PERANAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE PADA IMUNITAS TERHADAP MALARIA: STUDI DI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

(1)

ABSTRAK

PERANAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE PADA IMUNITAS TERHADAP MALARIA: STUDI DI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI

KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Oleh

Agung Kartika Putra

Salah satu fungsi ekologi hutan mangrove adalah sebagai habitat berbagai nyamuk termasuk nyamuk penyebab penyakit malaria (Anopheles sp.). Wabah penyakit malaria bisa meningkat akibat terdegradasinya hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove yang buruk menstimulasi nyamuk Anopheles sp. untuk bermigrasi ke habitat lain seperti pemukiman, yang selanjutnya menjadi vektor penyakit malaria. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh ekosistem hutan mangrove baik faktor instrinsik maupun faktor ekstrinsik pada imunitas masyarakat terhadap malaria. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 di Desa Muara Gading Mas, Bandar Negeri, Sriminosari, dan Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan metode survai/observasi lapang. Untuk mengetahui pengaruh setiap variabel digunakan model regresi logistik biner. Optimasi parameter menggunakan piranti lunak Minitab 16. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang dapat meningkatkan imunitas adalah: (a) jenis kelamin, laki-laki 37,42 kali perempuan, (b) umur, setiap bertambah tua 1 tahun berlipat menjadi 1,17 kali semula, (c) pendidikan, semakin tinggi maka berkurang menjadi 0,001 kali semula, (d) mata pencaharian, selain nelayan 0,001 kali nelayan, (e) jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan, setiap berkurang 1 meter berlipat menjadi 0,09 kali semula, (f) jarak rumah terhadap mangrove, setiap bertambah 1 meter berlipat menjadi 1,001 kali semula, (g) tempat sampah, ada tempat sampah 239,71 daripada tidak ada, (h) program malaria, berlipat 3,71E+05 kali semula daripada tidak ada, (i) luas mangrove, setiap bertambah 1 m2 menjadi 1,001 kali semula, dan (j) kerapatan vegetasi mangrove, setiap bertambah 1 populasi/ha berlipat 1,18 kali semula.


(2)

ABSTRACT

ROLE OF MANGROVE FOREST ECOSYSTEM IN IMMUNITY TO MALARIA: STUDY IN SUB-DISTRICT LABUHAN MARINGGAI

DISTRICT EAST LAMPUNG

By

Agung Kartika Putra

ABSTRACT

One of the ecological function of mangrove forests is a habitat for mosquitoes that cause malaria (Anopheles sp.). Epidemic of malaria could increased as a result of mangrove degradation. The damage of mangrove forests stimulate Anopheles sp. migrate to other habitats such as settlements, that become malaria vector. The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forest ecosystems both intrinsic and extrinsic factors in immunity to malaria. This research was conducted on June 2014 in the Muara Gading Mas Village, Bandar Negeri, Sriminosari, and Margasari, Sub-district Labuhan Maringgai, District East Lampung. The data were collected through interviews and survey/observations method. The impact of each variable used binary logistic regression models. Parameter optimization used software Minitab16. The result of research have been demonstrated that there is influence both intrinsic and extrinsic factors in immunity to malaria in mangrove forest. Factors that increase resistance to malaria: (a) gender, male 37.42 fold of female, (b) age, getting old erevery 1 year doubled to 1.17 times of originally, (c) education, the higher it isreduced to 0.001 times the originally, (d) livelihood, besides fisher 0,001 fold of fisherman, (e) the distance settlements to the health facility, each reduced to 1 meter doubled to 0.09 times the originally, (f) the distance home to mangroves, each increase of 1 meter doubled to 1,001 times the originally, (g) the dustbin, there are bins 239.71 better than none, (h) the malaria program, multiply 3,71E+05 originally than none, (i) extensive mangrove, increasing 1 m2 become 1,001 fold of originally, and (j) mangrove density, increasing 1 population/ha multiply 1.18 fold originally.


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Watas, Kecamatan Balik Bukit pada tanggal 10 Januari 1992, merupakan anak bungsu dari pasangan Bapak Kasmir Yazid, B.A. dan Ibu Sri Lestari, S.Pd.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada tahun 1997 di Sekolah Dasar Negeri Gunung Sugih, kemudian pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Liwa dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Liwa. Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur PMKA/PKAB.

Pada tahun 2013 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik selama ± 40 hari di Desa Sukarame Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran. Pada tahun yang sama, penulis melakukan Praktek Umum selama ± 30 bulan di KPH Banten BKPH Rangkas Bitung dengan topik Pengelolaan Kayu. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Statistika Dasar (2012/2013-2014/2015), Biometrika Hutan (2013/2014), Inventarisasi Hutan (2013/2014), Manajemen Hutan (2013/2014), Penilaian Hutan


(7)

(2013/2014-2014/2015), dan Perencanaan Hutan (2014/2015). Selain menjalani perkuliahan sebagai peningkatan hardskill penulis juga aktif mengikuti organisasi

kemahasiswaan sebagai wadah pembelajaran dan peningkatan kapasistas softskill.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai anggota muda Himpunan Mahasiswa Jurusan Kehutanan (Himasylva) dan tahun 2011 hingga 2014 terdaftar menjadi anggota utama.


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan kerendahan hati, Kupersembahkan karya kecil ini

untuk Aki dan Ibu tercinta atas doa yang tak pernah putus

serta kasih sayang yang berlimpah tak kenal lelah,

Saudara-saudaraku yang senantiasa menantikan

keberhasilanku, atin David dan wo Henny terima kasih atas

semangat, doa, dan dorongan selama ini,

Keluarga besar, Sahabat,

serta Almamater tercinta.

Teman se-angkatan 2010 (Sylvaten), Rekan di Himasylva,

abang/mbak dan adik tingkat terima kasih atas bantuan dan

motivasinya selama ini serta kebersamaan yang tak kan

terlupakan mulai dari awal di Kehutanan hingga sekarang.


(9)

SANWACANA

Asslamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesai-kan penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul Peranan Ekosistem Hutan Mangrove Pada Imunitas Terhadap Malaria Studi di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur". Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna langkah penulis berikutnya yang lebih baik. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan skripsi ini akan bermanfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan kemurahan hati dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si. sebagai pembimbing pertama dan Bapak dr. Betta Kurniawan, M.Kes. sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai dari awal penyusunan proposal penelitian sampai skripsi ini terselesaikan.


(10)

2. Ibu Rommy Qurniati, S.P., M.Si., selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

5. Masyarakat Desa Muara Gading Mas, Desa Bandar Negeri, Desa Sriminosari, Desa Margasari yang bersedia menjadi responden penelitian.

6. Puskesmas Kecamatan Labuhan Maringgai, Puskesmas Desa, Dokter dan Bidan yang berada di lokasi penelitian.

7. Jajaran ketua kelompok tani mangrove di lokasi penelitian.

8. Tim yang membantu pengumpulan data yaitu Willy, Arif, Sapar, Abdian, Afrian, Wawan, dan Bagus.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, 11 Desember 2014


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 3

1.4.Manfaat Penelitian ... 4

1.5.Kerangka Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Ekosistem Hutan Mangrove ... 6

2.2. Malaria ... 9

2.2.1. Penyebab... 9

2.2.2. Siklus Hidup ... 9

2.2.3. Manifestasi Penyakit Malaria ... 12

2.2.4. Perilaku Nyamuk Malaria ... 13

2.2.5. Tempat Perindukan Nyamuk Malaria ... 15


(12)

2.3. Variabel Independen ... 23

2.3.1. Kaitan Hutan Mangrove (Intrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria ... 23

2.3.2. Faktor Lingkungan (Ekstrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria ... 24

III. METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan ... 27

3.3. Variabel Penelitian ... 28

3.4. Jenis Data ... 29

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.6. Metode Pengambilan Sampel ... 30

3.7. Analisis Data ... 31

3.7.1. Model yang digunakan dan Hipotesis yang diajukan ... 31

3.7.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 32

3.7.3. Uji Hipotesis ... 33

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 34

4.1. Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai ... 34

4.1.1. Letak Geografis ... 34

4.1.2. Data Kekayaan Alam ... 35

4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat... 35

4.2.1. Agama dan Etnis ... 35

4.2.2. Sarana dan Prasarana ... 37


(13)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1. Hasil Penelitian ... 41

5.2. Pembahasan... 44

a.Jenis Kelamin ... 46

b.Umur... 47

c.Pendidikan ... 48

d.Mata Pencaharian ... 49

e.Jarak Rumah terhadap Fasilitas Kesehatan ... 51

f. Jarak Rumah terhadap Hutan Mangrove ... 53

g.Tempat Pembuangan Sampah/Limbah... 54

h.Program Malaria ... 54

i. Luas Hutan Mangrove ... 55

j. Kerapatan Asosiasi Mangrove ... 57

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

6.1.Kesimpulan ... 59

6.2.Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 66

A. Tabel-tabel hasil pengamatan ... 67

B. Gambar-gambar di lokasi pengamatan... 88

C. Kuisioner Penelitian ... 91


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah sampel tiap desa ... 31

2. Variabel dan definisi operasional ... 32

3. Luas wilayah, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, dan jumlah dusun 35

4. Jumlah penduduk menurut agama yang dianut ... 36

5. Jumlah sarana ibadah ... 36

6. Komposisi penduduk menurut suku. ... 37

7. Jumlah sarana pendidikan ... 38

8. Jumlah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan. ... 38

9. Perubahan tutupan hutan mangrove di Labuhan Maringgai tahun 1973- 2013 ... 40

10. Hasil penelitian di Desa Muara Gading Mas, Desa Bandar Negeri, Desa Sriminosari, dan Desa Margasari di Kecamatan Labuhan Maringgai ... 41

11. Ringkasan hasil optimasi parameter model pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap vulnerabilitas penyakit malaria ... 45

12. Hasil kuisioner dan analisis vegetasi mangrove ... 67

13. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Muara Gading Mas ... 72

14. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Bandar Negeri ... 72

15. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Sriminosari ... 73

16. Statistik deskriptif hasil penelitian di Desa Margasari ... 73


(15)

18. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Bandar Negeri ... 75

19. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Bandar Negeri ... 76

20. Analisis vegetasi tingkat pohon di Desa Sriminosari ... 77

21. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Sriminosari ... 80

22. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Sriminosari ... 80

23. Analisis vegetasi tingkat pohon di Desa Margasari ... 81

24. Analisis vegetasi tingkat pancang di Desa Margasari ... 84

25. Analisis vegetasi tingkat semai di Desa Margasari ... 85

26. Regresi logistik biner ... 86

27. Tally sheet tanaman mangrove pada fase pohon ... 93

28. Tally sheet tanaman mangrove pada fase pancang ... 93


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 5

2. Siklus Plasmodium sp. ... 11

3. Peta hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur 2013 ... 57

4. Wawancara kepada masyarakat ... 88

5. Wawancara kepada masyarakat ... 88

6. Wawancara kepada dokter ... 89

7. Wawancara kepada bidan desa ... 89

8. Wawancara kepada ketua kelompok mangrove ... 90


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Fungsi ekologi hutan mangrove merupakan satu dari dua fungsi lain ekosistem mangrove, yakni sebagai fungsi ekonomi dan fungsi sosial (Kustanti, 2011). Ketiga pengkategorian fungsi tersebut mampu memberikan kontribusi positif sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove diketahui memiliki manfaat ganda (multiple use) yang dapat dibedakan atas manfaat

langsung dan manfaat tidak langsung. Menurut Kustanti (2011), manfaat langsung merupakan manfaat yang dapat dirasakan secara langsung kegunaannya dan nilainya dapat dikuantitatifkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia dari hasil hutan berupa barang dan jasa. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang nyata namun sulit dirasakan dan dikuantitatifkan nilainya.

Fungsi ekologi hutan mangrove dapat dirasakan dari manfaat tidak langsung. Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi ekologi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari

makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai

biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol penyakit seperti malaria.


(18)

2

Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Protozoa dari

genus Plasmodium yang berisiko kematian tinggi dengan proses penularan yang

relatif cepat. Penyakit malaria hanya terjadi melalui perantara (vektor) nyamuk betina khususnya Anopheles sp. Terdapat sekitar 80 spesies Anopheles sp. di

Indonesia,sedangkan yang dinyatakan sebagai vektor malaria sebanyak 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda. Spesies nyamuk di Sumatera yang sudah dinyatakan sebagai vektor adalah Anopheles sundaicus, Anopheles

maculatus, Anopheles nigerimus, Anopheles sinensis, dan Anopheles lettife

(Ahmadi, 2008).

Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal di daerah yang merupakan lokasi sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang. Berdasarkan tempat perkembangbiakannya, vektor malaria dikelompokkan ke dalam tiga tipe yaitu yang berkembang biak di persawahan, perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Keterkaitan antara penyakit dan hutan merupakan suatu hubungan rumit yang saling memengaruhi (Center For

Internatioanal Forestry Research, 2007).

Hutan mangrove sebagai habitat nyamuk dapat memengaruhi kehidupan larva nyamuk karena kanopi tegakan mangrove dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari serangan makhluk hidup lain, sehingga larva tersebut dapat berkembang biak dengan baik di dalam hutan mangrove tersebut (Ahmadi, 2008). Munculah asumsi bahwa adanya hutan mangrove sebagai habitat nyamuk, maka daerah jelajah nyamuk khususnya Anopheles sp. hanya di dalam dan sekitar


(19)

3

nyamuk tersebut pada radius jarak tertentu. Berbeda jika kualitas dan kuantitas hutan mangrove tersebut tidak baik, seperti terjadinya pembukaan areal hutan mangrove yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Kementerian Kesehatan RI (2011) telah membuktikan bahwa populasi nyamuk meningkat sebagai akibat ditebangnya hutan mangrove, sehingga dapat menimbulkan kerawanan terhadap wabah penyakit malaria.

Kesehatan masyarakat merupakan salah satu faktor pembangun kesejahteraan sosial yang sangat perlu diperhatikan, oleh karena itu pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap ketahanan penyakit malaria perlu diketahui khususnya angka kejadian pada masyarakat di sekitar hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai. Argumentasi tersebut merupakan simpul masalah yang perlu dipecahkan melalui penelitian ini. Pemecahan masalah ini menjadi semakin penting mengingat dinamika perubahan ekosistem hutan mangrove di daerah pesisir Lampung Timur begitu pesat dalam satu dasawarsa (Yuliasamaya dkk, 2014).

1.2.Rumusan Masalah

Apakah ekosistem hutan mangrove berpengaruh nyata pada ketahanan atau imunitas masyarakat terhadap penyakit malaria ?

1.3.Tujuan Penelitian

Menentukan pengaruh ekosistem hutan mangrove baik faktor instrinsik maupun faktor ekstrinsik pada ketahanan atau imunitas masyarakat terhadap penyakit malaria.


(20)

4

1.4.Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat sebagai informasi dan masukan terhadap pengelolaan hutan mangrove dalam upaya mengurangi penyakit malaria.

2. Sebagai masukan bagi pengembangan khasanah dunia ilmu pengetahuan khususnya mengenai hubungan ekosistem mangrove dengan ketahanan masyarakat terhadap penyakit malaria.

3. Bagi para pengambil kebijakan dalam urusan kesehatan yang berkaitan dengan penyakit malaria dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

1.5. Kerangka Pemikiran

Hutan mangrove sebagai daerah peralihan antara darat dan laut menjadi salah satu ciri khas yang dimilikinya. Selain mempunyai ciri khas tersebut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat besar yaitu dapat dilihat dari fungsi ekologi, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial.

Penelitian ini akan mengkaji peranan ekosistem hutan mangrove secara ekologi yaitu peranan ekosistem hutan mangrove terhadap kesehatan masyarakat yang ditinjau dari penyakit endemik di daerah pesisir yaitu penyakit malaria. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor ekstrinsik yang dijadikan sebagai variabel independen yaitu variabel dari luar keberadaan hutan mangrove itu seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan (SD, SMP, dan SMA ), mata pencaharian, jarak rumah penduduk terhadap fasilitas kesehatan (Pustu, Puskesmas, Puskesdes, Puskeskec, dan lain-lain), tempat pembuangan sampah, dan program penyakit malaria. Faktor intrinsik yang dijadikan sebagai variabel independen lain dibentuk dari adanya keberadaan hutan mangrove itu sendiri yaitu


(21)

5

jarak rumah penduduk terhadap hutan mangrove, luas hutan mangrove dan kerapatan asosiasi mangrove.

Asumsi bahwa adanya kaitan ekosistem hutan mangrove dengan penyakit malaria tentu akan menyangkut masalah kesehatan masyarakat yang bermukim di daerah pesisir khususnya tingkat ketahanan terhadap penyakit malaria. Kesehatan merupakan unsur yang paling penting dalam menunjang segala bentuk aktivitas dan menentukan besar kecilnya produktivitas yang dihasilkan. Kesehatan juga merupakan salah satu unsur utama dalam mencapai suatu kesejahteraan sosial. Kerangka pikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran.

Ekosistem Hutan Mangrove

Fungsi Ekologi: Habitat Nyamuk

Faktor Intrinsik: Jarak rumah terhadap hutan mangrove; Luas hutan mangrove;

Kerapatan asosiasi mangrove

Faktor Ekstrinsik: Jenis kelamin; Umur; Pendidikan; Mata pencaharian;

Jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan; Tempat sampah;

Program malaria

[Y]i = f ((Faktor Intrinsik; Faktor Ekstrinsik))


(22)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Hutan Mangrove

Berdasarkan Undang-Undang No. 41/1999 dan Undang-Undang No. 19/2004 yang mengatur tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh arus pasang surut air laut. Mangrove juga tumbuh pada pantai karang atau daratan terumbu karang yang berpasir tipis atau pada pantai berlumpur (Purnobasuki, 2005 dikutip oleh Ghufran, 2012). Menurut Steenis (2006), hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, sehingga dikatakan juga hutan pasang.

Ekosistem hutan mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe utama yaitu bentuk pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna dan bentuk pulau. Ketiga tipe tersebut semuanya terwakili di Indonesia. Menurut Khazali (2005), kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi vegetasi hutan mangrove adalah pantai yang mempunyai sifat-sifat: air tenang/ombak tidak besar, air payau, mengandung endapan lumpur dan lereng endapan tidak lebih dari 0,25%—0,50%.


(23)

7

Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia menurut Bengen (2002) dikutip olehFachrul (2007) adalah sebagai berikut:

1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan

Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan

organik.

2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp.

Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp.

3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.

4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi Nipah (Nypa fructicans) dan beberapa spesies palem lainnya.

Hutan mangrove memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai berikut:

1. Fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi (abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur, penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO

2 dan penghasil O2 serta

mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami.

2. Fungsi biologis; merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk

mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari

berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) serta pengontrol penyakit malaria.


(24)

8

3. Fungsi sosial ekonomi; sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan (kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan, bahan kerajinan, tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan, tempat pembuatan garam serta areal perkebunan.

Telah dikenal banyak jenis tumbuhan yang terdapat di hutan mangrove di dunia. Tercatat telah dikenal sebanyak 24 family dan antara 54 sampai dengan 75

spesies. Food and Agriculture Organization/ FAO (2007) dikutip oleh

Greenpeace Southeast Asia (2013) menyatakan bahwa, adanya 48 spesies

mangrove di Indonesia, membuat Indonesia menjadi pusat penting keanekaragaman hayati mangrove dunia. Dari sekian banyak jenis mangrove yang hidup di daerah pasang surut, yang tahan air garam dan berbuah terdapat sekitar 12 family (Bengen, 2002). Jenis mangrove yang banyak ditemukan di

Indonesia antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.),

tancang (Bruguiera sp.), dan pedada (Sonneratia sp.). Jenis-jenis mangrove

tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan, dan menstabilkan tanah habitatnya.

Secara ekologis hutan mangrove memegang peranan kunci dalam perputaran nutrisi pada perairan pantai di sekitarnya. Fungsi hutan mangrove yaitu sebagai stabilisator tepian sungai/pesisir, memberikan dinamika pertumbuhan di kawasan pesisir seperti pengendalian erosi pantai, menjaga stabilitas sedimen, dan turut berperan dalam menambah perluasan lahan daratan (land building) (Saputro,

2009). Manfaat lain dari fungsi ekologisnya adalah sebagai habitat nyamuk, sehingga kerusakan hutan mangrove dapat berakibat pada peningkatan populasi


(25)

9

nyamuk sebagai vektor penyakit malaria (Masela, 2012). Peran mangrove selain ditinjau dari fungsi ekologisnya juga memiliki fungsi ekonomi yang mendorong kegiatan eksploratif sehingga mangrove rawan dari kerusakan (Saputro, 2009).

2.2. Malaria

2.2.1. Penyebab

Penyakit malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (Plasmodium sp.) bentuk aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia yang

ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles sp.) betina (World Health

Organization, 1981 dikutip oleh Departemen Kesehatan RI, 2007). Penyakit

malaria adalah penyakit infeksi dan menular yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan Plasmodium sp., proses penularannya melalui

gigitan nyamuk Anopheles sp. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh parasit Plasmodium sp. yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah

merah manusia.

2.2.2. Siklus Hidup

Plasmodium sp. mempunyai siklus hidup yang lebih kompleks, karena selain

terjadi pergantian generasi seksual dan aseksual juga mengalami pergantian hospes. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk

Anopheles sp. betina, dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia. Siklus

hidup pada manusia terdiri dari fase exo-erithrocytic di dalam parenkim sel hepar


(26)

10

2.2.2.1. Fase seksual eksogen (sporogoni) dalam tubuh nyamuk

Nyamuk Anopheles sp. betina menginfeksi eritrosit yang mengandung

mikrogametosit dan makrogametosit dari penderita. Di dalam tubuh nyamuk terjadi perkawinan antara mikrogametosit dan makrogametosit menghasilkan zigot. Perkawinan ini terjadi di dalam lambung nyamuk. Zigot berkembang menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berkembang menjadi ookista, setelah ookista matang dan pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar saliva nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).

2.2.2.2. Fase aseksual (skizon) dalam tubuh hospes perantara/manusia

a. Siklus dalam sel hepar (skizon eksoeritrositik)

Melalui gigitan nyamuk Anopheles sp., sporozoit masuk aliran darah selama 0,5— 2,0 jam kemudian menuju hepar untuk berkembang biak. Sporozoit-sporozoit ini dengan cepat (beberapa menit) menginvasi sel hepar kemudian berkembang menjadi skizon eksoeritrositik. Masing-masing skizon eksoeritrositik mengandung merozoit sampai 30.000. Sel hepar yang telah terinfeksi skizon eksoeritrisitik mengalami ruptur dan melepaskan merozoit dewasa ke aliran darah (Good, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).

b. Siklus eritrosit (skizon eritrositik)

Merozoit-merozoit yang dilepaskan dari sel hepar menginvasi eritrosit, berkembang menjadi ringform, kemudian tropozoit, dan akhirnya akan menjadi


(27)

11

skizon. Eritrosit yang mengandung skizon mengalami ruptur dan melepaskan merozoit yang siap menginvasi eritrosit yang lain. Sebagian besar merozoit masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk dihisap nyamuk Anopheles sp. betina dan melanjutkan

siklus hidupnya di tubuh nyamuk. Siklus aseksual di eritrosit pada Plasmodium

falciparum terjadi selama 48 jam (Gardiner dkk, 2005 dikutip oleh Muti’ah, 2012).

Nyamuk Anopheles sp. menggigit manusia, sporozoit masuk aliran darah.

Sporozoit menginvasi hepatosit berkembang menjadi skizon eksoeritrositik. Skizon ruptur dan melepaskan banyak merozoit. Merozoit yang dilepaskan menginfeksi red blood cell (RBC), berkembang menjadi ringform, kemudian

tropozoit, dan akhirnya menjadi skizon. Skizon ruptur dan melepaskan merozoit. Merozoit ada yang menginfeksi RBC kembali dan ada yang berkembang menjadi gametosit (Good, 2007 dikutip oleh Muti’ah, 2012).


(28)

12

2.2.3. Manifestasi Penyakit Malaria

Ada beberapa bentuk manifestasi penyakit Malaria antara lain:

a. Malaria tertiana, disebabkan oleh Plasmodium vivax, penderita merasakan

demam muncul setiap hari ketiga.

b. Malaria quartana, disebabkan oleh Plasmodium malariae, penderita merasakan

demam setiap hari keempat.

c. Malaria serebral, disebabkan oleh Plasmodium falciparum, penderita

mengalami demam tidak teratur dengan disertai gejala terserangnya bagian otak, bahkan memasuki fase koma, dan kematian yang mendadak.

d. Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul

sangat mendadak, mirip stroke, dan koma disertai gejala malaria yang berat.

Gambaran klinis yang ditimbulkan oleh penyakit malaria pada dasarnya bagi penderita yang masih sensitif secara berurutan yaitu menggigil (15—60 menit), demam (2—6 jam) antara 37,5 0C—40,0 0C, berkeringat (2—4 jam). Gejala lain yang mungkin timbul adalah sakit kepala, mual atau muntah dan diare serta nyeri otot atau pegal-pegal pada orang dewasa. Penderita malaria dengan komplikasi berat mengalami gangguan kesadaran, kejang-kejang, panas tinggi, pucat/anemia, mata dan tubuh menguning serta pendarahan pada hidung, gusi, atau saluran pencernaan, jumlah kencing berkurang (oliguri), tidak dapat makan dan minum, warna urin coklat tua sampai kehitaman, serta nafas cepat (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Penyakit malaria endemis di beberapa wilayah di Indonesia, parasit malaria yang terbanyak ditemukan di Indonesia adalah Plasmodium vivax, Plasmodium


(29)

13

falcifarum atau campuran keduanya. Plasmodium ovale dan Plasmodium

malariae hanya pernah ditemukan di Sulawesi dan Irian Jaya. Plasmodium

falciparum merupakan yang paling berbahaya dan dapat mengancam nyawa

(Harjana, 2013). Terdapat empat tipe Plasmodiumsp. penyebab penyakit malaria,

yaitu Plasmodium falcifarum penyebab malaria tropika, Plasmodium vivax,

Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Sumber dan cara penularan

penyakit ini adalah manusia sebagai host intermediate dan nyamuk Anopheles sp.

betina yang infected sebagai host devinitive (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Penyakit malaria dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Malaria juga berdampak pada penurunan produktivitas kerja akibat anemia. Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan atau tempat-tempat terpencil. Menurut tempat berkembang biak, vektor malaria dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe yaitu berkembang biak di persawahan, perbukitan/hutan, dan pantai/aliran sungai (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

2.2.4. Perilaku Nyamuk Malaria

Setelah bertelur nyamuk malaria meletakkan telurnya di permukaan air atau benda-benda lain. Telur akan mengapung di permukaan air dan saling berdekatan pada ujung telur. Bentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf dan mempunyai sepasang pelampung yang terletak di samping lateral. Lama telur nyamuk malaria menetas dapat beberapa saat setelah terkena air, dan selama 2—3 hari akan berkembang menjadi larva (Safar, 2010).


(30)

14

Setiap larva menyukai tipe genangan air yang berbeda. Larva instar 1 dan II berkumpul pada tempat telur-telur diletakkan, sedangkan larva instar III dan IV bergerak beberapa meter dari tempat penetasan dan berkumpul di bagian-bagian yang disenangi seperti bagian yang teduh dan pada genangan air yang besar serta tenang (Susanto dkk, 2008). Larva nyamuk biasanya berkumpul di tempat-tempat yang terdapat sumber makanan, terlindung dari arus dan terlindungi dari hewan predator. Larva bernafas menggunakan sistem trachea dan corong udara yang

berhubungan langsung dengan udara bebas, sehingga tidak terlalu terganggu dengan perubahan kondisi air. Larva Anopheles sp. banyak di jumpai di

genangan air yang tidak terlalu kotor (Departemen Kesehatan RI, 2001).

Pupa dalam perkembangbiakannya tidak memerlukan makanan, tetapi hanya memerlukan udara. Pupa bernafas melalui tabung-tabung pada ujung kepala. Terdapat cangkang pupa untuk melengkapi perkembangannya menjadi nyamuk desawa. Pupa naik ke permukaan dan memposisikan sejajar dengan permukaan air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa. Pupa bergerak aktiv dan menetas 1—2 hari untuk menjadi nyamuk. Umumnya nyamuk jantan menetas lebih dahulu daripada nyamuk betina (Achmadi, 2012).

Pupa yang baru berkembang menjadi nyamuk dewasa akan beristirahat di permukaan air dalam waktu singkat supaya sayap-sayapnya kuat dan badannya kering. Nyamuk jantan muncul dari pupa sekitar satu hari sebelum nyamuk betina yang kemudian menetap di dekat perindukannya untuk mencari sari buah dari tumbuhan (Achmadi, 2012).


(31)

15

2.2.5. Tempat Perindukan Nyamuk Malaria

Habitat nyamuk malaria diklasifikasikan menjadi dua yaitu habitat air mengalir dan habitat air menggenang. Habitat air mengalir dapat berupa saluran air (parit atau selokan) yang mengalir lambat dan sungai yang mengalir deras maupun lambat. Habitat air menggenang dikelompokkan menjadi dua yaitu air tanah dan air bawah permukaan tanah (Safitri, 2009). Nyamuk malaria juga dapat meyebar ke tempat-tempat yang dijadikan sebagai aktivitas manusia misalnya perkebunan, hutan, pantai, dan persawahan (Anies, 2005).

2.2.6. Karakteristik Lingkungan Perindukan Nyamuk Malaria

2.2.6.1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor malaria adalah:

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimal berkisaran antara 20—30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya, makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik (Harijanto, 2000). Suhu yang mempengaruhi kehidupan nyamuk dibagi menjadi dua yaitu:

1. Suhu Udara

Nyamuk digolongkan kedalam hewan yang berdarah dingin sehingga metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan, sehingga


(32)

16

pengaturan suhu tubuh tergantung pada lingkungannya. Suhu dalam kaitannya dengan vektor malaria berperan terhadap vektor terbentuknya sporogini atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu dalam batas tertentu akan memperpendek waktu terbentuknya sporogoni karena sporogini tidak cukup umur untuk ditularkan pada host. Sebaliknya semakin rendah suhu dalam batas tertentu makin

panjang waktu terbentuknya sporogini. Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali pada suhu dibawah 10—40°C (Gunawan, 2000 dikutip oleh Santjaka, 2013). Siklus sporogoni memerlukan suhu yang sesuai pada suhu rata-rata harian 27°C siklus sporogoni memerlukan waktu 9 hari untuk Plasmodium vivax,

sedangkan untuk Plasmodium falciparum membutuhkan waktu 12 hari. Pada

suhu 32°C ookista dalam tubuh nyamuk akan mati, sehingga tidak akan terbentuk sporogoni (Depkes RI, 2007).

2. Suhu Air

Suhu air sangat berpengaruh pada perkembangbiakan larva, umumnya larva lebih menyukai tempat yang hangat, itu sebabnya nyamuk Anopheles sp. lebih banyak

di jumpai di daerah tropis. Waktu tetas telur Anopheles sp. tergantung suhu air

dalam batas tertentu akan lebih cepat menetas menjadi instar. Hasil percobaan menunjukan pada suhu 20°C telur menetas selama 3,5 hari, sedangkan jika suhu dinaikkan sampai suhu 35°C telur akan menetas dalam waktu 2 hari, percobaan ini dilakukan pada An. minimus (Takken dkk, 2008dikutip oleh Santjaka, 2013).

b. Kelembaban nisbi udara

Kelembaban nisbi udara adalah banyak kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persentase (%). Kelembaban yang rendah


(33)

17

memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktiv dan lebih sering menggigit sehingga meningkatkan penularan malaria (Harijanto, 2000).

c. Curah hujan

Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar

kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles sp. (Harijanto, 2000).

d. Sinar Matahari

Sinar matahari merupakan energi alam yang sangat dibutuhkan oleh semua mahkluk hidup. Pengaruh utamanya akan meningkatkan suhu dan mengurangi kelembaban, sehingga mempengaruhi kehidupan termasuk larva dan nyamuk. Pengaruh sinar matahari dapat berbeda-beda terhadap pertumbuhan larva nyamuk. Beberapa jenis Anopheles sp. mempunyai tempat yang terbuka dan

tempat yang teduh, An. punctulatus dan An. hyreanus lebih menyukai tempat

yang terbuka, sedangkan An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, dan

An barbirostis dapat hidup baik ditempat yang terbuka maupun yang teduh


(34)

18

e. Ketinggian lokasi

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain, termasuk siklus pertumbuhan parasit di dalam nyamuk. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas 2.000 m jarang ada transmisi malaria (Harijanto, 2000).

f. Kedalaman air

Kedalaman air erat hubungannya dengan volume air dan cara pemberantasan jentik nyamuk. Pada kedalaman air larva Anopheles sp. hanya mampu berenang

ke bawah permukaan air paling dalam 1 meter dan tingkat volume air akan dipengaruhi curah hujan tinggi sehingga akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembang biak secara optimal pada kedalaman kurang dari 3 m (Departemen Kesehatan RI, 2001).

g. Arus Air

Jenis-jenis nyamuk tertentu senang berkembang biak pada air yang mengalir perlahan-lahan misalnya An. karwa. An. minimus senang pada genangan air yang

agak kuat dan jentik Ae. aegypti dan Ae. albopictus suka pada genangan air yang

tidak mengalir (Depkes RI, 2001).

h. Angin

Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam merupakan saat terbang nyamuk ke dalam atau menuju rumah. Salah satu faktor yang ikut menentukan


(35)

19

jumlah kontak antara manusia dan nyamuk adalah jarak terbang nyamuk (High

range) tidak lebih dari 2 km dari tempat perindukannya. Jika ada tiupan angin

yang kencang, nyamuk bisa terbawa sejauh 20—30 km (Harmendo, 2008).

2.2.6.2. Lingkungan Kimia

Lingkungan kimia yang mendukung perkembangbiakan vektor malaria yaitu pH, salinitas, oksigen terlarut, dan kebutuhan oksigen biologi. pH mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan organisme yang berkembangbiak di akuatik. pH air tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadium organisme (Takken dan Knots, 2008).

a. Salinitas Air

Salinitas air sangat mempengaruhi ada tidaknya nyamuk malaria di suatu daerah (Prabowo, 2004). Salinitasi merupakan ukuran yang dinyatakan dengan jumlah garam-garam yang larut dalam suatu volume air. Banyaknya garam-garam yang larut dalam air menentukan tinggi rendahnya salinitas. Danau, genangan air, persawahan, kolam ataupun parit disuatu daerah yang merupakan tempat perindukan nyamuk sehingga meningkatkan kemungkinan timbulnya penularan malaria. Kategori perairan berdasarkan salinitas yaitu perairan tawar jika salinitas kurang dari 0,5%, perairan payau jika salinitas antara 0,5—30%, perairan laut jika salinitas antara 30—40%, dan perairan hipersaline jika nilai salinitas antara 40—80% (Effendi, 2003).


(36)

20

b. Derajat Keasaman (pH air)

pH air mempunyai peranan penting dalam pengaturan respirasi dan fotosintesis. Semakin bertambahnya kedalaman maka pH air cenderung menurun, hal ini diduga berhubungan dengan kandungan CO2. Air normal yang memenuhi syarat

untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5—7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH dibawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam. Air limbah dan industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH antara 7—8,5 (Effendi, 2003).

c. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air. Proses respirasi tumbuhan air dan hewan serta proses dekomposisi bahan organik dapat menyebabkan hilangnya oksigen dalam suatu perairan, selain itu peningkatan suhu akibat semakin meningkatnya intensitas cahaya juga mengakibatkan berkurangnya oksigen (Effendi, 2003).

Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar dari pada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi. Sedangkan pada malam hari tidak terjadi proses fotosintesis, tetapi respirasi terus


(37)

21

berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fruktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari. Kadar oksigen terlarut optimum untuk menompang kehidupan organisme akuatik berkisaran antara 5,0—9,0 mg/l (Effendi, 2003).

2.2.6.3. Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis merupakan suatu karakteristik lingkungan yang mempengaruhi tempat perindukan nyamuk untuk berkembang. Berbagai tumbuhan air yang mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk malaria, misalnya lumut dan ganggang (Achmadi, 2008). Selain tumbuhan air, tumbuhan yang ada di darat juga mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk malaria misalnya tumbuhan yang besar karena dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke tempat perindukan, sehingga menyebabkan pencahayaan akan rendah, suhu rendah, dan kelembaban akan tinggi. Kondisi seperti inilah yang sangat disenangi oleh nyamuk untuk beristirahat setelah menghisap darah hospes sambil menunggu proses pematangan telurnya (Santjaka, 2013). Lingkungan biologi yang mempengaruhi tempat perindukan nyamuk antara lain:

a. Tumbuhan Air

Adanya tumbuh-tumbuhan sangat mempengaruhi kehidupan nyamuk, antara lain sebagai tempat meletakan telur, tempat berlindung, tempat mencari makanan dan berlindung bagi larva serta tempat hinggap istirahat nyamuk dewasa selama menunggu siklus gonotropik. Selain itu adanya berbagai jenis tumbuhan pada


(38)

22

suatu tempat dapat dipakai sebagai indikator memperkirakan adanya jenis-jenis nyamuk tertentu (Departemen Kesehatan RI, 2001).

Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari serangan makhluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air merupakan indikator bagi jenis nyamuk tertentu, tumbuhan seperti bakau, lumut, ganggang, dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat menghalangi matahari yang masuk atau melindungi dari serangan mahkluk hidup lain (Harijanto, 2000).

Beberapa indikator tanaman yang digunakan untuk perkiraan keberadaan jentik karena tanaman air tidak sekedar menggambarkan sifat fisik tetapi juga bisa menggambarkan susunan kimia dan suhu genangan air. Contoh, jika badan air dan tanaman terapung misalnya Pistia sp. atau Eichornia sp. maka kemungkinan

besar pada genangan air bisa ditemukan keberadaan jentik Mansonia sp.

(Departemen Kesehatan RI, 2001).

b. Hewan air

Hewan yang berpotensi di perairan yang umumnya sebagai predator larva nyamuk seperti ikan kepala timah (Panchax spp.), gambusia, nila, dan mujair

akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah (Harijanto, 2000). Setiap spesies serangga sebagai bagian dari kompleks komunitas dapat diserang atau menyerang organisme lain. Jenis binatang yang menjadi musuh alami nyamuk sudah banyak diteliti, baik terhadap nyamuk dewasa maupun larva di air.


(39)

23

Musuh-musuh alami tersebut bersama faktor-faktor lainnya berperan penting dalam mengatur keseimbangan untuk mencegah terjadi ledakan populasi nyamuk (Hadidkk, 2009).

2.3.Variabel Independen

2.3.1. Kaitan Hutan Mangrove (Intrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria

Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keberadaan penyakit malaria di suatu daerah. Keberadaan danau, air payau, genangan air di hutan, persawahan, tambak ikan, pembukaan hutan dan pertambangan di suatu daerah akan meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit malaria karena tempat-tempat tersebut merupakan lokasi perkembangbiakan nyamuk vektor malaria. Tempat perindukan nyamuk penular penyakit malaria (Anopheles sp.) adalah di genangan-genangan

air, baik air tawar atau air payau bergantung dari jenis nyamuk. Anopheles

sundaicus dan Anopheles subpictus hidup di air payau, Anopheles aconitus hidup

di air sawah, Anopheles maculatus hidup di air bersih pegunungan. Pada daerah

pantai kebanyakan tempat perindukan nyamuk terjadi pada tambak yang tidak dikelola dengan baik. Penebangan hutan bakau secara liar merupakan habitat yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk Anopheles sundaicus dan banyak

aliran sungai yang tertutup pasir (laguna) yang merupakan tempat perindukan nyamuk Anopheles sundaicus tersebut(Harmendo, 2008).

Tempat perindukan nyamuk seperti air payau yaitu terdapat di muara-muara sungai dan rawa-rawa yang berhubungan langsung dengan laut cocok untuk tempat perindukan Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus. Stadium telur,


(40)

24

jentik dan kepompong nyamuk berada dalam air yang dinamakan breeding places.

Breeding places yang ditemui di daerah penelitian Harjianto (2000) adalah pantai,

tempayan, sungai, kubangan air, laguna, kolam, parit dan genangan air.

Hasil penelitian Harmendo (2008), menunjukkan bahwa di wilayah yang terdapat bermacam-macam vegetasi dapat digunakan sebagai tempat hinggap dan istirahat nyamuk malaria. Vegetasi di wilayah penelitian Harmendo (2008) adalah tumbuhan air, sawah, semak belukar, kebun campur, rumput, pekarangan, dan hutan. Departemen Kesehatan RI (2004) telah membuktikan bahwa dengan adanya tumbuh-tumbuhan akan mempengaruhi kehidupan nyamuk antara lain sebagai tempat meletakkan telur, tempat berlindung, tempat mencari makan dan berlindung bagi jentik, serta tempat hinggap nyamuk dewasa selama menunggu siklus gonotropik. Yudhiastuti (2008) berpendapat bahwa bagi nyamuk dewasa tumbuhan sangat penting untuk memperoleh mikroklimat yang cocok, serta bisa berlindung dari banyaknya ancaman musuh alaminya.

2.3.2. Faktor Lingkungan (Ekstrinsik) pada Imunitas terhadap Malaria

Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan hereditas (Arsin, 2012). Siklus perkembangan nyamuk sebagai vektor penyakit malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi geografis, cuaca, kelembaban, suhu, waktu, tempat untuk istirahat, tempat untuk mencari makanan, tempat untuk berkembang biak dan kondisi lingkungan yang termasuk juga sosial budaya masyarakat.


(41)

25

Faktor sosial budaya ini merupakan faktor eksternal untuk membentuk perilaku manusia. Lingkungan sosial budaya seperti jenis kelamin, umur, pendidikan dan jenis pekerjaan erat kaitannya dengan kejadian suatu penyakit termasuk malaria. Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin akan tetapi apabila menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang lebih berat. Secara umum, faktor usia tidak memengaruhi terjangkitnya penyakit malaria, artinya penyakit ini tidak mengenal tingkatan umur sehingga berapapun umur manusia memiliki peluang untuk terkena penyakit tersebut, hanya saja anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Perbedaan prevalensi malaria menurut umur dan jenis kelamin berkaitan dengan derajat kekebalan tubuh manusia karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Orang dewasa dengan berbagai aktivitasnya di luar rumah terutama di tempat-tempat perindukan nyamuk pada waktu gelap atau malam hari, sangat memungkinkan untuk berkontak langsung dengan nyamuk. Apabila seseorang dikaitkan dengan jenis pekerjaannya, ada profesi pekerjaan tertentu yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Pekerjaan yang menjadi faktor risiko untuk terkena malaria misalnya berkebun sampai menginap berminggu-minggu atau pekerjaan menyadap karet di hutan, sebagai nelayan yang harus menyiapkan perahu di pagi buta untuk mencari ikan di laut dan lain sebagainya (Harmendo, 2008).

Perilaku manusia merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai masalah terutama kesehatan. Para ahli kesehatan masyarakat sepakat bahwa untuk mengatasinya diperlukan suatu upaya dalam proses pendidikan kesehatan masyarakat. Melalui proses pendidikan diharapkan mampu merubah perilaku manusia menuju tercapainya hidup sehat. Proses perubahan perilaku masyarakat


(42)

26

perlu ditunjang oleh adanya perubahan sikap dan pengetahuan (Arsin, 2003). Tingkat pendidikan seseorang tidak dapat mempengaruhi secara langsung terhadap kejadian malaria, namun pendidikan seseorang dapat mempengaruhi jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan orang tersebut. Secara umum, seseorang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pekerjaan yang lebih layak dibanding seseorang yang berpendidikan rendah juga mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Memiliki pengetahuan yang baik serta didukung oleh pendidikan memadai akan berdampak terhadap perilaku seseorang dalam mengambil berbagai tindakan.

Faktor jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Meskipun pelayanan kesehatan di Puskesmas sudah gratis, tetapi untuk mengakses puskesmas tersebut masyarakat masih membutuhkan biaya untuk transportasi, oleh karena itu faktor jarak menjadi barrier sehingga akan memengaruhi tingkat kesehatan seseorang


(43)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di empat desa yaitu Desa Muara Gading Mas, Bandar Negeri, Sriminosari, dan Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Pemilihan desa ditentukan karena Desa Sriminosari dan Margasari memiliki hutan mangrove dengan kondisi baik, sedangkan Desa Muara Gading Mas serta Bandar Negeri memiliki hutan mangrove dengan kondisi buruk. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014.

3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berupa citra satelit

Landsat path 123 row 64 dengan perekaman peta luas kawasan hutan mangrove

pada tahun 2013 serta masyarakat sebagai responden. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perangkat keras dan perangkat lunak, alat tulis, serta alat untuk mengukur tinggi pohon (Christen Hypsometer), juga alat pengukur

diameter pohon (Pita Meter). Perangkat keras yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System), laptop dan kamera, sedangkan perangkat lunak yang

digunakan adalah ArcGIS 10, Minitab versi 16, Microsoft Office Word dan


(44)

28

3.3. Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua jenis variabel yaitu variabel respon atau dependen dan variabel penjelas atau independen. Variabel respon atau dependen berupa kinerja serangan malaria pada anggota keluarga dinyatakan dengan variabel skala biner, yaitu diberi nilai 0 jika ada anggota keluarga yang pernah terkena malaria dan diberi nilai 1 jika tidak ada anggota yang terkena penyakit malaria di tahun 2013.

Variabel lain yaitu variabel independen, pada prinsipnya dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu variabel intrinsik dan variabel ekstrinsik. Variabel intrinsik yaitu jarak antara rumah responden terhadap hutan mangrove, luas hutan mangrove yang terdapat di masing-masing desa, dan kerapatan asosiasi mangrove. Variabel jarak rumah terhadap hutan mangrove dinyatakan dengan meter (m). Variabel luas hutan mangrove dinyatakan dengan meter persegi (m2). Variabel kerapatan asosiasi mangrove dinyatakan dengan jumlah populasi mangrove per meter persegi (populasi/ha).

Variabel ekstrinsik tergolong dalam faktor sosial demografi meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, mata pencaharian utama, jarak rumah responden terhadap fasilitas kesehatan, ketersediaan tempat pembuangan sampah atau limbah pada masing-masing rumah tangga, dan adanya program malaria oleh dinas kesehatan yang telah diikuti oleh responden. Variabel umur dan variabel jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan dinyatakan dengan skala rasio. Variabel umur dinyatakan dalam tahun, sedangkan untuk variabel jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan dinyatakan dalam meter.


(45)

29

Variabel selebihnya dinyatakan dengan variabel dummy. Jenis kelamin penderita

penyakit malaria dinyatakan dengan variabel dummy, diberi nilai 1 jika laki-laki

dan nilai 0 jika lainnya. Variabel pendidikan (SD, SMP, dan SMA) dinyatakan dengan tiga peringkat variabel dummy yaitu D_SD, D_SMP dan D_SMA.

Variabel D_SD diberi nilai 1 jika lulus SD, diberi nilai 0 jika lainnya, variabel D_SMP diberi nilai 1 jika lulus SMP, diberi nilai 0 jika lainnya, dan untuk variabel D_SMA diberi nilai 1 jika penderita lulus SMA, diberi nilai 0 jika lainnya. Variabel jenis mata pencaharian diberi nilai 1 jika penderita berprofesi sebagai nelayan dan diberi nilai 0 jika lainnya. Variabel adanya tempat pembuangan sampah atau limbah diberi nilai 1 jika memiliki tempat pembuangan sampah atau limbah dan diberi nilai 0 jika lainnya. Variabel program malaria diberi nilai 1 jika responden pernah mengikuti program malaria dan diberi nilai 0 jika lainnya.

3.4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu:

1. Luas kawasan hutan mangove. 2. Kerapatan vegetasi hutan mangrove.

3. Hasil kuisioner berupa identitas responden dan angka kejadian penyakit malaria yang terjadi pada satu tahun terakhir.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Citra satelit Landsat path 123 row 64 lahan mangrove tahun 2013.

2. Kondisi secara umum lokasi penelitian dan sejarah hutan mangrove di lokasi tersebut.


(46)

30

3.5. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survai/observasi. Data primer diperoleh dengan cara pengukuran langsung dan pembagian kuisioner kepada masyarakat. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data citra satelit, data mengenai kesehatan masyarakat secara umum dapat diperoleh dari adanya layanan kesehatan seperti Puskesmas Desa, Puskesmas Kecamatan, instansi-instansi terkait, serta studi pustaka.

3.6. Metode Pengambilan Sampel

a. Ekosistem hutan mangrove

Pengukuran kerapatan asosiasi mangrove dilakukan menggunakan metode plot garis berpetak. Jumlah petak contoh sebanyak 5 pada tiap kawasan hutan mangrove di masing-masing desa dengan letak persebaran tertentu. Petak contoh berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk tingkat pohon (diameter > 10 cm), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (diameter 1,5—9,0 cm), dan 2 x 2 m untuk semai atau tumbuhan bawah (Onrizal, 2008).

b. Responden penelitian

Jumlah kepala keluarga dalam penelitian ini adalah 7.470 KK. Menurut Arikunto (2011) jika jumlah populasi lebih dari 100 maka perlu dilakukan penarikan sampel. Besarnya presisi dalam pengambilan sampel adalah 10%, karena pada tingkat presisi tersebut sudah mewakili jumlah KK seluruhnya. Rumus penentuan sampel menurut Arikunto (2011) adalah:


(47)

31

Keterangan:

n : Jumlah responden

N : Jumlah total kepala keluarga (KK) e : Presisi 10%

Jumlah sampel/responden yang diperoleh setelah dilakukan perhitungan yaitu:

Tabel 1. Jumlah sampel tiap desa

No. Desa Jumlah Populasi

(KK) Jumlah Sampel

1 Margasari 1.950 25

2 Sriminosari 1.628 22

3 Muara Gading Mas 2.815 37

4 Bandar Negeri 1.077 15

Total 7.470 99

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013) dan hasil perhitungan menggunakan rumus Arikunto (2011).

3.7. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan persamaan regresi logistik biner (binary logistic regression) karena dalam penelitian terdapat variabel berskala

rasio juga variabel dummy.

3.7.1. Model yang digunakan dan Hipotesis yang diajukan

Model yang digunakan pada penelitian ini adalah persamaan {1} regresi logistik biner yaitu:

[Y]i= α0+ α1 [D1_KLM]i+ α2 [UMR]i+ α3 [D2_SD]i + α4 [D2_SMP]i

+ α5 [D2_SMA]i + α6 [D3_PCHR]i + α7 [JRK-KES]i + α8 [JRK-M]i

+ α9 [D4_SMPH]i + α10 [D5_PMLR]i + α11 [LM]i+ α12 [KM]i + e {1}

Hipotesis

H0; α1= α2= α3= α4= α5 = α6= α7= α8= α9= α10= α11 = α12 = 0


(48)

32

Keterangan:

[Y] = Ketahanan terhadap penyakit malaria (individu) [D1_KLM] = Jenis Kelamin

[UMR] = Umur (th) [D2_SD] = Sekolah Dasar

[D2_SMP] = Sekolah Menengah Pertama

[D2_SMA] = Sekolah Menengah Atas

[D3_PCHR] = Mata Pencaharian

[JRK-KES] = Jarak rumah responden terhadap fasilitas kesehatan (m) [JRK-M] = Jarak rumah responden terhadap hutan mangrove (m) [D4_SMPH] = Tempat pembuangan sampah

[D5_PMLR] = Program penyakit malaria

[LM] = Luas hutan mangrove (m2)

[KM] = Kerapatan asosiasi mangrove (populasi/ha)

e = Error

α0, α1,..α12 = Parameter model

3.7.2. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel dan definisi operasional yang dipakai dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Variabel dan Definisi Operasional

No. Variabel Simbol Definisi Opersional Skala

Pengukuran

1 Y = Ketahanan penyakit malaria (individu)

Y Jumlah orang dalam suatu populasi yang menderita suatu penyakit malaria di tahun 2013.

Dummy 1 = sehat 0 = sakit 2 α1 = Jenis kelamin D1_KLM Perbedaan antara

perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Dummy 1 = pria 0 = lainnya

3 α2 = Umur (th) UMR Usia responden sejak lahir

sampai dengan menjadi responden dinyatakan dalam tahun.

Rasio

4 α3,4,5 = Tingkat pendidikan

(SD, SMP, SMA)

D2_SD;

D2_SMP;

D2_SMA

Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui

responden.

Dummy 1 = lulus SD,

lulusSMP, lulus SMA 0 = lainnya 5 α6 = Mata pencaharian

utama

D3_PCHR Pekerjaan utama

responden.

Dummy 1 = nelayan 0 = lainnya


(49)

33

Tabel 2. (Lanjutan)

No. Variabel Simbol Definisi Opersional Skala

Pengukuran

6 α7 = Jarak rumah terhadap

fasilitas kesehatan (m)

JRK-KES Jarak antara rumah responden terhadap fasilitas kesehatan di desa tersebut.

Rasio

7 α8 = Jarak rumah terhadap

hutan mangrove (m)

JRK-M Jarak antara rumah responden terhadap hutan mangrove di desa tersebut.

Rasio

8 α9 = Tempat sampah D4_SMPH Ketersediaan tempat

pembuangan sampah pada masing-masing RT.

Dummy 1 = ada 0 = lainnya 9 α10 = Program malaria D5_PMLR Pernah atau tidaknya

responden mengikuti program kesehatan tentang penyakit malaria yang dilaksanaka oleh pemerintah, dinas kesehatan, instansi, dan lain-lain.

Dummy 1 = ada 0 = lainnya

10 α11 = Luas hutan mangrove

(m2)

LM Luas kawasan hutan mangrove yang dihitung di masing-masing desa.

Rasio

11 α12 = Kerapatan asosiasi

mangrove (populasi/ ha)

KM Jumlah individu organisme (mangrove) per satuan ruang.

Rasio

3.7.3. Uji Hipotesis

Uji parameter persamaan regresi logistik biner menggunakan piranti lunak

Minitab versi 16. Signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen model tersebut digunakan uji G, sedangkan uji masing-masing parameter terhadap variabel dependen digunakan uji W pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%.


(50)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai

4.1.1. Letak Geografis

Kecamatan Labuhan Maringgai merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Timur dengan luas wilayah 142,62 km2. Secara geografis Kecamatan Labuhan Maringgai memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Labuhan Ratu dan Taman Nasional Way Kambas.

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pasir Sakti. 3. Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa.

4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mataram Baru, Kecamatan Bandar Sri Bawono, Kecamatan Melinting, dan Kecamatan Gunung Pelindung.

Wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai dibagi menjadi 11 desa yaitu Desa Karang Anyar, Sukorahayu, Margasari, Siminosari, Srigading, Labuhan Maringgai, Muara Gading Mas, Maringgai, Bandar Negeri, Karya Makmur, dan Karya Tani. Ibukota kecamatan berkedudukan di Desa Labuhan Maringgai. Pembagian luas wilayah masing-masing desa secara lengkap disajikan pada Tabel 3.


