PEMBUATAN KATALIS Fe3O4 DENGAN METODE SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK REAKSI KONVERSI CO2 MENJADI METANOL

(1)

ABSTRAK

PEMBUATAN KATALIS Fe3O4 DENGAN METODE SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK REAKSI KONVERSI CO2 MENJADI

METANOL Oleh

Sarah Aliana

Seiring dengan semakin meningkatnya pemanasan global sebagai akibat dari efek reumah kaca, mendorong pengembangan teknologi untuk mengurangi kadar gas CO2 di udara. Salah satu cara yang menjanjikan adalah dengan reaksi konversi gas CO2 menjadi metanol. untuk mendukung reaksi konversi tersebut, berbagai jenis katalis telah dikembangkan. Maka pada kesempatan ini dilakukan pembuatan katalis dengan logam aktif Fe dalam bentuk oksidanya dengan metode sol-gel

Metode pembuatan Fe3O4 yang dilakukan pada penelitian ini merupakan pengembangan dari dua metode penelitian sebelumnya, diawali dengan pembuatan katalis Fe2O3 dengan metode sol-gel kemudian disertakan perlakuan reduksi untuk mengkonversinya menjadi Fe3O4. Katalis yang telah dibuat dikarakterisasi dengan Spektrofotometer Infra Merah (IR) untuk mengevaluasi keasaman katalis, untuk melihat struktur kristal dan analisis fasa katalis dianalisis menggunakan X-Ray Difraktometer (XRD), untuk melihat morfologi permukaan dan analisis komposisi unsur permukaan sampel katalis menggunakan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDX), serta

hasil uji aktivitas katalis diukur dengan menggunakan Kromatografi Gas.

Hasil analisis difraktogram sinar-X menunjukkan bahwa katalis Fe2O3 secara optimal terkonversi menjadi katalis Fe3O4 dengan asupan gas H2 sebesar 1,8L/jam. Menggunakan EDX diketahui hasil pencapaian Fe3O4 sebesar 64,74% dan sisanya adalah Fe sebesar 35,24%. Katalis Fe3O4 memiliki keasaman sebesar 1,116 mmol piridin/gram katalis dengan situs asam Brønsted-Lowry sebagai situs yang lebih dominan. Hasil analisis morfologi permukaan menunjukkan bahwa Fe3O4 membentuk kelompok-kelompok (cluster) dengan struktur polimorf (tidak homogen) dengan bentuk agak bulat memanjang dan ada yang agak bulat hampir membentuk struktur kubik. Uji aktivitas yang dilakukan yang dilakukan menunjukkan bahwa katalis tidak memiliki aktivitas terhadap pembentukan metanol. Meskipun gagal menghasilkan metanol, dari data penelitian dapat disimpulkan bahwa katalis yang dibuat mampu mengkonversi gas CO2 menjadi gas CO, dengan indikasi telah terbentuknya fase kristalin Fe2O3 sebesar 6,32%.


(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, masalah lingkungan hidup seperti pemanasan global telah menjadi pusat perhatian masyarakat dunia karena dampak negatif yang ditimbulkan bersifat global. Seiring dengan semakin meningkatnya pemanasan global sebagai akibat dari efek rumah kaca, mendorong pengembangan teknologi untuk mengurangi kadar gas CO2 di udara. Salah satu cara yang menjanjikan adalah dengan reaksi konversi gas CO2 menjadi metanol dan senyawa hidrokarbon lain seperti etanol, alkana, alkena, dan asam karboksilat. Reaksi konversi sangat menjanjikan karena tidak hanya dapat mengurangi dampak buruk keberadaan gas CO2, tetapi juga karena metanol merupakan bahan baku utama untuk menghasilkan beberapa senyawa organik seperti formaldehida, alkilhalida, dan asam asetat. Proses konversi tersebut membutuhkan katalis. Oleh karena itu, untuk mendukung reaksi konversi tersebut, berbagai jenis katalis telah dikembangkan (Joep et al., 2004).

Secara umum diketahui bahwa karakteristik suatu katalis sangat ditentukan oleh tiga faktor, yakni jenis logam, penyangga katalis, dan metode preparasi. Berdasarkan faktor tersebut, beberapa jenis logam telah diteliti untuk mendukung reaksi konversi gas CO2 menjadi metanol, diantaranya adalah


(3)

logam Ni dengan konversi gas CO2 menjadi metanol mencapai 84% pada temperatur 500oC (Kim et al., 1994).

Berdasarkan fakta tersebut, maka pada kesempatan ini dilakukan pembuatan katalis dengan logam aktif Fe dalam bentuk oksidanya dengan metode sol-gel. Katalis Fe diketahui telah digunakan secara luas karena dapat lebih meningkatkan produksi metanol (Haider et al., 2009). Berdasarkan

mekanisme reaksi Fischer-Tropsch dengan Fe sebagai logam aktif (Blanchard

et al., 1982), tingkat oksidasi logam Fe mempengaruhi aktivasi logam Fe

dalam reaksi tersebut. Selain itu, diketahui bahwa logam Fe dalam bentuk Fe3O4 lebih aktif bila dibandingkan dengan logam Fe pada keadaan tingkat oksidasinya +2.

Pembuatan katalis dengan metode sol-gel mempunyai beberapa keunggulan, yaitu distribusi situs aktif akan tersebar secara merata sehingga dihasilkan katalis yang bersifat homogen, kemudian tekstur porinya memberikan kemudahan difusi dari reaktan untuk masuk ke dalam situs aktif (Lecloux and Pirard., 1998). Atas dasar beberapa keunggulan tersebut, maka metode yang dipilih untuk pembuatan katalis Fe3O4 pada penelitian kali ini adalah metode sol-gel.

Metode pembuatan Fe3O4 yang dilakukan pada penelitian ini merupakan pengembangan dari dua penelitian sebelumnnya. Pada penelitian yang dilakukan Cao et al., (1997), Fe2O3 dapat dikonversi menjadi Fe3O4 dengan memanaskan sampel amorf Fe2O3 yang dialiri gas N2 atau dalam keadaan vakum. Pada penelitian tersebut, nanopartikel Fe2O3 dibuat menggunakan


(4)

senyawa Fe(CO)5. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Akbar et al., (2004), pembuatan katalis nanopartikel Fe2O3 dilakukan dengan metode sol-gel menggunakan senyawa Fe(NO3)3.9H2O. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pembuatan katalis Fe2O3 menggunakan senyawa Fe(NO3)3.9H2O dengan metode sol-gel seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Akbar et al., (2004) dan disertakan perlakuan seperti pada penelitian Cao et al., (1997), tetapi gas yang digunakan untuk mengkonversi Fe2O3 menjadi Fe3O4 adalah gas H2.

