Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi
sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia
melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam
diri sastrawan Indonesia.
E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi
Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan
membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.
Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim 1990 menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat
bidang kekuatan itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang
dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah mencakup sebagian
wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di Selat Malaka,
dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya. Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga
dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang hanya memeprtaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.
Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang dalam waktu- waktu yang akan datang akan terjelma dalam perilaku sosial, baik perilaku sosial
bermasalah maupun perilaku sosial yang positif . Kenyataan menunjukkan di mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing,
persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki persaingan global. Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan
penghidupan manusia sejagat. Pengaruh itu, anara lain akan terlihat dalam bidang
23
pendidikan dan kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan adalah masalah identitas bangsa.
Kalau kita berbicara identitas bangsa, mau tidak mau kita akan berbicara tentang kebudayaan, dan kalau kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau
kita akan mempersoalkan bahasa. Itu sebabnya Makagiansar 1990 menekankan perlunya kesadaran tentang identitas budaya, bahkan Emil Salim 1990
menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas yang harus diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material
dan spiritual. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing disingkat BA
daripada penggunaan BI, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan
pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.
Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler
sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama agrikultiur dan gelombang kedua industri. Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya
pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya dalam gelombang ketiga kepada
penguasaan terhadap informasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk
kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun
benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan
kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?
24
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus
identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak
menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi,
Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya,
Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Ia di dalam bukunya
itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat
kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global.” Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting
dan dipertahankan dengan lebih giat. Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap
menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis tribe sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000,
Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati
karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat
tempat. “Berpikir lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu,
pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir
tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat lokal Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian
dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.
25
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan
pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia.
Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah
“menggusur” sejumlah bahasa lokal etnis yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan
menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama
masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa
Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula. Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut
akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa
masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di
dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia lebih jauh bahasa Melayu juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu baru
untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik mungkin termasuk Australia menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini
termasuk masyarakatnya, tentu saja sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan
bahasa Indonesia dan bahasa Melayu modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah
menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru atau lebih
tepat manusia marginal dan tradisional yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah
26
tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan,
tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia
yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih. Dengan demikian, satra Indonesia dan Melayu modern pada hakikatnya
adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam
globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-
tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia lainnya.
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra
Indonesia akan menjadi bahasa dan sastra yang penting di dunia. Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya
paradigma tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi
bahasa dari suatu tribe suku yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang
mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi
juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
27
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra Indonesia amat
potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu dan Indonesia akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke
arah itu. Bahasa Melayu dan Indonesia harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah
dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia Melayu harus mampu menjadikan kekuatan budaya global-trible yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik
bahasa dan sastra yang terbuka, bukan bersifat defensif.
F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional