titik jenuh atau tidak memperoleh data baru (Sugiyono, 2009).

G. Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pengolahan data melalui tahapan-tahapan berikut:

1. Pemeriksaan data, dilakukan untuk mengetahui kelengkapan data dan kepastian data apakah sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.

2. Klasifikasi data, dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan permasalahan yang diteliti yaitu tingkat pengetahuan masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove.

3. Sistemasi data, dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan data pada tiap kelompok dan bahasan secara sistematis sehingga mempermudah pembahasan.

Data-data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif untuk mengetahui partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dengan memberi skor 2 pada pilihan jawaban a, 1 pada pilihan jawaban b, dan 0 pada pilihan jawaban c. Menurut Yitnosumarto (2000) dalam menentukan nilai tinggi, sedang, atau rendah dari partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam


(40)

25

pelestarian hutan mangrove digunakan interval yang diformulasikan sebagai berikut:

Keterangan : I = interval

NT = total nilai tertinggi NR = total nilai terendah K = kategori jawaban

Tingkat partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dianalisis berdasarkan penjumlahan skor dari aspek pengetahuan anggota kelompok masyarakat tentang hutan mangrove (4 pertanyaan), pengetahuan anggota kelompok masyarakat tentang pelestarian hutan mangrove (6 pertanyaan) serta partisipasi anggota kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove (10 pertanyaan). Berikut angka intervalnya:

a. Pengetahuan kelompok masyarakat tentang hutan mangrove Kategori rendah: 0-2,66

Kategori sedang: 2,67-5,33 Kategori tinggi: 5,34-8

b. Pengetahuan kelompok masyarakat tentang pelestarian hutan mangrove Kategori rendah: 0-4

Kategori sedang: 5-8 Kategori tinggi: 9-12

c. Partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove Kategori rendah: 0-6,66

Kategori sedang: 6,67-13,33 Kategori tinggi: 13,34-20


(41)

26

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kondisi Fisik Wilayah

Kabupaten Lampung Timur dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1999 dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999, pusat pemerintahan berada di Sukadana. Secara Geografis berada pada 1050 14’ - 1050 55’ BT dan 40 45’- 50 39’ LS. Saat ini terdiri atas 24 kecamatan dan 246 desa dengan luas wilayah sekitar 5.325,03 km2, atau 15% dari total wilayah Provinsi Lampung. Dua diantara 24 kecamatan tersebut merupakan daerah pesisir, yaitu Kecamatan Labuhan Maringgai dan Kecamatan Pasir Sakti.

Desa Margasari terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai dengan luas 1.002 ha. Desa ini memiliki 12 dusun yang berbatasan langsung dengan wilayah-wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Timur : Laut Jawa

b. Sebelah Selatan : Desa Sriminosari c. Sebelah Barat : Desa Srigading d. Sebelah Utara : Desa Suko Rahayu

Desa Margasari berada pada ketinggian 1,5 mdpl ini memiliki suhu rata-rata harian 28-400C dengan bentang wilayah yang memiliki kemiringan 900. Desa Margasari merupakan salah satu desa yang memiliki pantai dengan tekstur tanah


(42)

27

pasiran yang didominasi oleh tanah berwarna hitam (Monografi Desa Margasari, 2012). Rata-rata curah hujan di Desa Margasari berkisar 2.500 mm per tahun dengan jumlah bulan hujan selama 6 bulan. Bulan-bulan hujan terjadi antara bulan November sampai dengan bulan April, sedangkan bulan-bulan kering terjadi antara bulan April sampai dengan bulan Oktober. Kondisi topografi Desa Margasari adalah dataran rendah dan tepi pantai pesisir, kawasan gambut, aliran sungai dan bantaran sungai, dengan ketinggian tanah dari permukaan laut adalah kurang lebih 1,5 meter.

Menurut penggunaannya, lahan di Desa Margasari terdiri dari pemukiman, persawahan, perkebunan, pemakaman, pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum lainnya. Penggunaan lahan di Desa Margasari disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Penggunaan lahan di desa Margasari (ha).

No Nama Penggunaan Lahan Luas (ha) %

1. Pemukiman 200,00 20,00

2. Tanah Sawah

- Sawah Irigasi Teknis 214,00 21,36

- Sawah Tadah Hujan 4,50 0,45

- Ladang 75,00 7,46

3. Tanah Kering 313,00 31,24

4. Tanah Basah (Rawa) 50,00 5,00

5. Tanah Perkebunan 15,50 1,55

6. Tanah Fasilitas Umum 50,00 5,00

7. Empang 80,00 7,90

8. Hutan Mangrove*) 700,00 -

Jumlah 1.002,00 100,00

Ket: *) tidak termasuk dalam luas desa

Sumber : Monografi Desa Margasari, 2012.

Lahan di Desa Margasari paling luas yaitu tanah kering (31,24%) dibandingkan dengan penggunaan lain seperti perkebunan, sawah irigasi teknis, sawah tadah


(43)

28

hujan, ladang, empang, pemukiman, fasilitas umum dan tanah yang belum dikelola.

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

1. Jumlah Penduduk

Berdasarkan Monografi Desa Margasari tahun 2012, jumlah penduduk Desa Margasari adalah 7.537 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 1.894 Keluarga. Penduduk Desa Margasari terdiri dari laki-laki sebanyak 3.824 jiwa (50,73%) dan perempuan sebanyak 3.713 jiwa (49,27%).

2. Tingkat Pendidikan

Dapat dijelaskan pada tabel 4 bahwa sebagian besar (63,40%) yaitu 1.784 jiwa penduduk hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD). Fenomena ini sangat berbanding terbalik dengan ketetapan Pemerintah tentang wajib belajar 9 tahun. Jumlah penduduk yang berpendidikan sampai ke jenjang Sarjana pun sangat minim sekali karena hanya berjumlah 17 jiwa (0,6%).

Tabel 4. Presentase Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Margasari

No. Tingkat Pendidikan (Jiwa) (%) 1. Tamat Sekolah Dasar 1784 63,39 2. Tamat SMP 686 24,37 3. Tamat SMA 309 10,98 4. Tamat Akademi/D1-D3 30 1,06 5. Tamat Perguruan Tinggi/S1-S3 17 0,60 6. Tamat SLB C 5 0,17 Jumlah 2814 100,00%


(44)

29

Tabel 5. Jumlah Guru dan Sarana Pendidikan di Desa Margasari

No. Sarana Pendidikan Jumlah (Unit) Guru (Orang)

1. Taman Kanak-Kanak 3 12

2. Sekolah Dasar (SD) 4 24

3. SMP 1 11

4. Madrasah 1 12

5. TPA 3 16

Sumber: Monografi Desa Margasari Tahun 2012.

Sarana pendidikan yang dimiliki Desa Margasari juga masih kurang lengkap. Tabel 5 memperlihatkan bahwa Desa Margasari hanya memiliki 4 Sekolah Dasar, 1 Sekolah Menengah Pertama, 3 Taman Kanak-kanak, dan 1 Madrasah. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi penduduk harus ke ibukota provinsi atau ibukota kabupaten/kota.

3. Mata Pencaharian

Penduduk Desa Margasari yang memiliki pekerjaan berjumlah 1.700 jiwa. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan (66,12%) yaitu 1.124 jiwa. Hal ini terkait dengan Desa Margasari sebagai Desa Pesisir yaitu merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri, 2001). Sehingga mendukung masyarakat untuk memenuhui kebutuhan hidup dari hasil laut. Selain nelayan, mata pencaharian yang dominan adalah petani (22,17%) yaitu 377 jiwa. Luas total tanah sawah para petani adalah 328,5 hektar per m2. Lahan yang cukup luas bagi para petani untuk menggantungkan hidup


(45)

30

dari hasil sawah. Masyarakat lainnya bermata pencaharian sebagai karyawan (0,58%) yaitu 10 jiwa, pedagang (0,64%) yaitu 11 jiwa. Masyarakat yang berdagang membuka warung kecil atau toko sekitar desa guna menyediakan kebutuhan sehari-hari masyarakat lainnya karena pasar tradisional Desa Margasari hanya diadakan hari Selasa dan Jumat. Selanjutnya adalah peternak (0,17%) yaitu 3 jiwa, montir (0,34%) yaitu 6 jiwa, bidan (0,17%) yaitu 3 jiwa, pembantu rumah tangga (3,24%) yaitu 55 jiwa, tukang kayu (1,59%) yaitu 27 jiwa, tukang batu (1,40%) yaitu 24 jiwa, guru honor (0,82%) yaitu 14 jiwan, dan wiraswasta (0,88%) yaitu 15 jiwa. Beberapa diantara wiraswasta memanfaatkan hasil hutan mangrove sebagai bahan dasar usaha kecil yang dikelola masyarakat, seperti rebon yang dimanfaatkan untuk pembuatan terasi, dan daun jeruju yang dimanfaatkan untuk membuat keripik daun jeruju.

4. Suku dan Agama

Penduduk Desa Margasari terdiri dari berbagai macam suku diantaranya yaitu Minang, Sunda, Jawa, Madura, dan Bugis. Mayoritas penduduk Desa Margasari bersuku Jawa dan Bugis. Bahasa pergaulan sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Jawa, Bugis, dan Bahasa Indonesia. Hampir seluruh penduduk Desa Margasari beragama Islam, yaitu sebanyak 7.357 jiwa atau 97,61% dari jumlah seluruh penduduk di desa tersebut. Sedangkan sisanya beragama Kristen sebanyak 109 jiwa (1,45%), dan Budha sebanyak 71 jiwa (0,94%). Sarana peribadatan yang ada di Desa Margasari antara lain 7 Masjid dan 14 Mushalla.


(46)

31

5. Prasarana Ekonomi

Desa Margasari yang terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur dapat dicapai dengan baik oleh kendaraan roda dua maupun roda empat, Keadaan jalan khususnya jalan kecamatan kurang begitu baik karena masih terdapat banyak lubang di ruas jalan. Hingga saat ini, belum ada bis dan angkutan desa. Akan tetapi, hal ini teratasi dengan tersedianya jasa angkutan ojek yang siap mengantar ke Desa Margasari dengan biaya antara Rp.10.000,00 sampai Rp.15.000,00 dari depan kantor Kecamatan Labuhan Maringgai dan jasa travel dengan biaya Rp.25.000,00 sampai Rp.40.000,00 (Bandar Lampung-Margasari, Sukadana-Margasari). Terdapat beberapa alternatif jalur untuk mencapai lokasi, antara lain:

1. Bandar Lampung – Metro – Sukadana – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 115 km.

2. Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 121km.

3. Pelabuhan Bakauheni – Bandar Agung – Labuhan Maringgai – Desa Margasari, dengan jarak 155 km.

4. Bandar Branti – Metro – Sukadana – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 130 km.

5. Pelabuhan Bakauheni – Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribhawono – Desa Margasari, dengan jarak 211 km.

Penduduk Desa Margasari melakukan kegiatan jual beli di pasar yang terletak di desa ataupun yang terletak di ibukota kecamatan. Kegiatan ini tidak dapat dilakukan setiap hari karena pasar desa hanya diadakan pada hari Selasa dan


(47)

32

Jumat, sedangkan pasar yang terletak di ibukota kecamatan diadakan pada hari Rabu dan Sabtu. Kecuali pada hari-hari tersebut, masyarakat berbelanja di warung-warung atau toko yang terdapat di sekitar rumah (Monografi Desa Margasari, 2012).

C. Profil Kelompok Masyarakat Desa Margasari

Desa Margasari memiliki 6 kelompok masyarakat yang terdiri dari kelompok mangrove margajaya, kelompok mangrove PLH, kelompok pengolah terasi, gabungan kelompok tani, kelompok nelayan dan kelompok pengolah ikan. Masing-masing profil kelompok dijelaskan pada bagian di bawah ini.

1. Kelompok Margajaya

Pada tahun 1994, hutan mangrove masih sangat jarang sekali dan hanya berjarak 150m dari laut. Setelah terkena abrasi, tambak-tambak milik pribadi masyarakat Desa Margasari habis rata dengan tanah. Sehingga pada masa kepala desa (Alm) Bapak Sukimin, beliau meminta kepada ketua RT pada masa itu yaitu Pak Subag untuk bersama-sama menggerakkan masyarakat sebanyak 50 orang untuk menanam mangrove. Setelah itu, mangrove yang ditanami mulai tumbuh dan pada tahun 1997 ada kegiatan penanaman yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi. Kegiatan tersebut melibatkan seluruh masyarakat Desa Margasari dan dibentuklah kelompok mangrove margajaya yang diketuai oleh Pak Subag dengan jumlah anggota 40 orang yang terbagi menjadi 7 kelompok untuk melestarikan hutan mangrove agar terhindar dari abrasi. Kondisi kelompok margajaya saat ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu margajaya utama dan margajaya satu. Margajaya utama memiliki struktur organisasi yaitu ketua adalah Pak Subag,


(48)

33

sekretaris adalah Pak Sumaji dan bendahara adalah Pak Kasan. Selanjutnya margajaya satu memiliki ketua yaitu Pak Karwan, sekretaris Pak Gunawan dan bendahara Pak Sutio. Masing-masing kelompok beranggotakan 10 orang. Tujuan dari kelompok ini adalah untuk melestarikan hutan mangrove di Desa Margasari dan untuk menjadi anggota dari kelompok margajaya tidak ada persyaratan atau kriteria apapun. Program kerja rutin yang masih berkelanjutan adalah penyulaman hutan mangrove. Seluruh anggota kelompok margaya sudah sangat menyadari betapa pentingnya nilai dari keberadaan hutan mngrove. Kelompok margajaya mempunyai jadwal perkumpulan rutin setiap 2 bulan sekali untuk membahas kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya.

2. Kelompok mangrove PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup)

Pada tahun 1994-2001 pernah terjadi abrasi besar-besaran dan selanjutnya dilakukan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Margasari. Pada tahun 2004 inisiatif masyarakat oleh Kepala Desa Margasari (Alm. Bapak Sukimin) untuk menyerahkan hutan mangrove kepada Universitas Lampung sebagai hutan pendidikan. Pada tahun 2005 telah dilaksanakan penyerahan hutan mangrove seluas 700 ha dan dibentuk pengajuan berupa persetujan kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Setelah proses administrasi telah selesai dan berjalan dengan baik, serah terima ijin lokasi kepada Universitas Lampung dari Bupati Lampung Timur melalui Surat Keputusan Bupati Lampung Timur No. B. 303/22/SK/2005 pada tanggal 23 Desember 2005 tentang ”Penetapan Lokasi

untuk Pengelolaan Hutan Mangrove dalam Rangka Pendidikan, Pelestarian

Lingkungan, dan Pemberdayaan Masyarakat seluas 700 ha di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai” dilaksanakan pada 25 Januari tahun 2006.


(49)

34

Bersamaan dengan acara tersebut, kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dibentuk oleh Universitas Lampung sebagai fasilitator dalam pelestarian hutan mangrove dengan jumlah anggota 24 orang. Struktur organisasi kelompok ini adalak Pak Rusyani sebagai ketua, Pak Sukari sebagai wakil ketua, Pak Adi sebagai sekretaris dan Ibu Muslikah sebagai bendahara. Tujuan kelompok PLH ini adalah untuk melaksanakan pengamanan dan pelestarian hutan mangrove dan untuk mengajukan beberapa program yang berkaitan dengan mangrove tersebut. Anggota dari kelompok PLH banyak rekrutmen dari PNS Guru. Hal ini dilakukan karena untuk menarik minat anak sejak dini untuk melestarikan hutan mangrove. Program pelestarian hutan mangrove seperti pembibitan dan penanaman tidak rutin dilakukan oleh kelompok ini, karena jika ada kontrak kerjasama dengan pihak luar baru kegiatan-kegiatan tersebut berjalan kembali. Sehingga keberlanjutan program untuk pelestarian hutan mangrove tidak ada.

3. Kelompok pengolah terasi

Kelompok pengolah terasi terbentuk pada tahun 2008 pada saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Lampung masuk di Desa Margasari. Kelompok ini hanya terdiri dari ketua kelompok yaitu Ibu Sudarlis. Jumlah anggota sebanyak 5 orang yang seluruhnya terdiri dari ibu-ibu yang memiliki tujuan untuk memperkenalkan terasi khas Margasari dan juga meningkatkan pendapatan kelompok. Kegiatan rutin kelompok ini adalah membuat terasi dengan menggunakan rebon segar yang yang hidup di sekitar hutan mangrove. Rebon tersebut dicari bersama oleh semua anggota kelompok serta proses pengolahan masih dengan cara tradisional, dan alat untuk pengemasan adalah sealer yang


(50)

35

diperoleh dari bantuan Universitas Lampung. Kelompok pengolah terasi tidak memiliki keberlanjutan program kerja sehingga kegiatan yang ada selalu statis.

4. Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani)

Kelompok tani sudah terbentuk sejak lama, sebelum adanya kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Pada tahun 2008, dibentuklah gapoktan yaitu gabungan kelompok tani yang memiliki tujuan untuk mengkoordinasikan kelompok-kelompok tani guna meningkatkan kinerja di bidang pertanian, tidak ada pembagian hasil keuntungan, karena status lahan sawah adalah milik pribadi. Struktur organisasi gapoktan hanya terdiri dari ketua yaitu Pak Sunarko. Jumlah anggota gapoktan sampai saat ini adalah 80 orang dan setiap anggota kelompok memiliki lahan garapan ataupun sawah. Instansi/lembaga yang menaungi kelompok ini adalah Dinas Pertanian. Kelompok ini juga mendapat penyuluhan dari Dinas Pertanian Kabupaten tentang perawatan lahan sawah sebelum dan pasca panen dengan rentang waktu 2 kali dalam setahun. Sehingga untuk kemajuan dan keberhasilan kelompok, gapoktan melakukan pertemuan rutin setiap bulan.

5. Kelompok nelayan

Kelompok nelayan terbentuk karena munculnya isu akan adanya bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012. Kelompok ini memiliki anggota sebanyak 10 orang dan struktur organisasi hanya terdiri dari ketua yaitu Bapak Halimi. Tujuan dari kelompok ini adalah meningkatkan pendapatan kelompok dengan cara menangkap ikan secara bersama, dan hasil penjualan digunakan untuk kepentingan bersama. Kegiatan rutin yang dilakukan oleh kelompok ini


(51)

36

adalah menangkap ikan. Perencanaan kegiatan dan pertemuan kelompok tidak pernah ada, karena setiap harinya kelompok nelayan hanya menangkap ikn secara terus menerus.

6. Kelompok pengolah ikan

Kelompok pengolah ikan ini terbentuk pada saat pelatihan yang diselenggarakan oleh PNPM pada tahun 2013. Kelompok pengolah ikan hanya memiliki ketua yaitu Ibu Wahyu Jaya dan beranggotakan 10 orang yang terdiri dari ibu-ibu warga Desa Margasari dan PNPM sebagai pendamping kelompok ini. Tujuan kelompok ini adalah menambah penghasilan anggota kelompok melalui pengolahan ikan. Kegiatan dalam kelompok ini adalah mengolah ikan menjadi produk yang bernilai jual kebih seperti pembuatan nugget, bakso ikan, dan ikan asin. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari oleh kelompok pengolah ikan begitu seterusnya sampai sekarang. Tidak ada pengembangan dalam inovasi produk dan pemasaran karena kurangnya dukungan dari pemerintah.


