V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti didasarkan pada keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri, meskipun
telah terdapat dua atau lebih dari saksi, akan tetapi dua atau lebih saksi yang ada ini memberikan kesaksiannya di depan Pengadilan namun keterangan
mereka berdiri sendiri atau berbeda satu dengan lainnya dan tidak memberikan keterkaitan antara satu dengan lainnya maka meskipun secara kuantitatif
keterangan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan tersebut tidak dapat dianggap sebagai
keterangan saksi yang memenuhi unsur pembuktian. Oleh karena itu perlu dilihat bahwa selain kuantitatif perlu diperhatikan pula kualitatif dari
keterangan saksi. Dari beberapa keterangan saksi yang saling berlawanan, keterangan saksi yang memiliki nilai objektiflah yang memiliki nilai kekuatan
pembuktian dan dapat dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim untuk mengambil keputusan.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling
berlawanan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut, yaitu :
a. Keterangan para
saksi yang
tidak obyektif
sehingga harus
dikesampingkan; b. Keterangan para saksi yang bertentangan dengan alat bukti yang lain;
c. Para saksi A Decharge yang netral yang memberikan keterangan yang obyektif dan dapat dipercaya secara hukum;
d. Keterangan para saksi yang saling bersesuaian; e. Hal-hal yang menguntungkan terdakwa.
B. Saran
Setelah penulis melakukan penelitian dan mengetahui hasil penelitian maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:
a. Sebaiknya hakim dalam menerapkan alat bukti keterangan saksi tidak berdasarkan pendapatnya sendiri karena dapat merugikan salah satu pihak.
Diharapkan bagi para hakim dalam memutus perkara pada kasus-kasus seperti ini untuk lebih memperhatikan alat-alat bukti yang ada dan sah menurut
Undang-undang agar putusan yang dibuat tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara.
b. Hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan harus berdasarkan kepada
Pasal 188 ayat 3 KUHAP menyatakan : “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG BERLAWANAN SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN
HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
Studi Pada Perkara Nomor 144PidB2007PN TK
Oleh TRI AGUNG SUBIANTORO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM Pada
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2012
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi, 1980, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Ghalia, Jakarta Sasangka, Hari dan Lily Rosita, 1996, Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana. Cetakan Pertama. Sinar Wijaya. Surabaya. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta. Subekti, R., 1980, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Tirtamidjaja, M.H., 1995, Pokok-pokok Hukum Pidana, Fresco, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
www.wikipedia.org
DAFTAR PUSTAKA
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.
Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian