Respons Cekaman Garam terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sonneratia alba Smith

(1)

RESPONS CEKAMAN GARAM TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN KONSENTRASI RANTAI PANJANG POLYISOPRENOID

PADA MANGROVE Sonneratia alba Smith.

SKRIPSI

Oleh :

LATIFAH NUR SIREGAR 111201117

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

RESPONS CEKAMAN GARAM TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN KONSENTRASI RANTAI PANJANG POLYISOPRENOID

PADA MANGROVE Sonneratia alba Smith.

SKRIPSI

Oleh :

LATIFAH NUR SIREGAR 111201117/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Respons Cekaman Garam terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sonneratia alba Smith.

Nama : Latifah Nur Siregar

NIM : 111201117

Program Studi : Kehutanan

Minat : Budidaya Hutan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing


(4)

i

ABSTRACT

LATIFAH NUR SIREGAR : Salinity Response on Growth and Long Chain

Polyisoprenoid Concentration in Mangrove Sonneratia alba Smith. Supervised by

MOHAMMAD BASYUNI and LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.

Mangrove is one of the richest bioactive source naturally and is able to remove excess of salt. The purpose of this study was to determine optimum salinity concentration for growth of S. alba seedlings and to evaluate effect of salinity on polyisoprenoid composition. S. alba seedlings were used with 5 treatments namely 0%, 0,5%, 1,5%, 2%, and 3% grown for 3 months. Results showed that optimum growth for S. alba seedlings characterized by height, diameter, and dry weight of root in 1,5% salinity, the best number of leaves and moisture content of root were in 0,5% salinity. On the other hand, dry weight of shoot, moisture content of shoot, and ratio of shoot to root were found in 3% salinity, respectively. Analysis of Polyisoprenoid in S. alba seedlings in 3% salinity was higher concentration than 0% treatment.


(5)

ii

ABSTRAK

LATIFAH NUR SIREGAR : Respons Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai

Panjang Polyisoprenoid terhadap Cekaman Garam pada Mangrove

Sonneratia alba Smith. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.

Mangrove merupakan salah satu sumber bahan bioaktif terkaya di alam dan mampu mensekresi kelebihan garam. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menentukan konsentrasi cekaman garam optimum bagi pertumbuhan semai

S. alba dan mengetahui pengaruh konsentrasi cekaman garam terhadap rantai

panjang polyisoprenoid. Penelitian ini menggunakan semai S. alba dengan 5 perlakuan cekaman garam, yaitu 0%, 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% yang ditumbuhkan selama 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum untuk semai S. alba bedasarkan kriteria tinggi, diameter dan berat kering akar semai S. alba terdapat pada konsentrasi cekaman garam 1,5%, jumlah daun terbaik terdapat pada konsentrasi cekaman garam 0,5%. Sedangkan berat kering tajuk dan rasio tajuk dan akar terbaik, masing-masing terdapat pada konsentrasi cekaman garam 3 %. Analisis polyisoprenoid semai S. alba lebih tinggi pada cekaman garam 3% dibandingkan dengan perlakuan 0%.


(6)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 16 Januari 1993 dari Bapak Sorimuda Siregar dan Ibu Ratna Sondang Nasution. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Pada tahun 2005 Penulis lulus dari SD Negeri 200211 Padangsidimpuan, tahun 2008 lulus dari SMP Negeri 1 Padangsidimpuan, dan tahun 2011 lulus dari SMA Negeri 1 Padangsidimpuan. Tahun 2011 Penulis melanjutkan kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan sebagai mahasiswi di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian melalu jalur Ujian Masuk Bersama (UMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Tanoto Scholar

Association Medan pada tahun 2013 hingga 2015. Penulis melakukan Praktik

Pengenalan Ekosistem Hutan di Taman Hutan Raya dan Hutan Pendidikan Gunung Barus di Kabupaten Karo pada tahun 2013. Penulis menjadi Asisten praktikum mata kuliah Dendrologi pada tahun 2013 dan 2014, Asisten praktikum mata kuliah Silvikultur tahun 2013, Asisten praktikum mata kuliah Sifat Fisis dan Mekanis Kayu tahun 2014, dan menjadi Asisten Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan Mangrove di Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada tahun 2014. Penulis pernah menjadi anggota organisasi HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva) pada tahun 2011-2014, serta menjadi anggota dalam Rainforest Community pada tahun 2012-2015 di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Adindo Hutani Lestari, Estate Sebakis, Kalimantan Utara pada tahun 2015.


(7)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Respons Cekaman Garam terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sonneratia alba Smith.” ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).

Pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih kepada kedua orangtua penulis, yaitu Bapak Sorimuda Siregar dan Ibu Ratna Sondang Nasution

yang telah memberi dukungan dan doanya selama ini. Terima kasih juga kepada Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si., Ph.D. dan Dr. Ir. Lollie A. P. Putri, M.Si

selaku komisi pembimbing serta Dr. Samsuri, S.Hut., M.Si., dan Tito Sucipto, S.Hut., M.Si selaku dosen penguji sidang yang telah banyak

mengarahkan dan memberi saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga ditujukan kepada Tanoto Foundation yang telah memberikan bantuan beasiswa dari tahun 2013 hingga 2015, serta telah memberikan bantuan dana penelitian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga tersayang Irfansyah Siregar, Henyria Susanti Siregar, Alfi Syahri Lubis, M. Hariady Siregar, Soraya Haq Siregar, dan Geby Rhevia. Terima kasih juga kepada teman-teman satu tim penelitian yang telah membantu penulis selama penelitian dan pengerjaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam penelitian-penelitian ilmiah.


(8)

v

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Umum S. alba ... 4

Komponen dan Zonasi Vegetasi Mangrove ... 5

Cekaman Garam pada Mangrove ... 7

Metabolit Sekunder pada Mangrove ... 8

Non Saponifiable Lipid (NSL) ... 10

Polyisoprenoid pada Mangrove ... 10

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

Alat dan Bahan Penelitian ... 12

Percobaan Cekaman Garam ... 12

Ekstraksi dan Analisis Data ... 12

Prosedur Penelitian ... 13

Pengumpulan dan Penanganan Buah S. alba ... 13

Pengecambahan pada Bak Kecambah... 13

Perlakuan Toleransi Garam ... 13

Parameter Pengamatan ... 15

Analisis Statistik ... 17

Analisis NSL dan Polyisoprenoid ... 18

Analisis 1D-TLC ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan Cekaman Garam terhadap Parameter Pengamatan ... 19

Tinggi dan Diameter ... 19

Jumlah Daun ... 21

Berat Basah Akar, Berat Kering Akar, dan Kadar Air Akar ... 23

Berat Basah Tajuk, Berat Kering Tajuk, dan Kadar Air Tajuk ... 25


(9)

vi

Hal.

Analisis Regresi Linear Perlakuan dengan Parameter ... 29

Tinggi dan Diameter ... 29

Jumlah Daun ... 31

Berat Basah Akar, Berat Kering Akar, dan Kadar Air Akar ... 32

Berat Basah Tajuk, Berat Kering Tajuk, dan Kadar Air Tajuk ... 34

Rasio Tajuk dan Akar ... 36

Analisis Korelasi Perlakuan dan Parameter Pengamatan ... 36

Analisis Non-saponifiable Lipids (NSL) dan Polyisoprenoid ... 38

Analisis Polyisoprenoid dengan 1D-TLC ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 42

Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

vii

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Koefisien korelasi antar parameter pengamatan ... 37 2. Ekstrak lipid dan NSL pada tajuk dan akar semai S. alba ... 38


(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Pengaruh cekaman garam terhadap tinggi dan diameter S. alba

pada umur 3 bulan ... 19 2. Pengaruh cekaman garam terhadap jumlah daun S. alba pada umur

3 bulan. ... 22 3. Pengaruh cekaman garam terhadap berat basah akar, berat kering

akar, dan kadar air akar S. alba pada umur 3 bulan ... 23 4. Pengaruh cekaman garam terhadap berat basah tajuk, berat kering

tajuk, dan kadar air tajuk S. alba pada umur 3 bulan ... 26 5. Pengaruh cekaman garam terhadap rasio tajuk dan akar S. alba

pada umur 3 bulan ... 28 6. Analisis regresi cekaman garam terhadap tinggi dan diameter

semai S. alba ... 29 7. Analisis regresi cekaman garam terhadap jumlah daun semai S. alba ... 31 8. Analisis regresi cekaman garam terhadap berat basah akar,

berat kering akar, dan kadar air akar semai S. alba ... 32 9. Analisis regresi cekaman garam terhadap berat basah tajuk,

berat kering tajuk, dan kadar air tajuk semai S. alba ... 34 10.Analisis regrsi cekaman garam terhadap rasio tajuk dan akar semai

S. alba ... 36


(12)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter tinggi ... 47

2. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter diameter ... 48

3. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter jumlah daun ... 49

4. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter berat basah akar ... 50

5. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter berat kering akar ... 51

6. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter kadar air akar ... 52

7. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter berat basah tajuk ... 53

8. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter berat kering tajuk ... 54

9. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter kadar air tajuk ... 55

10.Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter rasio tajuk dan akar ... 56


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Jenis flora yang banyak ditemui di Indonesia terutama di kawasan pesisir adalah mangrove. Atmoko dan Kade (2007) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan vegetasi khas daerah tropis dan sub-tropis yang dijumpai di tepi sungai, muara sungai dan tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove termasuk vegetasi halofita (halophytic vegetation) yaitu vegetasi yang mampu bertahan hidup pada tanah berkadar garam tinggi dan genangan air laut (pasang surut air laut).

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yaitu 21% dari total luas mangrove dunia yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Spalding et al., 2010).

Sonneratia alba adalah salah satu tanaman mangrove yang dikenal luas di pesisir

pantai Indonesia dan terdistribusikan secara luas di daerah pesisir Asia Tenggara dan Samudera Hindia (Azuma et al., 2002).

Kandungan garam pada media tumbuh yang berlebihan dapat menyebabkan tanaman menjadi stres atau tercekam. Stres garam merupakan salah satu stres abiotik yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Salah satu aktivitas adaptasi mangrove agar tetap dapat tumbuh baik pada daerah yang dipengaruhi pasang surut air laut adalah dengan cara mensekresi metabolit sekunder secara berlebih. Oleh karena itu, mangrove merupakan salah satu

sumber bioaktif/metabolit sekunder terkaya yang ada di alam ini. Syakir et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu metode adaptasi tanaman


(14)

terhadap salinitas adalah melaui pengaturan osmotik dengan cara mensintesis senyawa asam amino, galaktogliserol, dan asam lemak.

Famili Sonneratiaceae mengandung senyawa metabolit sekunder berupa asam lemak (Oku et al., 2003), triterpenoid, lipid (Chaiyadej et al., 2004), phytol,

isoprenoid (Basyuni et al., 2007), alkane (C25-C33), flavonoid (Minqing et al., 2009) dan steroid, bifenil (Priya et al., 2012). Masing-masing

senyawa ini menunjukkan aktivitas biologis yang beragam, seperti antibakteri, anti-inflamasi, dan efek insektisida. Senyawa metabolit sekunder ini dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mengobati penyakit maupun meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit.

Polyisoprenoid ditemukan di dalam sel dalam bentuk alkohol bebas dan ester dengan asam carboxylic dan asam phosphoric (Wotjas et al., 2004). Polyisoprenoid merupakan produk akhir dari metabolisme sel, yang di beberapa literatur dikenal sebagai metabolisme sekunder (Tudek et al., 2007). Namun, secara fisiologis belum diketahui bagaimana peranan polyisoprenoid ini bagi mangrove.

Di Indonesia, eksplorasi dan eksploitasi bioaktif/senyawa metabolit sekunder dari mangrove ini masih sangat terbatas (Prihanto, 2012). Berdasarkan hal tersebut, sangat dibutuhkan penelitian mengenai aspek fisiologis dan peranan polyisoprenoid bagi mangrove, khususnya pada tanaman S. alba dengan memberi perlakuan cekaman garam dengan konsentrasi yang berbeda. Diharapkan diperoleh wawasan baru mengenai mekanisme toleransi hutan mangrove terhadap cekaman garam, sehingga dapat digunakan untuk mendukung program rehabilitasi mangrove.


(15)

Tujuan Penelitian

1. Menentukan konsentrasi cekaman garam terbaik bagi pertumbuhan semai

S. alba.

2. Menganalisis kandungan polyisoprenoid pada tajuk dan akar semai S. alba setelah diberi perlakuan cekaman garam.

3. Menganalisis pengaruh cekaman garam terhadap konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid famili dolichol pada semai S. alba.

Hipotesisis Penelitian

Cekaman garam pada konsentrasi 3%, berbeda nyata pengaruhnya

terhadap pertumbuhan dan konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid semai

S. alba pada umur 3 bulan.

Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perimbangan bagi masyarakat yang bergerak di bidang pembibitan S. alba dalam program rehabilitasi, sehingga dapat menghasilkan bibit S. alba yang pertumbuhannya baik pada tingkat salinitas tertentu.

2. Informasi tentang polyisoprenoid yang terdapat pada S. alba dan fungsinya dalam tegakan S. alba diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Deskripsi Umum S. alba

Berdasarkan Puspayanti et al. (2013), klasifikasi S. alba adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Sonneratiaceae Genus : Sonneratia

Spesies : Sonneratia alba Smith.

Sonneratia alba Smith. (Perepat) tumbuh pada substrat berlumpur, kulit

batang berwarna krem hingga cokelat dengan retak-retak halus di permukaannya.

S. alba memiliki akar pasak (pneumatophore) yang terlihat pada saat air laut

sedang surut. Daunnya tebal berbentuk bulat telur yang berwarna hijau cerah dan letaknya saling berhadapan (opposite). Buah berbentuk bola yang berwarna hijau keabu-abuan dengan diameter 5-7,5 cm. Bunganya berbenang sari cukup banyak, terdapat diujung-ujung ranting dan berwarna putih. Tumbuhan ini dapat

dimanfaatkan kayunya untuk dijadikan rusuk dan siku-siku perahu (Sugiarto dan Willy, 1996).

S. alba ditemukan pada daerah estuaria yang berbatasan antara muara

sungai dengan substrat yang berpasir. Menurut Bengen (2004) S. alba dapat tumbuh baik pada lokasi bersubstrat pasir, lumpur, atau berpasir.


(17)

Komponen dan Zonasi Vegetasi Mangrove

Menurut Tomlinson (1986) vegetasi mangrove tersusun atas tiga komponen, yaitu mayor, minor, dan asosiasi. Komponen mayor merupakan vegetasi yang memiliki peran yang besar dalam menyusun struktur mangrove dan mampu membentuk tegakan murni, mempunyai karakteristik adaptasi morfologi/anatomi seperti sistem perakaran udara (aerial root) dan memiliki mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam. Komponen mayor terdiri dari lima famili dengan sembilan genus, yaitu: Avicennia, Bruguiera,

Ceriops, Kandelia, Laguncularia, Lumnitzera, Nypa, Rhizophora dan Sonneratia.

Komponen minor hanya muncul pada batas luar habitat mangrove serta jarang membentuk tegakan murni. Komponen minor terdiri dari sebelas genus dari famili yang berbeda, yaitu: Camptostemon, Excoecaria, Pemphis,

Xylocarpus, Aegiceras, Osbornia, Pelliciera, Aegialitis, Acrostichum, Scyphiphora dan Heritiera. Sedangkan komponen asosiasi merupakan vegetasi

yang tidak pernah tumbuh dalam komunitas mangrove dan sering muncul sebagai vegetasi daratan. Komponen asosiasi terdiri dari 29 famili dengan 40 genus, yaitu

Acanthus, Calophyllum, Terminalia, Derris dan Pongamia.

Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas, temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan lautan, serta menyebabkan terjadinya perbedaan struktur tumbuhan mangrove dari satu daerah dengan daerah lainnya (Hutahaean et al., 1999).


(18)

Pola zonasi erat kaitannya dengan kondisi ekologi terutama yang berhubungan dengan kemampuan hidup jenis tumbuhan penyusunnya terhadap berbagai tingkat salinitas, suhu, sedimentasi, terjangan ombak, lamanya periode pasang surut air laut dan pasokan air tawar dari darat (Noor et al., 1999). Faktor-faktor lainnya seperti toleransi naungan, cara penyebaran tumbuh-tumbuhan mangrove muda serta seleksi terhadap mangrove muda oleh kepiting akan berpengaruh terhadap zonasi mangrove (Talib, 2008). Oleh karena itu, karakteristik mangrove bervariasi pada lokasi yang berbeda dan dapat saling tumpang tindih antar zona atau bahkan dapat terjadi pengurangan zona akibat kondisi beberapa faktor penunjang pertumbuhan yang tidak normal. Pada umumnya lebar zona mangrove jarang melebihi 4 km, kecuali pada beberapa daerah sekitar muara serta teluk yang dangkal dan tertutup. Jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama tanah endapan lumpur

terakumulasi. Dalam hubungannya dengan zonasi pada hutan mangrove, Noor et al. (1999) membaginya menjadi 4 zona yaitu:

1. Mangrove terbuka, yaitu kawasan mangrove yang berhadapan langsung dengan laut. Pada tempat-tempat yang tanahnya berpasir dan agak keras didominasi oleh Sonneratia alba, sedangkan pada tanah berlumpur cenderung didominasi oleh Avicenia marina dan Rhizophora mucronata.

2. Mangrove tengah, adalah kawasan mangrove yang berada di belakang mangrove terbuka dan terhindar dari hempasan gelombang. Di sini

Rhizophora masih mendominasi tempat-tempat yang berlumpur dengan

perakaran terendam saat air laut pasang (Arief, 2003). Di bagian dalam dari zona ini didominasi oleh jenis dari marga Bruguiera yang dapat berkembang


(19)

dengan baik pada salinitas kurang dari 25 o/oo (Supriharyono, 2000). Jenis pohon lain yang juga sering dijumpai di sini adalah Excoecaria agallocha dan

Xylocarpus granatum.

3. Mangrove payau, terdapat di sepanjang tepi sungai yang berair payau sampai hampir tawar. Jenis-jenis tumbuhan yang biasanya mendominasi vegetasi di daerah ini antara lain adalah nipah (Nypa fruticans) dan jenis-jenis dari marga

Sonneratia. Jenis-jenis pohon lainnya adalah Cerbera manghas, Gluta velutina dan Xylocarpus granatum.

4. Mangrove daratan, terletak di perairan payau (hampir tawar) di belakang jalur hijau mangrove. Zona ini memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dari zona lain karena berbatasan langsung dengan ekosistem darat. Tumbuhan yang umum dijumpai antara lain adalah Lumnitzera racemosa, Intsia bijuga,

Ficus microcarpus, Heritiera littoralis, Nypa fruticans dan Pandanus spp.

Cekaman Garam pada Mangrove

Keragaman jenis hutan mangrove secara umum relatif rendah jika dibandingkan dengan hutan alam tipe lainnya, hal ini disebabkan oleh kondisi lahan hutan mangrove yang secara periodik digenangi oleh air laut (dipengaruhi pasang surut), sehingga mempunyai salinitas yang tinggi dan berpengaruh terhadap keberadaan jenisnya (Talib, 2008).

Salinitas atau cekaman garam secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana garam larut dalam jumlah yang berlebih dan dapat berakibat buruk bagi pertumbuhan tanaman (Syakir et al., 2008). Menghadapi cekaman garam yang tinggi, jenis-jenis tumbuhan mangrove memiliki banyak jaringan internal penyimpan air dan mensekresi konsentrasi garam yang tinggi.


(20)

Jenis S. alba mampu menyimpan kadar garam yang tinggi pada daun-daun tua, sehingga konsentrasi garam pada daun muda akan berkurang. Kadar garam akan

dikeluarkan dari pohon bersamaan dengan gugurnya daun-daun tua (Atmoko dan Kade, 2007). Arief (2003) menyatakan bahwa semua ciri morfologi

dan anatomi pohon mangrove mencerminkan kondisi pada posisi mempertahankan diri terhadap lingkungan yang bersalinitas tinggi.

Pada umumnya respons pertumbuhan tinggi mangrove yang baik diperoleh pada salinitas yang rendah. Hal ini terjadi karena tumbuhan mangrove bukan merupakan tumbuhan yang membutuhkan garam (salt demand) tetapi tumbuhan yang toleran terhadap garam (salt tolerance). Mangrove bukan halofit obligat, yang berarti bahwa tumbuhan mangrove dapat tumbuh pada air tawar, tetapi mangrove akan tumbuh maksimum pada pertengahan antara air tawar dan air laut (Hutahaen et al., 1999).

Metabolit Sekunder pada Mangrove

Senyawa metabolit sekunder merupakan jenis senyawa yang dihasilkan oleh mahluk hidup untuk mempertahankan dirinya dari lingkungan yang ekstrim maupun gangguan makhluk hidup lain di habitatnya. Senyawa metabolit sekunder dihasilkan suatu tanaman bukan untuk kebutuhan utamanya seperti untuk pertumbuhan maupun perkembangannya. Senyawa metabolit ini umumnya memiliki kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama penyakit atau lingkungan yang tidak mendukung untuk tumbuhan tumbuh dengan optimal (Prabowo et al., 2014).


(21)

Mangrove adalah tanaman yang toleran terhadap garam dan dikenal kaya sumber metabolit sekunder dan memiliki potensi sebagai bahan obat alami. Misalnya triterpenoida, alkaloida, dan fitosterol. Zat kimia ini merupakan senyawa aktif untuk pengembangan agen bioaktif baru (Basyuni et al., 2013).

