KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG BERLAWANAN SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK)

(1)

KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG BERLAWANAN SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN

HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

(Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK) Oleh :

TRI AGUNG SUBIANTORO

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada. Sistem pembuktian Indonesia yang menganut keyakinan hakim berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ternyata masih memiliki kelemahan. Namun pada prakteknya, seringkali ditemukan alat bukti yang di ajukan dalam sidang saling berlawanan satu sama lain seperti alat bukti keterangan saksi, dimana antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain tidak bersesuaian. Pada akhirnya, Hakimlah yang memegang keputusan atas bersalah atau tidaknya Terdakwa, dimana hakim berkuasa untuk menganggap bahwa alat-alat bukti yang diajukan dapat meyakinkan dirinya atas kebenaran suatu perkara atau tidak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Apakah keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti? (2) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti didasarkan pada keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri, meskipun telah terdapat dua atau lebih dari saksi, akan tetapi dua atau lebih saksi yang ada ini memberikan kesaksiannya


(2)

didepan Pengadilan namun keterangan mereka berdiri sendiri atau berbeda satu dengan lainnya dan tidak memberikan keterkaitan antara satu dengan lainnya maka meskipun secara kuantitatif keterangan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan tersebut tidak dapat dianggap sebagai keterangan saksi yang memenuhi unsur pembuktian. Oleh karena itu perlu dilihat bahwa selain kuantitatif perlu diperhatikan pula kualitatif dari keterangan saksi. Dari beberapa keterangan saksi yang saling berlawanan, keterangan saksi yang memiliki nilai objektiflah yang memiliki nilai kekuatan pembuktian dan dapat dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim untuk mengambil keputusan. Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut, yaitu : Keterangan para saksi yang tidak obyektif sehingga harus dikesampingkan; Keterangan para saksi yang bertentangan dengan alat bukti yang lain; Para saksi A Decharge yang netral yang memberikan keterangan yang obyektif dan dapat dipercaya secara hukum; Keterangan para saksi yang saling bersesuaian; Hal-hal yang menguntungkan terdakwa.

Sebaiknya hakim dalam menerapkan alat bukti keterangan saksi tidak berdasarkan pendapatnya sendiri karena dapat merugikan salah satu pihak. Diharapkan bagi para hakim dalam memutus perkara pada kasus-kasus seperti ini untuk lebih memperhatikan alat-alat bukti yang ada dan sah menurut Undang-undang agar putusan yang dibuat tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara.


(3)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual………. 7

E. Sistematika Penulisan………. 11

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ……… 14

B. Sistem Pembuktian……….……….………..…. 15

C. Tujuan dan Guna Pembuktian .….……….. 19

D. Pengertian Alat Bukti ...……….……….. 20

E. Tinjauan Umum Tentang Penganiayaan .…….……….. 24

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….. 28

B. Sumber dan Jenis Data……….. 28


(4)

DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden……….……… 32 B. Keterangan Saksi yang Saling Berlawanan Sebagai Alat Bukti dalam

Persidangan ...………..………... 33 C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana

Penganiayaan Apabila Terdapat Keterangan Saksi yang Berlawanan .... 41

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………. 54

B. Saran……… 55


(5)

Chazawi, Adami, 1999,Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,Malang. Hamzah, Andi, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Ghalia, Jakarta.

Marpaung, Leden, 1999, Menggapai Tertib Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita, 1996, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Cetakan Pertama. Penerbit Sinar Wijaya. Surabaya.

Subekti dan R.Tjitrosoedibio, 1980,Kamus Hukum,Pradnya Paramita, Jakarta. Subekti, R., 1983,Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.

Tirtamidjaja, M.H., 1995,Pokok-pokok Hukum Pidana, Fresco, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 1991, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta.

_______________, 2004,Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


(6)

A. Latar Belakang

Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada. Pembuktian disini akan menjadi bahan penilaian mengenai benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sebab jika terjadi kekeliruan maka akan melanggar hak asasi manusia. Alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana alat-alat tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), alat-alat bukti ialah :

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;


(7)

Salah satu alat bukti dalam KUHAP adalah keterangan saksi yang menurut Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa saksi adalah seseorang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana, sehingga keterlibatan seorang saksi mutlak diperlukan dalam keseluruhan tingkatan pemeriksaan perkara pidana termasuk pemeriksaan di pengadilan. Setiap orang wajib berperan sebagai seorang saksi, yaitu apabila seseorang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang terjadinya tindak pidana. Seseorang yang akan bersaksi diminta untuk bersumpah terlebih dahulu agar keterangannya dianggap sah, dalam hal ini kesaksiannya masih tidak dapat dijamin kebenarannya, mengingat adanya kesaksian-kesaksian yang berlawanan ataupun tidak ada persesuaian antara saksi satu dengan saksi yang lainnya dalam satu perkara persidangan yang sama. Dalam KUHP Pasal 242 telah diatur mengenai sumpah palsu dan keterangan palsu, diancam dengan pidana penjara dan juga pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 KUHP. Persoalan kesaksian ini sudah semestinya diperhatikan oleh hakim yang akan memutus perkara agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengambil keputusan yang diakibatkan oleh hal-hal seperti ini. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif.

Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Selain itu saksi adalah manusia biasa yang mempunyai naluri untuk menolong sesama, sementara pada saat yang sama manusia itu tidak dapat dilepaskan dari sifat iri, hasut, dengki dan sejenisnya. Sifat-sifat semacam ini dapat saja melekat pada seorang saksi, seorang terdakwa, atau pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap kasus yang sedang terjadi.


(8)

Hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum di Negara Republik Indonesia. Sebagai aparat penegak hukum, hakim mempunyai kedudukan yang sangat terhormat dan sangat menentukan terhadap suatu perkara, karena hakimlah yang menerima, memeriksa dan memutus perkara. Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Mengadili dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut tata cara yang diatur oleh Undang-Undang.

Pengambilan keputusan dalam memutus suatu perkara, hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Pertanggungjawaban itu berdimensi vertikal dan horizontal. Secara vertikal, hakim dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal berarti pertanggungjawaban itu ditujukan terhadap sesama manusia, baik itu kepada peradilan yang lebih tinggi ataupun kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang sudah dipaparkan diatas, terdapat contoh kasus putusan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang berdasarkan putusan No.144/Pid/B/2007/PN TK dengan duduk perkara Warsiti sebagai Terdakwa I dan Markawi sebagai Terdakwa II dengan korban penganiayaan yaitu Aisah selaku istri dari Terdakwa II, Hana dan juga khoirul yang mana adalah ibu dan kakak dari Aisah. Tentang duduk perkaranya yaitu mengenai pengrusakan pagar rumah Aisah dan juga penganiayaan yang berupa


(9)

pemukulan terhadap ketiga korban. Pengrusakan serta pemukulan yang dilakukan oleh para Terdakwa diduga disebabkan karena Terdakwa merasa tersinggung dengan kata-kata korban yang menuduh Terdakwa II yaitu suami dari Aisah telah berselingkuh dengan Terdakwa I. Dari sinilah para korban yaitu Aisah, Hana dan juga Khoirul melaporkan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh para Terdakwa kepada pihak yang berwajib kemudian dilanjutkan pada proses Pengadilan. Sedangkan para Terdakwa membantah telah melakukan penganiayaan kepada para korban karena terdapat saksi-saksi yang membenarkan pernyataan para Terdakwa, demikian juga para korban selain menjadi saksi juga mempunyai saksi-saksi lain yang menguatkan korban. Selain itu para korban dikuatkan dengan alat bukti lain yaituvisum et repertumdari dokter. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan Pasal 170 ayat (1), yaitu kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan juga Pasal 351 ayat (1) tentang penganiayaan dengan penjatuhan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Putusan majelis hakim menyatakan bahwa Terdakwa I dan II tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, sehingga keduanya dibebaskan dari segala dakwaan. Dalam mengambil keputusan tersebut, terdapat dua buah keterangan yang saling bertentangan antara keterangan dari saksi-saksi yang memberatkan Terdakwa dan saksi-saksi didukung dengan keterangan Terdakwa. Namun berdasarkan pertimbangan bahwa para saksi yang memberatkan Terdakwa tidak memberikan keterangannya secara obyektif dan tidak dapat dipercaya secara hukum, maka digunakan keterangan dari para saksi a dechargeyang bersesuaian dengan keterangan Terdakwa. Sedangkan alat bukti


(10)

visum et repertum yang dinyatakan telah diajukan tidak dipertimbangkan keberadaannya.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi yang Berlawanan Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikemukakan penulis antara lain:

a. Apakah keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti?

b. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada kekuatan


(11)

pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang berlawanan. Sedangkan lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. Keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti. b. Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus

tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai dasar pertimbangan hakim dalam


(12)

memutus perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang berlawanan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 ; 125).

Membahas permasalahan mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, perlu diketahu bahwa pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka Hakim atau Pengadilan (R. Subekti, 1983 ; 7). Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang dan menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil yang bersifat khusus.

Penilaian kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian (D. Simons dalam Andi Hamzah, 1983 ; 229), yaitu :

1) Sistem pembuktian yang positif, yaitu sistem pembuktian yang hanya didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang atau yang sah menurut undang-undang-undang-undang. Dalam sistem pembuktian


(13)

yang hanya didasarkan pada alat-alat bukti, akan mengesampingkan tugas hakim dalam kaitan dengan upaya untuk menciptakan hukum.

2) Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada keyakinan hakim, yaitu sistem pembuktian yang hanya mendasarkan pada keyakinan hakim semata, dan yang jelas akan menonjol adalah sikap subjektifitas dari hakim.

3) Sistem pembuktian yang didasarkan pertimbangan hakim yang logis, dalam sistem ini peranan alat bukti telah ditiadakan dan yang menjadi pertimbangan hanya nilai rasionalitas dari suatu kejadian.

4) Sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian yang selain didasarkan pada keyakinan hakim, juga didasarkan pada alat-alat bukti yang ada.

Berdasarkan teori-teori di atas, dalam hal ini penulis menggunakan teori tentang bukti dan alat bukti yang dikemukakan oleh Soebekti (1980 ; 21) yang menyatakan:

“Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil atau pendirian, Alat bukti, alat pembuktian, bewijs middle (Bld) adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya: bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain”.

Keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : 1) Bahwa keterangan tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 160

ayat (3) KUHAP),

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti,

3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).


(14)

5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.

Membahas permasalahan yang kedua, Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Memang apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukankebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera.

Praktek sehari-hari, baik oleh Penuntut Umum maupun Hakim, faktor-faktor yang dikemukakan dalam tuntutan dan penjatuhan pidana adalah dua hal pokok yaitu hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan. Faktor-faktor yang memberatkan misalnya memberikan keterangan yang berbelitbelit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan Negara, dan sebagainya. Faktor-faktor yang meringankan merupakan refleksi sifat yang baik dari terdakwa dan faktor yang memberatkan dinilai sebagai sifat yang jahat dari terdakwa. Pertimbangan Hakim yang demikian acuannya terutama Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam mempertimbangankan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa.


(15)

Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Dalam menjatuhkan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.


(16)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto,1986; 132).

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku (Andi Hamzah, 1986 ; 99).

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (Sudarto, 1986 ; 25).

c. Penganiayaan merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain (M.H. Tirtamidjaja, 1995 ; 174).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:


(17)

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai pokok bahasan tentang kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam tulisan ini melalui data primer dan sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Menjelaskan permasalahan yaitu bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan.


(18)

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan karya ilmiah skripsi ini.


(19)

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder saja, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas (Soerjono Soekanto, 1986: 57), yang terdiri antara lain:

1. Bahan Hukum Primer, antara lain:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


(20)

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, Perda, dan Putusan No.144/Pid/B/2007/PN TK.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari:

a) Literatur b) Kamus

c) Internet, surat kabar dan lain-lain

C. Penetuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga. Populasi adalah sejumlah maanusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986 ; 72). Populasi dalam penelitian ini adalah Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang.

Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan dengan cara


(21)

mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987 ; 152).

Dalam penelitian ini responden sebanyak 3 orang, yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang : 1 orang 2. Jaksa Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang : 1 orang 3. Dosen Unila Fakultas Hukum : 1 orang +

3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.


(22)

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebutdilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus.


(23)

Bukan hanya tentang drama atau tentang kemenangan namun ini tentang kehidupan yang sesungguhnya

(Penulis)

Allah akan meninggikan derajad orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan beberapa tingkat

(QS. Al-Mujadalah : 11)

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang yang khusyu


(24)

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, dan dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya

kecil ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku tercinta, untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat dan

sujudnya.

