RESPON FISIOLOGIS AYAM JANTAN TIPE MEDIUM DENGAN KEPADATAN KANDANG YANG BERBEDA PADA KANDANG PANGGUNG

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan

masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

tahunnya. Konsumsi protein hewani penduduk Provinsi Lampung meningkat

dari 4,18% (2007) menjadi 4,33% (2008). Komposisi konsumsi protein pada

2008 berasal dari 42,18 g protein nabati dan 15,31 g protein hewani;

sementara anjuran konsumsi protein nabati sebesar 37 g/kapita/hari dan

protein hewani 15 g/kapita/hari (Dinas Peternakan Provinsi Lampung, 2009).

Sumber protein hewani antara lain daging, susu dan telur. Daging khususnya

daging ayam merupakan sumber protein yang disukai oleh konsumen. Selain

karena harganya yang relatif murah juga karena kandugan gizinya yang tinggi.

Saat ini tidak hanya daging broiler saja yang dijadikan sebagai pemenuhan

permintaan daging ayam di pasaran, terdapat alternatif lain yaitu daging yang

berasal dari ayam jantan tipe medium. Ayam jantan tipe medium merupakan

hasil sampingan dari industri pembibitan ayam. Ayam jantan di penetasan

merupakan hasil yang tidak diharapkan karena hanya ayam betina yang


(2)

Pada dasarnya ayam jantan tipe medium memiliki beberapa kelebihan selain

harga Day Old Chick (DOC) yang relatif lebih murah dibandingkan dengan DOC broiler, hasil produksinya mudah dipasarkan karena pada umumnya

rasa daging ayam jantan tipe medium hampir menyerupai ayam kampung,

serta memiliki kadar lemak abdominal yang rendah yang menyerupai ayam

kampung (Darma, 1982 dan Riyanti, 1995).

Keberhasilan pemeliharaan ayam jantan tipe medium dipengaruhi oleh 30 %

genetik dan 70% faktor lingkungan (Aksi Agraris Kanisius, 2003). Faktor

lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kondisi ternak salah satunya

adalah jenis dan kepadatan kandang. Manajemen pemeliharaan yang baik

harus memperhatikan jenis dan kepadatan kandang yang sesuai.

Umumnya jenis kandang yang digunakan dalam pemeliharaan ayam jantan

tipe medium adalah kandang panggung. Menurut Sudaryani dan Santosa

(1999), kandang panggung adalah kandang dengan lantai renggang dan ada

jarak dengan tanah serta terbuat dari bilah-bilah bambu atau kayu. Menurut

Suprijatna, dkk. (2005), kelebihan kandang panggung adalah laju

pertumbuhan ayam tinggi, efisiensi dalam penggunaan ransum, dan kotoran

mudah dibersihkan.

Kandang dengan kepadatan yang sesuai akan menciptakan kondisi yang

nyaman bagi ternak (comfort zone). Kepadatan kandang yang tinggi akan menyebabkan ternak berada pada kondisi yang tidak nyaman. Menurut


(3)

menyebabkan suhu dan kelembaban yang tinggi sehingga akan mengganggu

fungsi fisiologis tubuh ayam. Respon fisiologis ternak yang dipengaruhi oleh

perubahan temperatur dan kelembaban adalah frekuensi pernapasan, suhu

rektal serta suhu shank. Pada kepadatan kandang yang rendah ternak

cenderung berada dalam kondisi nyaman sehingga tidak memengaruhi respon

fisiologis ayam, namun kurang efisiensi dalam produksi.

Berdasarkan hasil penelitian Yunus (2009), jenis kandang panggung dan

kandang postal tidak berpengaruh nyata terhadap frekuensi pernapasan, dan

suhu shank broiler. Penelitian Marlina (2010) menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan antara jumlah sel darah merah, putih serta kadar

hemoglobin pada kepadatan kandang 16 ekor m-2, 19 ekor m-2 dan 22 ekor m-2 pada ayam jantan tipe medium di kandang panggung.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui kepadatan kandang yang ideal yang berpengaruh baik terhadap

respon fisiologis berupa frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu shank.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) mengetahui respon fisiologis (frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu

shank) ayam jantan tipe medium pada kandang panggung dengan kepadatan ayam yang berbeda;


(4)

2) mengetahui kepadatan kandang yang terbaik terhadap respon fisiologis

(frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu shank) ayam jantan tipe medium pada kandang panggung.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

penggunaan kepadatan kandang yang terbaik pada pemeliharaan ayam jantan

tipe medium pada kandang panggung, khususnya terhadap respon fisiologis

dan bagi peternak berguna sebagai bahan pertimbangan untuk memilih

kepadatan kandang yang terbaik dalam upaya meningkatkan produksi ayam

jantan tipe medium.

D. Kerangka Pemikiran

Ayam jantan tipe medium merupakan hasil sampingan dari industri

pembibitan ayam petelur yang dimanfaatkan peternak sebagai penghasil

daging. Ayam yang digunakan sebagai penghasil telur adalah ayam betina,

sedangkan ayam yang digunakan sebagai penghasil daging adalah ayam

jantan. Dalam usaha pembibitan, peluang untuk menghasilkan ayam betina

dan ayam jantan setiap kali penetasan adalah 50%. Dengan demikian,

kemungkinan pemanfaatan anak ayam jantan tipe medium sebagai ternak

penghasil daging sangat besar. Selain itu, ayam jantan tipe medium

mempunyai pertumbuhan dan bobot hidup yang lebih tinggi dibandingkan


(5)

murah dibandingkan dengan DOC broiler (Wahyu, 1992). Hal ini

menyebabkan, ayam jantan tipe medium berpotensi untuk dikembangkan.

Pertumbuhan ayam jantan tipe medium pada dasarnya dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu faktor genetik 30% dan faktor lingkungan 70%. Salah satu faktor

lingkungan yang berpengaruh adalah kandang. Faktor penting pada kandang

yang perlu diperhatikan antara lain adalah jenis kandang serta kepadatan

kandang yang digunakan. Kandang merupakan tempat untuk tidur dan

beristirahat yang berfungsi melindungi ternak dari hewan-hewan pemangsa,

membantu pertumbuhan dan perkembangan ternak lebih baik karena dengan

dikandangkan ternak tidak banyak bergerak sehingga energinya dapat

digunakan secara maksimal untuk metabolisme tubuh, terutama untuk

pembentukan daging (Cahyono, 2004).

Kandang yang banyak digunakan oleh peternak pada umumnya adalah

kandang panggung. Menurut Fadillah (2004), kandang panggung merupakan

bentuk kandang yang paling banyak dibangun untuk mengatasi kondisi panas.

Menurut Suprijatna, dkk. (2005), kelebihan kandang panggung adalah laju

pertumbuhan ayam tinggi, efisiensi dalam penggunaan ransum, dan kotoran

mudah dibersihkan .

Selain jenis kandang, kepadatan kandang juga perlu diperhatikan. Tingkat

kepadatan kandang ayam dinyatakan dengan luas lantai kandang yang tersedia

bagi setiap ekor ayam atau jumlah ayam yang dipelihara pada satu satuan luas


(6)

untuk pertumbuhan unggas dan kandang yang terlalu longgar juga kurang

efisien. Menurut Guyton dan Hall (1997), kepadatan kandang yang terlalu

tinggi akan menyebabkan suhu dan kelembaban yang tinggi sehingga akan

mengganggu fungsi fisiologis tubuh ayam. Kepadatan kandang yang ideal

telah didapat pada pemeliharaan broiler, yaitu 8--9 ekor m-2(Rasyaf, 2010). Sedangkan dalam pemeliharaan ayam jantan tipe medium itu sendiri belum di

peroleh kepadatan kandang yang ideal dalam pemeliharaannya.

Hasil penelitian Yunus (2009), jenis kandang panggung dan kandang postal

tidak berpengaruh nyata terhadap frekuensi pernapasan, dan suhu shank broiler. Namun, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Marlina (2010) yang menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan antara jumlah sel darah merah,

putih serta kadar hemoglobin pada kepadatan kandang 16 ekor m-2maupun pada kepadatan kandang 19 ekor m-2 dan 22 ekor m-2 di kandang panggung.

Kepadatan kandang terlalu tinggi menyebabkan suhu kandang yang tinggi

sehingga menyebabkan ternak dalam kondisi stres. Stres akibat suhu kandang

yang terlalu tinggi, dapat berpengaruh terhadap respon fisiologis yaitu berupa

peningkatan suhu tubuh, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung.

Peningkatan temperatur udara akan meningkatkan suhu tubuh yang

bardampak terhadap meningkatkannya aktivitas penguapan melalui panting

dan peningkatan jumlah panas yang dilepas per satuan luas permukaan tubuh.

Peningkatan suhu tubuh merupakan fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit.


(7)

panas per satuan waktu yang dilepaskan melalui saluran pernafasan (Schmidt

and Nelson, 1990).

Panting merupakan usaha ternak untuk meningkatkan pembuangan panas tubuh dengan cara peningkatan frekuensi respirasi dan penurunan volume

inspirasi-ekspirasi (tidal volume). Panas ini dibawa oleh darah yang melewati

mukosa saluran pernafasan dan dibuang dengan melakukan penguapan air,

setelah itu darah meninggalkan saluran pernafasan masuk vena yang lebih

dingin kemudian masuk ke jantung dan selanjutnya dipompakan ke seluruh

tubuh sehingga terjadi penurunan suhu (Cogburn and Harrison, 1980).

Peningkatan frekuensi pernafasan menyebabkan peningkatan konsumsi

oksigen dan denyut jantung. Peningkatan denyut jantung berkaitan dengan

usaha penyebaran panas tubuh atau pendinginan ke seluruh tubuh (McDowell,

1972).

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1) ada pengaruh kepadatan kandang terhadap frekuensi pernapasan, suhu

rektal serta suhu shank ayam jantan tipe medium pada kandang panggung; 2) terdapat kepadatan kandang terbaik terhadap frekuensi pernapasan, suhu


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ayam Jantan Tipe Medium

Saat ini terdapat beberapa jenis ayam yang dijadikan sebagai ayam penghasil

daging, diantaranya adalah ayam jantan tipe medium. Nataatmaja (1982)

menyatakan bahwa saat ini jenis bibit ayam yang beredar di pasaran, antara

lain ayam petelur (layer), ayam pedaging (broiler), dan ayam yang

mempunyai fungsi ganda (dwiguna), yaitu sebagai ayam penghasil daging dan

telur. Ayam tipe medium atau disebut juga ayam dwiguna selain sebagai

ternak penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging

(Suprianto, 2002). Dalam usaha pembibitan, peluang untuk menghasilkan

ayam betina dan jantan masing-masing adalah 50%. Dengan demikian,

kemungkinan pemanfaatan anak ayam jantan tipe medium sebagai ternak

penghasil daging cukup besar (Ariyanto, 1995).

Ada beberapa kelebihan dari pemeliharaan ayam jantan tipe medium

diantaranya adalah harga DOC ayam jantan tipe medium yang lebih murah

dibandingkan dengan ayam pedaging (broiler), pertumbuhan bobot hidupnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan ayam betina petelur (Riyanti, 1995).