(51)

35

Tabel 3. Luas wilayah, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, dan jumlah dusun

No. Desa

Luas Wilayah (ha) Rumah Tangga Jumlah Penduduk Jumlah Dusun 1 Karang Anyar 1.182 2.014 7.836 11 2 Desa Sukorahayu 954 831 3.390 4 3 Margasari 1.702 1.950 7.534 12 4 Siminosari 1.250 1.678 6.143 6 5 Srigading 975 1.997 6.258 12 6 Labuhan Maringgai 3.340 2.634 10.465 13 7 Muara Gading Mas 654,5 2.815 8.951 14 8 Maringgai 1.102 763 3.118 6 9 Bandar Negeri 1.012 1.077 3.716 6 10 Karya Makmur 810 628 2.928 4 11 karya Tani 1.280 1.557 6.012 8

Jumlah 11.261,5 17.944 66.351 96

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

4.1.2. Data Kekayaan Alam

Kekayaan alam di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu padi (Oryza sativa), ubi

kayu/singkong (Manihot utilissima), kelapa (Cocos nucifera), lada (Piper nigrum),

ikan, batu, bata merah, dan pasir. SDA tersebut dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat sebagai tempat mata pencaharian. Sumberdaya alam lain yaitu berupa objek wisata pantai yang terdapat di Desa Muara Gading Mas dan Bandar Negeri.

4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat

4.2.1. Agama dan Etnis

Jumlah penganut agama Islam di Kecamatan ini adalah yang paling dominan diantara penganut agama lain yaitu sebanyak 64.992 orang. Penganut agama Protestan berada diurutan kedua yaitu sebanyak 550 orang, kemudian di urutan ketiga diikuti oleh penduduk beragama Hindu sebanyak 454 orang, lalu diurutan


(52)

36

keempat adalah penduduk beragama Katolik sebanyak 265 orang, dan diurutan terakhir penduduk beragama Budha sebanyak 90 orang. Data jumlah penduduk tiap desa secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah penduduk menurut agama yang dianut

No. Desa Islam

Kato-lik Protes-tan Bu-dha

Hin-du Total 1 Karang Anyar 7.599 17 102 0 118 6.012 2 Sukorahayu 3.321 0 28 12 29 2.928 3 Margasari 7.464 0 36 28 6 3.716 4 Siminosari 6.026 27 69 21 0 3.118 5 Srigading 6.111 17 18 6 106 8.951 6 Labuhan Maringgai 10.412 21 32 0 0 10.465 7 Muara Gading Mas 8.943 3 0 5 0 6.258 8 Maringgai 3.118 0 0 0 0 6.143 9 Bandar Negeri 3.656 11 49 0 0 7.534 10 Karya Makmur 2.744 33 102 18 31 3.390 11 karya Tani 5.598 136 114 0 164 7.836

Jumlah 64.992 265 550 90 454 66.351

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

Jumlah sarana tempat untuk beribadah di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu Masjid sebanyak 72, Langgar berjumlah 141, Gereja berjumlah 8, Pura berjumlah 5 dan Vihara berjumlah 2. Jumlah tempat ibadah tiap desa secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah sarana ibadah

No. Desa Masjid Langgar Gereja Pura Vihara

1 Karang Anyar 7 13 1 2 0

2 Desa Sukorahayu 3 4 0 1 1

3 Margasari 7 18 0 0 0

4 Siminosari 6 14 2 0 1

5 Srigading 10 12 0 1 0

6 Labuhan Maringgai 14 20 0 0 0 7 Muara Gading Mas 4 18 0 0 0


(53)

37

Tabel 5. (Lanjutan)

No. Desa Masjid Langgar Gereja Pura Vihara

9 Bandar Negeri 6 13 1 0 0

10 Karya Makmur 3 5 2 1 0

11 karya Tani 8 17 2 2 0

Jumlah 72 141 8 7 2

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

Komposisi jumlah penduduk di Kecamatan Labuhan Maringgai didominasi oleh penduduk bersuku Jawa sebanyak 35%, kemudian diikuti oleh penduduk bersuku Lampung sebanyak 25%, suku Bugis sebanyak 20%, suku Sumsel sebanyak 10%, suku Minang, Bali dan Batak masing-masing sebanyak 5%. Komposisi penduduk menurut suku dapat dilihat juga pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi penduduk menurut suku

No. Suku

Komposisi Penduduk (%)

1 Jawa 35

2 Lampung 25

3 Bugis 20

4 Sumsel 10

5 Minang 5

6 Bali 5

7 Batak 5

8 Banten 5

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

4.2.2. Sarana dan Prasarana

Sarana pendidikan di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Jumlah masing-masing sekolah adalah TK sebanyak 15 sekolah, SD sebanyak 26 sekolah, SMP sebanyak 8 sekolah, SMA dan SMK masing-masing sebanyak 2 sekolah. Jumlah sekolah tiap desa dapat dilihat pada Tabel 7.


(54)

38

Tabel 7. Jumlah sarana pendidikan

No. Desa TK SD SMP SMA SMK Total

1 Karang Anyar 2 2 0 0 0 4

2 Desa Sukorahayu 1 1 0 0 0 2

3 Margasari 2 4 1 0 0 7

4 Siminosari 2 3 0 1 1 7

5 Srigading 2 2 2 0 0 6

6 Labuhan Maringgai 1 5 2 1 0 9 7 Muara Gading Mas 1 5 1 0 1 8

8 Maringgai 0 1 0 0 0 1

9 Bandar Negeri 2 1 1 0 0 4 10 Karya Makmur 1 1 0 0 0 2

11 karya Tani 1 1 1 0 0 3

Jumlah 15 26 8 2 2 53

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

Ketersediaan layanan kesehatan di Kecamatan Labuhan Maringgai sudah cukup memadai. Kecamatan Labuhan Maringgai sudah memiliki 2 Puskesmas Kecamatan yang berpusat di Desa Labuhan Maringgai dan Karya Tani. Jumlah Puskesmas di masing-masing desa sebanyak 8 dan Poskesdes sebanyak 22. Jumlah tenaga kesehatan seperti dokter sejumlah 5 orang dan jumlah tenaga medis sejumlah 13 orang, serta jumlah bidan sejumah 31 orang. Jumlah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan tiap desa dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan

No. Desa

Puskes-mas Poskesdes Dokter

Tenaga

Medis Bidan

1 Karang Anyar 1 1 0 3 2

2 Desa Sukorahayu 1 1 0 0 1

3 Margasari 1 1 0 2 3

4 Siminosari 0 1 0 0 2

5 Srigading 1 1 1 2 5

6 Labuhan Maringgai 1 1 1 2 5 7 Muara Gading Mas 1 1 1 2 5


(55)

39

Tabel 8. (Lanjutan)

No. Desa

Puskes-mas Poskesdes Dokter

Tenaga

Medis Bidan

9 Bandar Negeri 0 1 0 1 2

10 Karya Makmur 0 1 1 0 2

11 Karya Tani 2 1 1 1 2

Jumlah 8 11 5 13 31

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur (2013).

4.3. Hutan Mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai

Transmigran yang datang ke daerah pesisir Labuhan Maringgai dimulai pada tahun 1960 dan pada tahun 1970 mereka membuka hutan mangrove menjadi lahan pertanian padi dan tambak tradisional. Konversi hutan mangrove tersebut awalnya dari pinggiran pantai kemudian dilanjutkan sampai ke arah daratan dan mengakibatkan air laut masuk ke arah daratan dengan cepat sehingga terjadi abrasi pantai (Pariwono, 1999 dikutip oleh Yuliasamaya dkk, 2014). Kerusakan lahan mangrove di kawasan pesisir di Kabupaten Lampung Timur membuat berbagai pihak (pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, masyarakat desa, Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi dan lain-lain) ikut campur dalam berbagai upaya penanggulangan.

Perubahan tutupan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai pada saat ini memang belum dapat melampaui luasan tutupan lahan mangrove di tahun-tahun sebelumnya. Data mengenai perubahan luasan tutupan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai pada tahun 1973—2013 dapat dilihat pada tabel berikut:


(56)

40

Tabel 9. Perubahan tutupan hutan mangrove di Labuhan Maringgai tahun 1973-2013

No. Tahun Luas tutupan hutan

mangrove (ha)

Besar perubahan (%)

1 1973 2.373,92 -

2 1983 1.826,48 -23,04

3 1994 626,67 -65,69

4 2004 719,35 +14,79

5 2013 1.166,21 +62,12

Sumber : Yuliasamaya dkk (2014).

Berdasarkan data di atas luas terbesar hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai adalah pada tahun 1973 yaitu mencapai 2.373,92 ha, namun pada tahun 1983 terjadi penurunan luasan menjadi 1.826,48 ha atau -23,04%, dan terjadi penurunan kembali pada tahun 1994 menjadi 626,67 ha atau -65,69%. Pada tahun 2004 luasan hutan mangrove meningkat menjadi 719,35 ha atau +14,79%, kemudian luasnya meningkat kembali pada tahun 2013 menjadi 1.166,21 ha atau +62,12%.


(57)

59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Penelitian ini telah membuktikan bahwa ada pengaruh ekosistem hutan mangrove, baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik pada imunitas terhadap penyakit malaria. Faktor-faktor yang meningkatkan daya tahan terhadap penyakit malaria: (a) jenis kelamin, laki-laki 37,42 kali perempuan, (b) umur, setiap bertambah tua 1 tahun berlipat menjadi 1,17 kali semula, (c) pendidikan, semakin tinggi maka berkurang menjadi 0,001 kali semula, (d) mata pencaharian, selain nelayan 0,001 kali nelayan, (e) jarak rumah terhadap fasilitas kesehatan, setiap berkurang 1 meter berlipat menjadi 0,09 kali semula, (f) jarak rumah terhadap mangrove, setiap bertambah 1 meter berlipat menjadi 1,001 kali semula, (g) tempat sampah, ada tempat sampah 239,71 daripada tidak ada, (h) program malaria, berlipat 3,71E+05 kali semula daripada tidak ada, (i) luas mangrove, setiap bertambah 1 m2 menjadi 1,001 kali semula, dan (j) kerapatan vegetasi mangrove, setiap bertambah 1 populasi/ha berlipat 1,18 kali semula.


(1)

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian yang serupa di tempat lain pada komunitas hutan mangrove dengan penambahan variabel seperti dominansi vegetasi mangrove. 2. Perlu dilakukan sosialisai mengenai penyakit malaria di setiap desa lokasi

penelitian.

3. Perlu dilakukan penanaman pada kawasan hutan mangrove yang memiliki kerapatan rendah supaya dapat memeperbaiki habitat nyamuk Anopheles sp.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Agung, I.G.A.A. 2010. Pengaruh perbaikan gizi kesehatan terhadap produktivitas

kerja. Skripsi. Fakultas MIPAUniversitas Hindu Indonesia. Denpasar.

Achmadi. U, F. 2012. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Buku. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Ahmadi, S. 2008. Faktor risiko kejadian malaria di Desa Lubuk Nipis Kecamatan

Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Tesis. Program Studi Magister

Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang.

Anies. 2005. Manajemen Berbasis Lingkungan (Solusi Mencegahdan

Menanggulangi Penyakit Menular). Buku. Elex Media Komputindo.

Jakarta.

Ariati, Y., Wigati, H. Andris, dan Sukowati. 2008. Bioekologi vektor nyamuk malaria Anopheles sundaicus di Kecamatan Nongsa, Kota Batam tahun

2008. Jakarta.

Arikunto, S. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Buku. Rineka Cipta. Jakarta.

Arsin, A. 2003. Analisis Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Malaria di

Pulau Kapoposang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Buku. Medika.

Makasar.

Arsin, A. 2012. Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Buku. Masagena Press. Makassar.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur. 2013. Profil Kecamatan

Labuhan Maringgai. Buku. Lampung Timur.

Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta

Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

IPB. Bogor.

Center for International Forestry Research. 2007. Hutan dan Kesehatan Manusia.


(3)

Departemen Kesehatan RI. 1999. Pedoman Epidemiologi Penyakit Malaria. Buku. Dirjen PPM dan PLP. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor.

Buku. Dirjen PPM dan PLP. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor.

Buku. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor,

Direktorat Jendran Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Buku. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian

Luar Biasa (Pedoman Epidemologi Penyakit). Buku. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI.2008. Surveilans Epidemologi Penyakit (pep); edisi 1.

Buku. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di

Indonesia. Buku. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan. Buku. Konisius.Yogyakarta.

Efransyah, L. Lazuardi, dan M. Hasanbasri. 2009. Akses pelayanan puskesmas setelah kebijakan pelayanan kesehatan gratis di Kota Lubuk Linggau. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Ernawati, K., S. Budhi, Duarsa, Artha, Rifqatussa’adah. 2011. Hubungan faktor risiko individu dan lingkungan rumah dengan malaria di Punduh Pedada

Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Indonesia 2010. Jurnal Makara,

Kesehatan. 15(2): 51—55p.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. Fatmah. 2006. Respon imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut.

Jurnal Makara. 10(1): 47—53p.

Ghufran, M.H.K.K. 2012. Ekosistem Mangove. Buku. Rineka Cipta. Jakarta.

Greenpeace Southeast Asia. 2013. Laut Indonesia dalam Krisis.

http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/533771/Laut%20Indonesi

a%20dalam%20Krisis.pdf. Diakses 10 Februari 2014.

Hadi, M., U. Tarwat, dan R. Rahadian. 2009. Biologi Insekta Entamologi. Buku. Graha Ilmu.Yogyakarta.


(4)

Harjana, D. 2013. Malaria. http://gejalapenyakitmu.blogspot.com/2013/06/

gejala-malaria-penyebab-pencegahan-pengobatan-penyakit.html. Diakses

9 Februari 2014.

Harmendo. 2008. Faktor risiko kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas

Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka. Tesis. Magister

Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang.

Harijanto, P.N. 2000. Malaria Epidemologis, Patogenesis, Manifestasi Klinis,

dan Penanganan. Buku. EGC. Jakarta.

Hurlock, E.B. 2002. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Buku. Erlangga. Surabaya.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Istibsyaroh, I. 2012. Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

perilaku kesehatan.Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Epidemologi Malaria di Indonesia. Buku. Jakarta.

Khazali, M. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.

Buku. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor.

Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Buku. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Kusumo, P. D. 2012. Kolonisasi mikrobiota normal dan pengaruhnya pada

perkembangan sistem imunitas neotanal. Jurnal Widya. 29 (320): 55—

63p.

Lembaga Penelitian Unila dan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II. 2011. Ekowisata Mangrove Pesisir Lampung Timur. Buku. Lembaga Penelitian Unila. Bandar Lampung.

Masela, D. F. 2012. Pengaruh struktur dan komposisi mangrove bagi kerapatan nyamuk di Desa Kopi dan Desa Minanga Kecamatan Bintauna. Jurnal

Cocos. 1(2): 1—8p.

Medicinus. 2013. Dysmenorrhea dan endometriosis. Jurnal Medicinus: Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical Application. 26(2):

1—67.

Minalenari. 2013. Malaria. http://neverstopkeepmoving.wordpress.com/


(5)

Muti’ah, R. 2012. Penyakit malaria dan mekanisme kerja obat-obat antimalaria.

Jurnal Alchemy. 2(2): 80—91p.

Onrizal. 2008. Teknik Survei dan Analisa Data Sumber Daya Mangrove. Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.

Prabowo, A. 2004. Hubungan pekerjaan yang menginap di hutan dengan kejadian malaria di Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kota

Waringin Timur, Kalimantan Tengah. Thesis. IKM Universitas

Indonesia. Jakarta.

Priyandina, A. N. 2011. Pengaruh lingkungan dan perilaku terhadap kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sanggau Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau. Jurnal. Mahasiswa Pspd FK Universitas

Tanjungpura. 1(1): 1—16p.

Rahmawaty. 2006. Upaya pelestarian mangrove berdasarkan pendekatan

masyarakat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Medan.

Rusmana, D. 2009. Aspek onkologi human papillomavirus. Jurnal Maranatha. 9

(1): 95—101p.

Safar, R. 2010.Parasitologi Kedokteran Edisi Khusus. Buku. YramaWidya. Bandung.

Safitri. 2009, Habitat perkembangbiakan dan beberapa aspek perilaku Anopheles sundaicus di Keceamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung

Selatan. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saikhu, A. 2011. Faktor risiko lingkungan dan perilaku yang mempengaruhi kejadian kesakitan malaria di Propinsi Sumatera Selatan (analisis lanjut data riset kesehatan dasar 2007). Jurnal Penelitian Penyakit Tular Vektor

Aspirator. 3(1): 1—10p.

Santjaka, A. 2013, Malaria Pendekatan Model Kausalitas. Buku. Nuha Medika. Yogyakarta.

Saputro, G.B. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Buku. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Jakarta.

Sari, R. M., L.P. Ambarita, dan H. Sitorus. 2013. Akses pelayanan kesehatan dan

kejadian malaria di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitiandan


(6)

Shinta, S. Sukowati, A. Pradana., Marjianto, dan P. Marjana. 2013. Beberapa aspek perilaku anopheles maculatus theobald di Pituruh, Kabupaten

Purworejo, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Kesehatan. 41(3): 131—141p.

Suryandari, D. 2013. Hubungan antara factor jarak pelayanan dengan pemanfaatan pos kesehatan desa di Desa Gawanan Kecamatan

Kolomadu. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Sutanto, I., I. Ismid, P. K. Syarifuddin, dan S. Sungkar. 2008. Parasitologi

Kedokteran. Edisi ke-4. Buku. Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.

Sushanti, N. 1999. Fauna Anopheles di Daerah Bekas Pantai Mangrove Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Buletin

Penelitian Kesehatan. 26(1): 1—14p.

Taken, W. dan B. G. J. Knots. 2008. Malaria Vector control: Current and Future

Strategiess. Buku. Laboratory of Entomology, Wegeningen University and

Research Centre. Netherland.

Undang-Undang RI No.41. 1999. Tentang Kehutanan. Jakarta.

Undang-Undang RI No.19. 2004. Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan

Menjadi Undang-Undang. Jakarta.

Steenis, C.G.G.J. 2006. Flora. Buku. Pradnya Paramita. Jakarta.

Yudhastuti, R. 2008. Gambaran faktor lingkungan daerah endemis malaria di Daerah Berbatasan (Kabupaten Tulungagung dengan Kabupaten

Trenggalek). Jurnal Kesehatan Lingkungan. 4(2): 9—20p.

Yuliasamaya, A. Darmawan, dan R. Hilmanto. 2014. Perubahan tutupan hutan mangrove di Pesisir Kabupaten Lampung Timur (Mangrove forest cover change along the coast of East Lampung Regency. Jurnal Sylva Lestari.