Kakakku dan adikku yang tercinta, untuk semangat yang selalu dikatakan dan senantiasa memberi dukungan kepadaku dengan keceriaan dan kasih sayang.


(25)

Penulis dilahirkan di Isorejo, pada tanggal 17 Mei 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Sobirin, S,Pd., M,Pd., dan Ibu Hj. Sudaryati, S,Pd.,

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Isorejo yang diselesaikan tahun 2001, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Bungamayang yang diselesaikan tahun 2004, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Metro yang diselesaikan tahun 2007.

Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas Lampung dan pada tahun 2010 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) program Studi Banding Malang, Bali, Yogyakarta periode XVII pada tahun 2010.


(26)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti didasarkan pada keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri, meskipun telah terdapat dua atau lebih dari saksi, akan tetapi dua atau lebih saksi yang ada ini memberikan kesaksiannya di depan Pengadilan namun keterangan mereka berdiri sendiri atau berbeda satu dengan lainnya dan tidak memberikan keterkaitan antara satu dengan lainnya maka meskipun secara kuantitatif keterangan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan tersebut tidak dapat dianggap sebagai keterangan saksi yang memenuhi unsur pembuktian. Oleh karena itu perlu dilihat bahwa selain kuantitatif perlu diperhatikan pula kualitatif dari keterangan saksi. Dari beberapa keterangan saksi yang saling berlawanan, keterangan saksi yang memiliki nilai objektiflah yang memiliki nilai kekuatan pembuktian dan dapat dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim untuk mengambil keputusan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling


(27)

berlawanan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut, yaitu :

a. Keterangan para saksi yang tidak obyektif sehingga harus dikesampingkan;

b. Keterangan para saksi yang bertentangan dengan alat bukti yang lain; c. Para saksi A Decharge yang netral yang memberikan keterangan yang

obyektif dan dapat dipercaya secara hukum; d. Keterangan para saksi yang saling bersesuaian; e. Hal-hal yang menguntungkan terdakwa.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dan mengetahui hasil penelitian maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:

a. Sebaiknya hakim dalam menerapkan alat bukti keterangan saksi tidak berdasarkan pendapatnya sendiri karena dapat merugikan salah satu pihak. Diharapkan bagi para hakim dalam memutus perkara pada kasus-kasus seperti ini untuk lebih memperhatikan alat-alat bukti yang ada dan sah menurut Undang-undang agar putusan yang dibuat tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara.

b. Hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan harus berdasarkan kepada Pasal 188 ayat (3) KUHAP menyatakan : “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.


(28)

PIDANA PENGANIAYAAN

(Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK)

Oleh

TRI AGUNG SUBIANTORO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(29)

Hamzah, Andi, 1980, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Ghalia, Jakarta

Sasangka, Hari dan Lily Rosita, 1996, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Cetakan Pertama. Sinar Wijaya. Surabaya.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Subekti, R., 1980,Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudarto, 1986,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Tirtamidjaja, M.H., 1995,Pokok-pokok Hukum Pidana, Fresco, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


(30)

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.


(31)

A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

Pengertian dari “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka Hakim atau Pengadilan (R. Subekti, 1983 ; 7). Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang dan menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil yang bersifat khusus.

Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari para pihak tersebut. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 1996 ; 5-7).


(32)

B. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya (Hari sasangka & Lily Rosita, 2003 ; 10-13).

Untuk menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu :

1) Sistem pembuktian yang positif, yaitu sistem pembuktian yang hanya didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang atau yang sah menurut undang-undang-undang-undang. Artinya jika telah tebukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Dalam sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada alat-alat bukti, akan mengesampingkan tugas hakim dalam kaitan dengan upaya untuk menciptakan hukum. Menurut D. Simons (dalam Andi Hamzah, 1983 ; 229), sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Bahkan lebih dari itu, kebenaran dari putusannya pun terdapat peluang untuk tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Sebab, dapat saja barang bukti yang dihadirkan dalam siding pengadilan merupakan hasil rekayasa.