Senyawa-senyawa metabolit sekunder memiliki efek toksik, farmakologik, dan ekologik penting (Bandaranayake, 2002). Senyawa fenolat diketahui sebagai senyawa pelindung tumbuhan dari herbivora, dan fungsi utama sebagian besar senyawa fenolat adalah melindungi tumbuhan dari kerusakan akibat cahaya yang berlebihan dengan bertindak sebagai antioksidan, dan levelnya bervariasi sesuai kondisi lingkungannya (Close dan McArthur, 2002). Banerjee et al. (2008) melaporkan adanya kecenderungan peningkatan produksi senyawa fenolat pada tumbuhan mangrove bila tumbuh dan bertahan dalam kondisi tertekan.

Milon et al. (2012) menyatakan bahwa tanaman dari famili Sonneratiaceae memiliki kandungan metabolit sekunder berupa tanin yang berperan sebagai antimikroba. Sudira et al. (2011) menambahkan bahwa senyawa tanin merupakan senyawa organik yang aktif menghambat pertumbuhan mikroba dengan mekanisme merusak dinding sel mikroba dan membentuk ikatan dengan protein fungsional sel mikroba. Kusumadewi (2014) menemukan bahwa ekstrak buah

S. alba mengandung metabolit sekunder yaitu alkaloid, tanin dan flavonoid.

Senyawa alkaloid, flavonoid dan tanin memiliki aktivitas sebagai antijamur. Senyawa alkaloid berperan sebagai antimikroba dengan merusak dinding sel mikroba. Sedangkan flavonoid dapat merusak permeabilitas dinding sel mikroba mampu menghambat pertumbuhan mikroba.


(22)

Non Saponifiable Lipids (NSL)

Seperti karbohidrat, lipid tersusun dari atom-atom karbon, hidrogen, dan oksigen. Tetapi lemak memiliki porsi atom hidrogen yang lebih banyak dibandingkan dengan molekul karbohidrat. Selain itu, dalam berat yang sama, energi yang terkandung dalam molekul lipid lebih dari 2 kali lipat dibandingkan dengan yang terkandung dalam karbohidrat. Lemak disintesis dari gliserol dan asam-asam lemak. Lemak merupakan bagian dari lipida. Semua molekul lipida dibentuk dari asam-asam organik, tetapi tidak semua mengandung gliserol, sedangkan lemak selalu terbentuk dengan kerangka gliserol. Lilin (wax) yang dihasilkan tumbuhan merupakan contoh lipida yang bukan lemak. Baik lemak maupun minyak dibentuk dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (Lakitan, 2008).

Lipid merupakan bagian penting dari karbon yang dihasilkan oleh mangrove. Pengetahuan tentang komposisi lipid dibutuhkan untuk menduga

sumber dan akumulasi rata-rata dari sendimentasi bahan organik.

Non-saponifiable lipid (NSL) pada dasarnya merupakan bagian lipid yang

sederhana kecuali asam lemak (saponifiable lipid) setelah hidrolisis alkaline dari

total lipid, dan mengandung sterols, rantai panjang alkohol, dan alkanes (Basyuni et al., 2012).

Polyisoprenoid pada Mangrove

Polyisoprenoid telah ditemukan sejak awal tahun 60-an pada bakteri, ragi, mamalia, dan beberapa tanaman. Selama empat dekade penelitian tentang polyisoprenoid, telah dihasilkan sejumlah publikasi yang sangat menarik. Polyisoprenoid merupakan sekelompok polimer hidrophobik yang tersebar luas di


(23)

alam (Swiezewska dan Witold, 2005). Rantai polyisoprenoid terdiri dari 5 – 100, bahkan lebih unit isoprenoid yang membentuk polimer berbeda dengan rantai panjang dan atau konfigurasi geometrikalnya (Ciepichal et al., 2011).

Polyisoprenoid terbagi menjadi polyprenols dan dolichol. Polyisoprenoid tersusun atas polimer lurus yang terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 unit

isoprenoid yang telah diidentifikasi di hampir semua makhluk hidup (Tudek et al., 2007). Kandungan polyprenol pada tanaman pernah dilaporkan

menunjukkan perubahan akibat umur (Ibata et al., 1983) dan musim, (Swiezewska et al., 1994) namun arti fisiologi dan fungsi dari polyprenols belum diketahui. Sebaliknya, rantai panjang dolichol pernah dilaporkan terdapat pada hewan, ragi, dan tanaman. Kandungan dolichol di hewan dan tanaman pernah dilaporkan bertambah karena akibat perbedaan umur (Jankowski et al., 1994).

Metode one-dimensional plate thin layer chromatography (1D – TLC) merupakan metode yang dibuat untuk memisahkan campuran dolichol dan polyprenols secara efektif dan efisien. Metode 1D-TLC akan menunjukkan dolichol yang terbentuk di tajuk dan akar dari berbagai jenis tanaman dikotil.


(24)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ekologi Hutan Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Rumah Kaca Fakultas Pertanian USU dan Laboratorium Fakultas Farmasi USU. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli 2014 – Maret 2015.

Alat dan Bahan Penelitian Percobaan Cekaman Garam

Alat yang digunakan adalah ember, pot plastik, bak kecambah, saringan,

sprayer, kamera, cutter, penggaris, oven, timbangan digital, kalifer,

hand refractometer (Atago Co. Ltd, Tokyo, Jepang), dan alat tulis. Sedangkan

bahan tanaman yang digunakan adalah buah S. alba yang telah matang, kain kasa, pasir sungai (tidak memiliki kandungan garam), garam komersial (marine salt),

tap water, amplop kertas, dan kertas label.

Ekstraksi dan Analisis Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah program SAS 9.1, program excel, program SPSS 17.0, tabung reaksi, beaker gelas, mortal alu, rak kultur, eyela evaporator, waterbath, evaporator, dan scanner. Sedangkan bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah tajuk dan akar semai mangrove S. alba, sedangkan bahan kimia dan bahan lainnya yang digunakan adalah nitrogen cair, kloroform, metanol, hexane, KOH, etanol, aluminium foil, kertas filtrasi No. 2 (Advantec, Tokyo, Jepang), nitrogen stream, toluene, etil asetat, one plate silica gel TLC, dan iodine vapour.


(25)

Prosedur Penelitian

Pengumpulan dan Penanganan Buah S. alba

Buah S. alba diperoleh dari pohon yang telah dewasa di Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 3 Agustus 2014. Buah yang dikumpulkan merupakan buah yang matang secara fisiologis dan bijinya siap untuk dikecambahkan. Ciri-ciri buah S. alba matang adalah calyx telah lepas dari badan buah, dan bijinya sudah mengeras. Jumlah biji dalam satu buah S. alba bisa mencapai 100-200 biji.

Buah yang telah dikumpulkan, dipecah menjadi beberapa bagian tanpa merusak biji, kemudian dimasukkan ke dalam ember, ditutup dengan kain kasa dan direndam selama 2 hari. Tujuannya perendaman ini adalah untuk mematahkan dormansi biji S. alba sebelum dikecambahkan di bak kecambah, sebab biji S. alba termasuk dalam kategori normal seed. Setelah 2 hari, biji ditiriskan dan dibersihkan.

Pengecambahan pada Bak Kecambah

Biji yang telah dibersihkan, ditanam ke dalam bak kecambah yang telah diisi pasir. Pasir yang digunakan adalah pasir sungai yang sebelumnya telah disterilisai. Dilakukan pengecekan dengan air tanpa cekaman garam dua kali sehari hingga kecambah S. alba berdaun dua. Media tanam harus selalu dalam kondisi kapasitas lapang.

Perlakuan Toleransi Garam

Dalam penelitian ini, ada 5 perlakuan konsentrasi garam, yaitu 0%; 0,5%; 1,5%; 2%; dan 3% (Prayunita, 2012) dengan masing-masing 3 hingga 10 ulangan. Konsentrasi cekaman garam diperoleh dari perbandingan massa bubuk garam


(26)

dengan massa larutan. Jenis garam yang dipakai adalah bubuk garam komersial (marine salt). Untuk membuat konsentrasi cekaman garam 0,5%; 1,5%; 2%; dan 3% dibuat dengan melarutkan 5,66 g; 17 g; 22,6 g; dan 34 g bubuk garam komersial dalam 1 liter air.

Setelah kecambah S. alba berdaun dua dan pertumbuhannya seragam, dilakukan penyapihan dari bak kecambah ke pot plastik yang telah diisi oleh media pasir. S. alba yang telah dipindahkan ke dalam pot plastik, masing-masing diberi perlakuan cekaman garam. Selanjutnya, pot plastik diberi tanda/label sesuai dengan perlakuan yang diberikan.

Selama 3 bulan proses pertumbuhan semai S. alba di rumah kaca, dilakukan pengecekan setiap sore hari sesuai dengan perlakuannya (0%; 0,5%; 1,5%; 2%; dan 3%) hingga media pasir tergenang. Tujuannya agar kondisi lingkungannya sesuai dengan kondisi di lapangan (mangrove yang umumnya selalu tergenang). Selain itu, dilakukan juga proses pengecekan konsentrasi tingkat cekaman garam terhadap setiap perlakuan dan ulangan, agar konsentrasi garam pada larutannya tetap stabil sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Ada kemungkinan terjadi kenaikan konsentrasi garam pada masing-masing perlakuan. Hal ini dapat disebabkan oleh air pada media tanam yang mengalami evaporasi akibat suhu di rumah kaca yang umumnya tinggi, sehingga konsentrasi garam terus meningkat pada substrat pasir. Oleh karena itu, dibutuhkan pengecekan rutin konsentrasi cekaman garam hingga diakhir pengamatan. Jika ditemukan kenaikan konsentrasi cekaman garam, maka penyiraman hanya dilakukan dengan tap water hingga konsentrasinya kembali ke tingkat cekaman garam yang diinginkan.


(27)

Parameter Pengamatan

Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah tanaman dipindahkan ke rumah kaca dan parameter yang diamati adalah sebagai berikut:

1. Tinggi Semai S. alba (cm)

Pengambilan data tinggi semai S. alba dilakukan setelah 3 bulan tanam di rumah kaca dengan menggunakan penggaris, pada setiap satuan percobaan. Tinggi semai diukur mulai dari permukaan media tanam hingga ke titik tumbuh tertinggi.

2. Diameter Semai S. alba (mm)

Pengambilan data diameter dilakukan bersamaan dengan pengambilan data tinggi semai menggunakan kalifer sekitar 5 mm dari atas media tanam.

3. Pertambahan Jumlah Daun (helai)

Penghitungan pertambahan jumlah daun dilakukan sejak tanaman berdaun dua hingga daun terakhir yang muncul selama 3 bulan pemeliharaan semai S. alba di rumah kaca.

4. Berat Basah Akar (g)

Semai S. alba yang telah dipanen, dicuci dan dikering anginkan. Selanjutnya dipisahkan antara bagian akar dan tajuknya, kemudian bagian akar ditimbang untuk mendapatkan berat basah akar S. alba.

5. Berat Kering Akar (g)

Untuk mendapatkan berat kering akar, bagian akar yang telah diketahui berat basahnya dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian akar S. alba dioven pada suhu 75ºC selama 1 hari (hingga beratnya konstan) dan selanjutnya ditimbang berat kering akar.


(28)

6. Kadar Air Akar (%)

Untuk mendapatkan kadar air akar, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

%KA Akar =Berat Basah Akar−Berat Kering Akar

Berat Basah Akar X 100% 7. Berat Basah Tajuk (g)

Bagian tajuk S. alba yang telah dicuci, dikering anginkan, dan dipisahkan dari bagian akar, ditimbang untuk mendapatkan berat basah tajuk S. alba.

8. Berat Kering Tajuk (g)

Untuk mendapatkan berat kering tajuk, bagian tajuk yang telah diketahui berat basahnya dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian tajuk S. alba dioven pada temperatur 75ºC selama 1 hari (hingga beratnya konstan) dan ditimbang berat kering tajuk.

9. Kadar Air Tajuk (%)

Untuk mendapatkan kadar air tajuk, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

%KA Tajuk =Berat Basah Tajuk−Berat Kering Tajuk

Berat Basah Tajuk X 100% 10.Rasio Tajuk dan Akar

Perhitungan rasio tajuk dan akar dilakukan pada akhir pengamatan. Perhitungan rasio tajuk dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Rasio =

akar kering Berat

tajuk kering Berat


(29)

Analisis Statistik

Penelitian ini adalah metode analisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial ulangan tidak sama dengan 5 perlakuan konsentrasi cekaman garam (0%; 0,5%; 1,5%; 2%; dan 3%) berdasarkan tingkat cekaman garam yang ada di lapangan dengan masing-masing 3 hingga 10 ulangan.

Model linear RAL non faktorial: Yij = μ + τi + εij

Keterangan:

Yij : hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ : nilai rataan umum (mean)

τi : pengaruh faktor perlakuan ke-i

εij : pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j i = 1, 2, 3, 4, 5

j = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,10

Data dianalisis dengan analysis of variance (Anova) dan diikuti dengan uji Dunnett (P < 0,05) untuk membandingkan seluruh perlakuan (cekaman garam) terhadap kontrol. Analisis data ini menggunakan program SAS 9.1 (Statistical

Analysis System 9.1). Untuk menentukan korelasi (hubungan) antara variabel

cekaman garam terhadap parameter pengamatan, digunakan Program SPSS 17.0 (Statistical Product and Service Solutions 17.0), sedangkan untuk menganalisis regresi linear antara cekaman garam dengan parameter pengamatan, digunakan program Microsoft Excel 2007.


(30)

Analisis Nonsaponifiable Lipids (NSL) dan Polyisoprenoid

Tajuk atau akar S. alba yang telah dikeringkan digerus dengan nitrogen cair, diekstrak dengan kloroform-metanol 2:1 (CM21), kemudian bahan tanaman yang tidak larut dalam CM21 disaring dengan kertas filtrasi No. 2 (Advantec, Tokyo, Jepang). Cairan yang lolos dari kertas saring adalah ekstrak lipid yang masih dalam bentuk cairan. Selanjutnya ekstrak lipid dikeringkan, ditimbang dan didapatkan berat lipidnya. Kandungan total lipid dinyatakan sebagai berat jaringan (mg/gr jaringan).

Ekstrak lipid dikeringkan kembali dengan nitrogen stream, disaponifikasi dengan menambahkan 2 ml KOH 20% dan etanol 50%. Selanjutnya larutan di

refluxe selama 10 menit pada suhu 90º C. Selanjutnya 2 ml hexane dimasukkan ke

dalam larutan dan kemudian diaduk. Kemudian cairan di keringkan dengan nitrogen stream, dikeringkan di bawah vakum selama 10 menit dan ditimbang untuk memperoleh berat NSLnya. Selanjutnya dapat diketahui kandungan NSL/jaringan (mg/g jaringan) dan kandungan NSL/total lipid (mg/mg total lipida). Kandungan polyisoprenoid diperoleh dengan membagikan kandungan NSL dengan total lipid.

Analisis One-Dimensional Plate Thin-Layer Chromatography (1D-TLC)

One-Dimensional Plate Thin-Layer Chromatography (1D-TLC) dilakukan

dengan menggunakan silika gel 60 normal phase. Bahan hasil NSL dilarutkan dengan toluene : etil asetat (19:1). Alkohol Polyisoprenoid dipisahkan dan diteliti dengan one-plate silica gel TLC yang telah diidentifikasi dan divisualisasikan dengan iodine vapour. Selanjutnya gambar chromatograpy dihasilkan dan dicatat dengan scanner.


(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perlakuan Cekaman Garam terhadap Parameter Pengamatan

A.1 Pengaruh Cekaman Garam terhadap Tinggi dan Diameter Semai S. alba Pemberian cekaman garam hingga konsentrasi 1,5% mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter semai S. alba pada umur 3 bulan, seperti yang tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh cekaman garam terhadap tinggi (A) dan diameter (B) S. alba pada

umur 3 bulan. Data merupakan rata-rata pengukuran (n = 4 – 9) ± SE.

Gambar 1A menunjukkan pertumbuhan tinggi semai S. alba yang paling besar terdapat pada cekaman garam 1,5% dengan rata-rata tinggi 3,900 cm dan

pertumbuhan terendah terdapat pada cekaman garam 2% dengan rata-rata tinggi 2,225 cm. Hasil Anova, menunjukkan bahwa tingkat cekaman garam berpengaruh

nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai S. alba pada umur 3 bulan. Namun, uji Dunnett P < 0,05 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada berbagai tingkat cekaman garam garam tidak berbeda signifikan pengaruhnya terhadap perlakuan kontrol.

Konsentrasi cekaman garam akan sangat mempengaruhi pertumbuhan tinggi semai S. alba. Gambar 1A menunjukkan tinggi maksimal semai S. alba

0 1 2 3 4 5 6

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

T inggi ( cm ) Cekaman Garam A 0 0,05 0,1 0,15 0,2

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

D ia m et er ( m m ) Cekaman Garam B


(32)

berada pada konsentrasi cekaman garam 1,5%, dan ketika konsentrasi cekaman garam dinaikkan menjadi 2%, rata-rata pertumbuhan tinggi semai S. alba menurun di bawah rata-rata perlakuan kontrol. Umumnya mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan, khususnya cekaman garam. Pertumbuhan tinggi semai S. alba yang terbaik pada 1,5% didukung oleh Ghufran (2012) yang menyatakan bahwa tumbuhan mangrove seperti S. alba umumnya tumbuh di tepian laut dan cenderung lebih suka pada cekaman garam yang normal. Mangrove dapat tumbuh pada air asin karena akar maupun daunnya mampu untuk mengeluarkan atau mensekresi garam.

Flora mangrove baik mayor maupun minor dapat tumbuh dengan baik tanpa dipengaruhi oleh cekaman garam. Namun jika konsentrasi cekaman garam

terlalu tinggi, maka mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik. Hutahaen et al. (1999) melaporkan bahwa respons pertumbuhan tinggi mangrove

yang baik diperoleh pada cekaman garam yang rendah. Hal ini disebabkan oleh tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang toleran terhadap garam (salt

tolerance). Mangrove juga dapat tumbuh pada air tawar, tetapi mangrove akan

tumbuh maksimum pada pertengahan antara air tawar dan air laut. Talib (2008) menyatakan bahwa kondisi fisika kimia perairan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh volume air tawar dan air laut yang bercampur. Mangrove tumbuh dengan baik dari ketinggian permukaan laut sampai dengan rata-rata permukaan pasang. Jenis tanaman mangrove bukan saja harus toleran terhadap garam, melainkan juga harus mampu untuk menahan kondisi tergenang dan kondisi-kondisi bawah yang anaerobik.


(33)

terdapat pada cekaman garam 1,5% dengan diameter rata-rata 0,138 mm dan diameter paling kecil terdapat pada cekaman garam 2% dengan diameter rata-rata 0,123 mm. Uji Dunnet P < 0,05 menunjukkan bahwa pemberian berbagai konsentrasi cekaman garam tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap pertumbuhan diameter semai S. alba umur 3 bulan, karena diameter S. alba masih sangat kecil untuk menunjukkan adanya perbedaan pengaruh lingkungan yang diterimanya.

Pertumbuhan tinggi semai S. alba umur 3 bulan terbaik pada konsentrasi cekaman garam 1,5% diikuti juga dengan pertambahan diameter semai S. alba tertinggi pada cekaman garam 1,5%, karena mangrove umumnya membutuhkan

unsur NaCl selama pertumbuhannya, namun dalam dosis yang cukup. Prayunita (2012) menyatakan bahwa pertambahan tinggi semai mangrove yang

optimal berada pada cekaman garam 1,5%, dan pertumbuhan diameter juga optimal pada cekaman garam 1,5%. Hal ini dikarenakan kandungan garam yang berada pada cekaman garam 1,5% cukup untuk pertumbuhan semai mangrove.

A.2 Pengaruh Cekaman Garam terhadap Jumlah Daun Semai S. alba

Pada Gambar 2, disajikan grafik pengaruh konsentrasi cekaman garam terhadap parameter pertambahan jumlah daun semai S. alba pada umur 3 bulan. Semai S. alba yang memiliki pertambahan jumlah daun paling banyak terdapat pada cekaman garam 0,5% dengan rata-rata jumlah daun 5 hingga 6 helai dan jumlah daun paling kecil terdapat pada cekaman garam 1,5 % dan 2% dengan rata-rata jumlah daun 4 helai. Uji Dunnet P < 0,05 menunjukkan tingkat konsentrasi garam yang diberikan tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap pertambahan jumlah daun S. alba pada umur 3 bulan. Pertambahan jumlah daun


(34)

terbanyak S. alba yang berada pada konsentrasi cekaman garam 0,5% disebabkan karena jumlah garam yang diserap oleh semai S. alba pada cekaman garam 0,5% masih dianggap cukup, dan belum berlebihan bagi pertumbuhan semai S. alba.

Gambar 2. Pengaruh cekaman garam terhadap pertambahan jumlah daun S. alba pada umur 3 bulan. Data merupakan rata-rata perlakuan (n = 3 – 8) ± SE.

S. alba merupakan salah satu mangrove yang dapat mengontrol

keseimbangan garam dengan cara mengeluarkan kelebihan garam dalam jaringan tubuhnya melalui mekanisme menggugurkan daun tua yang mengandung garam terakumulasi, serta melakukan tekanan osmotik pada akar. Pada parameter jumlah daun ini, yang diamati adalah pertambahan jumlah daun semai selama 3 bulan, bukan jumlah daun pada pengamatan terakhir. Hal ini disebabkan karena selama pemeliharaan di rumah kaca, daun-daun tua semai mengalami penguningan, mengering, dan kemudian gugur. Umumnya, tanaman yang tercekam garam akan mengalami penurunan jumlah kloroplas, sehingga menyebabkan daun menjadi kuning dan akhirnya mengganggu proses fotosintesis tanaman, serta mempercepat proses gugurnya daun. Atmoko dan Kade (2007) melaporkan bahwa mangrove

S. alba mampu menyimpan kadar garam yang tinggi pada daun tua, sehingga

konsentrasi garam pada daun muda akan berkurang. Garam dikeluarkan dari pohon bersamaan dengan gugurnya daun tua. Hutching and Saenger (1987) juga

0 1 2 3 4 5 6 7

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

Jum

la

h

da

un

(he

la

i)


(35)

melaporkan bahwa pada tumbuhan yang mempunyai kelenjar pengeluaran garam konsentrasi Na+ dan Cl- yang tinggi pada daun tua. Tingkat konsentrasi garam yang tinggi juga dapat mengakibatkan daun tua cepat gugur.

A.3 Pengaruh Cekaman Garam terhadap Berat Basah Akar, Berat Kering Akar, dan Kadar Air Akar Semai S. alba

Pengaruh cekaman garam terhadap parameter berat basah akar, berat kering akar, dan kadar air akar semai S. alba disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Pengaruh cekaman garam terhadap berat basah akar (A), berat kering akar (B), dan kadar air akar (C) semai S. alba pada umur 3 bulan. Data merupakan rata-rata pengukuran (n = 10) ± SE.

Berdasarkan Gambar 3A, semai S. alba yang tumbuh pada cekaman garam 1,5% dengan rata-rata 0,034 g memiliki berat basah akar tertinggi dan terendah terdapat pada cekaman garam 0% dengan rata-rata berat basah akar 0,018 g. Hasil

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

B er at b as ah ak ar ( g ) Cekaman Garam A 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

B er at k er in g ak ar ( g ) Cekaman Garam B 0 10 20 30 40 50

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

K ad ar ai r ak ar ( %) Cekaman Garam C


(36)

Uji Dunnett P < 0,05, menunjukkan perlakuan cekaman garam dengan konsentrasi 0,5% dan 1,5% berbeda signifikan pengaruhnya jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Perbedaan ini terjadi karena perbandingan antara berat basah akar pada perlakuan kontrol jauh lebih rendah nilainya jika dibandingkan dengan berat basah akar pada kondisi tercekam garam dengan konsentrasi 0,5% dan 1,5%.

Gambar 3B menunjukkan bahwa pada cekaman garam 1,5% dengan rata-rata 0,021 g memiliki berat kering akar tertinggi dan terendah terdapat pada cekaman garam 0% dengan rata-rata berat kering akar 0,012 g. Hasil Uji Dunnett

P < 0,05 menunjukkan bahwa tingkat cekaman garam tidak memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap berat kering akar S. alba umur 3 bulan. Pangaribuan (2001) menyatakan bahwa cekaman garam yang tinggi akan

menyebabkan proses respirasi dan fotosintesis tidak seimbang. Jika respirasi lebih besar dari pada fotosintesis maka berat kering tanaman semakin berkurang.

Gambar 3C menunjukkan semai S. alba yang memiliki kadar air akar tertinggi terdapat pada cekaman garam 0,5% dengan rata-rata kadar air akar 36,317% dan kadar air paling kecil terdapat pada cekaman garam 3% dengan rata-rata kadar air akar 21,968%. Uji Dunnet P < 0,05 menunjukkan tingkat cekaman garam tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap kadar air akar semai S.

alba umur 3 bulan.

Pada parameter kadar air akar, dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi cekaman garam yang diberikan, maka akan semakin rendah kadar air yang dikandung tanaman tersebut. Martuti (2013) melaporkan bahwa pemberian konsentrasi garam (salinitas) menyebabkan jumlah air dalam tanaman berkurang dan turgor sel-sel penutup stomata turun. Penurunan turgor stomata


(37)

mengakibatkan proses fotosintesis terhambat sehingga jumlah asimilat yang dihasilkan oleh tanaman semakin berkurang dan proses respirasi meningkat sehingga berat kering tanaman menjadi menurun. Bintoro (1983) melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi garam terlarut dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik antara akar dan larutan tanah. Akibatnya, jumlah air yang masuk ke dalam akar tanaman akan berkurang atau jumlah air yang tersedia menipis.

A.4 Pengaruh Cekaman Garam terhadap Berat Basah Tajuk, Berat Kering Tajuk, dan Kadar Air Tajuk Semai S. alba

Pengaruh cekaman garam terhadap berat basah tajuk, berat kering tajuk, dan kadar air tajuk semai S. alba pada umur 3 bulan disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4A menunjukkan bahwa semai S. alba yang tumbuh pada cekaman garam 0,5% dengan rata-rata 0,130 g memiliki berat basah tajuk tertinggi dan terendah terdapat pada cekaman garam 0% dengan rata-rata berat basah tajuk 0,032 g. Uji Dunnet P < 0,05 menunjukkan bahwa tingkat cekaman garam tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap berat basah tajuk semai S. alba berumur 3 bulan.

Berdasarkan Gambar 4B dapat diketahui bahwa berat kering tajuk semai

S. alba yang tumbuh pada cekaman garam 3% dengan rata-rata berat kering tajuk

0,028 g memiliki berat kering tajuk tertinggi dan terendah terdapat pada cekaman garam 0% dengan rata-rata berat kering tajuk 0,014 g. Uji Dunnet P < 0,05 menunjukkan bahwa tingkat cekaman garam tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap berat kering tajuk semai S. alba.


(38)

Gambar 4. Pengaruh cekaman garam terhadap berat basah tajuk (A), berat kering tajuk (B), dan kadar air tajuk (C) semai S. alba pada umur 3 bulan. Data merupakan rata-rata pengukuran (n = 5 - 9) ± SE.

Syah (2011) melaporkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman dapat didefinisikan sebagai bertambah besarnya tanaman yang diikuti oleh peningkatan bobot kering. Ahli tanah umumnya mendefinisikan pertumbuhan sebagai peningkatan bahan kering. Perkembangan dan morfogenesis tanaman disebabkan oleh 3 hal, yaitu pertumbuhan karena pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel. Pertumbuhan suatu tanaman adalah pertambahan tumbuh dalam besar serta pembentukan jaringan baru. Pertumbuhan dapat juga diukur dari berat seluruh tanaman (biomassa).

Gambar 4C menunjukkan bahwa kadar air tajuk semai S. alba yang paling tinggi terdapat pada cekaman garam 3% dengan rata-rata kadar air tajuk

0 0,05 0,1 0,15 0,2

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

B er at b as ah t aj u k ( g ) Cekaman Garam A 0 0,01 0,02 0,03 0,04

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

B er at ke ri ng ta juk (g) Cekaman Garam B 0 20 40 60 80

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

K ad ar ai r taj u k ( %) Cekaman Garam C


(39)

66,949% dan kadar air tajuk paling kecil terdapat pada cekaman garam 2% dengan rata-rata kadar air tajuk 50,663%. Uji Dunnet P < 0,05 juga menunjukkan bahwa tingkat cekaman garam tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap kadar air tajuk. Dwidjoseputro (1980) melaporkan bahwa jika tanaman dikeringkan pada suhu 100oC, maka akan diperoleh bahan kering yang terdiri dari zat-zat organik. Kandungan air pada tanaman dapat mencapai 70% atau lebih dari berat basah tanaman. Umumnya tanaman tahunan mengandung 50% air dari total berat basahnya.

Campbell (2003) menyatakan bahwa kelebihan garam (NaCl) dapat mengancam tumbuhan karena dua alasan. Pertama, dengan cara menurunkan potensial air larutan tanah. Garam dapat menyebabkan kekurangan air pada tumbuhan meskipun tanah tersebut mengandung banyak sekali air karena potensial air lingkungan yang lebih negatif dibandingkan dengan potensial air jaringan akar, sehingga tanaman akan kehilangan air, bukan menyerapnya. Kedua, pada tanah bergaram, natrium dan ion-ion tertentu lainnya dapat menjadi racun bagi tumbuhan jika konsentrasinya relatif tinggi. Membran sel akar yang selektif akan menghambat pengambilan sebagian besar ion yang berbahaya, akan tetapi hal ini akan memperburuk permasalahan pengambilan air dari tanah yang kaya akan zat terlarut.

Tingkat cekaman garam yang terlalu tinggi dapat menimbulkan stres dan menimbulkan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman pada umumnya. Tingkat kematian yang tinggi pada semai S. alba ini dapat disebabkan oleh sel tanaman yang mengalami stres cekaman garam bersamaan dengan stres akibat cekaman air. Hal ini mengakibatkan sistem perakaran tanaman mengalami cekaman air dan


(40)

oksigen sehingga tidak dapat berfungsi seperti biasanya. Apabila perakarannya tidak berfungsi, maka penyerapan unsur hara akan terganggu dan menyebabkan tanaman mengalami kelayuan hingga kematian.

A.5 Pengaruh Cekaman Garam terhadap Rasio Tajuk dan Akar Semai

S. alba

Pengaruh cekaman garam terhadap rasio tajuk dan akar semai S. alba pada umur 3 bulan disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Rasio tajuk dan akar semai S. alba pada umur 3 bulan. Data merupakan rata-rata perlakuan (n = 5 - 9) ± SE.

Berdasarkan gambar 5, rasio tajuk dan akar semai S. alba yang paling besar nilainya terdapat pada cekaman garam 3% dengan rata-rata 1,622 dan rasio tajuk akar terendah terdapat pada cekaman garam 1,5% dengan rata-rata 1,066. Uji Dunnet P < 0,05 menunjukkan bahwa tingkat cekaman garam tidak

berpengaruh nyata terhadap rasio tajuk dan akar semai S. alba pada umur 3 bulan. Lopez-Hoffman et al. (2007) menyebutkan bahwa berat kering tanaman dan laju

pertumbuhannya dipengaruhi juga oleh intensitas cahaya dan cekaman garam. Rasio akar-daun menjadi lebih tinggi pada cekaman garam tinggi.

Kemampuan hidup semai akan lebih tinggi pada cekaman garam lebih rendah. Krauss et al. (2008) juga melaporkan bahwa pertumbuhan awal tanaman

0 0,4 0,8 1,2 1,6 2

0% 0,5% 1,5% 2% 3%

R

as

io

ta

juk

da

n

aka

r


(41)

mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor global seperti temperatur dan faktor spesifik lokasi seperti cekaman garam. Cekaman garam memainkan peranan penting pada adaptasi pertumbuhan mangrove. Pertumbuhan semai akan memperluas distribusi mangrove dan meningkatkan rehabilitasi mangrove. Meskipun mangrove adalah salah satu jenis halofita, namun semainya sensitif terhadap cekaman garam, substrat yang bergaram mempengaruhi banyak aspek seperti aspek pertumbuhan dan fisiologinya.

B. Analisis Regresi Linear antara Perlakuan Cekaman Garam terhadap Parameter Pengamatan

Respons cekaman garam terhadap parameter pengamatan secara sederhana dapat digambarkan melalui hubungan fungsional antar dua variabel. Tujuan dari analisis regresi ini adalah untuk memprediksi nilai dan arah hubungan variabel parameter pengamatan berdasarkan variabel tingkat cekaman garam melalui suatu persamaan.