(52)

48

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Tingkat partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove pada kategori tinggi adalah (73,68%) yang didukung oleh kelompok PLH dan kelompok margajaya, kategori sedang (19,74%) terdiri dari gabungan kelompok tani, pengolah ikan, dan nelayan, kategori rendah (6,58%) yang termasuk di dalamnya adalah gabungan kelompok tani dan kelompok pengolah terasi.

2. Tipe kelembagaan partisipatif terdiri dari partisipasi pasif yaitu pada gabungan kelompok tani, kelompok pengolah ikan, kelompok pengolah terasi dan kelompok nelayan, partisipasi konsultatif yaitu pada kelompok PLH, dan partisipasi mobilisasi swakarsa pada kelompok margajaya.

B. Saran

1. Perlu adanya penguatan kelembagaan untuk mengaktifkan organisasi kelompok terutama kelompok pada tipe partisipasi pasif.

2. Pemerintah Daerah perlu memajukan kelompok masyarakat yang berada pada tipe partisipasi pasif untuk menukung pengembangan pelestarian hutan mangrove di Desa Margasari.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, J. 2012. Kondisi Ekosistem Mangrove di Sub District Liquisa Timor Leste. Jurnal Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. 1(3): 136-143.

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Arikunto, S. 2000. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Badrudin. A. 2003. Sekilas mengenai hutan bakau di Propinsi Riau. Fakultas Perikaan Universitas Riau. Pekanbaru.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Demanhuri. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Erwianto. 2006. Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang-Banyuwangi. Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan. 3(1): 44-50.

Ghufran, M. dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: potensi, fungsi, dan pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.

Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Hasan, R. 2004. Pengembangan Kelembagaan Partisipatif untuk Melestarikan Ekosistem Hutan Mangrove. Thesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardhani. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Serta Masyarakatcd alam Pengelolaan Hutan Manggrove di Kecamatan Pulau Laut Utara

Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Semarang. Program


(54)

Ibori, A. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pembangunan di Desa Tembuni Distrik Tembuni Kabupaten Teluk Bintuni. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 2(1): 161-175.

International Tropical Timber Organization (ITT0). 2012. Tropical Forest Update. Yokohama 220-0012. Japan.

International Institute of Rural Reconstruction [IIRR]. 1998. Participatory Method in Community Based Coastal Resource Management. Volume I: Introductory Papers. Institute of Rural Reconstruction. Silang, Captive, Philippines.

Kustanti, A. 2010. Manajemen Hutan Mangrove. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Kusmana, C. 2010. Kolaborasi antara Masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam Pelestarian Hutan Mangrove. Jurnal Fakultas Kehutanan IPB. 1(1): 22-30.

Kusuma, C. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institu Pertanian Bogor. Bogor.

Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 2010. Pengelolaan Kolaboratif Hutan Mangrove Berbasis Pemerintah, Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Mawardi, A. 2010. Peran Pendampingan Masyarakat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Pulau Pahwang Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran. Skripsi Fakultas

Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Lampung. Tidak

Dipublikasikan.

Monografi Desa Margasari. 2012. Format Potensi, Perkembangan, dan Laporan Profil Desa dan Kelurahan. Provinsi Lampung.

Muluk. 2010. Pengelolaan Ekosistem Mangrove oleh Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu Lingkungan. 1(2):24-35.

Mulyani, E dan Fitriani, N. 2013. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 2(2): 11-18.

Natalina, U. 2012. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Batu Gajah Kabupaten Natuna. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pariyono. 2006. Kajian Potensi Kawasan Mangrove dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Wilayah Pantai di Desa Panggung, Bulakbaru , Tanggultlare ,


(55)

Kabupaten Jepara. Tesis Pascasarjana Magister Manajemen Sumber Daya PantaiUniversitas Dipnegoro. Semarang.

Purnobasuki, H. 2010. Ancaman terhadap Hutan Mangrove di Indonesia dan Langkah Strategis Pencegahannya. Jurnal Biologi. 3(1):121-132.

Rusdianti, K. 2012. Konservasi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 6(1): 1-17.

Saputok, G.B. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Jakarta.

Sugiono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Sukmana. 2011. Hutan Mangrove sebagai Penyangga Ekosistem Kehidupan. Jurna Ilmu Perikanan dan Kelautan. 3(2): 1-14.

Sunito, S. 2012. Peran serta Masyarakat Pedesaan dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 3(1): 24-35.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Torang, S. 2012. Metode Riset Struktur dan Perilaku Organisasi. Alfabeta. Bandung.

Yitnosumarto, S. 2000. Dasar-dasar Statistika. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Wiyono, MP. 2009. Pengelolaan Hutan Mangrove dan Daya Tariknya sebagai


(1)

35

diperoleh dari bantuan Universitas Lampung. Kelompok pengolah terasi tidak memiliki keberlanjutan program kerja sehingga kegiatan yang ada selalu statis.

4. Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani)

Kelompok tani sudah terbentuk sejak lama, sebelum adanya kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Pada tahun 2008, dibentuklah gapoktan yaitu gabungan kelompok tani yang memiliki tujuan untuk mengkoordinasikan kelompok-kelompok tani guna meningkatkan kinerja di bidang pertanian, tidak ada pembagian hasil keuntungan, karena status lahan sawah adalah milik pribadi. Struktur organisasi gapoktan hanya terdiri dari ketua yaitu Pak Sunarko. Jumlah anggota gapoktan sampai saat ini adalah 80 orang dan setiap anggota kelompok memiliki lahan garapan ataupun sawah. Instansi/lembaga yang menaungi kelompok ini adalah Dinas Pertanian. Kelompok ini juga mendapat penyuluhan dari Dinas Pertanian Kabupaten tentang perawatan lahan sawah sebelum dan pasca panen dengan rentang waktu 2 kali dalam setahun. Sehingga untuk kemajuan dan keberhasilan kelompok, gapoktan melakukan pertemuan rutin setiap bulan.

5. Kelompok nelayan

Kelompok nelayan terbentuk karena munculnya isu akan adanya bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012. Kelompok ini memiliki anggota sebanyak 10 orang dan struktur organisasi hanya terdiri dari ketua yaitu Bapak Halimi. Tujuan dari kelompok ini adalah meningkatkan pendapatan kelompok dengan cara menangkap ikan secara bersama, dan hasil penjualan digunakan untuk kepentingan bersama. Kegiatan rutin yang dilakukan oleh kelompok ini


(2)

36

adalah menangkap ikan. Perencanaan kegiatan dan pertemuan kelompok tidak pernah ada, karena setiap harinya kelompok nelayan hanya menangkap ikn secara terus menerus.

6. Kelompok pengolah ikan

Kelompok pengolah ikan ini terbentuk pada saat pelatihan yang diselenggarakan oleh PNPM pada tahun 2013. Kelompok pengolah ikan hanya memiliki ketua yaitu Ibu Wahyu Jaya dan beranggotakan 10 orang yang terdiri dari ibu-ibu warga Desa Margasari dan PNPM sebagai pendamping kelompok ini. Tujuan kelompok ini adalah menambah penghasilan anggota kelompok melalui pengolahan ikan. Kegiatan dalam kelompok ini adalah mengolah ikan menjadi produk yang bernilai jual kebih seperti pembuatan nugget, bakso ikan, dan ikan asin. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari oleh kelompok pengolah ikan begitu seterusnya sampai sekarang. Tidak ada pengembangan dalam inovasi produk dan pemasaran karena kurangnya dukungan dari pemerintah.


(3)

48

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Tingkat partisipasi kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove pada kategori tinggi adalah (73,68%) yang didukung oleh kelompok PLH dan kelompok margajaya, kategori sedang (19,74%) terdiri dari gabungan kelompok tani, pengolah ikan, dan nelayan, kategori rendah (6,58%) yang termasuk di dalamnya adalah gabungan kelompok tani dan kelompok pengolah terasi.

2. Tipe kelembagaan partisipatif terdiri dari partisipasi pasif yaitu pada gabungan kelompok tani, kelompok pengolah ikan, kelompok pengolah terasi dan kelompok nelayan, partisipasi konsultatif yaitu pada kelompok PLH, dan partisipasi mobilisasi swakarsa pada kelompok margajaya.

B. Saran

1. Perlu adanya penguatan kelembagaan untuk mengaktifkan organisasi kelompok terutama kelompok pada tipe partisipasi pasif.

2. Pemerintah Daerah perlu memajukan kelompok masyarakat yang berada pada tipe partisipasi pasif untuk menukung pengembangan pelestarian hutan mangrove di Desa Margasari.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, J. 2012. Kondisi Ekosistem Mangrove di Sub District Liquisa Timor Leste. Jurnal Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. 1(3): 136-143.

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Arikunto, S. 2000. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Badrudin. A. 2003. Sekilas mengenai hutan bakau di Propinsi Riau. Fakultas Perikaan Universitas Riau. Pekanbaru.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Demanhuri. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Erwianto. 2006. Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang-Banyuwangi. Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan. 3(1): 44-50.

Ghufran, M. dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: potensi, fungsi, dan pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.

Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Hasan, R. 2004. Pengembangan Kelembagaan Partisipatif untuk Melestarikan Ekosistem Hutan Mangrove. Thesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardhani. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Serta Masyarakatcd alam Pengelolaan Hutan Manggrove di Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Semarang. Program pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.


(5)

Ibori, A. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pembangunan di Desa Tembuni Distrik Tembuni Kabupaten Teluk Bintuni. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 2(1): 161-175.

International Tropical Timber Organization (ITT0). 2012. Tropical Forest Update. Yokohama 220-0012. Japan.

International Institute of Rural Reconstruction [IIRR]. 1998. Participatory Method in Community Based Coastal Resource Management. Volume I: Introductory Papers. Institute of Rural Reconstruction. Silang, Captive, Philippines.

Kustanti, A. 2010. Manajemen Hutan Mangrove. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Kusmana, C. 2010. Kolaborasi antara Masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam Pelestarian Hutan Mangrove. Jurnal Fakultas Kehutanan IPB. 1(1): 22-30.

Kusuma, C. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institu Pertanian Bogor. Bogor.

Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 2010. Pengelolaan Kolaboratif Hutan Mangrove Berbasis Pemerintah, Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Mawardi, A. 2010. Peran Pendampingan Masyarakat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Pulau Pahwang Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran. Skripsi Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Lampung. Tidak Dipublikasikan.

Monografi Desa Margasari. 2012. Format Potensi, Perkembangan, dan Laporan Profil Desa dan Kelurahan. Provinsi Lampung.

Muluk. 2010. Pengelolaan Ekosistem Mangrove oleh Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu Lingkungan. 1(2):24-35.

Mulyani, E dan Fitriani, N. 2013. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 2(2): 11-18.

Natalina, U. 2012. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Batu Gajah Kabupaten Natuna. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pariyono. 2006. Kajian Potensi Kawasan Mangrove dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Wilayah Pantai di Desa Panggung, Bulakbaru , Tanggultlare ,


(6)

Kabupaten Jepara. Tesis Pascasarjana Magister Manajemen Sumber Daya PantaiUniversitas Dipnegoro. Semarang.

Purnobasuki, H. 2010. Ancaman terhadap Hutan Mangrove di Indonesia dan Langkah Strategis Pencegahannya. Jurnal Biologi. 3(1):121-132.

Rusdianti, K. 2012. Konservasi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 6(1): 1-17.

Saputok, G.B. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Jakarta.

Sugiono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Sukmana. 2011. Hutan Mangrove sebagai Penyangga Ekosistem Kehidupan. Jurna Ilmu Perikanan dan Kelautan. 3(2): 1-14.

Sunito, S. 2012. Peran serta Masyarakat Pedesaan dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 3(1): 24-35.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Torang, S. 2012. Metode Riset Struktur dan Perilaku Organisasi. Alfabeta. Bandung.

Yitnosumarto, S. 2000. Dasar-dasar Statistika. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Wiyono, MP. 2009. Pengelolaan Hutan Mangrove dan Daya Tariknya sebagai