Saluran Distribusi usaha retail

Menurut ukuran toko, pengecer dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni pengecer kecil dan pengecer besar. Pembedaan ini dapat didasarkan pada banyak faktor, diantaranya volume penjualan, manajemen, kegiatan promosi, kondisi keuangan, pembagian tenaga kerja, fleksibilitas dalam operasi, merek pengecer, integrasi horisontal dan vertikal, dll. Dari beberapa klasifikasi tersebut di atas, peneliti membagi retail menjadi 2 dua kategori, yaitu retail modern dan retail tradisional. Pembagian kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Pembagian Retail Modern dan Tradisional Klasifikasi Retail Modern Retail Tradisional Lini Produk ™ Toko Khusus ™ Toko Serba Ada ™ Toko Swalayan ™ Toko Convenience ™ Toko Super, Kombinasi, dan Pasar Hyper ™ Toko Diskon ™ Pengecer Potongan Harga ™ Ruang Penjual Katalog ™ Mom Pop Store ™ Mini Market Kepemilikan ™ Corporate Chain Store ™ Independent Store Penggunaan Fasilitas ™ Alat-alat pembayaran modern komputer, credit card, autodebet ™ AC, Eskalator Lift ™ Alat Pembayaran tradisional manual calculator, cash ™ Tangga, tanpa AC Promosi ™ Ada ™ Tidak Ada Keuangan ™ Tercatat dan Dapat dipublikasikan ™ Belum tentu tercatat dan tidak dipublikasikan Tenaga Kerja ™ Banyak ™ Sedikit, biasanya keluarga Fleksibilitas Operasi ™ Tidak Fleksibel ™ Fleksibel

II.2 Saluran Distribusi usaha retail

Alternatif saluran yang digunakan sering dikaitkan dengan golongan barang yang ada. Dalam hal ini terdapat dua macam saluran, yang juga dipraktekkan di Indonesia, yaitu: 1 saluran distribusi untuk barang konsumsi, dan 2 saluran distribusi untuk barang industri. Pada prinsipnya, kedua macam saluran tersebut sama Swastha DH, 1979. a. Saluran Distribusi untuk Barang Konsumsi Seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1, terdapat 5 macam saluran dalam pemasaran barang-barang konsumsi. Pada masing-masing saluran, produsen mempunyai alternatif untuk menggunakan kantor dan cabang penjualan. Selain itu, juga terdapat kemungkinan pemakaian pedagang besar, agen penyimpanan atau pemborong dan pengecer. Menurut Adi Purnomo, Direktur ALFA, sistem distribusi barang dari pabrik sampai ke retail pada umumnya adalah lewat distributor dan grosir seperti digambarkan pada Gambar 2. Pada umumnya distributor yang ada merupakan afiliasi dari pabrik yang memasoknya; walaupun menurut peraturan pemerintah yang berlaku distributor harus sepenuhnya independen. Sedangkan grosir tidak sepenuhnya independen. Tiap pabrik dan distributor P-D melayani langsung lebih dari satu grosir dan retail G-R, tanpa lewat pusat distribusi seperti yang diterapkan di Amerika Serikat. Hal ini dapat dijelaskan dengan Gambar 3. 5 Agen Agen Pedagang Besar Pedagang Besar Pengecer Pengecer Pengecer Pengecer Konsumen Akhir Gambar 1: Saluran Distribusi untuk Produsen Barang Konsumsi Konsumen Akhir Konsumen Akhir Konsumen Akhir Konsumen Akhir Sumber: dikutip dari Gambar 19 di Swastha DH 1979. Grosir besar Grosir kecil Distributor Pabrik Retail Gambar 2 : Sistem Distribusi Barang yang umum di terapkan di Indonesia antara Pabrik dan Retail Gambar 3: Sistem Saluran Distribusi antara PabrikDistributor P-D P-D P-D P-D P-D G-R G-R G-R G-R G-R G-R P-D dengan GrosirRetail Tanpa Pusat Distribusi b. Saluran Distribusi untuk Barang Industri Dalam saluran distribusi untuk barang industri, tidak ada pengecer. Produsen bisa jual langsung ke industri pemakai atau lewat pedagang besar distributor industri, atau pertama lewat perwakilan produsen atau cabang 6 i Sistem Pemasaran Vertikal Sistem pemasaran vertikal atau disebut juga integrasi vertikal terjadi apabila pengecer menjalankan fungsi perdagangan besar atau menjalankan kegiatan pemasaran dari produsen. 