B.1 Analisis Regresi Linear Cekaman Garam terhadap Tinggi dan Diameter Hasil analisis regresi linear sederhana antara tingkat cekaman garam terhadap parameter tinggi dan diameter semai S. alba disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Hasil analisis regresi linear sederhana antara variabel cekaman garam terhadap tinggi (A) dan diameter (B) semai S. alba pada umur 3 bulan.

y = -29,310x + 3,569 R² = 0,126

0 1 2 3 4 5

0% 1% 2% 3%

T inggi ( cm ) Cekaman Garam A

y = -0,300x + 0,135 R² = 0,023

0 0,05 0,1 0,15 0,2

0% 1% 2% 3%

D ia m et er ( m m ) Cekaman Garam B


(42)

Gambar 6 menunjukkan hubungan antara variabel bebas cekaman garam (x) terhadap variabel terikat tinggi dan diameter (y). Berdasarkan Gambar 6A, diperoleh nilai y = -29,310x + 3,569. Jika nilai cekaman garam berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan turun sebesar 29,310 satuan menjadi -25,741. Semakin besar perubahan yang terjadi pada variabel cekaman garam, maka akan semakin tinggi penurunan yang terjadi pada variabel tinggi. Koefisien determiniasi (R2) menunjukkan kemampuan variabel cekaman garam mempengaruhi variabel tinggi. Nilai R2 pada Gambar 6A adalah 0,126 atau 12,6%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi tinggi semai S. alba hanya sebesar 12,6%. Sisanya sekitar 87,4% variabel tinggi semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

Variabel bebas selain cekaman garam yang dapat mempengaruhi pertumbuhan semai S. alba adalah media tumbuh. Media (pasir sungai) yang digunakan dalam penelitian ini merupakan media yang sangat miskin unsur hara dan menyebabkan semai S. alba tidak mampu menunjukkan respon pertumbuhan yang maksimal. Kondisi media yang selalu tergenang juga menyebabkan media tanam tidak mampu menyediakan oksigen bagi akar.

Dahuri (2003) melaporkan bahwa mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus. Sirkulasi yang tetap (terus-menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrient, untuk keperluan respiasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Mangrove tumbuh pada berbagai jenis substrat dan bergantung pada proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove.


(43)

Gambar 6B menunjukkan nilai y = -0,300 x + 0,135. Jika nilai x berubah

sebesar satu satuan, maka nilai y akan turun sebesar 0,300 satuan menjadi -0,165. Semakin besar perubahan yang terjadi pada variabel cekaman garam,

maka akan semakin tinggi pula penurunan yang terjadi pada variabel diameter. Pada Gambar 6B, terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) = 0,023 atau 2,3%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel diameter semai S. alba hanya sebesar 2,3% dan sekitar 97,7% variabel diameter dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

Tanaman membutuhkan kondisi lingkungan yang baik sehingga dapat menunjukkan respons pertumbuhan yang baik. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa untuk dapat berkembang dengan baik dan menyelesaikan siklus hidupnya secara lengkap, tanaman membutuhkan keadaan lingkungan yang optimum untuk mengekspresikan kemampuan genetiknya secara optimal.

B.2 Analisis Regresi Linear Cekaman Garam terhadap Jumlah Daun

Hasil analisis regresi linear sederhana antara tingkat cekaman garam terhadap parameter jumlah daun semai S. alba disajikan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Hasil analisis regresi linier antara variabel cekaman garam terhadap jumlah daun semai S. alba pada umur 3 bulan.

y = -10,712x + 4,793 R² = 0,021

0 1 2 3 4 5 6 7

0% 1% 2% 3%

Jum

la

h

da

un

(he

la

i)


(44)

Gambar 7 menunjukkan nilai y = -10,712 x + 4,793. Jika nilai x berubah

sebesar satu satuan, maka nilai y akan turun sebesar 10,712 satuan menjadi -5,919. Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) =

0,021 atau 2,1%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel jumlah daun semai S. alba hanya sebesar 2,1%. Sisanya sekitar 97,9% variabel jumlah daun semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

B.3 Analisis Regresi Linear Cekaman Garam terhadap Berat Basah Akar, Berat Kering Akar, dan Kadar Air Akar

Hasil analisis regresi linear sederhana antara cekaman garam terhadap berat basah akar, berat kering akar, dan kadar air akar disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 8. Hasil analisis regresi linear antara variabel cekaman garam terhadap berat

basah akar (A), berat kering akar (B), dan kadar air akar (C) semai

S. alba pada umur 3 bulan.

y = 0,118x + 0,026 R² = 0,011

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07

0% 1% 2% 3%

B er at b as ah ak ar ( g ) Cekaman Garam A

y = 0,169x + 0,0158 R² = 0,049

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05

0% 1% 2% 3%

B er at k er in g ak ar ( g ) Cekaman Garam B

y = -427,630x + 36,082 R² = 0,065

0 10 20 30 40 50 60 70

0% 1% 2% 3%

K ad ar ai r ak ar ( %) Cekaman Garam C


(45)

Gambar 8A menunjukkan nilai y = 0,118 x + 0,026. Jika nilai x berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan naik sebesar 0,118 satuan menjadi 0,144. Semakin besar perubahan yang terjadi pada variabel cekaman garam, maka akan semakin tinggi pula kenaikan yang terjadi pada variabel berat basah akar. Pada Gambar 8A juga terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) = 0,011 atau 1,1%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel berat basah akar semai S. alba hanya sebesar 1,1%. Sisanya sekitar 98,9% variabel berat basah akar semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

Berdasarkan Gambar 8B, nilai y = 0,169 x + 0,016. Jika nilai x berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan naik sebesar 0,169 satuan menjadi 0,185. Pada Gambar 8B juga terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2)= 0,049 atau 4,9%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel bertat kering akar semai S. alba hanya sebesar 4,9%. Sisanya sekitar 95,1% variabel berat kering akar semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

Gambar 8C menunjukkan nilai y = -427,630x + 36,082. Jika nilai x berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan turun sebesar 427,630 satuan menjadi -391,548. Pada Gambar 8C, terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) = 0,065 atau 6,5%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel kadar air akar semai S. alba hanya sebesar 6,5%. Sisanya sekitar 93,5% variabel kadar air akar semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.


(46)

B.4 Analisis Regresi Linear Cekaman Garam terhadap Berat Basah Tajuk, Berat Kering Tajuk, dan Kadar Air Tajuk

Hasil analisis regresi linear sederhana antara tingkat cekaman garam terhadap parameter berat basah tajuk, berat kering tajuk, dan kadar air tajuk semai

S. alba disajikan dalam Gambar 9.

Gambar 9. Hasil analisis regresi linear antara variabel tingkat cekaman garam terhadap

berat basah tajuk (A), berat kering tajuk (B), dan kadar air tajuk (C) semai

S. alba pada umur 3 bulan.

Gambar 9A menunjukkan nilai y = 0,629 x + 0,069. Jika nilai x berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan naik sebesar 0,629 satuan menjadi 0,698. Pada Gambar 9A juga terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2)= 0,009 atau 0,9%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel berat basah tajuk semai S. alba hanya sebesar 0,9%.

y = 0,629x + 0,069 R² = 0,009

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

0% 1% 2% 3%

B er at b as ah t aj u k ( g ) Cekaman Garam A

y = 0,315x + 0,017 R² = 0,084

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1

0% 1% 2% 3%

B er at ke ri ng ta juk (g) Cekaman Garam B

y = 431,280x + 50,037 R² = 0,047

0 20 40 60 80 100

0% 1% 2% 3%

K ad ar ai r taj u k ( %) Cekaman Garam C


(47)

Sisanya sekitar 99,1% variabel berat basah tajuk semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

Berdasarkan Gambar 9B, nilai y = 0,314 x + 0,017. Jika nilai x berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan naik sebesar 0,314 satuan menjadi 0,331. Pada Gambar 9B juga terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2)= 0,084 atau 8,4%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel berat kering tajuk semai S. alba hanya sebesar 8,4%. Sisanya sekitar 91,6% variabel berat kering tajuk semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

Gambar 9C menunjukkan nilai y = 431,280 x + 50,037. Jika nilai x berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan naik sebesar 431,28 satuan menjadi 481,317. Semakin besar perubahan yang terjadi pada variabel cekaman garam, maka akan semakin tinggi pula kenaikan yang terjadi pada variabel kadar air tajuk. Lakitan (2008) menyatakan bahwa tumbuhan banyak mengandung air di dalam sel-selnya. Hal ini yang menyebabkan suhu dan pertumbuhan tanaman relatif stabil. Dahuri (2003) juga menyatakan bahwa mangrove memiliki banyak jaringan internal penyimpanan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia dan Sonneratia mempunyai kelenjar yang dapat mengeluarkan garam melalui daunnya sehingga dapat menjaga keseimbangan osmotik.

Pada Gambar 9C juga terlihat bahwa nilai Koefisien determinasi (R2) adalah 0,047 atau 4,7%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel kadar air tajuk semai S. alba hanya sebesar


(48)

4,7%. Sisanya sekitar 95,3% variabel kadar air tajuk semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

B.5 Analisis Regresi Linear antara Variabel Cekaman Garam terhadap Rasio Tajuk dan Akar

Hasil analisis regresi linear sederhana antara tingkat cekaman garam terhadap parameter rasio tajuk dan akar semai S. alba disajikan dalam Gambar 10.

Gambar 10. Hasil analisis regresi linear antara variabel cekaman garam terhadap rasio tajuk dan akar semai S. alba pada umur 3 bulan.

Gambar 10 menunjukkan nilai y = 5,742 x + 1,322. Jika nilai x berubah sebesar satu satuan, maka nilai y akan naik sebesar 5,742 satuan menjadi 7,064. Pada Gambar 10 juga terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2)adalah 0,012 atau 1,2%. Nilai ini menunjukan kemampuan variabel cekaman garam dalam mempengaruhi variabel kadar air tajuk semai S. alba hanya sebesar 1,2%. Sisanya sekitar 98,8% variabel rasio tajuk dan akar semai dipengaruhi oleh variabel bebas selain cekaman garam.

C. Analisis Korelasi Tingkat Cekaman Garam dan Parameter Pengamatan Analisis korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan hubungan linear antara dua variabel. Hasil analisis korelasi cekaman garam terhadap parameter maupun korelasi antar parameter disajikan dalam Tabel 1.

y = 5,742x + 1,322 R² = 0,012

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

0% 1% 2% 3%

R

as

io

ta

juk

da

n

aka

r


(49)

Tabel 1. Koefisien korelasi antar parameter pengamatan semai S. alba

CG T D JD BBA BKA KAA BBT BKT KAT RTA CG 1

T -0,355 1

D -0,152 -0,120 1

JD -0,144 0,080 -0,028 1

BBA 0,106 0,172 0,521** 0,089 1

BKA 0,222 0,116 0,557** 0,027 0,819** 1

KAA -0,255 0,314 0,092 0,280 0,425** -0,112 1

BBT 0,095 -0,077 0,159 0,127 0,319 0,285 0,204 1 BKT 0,290 -0,038 0,430* 0,129 0,460** 0,695** -0,110 0,640** 1 KAT 0,217 -0,176 -0,292 -0.077 0,083 -0,071 0,159 0,632** 0,202 1 RTA 0,108 -0,114 -0,324 0,213 -0,419* -0,392* -0,019 0,423* 0,294 0,375* 1

Keterangan : ** = Korelasi signifikan pada taraf 0,01, * = Korelasi signifikan pada taraf 0,05, CG = Cekaman Garam, T = Tinggi, D = Diameter, JD = Jumlah Daun, BBA = Berat Basah Akar, BKA = Berat Kering Akar, KAA = Kadar Air Akar, BBT = Berat Basah Tajuk, BKT = Berat Kering Tajuk, BKT= Berat Kering Tajuk,

RTA = Rasio Tajuk dan Akar

Berdasarkan analisis koefisien korelasi, perlakuan cekaman garam yang diberikan berkorelasi positif terhadap berat basah akar, berat kering akar, berat

basah tajuk, berat kering tajuk, kadar air tajuk, dan rasio tajuk akar semai

S. alba. Hal ini dapat dilihat nilai koefisien korelasi yang bernilai positif.

Nilai koefisien korelasi yang termasuk kategori 0 < r < 0,50 menunjukkan kekuatan korelasi yang lemah negatif, dan menunjukkan hubungan antar variabel tidak terlalu sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada variabel cekaman garamnya (Sunyoto, 2012).

Perlakuan cekaman garam berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, dan kadar air akar semai S. alba. Nilai koefisien korelasi (r) termasuk kategori 0 > r > -0,50 dan menunjukkan kekuatan korelasi yang lemah negatif, sehingga variabel paremeter tinggi, diameter, jumlah daun, dan kadar air akar tidak terlalu sensitif hubungannya terhadap perubahan yang terjadi pada variabel cekaman garamnya (Sunyoto, 2012). Supriharyono (2000) menyatakan bahwa spesies mangrove dapat tumbuh pada cekaman garam yang ekstrim atau sangat tinggi, namun biasanya pertumbuhannya kurang baik atau pendek-pendek. Heddy (2001) melaporkan bahwa analisis pertumbuhan tanaman


(50)

hanya dapat memberikan sedikit informasi tentang proses-proses fisiologis yang mengatur reaksi tanaman terhadap faktor-faktor lingkungan.

Tabel 1 menunjukkan bahwa diameter berkorelasi positif dan signifikan pada taraf 0,01 terhadap berat basah akar dan berat kering akar. Konteks ini menunjukkan bahwa pertambahan diameter semai juga akan menyebabkan meningkatkannya berat basah akar dan berat kering akar semai S. alba.

D. Analisis Non-saponifiable Lipids (NSL) dan Polyisoprenoid

Hasil analisis Non-saponifiable (NSL) dan polyisoprenoid semai S. alba disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis NSL dan polyisopremoid pada tajuk dan akar semai S. alba. Data merupakan rata-rata ulangan (n = 3).

Jenis Jaringan Perlakuan Berat Kering (g) NSL (mg/g) Polyisoprenoid (g)

S. alba Tajuk 0% 0,058 0,120 0,0021

Akar 0% 0,057 0,073 0,0013

S. alba Tajuk 3% 0,057 0,093 0,0016

Akar 3% 0,063 0,233 0,0037

Analisis terhadap kandungan polyisoprenoid dilakukan pada bagian tajuk dan akar S. alba dengan konsentrasi cekaman garam 0% (kontrol) dan 3%.

Berdasarkan Tabel 1, kandungan polyisoprenoid tertinggi terdapat pada akar

S. alba dengan konsentrasi cekaman garam 3%, yaitu dengan nilai 0,0037 g,

sedangkan kandungan polyisoprenoid terendah terdapat pada akar S. alba pada kosentrasi cekaman garam 0%, dengan nilai 0,0013 g. Namun, jika dibandingkan perlakuan 0% dengan cekaman garam 3%, semai S. alba dengan cekaman garam 3% (0,0053 g) memiliki kandungan polyisoprenoid yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan polyisoprenoid semai S. alba dengan perlakuan 0% (0,0034 g).


(51)

Sebelum kandungan polyisoprenoid dianalisis, terlebih dahulu dilakuakan analisis NSL. Komposisi lipid dalam tumbuhan pada umumnya menunjukkan adanya keragaman antar spesies. Oku et al. (2003) melaporkan bahwa S. alba memiliki 19,3% wax ester dari total lipid yang dimiliki. Bagian utama lipid yang ada di daun maupun akar adalah asam lemak ester. Pada umumnya, lipid pada mangrove mengandung phytosterols.

Penggunaan data NSL lebih baik dibandingkan dengan data hasil

saponifiable lipids dalam proses penentuan kandungan polyisoprenoid.

Basyuni et al. (2007) melaporkan NSL pada dasarnya menunjukkan bagian lipid yang sederhana, yang mengandung sterol, rantai panjang alkohol, dan alkanes. NSL umumnya mewakili fraksi lipid yang lebih stabil daripada saponifiable lipids (asam lemak). NSL juga resisten terhadap degradasi yang disebabkan mikroba. E. Analisis Polyisoprenoid dengan One-Dimensional Plate Thin-Layer

Chromatography (1D-TLC)

Untuk menentukan polyisoprenoid yang terkandung dalam S. alba yang telah diberikan perlakuan cekaman garam, dilakukan penelitian menggunakan 1D-TLC. Hasil analisis 1D-TLC semai S. alba disajikan dalam Gambar 11. Std. merupakan standar keberadaan dolichol pada makhluk hidup. Senyawa dolichol umumnya terdapat pada hewan dan sangat jarang terdapat pada tumbuhan. Pada Gambar 11, dapat dilihat bahwa tidak ditemukan senyawa dolichol pada tajuk maupun akar semai S. alba umur 3 bulan. Namun, tidak ditemukannya senyawa dolichol ini dapat juga disebabkan oleh jumlah berat kering tanaman serta total kandungan polyisoprenoid untuk masing-masing perlakuan yang tidak mencukupi untuk dilakukannya analisis polyisoprenoid. Kecilnya berat kering tanaman yang dihasilkan dalam penelitian ini terjadi karena tingkat kematian S. alba di rumah


(52)

kaca yang tinggi selama penelitian serta semai S. alba pada umur 3 bulan masih sangat kecil ukurannya.

Gambar 11. Hasil analisis polyisoprenoid famili dolichol pada semai S. alba menggunakan 1D-TLC. (Std) standard dolichol, (1,2 dan 3) dolichol pada daun S. alba perlakuan 0%, (4,5 dan 6) dolichol pada daun

S. alba perlakuan cekaman garam 3%, (7,8 dan 9) dolichol pada

akar S. alba perlakuan 0%, (10,11 dan 12) dolichol pada akar S. alba

perlakuan cekaman garam 3%.

Rendahnya tingkat kesuburan tanah yang hanya menggunakan media pasir juga menjadi salah satu penyebab rendahnya berat kering tanaman S. alba yang diperoleh. Selama masa pertumbuhannya, mangrove S. alba sangat membutuhkan unsur hara yang berasal substrat lumpur sebagai sumber nutrisi. Lakitan (2008) melaporkan bahwa tanaman tidak dapat melengkapi daur hidupnya jika unsur hara esensial tidak tersedia pada media tumbuh. Dahuri (2003) menambahkan mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak


(53)

besar dengan arus pasang surut yang kuat karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai sumber hara bagi pertumbuhannya. MacNae (1968) menyatakan bahwa mangrove berjenis

Sonneratia tumbuh pada lumpur lembek dengan kandungan bahan organik yang

tinggi. Dwidjoseputro (1980) melaporkan bahwa suatu tanaman akan tumbuh dengan baik apabila segala unsur yang dubutuhkannya untuk tumbuh tersedia dengan cukup dan unsur tersebut dalam bentuk tersedia dan dapat digunakan oleh tanaman.

Tingkat cekaman garam juga sangat mempengaruhi pertumbuhan semai

S. alba. Ubudiyah dan Tutik (2013) melaporkan adanya cekaman cekaman garam

dengan konsentrasi tertentu dapat menyebabkan penyerapan hara dan pengambilan air terhalang sehingga menyebabkan pertumbuhan abnormal atau lambat. Selain itu, sebuah kondisi biologis yang mampu memberikan efek cekaman pada suatu tanaman dimungkinkan memberikan efek yang menguntungkan bagi tanaman yang lainnya. Sel yang terpapar oleh cekaman garam (NaCl) akan menghabiskan lebih banyak energi metabolismenya daripada pada kondisi tanpa cekaman garam (NaCl), sehingga energi yang dihasilkan lebih banyak digunakan untuk mengatur penyesuaian osmotik dan berdampak pada penurunan massa sel dan berdampak pada pengurangan rata-rata massa sel pada konsentrasi NaCl yang semakin tinggi.


(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Konsentrasi cekaman garam 1,5% memberikan respon pertumbuhan terbaik bagi semai S. alba.

2. Kandungan polyisoprenoid pada tajuk S. alba tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol (0,0021 g) sedangkan kandungan polyisoprenoid pada pada akar tertinggi terdapat pada perlakuan 3% (0,0037 g).

3. Analisis 1D-TLC menunjukkan bahwa cekaman garam tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid famili dolichol pada semai S. alba pada umur 3 bulan.

Saran

Sebaiknya, S. alba ditanam dan dirawat selama 6 hingga 9 bulan sebelum dilakukan analisis polyisoprenoid agar berat kering tanaman yang dibutuhkan dapat terpenuhi. Untuk mengurangi tingkat kematian semai, media tanam sebaiknya menggunakan sedimen/tanah dibawah tegakan mangrove agar kebutuhan nutrisi semai S. alba dapat terpenuhi selama proses pertumbuhannya.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Azuma, M., Toyota, M., Asakawa, Y., Takaso, T., dan Tobe, H. 2002. Floral scent

chemistry of mangrove plants. Journal of Plant Res 115: 47-53.

Atmoko, T. dan Kade, S. 2007. Hutan mangrove dan peranannya dalam melindungi ekosistem pantai. Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari. Balikpapan.

Banerjee, D., Chakrabarti. S., Hazra.A.K., Banerjee.S., Ray.J., dan Mukherjee, B. 2008. Antioxidant activity and total phenolics of some mangroves in Sundarbans. African Journal of Biotechnology 7: 805-810.

Bandaranayake, W.M. 2002. Bioactivities, bioactive compounds and chemical constituents of mangrove plants. Wetlands Ecol. Manage 10: 421-452. Basyuni, M., Oku, H., Baba, S., Takara, K., dan Iwasaki, H. 2007. Isoprenoids of

Okinawan mangroves as lipid input into estuarine ecosystem. Journal of

Ocenanography 63: 601-608.

Basyuni, M., Putri, L.A.P., Julayha, Nurainun, H., Oku,H. 2012. Non-saponifiable lipid composition of four salt-secretor and non-secretor mangrove species from North Sumatera, Indonesia. Makara Journal of Science 16(2): 89-94. Basyuni, M., Putri, L.A.P. dan Oku, H. 2013. Phytomedical investigation from six

mangrove species, North Sumatera, Indonesia. Ilmu Kelautan 18: 157-164. Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan sumber daya alam pesisir dan laut serta

prisnsip pengelolaannya. PKSPL. IPB. Bogor.

Bintoro, M. H. 1983. Pengaruh NaCl terhadap pertumbuhan beberapa kultivar tomat. Bul. Agron. 14(1) : 13-29.

Campbell. 2003. Biologi Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Ciepichal, E., Malgorzata J. R., Jozefina H., Ewa S., dan Kazimierz S. 2011. Configuration of polyisoprenoids affects the permeability and thermotropic properties of phospholipid/polyisoprenoid model membranes. Chemistry and Physics of Lipids 164: 300–306.

Chaiyadej, K., Wongthap, H., Vadhanavikit, S., dan Chantrapromma, K. 2004. Bioactive constituents from the twigs of Sonneratia alba. Walaik J. Sci.


(56)

Close, D.C. dan McArthur,C. 2002. Rethinking the role of many plant phenolics – protection from photodamage not herbivores. 99: 166-172.

Dahuri, R. J. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia. Jakarta. Ghufron, H. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan.

Rineka Cipta. Jakarta.

Heddy, S. 2001. Ekofisiologi Tanaman. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hutahaean, E. E., Kusmana, C., dan Dewi,H. R . 1999. Studi kemampuan tumbuh anakan mangrove jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza dan Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas. Jurnal Manajemen

Hutan Tropika 5:77-85.

Hutching, P. dan Saenger, P. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press, St. Lucia. Australia.

Ibata, K., Mizuno, M., Takigawa, T., dan Tanaka, Y. 1983. Long-chain beturaprenol-type polyprenols from the leaves of Ginko biloba.

Biochemical Journal 213: 305-311.

Jankowski, W., Kula-Swiezewska, E., Sasak, W., dan Chojnacki, T. 1994. Occurrence of polyprenols and dolichols in plants. Journal of Plant

Physiology 143-448.

Krauss, K.W., C. E. Lovelock, K. L. McKee, L. Lo´pez-Hoffman, S. M.L. Ewe, W. P. Sousa. 2008. Environmental drivers in mangrove establishment and early development: A review. Aquatic Botany 89: 105–127.

Kusumadewi, T., Siti,T., dan Ari, H.Y. 2014. Ekstrak metanol buah

Sonneratia alba sebagai penghambat pertumbuhan Helminthosporium sp.

yang diisolasi dari daun jagung. Jurnal Protobiont 3: 149–154.

Lakitan, B. 2008. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lopez-Hoffman, L., N.P.R. Anten, M. Martı´nez-Ramos, and D.D. Ackerly. 2007. Salinity and light interactively affect neotropical mangrove seedlings at the leaf and whole plant levels. Oecologia 150: 545–556.

MacNae,W. 1968. A General account of the fauna and flora of mangrove swamp and forest in the Indo-West pasific region. Adv. Mar. Biol, 6: 73 – 270.


(57)

Martuti, N.K.T. 2013. Keanekaragaman mangrove di wilayah Tapak, Tugurejo, Semarang. Jurnal MIPA 36(2) : 123-130.

Milon, A., Muhit, A., Goshwarni, D., Masud, M.M., dan Begum, B. 2012. Antioxidant, cytotoxic and antimicrobial activity of S. alba bark.

International Journal of Pharmaceutcal Sciences and Research 3: 2233-2237.

Minqing, T., Haofu, D., Xiaoming, L., dan Bingui, W. 2009. Chemical constituents of marine medicinal mangrove plant Sonneratia caseolaris.

Chinese Journal of Oceanology and Limnology 27: 288-296.

Noor, Y. R., Kazali, M., dan Suryadiputra, I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetland International Indonesia Programme. Oku, H., Baba, S., Koga, H., Takara, K., dan Iwasaki, H. 2003. Lipid composition

of mangrove and its relevance to salt tolerance. J. Plant Res 116: 37-45. Pangaribuan, N. 2001. Hardening dalam Upaya Mengatasi Efek Toksik pada

Tanaman Bayam (Amaranthus, sp). Hal: 25-29.

Prabowo, Y., Henky,I., Arief,P. 2014. Ekstraksi senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada daun mangrove Xylocarpus granatum dengan pelarut yang berbeda. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Riau.

Prayunita. 2012. Respon pertumbuhan dan biomassa semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) terhadap salinitas dan kandungan lipidnya pada tingkat pohon. Skripsi. USU. Medan.

Prihanto,A.A, Firdaus,M., dan Rahmi N. 2012. Bioprospeksi mangrove . Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.

Priya, P.D., Niranjana, C.S., dan Anjali, S.B. 2012. Sonneratia alba J. Smith A vital source og gamma linolenic acid (GLA). Asian J. of Pharmaceutical

and Clinical Research 5: 171-175.

Puspayanti, N. M., Tellu, H.A.T., dan Suleman, S.M. 2013. Jenis-jenis tumbuhan mangrove di Desa Lebo Kecamatan Parigi. e-Jipbiol 1: 1-9.

Sitompul, S.M. dan Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Spalding, M., Kainuma, M., dan Collins, L., 2010. World Atlas of Mangroves. Earthscan. London.


(1)

Lampiran 6. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter kadar air akar

Kelas

: Grup

Perlakuan

: 5

Nilai

: 1 2 3 4 5

Jumlah data yang diamati

: 50

Jumlah data yang digunakan : 50

6.1. Analysis of Varians (Anova)

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Pr > F Perlakuan 4 1535,34159 383,83540 1,21 0,3180 Galat 45 14223,20546 316,07123

Total 49 15758,54705 2,80

R-kuadrat Koefisien Keragaman Akar MSE Rata-Rata Data

0,097429 59,11313 17,77839 0,07520

6.2. Uji Dunnett

Alfa

0,05

Derajat bebas galat

45

Kuadrat tengah galat

316,0712

Nilai kritis Dunnett

2,53129

Perbandingan signifikan minimum

20,126

Perbandingan yang signifikan pada taraf 0,05 ditandai dengan ***.

Perbandingan

Grup Perbedaan Antar Rataan Simultaneous 95% Confidence Limit

2 – 1 3,883 -16,243 24,009

3 – 1 2,043 -18,083 22,169

4 – 1 -7,250 -27,376 12,876

5 - 1 -10,465 -30,591 9,661


(2)

Lampiran 7. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter berat basah tajuk

Kelas

: Grup

Perlakuan

: 5

Nilai

: 1 2 3 4 5

Jumlah data yang diamati

: 50

Jumlah data yang digunakan : 33

7.1. Analysis of Varians (Anova)

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Pr > F

Perlakuan 4 0,04286091 0,01071523 1,32 0,2870

Galat 28 0,22736333 0,00812012

Total 32 0,27022424 2,71

R-kuadrat Koefisien Keragaman Akar MSE Rata-Rata Data

0,158612 114,8141 0,090112 0,078485

7.2. Uji Dunnett

Alfa

0,05

Derajat bebas galat

28

Kuadrat tengah galat 0,00812

Nilai kritis Dunnett

2,58159

Perbandingan yang signifikan pada taraf 0,05 ditandai dengan ***.

Perbandingan

Grup Perbedaan Antar Rataan Simultaneous 95% Confidence Limit

2 – 1 0,09833 -0,03109 0,22776

5 – 1 0,06833 -0,05427 0,19094

3 – 1 0,02633 -0,11453 0,16720


(3)

Lampiran 8. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter berat kering tajuk

Kelas

: Grup

Perlakuan

: 5

Nilai

: 1 2 3 4 5

Jumlah data yang diamati

: 50

Jumlah data yang digunakan : 33

8.1. Analysis of Varians (Anova)

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Pr > F

Perlakuan 4 0,00086734 0,00021683 1,35 0,2771

Galat 28 0,00467441 0,00016119

Total 32 0,00554175 2,71

R-kuadrat Koefisien Keragaman Akar MSE Rata-Rata Data

0,156509 59,07508 0,012696 0,021491

8.2. Uji Dunnett

Afa

0,05

Derajat bebas galat

28

Kuadrat tengah galat 0,000161

Nilai kritis Dunnett

2,57282

Perbandingan yang signifikan pada taraf 0,05 ditandai dengan ***.

Perbandingan

Grup Perbedaan Antar Rataan Simultaneous 95% Confidence Limit

5 – 1 0,014089 -0,003127 0,031305

2 – 1 0,009829 -0,008344 0,028001

4 – 1 0,005183 -0,013675 0,024042

3 - 1 0,004100 -0,014759 0,022959


(4)

Lampiran 9. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter kadar air tajuk

Kelas

: Grup

Perlakuan

: 5

Nilai

: 1 2 3 4 5

Jumlah data yang diamati

: 50

Jumlah data yang digunakan : 33

9.1. Analysis of Varians (Anova)

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Pr > F Perlakuan 4 1387,53915 346,88479 0,75 0,5679 Galat 28 12993,30827 464,04672

Total 32 14380,84742 2,71

R-kuadrat Koefisien Keragaman Akar MSE Rata-Rata Data 0,096485 38,07878 21,54174 56,57152

9.2. Uji Dunnett

Alfa

0,05

Derajat bebas galat

28

Kuadrat tengah galat

464,0467

Nilai kritis Dunnett

2,58159

Perbandingan yang signifikan pada taraf 0,05 ditandai dengan ***.

Perbandingan

Grup Perbedaan Antar Rataan Simultaneous 95% Confidence Limit

5 – 1 13,64 -15,67 42,95

3 – 1 1,68 -31,99 35,35

2 – 1 -1,09 -32,03 29,85

4 - 1 -2,65 -34,75 29,46


(5)

Lampiran 10. Hasil Anova dan uji Dunnet pada parameter rasio tajuk dan

akar

Kelas

: Grup

Perlakuan

: 5

Nilai

: 1 2 3 4 5

Jumlah data yang diamati

: 50

Jumlah data yang digunakan : 33

10. 1. Analysis of Varians (Anova)

Sumber Keragaman Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Pr > F

Perlakuan 4 1,08660280 0,27165070 0,64 0,6360

Galat 28 11,81865175 0,42209471

Total 32 12,90525455 2,71

R-kuadrat Koefisien Keragaman Akar MSE Rata-Rata Data

0,084198 45,84073 0,649688 1,417273

10.2. Uji Dunnett

Alfa

0,05

Derajat bebas galat

28

Kuadrat tengah galat 0,422095

Nilai kritis Dunnett

2,58159

Perbandingan yang signifikan pada taraf 0,05 ditandai dengan ***.

Perbandingan

Grup Perbedaan Antar Rataan Simultaneous 95% Confidence Limit

5 – 1 0,2272 -0,6568 1,1112

2 – 1 0,1021 -0,8310 1,0353

4 – 1 -0,0633 -1,0317 0,9050


(6)

57

Lampiran 11. Semai S. alba pada umur 3 bulan dengan berbagai perlakuan

Gambar 1. Semai S. alba perlakuan Gambar 2. S. alba dengan perlakuan kontrol (0%) cekaman garam 0,5%

Gambar 3. S. alba dengan perlakuan Gambar 4. S. alba dengan perlakuan cekaman garam 1,5% cekaman garam 2%