1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Novel Dawet Aju DA karya Widi Widajat diterbitkan oleh Keluarga Soebarno pada tahun 1965. Novel ini
berbahasa Jawa yang masih menggunakan ejaan lama. Novel karya Widi Widajat ini mempunyai banyak sisi yang menarik,
antara lain tokoh utama yang selalu sabar dan kuat dalam menghadapi masalah yang dialaminya. Selain itu tokoh utama mempunyai keinginan besar untuk
bertahan hidup dengan usahanya sendiri tanpa harus menjual harga dirinya. Novel DA menyuguhkan cerita tentang percintaan antar tokoh yang diselingi konflik
sosial dalam sebuah keluarga. Pengarang dalam mengisahkan para tokohnya penuh dengan konflik dalam
menghadapi masalah hidup dan kehidupannya. Tokoh dan penokohan merupakan unsur intrinsik yang penting dalam sebuah novel. Tokoh dan penokohan adalah
siapa yang melakukan sesuatu atau siapa yang diceritakan dalam suatu novel beserta segala perwatakan dan tingkah lakunya. Tokoh perempuan merupakan
salah satu tokoh yang banyak digunakan dalam pembuatan sebuah novel. Permasalahan penokohan perempuan membawa perkembangan bagi dunia sastra.
Perempuan mempunyai banyak hal yang menarik untuk dikaji baik dari segi biologis, sosial, budaya, dan sebagainya. Perempuan hadir berdampingan dengan
laki-laki dengan berbagai permasalahannya. Keterlibatan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai segi kehidupan memunculkan adanya pemposisian
yang dikonstruksikan melalui adat dan kebiasaan. Dimana kaum perempuan
sering kali ditindas dan diperlakukan tidak adil oleh kaum laki-laki. Kaum laki- laki sering menganggap sebelah mata dan meremehkan kaum perempuan. Hal ini
pula yang menjadi tema dalam novel yang berjudul DA karya Widi Widajat yang diterbitkan oleh penerbit Keluarga Soebarno tahun 1965.
Pemilihan novel DA sebagai bahan penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, penelitian ini perlu untuk membuka wawasan bahwa
perempuan mampu memperjuangkan apa yang menjadi keinginannya tanpa harus takut menghadapi berbagai permasalahan. Kedua, novel ini mempersoalkan
perempuan. Perempuan dalam karya sastra sering kali digambarkan sebagai mahluk yang lemah dan tak berperan dalam mengambil keputusan, seperti
kedudukannya dalam masyarakat patriakial. Melalui novel ini, penulis ingin membuktikan bahwa perempuanpun mampu mengambil keputusan, berani, tegas
serta mandiri. Ketiga, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah kurang memanfaatkan teks-teks sastra sebagai sumber pembelajaran. Teks novel DA ini dapat dijadikan
alternatif sumber pembelajaran. Perempuan memang telah mendapatkan hak-hak yang hampir sama
dengan laki-laki, namun persepsi masyarakat terhadap perempuan masih tetap sama yaitu sebagai mahkluk yang dibatasi norma dalam dominasi laki-laki.
Melalui novel DA Perempuan harus dapat menyatakan kalau dapat berdiri sendiri tanpa bantuan laki-laki. Gambaran perempuan dalam novel DA tercermin melalui
tokoh utama wanitanya yang bernama Sriningsih. Sriningsih merupakan gambaran pribadi seorang wanita dalam menghadapi, menyikapi, dan
menyelesaikan setiap permasalahan kehidupan yang dihadapi. Banyaknya
permasalahan yang dihadapi perempuan memunculkan gerakan yang bertujuan memperjuangkan hak perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Adanya
kesejajaran tersebut maka perempuan tidak akan lagi dipandang lemah oleh laki- laki.
Pengarang mempunyai banyak kemungkinan untuk menyuarakan pandangannya terhadap suatu peristiwa maupun hal tertentu dalam sebuah
karyanya. Hal ini menunjukkan bahwa hak dari pengarang untuk menyuarakan pandangannya terhadap suatu peristiwa maupun hal tertentu yang pernah dialami
pengarang ataupun imjinasi dari pengarang. Tokoh perempuan dalam novel DA, difungsikan pengarang untuk menyampaikan pandangannya mengenai berbagai
ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Dimana seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Seorang perempuan
yang dianggap remeh oleh laki-laki dan dihilangkan hak-haknya. Pandangan ini secara langsung telah berdampak dalam kehidupan sosial
budaya dan peranan serta status perempuan didalamnya. Tradisi pemahaman semacam ini telah mengendap di dalam alam bawah sadar masyarakat, sehingga
menjadi salah satu faktor langgengnya budaya patriarki. Mosse 2002:65 mengartikan patriarki sebagai konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas
semua peran penting dalam masyarakat-dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan, kesehatan, iklan, agama dan bahwa pada dasarnya
perempuan tercabut dari akses terhadap kekuasaan itu. Pengendapan pemahaman ini juga menimbulkan kecenderungan perempuan menganggap dirinya tidak
sederajat dengan laki-laki.
Ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat yang membedakan peran perempuan dan laki-laki melalui konstruk sosial budaya kemudian memunculkan
gerakan feminis, yaitu suatu gerakan yang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta mencari penyebab ketidaksetaraan tersebut.
Perempuan, melalui feminisme telah membongkar hubungan yang kompleks dalam masyarakat seperti persoalan rasis, kelas dan gender yang telah dilahirkan
oleh teori tradisional tentang sifat-sifat perempuan. Secara biologis wanita dan pria memang tidak sama, akan tetapi sebagai
makhluk jasmani dan rohani yang dilengkapi dengan akal budi dan kehendak merdeka, kedua macam insan itu mempunyai persamaan yang hakiki. Keduanya
adalah pribadi yang mempunyai hak sama untuk berkembang. Laki-laki dan perempuan adalah mahluk yang sama dihadapan Tuhan. Oleh karena itu keduanya
memiliki nilai kemanusiaan yang layak untuk dihargai dan dihormati. Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan memunculkan
gerakan yang bertujuan memperjuangkan hak perempuan agar sejajar dengan laki- laki. Kesejajaran tersebut menjadikan perempuan tidak akan lagi dipandang lemah
oleh laki-laki. Feminisme ini berhubungan dengan konsep sastra secara feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita Sugihastuti,
2000:37. Selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan penciptaan dalam sastra barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis
menunjukkan bahwa pembaca wanita membaca persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah
kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis
kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia Showalter dalam Sugihastuti. 2002: 141.
Widi Widajat menggunakan pandangan idealisnya untuk mendeskripsikan perempuan. Dia beranggapan seorang perempuan harus bisa menghadapi berbagai
masalah sosial. Selain itu seorang perempuan harus bisa mengambil sikap tegas atas hidupnya. Tokoh perempuan yang ditampilkan dalam novel DA seolah
menjadi contoh atas beberapa masalah yang mungkin terjadi dalam kehidupan perempuan sekarang ini.
Sikap tegas kaum wanita terlihat dalam tokoh Sriningsih yang merupakan tokoh utama dalam novel ini. Pengarang mempunyai wawasan yang luas
mengenai kemandirian wanita dalam novel ini. Kemandirian yang dimaksud dalam cerita ini bukan feminisme yang terjadi di Negara-negara manca, tapi
kemandirian yang masih dalam etika masyarakat Jawa. Sriningsih yang mampu mandiri dalam menjalani hidupnya, dia bekerja keras untuk dapat bertahan hidup
setelah pergi dari rumah karena kecewa dengan suaminya yang menuduhnya selingkuh. Dia mencari pekerjaan yang halal dalam mempertahankan hidupnya.
Sriningsih juga menjaga harga dirinya sebagai seorang perempuan. Pernyataan-pernyataan mengenai lemahnya seorang perempuan disangkal
dalam novel DA. Melalui novel ini perempuan diajak untuk memperjuangkan apa yang menjadi kehendak hatinya. Tokoh perempuan dalam novel ini hanya sebuah
sarana untuk menyuarakan pandangan idealis pengarang mengenai perempuan.
1.2 Rumusan Masalah