(9)

abdominal yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam betina. Ayam

persilangan antara galur Ross dengan galur Arbor arces menghasilkan ayam jantan dengan kandungan lemak abdominal sebesar 2,6%, sedangkan betina

2,8% (Sizemore dan Siegel, 1993). Hasil penelitian Daryanti (1982) yang

dilakukan pada ayam petelur strain Harco dan Decalb menunjukkan bahwa persentase lemak abdominal ayam petelur strain Harco pada umur enam minggu adalah 2,36%, sedangkan ayam petelur jantan Decalb 3,39%. Persentase lemak ini masih lebih rendah dari pada persentase lemak

abdominal broiler, yaitu 6,65%.

Dilihat dari segi pertumbuhan, ayam jantan tipe medium lebih baik daripada

ayam tipe ringan. Hal ini sesuai dengan Dwiyanto (1979), bahwa ayam

jantan tipe Brownick, pertumbuhannya lebih baik daripada ayam jantan tipe ringan Kimber.

B. Kandang Panggung

Suprijatna dkk. (2005) menyatakan bahwa kandang merupakan tempat ayam

tinggal dan ayam beraktivitas. Pembuatan kandang di daerah tropis memiliki

fungsi makro sebagai tempat tinggal bagi unggas agar terlindung dari

pengaruh-pengaruh buruk iklim (hujan, panas, dan angin) serta gangguan

lainnya (hewan liar atau buas dan pencurian).

Menurut Sudaryani dan Santosa (1999), kandang panggung adalah kandang


(10)

bilah-bilah bambu atau kayu. Menurut Fadilah (2004), kandang panggung

merupakan bentuk kandang yang paling banyak dibangun untuk mengatasi

temperatur panas.

Kelebihan kandang panggung adalah laju pertumbuhan ayam yang tinggi,

efisiensi dalam penggunaan ransum, dan kotoran mudah dibersihkan

(Suprijatna, dkk., 2005). Kandang panggung mempunyai ventilasi yang

berfungsi lebih baik karena udara bisa masuk dari bawah dan samping karena

pada kandang ini memiliki lantai berlubang (Fadilah, 2004). Namun

disamping mempunyai beberapa kelebihan, kandang panggung mempunyai

beberapa kekurangan diantaranya adalah tingginya biaya peralatan dan

perlengkapan, tenaga dan waktu pengelolaan meningkat, ayam mudah terluka

dan kaki bubulen sehingga ayam kesakitan dan stress (Suprijatna, dkk.,

2005).

C. Kepadatan Kandang

Kepadatan kandang akan berpengaruh terhadap kenyamanan ternak di dalam

kandang (Rasyaf, 2001). Kepadatan kandang dinyatakan sebagai satuan luas

lantai per ekor. Luas lantai kandang setiap ekor ayam antara lain tergantung

dari tipe lantai, tipe ayam, jenis kelamin, dan periode produksi (North and

Bell, 1990). Pada dasarnya kepadatan kandang akan memengaruhi

temperatur dan kelembaban yang ada di dalam kandang itu sendiri.

Kepadatan kandang yang terlalu tinggi akan memyebabkan temperatur dan


(11)

ayam. Creswell dan Hardjosworo (1979) menyarankan untuk kondisi

Indonesia digunakan luas lantai kandang 0,1 m-2 per ekor (10 ekor/m2) untuk

broiler. Kepadatan kandang optimal untuk ternak ayam dipengaruhi oleh temperatur kandang. Semakin tinggi temperatur udara dalam kandang maka

kepadatan kandang optimal semakin rendah dan sebaliknya semakin rendah

temperatur udara dalam kandang, maka kepadatan kandang optimal semakin

tinggi (Rasyaf, 2010). Hasil penelitian Nova (1995) memperlihatkan bahwa

kepadatan kandang nyata meningkatkan udara kandang, temperatur litter,dan suhu rektal.

D. Respon Fisiologis

Kepadatan kandang yang tinggi akan memengaruhi temperatur kandang

sehingga temperatur kandang akan menjadi tinggi. Linvill dan Predue (1992)

menyatakan bahwa kelangsungan hidup dan performan ternak selama

cekaman panas tergantung pada beberapa faktor iklim, terutama temperatur,

dan kelembaban udara.

Menurut Amstrong (1994), temperatur yang tinggi mengakibatkan cekaman

panas pada ternak, sehingga terjadi perubahan fisiologis berupa peningkatan

suhu tubuh, konsumsi air minum, frekuensi pernapasan, evaporasi air, dan

perubahan konsumsi ransum. McDowell (1974) juga mengatakan bahwa

ekspresi ternak yang terkena cekaman panas antara lain: 1) peningkatan suhu


(12)

minum; 3) penurunan konsumsi ransum; 4) perubahan pola tingkah laku; 5)

peningkatan laju peredaran darah; dan 6) perubahan aktivitas hormon.

1. Frekuensi pernafasan

Frekuensi pernapasan dapat digunakan sebagai indikator respon fisiologis

ayam jantan tipe medium dengan cara menghitung pergerakan thorax ayam jantan tipe medium selama 30 detik. Frekuensi pernafasan broiler pada suhu 32º C sebanyak 200 kali per menit dan frekuensi pernafasan broiler

pada suhu 36º C sebanyak 250 kali per menit (Zhou dan Yamamoto, 1997).

Suprijatna, dkk. (2005) mengatakan bahwa frekuensi pernafasan broiler saat istirahat adalah 15--25 kali per menit. Menurut Sturkei (1979), rata-rata

frekuensi pernafasan ayam saat istirahat 17--27 kali per menit. Hasil

penelitian Herlina (2009) menunjukkan frekuensi pernafasan ayam jantan

tipe medium umur 28 hari pada kandang panggung yaitu 42,96 kali/30 detik,

sedangkan pada kandang postal 51,30 kali/30 detik. Pada penelitian ini

rata-rata frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu ke-3 sampai

minggu ke-7 adalah 46,1 kali/30 detik.

Menurut McDowell (1972), peningkatan suhu tubuh, yang merupakan

fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit, akibat kenaikan temperatur udara,

akan meningkatkan aktivitas penguapan melalui panting dan peningkatan jumlah panas yang dilepas per satuan luas permukaan tubuh. Demikian juga

dengan naiknya frekuensi nafas akan meningkatkan jumlah panas per satuan


(13)

1990). Panting merupakan usaha ternak untuk meningkatkan pembuangan panas tubuh dengan cara peningkatan frekuensi respirasi dan penurunan

volume inspirasi-ekspirasi (tidal volume) (Cogburn and Harrison, 1980).

2. Suhu rektal

Temperatur lingkungan yang tinggi akan menaikkan suhu tubuh, frekuensi

pernafasan, dan denyut jantung. Dalam kondisi ini ternak akan mengeluarkan

panas melalui peningkatan laju pernafasan dan berkeringat pada ternak

ruminansia (Williamson dan Payne, 1993). Menurut Yousef (1985), produksi

panas yang berlebihan akan meningkatkan suhu tubuh dan menyebabkan

kematian bila suhu tubuh terlalu tinggi, sedangkan produksi panas yang

terlalu rendah akan mengakibatkan ternak tidak mampu bertahan terhadap

dinginnya udara luar.

Suhu tubuh merupakan indikator fisiologis yang mudah diperoleh, yang

diperoleh dengan cara mengukur suhu tubuh pada bagian rektal. Sumaryadi

dan Budiman (1986) menyatakan bahwa suhu tubuh adalah manifestasi dalam

usaha mencapai keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas

yang dikeluarkan.

Menurut Suprijatna, dkk. (2005), ayam vertebrata berdarah panas dengan

tingkat metabolisme yang tinggi, suhu tubuh ayam relatif tinggi. Anak ayam


(14)

anak ayam akan meningkat setelah hari ke-4 sampai hari ke-10 dicapai suhu

yang maksimal. Suhu tubuh ayam dewasa rata-rata sekitar 40--40,7ºC.

3. Suhu shank

Suhu shank dan suhu abdominal juga merupakan indikator respon fisiologis karena produksi panas, suhu abdominal, suhu kulit shank, dan laju pernafasan broiler meningkat secara nyata pada suhu 36º C dibandingkan dengan 28º C

dan 32º C. Rata-rata suhu shank sebesar 41,0º C (Zhou dan Yamamoto, 1997).

Kepadatan kandang akan berpengaruh terhadap temperatur lingkungan di

sekitar kandang. Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan temperatur

lingkungan kandang yang tinggi pula. Mekanisme pelepasan panas tubuh

pada ternak ke lingkungan secara umum dapat dilakukan dengan jalur

sensible (non evaporative heat loss) dan insensible (evaporative heat loss). Jalur sensible dapat dilakukan secara konduksi, konveksi, dan radiasi, sedangkan jalur insensible melalui evaporasi atau penguapan panas baik melalui saluran pernafasan (panting) maupun melalui permukaan kulit dengan bantuan keringat (sweating) seperti pada manusia (Yousef, 1985).

Pelepasan panas secara konveksi melibatkan pergerakan molekul air (udara)

yang bersinggungan dengan kulit, dimana perpindahan panas yang terjadi

merupakan hasil konduksi panas dari kulit ke udara. Suhu shank merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui respon fisiologis


(15)

ternak, karena shank merupakan bagian tubuh ayam yang kontak langsung dengan media yaitu litter Hasil penelitian Arintoko (2008) menunjukkan suhu

shank broiler strain Cobb sebesar 38,67º C dan strainLohmann 39,01º C, sedangkan penelitian Ihvan (2008) menunjukkan bahwa suhu shank broiler pada kandang panggung sebesar 38,67º C dan pada kandang litter sebesar


(16)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 minggu dari 12 Februari – 29 Maret 2012, di kandang ayam milik PT Rama Jaya Lampung, Dusun Sidorejo, Desa

Krawang Sari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan.

B. Bahan dan Alat 1. Ayam penelitian

Ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam jantan tipe medium

strainHysex Brown produksi PT. Ayam Manggis Jakarta sebanyak 360 ekor, yang dipelihara secara komersial di kandang panggung mulai dari

anak ayam umur sehari (DOC) sampai dengan umur 7 minggu. Bobot

awal ayam pada penelitian adalah 39,25 ±4,65 g/ekor dengan KK sebesar


(17)

2. Kandang

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang panggung

sebanyak 18 petak dengan ukuran 1 x 1x 1 m per petak, kapasitas dalam

setiap petak berisi 16 m-2, 20 m-2 serta 24 m-2.

3. Ransum

Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum komersial

BBR 1 (Bestfeed®) yang diproduksi PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk yang diberikan pada umur 1-49 hari. Kandungan nutrisi rasum yang

diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum hasil analisis proksimat

Kandungan nutrisi BBR-1 (Bestfeed®)

Air (%) 8,97

Protein (%) 21,70

Lemak (%) 8,69

Serat kasar (%) 4,50*

Abu (%) 4,76

GE 2775,56**

EM (Kkal/Kg) 3330,67***

Sumber: Hasil laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Lampung (2012)

*Hasil laboratorium Politeknik Lampung (2012)

** Hasil Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar Lampung (2012)


(18)

4. Air Minum

Air minum yang digunakan dalam penelitian berupa air sumur Bor yang

diberikan secara ad libitum.

5. Vaksin, Antibiotik, dan Vitamin

Vaksin yang diberikan adalah ND IB tetes mata + NDAI kill H5N1,

Gumboro MB cekok, ND IB melalui air minum, Gumboro MB melalui air minum, dan ND Lasota melalui air minum. Antibiotik yang diberikan adalah Spirafluq. Vitamin yang diberikan adalah Catalyst®, Strongfit®, dan New Low Stress-RV Plus®,dan Multicarnytol®.

6. Alat penelitian

1) Tempat ransum baki (chick feeder tray) sebanyak 20 buah yang digunakan untuk ayam umur 1--14 hari;

2) Tempat ransum gantung (hanging feeder) dan tempat air minum, masing-masing sebanyak 20 buah yang digunakan untuk ayam berumur

15--49 hari;

3) Tempat air minum menggunakan tempat air minum yang berbentuk

tabung (galon) sebanyak 20 buah;

4) Timbangan kapasitas 2 kg dengan ketelitian 20g yang digunakan untuk

menimbang day old chick (DOC) dan berat tubuh ayam jantan tipe mediumpada minggu pertama sebanyak 2 buah;


(19)

5) Timbangan kapasitas 10 kg ketelitian 200g yang digunakan untuk

menimbang ayam dan ransum pada minggu 1—8;

6) Timbangan digital ketelitian 0,001g sebanyak 1 buah yang digunakan

untuk menimbang vitamin;

7) Tirai yang terbuat dari plastik 10 buah;

8) Pemanas brooder (gasolex) beserta perlengkapannya ;

9) Chick quard yang digunakan untuk menyekat DOC dalam area

brooding;

10)Hand sprayer sebanyak 2 buah; 11)Thermohygrometer, 3 buah;

12)Peralatan kebersihan (sapu, ember, lap, dan bak air);

13)Thermometer tubuh raksa untuk mengukur suhu rektal dan suhu shank; 14)Number counter untuk mengukur frekuensi pernafasan;

15)Stopwatch untuk mengukur waktu; 16)Alat tulis untuk melakukan pencatatan.

C. Rancangan Perlakuan

Penelitian ini dilakukan secara experimental menggunakan Rancangan Acak

Langkap (RAL), terdiri atas tiga perlakuan yaitu

P1 : kepadatan kandang 16 ekor per m-2 P2 : kepadatan kandang 20 ekor per m-2 P3 : kepadatan kandang 24 ekor per m-2


(20)

D. Analisis Data

Setiap perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Data yang dihasilkan dianalisis

dengan analisis ragam. Sebelum analisis ragam, data diuji terlebih dahulu

dengan uji normalitas, homogenitas, dan aditivitas. Apabila dari analisis ragam

menunjukkan bahwa perlakuan terhadap kepadatan kandang nyata dilanjutkan

dengan uji Duncan pada taraf nyata 5% (Steel dan Torrie, 1993).

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan kandang

Satu minggu sebelum DOC datang, kandang dibersihkan kemudian

didesinfeksi menggunakan desinfektan. Desinfeksi bertujuan untuk

membunuh bibit–bibit penyakit dengan dilakukan pada saat sanitasi kandang. Tahapannya meliputi:

1) mencuci tempat ransum, tempat air minum, dan tirai dicuci dengan

sabun dan kemudian dibilas dengan menggunakan desinfektan;

2) membersihkan bagian luar kandang dari kotoran;

3) mencuci kandang menggunakan detergen;

4) membuat petak kandang dari bambu dengan ukuran 1 m2sebanyak 18 petak;

5) mengapuri dinding, tiang, kandang dan lantai kandang;

6) menyemprot kandang dengan desinfektan;

7) memasang tirai kandang;


(21)

2. Tahap pelaksanaan

Secara acak 1144 ekor ayam jantan tipe medium ditimbang terlebih dahulu

menggunakan timbangan kapasitas 2 kg untuk mendapatkan berat tubuh

awal masing-masing perlakuan, kemudian DOC dimasukkan ke dalam

area brooding dan diberi Chikovit® 0,05%. DOC dipelihara di area

brooding selama 2 minggu kemudian dipindahkan dalam petak kandang pada umur 15 hari dengan mengambil 360 ekor ayam yang dipilih secara

acak dari area brooding dengan bobot yang seragam dan kemudian

ditempatkan pada unit kandang yang telah diberi nomor sesuai pengacakan

perlakuan dan ulangan.

Semua data diambil dan dihitung mulai minggu ke-3 hingga minggu ke-7.

Pemberian ransum dan air dilakukan secara ad-libitum. Pemberian ransum dilakukan pada pukul 09.00 WIB dan pukul 12.30 WIB dengan terlebih

dahulu menimbang kebutuhan konsumsi ransum yang akan diberikan pada

setiap harinya. Pemberian air minum dilakukan pada pukul 09.00 WIB

dan pukul 12.30 WIB dengan mengukur terlebih dahulu banyaknya air

yang akan diberikan pada saat pemberian air minum. Pengukuran sisa

ransum dilakukan seminggu sekali, sedangkan sisa air minum dilakukan

setiap hari. Mengukur temperatur dan kelembaban kandang setiap hari,

yaitu pada pukul 05.00, 15.00, 22.00 WIB berdasarkan pola suhu kandang

yang telah di ukur. Suhu (0C) dan kelembaban (%) lingkungan kandang diukur menggunakan thermohigrometer yang diletakkan pada setiap perlakuan yang digantung sejajar dengan tinggi petak-petak kandang.


(22)

Program vaksinasi yang dilakukan adalah (1) vaksinasi ND IB saat ayam berumur 5 hari melalui tetes mata; (2) vaksinasi ND AI kill H5N1 saat ayam berumur 5 hari melalui suntik bawah kulit (subkutan) dengan dosis

0,2 cc/ekor; (3) vaksinasi Gumboro saat ayam berumur 16 hari melalui

cekok mulut; (4) vaksinasi ND dengan Medivac ND Clone-45 saat ayam

berumur 21 hari melalui air minum; (5) vaksinasi Gumboro saat ayam

umur 28 hari melalui air minum; (6) vaksinasi ND dengan ND Lasota saat

umur 43 hari melalui air minum.

Pemberian vitamin dan antibiotik yang dilakukan adalah Strongfit® (pagi) dan Catalyst® (siang) saat ayam berumur 1 hari, Spiralfluq® (pagi) dan

New Low Stress-RV Plus® saat ayam berumur 2 sampai 8 hari, New Low Stress-RV Plus® saat ayam berumur 9 sampai 19 hari, Catalyst® saat ayam berumur 21 sampai 31 hari, Multicarnitol® saat ayam berumur 33 sampai 37 hari, Catalyst® saat ayam berumur 39 sampai 41 hari dan 44 sampai 56 hari.

3. Tahap koleksi data

Pengamatan dilakukan terhadap respon fisiologis ayam jantan tipe

medium pada kandang panggung dengan kepadatan yang berbeda yang

meliputi frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu shank sebanyak 10% dari jumlah ayam per petak masing-masing 2 ekor untuk kepadatan 16 dan


(23)

minggu. Data pendukung yang diambil berupa temperatur dan

kelembaban lingkungan dilakukan setiap hari pukul 05.00, 15.00, serta

22.00 WIB berdasarkan pola temperatur kandang yang telah di ukur.

Pengambilan data dilakukan pada temperatur ekstrim tertinggi yaitu pukul

14.30 –15.30 WIB berdasarkan pola temperatur yang sudah diperoleh. Penentuan pola temperatur yaitu dengan cara mengukur dan mencacat

temperatur kandang setiap jam, selanjutnya menentukan pada pukul

berapa temperatur terendah dan tertinggi kandang dari hasil pencatatan.

Waktu yang menunjukkan temperatur tertinggi tersebutlah yang digunakan

dalam pengambilan data.

G. Peubah yang Diukur

1. Frekuensi pernapasan

Pengukuran frekuensi pernafasan dilakukan pada pukul 14.30–15.30 WIB pada umur 14 sampai 49 hari. Perhitungan dilihat dari jumlah gerakan

thorax ayam selama 30 detik (Zhou dan Yamamoto, 1997). Pengukuran dilakukan 1 kali per minggu.

2. Suhu rektal

Suhu rektal (ºC)diukur dengan termometer digital pada pukul 14.30– 15.30 WIB pada umur 14 sampai 49 hari, pengukuran dilakukan dengan

cara memasukkan 1/3 bagian termometer ke dalam rektal ayam sampai


(24)

3. Suhu shank

Suhu shank (ºC)diukur dengan menggunakan dengan termometer digital pada pukul 12.00–14.00 WIB pada umur 14 sampai 49 hari, pengukuran dilakukan dengan cara meletakkan termometer pada bagian tengah kulit

shank dengan melapisi tangan dengan sarung tangan plastik, pengukuran dilakukan 1 kali per minggu.


(25)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1) Kepadatan kandang 16, 20, dan 24 ekor per m-2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium pada

minggu ke-6 dan ke-7, tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap

frekuensi pernafasan minggu ke-3 sampai ke-5, dan suhu rektal serta suhu

shank minggu ke-3 sampai ke-7.

2) Kepadatan kandang 16 dan 20 ekor per m-2 memperlihatkan pengaruh terbaik terhadap frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu

ke-6 dan ke-7.

B. Saran

Peternak dapat menggunakan kandang panggung dengan kepadatan kandang

sampai dengan 20 ekor per m-2 selama 7 minggu, sedangkan kepadatan kandang sampai dengan 24 ekor per m-2 masih dapat digunakan selama pemeliharaan sampai umur 5 minggu.


(26)

ABSTRAK

RESPON FISIOLOGIS AYAM JANTAN TIPE MEDIUM DENGAN KEPADATAN KANDANG YANG BERBEDA PADA

KANDANG PANGGUNG Oleh

Esti Yuliana

Ayam jantan tipe medium berasal dari hasil sampingan usaha penetasan ayam petelur. Keberhasilan usaha ayam jantan tipe medium tidak terlepas dari manajemen pemeliharaan yang baik yaitu kepadatan kandang.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui respon fisiologis ayam jantan tipe medium pada kandang panggung dengan kepadatan kandang yang berbeda dan (2) mengetahui kepadatan kandang yang terbaik terhadap respon fisiologis ayam jantan tipe medium.

Penelitian dilaksanakan selama 7 minggu dari dari 09 Februari – 29 Maret 2012, di kandang panggung milik PT. Rama Jaya Lampung, Dusun Sidorejo, Desa Krawang Sari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Ayam yang digunakan adalah ayam jantan tipe medium strain Hysex sebanyak 360 ekor dengan rata-rata bobot awal 39,25±4,65 g/ekor dengan KK sebesar 8,43%.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Langkap (RAL), terdiri atas tiga perlakuan, dengan ulangan sebanyak enam kali, yaitu P1 : kepadatan kandang 16 ekor m-2, P2 : kepadatan kandang 20 ekor m-2, P3 : kepadatan kandang

24 ekor m-2. Data yang dihasilkan dianalisis dengan analisis ragam, apabila dari analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan terhadap kepadatan kandang nyata pada taraf 5%, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) kepadatan kandang 16, 20, dan 24 ekor per m-2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium pada minggu ke-6 dan ke-7, tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap frekuensi pernafasan minggu ke-3 sampai ke-5, dan suhu rektal serta suhu shank minggu ke-3 sampai ke-7 serta (2) kepadatan kandang 16 dan 20 ekor per m-2 memperlihatkan pengaruh terbaik terhadap frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu ke-6 dan ke-7.


(27)

KEPADATAN KANDANG YANG BERBEDA PADA KANDANG PANGGUNG

(Skripsi)

Oleh Esti Yuliana

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(28)

KEPADATAN KANDANG YANG BERBEDA PADA KANDANG PANGGUNG

Oleh Esti Yuliana

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(29)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Kegunaan Penelitian ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8 A. Ayam Jantan Tipe Medium ... 8

B. Kandang Panggung ... 9

C. Kepadatan Kandang ... 10

D. Respon Fisiologis ... 11

1. Frekuensi pernafasan ... 12 2. Suhu rektal ... 13 3. Suhu shank ... 14

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 16 A.Waktu dan Tempat Penelitian... 16


(30)

1. Ayam penelitian ... 16 2. Kandang ... 17 3. Ransum ... 17

4. Air minum ... 17 5. Vaksin, antibiotik, dan vitamin... 18 6. Alat penelitian... 18

C. Rancangan perlakuan ... 19

D. Analisis data... 19

F. Pelaksanaan Penelitian ... 20

1. Persiapan kandang ... 20 2. Tahap pelaksanaan ... 20 3. Tahap koleksi data ... 22

G.Peubah yang Diukur ... 23

1. Frekuensi pernafasan ... 23 2. Suhu rektal ... 23 3. Suhu shank ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25 A. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Frekuensi Pernafasan... 26

B. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Suhu Rektal ... 31

C. Pengaruh Kepadatn Kandang terhadap Suhu Shank ... 34

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA... 40


(31)

MEDIUM DENGAN KEPADATAN KANDANG YANG BERBEDA PADA KANDANG PANGGUNG

Nama : Esti Yuliana

NPM : 0814061010

Jurusan : Peternakan

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Sri Suharyati, S.Pt., M.P. Dian Septinova, S.Pt., M.T.A.

NIP 19680728 199402 2002 NIP 19710914 199702 2001

2. Ketua Jurusan Peternakan

Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.


(32)

1. Tim Penguji

Ketua : Sri Suharyati, S.Pt., M.P. ...

Sekretaris : Dian Septinova, S.Pt., M.T.A. ... Penguji

Bukan Pembimbing : drh. Purnama Edy Santosa, M.Si. ...

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.

NIP 19610826 198702 1 001


(33)

PERSEMBAHAN

Ya Allah SWT dengan keikhlasan hati dan mengharap ridho-Mu

kupersembahkan karya ini sebagai tanda bakti dan cinta kasihku kepada:

Bapak dan ibu tersayang Sumarja dan Bariyah yang telah membesarkan,

mendidik, dan selalu mendoakan serta mencurahkan kasih sayangnya

dengan pengorbanan yang tulus ikhlas demi kebahagiaan dan

keberhasilanku.

Adiku Wahyu Setiaji serta keluarga besarku.

Sahabat-sahabat terbaikku.

Para pendidik atas ketulusan dan kesabarannya dalam mendidikku


(34)

MOTTO

“ Hidup tidak mudah bagi siapapun.

Tapi kita harus mempunyai kegigihan dan percaya pada diri sendiri.

Kita harus percaya bahwa kita diberi suatu bakat dan berapapun pengorbanannya, kita harus mendapatkannya”

(Marie Curie)

“Orang yang paling cerdas ialah orang yang banyak menghitung-hitung atau evaluasi atau intropeksi

(amal-perbuatan) dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian”

(At - Tirmidzi)

“Life start from nothing to be something, then becoming someone and finally to be no one

because the only one is Allah Swt” (Reza M. Syarief)


(35)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Labuhan Ratu pada 25 Juli 1990, sebagai putri pertama dari

dua bersaudara pasangan Bapak Sumarja dan Ibu Bariyah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak Pertiwi Labuhan Ratu 7

pada 1996; Sekolah SD N I Labuhan Ratu pada 2002; Sekolah Menengah

Pertama Negeri I Way Jepara pada 2005; Sekolah Menengah Atas Negeri I Way

Jepara pada 2008.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,

Universitas Lampung, Bandar Lampung Pada 2008, melalui jalur PKAB. Pada

Juli sampai Agustus 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Indra

Putra Subing, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah.

Selanjutnya, pada Januari sampai Februari 2012 penulis melaksanakan Praktik

Umum (PU) di Jarkasih Farm Desa Tanjung Waras Kecamatan Natar Lampung Tengah.

Selama masa studi, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Peternakan

(HIMAPET) Fakultas Pertanian sebagai Sekretaris Anggota Bidang IV Dana dan

Usaha periode 2009/2010, Anggota Bidang II Pendidikan dan Pelatihan

2010/2011. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah


(36)

SANWACANA

Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat,

dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P.--selaku Pembimbing Utama--atas bimbingan,

kesabaran, perhatian, motivasi terbaik, arahan, dan ilmu yang diberikan

selama masa studi dan penyusunan skripsi;

2. Ibu Dian Septinova, S.Pt., M.T.A.--selaku Pembimbing Anggota--atas

bimbingan, saran, nasehat, dan ilmu yang diberikan selama masa studi dan

penyusunan skripsi;

3. Bapak drh. Purnama Edi Santosa, M.Si.--selaku Pembahas--atas bimbingan,

saran, dan bantuannya;

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.--selaku Ketua Jurusan Peternakan--atas

izin dan bimbingannya;

5. Bapak Ir. Arif Qisthon, M.Si.--selaku Sekertaris Jurusan Peternakan dan

Pembimbing Akademik --atas izin dan bimbingannya;

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.--selaku Dekan Fakultas


(37)

7. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Peternakan atas bimbingan, nasehat, motivasi

dan ilmu yang diberikan selama masa studi;

8. Mas Feri, Mbak Erni, dan Mas Agus atas bantuan, fasilitas selama kuliah,

selama penelitian dan penyusunan skripsi;

9. Ayah, Ibu tercinta, Adek Wahyu, Nenek ku, beserta keluarga besarku atas

semua kasih sayang, nasehat, kesabaran, motivasi, dukungan, dan keceriaan di

keluarga serta do'a tulus yang selalu tercurah tiada henti bagi penulis;

10.Andi Afrian, Aditya Rahmat, dan Ratih pramitha, sahabat seperjuangan saat

penelitian atas kerjasama, dorongan semangat, dan rasa persaudaraan yang

diberikan;

11.Aan, Dwi, Nidia, Ari, Ana, Neka, Nike,Rudi, Zul, Fazar, Adit, Dedi S, Dwi J,

Anam, Bayu, Deni, Yudi, Tegar, Cahyo, Fikri, dan seluruh teman, saudara

penulis PTK ’08, 09, 10, 11 yang tidak dapat dituliskan namanya satu persatu atas do’a, kenangan, perhatian, semangat, kebersamaan, dan bantuannya selama ini;

12.Mbak Mel, Yunita, Darma, Laras, Eka, Nurul, Rita, Diah, Rina, Dina, Titik,

teman-teman Asrama Sofi tercinta yang senantiasa memberikan semangat,

canda tawa, serta keceriaan selama ini.

Semoga semua yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat

dari Allah SWT, dan penulis berharap karya ini dapat bermanfaat. Amin.

Bandar lampung, Juni 2012

Penulis


(38)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan

masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

tahunnya. Konsumsi protein hewani penduduk Provinsi Lampung meningkat

dari 4,18% (2007) menjadi 4,33% (2008). Komposisi konsumsi protein pada

2008 berasal dari 42,18 g protein nabati dan 15,31 g protein hewani;

sementara anjuran konsumsi protein nabati sebesar 37 g/kapita/hari dan

protein hewani 15 g/kapita/hari (Dinas Peternakan Provinsi Lampung, 2009).

Sumber protein hewani antara lain daging, susu dan telur. Daging khususnya

daging ayam merupakan sumber protein yang disukai oleh konsumen. Selain

karena harganya yang relatif murah juga karena kandugan gizinya yang tinggi.

Saat ini tidak hanya daging broiler saja yang dijadikan sebagai pemenuhan

permintaan daging ayam di pasaran, terdapat alternatif lain yaitu daging yang

berasal dari ayam jantan tipe medium. Ayam jantan tipe medium merupakan

hasil sampingan dari industri pembibitan ayam. Ayam jantan di penetasan

merupakan hasil yang tidak diharapkan karena hanya ayam betina yang


(39)

Pada dasarnya ayam jantan tipe medium memiliki beberapa kelebihan selain

harga Day Old Chick (DOC) yang relatif lebih murah dibandingkan dengan DOC broiler, hasil produksinya mudah dipasarkan karena pada umumnya

rasa daging ayam jantan tipe medium hampir menyerupai ayam kampung,

serta memiliki kadar lemak abdominal yang rendah yang menyerupai ayam

kampung (Darma, 1982 dan Riyanti, 1995).

Keberhasilan pemeliharaan ayam jantan tipe medium dipengaruhi oleh 30 %

genetik dan 70% faktor lingkungan (Aksi Agraris Kanisius, 2003). Faktor

lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kondisi ternak salah satunya

adalah jenis dan kepadatan kandang. Manajemen pemeliharaan yang baik

harus memperhatikan jenis dan kepadatan kandang yang sesuai.

Umumnya jenis kandang yang digunakan dalam pemeliharaan ayam jantan

tipe medium adalah kandang panggung. Menurut Sudaryani dan Santosa

(1999), kandang panggung adalah kandang dengan lantai renggang dan ada

jarak dengan tanah serta terbuat dari bilah-bilah bambu atau kayu. Menurut

Suprijatna, dkk. (2005), kelebihan kandang panggung adalah laju

pertumbuhan ayam tinggi, efisiensi dalam penggunaan ransum, dan kotoran

mudah dibersihkan.

Kandang dengan kepadatan yang sesuai akan menciptakan kondisi yang

nyaman bagi ternak (comfort zone). Kepadatan kandang yang tinggi akan menyebabkan ternak berada pada kondisi yang tidak nyaman. Menurut


(40)

menyebabkan suhu dan kelembaban yang tinggi sehingga akan mengganggu

fungsi fisiologis tubuh ayam. Respon fisiologis ternak yang dipengaruhi oleh

perubahan temperatur dan kelembaban adalah frekuensi pernapasan, suhu

rektal serta suhu shank. Pada kepadatan kandang yang rendah ternak

cenderung berada dalam kondisi nyaman sehingga tidak memengaruhi respon

fisiologis ayam, namun kurang efisiensi dalam produksi.

Berdasarkan hasil penelitian Yunus (2009), jenis kandang panggung dan

kandang postal tidak berpengaruh nyata terhadap frekuensi pernapasan, dan

suhu shank broiler. Penelitian Marlina (2010) menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan antara jumlah sel darah merah, putih serta kadar

hemoglobin pada kepadatan kandang 16 ekor m-2, 19 ekor m-2 dan 22 ekor m-2 pada ayam jantan tipe medium di kandang panggung.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui kepadatan kandang yang ideal yang berpengaruh baik terhadap

respon fisiologis berupa frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu shank.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) mengetahui respon fisiologis (frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu

shank) ayam jantan tipe medium pada kandang panggung dengan kepadatan ayam yang berbeda;


(41)

2) mengetahui kepadatan kandang yang terbaik terhadap respon fisiologis

(frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu shank) ayam jantan tipe medium pada kandang panggung.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

penggunaan kepadatan kandang yang terbaik pada pemeliharaan ayam jantan

tipe medium pada kandang panggung, khususnya terhadap respon fisiologis

dan bagi peternak berguna sebagai bahan pertimbangan untuk memilih

kepadatan kandang yang terbaik dalam upaya meningkatkan produksi ayam

jantan tipe medium.

D. Kerangka Pemikiran

Ayam jantan tipe medium merupakan hasil sampingan dari industri

pembibitan ayam petelur yang dimanfaatkan peternak sebagai penghasil

daging. Ayam yang digunakan sebagai penghasil telur adalah ayam betina,

sedangkan ayam yang digunakan sebagai penghasil daging adalah ayam

jantan. Dalam usaha pembibitan, peluang untuk menghasilkan ayam betina

dan ayam jantan setiap kali penetasan adalah 50%. Dengan demikian,

kemungkinan pemanfaatan anak ayam jantan tipe medium sebagai ternak

penghasil daging sangat besar. Selain itu, ayam jantan tipe medium

mempunyai pertumbuhan dan bobot hidup yang lebih tinggi dibandingkan


(42)

murah dibandingkan dengan DOC broiler (Wahyu, 1992). Hal ini

menyebabkan, ayam jantan tipe medium berpotensi untuk dikembangkan.

Pertumbuhan ayam jantan tipe medium pada dasarnya dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu faktor genetik 30% dan faktor lingkungan 70%. Salah satu faktor

lingkungan yang berpengaruh adalah kandang. Faktor penting pada kandang

yang perlu diperhatikan antara lain adalah jenis kandang serta kepadatan

kandang yang digunakan. Kandang merupakan tempat untuk tidur dan

beristirahat yang berfungsi melindungi ternak dari hewan-hewan pemangsa,

membantu pertumbuhan dan perkembangan ternak lebih baik karena dengan

dikandangkan ternak tidak banyak bergerak sehingga energinya dapat

digunakan secara maksimal untuk metabolisme tubuh, terutama untuk

pembentukan daging (Cahyono, 2004).

Kandang yang banyak digunakan oleh peternak pada umumnya adalah

kandang panggung. Menurut Fadillah (2004), kandang panggung merupakan

bentuk kandang yang paling banyak dibangun untuk mengatasi kondisi panas.

Menurut Suprijatna, dkk. (2005), kelebihan kandang panggung adalah laju

pertumbuhan ayam tinggi, efisiensi dalam penggunaan ransum, dan kotoran

mudah dibersihkan .

Selain jenis kandang, kepadatan kandang juga perlu diperhatikan. Tingkat

kepadatan kandang ayam dinyatakan dengan luas lantai kandang yang tersedia

bagi setiap ekor ayam atau jumlah ayam yang dipelihara pada satu satuan luas


(43)

untuk pertumbuhan unggas dan kandang yang terlalu longgar juga kurang

efisien. Menurut Guyton dan Hall (1997), kepadatan kandang yang terlalu

tinggi akan menyebabkan suhu dan kelembaban yang tinggi sehingga akan

mengganggu fungsi fisiologis tubuh ayam. Kepadatan kandang yang ideal

telah didapat pada pemeliharaan broiler, yaitu 8--9 ekor m-2(Rasyaf, 2010). Sedangkan dalam pemeliharaan ayam jantan tipe medium itu sendiri belum di

peroleh kepadatan kandang yang ideal dalam pemeliharaannya.

Hasil penelitian Yunus (2009), jenis kandang panggung dan kandang postal

tidak berpengaruh nyata terhadap frekuensi pernapasan, dan suhu shank broiler. Namun, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Marlina (2010) yang menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan antara jumlah sel darah merah,

putih serta kadar hemoglobin pada kepadatan kandang 16 ekor m-2maupun pada kepadatan kandang 19 ekor m-2 dan 22 ekor m-2 di kandang panggung.

Kepadatan kandang terlalu tinggi menyebabkan suhu kandang yang tinggi

sehingga menyebabkan ternak dalam kondisi stres. Stres akibat suhu kandang

yang terlalu tinggi, dapat berpengaruh terhadap respon fisiologis yaitu berupa

peningkatan suhu tubuh, frekuensi pernafasan, dan denyut jantung.

Peningkatan temperatur udara akan meningkatkan suhu tubuh yang

bardampak terhadap meningkatkannya aktivitas penguapan melalui panting

dan peningkatan jumlah panas yang dilepas per satuan luas permukaan tubuh.

Peningkatan suhu tubuh merupakan fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit.


(44)

panas per satuan waktu yang dilepaskan melalui saluran pernafasan (Schmidt

and Nelson, 1990).

Panting merupakan usaha ternak untuk meningkatkan pembuangan panas tubuh dengan cara peningkatan frekuensi respirasi dan penurunan volume

inspirasi-ekspirasi (tidal volume). Panas ini dibawa oleh darah yang melewati

mukosa saluran pernafasan dan dibuang dengan melakukan penguapan air,

setelah itu darah meninggalkan saluran pernafasan masuk vena yang lebih

dingin kemudian masuk ke jantung dan selanjutnya dipompakan ke seluruh

tubuh sehingga terjadi penurunan suhu (Cogburn and Harrison, 1980).

Peningkatan frekuensi pernafasan menyebabkan peningkatan konsumsi

oksigen dan denyut jantung. Peningkatan denyut jantung berkaitan dengan

usaha penyebaran panas tubuh atau pendinginan ke seluruh tubuh (McDowell,

1972).

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1) ada pengaruh kepadatan kandang terhadap frekuensi pernapasan, suhu

rektal serta suhu shank ayam jantan tipe medium pada kandang panggung; 2) terdapat kepadatan kandang terbaik terhadap frekuensi pernapasan, suhu


(45)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ayam Jantan Tipe Medium

Saat ini terdapat beberapa jenis ayam yang dijadikan sebagai ayam penghasil

daging, diantaranya adalah ayam jantan tipe medium. Nataatmaja (1982)

menyatakan bahwa saat ini jenis bibit ayam yang beredar di pasaran, antara

lain ayam petelur (layer), ayam pedaging (broiler), dan ayam yang

mempunyai fungsi ganda (dwiguna), yaitu sebagai ayam penghasil daging dan

telur. Ayam tipe medium atau disebut juga ayam dwiguna selain sebagai

ternak penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging

(Suprianto, 2002). Dalam usaha pembibitan, peluang untuk menghasilkan

ayam betina dan jantan masing-masing adalah 50%. Dengan demikian,

kemungkinan pemanfaatan anak ayam jantan tipe medium sebagai ternak

penghasil daging cukup besar (Ariyanto, 1995).

Ada beberapa kelebihan dari pemeliharaan ayam jantan tipe medium

diantaranya adalah harga DOC ayam jantan tipe medium yang lebih murah

dibandingkan dengan ayam pedaging (broiler), pertumbuhan bobot hidupnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan ayam betina petelur (Riyanti, 1995).


(46)

abdominal yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam betina. Ayam

persilangan antara galur Ross dengan galur Arbor arces menghasilkan ayam jantan dengan kandungan lemak abdominal sebesar 2,6%, sedangkan betina

2,8% (Sizemore dan Siegel, 1993). Hasil penelitian Daryanti (1982) yang

dilakukan pada ayam petelur strain Harco dan Decalb menunjukkan bahwa persentase lemak abdominal ayam petelur strain Harco pada umur enam minggu adalah 2,36%, sedangkan ayam petelur jantan Decalb 3,39%. Persentase lemak ini masih lebih rendah dari pada persentase lemak

abdominal broiler, yaitu 6,65%.

Dilihat dari segi pertumbuhan, ayam jantan tipe medium lebih baik daripada

ayam tipe ringan. Hal ini sesuai dengan Dwiyanto (1979), bahwa ayam

jantan tipe Brownick, pertumbuhannya lebih baik daripada ayam jantan tipe ringan Kimber.

B. Kandang Panggung

Suprijatna dkk. (2005) menyatakan bahwa kandang merupakan tempat ayam

tinggal dan ayam beraktivitas. Pembuatan kandang di daerah tropis memiliki

fungsi makro sebagai tempat tinggal bagi unggas agar terlindung dari

pengaruh-pengaruh buruk iklim (hujan, panas, dan angin) serta gangguan

lainnya (hewan liar atau buas dan pencurian).

Menurut Sudaryani dan Santosa (1999), kandang panggung adalah kandang


(47)

bilah-bilah bambu atau kayu. Menurut Fadilah (2004), kandang panggung

merupakan bentuk kandang yang paling banyak dibangun untuk mengatasi

temperatur panas.

Kelebihan kandang panggung adalah laju pertumbuhan ayam yang tinggi,

efisiensi dalam penggunaan ransum, dan kotoran mudah dibersihkan

(Suprijatna, dkk., 2005). Kandang panggung mempunyai ventilasi yang

berfungsi lebih baik karena udara bisa masuk dari bawah dan samping karena

pada kandang ini memiliki lantai berlubang (Fadilah, 2004). Namun

disamping mempunyai beberapa kelebihan, kandang panggung mempunyai

beberapa kekurangan diantaranya adalah tingginya biaya peralatan dan

perlengkapan, tenaga dan waktu pengelolaan meningkat, ayam mudah terluka

dan kaki bubulen sehingga ayam kesakitan dan stress (Suprijatna, dkk.,

2005).

C. Kepadatan Kandang

Kepadatan kandang akan berpengaruh terhadap kenyamanan ternak di dalam

kandang (Rasyaf, 2001). Kepadatan kandang dinyatakan sebagai satuan luas

lantai per ekor. Luas lantai kandang setiap ekor ayam antara lain tergantung

dari tipe lantai, tipe ayam, jenis kelamin, dan periode produksi (North and

Bell, 1990). Pada dasarnya kepadatan kandang akan memengaruhi

temperatur dan kelembaban yang ada di dalam kandang itu sendiri.

Kepadatan kandang yang terlalu tinggi akan memyebabkan temperatur dan


(48)

ayam. Creswell dan Hardjosworo (1979) menyarankan untuk kondisi

Indonesia digunakan luas lantai kandang 0,1 m-2 per ekor (10 ekor/m2) untuk

broiler. Kepadatan kandang optimal untuk ternak ayam dipengaruhi oleh temperatur kandang. Semakin tinggi temperatur udara dalam kandang maka

kepadatan kandang optimal semakin rendah dan sebaliknya semakin rendah

temperatur udara dalam kandang, maka kepadatan kandang optimal semakin

tinggi (Rasyaf, 2010). Hasil penelitian Nova (1995) memperlihatkan bahwa

kepadatan kandang nyata meningkatkan udara kandang, temperatur litter,dan suhu rektal.

D. Respon Fisiologis

Kepadatan kandang yang tinggi akan memengaruhi temperatur kandang

sehingga temperatur kandang akan menjadi tinggi. Linvill dan Predue (1992)

menyatakan bahwa kelangsungan hidup dan performan ternak selama

cekaman panas tergantung pada beberapa faktor iklim, terutama temperatur,

dan kelembaban udara.

Menurut Amstrong (1994), temperatur yang tinggi mengakibatkan cekaman

panas pada ternak, sehingga terjadi perubahan fisiologis berupa peningkatan

suhu tubuh, konsumsi air minum, frekuensi pernapasan, evaporasi air, dan

perubahan konsumsi ransum. McDowell (1974) juga mengatakan bahwa

ekspresi ternak yang terkena cekaman panas antara lain: 1) peningkatan suhu


(49)

minum; 3) penurunan konsumsi ransum; 4) perubahan pola tingkah laku; 5)

peningkatan laju peredaran darah; dan 6) perubahan aktivitas hormon.