1 Sistem ini yang merupakan salah satu dari perkembangan saluran pemasaran yang paling baru berbeda dengan saluran pemasaran konvensional. Sistem konvensional terdiri dari seorang produsen independen, pedagang besar, dan pengecer. Masing-masing merupakan entitas bisnis yang terpisah yang bertujuan untuk memaksimalkan labanya sendiri, walaupun dapat mengurangi keuntungan sistem itu secara keseluruhan. Tidak ada anggota saluran yang memiliki kontrol lengkap atau penting terhadap anggota lainnya. 2 Sistem pemasaran vertikal, sebaiknya, terdiri dari produsen, pedagang besar, dan pengecer yang bertindak sebagai satu kesatuan sistem. Satu anggota saluran memiliki yang lain atau memberi hak pada mereka atau memiliki begitu banyak kekuatan sehingga mereka dapat bekerja sama. Sistem pemasaran ini dapat didominasi oleh produsen, pedagang besar, atau pengecer. Salah satu contoh dari sistem pemasaran vertikal adalah organisasi toko berangkai. Beberapa pengecer besar seperti toko serba ada, supermarket, dan discount house membeli secara langsung pada produsen dan menjualnya kepada konsumen akhir. Para pengecer tersebut melakukan fungsi perdagangan besar melalui sebuah kantor pusat. Mereka mempunyai gudang sebagai tempat penyimpanan bersama yang cukup besar, sehingga dapat melayani kebutuhan barang-barang dalam jumlah besar kepada masing-masing toko. Contoh lainnya adalah PT Matahari Putera yang menggabungkan beberapa lini pengeceran dengan bentuk kepemilikan terpusat, yang juga menyatukan fungsi distribusi dan manajemen. Selain toko-toko serba adanya, PT Matahari Putera juga mengoperasikan Mega M, Super Ekonomi, Matahari Super Bazaar khusus jaringan pasar swalayan, dan Galeria. McCammon 1970 memberi ciri sistem ini sebagai jaringan yang diprogram terpusat dan dikelola secara profesional, direncanakan lebih dulu untuk mencapai penghematan biaya operasi dan pengaruh pasar maksimal. Sistem ini muncul untuk mengontrol perilaku saluran dan menghilangkan konflik antar sesama anggota saluran. 3 Ada tiga macam saluran pemasaran vertikal Johnson dan Lawrence, 1988. Pertama, sistem pemasaran vertikal korporat: mengkombinasikan serangkaian tahap produksi dan distribusi di bawah kepemilikan tunggal. Sistem ini dapat dicapai dengan integrasi ke belakang atau ke depan. Satu contoh di Indonesia, Indomaret sebagai pengecer yang merupakan tangan produsen. Jika seorang konsumen membeli minyak goreng Bimoli dari Indomaret, maka telah terjadi suatu proses keterkaitan bisnis mulai dari perkebunan kelapa sawit sampai ke konsumen akhir dalam satu kelompok perusahaan. Demikian juga dengan indomie, mulai dari gandum impor menjadi terigu industri hulu, pembuatan mie siap saji industri hilir sampai ke tangan konsumennya di Indomaret pengecerKotler dan Susanto, 2001. Kedua, sistem pemasaran vertikal administrasi: mengkoordinasi serangkaian tahap produksi dan distribusi tidak melalui kepemilikan biasa tetapi lewat besarnya dan kekuatan salah satu pihak. Produsen merek yang dominan mampu mengamankan kerja sama perdagangan yang kuat dan dukungan dari para penjualnya. Contoh, pemasaran yang dilakukan oleh Kodak, Gillette, Procter Gamble, dan Campbell Soup. Ketiga, sistem pemasaran vertikal kontrak: terdiri dari perusahaan independen di tingkat produksi dan distribusi yang berbeda yang menggabungkan program mereka berdasarkan suatu perjanjian untuk 1 Tidak semua perdagangan besar selalu dilakukan sepenuhnya oleh lembaga-lembaga yang disebut pedagang besar. Kadang-kadang perdagangan besar dikombinasikan dengan kegiatan pengolahan atau perdagangan eceran. Kombinasi semacam ini disebut perdagangan besar yang terintegrasi integrated wholesaling, karena menyangkut pemilikan lebih dari satu macam perantara saluran Swastha DH, 1979. 2 McCammon 1970 memberi ciri saluran konvensional sebagai jaringan yang sangat terpisah di mana produsen, pedagang besar, dan pengecer dengan hubungan yang renggang melakukan perundingan, bernegosiasi dengan agresif mengenai syarat penjualan, dan bahkan bertindak secara otonom. 3 Sistem pemasaran vertikal telah menjadi cara distribusi yang dominan di pasar konsumsi Amerika Serikat, melayani 70 sampai 80 dari total pasar Kotler dan Susanto, 2001. 7 Banyak pengecer independen, jika tidak bergabung dengan sistem pemasaran vertikal, mengembangkan toko khusus yang melayani segmen pasar yang tidak menarik bagi pedagang masal. Hasilnya adalah polarisasi di sektor eceran antara organisasi pemasaran vertikal besar di satu pihak, dan toko independen khusus di pihak lain. Sistem pemasaran vertikal jika sudah sangat kuat bisa mengancam produsen dengan memulai produksi mereka sendiri. Persaingan baru dalam sektor eceran tidak lagi antara unit bisnis independen tetapi antara keseluruhan sistem dari jaringan yang diprogram secara terpusat yang bersaing satu sama lain untuk mencapai biaya operasi paling rendah dan respons pelanggn yang terbaik Kotler dan Susanto, 2001. Di dalam sistem pemasaran vertikal bisa terjadi konflik bila ada pertentangan antara tingkat saluran yang berbeda dalam saluran yang sama. Sebagai contoh, Hero yang menyediakan produk house brand mencemaskan produsen, terutama produsen konsumen seperti Aqua, SMART Corp. produsen minyak goreng Filma, dan Unilever karena Hero mulai memproduksi air mineral, minyak goreng, sabun krim, dan deterjen. ii Sistem Pemasaran Horisontal Sistem pemasaran horisontal terjadi apabila pengecer biasanya pengecer besar menjual barang-barang dari berbagai produsen dengan merk yang berbeda-beda. Atau, oleh Kotler dan Susanto 2001 didefinisikan sebagai penggabungan sumber daya atau program oleh dua atau lebih perusahaan yang tidak berhubungan untuk memanfaatkan munculnya peluang pasar. Kerja sama ini bisa sifatnya sementara atau permanen. Adler 1966 dan Varadarajan dan Rajaratman 1986 menyebutnya pemasaran simbiotik. II.3 Persaingan Industri Retail Sejarah membuktikan, ekonomi pasar merupakan sistem terbaik untuk membangun dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem ekonomi pasar, aktivitas produsen dan konsumen tidak direncanakan oleh sebuah lembaga sentral, melainkan secara individual oleh para pelaku ekonomi. Dan persainganlah yang bertindak sebagai tangan-tangan tak terlihat yang mengkoordinasi rencana masing-masing. Sistem persaingan yang terbentuk dapat membuat produksi serta konsumsi dan alokasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan modal menjadi efisien.KPPU, 2001 Para ekonom melihat proses bekerjanya sistem persaingan dengan indikator yang dikenal dengan Structure – Conduct – Performance SCP. Dari sisi structure, indiator sistem persaingan adalah sebagai berikut: Martin, 1994 1. Number and Size Distribution of Sellers and Buyers Dalam pasar persaingan, terdapat banyak penjual dan pembeli yang masing-masing tidak dapat mempengaruhi harga. 2. Product Differentiation Produk yang standar tidak pernah ada di dunia nyata. Semakin berbeda barang tersebut, semakin kecil kemungkinan substitusi dengan barang lain. 3. Entry Conditions Entry Conditions menentukan potensi persaingan antara perusahaan yang telah ada dan perusahaan yang akan masuk ke dalam industri. Di sisi Conduct, indikator yang digunakan adalah ada tidaknya kerja sama collusion dan strategi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi, serta adanya advertising atau Research and Development RD. Yang terakhir, dari sisi Performance, ekonom melihat berjalannya sistem persaingan dari profitabilitasnya, dan efisiensinya. Pendekatan SCP ini dapat juga digunakan dalam mengamati persaingan dalam industri retail. Yang menjadi kendala dalam industri retail ini adalah adanya pengklasifikasian retail modern dan retail tradisional. Untuk 8 Tabel 2: Perbedaan Karakteristik antara Pasar Tradisional dengan Pasar Modern No Aspek Pasar Tradisional Pasar Modern 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Histori Fisik Pemilikan kelembagaan Modal Konsumen Metode pembayaran