(33)

2) Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada keyakinan hakim, yaitu sistem pembuktian yang hanya mendasarkan pada keyakinan hakim semata, dan yang jelas akan menonjol adalah sikap subjektifitas dari hakim. Dalam sistem ini hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Tentunya selalu ada alasan berdasar atas pikiran secara logika, yang mengakibatkan seorang hakim mempunyai pendapat tentang terbukti atau tidaknya suatu tindak pidana. Masalahnya adalah, bahwa dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan menyebutkan alasan-alasan itu. Dan kalau hakim menyebutkan alat bukti yang ia pakai, maka hakim dapat memakai alat bukti apa saja. Keberatan dalam sistem ini adalah, bahwa terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketepatan kesan-kesan perseorangan belaka dari seorang hakim.

3) Sistem pembuktian yang didasarkan pertimbangan hakim yang logis, dalam sistem ini peranan alat bukti telah ditiadakan dan yang menjadi pertimbangan hanya nilai rasionalitas dari suatu kejadian. Sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan ia pergunakan (Andi Hamzah, 1983 ; 232).

4) Sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian yang selain didasarkan pada keyakinan hakim, juga didasarkan pada alat-alat bukti yang ada. Dalam


(34)

sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu :

a) Wettelijk; adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

b) Negatief; adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

Alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang tidak bias ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Hari Sasangka & Lily Rosita, 1996 ; 17).

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negative "menggabungkan" ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Bertitik-tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :


(35)

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Asas Negatief Wettelijk Stelsel ini diatur juga dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah dijelaskan beberapa sistem pembuktian sebagai bahan perbandingan, pada bagian ini Penulis hendak mengkaji system pembuktian yang dianut dan diatur didalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditegaskan "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dalam rumusan Pasal tersebut sangat jelas bahwa tanpa dua alat bukti yang sah maka seorang terdakwa tidak dapat dipidana. Sama halnya bagi Polri ataupun pihak kejaksaan (kasus Tindak Pidana Tertentu) dalam melakukan penangkapan harus mempunyai bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Akan tetapi sebaliknya apabila terdapat cukup bukti maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukannya.

Menurut Hukum Acara Pidana yang dinamakan sistem negatif menurut Undang-Undang, sistem mana terkandung dalam Pasal 294 ayat (1) RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), yang berbunyi sebagai berikut : "Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah,


(36)

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya". (R. Subekti, 1983 ; 7)

Berdasarkan rumusan Pasal 294 ayat (1) RIB dapat diberikan pengertian bahwa sistem negatif menurut Undang-Undang tersebut di atas, mempunyai maksud sebagai berikut :

1. Untuk mempermasalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan suatu minimum pembuktian, yang ditetapkan dalam undang-undang.

2. Namun demikian, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempermasalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.

Berdasarkan sistem yang telah diuraikan di atas, yang pada akhirnya menentukan nasibnya si terdakwa adalah keyakinan Hakim. Jika, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa itu, ia harus membebaskannya. Karena itu, maka dalam tiap-tiap putusan hakim pidana, yang menjatuhkan hukuman, dapat kita baca pertimbangan: "bahwa Hakim, berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa".

C. Tujuan dan Guna Pembuktian

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :


(37)

a) Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.

b) Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya.

c) Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar membuat putusan (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 1996 ; 7-9).

D. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana alat-alat tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang apa saja kah yang menjadi bukti yang sah menurut Hukum Formil ini. Ditegaskan bahwa Alat bukti yang sah ialah :

1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat,


(38)

4. petunjuk;

5. keterangan terdakwa.

Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan satu persatu berdasarkan teori hukum yang Penulis pelajari.

a. Keterangan saksi

Saksi adalah setiap orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana. Agar suatu keterangan saksi atau kesaksian dapat dianggap sah dan memilki kekuatan pembuktian, maka harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) Merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang telah saksi lihat, dengar atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (pengertian “‘keterangan saksi” berdasarkan Pasal 1 butir 27 KUHAP).

2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti yang sah lainnya.

3) Bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai hasil dari pemikiran.

4) Harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan sumpah. 5) Harus diberikan di muka sidang pengadilan .

6) Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti bila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga dapat menggambarkan suatu kejadian tertentu.


(39)

Untuk menilai kebenaran atas keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti, maka hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut (Pasal 185 ayat (6) KUHAP):

1) Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya. 2) Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. 3) Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu.

4) Cara hidup dan kesusilaan serta hal-hal lain yang pada umumnya mempengaruhi dapat tidaknya keterangan tersebut dipercaya.

b. Keterangan ahli

Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memilki keahlian khusus mengenai suatu hal yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara pidana demi kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan dibawah sumpah (Pasal 186 KUHAP). Selain itu, keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu bentuk laporan (Pasal 133 jo penjelasan Pasal 186 KUHAP).

Visum et repertum merupakan alat bukti yang dikatakan memiliki dualisme sebagai alat bukti dimana visum menyentuh dua sisi alat bukti yang sah menurut undang-undang; yaitu keterangan ahli dan surat. Visum sebagai alat bukti keterangan ahli merupakan bentuk dari keterangan ahli yang diberikan pada waktu penyidikan dan dituangkan dalam bentuk laporan (sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP).


(40)

c. Surat

Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan dengan sumpah. Dalam Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu:

1) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang didengar/dilihat/dialami sendiri disertai alasan yang jelas mengenai keterangan tersebut.

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya.

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal yang dimintakan secara resmi kepadanya. 4) Surat lain yang berhubungan dengan alat bukti yang lain.

Alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan memiliki kekuatan mengikat bagi hakim (volledig en beslissende bewijskracht). Namun demikian, kesempurnaan dan kekuatan mengikat tersebut hanyalah secara formal. Pada akhirnya, keyakinan hakimlah yang menentukan kekuatan pembuktiannya.

Berdasarkan keterangan tersebut, visum et repertum juga dapat digolongkan sebagai alat bukti surat yaitu surat keterangan seorang ahli atas suatu hal yang dibuat berdasarkan keahliannya, dan dimintakan secara resmi kepadanya oleh penyidik.


(41)

d. Petunjuk

Petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat ditarik atas suatu perbuatan atau kejadian atau keadaan yang bersesuaian, sehingga menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh secara terbatas dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan bila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan Terdakwa.

e. Keterangan Terdakwa

Keterangan Terdakwa dapat diberikan di dalam dan diluar sidang. Yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah keterangan Terdakwa di hadapan sidang. Keterangan yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang; selama didukung oleh suatu alat bukti yang sah lainnya.

Adapun keterangan Terdakwa sebagai alat bukti, tanpa disertai oleh alat bukti lainnya, tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Hal ini merupakan ketentuan beban minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dua alat bukti yang sah menurut undangundang.

E. Tinjauan Umum Tentang Penganiayaan

Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal ini disebut dengan penganiayaan. Dalam KUHP Pasal 351 ayat (4), yang termasuk dalam pengertian penganiyaan ialah perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan


(42)

orang. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : Suatu perlakuan yang sewenang-wenang.

Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut perasaan atau batiniah. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.

Ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.

Hukum pidana positif membedakan antara penganiayaan (persecution) dengan penyiksaan (torture). Sebaiknya dibedakan terlebih dulu penyiksaan dengan penganiayaan, yaitu :

a. Pertama, dari jenis hukum yang melingkupi, penyiksaan termasuk dalam yurisdiksi hukum hak-hak manusia dan dikenal juga sebagai perjanjian internasional tentang hak-hak manusia. Sementara penganiayaan termasuk dalam hukum pidana. Selama ini istilah penyiksaan memang tak pernah terdapat dalam hukum pidana.

b. Kedua, penyiksaan termasuk salah satu hak manusia yang tak boleh ditangguhkan dalam keadaan apa pun, bahkan dalam keadaan perang atau


(43)

darurat sekalipun, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pelanggaran hak-hak manusia yang berat. Sementara penganiayaan dapat berupa penganiayaan ringan dan dapat pula penganiayaan berat.

c. Ketiga, pelaku penyiksaan sesuai jenis hukumnya adalah aparat negara , secara khusus adalah aparat penegak hukum , sehingga termasuk sebagai tanggung jawab negara. Sementara pelaku penganiayaan adalah individu dan dengan begitu sebagai tanggung jawab individu.

d. Keempat, memang korban penyiksaan maupun penganiayaan sama-sama individu, tapi pelaku penganiayaan yang ditangani proses hukumnya oleh aparat penegak hukum dapat saja menjadi korban penyiksaan. Dan memang kebanyakan korban penyiksaan adalah mereka yang diduga melakukan perbuatan kriminal.

e. Kelima, pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara penganiayaan diproses melalui mekanisme pengadilan pidana. Sementara pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara penyiksaan diproses melalui mekanisme pengadilan hak-hak manusia (Leden Marpaung, 1999 ; 10-11).

Leden Marpaung (1999 ; 5), mengemukakan pengertian penganiayaan adalah “menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.

Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :


(44)

a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau

b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain

(Leden Marpaung, 1999 ; 6).

Adami Chazawi (1999 ; 14) mengemukakan bahwa penganiayaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diartikan bahwa penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh. Jika perbuatan itu menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidak merupakan penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak dengan tujuan untuk mendidik.


(45)

1. Tim Penguji

Ketua : Maroni, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Maya Safira, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003


(46)

MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK)

Nama Mahasiswa : Tri Agung Subiantoro No. Pokok Mahasiswa : 0742011331

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Maroni, S.H., M.H. Maya Safira, S.H., M.H.

NIP 196112311989031023 NIP 197706012005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 196208171987032003


(47)

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi yang Berlawanan Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Maroni, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Ibu Maya Safira, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(48)

menyempurnakan skripsi ini;

6. Bapak Ahmad Irzal F., S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

7. Ibu Rilda Murniati., S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Teman-teman seperjuanganku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 16 Februari 2012 Penulis


(1)

26

darurat sekalipun, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pelanggaran hak-hak manusia yang berat. Sementara penganiayaan dapat berupa penganiayaan ringan dan dapat pula penganiayaan berat.

c. Ketiga, pelaku penyiksaan sesuai jenis hukumnya adalah aparat negara , secara khusus adalah aparat penegak hukum , sehingga termasuk sebagai tanggung jawab negara. Sementara pelaku penganiayaan adalah individu dan dengan begitu sebagai tanggung jawab individu.

d. Keempat, memang korban penyiksaan maupun penganiayaan sama-sama individu, tapi pelaku penganiayaan yang ditangani proses hukumnya oleh aparat penegak hukum dapat saja menjadi korban penyiksaan. Dan memang kebanyakan korban penyiksaan adalah mereka yang diduga melakukan perbuatan kriminal.

e. Kelima, pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara penganiayaan diproses melalui mekanisme pengadilan pidana. Sementara pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara penyiksaan diproses melalui mekanisme pengadilan hak-hak manusia (Leden Marpaung, 1999 ; 10-11).

Leden Marpaung (1999 ; 5), mengemukakan pengertian penganiayaan adalah “menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.

Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :


(2)

27

a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau

b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain

(Leden Marpaung, 1999 ; 6).

Adami Chazawi (1999 ; 14) mengemukakan bahwa penganiayaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diartikan bahwa penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh. Jika perbuatan itu menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidak merupakan penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak dengan tujuan untuk mendidik.


(3)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Maroni, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Maya Safira, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003


(4)

Judul Skripsi : KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG BERLAWANAN SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK)

Nama Mahasiswa : Tri Agung Subiantoro No. Pokok Mahasiswa : 0742011331

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Maroni, S.H., M.H. Maya Safira, S.H., M.H.

NIP 196112311989031023 NIP 197706012005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 196208171987032003


(5)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi yang Berlawanan Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Maroni, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Ibu Maya Safira, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(6)

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

6. Bapak Ahmad Irzal F., S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

7. Ibu Rilda Murniati., S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Teman-teman seperjuanganku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 16 Februari 2012 Penulis


Dokumen yang terkait

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor 1727/PID.B/2009/PN.TK)

0 6 77

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)

0 20 70

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

0 4 60

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/2013/PN.TK)

0 7 78

PENULISAN SKRIPSI HUKUM DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN).

0 2 13

PENULISAN SKRIPSI HUKUM DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PENULISAN SKRIPSI HUKUM DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN).

0 3 13

PENDAHULUAN PENULISAN SKRIPSI HUKUM DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN).

0 4 18

PENUTUP PENULISAN SKRIPSI HUKUM DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SLEMAN).

0 3 4

REKONSTRUKSI SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PIDANA (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surakarta dalam Perkara Pidana Nomor 118 / Pid. B / 2004 dan Perkara Pidana Nomor 79 / Pid. B / 2007).

0 2 20

PENILAIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN ANAK DENGAN DISUMPAH DALAM PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI PATI MEMUTUS PERKARA PENCABULAN OLEH ANAK ( Studi Putusan Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Pti ).

0 0 10