1. Frekuensi pernafasan

Frekuensi pernapasan dapat digunakan sebagai indikator respon fisiologis

ayam jantan tipe medium dengan cara menghitung pergerakan thorax ayam jantan tipe medium selama 30 detik. Frekuensi pernafasan broiler pada suhu 32º C sebanyak 200 kali per menit dan frekuensi pernafasan broiler

pada suhu 36º C sebanyak 250 kali per menit (Zhou dan Yamamoto, 1997).

Suprijatna, dkk. (2005) mengatakan bahwa frekuensi pernafasan broiler saat istirahat adalah 15--25 kali per menit. Menurut Sturkei (1979), rata-rata

frekuensi pernafasan ayam saat istirahat 17--27 kali per menit. Hasil

penelitian Herlina (2009) menunjukkan frekuensi pernafasan ayam jantan

tipe medium umur 28 hari pada kandang panggung yaitu 42,96 kali/30 detik,

sedangkan pada kandang postal 51,30 kali/30 detik. Pada penelitian ini

rata-rata frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu ke-3 sampai

minggu ke-7 adalah 46,1 kali/30 detik.

Menurut McDowell (1972), peningkatan suhu tubuh, yang merupakan

fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit, akibat kenaikan temperatur udara,

akan meningkatkan aktivitas penguapan melalui panting dan peningkatan jumlah panas yang dilepas per satuan luas permukaan tubuh. Demikian juga

dengan naiknya frekuensi nafas akan meningkatkan jumlah panas per satuan


(50)

1990). Panting merupakan usaha ternak untuk meningkatkan pembuangan panas tubuh dengan cara peningkatan frekuensi respirasi dan penurunan

volume inspirasi-ekspirasi (tidal volume) (Cogburn and Harrison, 1980).

2. Suhu rektal

Temperatur lingkungan yang tinggi akan menaikkan suhu tubuh, frekuensi

pernafasan, dan denyut jantung. Dalam kondisi ini ternak akan mengeluarkan

panas melalui peningkatan laju pernafasan dan berkeringat pada ternak

ruminansia (Williamson dan Payne, 1993). Menurut Yousef (1985), produksi

panas yang berlebihan akan meningkatkan suhu tubuh dan menyebabkan

kematian bila suhu tubuh terlalu tinggi, sedangkan produksi panas yang

terlalu rendah akan mengakibatkan ternak tidak mampu bertahan terhadap

dinginnya udara luar.

Suhu tubuh merupakan indikator fisiologis yang mudah diperoleh, yang

diperoleh dengan cara mengukur suhu tubuh pada bagian rektal. Sumaryadi

dan Budiman (1986) menyatakan bahwa suhu tubuh adalah manifestasi dalam

usaha mencapai keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas

yang dikeluarkan.

Menurut Suprijatna, dkk. (2005), ayam vertebrata berdarah panas dengan

tingkat metabolisme yang tinggi, suhu tubuh ayam relatif tinggi. Anak ayam


(51)

anak ayam akan meningkat setelah hari ke-4 sampai hari ke-10 dicapai suhu

yang maksimal. Suhu tubuh ayam dewasa rata-rata sekitar 40--40,7ºC.

3. Suhu shank

Suhu shank dan suhu abdominal juga merupakan indikator respon fisiologis karena produksi panas, suhu abdominal, suhu kulit shank, dan laju pernafasan broiler meningkat secara nyata pada suhu 36º C dibandingkan dengan 28º C

dan 32º C. Rata-rata suhu shank sebesar 41,0º C (Zhou dan Yamamoto, 1997).

Kepadatan kandang akan berpengaruh terhadap temperatur lingkungan di

sekitar kandang. Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan temperatur

lingkungan kandang yang tinggi pula. Mekanisme pelepasan panas tubuh

pada ternak ke lingkungan secara umum dapat dilakukan dengan jalur

sensible (non evaporative heat loss) dan insensible (evaporative heat loss). Jalur sensible dapat dilakukan secara konduksi, konveksi, dan radiasi, sedangkan jalur insensible melalui evaporasi atau penguapan panas baik melalui saluran pernafasan (panting) maupun melalui permukaan kulit dengan bantuan keringat (sweating) seperti pada manusia (Yousef, 1985).

Pelepasan panas secara konveksi melibatkan pergerakan molekul air (udara)

yang bersinggungan dengan kulit, dimana perpindahan panas yang terjadi

merupakan hasil konduksi panas dari kulit ke udara. Suhu shank merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui respon fisiologis


(52)

ternak, karena shank merupakan bagian tubuh ayam yang kontak langsung dengan media yaitu litter Hasil penelitian Arintoko (2008) menunjukkan suhu

shank broiler strain Cobb sebesar 38,67º C dan strainLohmann 39,01º C, sedangkan penelitian Ihvan (2008) menunjukkan bahwa suhu shank broiler pada kandang panggung sebesar 38,67º C dan pada kandang litter sebesar


(53)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 minggu dari 12 Februari – 29 Maret 2012, di kandang ayam milik PT Rama Jaya Lampung, Dusun Sidorejo, Desa

Krawang Sari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan.

B. Bahan dan Alat 1. Ayam penelitian

Ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam jantan tipe medium

strainHysex Brown produksi PT. Ayam Manggis Jakarta sebanyak 360 ekor, yang dipelihara secara komersial di kandang panggung mulai dari

anak ayam umur sehari (DOC) sampai dengan umur 7 minggu. Bobot

awal ayam pada penelitian adalah 39,25 ±4,65 g/ekor dengan KK sebesar


(54)

2. Kandang

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang panggung

sebanyak 18 petak dengan ukuran 1 x 1x 1 m per petak, kapasitas dalam

setiap petak berisi 16 m-2, 20 m-2 serta 24 m-2.

3. Ransum

Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum komersial

BBR 1 (Bestfeed®) yang diproduksi PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk yang diberikan pada umur 1-49 hari. Kandungan nutrisi rasum yang

diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum hasil analisis proksimat

Kandungan nutrisi BBR-1 (Bestfeed®)

Air (%) 8,97

Protein (%) 21,70

Lemak (%) 8,69

Serat kasar (%) 4,50*

Abu (%) 4,76

GE 2775,56**

EM (Kkal/Kg) 3330,67***

Sumber: Hasil laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Lampung (2012)

*Hasil laboratorium Politeknik Lampung (2012)

** Hasil Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar Lampung (2012)


(55)

4. Air Minum

Air minum yang digunakan dalam penelitian berupa air sumur Bor yang

diberikan secara ad libitum.

5. Vaksin, Antibiotik, dan Vitamin

Vaksin yang diberikan adalah ND IB tetes mata + NDAI kill H5N1,

Gumboro MB cekok, ND IB melalui air minum, Gumboro MB melalui air minum, dan ND Lasota melalui air minum. Antibiotik yang diberikan adalah Spirafluq. Vitamin yang diberikan adalah Catalyst®, Strongfit®, dan New Low Stress-RV Plus®,dan Multicarnytol®.

6. Alat penelitian

1) Tempat ransum baki (chick feeder tray) sebanyak 20 buah yang digunakan untuk ayam umur 1--14 hari;

2) Tempat ransum gantung (hanging feeder) dan tempat air minum, masing-masing sebanyak 20 buah yang digunakan untuk ayam berumur

15--49 hari;

3) Tempat air minum menggunakan tempat air minum yang berbentuk

tabung (galon) sebanyak 20 buah;

4) Timbangan kapasitas 2 kg dengan ketelitian 20g yang digunakan untuk

menimbang day old chick (DOC) dan berat tubuh ayam jantan tipe mediumpada minggu pertama sebanyak 2 buah;


(56)

5) Timbangan kapasitas 10 kg ketelitian 200g yang digunakan untuk

menimbang ayam dan ransum pada minggu 1—8;

6) Timbangan digital ketelitian 0,001g sebanyak 1 buah yang digunakan

untuk menimbang vitamin;

7) Tirai yang terbuat dari plastik 10 buah;

8) Pemanas brooder (gasolex) beserta perlengkapannya ;

9) Chick quard yang digunakan untuk menyekat DOC dalam area

brooding;

10)Hand sprayer sebanyak 2 buah; 11)Thermohygrometer, 3 buah;

12)Peralatan kebersihan (sapu, ember, lap, dan bak air);

13)Thermometer tubuh raksa untuk mengukur suhu rektal dan suhu shank; 14)Number counter untuk mengukur frekuensi pernafasan;

15)Stopwatch untuk mengukur waktu; 16)Alat tulis untuk melakukan pencatatan.

C. Rancangan Perlakuan

Penelitian ini dilakukan secara experimental menggunakan Rancangan Acak

Langkap (RAL), terdiri atas tiga perlakuan yaitu

P1 : kepadatan kandang 16 ekor per m-2 P2 : kepadatan kandang 20 ekor per m-2 P3 : kepadatan kandang 24 ekor per m-2


(57)

D. Analisis Data

Setiap perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Data yang dihasilkan dianalisis

dengan analisis ragam. Sebelum analisis ragam, data diuji terlebih dahulu

dengan uji normalitas, homogenitas, dan aditivitas. Apabila dari analisis ragam

menunjukkan bahwa perlakuan terhadap kepadatan kandang nyata dilanjutkan

dengan uji Duncan pada taraf nyata 5% (Steel dan Torrie, 1993).

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan kandang

Satu minggu sebelum DOC datang, kandang dibersihkan kemudian

didesinfeksi menggunakan desinfektan. Desinfeksi bertujuan untuk

membunuh bibit–bibit penyakit dengan dilakukan pada saat sanitasi kandang. Tahapannya meliputi:

1) mencuci tempat ransum, tempat air minum, dan tirai dicuci dengan

sabun dan kemudian dibilas dengan menggunakan desinfektan;

2) membersihkan bagian luar kandang dari kotoran;

3) mencuci kandang menggunakan detergen;

4) membuat petak kandang dari bambu dengan ukuran 1 m2sebanyak 18 petak;

5) mengapuri dinding, tiang, kandang dan lantai kandang;

6) menyemprot kandang dengan desinfektan;

7) memasang tirai kandang;


(58)

2. Tahap pelaksanaan

Secara acak 1144 ekor ayam jantan tipe medium ditimbang terlebih dahulu

menggunakan timbangan kapasitas 2 kg untuk mendapatkan berat tubuh

awal masing-masing perlakuan, kemudian DOC dimasukkan ke dalam

area brooding dan diberi Chikovit® 0,05%. DOC dipelihara di area

brooding selama 2 minggu kemudian dipindahkan dalam petak kandang pada umur 15 hari dengan mengambil 360 ekor ayam yang dipilih secara

acak dari area brooding dengan bobot yang seragam dan kemudian

ditempatkan pada unit kandang yang telah diberi nomor sesuai pengacakan

perlakuan dan ulangan.

Semua data diambil dan dihitung mulai minggu ke-3 hingga minggu ke-7.

Pemberian ransum dan air dilakukan secara ad-libitum. Pemberian ransum dilakukan pada pukul 09.00 WIB dan pukul 12.30 WIB dengan terlebih

dahulu menimbang kebutuhan konsumsi ransum yang akan diberikan pada

setiap harinya. Pemberian air minum dilakukan pada pukul 09.00 WIB

dan pukul 12.30 WIB dengan mengukur terlebih dahulu banyaknya air

yang akan diberikan pada saat pemberian air minum. Pengukuran sisa

ransum dilakukan seminggu sekali, sedangkan sisa air minum dilakukan

setiap hari. Mengukur temperatur dan kelembaban kandang setiap hari,

yaitu pada pukul 05.00, 15.00, 22.00 WIB berdasarkan pola suhu kandang

yang telah di ukur. Suhu (0C) dan kelembaban (%) lingkungan kandang diukur menggunakan thermohigrometer yang diletakkan pada setiap perlakuan yang digantung sejajar dengan tinggi petak-petak kandang.


(59)

Program vaksinasi yang dilakukan adalah (1) vaksinasi ND IB saat ayam berumur 5 hari melalui tetes mata; (2) vaksinasi ND AI kill H5N1 saat ayam berumur 5 hari melalui suntik bawah kulit (subkutan) dengan dosis

0,2 cc/ekor; (3) vaksinasi Gumboro saat ayam berumur 16 hari melalui

cekok mulut; (4) vaksinasi ND dengan Medivac ND Clone-45 saat ayam

berumur 21 hari melalui air minum; (5) vaksinasi Gumboro saat ayam

umur 28 hari melalui air minum; (6) vaksinasi ND dengan ND Lasota saat

umur 43 hari melalui air minum.

Pemberian vitamin dan antibiotik yang dilakukan adalah Strongfit® (pagi) dan Catalyst® (siang) saat ayam berumur 1 hari, Spiralfluq® (pagi) dan

New Low Stress-RV Plus® saat ayam berumur 2 sampai 8 hari, New Low Stress-RV Plus® saat ayam berumur 9 sampai 19 hari, Catalyst® saat ayam berumur 21 sampai 31 hari, Multicarnitol® saat ayam berumur 33 sampai 37 hari, Catalyst® saat ayam berumur 39 sampai 41 hari dan 44 sampai 56 hari.

3. Tahap koleksi data

Pengamatan dilakukan terhadap respon fisiologis ayam jantan tipe

medium pada kandang panggung dengan kepadatan yang berbeda yang

meliputi frekuensi pernapasan, suhu rektal serta suhu shank sebanyak 10% dari jumlah ayam per petak masing-masing 2 ekor untuk kepadatan 16 dan


(60)

minggu. Data pendukung yang diambil berupa temperatur dan

kelembaban lingkungan dilakukan setiap hari pukul 05.00, 15.00, serta

22.00 WIB berdasarkan pola temperatur kandang yang telah di ukur.

Pengambilan data dilakukan pada temperatur ekstrim tertinggi yaitu pukul

14.30 –15.30 WIB berdasarkan pola temperatur yang sudah diperoleh. Penentuan pola temperatur yaitu dengan cara mengukur dan mencacat

temperatur kandang setiap jam, selanjutnya menentukan pada pukul

berapa temperatur terendah dan tertinggi kandang dari hasil pencatatan.

Waktu yang menunjukkan temperatur tertinggi tersebutlah yang digunakan

dalam pengambilan data.

G. Peubah yang Diukur

1. Frekuensi pernapasan

Pengukuran frekuensi pernafasan dilakukan pada pukul 14.30–15.30 WIB pada umur 14 sampai 49 hari. Perhitungan dilihat dari jumlah gerakan

thorax ayam selama 30 detik (Zhou dan Yamamoto, 1997). Pengukuran dilakukan 1 kali per minggu.

2. Suhu rektal

Suhu rektal (ºC)diukur dengan termometer digital pada pukul 14.30– 15.30 WIB pada umur 14 sampai 49 hari, pengukuran dilakukan dengan

cara memasukkan 1/3 bagian termometer ke dalam rektal ayam sampai


(61)

3. Suhu shank

Suhu shank (ºC)diukur dengan menggunakan dengan termometer digital pada pukul 12.00–14.00 WIB pada umur 14 sampai 49 hari, pengukuran dilakukan dengan cara meletakkan termometer pada bagian tengah kulit

shank dengan melapisi tangan dengan sarung tangan plastik, pengukuran dilakukan 1 kali per minggu.


(62)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Frekuensi Pernapasan

Hasil analisis ragam menunjukkan kepadatan kandang 16, 20, 24 ekor per m-2 pada kandang panggung tidak berpengaruh terhadap rata-rata frekuensi

pernapasan ayam jantan tipe medium minggu ke-3, ke-4, dan ke-5 (P>0,05).

Hal ini disebabkan oleh bobot tubuh ayam yang relatif masih ringan dan sama

pada setiap perlakuan sehingga menyebabkan kepadatan tidak memengaruhi

frekuensi pernapasan. Semakin bertambahnya bobot tubuh maka semakin

tinggi aktivitas metabolik ternak sehingga panas tubuh semakin tinggi, hal

tersebut menyebabkan perubahan respon fisiologis berupa peningkatan

frekuensi pernafasan (Nova, 1995).

Rata-rata frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu ke-3 sampai

ke-7 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan frekuensi

pernafasan ayam jantan tipe medium pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7


(63)

Tabel 2. Rata-rata frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu ke-3 sampai ke-7

Perlakuan Ulangan Minggu ke- Jumlah

Rata-rata 3 4 5 6 7

---kali/30 detik--- P1 1 27,5 26,0 31,5 64,5 59 208,5 41,7

2 26,0 26,0 32,0 62,0 54,5 200,5 40,1 3 24,5 22,0 34,0 63,5 62,0 206,0 41,2 4 30,0 23,0 36,5 51,0 60,5 201,0 40,2 5 22,0 25,0 34,5 54,0 58,5 194,0 38,8 6 24,5 21,5 30,5 58,5 61,0 196,0 39,2

Jumlah 154,5 143,5 199,0 353,5 355,5 1206.0 40,1

Rata-rata 25,75 23,92 33,17 58,92b 59,25b 201,0 40,1 P2 1 36,0 20,0 37,0 51,5 63,5 208 41,6 2 21,0 26,0 39,5 57,5 53,0 197,0 39,4 3 18,5 23,5 34,0 63,5 63,0 202,5 40,5 4 24,0 22,5 36,5 66,0 64,5 213,5 42,7 5 27,0 21,0 31,0 64,0 56,5 199,5 39,9 6 27,0 22,5 33,5 57,5 63,5 204,0 40,8

Jumlah 153,5 135,5 211,5 360,0 364,0 1223,0 40,8

Rata-rata 25,58 22,58 35,25 60,0b 60,67b 204,1 40,8

P3 1 20,0 22,3 37,7 75,7 69,7 225,4 45,1 2 26,7 22,7 37,7 89,0 65,7 241,8 48,4 3 21,7 22,0 35,7 77,7 63,3 220,4 44,1 4 21,7 24,0 33,7 86,7 68,3 234,4 46,9 5 24,0 23,3 37,7 73,7 63,0 221,7 44,3 6 28,0 24,7 38,0 84,3 65,7 240,7 48,1

Jumlah 142,1 139,0 220,5 487,1 395,7 1384,0 46,1

Rata-rata 23,68 23,17 36,75 81,18a 65,95a 230,7 46,1

Keterangan : P1 : kepadatan kandang 16 ekor m-2 P2 : kepadatan kandang 20 ekor m-2 P3 : kepadatan kandang 24 ekor m-2

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Meskipun temperatur lingkungan tinggi, namun suhu yang tinggi tersebut

relatif sama pada setiap kepadatan kandang sehingga respon fisiologis ternak


(64)

pada minggu ke-3 untuk kepadatan kandang 16, 20, dan 24 ekor m-2 adalah 31,0ºC ; 31,3ºC ; dan 31,9ºC (Tabel 25). Frekuensi pernafasan yang relatif

sama ini diduga karena ventilasi kandang panggung yang baik sehingga

sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik. Udara dari luar dapat masuk

secara lancar, begitu juga dengan udara dari dalam kandang dapat keluar

sehingga gas amoniak yang ada dalam kandang dapat keluar sehingga

ketersediaan oksigen dalam kandang cukup dan suhu dalam kandang nyaman

(Fadilah, 2004). Pada penelitian ini kandang panggung yang digunakan

terbuat dari bambu sehingga udara dapat masuk dari bagian samping

kandang, selain itu lantai kandang yang terbuat dari bambu juga

memungkinkan pertukaran udara dari luar kandang ke dalam kandang.

Bila dibandingkan dengan frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium

minggu ke-3 dan ke-4, frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu

ke-5 mengalami peningkatan. Hal ini diduga disebabkan oleh bobot tubuh

ayam yang semakin bertambah menyebabkan frekuensi pernafasan semakin

meningkat. Bobot tubuh yang meningkat menyebabkan luas kandang per ekor

menjadi semakin kecil, sehingga mengakibatkan frekuensi pernafasan

meningkat. Luasan kandang yang kurang atau terlalu sempit akan

mengakibatkan kompetisi dalam memperoleh oksigen semakin tinggi.

Menurut Sumaryadi dan Budiman (1986), ternak akan memperoleh panas

karena aktivitas metabolik atau panas berasal dari proses biologis dalam

tubuh antara lain karena makanan atau air panas masuk ke dalam tubuh.


(65)

ternak sehingga panas tubuh semakin tinggi, hal tersebut menyebabkan

perubahan respon fisiologis berupa peningkatan frekuensi pernafasan.

Pada minggu ke-6 dan ke-7 frekuensi pernafasan berbeda nyata, hal ini

disebabkan oleh bobot tubuh ayam pada minggu ke-6 dan ke-7 yang semakin

besar (Tabel 27) sehingga kebutuhan atau konsumsi oksigen lebih tinggi.

Pada kepadatan tinggi, luasan kandang juga akan menjadi lebih sempit.

Luasan kandang yang kurang atau terlalu sempit akan mengakibatkan

kompetisi dalam memperoleh oksigen semakin tinggi. Selain itu, kondisi

kandang akan menjadi semakin panas karena secara normal ayam juga

menghasilkan panas tubuh.

Hasil uji jarak berganda Duncan pada minggu ke-6 dan ke 7 (Tabel 11 dan

14) menunjukkan bahwa kepadatan 16 ekor m-2 dan kepadatan kandang 20 ekor m-2 lebih baik (p < 0,05) dari kepadatan kandang 24 ekor m-2 terhadap frekuensi pernafasan ayan jantan tipe medium minggu ke-6 dan ke-7.

Rata-rata frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu ke-6 pada

kepadatan kandang 16 ekor m-2 dan kepadatan kandang 20 ekor m-2 berturut-turut adalah 58,92 kali/30 detik dan 60 kali/30 detik, lebih rendah (p < 0,05)

bila dibandingkan dengan kepadaan kandang 24 ekor m-2 yaitu sebesar 81,18 kali/30 detik. Sedangkan rata-rata frekuensi pernafasan ayam jantan tipe

medium minggu ke-7 pada kepadatan kandang 16 ekor m-2 dan kepadatan kandang 20 ekor m-2 berturut-turut adalah 59,25 kali/30 detik dan 60,67 kali/30 detik, juga lebih rendah (p < 0,05) bila dibandingkan dengan


(66)

diduga karena temperatur kandang pada minggu ke-6 dan ke-7 pada

masing-masing kepadatan berbeda, terutama pada kepadatan kandang 24 ekor m-2 yaitu rata-rata 33,95ºC bila dibandingkan dengan kepadatan kandang 16 dan

20 ekor m-2 yaitu rata-rata 32,35ºC dan 33,75ºC (Tabel 25). Yousef (1985) menyatakan bahwa temperatur ideal untuk pemeliharaan ayam adalah

21--26ºC. El Boushy dan Marle (1978) menyatakan bahwa zona suhu

kenyamanan (comfort zone) pada ternak ayam di daerah tropik adalah antara 15 sampai 25º C. Temperatur lingkungan yang tinggi pada penelitian

menyebabkan ternak berada dalam cekaman panas sehingga mengakibatkan

peningkatan frekuensi panas. Hal ini sesuai dengan Furell (1969), temperatur

lingkungan yang tinggi berpengaruh nyata terhadap respon fisiologis ayam,

terutama setelah ayam tersebut berumur lebih dari 3 minggu, karena bulu

penutup ayam telah lengkap.

Selain itu lebih tingginya frekuensi pernafasan ayam pada kepadatan 24

ekor per m-2 pada minggu ke-6 dan ke-7 disebabkan oleh bobot tubuh ayam yang semakin besar (Tabel 27), sehingga pada kepadatan kandang 24 ekor per

m-2 luasan gerak per ekor ayam juga menjadi semakin sempit sehingga persaingan ayam untuk mendapatkan oksigen semakin tinggi. Bobot tubuh

ayam yang relatif lebih besar menyebabkan peningkatan aktivitas metabolik

tubuh. Keadaan ini juga disebabkan oleh tingginya temperatur kandang

sehingga memaksa ternak untuk mengeluarkan panas dari tubuhnya. Hal ini


(67)

Budiman (1986) yang menyatakan bahwa efek lingkungan panas terhadap

organ respirasi sangat jelas yaitu meningkatkan frekuensi pernafasan.

Temperatur kandang yang tinggi memaksa ternak untuk mengeluarkan panas

dari tubuhnya. Temperatur yang cukup tinggi akan merangsang sensor panas

pada permukaan kulit, kemudian diteruskan ke hypothalamus yang bertindak sebagai termostat dan akan memberikan tanggapan pengaturan terhadap

stimulus yang datang tersebut dengan merangsang sistem syaraf pusat

(Ganong,1983). Selanjutnya menurut Furrel dan Rendom (1977), sinyal

diteruskan ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan produksi

panas untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru, dan seluruh tubuh. Setelah itu

terjadi umpan balik dimana isyarat diterima kembali oleh sensor panas

melalui peredaran darah, selanjutnya panas akan diedarkan oleh darah ke

permukaan kulit, untuk dikeluarkan secara radiasi, konveksi, konduksi,

maupun evaporasi. Selanjutnya, setelah mekanisme di atas tidak mampu lagi

dilakukan oleh ternak, maka mekanisme terakhir yang digunakan ternak

untuk mengeluarkan panas tubuh adalah panting, yaitu dengan cara

mengambil udara segar dari lingkungan dan mengeluarkan udara panas dari

dalam tubuh melalui saluran pernafasan.

Pada temperatur lingkungan 23°C, sekitar 75% dari panas tubuh dikeluarkan

dengan cara sensible yaitumelalui kenaikan temperatur lingkungan di

sekitarnya; 25% panas tubuh selebihnya dikeluarkan dengan jalan penguapan

(insensible) yaitu dengan mengubah air dalam tubuh menjadi uap air . Pada temperatur lingkungan 35°C, sekitar 25% panas tubuh dikeluarkan melalui


(1)

Melalui mekanisme termoregulasi pada saat berada dalam cekaman panas, maka hipothalamus akan menghambat pembentukan TRH (thyroid releasing hormon) dan TSH ( thyroid stimulating hormon) sehingga T3 dan T4 (hormon thyroid) tidak banyak dihasilkan sehingga metabolisme menurun yang

berdampak pada penurunan produksi panas, dengan mekanisme tersebut pada penelitian ini tubuh masih bisa beradaptasi dengan kondisi panas lingkungan yang ada sehingga tidak memengaruhi suhu tubuh. Selain itu, peningkatan aktivitas respirasi sebagai akibat suhu lingkungan merupakan suatu upaya untuk memelihara suhu tubuh pada tingkatan yang normal (Esmay,1978).

C. Pengaruh Kepadatan Kandang terhadap Suhu Shank

Suhu shank ayam jantan tipe medium pada minggu ke-3 sampai ke-7 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan rata-rata suhu shank ayam jantan tipe medium pada minggu ke-3 sampai ke-7 mengalami peningkatan.

Suhu shank merupakan indikator respon fisiologis karena produksi panas, suhu abdominal, suhu kulit shank, dan laju pernafasan broiler meningkat secara nyata pada suhu 360C dibandingkan dengan 280C dan 320C (Zhou dan Yamamoto, 1997).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang 16, 20, dan 24 ekor m-2 berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap suhu shank ayam jantan tipe medium di kandang panggung pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7. Hal ini diduga karena rata-rata temperatur kandang masih nyaman bagi ayam


(2)

dan ditunjang dengan baiknya ventilasi kandang panggung, sehingga oksigen yang terdapat dalam masing-masing kepadatan kandang relatif sama.

Temperatur kandang pada masing-masing kepadatan yaitu 31,0ºC; 31,3ºC; dan 31,9ºC (Tabel 25) tidak menyebabkan cekaman panas yang mengakibatkan perubahan respon fisiologis. MenurutYousef (1984) suhu nyaman bagi ayam adalah 21--26ºC.

Temperatur kandang yang relatif tinggi ini menyebabkan ternak berada dalam keadaan stres, namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap respon fisiologis ayam terutama suhu shank karena temperatur kandang pada setiap kepadatan relatif sama sehingga respon fisiologis yang dialami oleh ternak pada masing-masing kepadatan relatif sama. Sama halnya dengan suhu rektal atau suhu tubuh, suhu shank ayam jantan tipe medium pada minggu ke-3 sampai ke-7 tidak berbeda nyata, hal ini karena meningkatnya frekuensi pernafasan pada kepadatan kandang yang lebih tinggi (Tabel 3), frekuensi pernafasan yang meningkat akan menurunkan suhu tubuh dan suhu shank sehingga suhu tubuh dan suhu shank tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas ternak tidak berbeda jauh.

Menurut McDowell (1972), peningkatan suhu tubuh yang merupakan fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit, akibat kenaikan suhu udara, akan

meningkatkan aktivitas penguapan melalui panting dan peningkatan jumlah panas yang dilepas per satuan luas permukaan tubuh. Demikian juga dengan


(3)

naiknya frekuensi nafas akan meningkatkan jumlah panas per satuan waktu yang dilepaskan melalui saluran pernafasan (Schmidt and Nelson, 1990).

Tabel 4. Suhu shank ayam jantan tipe medium minggu ke-3 sampai ke-7 Perlakuan Ulangan Minggu Jumlah Rata-rata

3 4 5 6 7

---°C ---

P1 1 31,6 37,5 38,2 37,7 38,7 183,7 36,74

2 32,7 38,4 37,7 38,3 38,9 186 37,2

3 32,8 35,6 38 37,7 38,8 182,9 36,6

4 32,2 37,5 36,9 38 38,8 183,4 36,7

5 32,7 38,2 38 38,1 38,6 185,6 37,1

6 33,8 37,7 37,5 38,6 38,5 186,1 37,2

Jumlah 195,8 224,9 226,3 228,4 232,3 1108,0 36,9 Rata-rata 32,6 37,5 37,7 38,1 38,7 184,6 36,9

P2 1 32,8 35,4 38 37,9 39 183,1 36,6

2 32,8 37,5 38 38,4 39,4 186,1 37,2

3 32,8 37,2 38 38,4 38,5 184,9 37,0

4 32,8 39,4 38,2 38,6 39,5 188,5 37,2

5 32,8 38,4 37,2 38,3 39,2 185,9 37,1

6 33,3 36,1 38,1 38,5 39,6 185,6 37,1

Jumlah 197,3 224 227,5 230,1 235,2 1114 37,1 Rata-rata 32,9 37,3 37,9 38,4 39,2 185,7 37,1

P3 1 33,2 37,3 38 38,8 38,7 186 37,2

2 33,2 36,6 38,2 38,5 38,9 185,4 37,1

3 33,9 38,1 38,6 38,6 39,1 188,3 37,7

4 33,9 37,7 37,6 38,5 38,8 186,5 37,3

5 33,9 38,3 38,3 38,5 38,6 187,6 37,5

6 32,6 37,3 37,9 38,4 38,4 184,6 36,9

Jumlah 200,7 225,3 228,6 231,3 232,5 1118,0 37,3 Rata-rata 33,5 37,6 38,1 38,6 38,8 186,4 37,3 Keterangan : P1 : kepadatan kandang 16 ekor m-2

P2 : kepadatan kandang 20 ekor m-2 P3 : kepadatan kandang 24 ekor m-2


(4)

Panting merupakan usaha ternak untuk meningkatkan pembuangan panas tubuh dengan cara peningkatan frekuensi respirasi dan penurunan volume inspirasi-ekspirasi (tidal volume) (Yousef, 1985).

Hasil penelitian menunjukkan suhu shank ayam jantan tipe medium minggu ke-3 sampai minggu ke-7 mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh bobot tubuh ayam ayam yang semakin bertambah (Tabel 27) sehingga mengakibatkan peningkatan pengeluaran panas tubuh ternak diantaranya melalui suhu shank. Hal ini diduga karena pertambahan bobot tubuh serta perbedaan aktivitas metabolik ternak. Semakin bertambahnya bobot tubuh ternak maka akan berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas metabolik dari ternak itu sendiri. Menurut Sumaryadi dan Budiman (1986) menyatakan bahwa ternak akan memperoleh panas karena aktivitas metabolik atau panas berasal dari proses biologis dalam tubuh antara lain karena makanan atau air panas masuk ke dalam tubuh.

Ayam merupakan hewan bedarah panas (homeoterm) yang cenderung akan selalu mempertahankan suhu tubuhnya (homeostasis) dengan mekanisme termoregulasi, yaitu pengaturan keseimbangan panas tubuh antara produksi panas (heat production) dan pembuangan panas (heat loss). Termoregulasi merupakan hasil kerja dari beberapa organ tubuh yans saling berhubungan (Bilgh, 1985) .

Melalui mekanisme termoregulasi pada saat berada dalam cekaman panas, maka hipothalamus akan menghambat pembentukan TRH (thyroid releasing


(5)

hormon) dan TSH ( thyroid stimulating hormon) sehingga T3 dan T4 (hormon thyroid) tidak banyak dihasilkan sehingga metabolisme menurun yang berdampak pada penurunan produksi panas, dengan mekanisme tersebut pada penelitian ini tubuh masih bisa beradaptasi dengan kondisi panas

lingkungan yang ada sehingga tidak memengaruhi suhu tubuh termasuk suhu shank. Selain itu, peningkatan aktivitas respirasi sebagai akibat suhu

lingkungan merupakan suatu upaya untuk memelihara suhu tubuh pada tingkatan yang normal (Esmay, 1978).


(6)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1) Kepadatan kandang 16, 20, dan 24 ekor per m-2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium pada minggu ke-6 dan ke-7, tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap frekuensi pernafasan minggu ke-3 sampai ke-5, dan suhu rektal serta suhu shank minggu ke-3 sampai ke-7.

2) Kepadatan kandang 16 dan 20 ekor per m-2 memperlihatkan pengaruh terbaik terhadap frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium minggu ke-6 dan ke-7.

B. Saran

Peternak dapat menggunakan kandang panggung dengan kepadatan kandang sampai dengan 20 ekor per m-2 selama 7 minggu, sedangkan kepadatan kandang sampai dengan 24 ekor per m-2 masih dapat digunakan selama pemeliharaan sampai umur 5 minggu.