Status tanah Pembiayaan Pembangunan Pedagang yang masuk Peluang masukpartisipasi Jaringan Evolusi panjang Kurang baik, sebagian baik Milik masyarakatdesa, Pemda, sedikit swasta Modal lemahsubsidiswadaya masyarakat Inpres. Golongan menengah ke bawah Ciri dilayani, tawar menawar Tanah Negara, sedikit sekali swasta Kadang-kadang ada subsidi Umumnya pembanguna dilakukan oleh Pemda desa masyarakat Beragam, masal, dari sektor informal sampai pedagang menengah dan besar Bersifat masal pedagang kecil, menengah dan bahkan besar Pasar regional, pasar kota, pasar kawasan Fenomena baru Baik dan mewah Umumnya peroranganswasta Modal kuatdigerakkan oleh swasta Umumnya golongan menengah ke atas Ada ciri swalayan, pasti Tanah swastaperorangan Tidak ada subsidi Pembangunan fisik umumnya oleh swasta Pemilik modal juga pedagangnya tunggal atau beberapa pedagang formal skala menengah dan besar. Terbatas, umumnya pedagang tunggal, dan menengah ke atas Sistem rantai korporasi nasional atau bahkan terkait dengan modal luar negeri manajemen tersentralisasi. Sumber: CESS 1998. Meskipun terdapat beberapa perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya persaingan di antara keduanya. Persaingan ini terjadi ketika masyarakat memilih satu diantara keduanya sebagai tempat mereka berbelanja. Penentuan pilihan itu dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti peningkatan pendapatan rata- rata masyarakat per kapita, terutama fisik, modal dan kelompok konsumen. Semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita semakin besar kelompok konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke pasar modern yang fisiknya jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan dan arena parkir yang luas; dan untuk pengadaan fisik seperti memerlukan modal yang besar. Maka, secara hipotesa, pertumbuhan retail moderen berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan rata- rata masyarakat. Dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan masayarakat, semakin pesat pertumbuhan retail modern. Sebaliknya, pertumbuhan retail tradisional berkorelasi negatif dengan pendapatan atau berkorelasi positif dengan kemiskinan. Yaitu, semakin besar populasi di bawah garis kemiskinan semakin banyak pasar- pasar tradisional. Data deret waktu selama 20 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat DKI rata-rata per kapita meningkat tajam, namun ketimpangan juga semakin besar. Dalam kata lain, retail moderen akan terus tumbuh sedangkan retail tradisional untuk jangka waktu ke depan akan tetap bertahan karena ada konsumennya, yakni penduduk DKI berpendapatan rendah. Salah satu indikator dari peningkatan ini adalah pesatnya pertumbuhan penjualan mobil pribadi dan pembangunan perumahan mewah. Hubungan erat antara pertumbuhann retail moderen di satu sisi, dan peningkatan pendapatan dan perubahan pola konsumsi masyarakat di sisi lain juga ditegaskan oleh Abdullah 2003 dalam tulisannya mengenai persaingan ketat di bisnis retail. Ia mengatakan bahwa persaingan antara retail moderen dan retail tradisional di Indonesia yang belakangan ini sangat pesat tidak lepas dari kenyataan bahwa minat konsumen berbelanja ke retail moderen, terutama yang besar seperti hypermarket semakin tinggi, khususnya di Jakarta. Hal ini sesuai dengan perubahan pola belanja masyarakat modern, yakni pergi berbelanja bersama keluarga ke gerai one stop shopping yang lengkap dan serba ada. Pola belanja masyarakat moderen yang menginginkan 9 Dampak negatif dari pertumbuhan retail moderen yang semakin pesat belakangan ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta sudah mulai dirasakan oleh banyak pedagang tradisional. Hasil diskusi antara pengamat retail di Indonesia Koestarjono Prodjolalito dengan sejumlah pedagang alat-alat listrik tradisional menunjukkan bahwa banyaknya macammerek barang yang ditawarkan oleh hypermarket, termasuk alat-alat listrik telah mengancam usaha mereka. Ia berpendapat bahwa kelangsungan usaha pasar tradisional yang ada sekarang tidak mencerminkan daya saing yang sesungguhnya di tengah pesatnya pembangunan pusat perdagangan atau pasar retail moderen BI, 2003a. Salah satu bentuk persaingan antara retail moderen dan retail tradisional yang sering mendapatkan perhatian banyak orang adalah persaingan dalam harga. Permasalahan utamanya adalah bahwa retail modern terutama skala besar sering menjual produknya dengan harga jauh lebih rendah daripada harga jual dari produk yang sama di pasar tradisional. Pada tahun 1999, Asosiasi Perngusaha Retail Indonesia Apindo, menuduh retail besar seperti hypermarket dan perkulakan besar semacam Makro, Goro dan Alfa yang menjual produk grosir dan juga eceran melakukan praktek dumping. Kotler dan Susanto, 2001 Menurut Direktur Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia Gapmmi Thomas Gunawan, tidak ada produsen yang menjual barangnya dibawah harga normal. Produsen biasanya menetapkan harga eceran tertinggi HET suatu barang bagi pengecer yang besarnya untuk produk makanan sekitar 4-7 dari harga pokok. Pemberlakuan HET tersebut untuk melindungi produk itu sendiri agar tetap diminati konsumen dengan harga yang terjangkau. Apabila melanggar HET tersebut maka pasokannya akan dihentikan kendati telah mendapat beberapa kali teguran. Sedangkan untuk harga terendah, pemasok tidak menentukan besarnya dan tergantung kepada masing-masing pengecer. Hal ini karena pengecer diizinkan melakukan potongan harga dengan alasan produk itu lambat penjualannya, daya tahan atau kadaluarsa yang mau habis atau produk tersebut bungkusnya rusak namun tetap bisa dikonsumsi, seperti kaleng yang penyok. Apabila ada eceran yang melakukan potongan harga besar- besaran karena mau tutup, biasanya produsen membeli kembali produk itu agar tidak merusak harga. Harga pemasok antara satu retail dengan lainnya biasa berbeda, tergantung dari besarnya volume pengambilan dan cepatnya pembayaran. Pada prinsipnya produsen tidak dirugikan dengan adanya penjualan di bawah harga pemasok. Kotler dan Susanto, 2001. Sementara, menurut Fauzy Corporate Secretary PT Tigaraksa Satria, distributor umumnya memberikan diskon kepada minimarket, supermarket dan hypermarket serta grosir sekitar 3 lebih murah dibandingkan dengan diskon yang diberikan kepada toko biasa. Distributor bisa memberikan diskon lebih besar jika pihak principal itu sedang melakukan promosi dagang untuk produk baru atau memberikan insentif berupa diskon kepada retail yang melakukan pembayaran lebih cepat yang besarnya sama dengan bunga bank, atau sedikit lebih tinggi. Selain itu, principal sering kali hanya mengambil marjin sangat tipis, yaitu untuk suatu produk yang laris terjual dengan pertimbangan bahwa modal kerja mereka lebih murah. Jadi, hypermarket tidak melakukan dumping dengan menjual produknya lebih murah dari peretail lainnya. Sebab retail raksasa itu selain hanya mengambil marjin yang sangat tipis juga memberikan semua fasilitas yang diperoleh dari distributor, baik berupa promosi dagang maupun insentif diskon kepada konsumennya. Larinya banyak pembeli ke retail moderen bukan suatu fenomena yang mengejutkan, melihat kenyataan bahwa di Indonesia kondisi dari pasar tradisional sangat buruk karena jarang direnovasi dan disempurnakan secara berkala mengikuti zaman. Kebanyakan, pasar tradisional baru direnovasi jika terjadi kebakaran. Sehingga, banyak sekali pasar tradisional di Indonesia yang kualitasnya makin buruk. Ini merupakan penyebab utama banyaknya konsumen yang meninggalkan pasar tradisional pindah ke pasar retail moderen. Lain halnya dengan pasar swalayan moderen. Mereka punya aturan ketat. Biasanya, setiap 5-7 tahun sekali, pasar swalayan moderen direnovasi untuk mengikuti perubahan zaman. Kurnia 2000. Hasil survei yang dilakukan oleh CESS 1998 