kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa
nasional, bahasa Indonesia selanjutnya disingkat BI berfungsi sebagai:
1 Lambang kebanggaan nasional. 2 Lambangidentitasnasional,
3 Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial
budayabahasa. 4 Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah Pusat Pembinaan
dan pengembanganBahasa,1975:5. Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas
nasional, teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah selanjutnya disingkat BD sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD
1945 yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI dan BD. Oleh karena itu,
pemerintah tidak ragu-ragu mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang memberikan peluang bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah
masing-masing.
D. Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya
Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para pemuda Indonesia: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” saat itulah identitas etnis –diwakili Jong Java, Jong Soematra Pemoeda Soematra,
Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –
diwakili Jong Islamieten—melekat dalam semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnis— diangkat
12
menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasa, mulai dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air
wilayah, nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik bahasa. Tentu saja klaim kesadaran keindonesiaan para
pemuda waktu itu dalam konteks kebangsaan yang bersifat politis, dan tidak dalam hubungan kultural. Meski begitu, dalam lampiran hasil keputusan kongres pemuda
itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan semangat “kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.” Di
mana kultur etnik ditempatkan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, mengapa kebudayaan etnik tidak
eksplisit dijadikan sebagai landasan semangat persatuan keindonesiaan? Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,”
mestinya punya makna penting sebagai alat perekat. Pasalnya, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di
wilayah Nusantara ini. Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dekat
keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya adalah untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan,
sejak itulah sesungguhnya terbuka lebar peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.
Meskipun demikian, dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan begitu saja. Sutan Takdir
Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak menyinggung
kebudayaan etnik, lantaran ia terperangkap oleh pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional kebudayaan Indonesia lama dan modern kebudayaan
Indonesia baru. Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam
13
berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk
perumahan yang baru.” Selanjutnya, dikatakan pula, “… dalam zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin
terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian
daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…” Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang lain yang kemudian menjadi
Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak,
memberi penekanan pada pengaruh asing Barat yang bagi Alisjahbana, mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia
sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, menurut Alisjahbana, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit
dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan, bahwa “Dalam
pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak melihat –bahkan
tidak menyinggung— signifikansi kebudayaan daerah etnik sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan etnik pun,
bagi Alisjahbana, sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana menafikan keberadaan kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan dengan tuntutan
semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya semata-mata atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.
Atau, sangat mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Justru di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa kebudayaan
Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti perjalanan waktu, dan seolah-olah kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa
keterlibatan –atau tanpa perlu melibatkan— ihwal kultur etnik. Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah: apa yang dimaksud dengan
kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap
14
pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan,
bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru
dijadikan sebagai sumber inspirasi. Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh para penyusun
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan
kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh
Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.” Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep kebudayaan
nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan puncak-puncak kebudayaan daerah dalam pengertian yang lebih terang, justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada
keterangan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa,
menafikan sebagian keberadaan kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Atau, mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan
nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional
masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya yang
justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau
hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya
15
kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari hubungannya antara kebudayaan nasional bangsa dan kebudayaan daerah etnik.
Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim etnik kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat yang melandasi para seniman dan
budayawan yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam pernyataan sikap berkebudayaannya yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan
Gelanggang”, mereka cenderung menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tak ada usaha untuk
mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan kutipan beberapa
penggalan Surat Kepercayaan Gelanggang berikut ini. Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini
kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatanuntukkebudayaanIndonesia.Kalau kami berbicara tentang kebudayaan
Indonesia,kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan
dari segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.
Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang belakangan dicap sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dan
“Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia” menegaskan orientasi mereka pada
kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain merupakan kebudayaan Barat.
Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama,”
mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan etnik yang sebenarnya sejak mereka lahir sudah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian:
mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja –bahkan ditiadakan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Dengan
demikian, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan dan memahami identitas
16
kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah menolak kebudayaan masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan
penjelasannya tentang itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan masa lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan tetap
terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi. Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak menegaskan kembali, betapa
rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik
tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang,
melainkan pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis. Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar disajikan dalam
bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian tertentu, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa
penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi
kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik
tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya. Dalam hal itu, barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah
praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain,
diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap
apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, sedikitnya dapat membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa kultur
etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini sesungguhnya merupakan bagian dari diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai warga Indonesia.
Di dalam kerangka itulah, kesusastraan sebagai “potret” budaya sebuah komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural
pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mencapai tujuan itu. Bukankah kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem
17
sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan, sistem nilai atau
segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia justru merepresentasikan semangat atau kegelisahan yang berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan,
membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang. Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada awalnya adalah kesusastraan
‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur
etnik, ia tak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang
melahirkan dan membesarkannya. Sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sastrawan mengusung
sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu diejawantahkan dalam bahasa
Indonesia, masalah etnik yang melingkarinya tadi, tiba-tiba seperti dianggap selesai, atau diperlakukan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kultur etnik. Problem
budaya sukubangsa, latar belakang etnik, mendadak lenyap begitu saja ketika ia menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di
dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan “menjunjung bahasa persatuan”. Di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah
kenyataan. Tentu saja tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama: bahasa Indonesia.
Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan berbicara tentang “Tanah Air” 1922 dan “Indonesia Tumpah Darahku” 1928, semangat pantun
diperlakukan sekadar sebagai bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya. Demikian juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin paksa
seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri kultur orang Minang? Periksalah, dalam hampir
semua novel terbitan Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak pernah lepas dari semangat pengelanaan merantau. “Konsep merantau menurut
alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala sesuatu yang tidak mereka
18
dapati di alam tradisional. Perantauan adalah sumber dari sesuatu yang baru .…” Bukankah itu merupakan representasi kultur Minangkabau?
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional : kultur etnik –sebagai masa lalu—yang harus mati semati-matinya, dalam
kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang mengangkat
kebudayaan tradisional kultur etnik atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana menganjurkan agar bangsa Indonesia
berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang berbicara tentang berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebudayaan tradisional :
kebudayaan daerah. Oleh karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru mengingat tidak sedikit di
antaranya –termasuk Armijn Pane dan Amir Hamzah— yang tidak mau meninggalkan kebudayaan etnik yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.
Masalah yang sama, juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang yang memproklamasikan sikap berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan
Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat. Tetapi Chairil
Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia justru menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum
Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.”
Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih ada Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Rivai
Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Maka, kita dapat melihat, pernyataan “melap-lap kebudayaan lama” justru telah
diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai penggalian pada sumber tradisi : etnik. Asrul Sani ternyata masih mencintai Sang Mamak “Surat dari Ibu”
dan melakukan pengelanaannya dalam semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor
Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan berhadapan dengan kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian
19
masyarakat Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian, pernyataan “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan
dalam kaitannya atau dalam berhadapan dengan kultur etnik.
Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan etnik, tidak lagi terpusat pada Minangkabau : Sumatra, tetapi menyebar ke dalam diri sastrawan
yang berlatar etnis lain, seperti Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan itu terus berkembang ketika ada usaha untuk melakukan semacam revitalisasi tradisi
dalam kemasan modern. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an, dan terus berlanjut sampai sekarang. Timbul
pertanyaannya: mengapa masalah kultur etnik jarang disinggung para pengamat sastra yang membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?
Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, terjebak oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai Pustaka. Cara
pandang kolonial itu pula yang menempatkan sastra sebagai produk elitis, dan menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan : bacaan liar.
Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih, pendekatan struktural ini mendominasi pengajaran sastra di berbagai peringkat
pendidikan. Akibatnya, karya sastra yang sesungguhnya menyimpan kekayaan kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan
kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya. Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan,
dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain;
juga merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi masalah serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. Bahkan, jika
ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah gerakan, ia malah menjadi ancaman bagi keutuhan integrasi bangsa, seperti
diperlihatkan Aceh dan Papua. pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika
mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
20
Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan
sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-
daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu
bentuk apresiasi terhadapnya. Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan
atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama.
Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan
hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel.
Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka. Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju
pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan
agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara
merdeka ethnonationalism dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk
dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan
beberapa faktor berikut, tak berlebihan jika gagasan ini dicobakan.
Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini, sastrawan Indonesia
sebenarnya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya. Suara Alisjahbana yang menekankan orientasi ke Barat, tak sepenuhnya diikuti sastrawan lain masa itu.
Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku sebagai ahli waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan
para perumus pernyataan itu.
21
Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah
Nusantara merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan
sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya. Dari Minangkabau, dapat disebut nama-nama Chairul Harun, Warisan 1979, Darman
Munir, Bako 1983 dan Dendang 1990, Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti 2000, dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan Grasindo, 2000. Dari kultur Jawa,
dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting 1986, Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk 1982, Umar Kayam, Para Priyayi 1992,
Kuntowijoyo, Pasar 1994, dan Danarto dalam antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril 2001. Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan
Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba 2000, Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang 1999 dan Gelombang Sunyi 2001. Dari kultur Madura dapat kita
cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku Angin 1996; II, 2000, dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara 1978
karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua Asmat, Namaku Teweraut 2001, Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam 1971:
II, 2003 karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi 2000 karya Oka Rusmini. Tentu masih banyak nama dan karya lain yang belum disebutkan yang memperlihatkan
kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Karya-karya itu sangat pantas menjadi bahan awal untuk memperkenalkan berbagai kultur etnik yang
tersebar di Nusantara ini.
Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang,
Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini,
karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang
budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif
kultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas.
22
Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi
sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia
melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam
diri sastrawan Indonesia.
E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi