Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012

(1)

ABSTRAK

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK CERITA ANAK MELALUI TEKNIK DISCOVERY

PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SUKARAME TALANGPADANG TANGGAMUS

TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Oleh MISYATI

Masalah dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak dengan teknik discovery pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak melalui teknik discovery pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas yang terdiri atas dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VI SD Negeri I Sukarame yang berjumlah 24 siswa. Setiap siklus menggunakan teknik pengumpulan data berupa tes tertulis dan nontes. Instrumen tes tertulis digunakan untuk mengetahui kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, sedangkan instrumen nontes digunakan untuk mengamati aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran.


(2)

Berdasarkan analisis data, diketahui pada prasiklus, siklus I dan siklus II menunjukkan peningkatan nilai rata-rata kelas. Pada prasiklus, nilai rata-rata kelas 54,33 dengan persentase ketuntasan sebesar 39,28%. Siklus I peningkatan dari nilai rata-rata prasiklus sebesar 11,84 dan nilai rata-rata kelas 66,17 dengan persentase ketuntasan sebesar 66,67%. Siklus II mengalami peningkatan hasil belajar dari nilai rata-rata siklus I sebesar 9,83 dan nilai rata-rata 76,00 persentase ketuntasan sebesar 91,67%. Hasil observasi menunjukkan adanya peningkatan aktivitas siswa pada setiap siklusnya. Hal tersebut terlihat pada keaktifan dan keantusiasan siswa dalam mengikuti pembelajaran melalui teknik discovery. Demikian juga dengan aktivitas guru mengalami peningkatan dalam mengelola kegiatan pembelajaran dari setiap siklusnya. Siklus I persentase aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran mencapai 60%. Siklus II meningkat menjadi 80%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teknik discovery dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak.


(3)

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK CERITA ANAK MELALUI TEKNIK DISCOVERY

PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SUKARAME TALANGPADANG TANGGAMUS

TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Oleh MISYATI

Penelitian Tindakan Kelas

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2012


(4)

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK CERITA ANAK MELALUI TEKNIK DISCOVERY

PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SUKARAME TALANGPADANG TANGGAMUS

TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Penelitian Tindakan Kelas

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

MISYATI NPM 1013124005

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Indikator Penilaian Mengidentifikasi Unsur Intrinsik dari Cerita

Anak Mengidentifikasi Unsur Intrinsik dari Cerita Anak ... 41

3.2 Lembar Observasi Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran ... 43

3.3 Lembar Observasi Aktivitas Guru dalam Proses Pembelajaran ... 44

4.1 Distribusi Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Prasiklus ... 49

4.2 Distribusi Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Siklus I ... 54

4.3 Rata-Rata Perolehan Skor Siswa Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Siklus I... 57

4.4 Analisis Hasil Evaluasi Siklus I ... 58

4.5 Distribusi Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Siklus II ... 63

4.6 Rata-Rata Perolehan Skor Siswa Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Siklus II ... 66

4.7 Analisis Hasil Evaluasi Siklus II ... 67

4.8 Data Ketuntasan Siswa Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II ... 73

4.9 Aktivitas Siswa Siklus I dan Siklus II ... 75


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

MOTO ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian... 7

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Unsur Intrinsik ... 9

2.1.1 Tema ... 10

2.1.2 Tokoh ... 12

2.1.3 Watak ... 14

2.1.4 Latar ... 14

2.1.5 Amanat ... 17

2.1.6 Alur atau Plot ... 17

2.2 Cerita Anak ... 17

2.2.1 Jenis Cerita Anak ... 19

2.2.2 Ciri-ciri Cerita Anak ... 20

2.3 Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar ... 21

2.4 Teknik Discovery ... 26

2.4.1 Pengertian Teknik Discovery ... 26

2.4.2 Keunggulan dan Kelemahan Teknik Discovery ... 27

2.4.3 Langkah-Langkah Teknik Discovery ... 29

BAB III. PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS 3.1 Rancangan Penelitian ... 33

3.2 Subjek Penelitian ... 35


(7)

3.4 Waktu Penelitian ... 35

3.5 Indikator Kinerja ... 35

3.6 Prosedur Penelitian ... 35

3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.8 Instrumen Penelitian ... 40

3.9 Teknik Analisis Data... 45

3.10 Langkah-langkah Menganalisis Data ... 46

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 48

4.1.1 Prasiklus ... 49

4.1.2 Siklus I ... 50

4.1.2.1 Tahap Perencanaan ... 50

4.1.2.2 Tahap Pelaksanaan Tindakan ... 51

4.1.2.3 Tahap Pengamatan ... 53

4.1.2.4 Tahap Refleksi ... 61

4.1.3 Siklus II ... 62

4.1.3.1 Tahap Perencanaan ... 62

4.1.3.2 Tahap Pelaksanaan Tindakan ... 63

4.1.3.3 Tahap Pengamatan ... 68

4.1.3.4 Tahap Refleksi ... 70

4.2 Pembahasan ... 71

4.2.1 Ketuntasan Hasil Belajar Siswa ... 71

4.2.2 Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran ... 74

4.2.3 Aktivitas Guru dan Siswa dalam Pembelajaran ... 74

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 77

5.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(8)

MOTO

Artinya : Dari Abu Umamah r.a, Rasulullah saw. bersabda : “Wahai manusia belajarlah ilmu sebelum ia dicabut”

(HR. Ahmad)

“Doa adalah nyanyian hati yang selalu dapat membuka jalan kepada Singgasana Tuhan, meskipun terhimpit dalam tangisan jiwa”


(9)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Sumarti, S.Pd., M.Hum. ……..………..

Sekretaris : Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd. ………

Penguji

bukan Pembimbing : Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd. ………

2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dr. Bujang Rahman, M.Si. NIP 19600315 198503 1 003


(10)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur atas nikmat pendidikan yang telah Allah Subhanahuwata’ala berikan, kupersembahkan karya ini kepada suami dan ketiga belahan jiwaku, Aprilia Mulyani, Ahmad Zaki, dan Ade Tricahyadi.


(11)

Judul PTK : Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012

Nama Mahasiswa : Misyati Nomor Pokok Mahasiswa : 1013124005

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

MENYETUJUI, Pembimbing 1

Sumarti, S.Pd., M.Hum. NIP 197003181994032002

Pembimbing 2

Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd. NIP 197808092008012001

Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Drs. Imam Rejana, M.Si. NIP 194804211978031004


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di sebuah desa bernama Banjarsari, Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus, pada 27 Juni 1968. Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara pasangan dari Bapak Arham dan Ibu Zuhriyah.

Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 3 Talangpadang lulus 1981, SMP Negeri 1 Talangpadang lulus 1984, SPG PGRI Talangpadang lulus 1987, dan Diploma 3 STKIP PGRI Bandar Lampung lulus 1994.

Tanggal 18 Juli, penulis mulai mengajar di SD Negeri 1 Kalibening, Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus Bidang Studi Bahasa Indonesia. Selain mengajar Bidang Studi Bahasa Indonesia, penulis juga mengajar Bahasa Daerah. Tanggal 1 Januari 2008, penulis dipindah tugaskan ke daerah terpencil yaitu SD Negeri 1 Sukarame, Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus hingga saat ini penulis tetap mengajar bidang studi Bahasa Indonesia.

Tahun 2010, penulis mengikuti Program Pendidikan S-1 dalam Jabatan dari Dinas Pendidikan di FKIP Unila. Penulis sudah melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) atau Program Pemantapan Mengajar (PKM) dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di SD Negeri 1 Sukarame tempat penulis mengajar yang beralamatkan di Dusun Paneongan Pekon Sukarame, Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus.


(13)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan PTK dengan judul “Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012”. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Salaulahu’alaihiwasalam, serta para sahabat, keluarga, dan pengikutnya yang senantiasa setia sampai akhir zaman. Amin.

Penulis telah banyak menerima bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan PTK ini. Oleh karena itu, dengan segenap jiwa sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan atas segala bantuan, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak berikut.

1. Sumarti, S.Pd., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang tak henti-hentinya memberikan dorongan, saran, dan bimbingan demi kesempurnaan penulisan PTK ini;

2. Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing 2, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran-saran mulai pembuatan proposal hingga penyelesaian PTK ini dengan penuh kesabaran;


(14)

3. Dr. Edy Suyanto, M.Pd., selaku Ketua Program Studi sekaligus Pembimbing Akademik, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dengan penuh ketegasan dan motivasi yang kuat sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan PTK ini;

4. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku Dosen Pembahas dan Penguji, yang telah memberikan tuntunan dan masukan sehingga PTK ini menjadi lebih sempurna;

5. Drs. Imam Rejana, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Lampung;

6. Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung; dan 7. Keluarga besar SD Negeri 1 Sukarame Kecamatan Talangpadang, Kabupaten

Tanggamus terutama Kepala Sekolah Drs. Kenedi, teman sejawat Drs. H. Alimun, teman-teman guru dan staf TU, siswa-siswi atas kerja sama dan kemudahan yang penulis dapatkan selama melaksanakan PKM dan PTK ini. Penulis menyadari dalam penulisan PTK ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu, penulis mengharap kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan PTK ini. Harapan penulis, semoga karya kecil ini bisa bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

Bandarlampung, Juni 2012 Penulis,


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen, yaitu menyimak/ mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Menyimak merupakan keterampilan berbahasa awal yang dikuasai manusia dan dasar bagi keterampilan berbahasa lain. Pada awal kehidupan manusia lebih dulu belajar menyimak, kemudian berbicara, membaca, dan menulis. Penguasaan keterampilan menyimak akan berpengaruh pada keterampilan berbahasa lain. Keterampilan menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi. Untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta makna komunikasi yang hendak disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan, 2008: 1).

Mulai tahun 2006 telah diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang merupakan perangkat dan perencana yang berorientasi pada pembelajaran berbasis kompetensi serta hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah KTSP yang bertujuan pada pendidikan dasar yaitu meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih maju (Muslich 2007: 29).


(16)

Sesuai dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia kelas VI SD mengenai isi dan bahan pembelajaran, yaitu bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh guru kepada siswa, materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga diarahkan dan dititikberatkan pada fungsi bahasa itu sendiri. Isi dan bahan juga harus menunjang pada pencapaian tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, ruang lingkup mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga menyangkut segi penguasaan kebahasaan, kemampuan memahami, mengapresiasi sastra dan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai bahan penelitian salah satu yang sesuai dengan standar kompetensi SD kelas VI yaitu mendengarkan cerita anak. Pada pembelajaran sastra ada dua unsur pembangun di dalamnya yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik merupakan unsur pembangun dari dalam suatu karya sastra, sedangkan ekstrinsik merupakan unsur pembangun dari luar karya sastra.

Sebagai salah satu unsur yang membangun dari dalam karya sastra itu, unsur intrinsik inilah yang menyebabkan karya sastra itu hadir melalui kepaduan berbagai unsur intrinsik, yaitu unsur-unsur yang dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang terdapat dalam tokoh, watak, latar, tema, atau amanat. Unsur-unsur tersebut menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar.

Menurut Rahmanto (1993), pembelajaran sastra di SD pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra sehingga mendorong dan


(17)

tertarik untuk mempelajarinya. Di dalam pembelajaran sastra tersebut terjadi proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman, dan penikmatan terhadap karya sastra sehingga siswa mampu menerapkan temuannya dalam kehidupan nyata, siswa akan memperoleh manfaat karya sastra yang diapresiasinya, yakni membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa ialah menentukan unsur intrinsik dari cerita anak. Salah satu indikator pembelajarannya yaitu siswa dapat mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dari cerita anak yang dibacakan. Untuk dapat menentukan unsur instrisik cerita dengan baik, maka terlebih dahulu siswa perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana memahami tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dalam cerita anak, yang bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan memahami unsur intrinsik suatu karya sastra, serta meningkatkan kemampuan berbahasa. Cerita anak penting untuk dipelajari karena cerita anak merupakan kebudayaan yang harus dilestarikan, menarik, unik, dan lebih mengembangkan daya imajinasi anak, mengandung budi pekerti, serta hiburan bagi masyarakat.

Suatu karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dengan mempertimbangkan tiga aspek penting yaitu aspek bahasa, psikologi, dan latar belakang budaya. Guru dapat memanfaatkan cerita anak sebagai salah satu bahan


(18)

pertimbangan dalam proses pembelajaran, agar siswa mampu memahami tokoh, watak, latar, tema, dan amanat karena cerita anak tersebut memiliki latar belakang budaya yang ceritanya pasti dikenal oleh anak-anak usia sekolah dasar.

Berdasarkan hasil ulangan harian siswa pada pokok bahasan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak yang diperoleh masih rendah. Rendahnya hasil tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam kenyataan yang terjadi di kelas, guru menghadapi anak yang sulit memahami materi pelajaran, meskipun guru sudah berupaya sebaik mungkin dalam menjelaskan materi, tetapi sebagian anak masih belum memahami apa yang telah dijelaskan. Selain itu, lingkungan sangat mempengaruhi pada diri siswa misalnya lingkungan di luar sekolah yang kurang memotivasi siswa dalam belajar, sedangkan kendala guru yaitu belum menerapkan teknik pembelajaran secara efektif. Dari beberapa permasalahan tersebut membuktikan bahwa kemampuan menyimak siswa masih rendah.

Kurang berhasilnya pembelajaran Bahasa Indonesia juga dapat dilihat melalui rendahnya hasil evaluasi siswa pada pembelajaran tentang materi mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak. Meskipun materi tersebut sudah sering diajarkan kepada siswa, tetapi hasil yang diperoleh belum mencapai KKM yang ditentukan sekolah sebesar 60,00. Dari jumlah keseluruhan 24 siswa, yang tuntas hanya 9 orang dan siswa yang belum tuntas 15 orang. Hal ini disebabkan siswa kurang memahami unsur intrinsik dari sebuah cerita yang di dalamnya mencakup tokoh, watak, latar, tema, dan amanat.

Selama ini, guru lebih sering menggunakan teknik ceramah dalam menyampaikan pembelajaran tentang materi mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, sehingga


(19)

menyebabkan siswa menjadi bosan dalam mengikuti pembelajaran dan berdampak rendahnya hasil belajar yang diperoleh siswa. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran pada materi mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak belum berhasil sehingga diperlukan tindakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam proses pembelajaran mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, kreativitas guru sangat dibutuhkan. Salah satu kreativitas guru yang dapat dilakukan adalah dengan memilih teknik pembelajaran yang tepat dengan materi yang diajarkan. Pemanfaatan teknik yang tepat dalam penyampaian materi akan mempermudah pemahaman siswa. Salah satu teknik pembelajaran yang peneliti anggap dapat mengatasi masalah tersebut adalah teknik discovery.

Teknik discovery memiliki beberapa kelebihan antara lain (1) siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan, (2) menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan), (3) mendukung problem

solving siswa, (4) memberikan wahana interaksi antarsiswa, dan siswa dengan

guru. Dengan demikian, siswa juga terlatih untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan. benar, (5) materi yang disajikan dapat mencapai tingkat kemampuan yang lebih tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya (Roestiyah NK, 2008: 22).

Menyadari tidak hanya penting tetapi juga karena siswa kurang memiliki kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, penulis berkeinginan mengadakan penelitian mengenai tingkat kemampuan mengidentifikasi unsur


(20)

intrinsik cerita anak pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012 melalui teknik discovery.

Melalui penerapan teknik discovery, penulis berharap pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya pada materi mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD

Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak dengan teknik discovery pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak melalui teknik discovery pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoretis maupun praktis.

1.4.1 Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengembangan pengetahuan tentang mengidentifikasi unsur intrinsik dan penerapan strategi


(21)

pembelajaran yang tepat dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik discovery.

1.4.2 Secara Praktis

Hasil penelitian kelas ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa dan guru. a. Bagi Siswa

(1) Menambah pengetahuan siswa kelas VI SD Negeri I Sukarame Talangpadang

dalam memahami nilai-nilai karya sastra terutama aspek tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dalam cerita anak melalui teknik discovery.

(2) Bahan evaluasi untuk dapat mengetahui bagaimana kemampuan siswa

mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak yang meliputi tokoh, watak, latar, tema, dan amanat melalui teknik discovery.

b. Bagi Guru

Memberikan pengalaman dan wawasan bagi guru bahwa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada aspek mendengarkan khususnya mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak dengan teknik discovery dapat memberikan pengalaman yang baru bagi siswa pada saat pembelajaran. Sehingga siswa dapat termotivasi dalam belajar dan prestasi belajar dapat dicapai sesuai dengan harapan.


(22)

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Unsur Intrinsik

Untuk mampu mengidentifikasi suatu, tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dalam cerita anak, siswa harus mampu menguasai keterampilan berbahasa yaitu keterampilan membaca. Membaca itu sendiri merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kepada pembaca melalui media kata-kata atau bahasa tulis (Tarigan, 2008: 17).

Informasi yang diperoleh pembaca semakin baik jika pembaca mempunyai kemampuan yang baik dalam mambaca. Karena dengan memiliki keterampilan yang baik dalam membaca, maka si pembaca akan dapat memahami tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dari cerita anak.

Ada beberapa pertimbangan dalam menyediakan materi bacaan cerita bagi anak-anak usia sekolah dasar. Secara umum, penyediaan bahan harus memperhatikan (a) bahasa yang digunakan, (b) penokohan, peristiwa, rangkaian cerita, (c) cara penyajian dan gaya penuturan (Aminuddin, 1988: 42). Ditinjau dari bahasa yang digunakan, pertimbangan mengacu pada penguasaan kosakata dan strukur kalimat anak-anak. Kata-kata yang digunakan sebaiknya sesuai dengan situasi yang nyata dan disesuaikan dengan keadaan lingkungan anak itu. Bila ada kata-kata yang


(23)

masih asing bagi anak, sebaiknya guru menerangkan dengan gambar atau paparan deskriptif sebagai ilustrasi.

Ditinjau dari penokohan, pelaku yang ditampilkan harus realistis dan jelas. Begitu juga motivasi dan pesan yang terdapat pada karya sastra perlu digambarkan secara jelas. Peristiwa yang diceritakan harus menunjukkan hubungan sebab akibat secara jelas. Cerita seharusnya lebih digambarkan secara hidup dan menarik. Pertimbangan menyangkut cara penyajian dan penuturan akan berhubungan dengan pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, teknik penggambaran pelaku dan latar. Materi pembelajaran cerita adalah cerita yang dekat/akrab dengan kehidupan anak, pernah didengar, rangkaian ceritanya mudah diikuti, dan temanya cocok dengan usia anak. Cerita yang dipilih hendaknya mengandung pelaku yang dapat dipercaya, awal dan akhir cerita harus tetap menarik dan simpulan akhir harus dekat dengan anak (Rahmanto, 1993: 31).

2.1.1 Tema

Tema merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra. Tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok (Tarigan, 2008: 167). Sedangkan menurut Suharianto (2005: 17) tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut, sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu. Sebagai persoalan, tema merupakan suatu yang netral. Pada hakekatnya, di dalam tema belum ada sikap, kecenderungan untuk memihak, karena itu masalah apa saja dapat dijadikan tema pada sebuah karya sastra.


(24)

2.1.1.1 Jenis Tema

Tema fiksi pada umumnya diklasifikasikan menjadi lima jenis, yakni (1) tema jasmaniah, merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani manusia. Tema seperti terfokus pada kenyataan diri seseorang sebagai molekul, zat, dan jasad, (2) tema organik, merupakan tema tentang moral, mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral mausia, yang wujudnya tentang hubungan antar manusia, antar pria dan wanita, (3) tema sosial, meliputi hal-hal yang berada di luar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda, (4) tema egoik, merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang umumnya menentang pengaruh sosial, dan (5) tema ke-Tuhanan, merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.

Werren dan Wellek (1990: 73) membagi permasalahan tema dalam karya sastra menjadi lima golongan besar, yaitu (1) nasib, maksudnya adalah hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam, (2) keagamaan, dalam hal ini termasuk interpretasi tentang Tuhan, sikap terhadap dosa dan keselamatan, (3) alam, perasaan terhadap alam, juga mitos dan ilmu gaib, (4) manusia, permasalahan ini menyangkut konsep manusia, hubungan manusia dengan kematian dan konsep cinta, dan (5) sosial, dalam hal ini menyangkut konsep masyarakat, keluarga dan negara.

Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis mengacu pada pendapat Sayuti yang membagi tema menjadi lima jenis, yakni tema jasmani, organik, sosial, egoik dan ke-Tuhanan.


(25)

2.1.2 Tokoh

Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering digunakan istilah tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, karakter dan karakteristik secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut, sebenarnya, tak menyarankan pada pengertian yang tak persis sama, atau paling tidak dalam tulisan ini akan dipergunakan dalam pengertian ulang berbeda, walau memang ada diantaranya sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyarankan pada tokoh cerita, dan pada "teknik" pengembangannya dalam sebuah cerita.

Penokohan adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya (Tarigan, 2008: 147). Tokoh fiksi harus dilihat sebagai yang berada pada suatu masa, tempat tertentu dan haruslah pula diberi motif-motif yang masuk akal bagi segala sesuatu yang dilakukannya. Tugas pengarang ialah membuat tokoh itu sebaik mungkin, seperti yang benar-benar ada. Walaupun tokoh cerita "hanya" merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Tokoh cerita hanya sebagai orang penyampai pesan, atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan pengarang.

Tokoh-tokoh dalam fiksi dapat dibedakan berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus.


(26)

1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama cerita adalah tokoh yang disebut pertama (central character, main character), sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).

2. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero-tokoh, yang merupakan pengejawatan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita.

Nilai konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak hanya disebabkan oleh tokoh antagonis. Sedangkan yang dimaksud dengan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai sifat bertentangan dengan tokoh protagonis. Dalam hal ini tokoh antagonis yang menciptakan konflik sehingga terjadi alur cerita yang menarik yang menimbulkan simpati dan empati, emosional dari pembaca.

3. Tokoh Sederhana dan Bulat

Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi, atau sifat dan watak tertentu saja. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.

4. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan


(27)

perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.

5. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan ke dalam individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersikap mewakili.

Tokoh netral adalah tokoh cerita yang berekstensi demi cerita itu sendiri. Tokoh ini benar-benar hanya hidup dan bereksitensi dalam dunia fiksi. la hadir semata-mata demi cerita, atau dialah yang sebenarnya yang memilki cerita, pelaku cerita dan yang diceritakan.

2.1.3 Watak

Watak berarti sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Perwatakan adalah hal-hal yang berhubungan dengan watak seseorang pada lakon tertentu yang ia perankan dalam sebuah cerita fiksi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 1270) disebutkan bahwa watak atau perwatakan adalah bagaimana seorang bertingkah laku untuk peran tokoh tertentu yang diberikan kepadanya.

2.1.4 Latar

Menurut Sayuti (2000: 62), latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung. Suatu karya fiksi, harus terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu, seperti halnya


(28)

dengan kehidupan ini yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Dengan demikian yang termasuk di dalam latar adalah tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di sebuah desa, kampung, kampus, hari, waktu, tahun, musim, atau periode sejarah.

2.1.4.1 Tipe Latar

Pada umumnya tipe latar dalam fiksi dibedakan dalam dua tipe, yaitu neutural setting 'latar netral' dan spiritual setting 'latar spritual'.

a. Latar netral adalah latar yang hanya latar, tidak memiliki kaitan dengan

fungsional dengan elemen fiksi lainnya.

b. Latar spiritual adalah latar yang mengumpulkan atau mengisyaratkan nilai-nilai

tertentu seperti tampak pada pelukisan latar pedesaan yang menunjukkan bagaimana pranata nilai berlangsung di desa itu (Sayuti, 2000: 64).

2.1.4.2 Unsur Latar

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan suasana. Ketiga unsur tersebut walau menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara tersendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Rahmanto, 1993: 54).

a. Latar Tempat

Latar tempat merupakan lokasi terjadi peristiwa yang dibicarakan dalam sebuah karya fiksi, unsur tempat yang dipergunakan dapat berupa tempat dengan nama tertentu, misal, atau mungkin lokasi tanpa nama.


(29)

Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan pengarang perlu menguasai lokasi. Pengarang haruslah menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat khasnya. Tempat yang dapat berupa desa, jalan, laut, rumah, dan lain-lain tentu memiliki ciri khas yang menandainya.

b. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam memahami dan menikmati sebuah cerita waktu merupakan acuan bagi pembaca. Karena adanya persamaan perkembangan dan atau kesejalanan waktu itulah yang dimanfaatkan pembaca untuk memberikan kesan seolah-seolah cerita tersebut sungguh-sungguh ada dan terjadi.

c. Latar Suasana

Latar suasana atau latar sosial adalah suatu yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, seperti kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, bersikap, dan lain-lain. Selain itu, latar suasana juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.


(30)

2.1.5 Amanat

Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan adalah makna yang termuat dalam karya sastra tersebut (Semi, 2003: 82).

2.1.6 Alur atau Plot

Alur adalah konstruksi mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan yang dialami oleh pelaku (Septiningsih, 1998: 4). Alur adalah struktur gerak atau laku dalam suatu fiksi atau drama (Tarigan 2008: 156).

Menurut Suharianto (2005: 18) alur atau plot adalah cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh.

Dari beberapa pendapat tentang alur di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa yang terjalin dengan urutan yang baik dan membentuk sebuah cerita. Dalam alur terdapat serangkaian peristiwa dari awal sampai akhir.

2.2 Cerita Anak

Cerita merupakan bagian dari hidup. Setiap orang adalah bagian dari sebuah cerita. Kelahiran, kesehatan, keberhasilan, kematian, di mana, kapan, dan seterusnya semuanya adalah sebuah rentetan kejadian dari kisah kemanusiaan


(31)

yang amat menarik. Bahkan, cerita adalah narasi pribadi setiap orang, menjadi bagian dari suatu peristiwa, bagian dari satu cerita, dan menjadi bagian dari sebuah cerita adalah hakikat cerita. Sastra anak termasuk di dalamnya adalah cerita anak (Sarumpaet, 2002: 54).

Dalam cerita anak pada umumnya berupa dongeng, hal ini disebabkan oleh faktor usia, dimana anak usia sekolah dasar adalah taraf usia fantasi atau berkhayal. Dongeng merupakan cerita yang lahir berdasarkan khayalan semata. Dapat dikatakan pula bahwa dongeng merupakan cerita sederhana yang tidak benar-benar terjadi. Dongeng berisi tentang kejadian-kejadian aneh di zaman dahulu. Dongeng biasanya digunakan sebagai sarana dalam menuntun, mendidik anak-anak dalam proses pengembangan berpikir. Adapun manfaat yang terkandung dalam isi dongeng, diantaranya memberi nasehat yang baik bagi anak. Melalui dongeng tersebut, anak dapat berimajinasi seolah-olah cerita dalam dongeng tersebut terjadi dalam kehidupan nyata.

Dongeng termasuk cerita tradisional yang disampaikan secara turun-temurun. Suatu cerita tradisional dapat tersebar secara luas ke berbagai tempat. Cerita itu selanjutnya disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ada kemiripan atau kesamaan antara dongeng di suatu wilayah dengan wilayah lain. hal itu dikarenakan cerita tradisional mudah diterima karena bersifat umum. Cerita tersebut ada hampir di seluruh penjuru dunia.


(32)

2.2.1 Jenis Cerita Anak

Ada beberapa jenis cerita anak (dongeng), diantaranya adalah fabel, mite, legenda, sage, dan cerita jenaka.

1. Fabel

Fabel adalah cerita yang mengandung pendidikan tentang perbuatan baik dan buruk. Tokoh fabel adalah binatang. Semua binatang tersebut berprilaku seperti manusia dan menggambarkan watak serta budi pekerti manusia. Contoh fabel adalah Kancil dan Buaya, Pelanduk yang Cerdik, Ikan Gabus, dan lain-lain.

2. Mite

Mite adalah dongeng yang dianggap benar-benar terjadi dan disucikan. Hal yang dikisahkan antara lain mengenai kehidupan para dewa, peri, dan roh-roh halus, atau hal yang gaib yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat waktu itu. Contoh mite diantaranya Jaka Tarub, Cerita Nyai Rara Kidul, Cerita Dewa Ruci, dan lain-lain.

3. Legenda

Legenda adalah cerita tentang asal-usul suatu tempat, benda, atau suatu daerah. Dalam cerita diselipkan beberapa kebenaran sejarah, tetapi kisah-kisah yang sifatnya khayalan mendominasi keseluruhan cerita. Contoh cerita Legenda Tangkuban Perahu, cerita Sangkuriang, cerita Rorojonggrang.

4. Sage

Sage adalah cerita yang mengandung unsur-unsur sejarah. Karena unsur sejarah didominasi oleh unsur fantasi, unsur sejarah tersebut menjadi kabur dan tidak


(33)

dapat dipercaya lagi sebagai fakta sejarah. Contoh sage Ciung Wanara, Jako Dolog, dan Damarwulan.

5. Cerita jenaka

Cerita jenaka adalah cerita yang berisi tentang kelucuan tokoh-tokohnya. Meskipun kejadiannya lucu tetapi di dalamnya terdapat ajaran atau nasehat yang dibutuhkan masyarakat. Cerita jenaka disebut pula cerita penggeli hati. Contoh cerita jenaka Lebai Malang, cerita Pak Belalang.

2.2.2 Ciri-ciri Cerita Anak

Pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadi syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan mempengaruhi mereka. Menurut Huck (dalam Subyantoro, 2006: 44) ciri esensial sastra anak, termasuk cerita anak ialah penggunaan pandangan anak atau kacamata anak dalam menghadirkan cerita atau dunia imajiner.

Sarumpaet (1976: 29) dan Endraswara (2002:119) mengatakan bahwa ciri-ciri sastra anak termasuk di dalamnya cerita anak ada tiga, yakni (1) berisi sejumlah pantangan, berarti hanya hal-hal tertentu saja yang boleh diberikan; (2) penyajian secara langsung, kisah yang ditampilkan memberikan uraian secara langsung, tidak berkepanjangan; (3) memiliki fungsi terapan, yakni memberikan pesan dan ajaran kepada anak-anak.


(34)

Ciri cerita anak berisi sejumlah pantangan berarti hanya hal-hal tertentu saja yang boleh diberikan. Ciri ini berkenaan dengan tema dan amanat cerita anak. Tema yang merupakan gagasan cerita atau apa yng dipersoalkan dalam cerita, maka harus dipertimbangkan tema apa yang cocok untuk anak-anak. Tidak semua tema yang lazimnya dapat ditemukan dalam cerita orang dewasa dapat dipersoalkan dan disajikan kepada anak-anak. Tema yang sesuai adalah tema yang menyajikan masalah yang sesuai dengan alam hidup anak-anak. Misalnya tentang kepahlawanan, peristiwa sehari-hari, dan sebagainya. Selain itu, biasanya amanatnya disederhanakan dengan menyediakan akhir kisah yang indah. Contohnya cerita anak Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Emas, dan Puteri Abu.

2.3 Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar

Pembelajaran mendengarkan cerita anak merupakan salah satu pembelajaran keterampilan berbahasa di bidang sastra. Pada pembelajaran bahasa Indonesia kurikulum KTSP di sekolah dasar, siswa diharapkan memiliki kompetensi dalam bidang sastra, dalam penelitian ini dikhususkan pada aspek mendengarkan dalam mengidentifikasi unsur cerita anak. Sebuah keterampilan akan dikuasai dengan baik jika diajarkan dan dilatihkan. Demikian pula dengan keterampilan mendengarkan khususnya dalam pembelajaran sastra perlu diajarkan dan dilatihkan dengan baik dan kontinu mengingat pentingnya peran siswa dalam kehidupan, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat (Esten, 1984: 62).


(35)

Pembelajaran sastra di sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk mempelajarinya. Dengan mempelajari karya sastra diharapkan para siswa memperoleh pengertian baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, dan memperoleh pengalaman hidup (Rahmanto, 1993: 41).

Siswa akan memperoleh manfaat dari karya sastra yang diapresiasinya, yakni membantu berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak (Effendi, 1995: 76). Siswa perlu memperoleh pemahaman bagaimana memahami karya sastra tersebut, disinilah pentingnya pembelajaran apresiasi. Proses pengapresiasian unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra (cerita anak) dalam latar, tokoh, tema, dan amanat, melalui pemahaman tentang bagaimana cara pengarang menyampaikan maksud, sikap, dan penilaian tokoh cerita. Karena itu, guru diharapkan mampu memilih cerita anak yang sesuai dan mendukung proses pengapresiasian tersebut demi tercapainya tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Berikut tiga aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih bahan pembelajaran sastra, yakni:

1) Dari sudut bahasa

Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tapi juga faktor-faktor lain, seperti cara penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri si pegarang pada waktu penulisan karya sastra itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Pemilihan bahan pembelajaran sastra patut dipertimbangkan sesuai atau tidaknya bahasa yang


(36)

dipakai dalam karya sastra tersebut dengan tingkat penguasaan bahasa yang dimiliki oleh siswa sekolah dasar. Bukan hanya mempertimbangkan kosakata dan tata bahasa, tetapi juga mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada (Rahmanto, 1993: 51). Jadi, sebagai indikator kesesuaian bahasa tidak hanya dilihat dari bahasa yang digunakan secara keseluruhan dalam karya sastra tersebut, tetapi juga bagaimana bahasa yang digunakan oleh para tokoh, baik dari segi kebahasaan maupun kasantunannya. 2) Psikologi

Dalam memilih bahan pembelajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap; (a) daya ingat, (b) kamauan mengerjakan tugas, (c) kesiapan bekerja sama, dan (d) kemungkinan pemahaman situasi pemecahan masalah yang dihadapi.

Berikut uraian pentahapan yang diharapkan dapat membantu agar guru lebih memahami tingkat perkembangan psikologis anak-anak sekolah dasar dan menengah.

a. Tahap pengkhayal (8 sampai 9 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan berbagai macan fantasi kekanakan.


(37)

b. Tahap romantik (10 sampai 12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah pada realitas. Meski pendangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tapi pada tahap ini anak telah menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.

c. Tahap realistik (13 sampai 16 tahun)

Sampai tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

d. Tahap generalisasi (usia 16 tahun dan selanjutnya)

Pada usia ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja, tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalis suatu fenomena. Dengan menganalisis suatu fenomena, mereka barusaha menemukan, dan merumuskan penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafat untuk menentukan keputusan-keputusan moral.

Karya sastra yang terpilih hendaknya sesuai dengan tapah psikologi pada umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja, tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu (Rahmanto, 1993: 54).


(38)

Guru dalam memilih karya sastra yang hendak disajikan kepada siswa jangan hanya mempertimbangkan kemenarikan dari cerita saja, tetapi juga memperhatikan gambaran psikologis para tokoh dalam karya sastra tersebut yang harus sesuai dengan psikologis siswa, karena siswa cenderung menyerap cerita para tokoh dan memikirkannya sebagaimana kenyataan yang mereka hadapi.

3) Latar Belakang Budaya

Sebuah karya sastra harus dilihat latar belakang yang meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti: geografis, sejarah, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan sebagainya. biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka.

Dalam pembelajaran sastra guru hendaknya memilih bahan pembelajarannya dengan mengutamakan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh para siswa. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati para siswa sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar kemampuan pembayangan yang dimiliki siswa.

Dari ketiga aspek di atas, hendaknya disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang SD dan silabus pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun pelajaran 2011/2012.


(39)

2.4Teknik Discovery

Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai teknik-teknik penyajian yang disebut dengan teknik pembelajaran. Salah satu teknik pembelajaran yang dapat digunakan dalam rangka meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar adalah teknik discovery (Roestiyah NK, 2008: 1). 2.4.1 Pengertian Teknik Discovery

Ada beberapa konsep tentang teknik discovery yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain

1) Teknik discovery adalah teknik mengajar yang mengatur pembelajaran

sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahuinya melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri (Herdian, 2007: 1).

2) Teknik discovery merupakan teknik yang lebih menekankan pada pengalaman

langsung siswa dan lebih mengutamakan proses dari pada hasil belajar (Mulyasa, 2009: 15) .

3) Sund (dalam Roestiyah, 2008: 20) mengemukakan bahwa discovery adalah

proses mental siswa untuk mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya.


(40)

4) Teknik discovery adalah teknik pembelajaran yang menggunakan teknik penemuan dan merupakan proses mental (misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya) dimana siswa menyesuaikan suatu konsep atau prinsip. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi (Roestiyah NK, 2008: 20).

Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan teknik discovery ialah

suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. teknik pembelajaran discovery merupakan suatu teknik pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan teknik ini, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.

2.4.2 Keunggulan dan Kelemahan Teknik Discovery

Setiap penggunaan teknik pembelajaran yang dilaksanakan di kelas pasti memiliki keunggulan dan kelemahan. Menurut Roestiyah (2008: 20-21), keunggulan dan kelemahan teknik discovery antara lain.

a. Keunggulan

1. Teknik discovery mampu membantu siswa untuk mengembangkan,


(41)

/pengenalan siswa.

2. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual

sehingga kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa.

3. Dapat membangkitkan kegairahan belajar siswa.

4. Teknik pembelajaran ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk

berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya, masing-masing.

5. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi

yang kuat untuk giat belajar.

6. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri

sendiri dengan proses penemuan sendiri.

7. Strategi ini berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman

belajar saja, membantu bila diperlukan.

b. Kelemahan

1. Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini.

Siswa harus barani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.

2. Bila kelas terlalu besar penggunaan teknik pembelajaran ini akan kurang

berhasil.

3. Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pembelajaran.

tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik pembelajaran ini.

4. Dengan teknik pembelajaran ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini


(42)

perkembangan /pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.

5. Teknik pembelajaran ini mungkin tidak memberi kesempatan untuk berpikir

secara kreatif.

Untuk mengatasi hal di atas, guru harus pandai menyikapi situasi kelas dan mental siswa sebelum melaksanakan teknik pembelajaran ini. Karena apapun teknik pembelajaran yang diberlakukan oleh seorang guru di dalam kelas baik buruknya, berhasil tidaknya, berada ditangan guru.

2.4.3 Langkah-langkah Teknik Discovery

Ada beberapa pendapat tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam

pembelajaran discovery. Menurut Mulyasa (2009: 17), langkah-langkah teknik

discovery, yaitu sebagai berikut.

1. Adanya masalah yang akan dipecahkan;

2. Masalah sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa;

3. Mengemukakan dan menulis secara jelas konsep atau prinsip yang harus

ditemukan oleh siswa melalui kegiatan tersebut;

4. Tersedianya alat dan bahan yang diperlukan;

5. Susunan kelas diatur sedemian rupa sehingga memudahkan siswa berfikir

bebas dalam kegiatan pembelajaran;

6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan data;

7. Guru harus memberikan jawaban dengan tepat dengan data serta informasi


(43)

Menurut Herdian (2007: 3) langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi kebutuhan siswa;

2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan

generalisasi pengetahuan;

3. Seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;

4. Membantu dan memperjelas tugas/problema yang dihadapi siswa serta

peranan masing-masing siswa;

5. Mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;

6. Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;

7. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;

8. Membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan oleh siswa;

9. Memimpin analisis sendiri (self analisis) dengan pertanyaan yang

mengarahkan dan mengidentifikasi masalah;

10. Merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;

11. Membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

Menurut Suryosubroto (2002: 199) langkah-langkah teknik discovery, antara lain sebagai berikut.

1) Identifikasi kebutuhan siswa;

2) Seleksi bahan, problema, dan tugas-tugas;

3) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan


(44)

4) Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa;

5) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan;

6) Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan

tugas-tugas siswa;

7) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan;

8) Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa;

9) Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan

mengidentifikasi proses;

10) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa;

11) Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan;

12) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil

penemuannya.

Dari langkah-langkah pembelajaran teknik discovery di atas, peneliti mengacu pada pendapat Herdian yang mengatakan bahwa langkah-langkah pembelajaran

teknik discovery antara lain: (1) identifikasi kebutuhan siswa, (2) seleksi

pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi pengetahuan (3) seleksi bahan, problema/tugas-tugas, (4) membantu dan memperjelas tugas/problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-masing siswa, (5) mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan, (6) mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan, (7) memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan, (8) membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan oleh siswa, (9) memimpin analisis sendiri (self


(45)

analisis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi masalah, (10) merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, (11) membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.


(1)

4) Teknik discovery adalah teknik pembelajaran yang menggunakan teknik penemuan dan merupakan proses mental (misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya) dimana siswa menyesuaikan suatu konsep atau prinsip. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi (Roestiyah NK, 2008: 20).

Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan teknik discovery ialah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. teknik pembelajaran discovery merupakan suatu teknik pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan teknik ini, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.

2.4.2 Keunggulan dan Kelemahan Teknik Discovery

Setiap penggunaan teknik pembelajaran yang dilaksanakan di kelas pasti memiliki keunggulan dan kelemahan. Menurut Roestiyah (2008: 20-21), keunggulan dan kelemahan teknik discovery antara lain.

a. Keunggulan

1. Teknik discovery mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif


(2)

/pengenalan siswa.

2. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa.

3. Dapat membangkitkan kegairahan belajar siswa.

4. Teknik pembelajaran ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya, masing-masing.

5. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk giat belajar.

6. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.

7. Strategi ini berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja, membantu bila diperlukan.

b. Kelemahan

1. Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Siswa harus barani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.

2. Bila kelas terlalu besar penggunaan teknik pembelajaran ini akan kurang berhasil.

3. Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pembelajaran. tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik pembelajaran ini.

4. Dengan teknik pembelajaran ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pergantian saja, kurang memperhatikan


(3)

perkembangan /pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.

5. Teknik pembelajaran ini mungkin tidak memberi kesempatan untuk berpikir secara kreatif.

Untuk mengatasi hal di atas, guru harus pandai menyikapi situasi kelas dan mental siswa sebelum melaksanakan teknik pembelajaran ini. Karena apapun teknik pembelajaran yang diberlakukan oleh seorang guru di dalam kelas baik buruknya, berhasil tidaknya, berada ditangan guru.

2.4.3 Langkah-langkah Teknik Discovery

Ada beberapa pendapat tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam pembelajaran discovery. Menurut Mulyasa (2009: 17), langkah-langkah teknik discovery, yaitu sebagai berikut.

1. Adanya masalah yang akan dipecahkan;

2. Masalah sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa;

3. Mengemukakan dan menulis secara jelas konsep atau prinsip yang harus ditemukan oleh siswa melalui kegiatan tersebut;

4. Tersedianya alat dan bahan yang diperlukan;

5. Susunan kelas diatur sedemian rupa sehingga memudahkan siswa berfikir bebas dalam kegiatan pembelajaran;

6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan data;

7. Guru harus memberikan jawaban dengan tepat dengan data serta informasi yang diperlukan siswa.


(4)

Menurut Herdian (2007: 3) langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi kebutuhan siswa;

2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi pengetahuan;

3. Seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;

4. Membantu dan memperjelas tugas/problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-masing siswa;

5. Mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;

6. Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan; 7. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;

8. Membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan oleh siswa;

9. Memimpin analisis sendiri (self analisis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi masalah;

10. Merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;

11. Membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

Menurut Suryosubroto (2002: 199) langkah-langkah teknik discovery, antara lain sebagai berikut.

1) Identifikasi kebutuhan siswa;

2) Seleksi bahan, problema, dan tugas-tugas;

3) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari;


(5)

4) Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa;

5) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan;

6) Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa;

7) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan; 8) Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa;

9) Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses;

10) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa;

11) Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan;

12) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Dari langkah-langkah pembelajaran teknik discovery di atas, peneliti mengacu pada pendapat Herdian yang mengatakan bahwa langkah-langkah pembelajaran teknik discovery antara lain: (1) identifikasi kebutuhan siswa, (2) seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi pengetahuan (3) seleksi bahan, problema/tugas-tugas, (4) membantu dan memperjelas tugas/problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-masing siswa, (5) mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan, (6) mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan, (7) memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan, (8) membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan oleh siswa, (9) memimpin analisis sendiri (self


(6)

analisis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi masalah, (10) merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, (11) membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.


Dokumen yang terkait

Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas VII C SMP Negeri 1 Rogojampi Tahun Pelajaran 2014/2015

0 20 6

Kemampuan Menulis Karangan Eksposisi pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Natar Lampung Selatan Tahun Pelajaran 2011/2012

6 38 60

Peningkatan Kemampuan Menulis Laporan Kunjungan Melalui Teknik Diskusi pada Siswa Kelas VI SD Negeri 2 Sinar Semendo Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012

0 7 55

Peningkatan Kemampuan Menulis Surat Undangan Melalui Teknik Pemodelan pada Siswa Kelas V SD Negeri 2 Tangkit Serdang Pugung Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012

3 16 100

Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012

0 5 45

Upaya Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Menggunakan Alat bantu Gambar dan Cerita di Kelas 2 SD Negeri 1 Banding Agung Tahun Pelajaran 2011/2012

0 8 44

Peningkatan Kemampuan Membacakan Berbagai Teks Perangkat Upacara Melalui Penerapan Teknik Pelatihan Terbimbing Siswa Kelas VII 3 SMP Negeri 1 Gadingrejo Tahun Pelajaran 2012/2013

0 16 78

Peningkatan Motivasi dan Hasil Belajar Melalui Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Peer Lessons dengan Media Flip Chart pada Siswa Kelas IVA SD Negeri 1 Nunggalrejo Tahun Pelajaran 2013/2014

0 9 76

Meningkatkan Aktivitas dan Kemampuan Menulis Deskripsi Melalui Pemanfaatan Media Audio Visual Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Pecoh Raya Kecamatan Teluk Betung Selatan Tahun Pelajaran 2012/2013

0 13 48

Peningkatan Kemampuan Membaca Cepat Melalui Pendekatan Whole Language pada Siswa Kelas VI SD Negeri 246 Bulu-Bulu Kecamatan Tonra Kabupaten Bone Nirwana (Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNCP)

1 0 16