seperti yang dapat dilihat di Tabel 3 bahwa tempat lebih nyaman ternyata memang merupakan alasan utama dari semua konsumen yang masuk di dalam sampel penelitiannya. Sedangkan sebagai alasan kedua dan ketiga adalah masing-masing adanya kepastian harga dan merasa bebas untuk memilih dan melihat-lihat. Selanjutnya di Tabel 4, dapat dilhat bahwa tidak semua jenis 10 Tabel 3: Alasan Konsumen Berbelanja di Pasar Moderen Alasan Utama Distribusi Tempat lebih nyaman Adanya kepastian harga Merasa bebas untuk memilih dan melihat-lihat Kualitas barang lebih terjamin Kualitas barang lebih baik Jenis barang lebih lengkap Model barang sangat beragam 100,0 95,0 92,5 82,5 80,0 77,5 75,0 Sumber: CESS 1998 Tabel 4 : Kecenderungan Konsumen untuk Berbelanja Menurut Jenis Komoditi Jenis komoditi Pasar Pakaian jadi Keperluan rumah tangga Makanan dan minuman Kosmetik Bahan pokok Sayur-sayuran Buah-buahan Elektronik Moderen Moderen Moderen Moderen Tradisional Tradisional Tradisional Pertokoan 67,5 50,0 47,5 62,5 42,5 92,5 70,0 60,0 Sumber: CESS 1998. Peter Gale, direktur eksekutif retail services practice Asia Pacific AC Nielsen Bangkok 2003 melihat adanya kecenderungan pergeseran pengeluaran uang para pembeli dari pasar tradisional ke pasar moderen. Terutama konsumen di Jakarta, Bandung dan Surabaya yang membelanjakan sebagian besar dari uangnya ke pasar swalayan, mengalami suatu peningkatan yang cukup besar dalam setahun yakni dari sekitar 35 pada tahun 2001 menjadi 48 pada tahun 2002. Sebaliknya, persentase dari total konsumen ke pasar tradisional mengalami suatu penurunan dari 65 ke 52 dalam jangka waktu yang sama. Khususnya di Jakarta minat konsumen berbelanja ke pasar swalayan meningkat cukup signifikan dari sekitar 31 pada tahun 2001 menjadi 48 pada tahun 2002, sedangkan yang ke pasar tradisional menurun dari 69 ke 52 selama periode yang sama. Perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat. Pengamat retail Koestarjono Prodjolalito mengatakan kepada Bisnis Indonesia bahwa kalau daya beli masyarakat meningkat maka otomatis pengeluaran juga meningkat, dan lambat laun pasar tradisional akan ditinggalkan; kenaikan pendapatan atau daya beli masyarakat merupakan faktor terpenting yang membuat konsumen beralih ke pasar moderen BI, 2003a. Whardono 2001, berpendapat bahwa pergeseran selera konsumen seperti di atas juga akan terjadi di masyarakat daerah sejalan dengan otonomi daerah. Selera konsumen di daerah yang biasanya hanya puas dengan harga dan kualitas pasar tradisional akan berubah ke pasar modern yang semata-mata untuk kelihatan trendi dan sedikit beraksi hanya sekedar gengsi berkesan “elite”. Pergeseran selera konsumen di daerah juga didorong oleh perpindahan penduduk ataupun pemekaran kota-kota maupun daerah pemerintahan yang berarti juga pemerintah daerah harus menyediakan sarana belanja umum bagi masyarakatnya. Shoping center, hypermarket, dan supermarket tentunya menjadi alternative untuk memuaskan bergesernya selera belanja dari masyarakat daerah. Whardono 2001 juga menambahkan bahwa pergeseran selera konsumen daerah dari pasar tradisional ke pasar modern juga disebabkan oleh demonstrative effect yang besar yang didorong oleh media 11 tradisional bertindak sesuai dengan filosofi “small is beautiful”. Tentu, hal ini disebabkan oleh modal mereka yang pas-pasan, sehingga mereka hanya berdagang sesuai dengan kemampuan mereka, yakni dalam skala kecil. Banyak di antara mereka yang membeli barang dagangannya secara harian. Tetapi, dengan begitu, produk mereka jadi lebih segar, dan kualitasnya bisa menyamai pasar swalayan moderen. Karena skala yang kecil, pedagang tradisional juga dinamis, dan mobilitas mereka sangat tinggi. Mereka selalu mengincar lokasi yang ramai seperti di terminal bus, di taman, atau di pinggir jalan protocol, atau bahkan di depan pertokoan moderen. III. METODOLOGI PENELITIAN III.1. Jenis penelitian