Aspek lain yang terkait dengan pemanfaatan katalis adalah adanya hubungan antara unjuk kerja dan karakteristiknya. Atas dasar ini, katalis yang dibuat dikarakterisasi dengan beberapa metode untuk merumuskan hubungan antara reaktivitas dan karakteristik katalis. Katalis yang telah dibuat dikarakterisasi dengan Spektrofotometer Infra merah (IR) untuk mengevaluasi keasaman katalis, untuk melihat struktur kristal dan analisis fasa katalis dianalisis menggunakan X-Ray Difraktometer (XRD), untuk melihat morfologi permukaan dan analisis komposisi unsur permukaan sampel katalis menggunakan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDX), serta hasil uji aktivitas katalis diukur dengan

menggunakan Kromatografi Gas.

Berdasarkan paparan di atas, maka pada kesempatan ini dipelajari pembuatan katalis Fe3O4 dengan metode sol-gel dan aplikasinya dalam mengkonversi CO2 menjadi metanol, untuk menjawab beberapa masalah, meliputi (1) apakah Fe2O3 yang dibuat dari senyawa Fe(NO3)3.9H2O dengan metode sol-gel, dapat dikonversikan dengan efisien menjadi Fe3O4 dengan


(5)

mereduksinya menggunakan gas H2, (2) apakah Fe3O4 yang dihasilkan memiliki unjuk kerja terhadap konversi gas CO2 menjadi metanol.

B. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari perilaku katalis Fe3O4 dengan metode sol-gel, dan untuk mengetahui aktivitasnya pada proses konversi gas CO2 menjadi metanol pada temperatur 100, 200, 300, dan 400 oC.

C. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh pengetahuan tentang pembuatan katalis Fe3O4 dengan metode sol-gel terhadap karakteristiknya dalam konversi gas CO2 menjadi metanol dan memberikan masukan untuk riset lebih lanjut.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penanganan CO2

Akhir-akhir ini, kegiatan manusia dalam kehidupan modern telah mengganggu komposisi udara yang menyebabkan masalah-masalah lingkungan yang cukup serius, seperti hujan asam dan pemanasan global. Pemanasan global adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan terjadinya kenaikan suhu atmosfir bumi secara bertahap. Dewasa ini pemanasan global menjadi isu internasional karena selain mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu sebagai dampak langsung, pemanasan global ternyata juga mengakibatkan terjadinya perubahan iklim di permukaan bumi.

Pemanasan global merupakan dampak dari gas rumah kaca yang terdiri dari karbon dioksida, metana, dinitrogen oksida, dan senyawa fluorin seperti hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, serta sulfur heksafluorida, karena gas tersebutlah yang paling dianggap sebagai penyebab pemanasan global. Dari berbagai jenis gas rumah kaca tersebut, gas CO2 mendapat perhatian paling besar (World Health Organization (WHO), 2003).

Secara garis besar, gas CO2 di atmosfir bumi berasal dari dua sumber utama, yakni proses alami dan aktifitas manusia. Secara alami, gas CO2 diserap dari atmosfir dan dilepaskan kembali ke atmosfir dalam suatu siklus, yang dikenal


(7)

secara umum sebagai siklus karbon. Dalam siklus ini, gas CO2 dilepaskan ke atmosfir ketika tanaman maupun hewan melakukan proses respirasi, yakni proses oksidasi nutrien menghasilkan gas CO2 dan energi. Gas CO2 yang dilepaskan oleh tanaman dan hewan selanjutnya akan diserap oleh tanaman ketika tanaman melakukan proses fotosintesis. Dengan adanya siklus tersebut, jumlah gas CO2 di atmosfir secara praktis dapat dianggap tetap.

Gas CO2 merupakan gas dengan kestabilan yang tinggi serta memiliki kapasitas panas yang cukup besar, yakni 37 J K-1 mol-1. Kapasitas panas ini menunjukkan bahwa molekul gas CO2 mempunyai kemampuan untuk menyimpan panas (kalor) dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini berarti pula bahwa jika gas CO2 melepaskan kalor yang dikandungnya ke lingkungan sekitarnya akan mengakibatkan kenaikan suhu lingkungan yang cukup berarti. Dua sifat yang dipaparkan di atas merupakan alasan utama mengapa gas CO2 bersifat sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global (National Research Council (NRC), 2001).

Pemanasan global terjadi akibat jumlah gas CO2 di atmosfir telah melebihi jumlah yang diperlukan oleh siklus karbon. Gas CO2 di udara telah meningkat sekitar 30% akibat dari kegiatan manusia sejak awal revolusi industri (Ikhsan dkk., 2008). Tindakan manusia dalam mengkonversi lahan secara besar-besaran, baik untuk perluasan sektor pertanian, permukiman, dan kawasan industry telah menggusur lahan lestari sehingga jumlah tanaman yang dibutuhkan untuk menyerap gas CO2 dari atmosfir menurun tajam. Sektor industri membutuhkan energi dalam jumlah sangat besar, yang salah satu sumbernya adalah bahan bakar fosil, terutama bahan bakar berbasis


(8)

minyak bumi dan batubara. Penggunaan kedua jenis bahan bakar di atas akan menghasilkan gas CO2 dalam jumlah yang sangat besar dan diemisikan ke atmosfir. Penggunaan bahan bakar fosil yang sangat luas, telah menyebabkan kenaikan konsentrasi gas CO2 dan gas rumah kaca yang lain di udara.

Salah satu usaha memperkecil masalah tersebut adalah dengan penggunaan bioenergi sebagai pengganti bahan bakar fosil sehingga dapat mengurangi emisi gas CO2. Meskipun penggunaan bioenergi telah banyak dikembangkan, namun ternyata penggunaan bahan bakar fosil belum sepenuhnya ditinggalkan. Oleh karena itu, tantangan selanjutnya adalah bagaimana menyikapi emisi gas CO2 yang tetap dihasilkan sehingga tidak menyebabkan masalah lingkungan. Dalam usaha menjawab tantangan tersebut, salah satu gagasan yang dari dulu telah dilakukan adalah dengan mengkonversi gas CO2 menjadi senyawa hidrokarbon contohnya metanol melalui reaksi katalitik (Kim et al., 1994)

Konversi gas CO2 yang terjadi dimungkinkan berdasarkan reaksi sebagai berikut:

Reaksi diatas sebenarnya melibatkan beberapa tahapan, yaitu difusi reaktan ke permukaan katalis yang berlangsung cepat, disusul dengan penyerapan (adsorbsi) reaktan pada permukaan katalis.


(9)

Penyerapan (adsorbsi) reaktan pada permukaan katalis diikuti dengan difusi reaktan ke situs aktif katalis. Tahap selanjutnya yaitu terjadi reaksi dari spesi yang diserap, menghasilkan produk, yang selanjutnya terjadi pelepasan (desorpsi) produk dari permukaan katalis.

(Nakatsuji and Hu, 1999)

Akibat terjadinya adsorpsi kimia, aktivitas molekul mengalami perubahan. Atom yang teradsorpsi menjadi lebih reaktif dibandingkan molekul bebasnya, karena mengalami pemutusan ikatan kovalen atau ikatan hidrogen. Proses adsorpsi menyebabkan berkurangnya energi bebas (G) sistem sehingga entropi (S) juga berkurang. Berdasarkan persamaan 1,

∆G = ∆H –T . ∆S ... 1)

maka dapat dikatakan bahwa proses adsorpsi tersebut adalah eksotermik (Adamson, 1990).

Dalam suatu reaksi katalitik, katalis merupakan kebutuhan utama. Oleh karena itu, pengembangan katalis masih dilakukan dewasa ini dalam upaya mendapatkan katalis yang bekerja lebih efisien.


(10)

B. Katalis

Katalis merupakan zat yang mampu meningkatkan laju suatu reaksi kimia untuk meningkatkan rendemen produk. Dalam suatu reaksi sebenarnya katalis ikut terlibat, tetapi pada akhir reaksi terbentuk kembali seperti bentuknya semula. Dengan demikian, katalis tidak memberikan tambahan energi pada sistem dan secara termodinamika tidak dapat mempengaruhi keseimbangan. Katalis mempercepat reaksi dengan cara menyediakan mekanisme alternatif yang mempunyai energi aktivasi lebih rendah. Katalis menyediakan situs-situs aktif yang berperan dalam proses reaksi. Situs-situs aktif ini dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban atau dapat pula berasal dari pengemban sendiri. Logam-logam tersebut umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998).

Katalis dapat berwujud gas, cair, atau padat. Berdasarkan perbedaan fasa dari katalis yang digunakan dengan fasa reaktannya, maka katalis dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu katalis homogen dan katalis heterogen.

1. Katalis Homogen

Katalis homogen merupakan katalis yang mempunyai fasa yang sama dengan fasa reaktan. Misalnya pada peristiwa dekomposisi ozon (O3)


(11)

menjadi nitrogen (N2) dan oksigen (O2) menggunakan katalis nitrogen pentaoksida (N2O5) dimana O3 dan N2O5 ada dalam fase yang sama (gas).

2. Katalis Heterogen

Katalis heterogen merupakan katalis yang mempunyai fasa yang berbeda dengan fasa reaktan yaitu katalis yang digunakan dalam fasa padat yang dapat mengikat sejumlah reaktan dalam fasa cair atau gas pada permukaannya berdasarkan adsorpsi dan akhirnya menghasilkan produk. Misalnya pada reaksi dekomposisi senyawa fenol (cair), katalis yang dapat digunakan adalah Fe(III)-HY (padat) (Noorjahan et al., 2005)

karena fasa keduanya berbeda maka katalis Fe(III)-HY merupakan katalis heterogen.

Dari kedua kelompok katalis yang telah dipaparkan di atas, katalis heterogen merupakan sistem katalis yang luas digunakan dalam bidang industri. Hal ini dikarenakan katalis heterogen memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan katalis homogen, antara lain: dapat digunakan pada suhu tinggi sehingga dapat dioperasikan pada berbagai kondisi (Andriani, 2005), kemudahan pemisahan katalis dari campuran reaksi, kemudahan untuk digunakan dalam berbagai media, dan penggunaan ulang katalis (Moffat, 1990; Frenzer and Maier, 2006). Persyaratan utama suatu katalis heterogen adalah permukaan yang aktif dan mampu menyerap (adsorpsi) reaktan.

Situs-situs aktif memegang peranan utama dalam proses katalitik. Dalam pembuatan katalis, pemilihan situs yang tepat akan menghasilkan suatu katalis dengan kinerja yang optimal. Situs aktif katalis dapat berupa logam


(12)

maupun bahan mineral sintetik maupun semi sintetik. Logam-logam tersebut umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998).

Berdasarkan fakta tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan katalis heterogen dengan logam aktif Fe dalam bentuk oksidanya dengan metode sol-gel. Katalis Fe diketahui telah digunakan secara luas karena dapat lebih meningkatkan produksi metanol (Haider et al., 2009).

Berdasarkan mekanisme reaksi Fischer-Tropsch dengan Fe sebagai logam aktif (Blanchard et al., 1982), tingkat oksidasi logam Fe mempengaruhi

aktivasi logam Fe dalam reaksi tersebut. Selain itu, diketahui bahwa logam Fe dalam bentuk Fe3O4 lebih aktif bila dibandingkan dengan logam Fe pada keadaan tingkat oksidasinya +2.

Beberapa tahun terakhir, Fe3O4 menjadi bahan kajian yang menarik perhatian para ahli karena peluang aplikasinya yang luas. Dilaporkan bahwa Fe3O4 memiliki aplikasi pada bidang industri seperti; keramik, katalis, ferofluida, serta biomedis (Bakar et al., 2007). Bahkan kajian mutakhir yang sampai

detik ini masih terus dikembangkan adalah pemanfaatan Fe3O4 pada sistem penyebaran obat-obatan dalam tubuh manusia atau yang biasa dikenal dengan

Drug Delivery System (DDS) (Iida et al., 2007).

Magnetite (Fe3O4) sering ditulis dalam bentuk FeO..Fe2O3 dimana satu bagian adalah wustite (FeO) dan bagian lainnya adalah hematit (Fe2O3). Selain itu


(13)

magnetit mempunyai struktur kristal spinel dengan sel unit kubik yang terdiri dari 32 ion oksigen, dimana celah-celahnya ditempati oleh ion Fe2+ dan ion Fe3+. Delapan ion Fe3+ dalam tiap sel berada pada bagian tetrahedral, karena berlokasi di tengah sebuah tetrahedron yang keempat sudutnya ditempati ion oksigen. Sisanya delapan ion Fe3+ dan delapan ion Fe2+ berada pada bagian oktahedral, karena ion-ion oksigen sekitarnya menempati sudut-sudut sebuah oktahedron yang sudut-sudutnya ditempati oleh enam atom oksigen (Perdana F.A., 2010).

C. Metode Preparasi Katalis

Karakteristik katalis sangat dipengaruhi metode preparasi yang digunakan. Pemilihan metode preparasi yang tepat akan memberikan karakteristik katalis yang diinginkan seperti mempunyai aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang tinggi. Tujuan utama dari metode preparasi katalis adalah mendapatkan struktur definit, stabil, mempunyai luas permukaan yang tinggi dan situs aktif yang lebih terbuka.


(14)

Dewasa ini ada beberapa metode preparasi katalis yang dikenal, yaitu

sonochemical, ultrasonic spray pyrolysis, microwave plasma (Grabis et al.,

2008), co-precipitation (Sun et al., 2006), dan salah satunya adalah sol-gel.

1. Metode Sol-gel

Sol-gel adalah suatu suspensi koloid dari partikel yang digelkan ke bentuk padatan. Proses ini melibatkan perubahan jaringan-jaringan anorganik melalui reaksi polimerisasi kondensasi. Pada proses sol-gel, sol merupakan partikel halus dari senyawa hidroksida atau senyawa oksida logam dalam suatu larutan. Sol selanjutnya mengalami proses gelasi untuk membentuk jaringan dalam suatu fasa cair yang kontinyu, sehingga terbentuk gel (Sopyan dkk, 1997).

Proses yang mungkin terjadi pada saat sol mengalami proses gelasi membentuk suatu gel, disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pertumbuhan ukuran partikel dalam sintesis sol gel (Ismunandar, 2006)


(15)

Pada proses sol-gel, suhu berpengaruh pada kecepatan pembentukan gel. Proses sol-gel yang dilakukan pada suhu lebih tinggi dari suhu kamar menyebabkan laju hidrolisis yang lebih cepat sehingga pembentukan gel terjadi lebih cepat (Meacanizie and Ultrych, 1984).

Metode sol-gel digunakan secara luas dalam pembuatan katalis berpendukung logam. Dalam penelitian ini, metode sol-gel dipilih karena metode ini diketahui memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan metode lain. Keuntungan dari metode ini meliputi : dispersi yang tinggi dari spesi aktif yang tersebar secara homogen pada permukaan katalis, tekstur porinya memberikan kemudahan difusi dari reaktan untuk masuk ke dalam situs aktif (Lecloux and Pirard, 1998), luas permukaan yang cukup tinggi (Lambert and Gonzalez, 1998), produk yang dihasilkan memiliki kehomogenan dan kemurnian yang tinggi, tidak bereaksi dengan senyawa sisa (Lambert and Gonzalez, 1998), dan suhu pengerjaan relatif rendah sehingga kehilangan bahan akibat penguapan dapat diperkecil (Jamarun, 2000).

Metode sol-gel yang dilakukan pada penelitian ini, merujuk pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Akbar et al (2004),

yaitu menggunakan senyawa Fe nitrat (Fe(NO3)3.9H2O) dan asam sitrat dalam pelarut air. Dari metode sol-gel tersebut, akan diperoleh Fe2O3 yang kemudian diberi perlakuan dengan mengalirkan gas H2 sehingga Fe2O3 terkonversi menjadi Fe3O4.


(16)

2. Pengeringan dan kalsinasi

Pengeringan umumnya dilakukan di dalam oven dengan temperatur rendah. Pada saat pengeringan berlangsung, volume pelarut semakin berkurang sehingga sedikit demi sedikit gel menyusut atau berkondensasi. Dalam gel yang belum dikeringkan, partikel-partikel kecil hasil kondensasi atau reaksi berikatan saling-silang membentuk struktur jaringan dimana di dalam struktur tersebut terdapat pori-pori yang dipenuhi oleh pelarut. Ketika gel dikeringkan, proses hilangnya pelarut dimulai dari ukuran pori yang besar dan selanjutnya ke pori yang kecil hingga akhirnya terbentuk gel yang bebas pelarut. Oleh karena itu pada prinsipnya, pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan cairan sebelum dikonversi ke produk akhir melalui tahapan kalsinasi.

Kalsinasi dilakukan pada temperatur tinggi dengan tujuan untuk mendekomposisi komponen prekursor. Pada penelitian ini, kalsinasi akan dilakukan sampai temperatur 350oC dalam lingkungan oksigen untuk membentuk fase oksidanya (Pinna, 1998). Aspek lain yang terkait dengan pemanfaatan katalis adalah adanya hubungan antara unjuk kerja dan karakteristiknya.

D. Karakterisasi Katalis

Aspek lain yang terkait dengan pemanfaatan katalis adalah adanya hubungan antara unjuk kerja dan karakteristiknya, karena hubungan tersebut karakterisasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu katalis.


(17)

Karakterisasi katalis dilakukan untuk mendapatkan sifat-sifat katalis meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik antara lain adalah luas permukaan, volum pori, diameter pori, kekerasan dan distribusi logam. Karakterisasi kimia antara lain adalah jumlah kandungan logam, keasaman, kristalinitas dan ikatan kimia. Pada penelitian ini karakterisasi kimia ditinjau yaitu kristalinitas, morfologi permukaan dan keasaman dari katalis yang dibuat.

1. Keasaman Katalis

Keasaman suatu katalis memegang peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi aktivitas katalis. Keasaman suatu katalis dapat diukur dengan menghitung jumlah asam atau basa yang teradsorpsi secara kimia (kemisorpsi) dalam fase gas oleh katalis. Basa yang dapat digunakan sebagai adsorbat sebagai penentu keasaman katalis antara lain adalah NH3, piridin, piperidin, quinolin, trimetil amin dan pirol (Richardson, 1989). Pada penelitian ini basa yang digunakan adalah piridin dengan asumsi bahwa ukuran molekul piridin yang relatif besar sehingga hanya dapat teradsorbsi pada permukaan katalis (Rodiansono et al., 2007).

Metode yang biasa dipakai untuk mengukur keasaman atau kebasaan suatu katalis adalah metode gravimetri, yaitu dengan menghitung daya adsorpsi katalis terhadap basa ataupun asam adsorbat. Banyaknya mol basa yang teradsorbsi pada situs asam menyatakan kekuatan asam dari katalis (Richardson, 1989).

Pada penelitian ini sifat keasaman dari katalis kemudian dievaluasi untuk mengetahui jenis asam yang dimiliki oleh Fe3O4.


(18)

2. Spektroskopi Infra Merah

Metode yang biasa dipakai untuk mengukur keasaman katalis adalah metode gravimetri dan metode spektrofotometri inframerah. Pada metode gravimetri dapat diukur jumlah gas yang teradsorpsi pada permukaan katalis. Sedangkan pada metode spektrofotometri inframerah, dari spektra yang dihasilkan dapat diketahui jenis situs asam (Bronsted-Lowry atau Lewis) yang terdapat dalam katalis. Jenis situs asam tersebut dapat diketahui melalui puncak-puncak serapan yang dihasilkan dari interaksi basa adsorbat dengan situs–situs asam tersebut. Pada penggunaan piridin sebagai basa adsorbat, situs asam Bronsted-Lowry akan ditandai dengan puncak serapan pada bilangan-bilangan gelombang 1485-1500, ~1620, dan ~1640 cm-1. Sedangkan untuk situs asam Lewis ditandai dengan puncak-puncak serapan pada bilangan-bilangan gelombang 1447-1460, 1448-1503, ~1580, dan 1600-1633 cm-1 (Tanabe,1981).

Berdasarkan Gambar 3, prinsip kerja spektrofotometer IR adalah sebagai berikut: sinar dari sumber (A) dibagi menjadi dua berkas, yakni satu berkas (B) melalui cuplikan (berkas cuplikan) dan satu berkas lainnya (H) sebagai baku. Kedua berkas itu dipantulkan oleh chopper (C) yang

berupa cermin berputar (~10 x per detik). Hal ini menyebabkan berkas cuplikan dan berkas baku dipantulkan secara bergantian ke kisi difraksi (D). Kisi difraksi berputar lambat, dan setiap frekuensi dikirim ke detektor (E) yang mengubah energi panas menjadi energi listrik.


(19)

Jika pada suatu frekuensi cuplikan menyerap sinar, detektor akan menerima intensitas berkas baku yang besar dan berkas cuplikan yang lemah secara bergantian. Hal ini menimbulkan arus bolak-balik dalam detektor lalu akan diperkuat oleh amplifier. Arus bolak-bolak yang

terjadi digunakan untuk menjalankan suatu motor (G) yang dihubungkan dengan suatu alat penghalang berkas sinar yang disebut baji optik (H). Gerakan baji dihubungkan pena alat rekorder (I) sehingga gerakan baji ini merupakan pita serapan pada spektra (Sudjadi, 1983).

Daerah infra merah dari spektrum elektromagnetik terdiri dari panjang gelombang antara 0,7 dan 500 m atau pada bilangan gelombang 14000 cm-1 sampai 20 cm-1. Daerah spektra yang menjadi perhatian untuk analisis kimia berada dalam mid-infra merah yang frekuensinya meliputi bilangan gelombang 4000 cm-1 sampai 200 cm-1 atau 2,5 m sampai 50

m (Willard et al., 1988).


(20)

3. X-Ray Diffraction (XRD)

Karakterisasi struktur kristal dan fasa kristalin dapat ditentukan dengan alat difraktometer sinar-X (XRD) karena setiap fasa kristal memiliki sifat pola difraksi sinar-X spesifik yang dapat digunakan sebagai jejak (fingerprint) untuk identifikasinya. Penampakan tiga dimensi suatu bahan bukan amorf diperlihatkan secara jelas dan teratur berdasarkan pengulangan lapisan permukaan atom yang membentuk kisi kristal. Ketika berkas sinar-X berinteraksi dengan lapisan permukaan kristal, sebagian sinar-X ditransmisikan, diserap, direfleksikan dan sebagian lagi dihamburkan serta didifraksikan. Pola difraksi yang dihasilkan analog dengan pola difraksi cahaya pada permukaan air yang menghasilkan sekelompok pembiasan.

Sinar-X yang didifraksikan oleh setiap kristal mineral bersifat spesifik, dan bergantung bagaimana atom menyusun kisi kristal mineral tersebut serta bagaimana atom sejenis tersusun. Ketika sinar-X menumbuk sampel dan terdifraksi, maka jarak antar atom pada lapisan permukaan


(21)

kristal dapat ditentukan berdasarkan hukum Bragg pada Persamaan 2, yaitu :

n = 2 d sin Ө ………. 2)

n adalah bilangan bulat dan merupakan tingkat difraksi sinar-X, adalah panjang gelombang yang dihasilkan oleh katoda yang digunakan, seperti Cu Kα = 1,5414 Å, sedangkan d merupakan jarak antara batas lapisan

permukaan, dan Ө merupakan sudut difraksi sinar-X terhadap permukaan kristal.

Selanjutnya, secara kualitatif ditentukan struktur kristal atau fasa kristal yang dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan cara membandingkan nilai d atau yang terukur dengan nilai d atau

pada data standar. Data standar didapat melalui Joint Committee On Powder Diffraction Standard (JCPDS). Gambar 6 menunjukkan

difraktogram dari nanopartikel Fe3O4 murni.


(22)

4. Scanning Electron MicroscopeEnergy Dispersive X-Ray Spectrometer

(SEM-EDX)

Untuk melakukan karakterisasi material yang heterogen pada permukaan bahan pada skala mikrometer atau bahkan submikrometer serta menentukan komposisi unsur sampel secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan satu perangkat alat SEM (Scanning Electron Microscope). Pada SEM (Scanning Electron Microscope) dapat diamati karakteristik bentuk, struktur, serta distribusi

pori pada permukaan bahan (Sartono, 2007).

Karakterisasi menggunakan SEM dilakukan melalui adsorpsi isotermis gas oleh padatan sampel. Jumlah molekul gas yang diadsorpsi pada permukaan luar padatan sampel sangat sedikit dibandingkan dengan yang diadsoprsi oleh porinya. Alat ini dilengkapi sumber cahaya yang berupa suatu filamen dan biasanya suatu kawat tungsten.


(23)

Gambar 7. Skema alat Scanning Electron Microscope

Prinsip kerja Scanning Electron Microscope, dengan cara mengalirkan

arus pada kawat filamen tersebut dan perlakuan pemanasan, sehingga dihasilkan elektron. Elektron tersebut dikumpulkan dengan tegangan tinggi dan berkas elektron difokuskan dengan sederetan lensa elektromagnetik. Ketika berkas elektron mengenai target, informasi dikumpulkan melalui tabung sinar katoda (CRT) yang mengatur intensitasnya.

Setiap jumlah sinar yang dihasilkan dari CRT dihubungkan dengan jumlah target, jika terkena berkas elektron berenergi tinggi dan menembus permukaaan target, elektron kehilangan energi, karena terjadi ionisasi atom dari cuplikan padatan. Elektron bebas ini tersebar keluar dari aliran sinar utama, sehingga tercipta lebih banyak elektron bebas, dengan demikian energinya habis lalu melepaskan diri dari target. Elektron ini kemudian dialirkan ke unit demagnifikasi dan dideteksi oleh detektor dan selanjutnya dicatat sebagai suatu foto (Wagiyo dan Handayani, 1997).


(24)

EDX merupakan seperangkat alat yang dirangkai dengan SEM untuk menghasilkan gambar yang menyatakan perbedaan unsur kimia, yang ditandai dengan warna gelap dan terang. Warna terang menunjukkan adanya unsur kimia yang lebih tinggi nomor atomnya. Proses memperoleh hasil gambar EDX diperoleh dari elektron terhambur balik yang intensitasnya tergantung pada nomor atom unsur yang ada pada permukaan sampel.

Radiasi yang penting pada EDX adalah sinar-X, karakteristik yang diemisikan sebagai akibat tumbukan elektron pada atom-atom bahan pada sampel. Radiasi karakteristik sinar-X dapat menghasilkan informasi kualitatif dan kuantitatif tentang komposisi dari bagian tertentu dari sampel, dengan diameter beberapa mikrometer (Anonim F., 2007).

E. Uji Aktivitas

Untuk menentukan hasil kuantitatif dan kualitatif uji katalitik, digunakan Kromatografi Gas (GC). Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan diantara dua fase. Salah satu fase adalah fase diam yang permukaan nisbinya luas, dan fase yang lain ialah gas yang melewati fase diam. Berdasarkan kombinasi fasa diam dan fasa gerak, kromatografi gas dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kromatografi gas padatan yang disusun dari fasa diam berupa padatan dan fasa gerak berupa gas, yang prinsipnya berdasarkan pada perbedaan absorbsi suatu komponen, kromatografi gas-cair, fasa diamnya berupa cairan dan fasa geraknya berupa gas, prinsipnya berdasarkan pada perbedaan partisi komponen pada fasa diam.


(25)

. .

Komponen penting dalam kromatografi gas adalah:

1. Tangki pembawa gas yang dilengkapi dengan pengatur tekanan 2. Tempat injeksi sampel

3. Kolom

4. Detektor yang dilengkapi termostat 5. Pemerkuat arus (amplifyer)

6. Rekorder atau integrator

Fungsi gas pembawa adalah mengangkut cuplikan dari kolom menuju detektor, gas tersebut haruslah inert dan murni, gas pembawa yang sering digunakan adalah nitrogen, hidrogen, helium, dan argon. Kolom kromatografi terdiri dari tiga bagian yaitu wadah luar, isi kolom yang terdiri dari padatan pendukung dan fasa cairan. Jenis kolom ada 2 macam yaitu kolom packing dan kolom kapiler, kolom packing lebih besar dari

kolom kapiler (Wikipedia, 2005). Detektor pada kromatografi gas harus dapat mendeteksi secara terus-menerus, cepat dan dengan sensitifitas yang tinggi terhadap komponen-komponen yang terdapat dalam gas pembawa

Gambar 8. Bagian dasar kromatografi gas


(26)

ketika keluar dari kolom (Brewer., 1998). Detektor berinteraksi dengan komponen-komponen sampel berdasarkan sifat-sifat fisika dan/atau kimia. Interaksi tersebut menghasilkan sinyal elektrik yang ukurannya sebanding dengan jumlah atau kuantitas dari komponen tersebut. Sinyal-sinyal yang dihasilkan detektor kemudian dikirim ke alat perekam (Rood., 2007).

Kromatografi gas dalam hal ini sangat efektif berfungsi sebagai pemisah berbagai komponen-komponen sampel tetapi mempunyai kelemahan dalam identifikasi puncak kromatogram yang dihasilkan.


(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Analisis difraksi sinar-X (XRD), morfologi permukaan (SEM), dan analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong, analisis keasaman dilakukan di Laboratorium Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) Serpong, dan analisis menggunakan Kromatografi Gas dilakukan di Laboratorium Afiliasi Departemen Kimia Universitas Indonesia, dari bulan November 2009 sampai bulan Maret 2010.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: reaktor katalis, furnace Lenton 3508, Spektrofotometer Infra Merah (IR) Shimadzu IrPrestige-21, X-Ray Diffraction (XRD) Philips PW1710, GC

Varian Cp3800 GC, Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDX), magnetic stirrer, desikator, dan peralatan gelas.

Sedangkan bahan-bahan yang dibutuhkan adalah Fe3(NO3)3.9H2O, asam sitrat, piridin (C5H5N), gas argon (BW 99,95%), gas hidrogen (BOC 99,99%), dan gas karbon dioksida (BOC 99,99%).


(28)

C. Cara Kerja

1. Pembuatan Katalis dengan Metode Sol-gel

Sebanyak 25,28 gram Fe3(NO3)3.9H2O ditambahkan ke dalam 100 mL pelarut asam sitrat/H2O (perbandingan asam sitrat : Fe3(NO3)3.9H2O = 2:1), larutan kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik pada temperatur ±70oC agar logam terdistribusi merata dalam larutan, sampai diperoleh gel. Kemudian gel dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam untuk menghilangkan air, lalu ditimbang dan dihitung rendemen yang terbentuk.

2. Kalsinasi

Proses kalsinasi dilakukan dengan menggunakan furnace yang diprogram

sesuai dengan perlakuan yang diinginkan, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Sampel disiapkan.

b. Sampel dimasukkan ke dalam tungku pemanas (furnance).

c. Alat tungku dihubungkan dengan sumber tegangan, kemudian setting alat dalam keadaan hidup atau "ON".

d. Tungku diatur setting sesuai dengan perlakuan pada sampel.

e. Tungku pemanas dimatikan ketika proses telah selesai. f. Sampel dikeluarkan dari tungku pemanas.

Pemanasan sampel terbagi menjadi 3 segment, yaitu kenaikan (run),

penahanan (dwell), dan pengakhiran (end). Pertama-tama sampel


(29)

dengan penaikan temperatur 1oC/menit. Setelah mencapai temperatur target (120oC) temperatur ditahan selama 2 jam (120 menit), kemudian temperatur dinaikkan kembali hingga mencapai temperatur 350 oC dengan penaikan temperatur 1oC/menit. Setelah mencapai temperatur 350 oC, temperatur ditahan selama 3 jam (180 menit). Selanjutnya alat furnace

akan menghentikan pemicu kenaikan dan penahanan suhu, dan secara otomatis suhu di dalam furnace akan turun kembali secara perlahan hingga

mencapai suhu kamar (30oC).

3. Reduksi

Sebanyak 35,5 mg katalis yang telah melewati proses kalsinasi ditempatkan pada tabung reaktor. Katalis dipanaskan sampai temperatur reaksi yaitu 500 oC dan ditahan pada temperatur tersebut selama 30 menit. Kemudian dialirkan gas H2 dengan laju alir tertentu pada temperatur penahanan tersebut. Laju alir gas H2 yang digunakan adalah 1,6 L/jam, 1,8 L/jam, dan 2,0 L/jam.

4. Karakterisasi

a. Karakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD)

Pada penelitian ini karakterisasi dengan XRD dilakukan untuk menganalisis pengaruh variasi laju alir gas H2 terhadap fasa kristalin yang terbentuk pada tahapan reduksi maupun fasa kristalin pada katalis Fe3O4 setelah dilakukan uji aktivitas. Analisis dilakukan menggunakan radiasi CuKα (1,5406 Å). Hasil difraktogram yang didapat kemudian


(30)

diidentifikasi menggunakan metode Search Match dengan standar File data yang terdapat dalam program PCPDFWIN 1997.

b. Penentuan Keasaman Katalis

Metode yang digunakan untuk menentukan keasaman dari Fe3O4 adalah metode gravimetri. Katalis diambil sebanyak 0,25 gram dimasukkan ke dalam wadah dan diletakkan dalam desikator yang di dalamnya terdapat absorbat piridin (p.a). Desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. Berat katalis yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa yang teradsorpsi pada silika-katalis dengan persamaan di bawah ini

Dengan W1 adalah berat wadah kosong, W2 berat wadah dan cuplikan, W3 berat wadah dan cuplikan yang telah mengadsorpsi piridin dan berat molekul piridin.

Untuk mengetahui jenis asam yang ada pada katalis digunakan metode spektrofotometri infra merah. Beberapa mg cuplikan katalis yang telah dijenuhkan dengan piridin diletakkan pada wadah sampel spektrofotometer infra merah untuk dianalisis. Sinyal spektrum pada bilangan gelombang ± 1450 cm-1 dan bilangan gelombang ±1630 cm-1 masing-masing merujuk pada situs asam Brønsted-Lowry dan situs asam Lewis.


(31)

c. Karakterisasi dengan SEM-EDX

Untuk melakukan karakterisasi permukaan katalis Fe3O4 pada skala mikrometer atau bahkan submikrometer serta menentukan komposisi unsur sampel secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan satu perangkat alat SEM yang dirangkaikan dengan EDX (Energy Dispersive X-Ray Spectrometer). Pada SEM

(Scanning Electron Microscope) dapat diamati karakteristik bentuk,

struktur, serta distribusi pori pada permukaan bahan. Sedangkan pada EDX (Energy Dispersive X-Ray Spectrometer) analisis kualitatifnya

adalah proses identifikasi unsur-unsur yang ada dalam sampel dan analisis kuantitatifnya adalah untuk mengetahui kadar unsur yang terkandung dalam sampel. Tahapan analisisnya yaitu sejumlah sampel diletakkan dalam wadah sampel kemudian dilakukan proses coating

(pelapisan) karbon pada sampel lalu dianalisis.

5. Uji Aktivitas Katalis

Aktivitas katalis diuji pada reaktor dengan skema kerja reaktor untuk konversi gas CO2 menjadi metanol pada Gambar 9.

Sampel katalis sebanyak 20 mg ditempatkan pada tabung reaktor, katalis dipanaskan sampai temperatur 500oC dan ditahan pada suhu tersebut selama satu jam. Selama waktu penahanan, katalis direduksi menggunakan gas hidrogen dan gas argon dengan laju alir 1,8 L/jam untuk gas hidrogen dan 1,2 L/jam untuk gas argon. Setelah reduksi selesai, katalis didinginkan hingga mencapai temperatur reaksi, temperatur


(32)

kemudian dipertahankan selama 30 menit. Kemudian dialirkan gas CO2, H2 dan Ar selama waktu penahanan tersebut dengan laju alir total adalah 50 mL/menit, dan perbandingan gas CO2 : H2 adalah 1:4. Variasi temperatur yang dilakukan adalah 100, 200, 300, dan 400oC. Hasil katalisis keluar dari tabung reaktor kemudian ditampung dalam wadah penampung. Hasil dari uji aktivitas ini selanjutnya dianalisis menggunakan kromtografi gas.

Keterangan :

1-3 = Regulator (flowmeter), 4-6 = Pengatur aliran gas, 7 = Tempat injeksi CO2, 8 = Wadah pencampur, 9-10 = Penghubung swagelock, 11 = Termokopel, 12 = Wadah katalis, 13 = furnace, 14 = Valve, 15 = Kantong penampung hasil analisis.


(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengantar

Penelitian ini pada intinya dilakukan dengan dua tujuan utama, yakni mempelajari pembuatan katalis Fe3O4 dari substrat Fe2O3 dengan metode sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe3O4 untuk reaksi konversi gas CO2 menjadi metanol.

Secara garis besar, penelitian ini mencakup tiga lingkup kegiatan yakni pembuatan katalis, karakterisasi katalis, dan uji aktivitas katalis. Pembuatan katalis diawali dengan pembuatan Fe2O3 dengan metode sol-gel, dilanjutkan dengan kalsinasi pada temperatur 350oC. Fe2O3 yang telah dikalsinasi kemudian direduksi menggunakan gas H2 untuk mengubah Fe2O3 menjadi Fe3O4. Percobaan ini dilakukan dengan laju alir gas H2 yang berbeda yakni 1,6 L/jam; 1,8 L/jam; dan 2,0 L/jam untuk mendapatkan konversi Fe2O3 menjadi katalis Fe3O4 paling tinggi. Persen konversi ini ditentukan berdasarkan análisis menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD). Katalis

dengan kandungan fasa kristalin Fe3O4 paling tinggi selanjutnya dikarakterisasi dengan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDX) untuk melihat morfologi permukaan dan

analisis komposisi unsur permukaan, serta metode adsorbsi basa piridin untuk mengevaluasi karakteristik keasaman katalis. Pengikatan piridin oleh katalis


(34)

dikonfirmasi dengan analisis fungsionalitas menggunakan Spektrofotometer Infra Merah.

Tahap terakhir adalah pengujian aktivitas katalis terbaik untuk reaksi konversi gas CO2 menjadi metanol pada temperatur 100, 200, 300, dan 400 oC. Produk reaksi selanjutnya dianalisis menggunakan kromatografi gas dan keadaan katalis setelah uji aktivitas dimonitor kembali menggunakan

X-Ray Diffractometer (XRD) dan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDX).

B. Pembuatan Katalis dengan Metode Sol-gel

Pada penelitian ini, pembuatan Fe2O3 menggunakan metode Sol-gel, mengikuti penelitian sebelumnya oleh Akbar et al., (2004). Fe2O3 disiapkan dengan cara melarutkan prekursor Fe-nitrat ke dalam larutan asam sitrat. Larutan asam sitrat dibuat dengan melarutkan kristal C6H8O7. H2O ke dalam aquades, reaksi yang terjadi adalah endoterm. Larutan Fe-nitrat dalam asam sitrat berwarna merah, seperti yang disajikan pada Gambar 10 berikut:


(35)

Larutan tersebut dipanaskan pada temperatur 80oC sambil diaduk dengan

magnetic stirrer agar homogen. Pada proses pemanasan tersebut terjadi

penguapan air dan pelepasan sedikit gas NO2 yang ditandai dengan keluarnya gas berwarna kuning kecoklatan.

Dari hasil pemanasan tersebut diperoleh gel yang berwarna merah, seperti yang disajikan dalam Gambar 11 berikut.

Gel tersebut kemudian dikeringkan di dalam oven pengering dengan temperatur 60oC selama 24 jam, selanjutnya dilakukan kalsinasi untuk mengubah Fe menjadi oksidanya, karena oksida dari Fe ini akan berperan sebagai situs aktif dalam proses katalitik.

Kalsinasi dilakukan dalam beberapa tahap. Pada tahap pertama dilakukan pemanasan dari temperatur ruang (temperatur 30oC) hingga mencapai temperatur 120oC dengan kenaikan temperatur 1oC/menit, kemudian ditahan selama dua jam. Pada tahap pertama ini, yang terjadi adalah penghilangan kadar air yang masih terkandung di dalam gel. Tahap kedua, temperatur dinaikkan dari temperatur 120 oC sampai temperatur 350 oC dan ditahan


(36)

selama tiga jam. Pada tahap ini, terjadi pembebasan gugus nitrat dan mulai terbentuk fase oksida seperti pada persamaan reaksi berikut:

Kalsinasi dilakukan pada temperatur 350oC karena diharapkan fase oksida yang terbentuk belum cukup stabil, sehingga masih cukup reaktif untuk melewati tahap selanjutnya. Setelah dilakukan kalsinasi, warna yang terbentuk adalah merah bata seperti yang dapat dilihat dalam Gambar 12. Rendemen Fe2O3 yang dihasilkan sebesar94,5 % dari hasil stokiometri.

Fe2O3 yang telah diperoleh kemudian dikonversi menjadi katalis Fe3O4 melalui tahapan reduksi. Pada penelitian ini, reduksi dilakukan dengan laju alir gas H2 yang bervariasi, yaitu: 1,6 L/jam; 1,8 L/jam; dan 2,0 L/jam. Variasi dilakukan untuk mengetahui laju alir gas H2 optimal yang diperlukan untuk mereduksi Fe2O3 menjadi katalis Fe3O4. Hasil reduksi dari setiap laju alir gas H2 dimonitor fasa kristalinnya menggunakan difraksi sinar-X yang akan dibahas lebih lanjut. Secara fisik, hasil reduksi pada setiap variasi laju


(37)

alir gas H2, menghasilkan produk dengan warna berbeda, yang mengindikasikan kemungkinan perbedaan komposisi.

Perubahan warna katalis yang telah direduksi dengan masing-masing laju alir gas H2 dapat dilihat seperti yang disajikan dalam Gambar 13.

Hasil yang disajikan dalam Gambar 13 menunjukkan bahwa secara visual ada pengaruh yang cukup jelas dari laju alir gas H2. Pada katalis yang direduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,6 L/jam tidak terlihat perubahan warna yang cukup berarti, dibandingkan dengan warna Fe2O3 sebelum direduksi. Tidak terjadinya perubahan warna mengindikasikan bahwa dengan laju alir 1,6 L/jam jumlah gas H2 yang diasup belum mampu mereduksi Fe2O3 menjadi Fe3O4. Hasil percobaan menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam dan 2,0 L/jam menunjukkan bahwa jumlah gas H2 yang diasup sudah cukup mereduksi Fe2O3 menjadi Fe3O4. Hal ini terlihat dari perubahan warna dari merah bata menjadi hitam. Karena secara visual produk yang dihasilkan dari percobaan dengan laju alir 1,8 L/jam dan 2,0 L/jam adalah sama, maka kedua sampel selanjutnya dianalisis menggunakan XRD.

Gambar 13. Katalis hasil reduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar (A) 1,6 L/jam; (B) 1,8 L/jam; dan (C) 2,0 L/jam.


(38)

C. Karakterisasi Katalis

1. Analisis Struktur Kristal menggunakan XRD

Karakterisasi sampel menggunakan sinar-X dilakukan untuk memonitor hasil reduksi katalis pada setiap variasi laju alir gas H2. Data difraksi yang dihasilkan memberikan informasi berdasarkan sudut 2θ (dalam derajat) dan intensitas relatif. Hasil pengukuran pola difraksi sinar-X pada katalis yang direduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,6 L/jam, dapat dilihat dalam Gambar 14. Untuk analisis kualitatif pada setiap sampel hasil reduksi, digunakan metode pencocokan (search match analysis)

menggunakan program PCPDFWIN 1997 atau JCPDS (International Center for Diffraction Data)

Gambar 14. (A) Pola difraksi mengacu pada PCPDF 33-0664 untuk Fe2O3, dan (B) Pola difraksi sampel yang direduksi dengan gas H2 sebesar 1,6 L/jam


(39)

Hasil analisis kualitatif difraksi sinar-X seperti yang disajikan pada Gambar 14 menunjukkan bahwa hasil reduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,6 L/jam masih berupa Fe2O3. Hal ini dapat diketahui jika melihat puncak-puncak difraktogram sampel hasil reduksi (B), yang bersesuaian dengan puncak-puncak pada difraktogram standar yang mengacu pada PCPDF 33-0664. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan tiga puncak berintensitas tertinggi dari sampel terhadap data rujukan (Gooden and Mc Carthy, 1972). Kecocokan puncak-puncak fasa kristalin Fe2O3 terhadap rujukan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Fe2O3 rujukan Hasil penelitian

Intensitas Relatif

(%) 2θ Intensitas Relatif (%) 2θ 100 70 45 33,195 35,657 54,163 100 58,77 35,41 33,22 35,62 54,06

Untuk sampel katalis yang direduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam dan 2,0 L/jam terlihat memberikan perubahan warna yang sama, akan tetapi sebenarnya kedua laju alir gas H2 tersebut memberikan hasil yang berbeda. Hal ini dapat terlihat dari difraktogram kedua sampel yang memiliki pola berbeda. Difraktogram kedua sampel seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 15.

Tabel 1. Interpretasi antara data dari hasil penelitian dari laju alir gas H2 1,6 L/jam dengan data standar Fe2O3 sebagai rujukan


(40)

Hasil analisis kualitatif difraktogram yang terlihat pada Gambar 15 menunjukkan bahwa reduksi Fe2O3 dengan menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam (B) terbentuk fasa kristalin Fe3O4, terlihat dari pola puncak-puncak difraktogram hasil analisis yang bersesuaian dengan pola puncak-puncak difraktogram standar PCPDF 19-0629 untuk Fe3O4. Akan tetapi, pada difraktogram tersebut juga terlihat dua puncak yang tidak bersesuaian dengan pola difraktogram standar Fe3O4 yaitu pada 2θ = 44,63 dan 2θ = 64,99. Melalui metode pencocokan (search match analysis),

diketahui kedua puncak tersebut cocok dengan puncak difraktogram standar PCPDF 06-0696 untuk fasa kristalin Fe.

Gambar 15. Difraktogram dari katalis yang telah direduksi dengan laju alir gas H2 sebesar (B) 1,8 L/jam (C) 2,0 L/jam dan (A) difraktogram standar, dimana (#) PCPDF 06-0696 untuk Fe dan (*) PCPDF 19-0629 untuk Fe3O4


(41)

Data Rujukan Hasil Penelitian untuk Fe untuk Fe3O4

Intensitas

Relatif (%) 2θ Intensitas

Relatif (%) 2θ

Intensitas

Relatif (%) 2θ - - - - - 100 - - - 20 - - - - - - - - - 44,732 - - - 65,113 - - - - 8 30 100 8 20 - 10 30 40 - 2 4 10 4 18,292 30,133 35,468 37,100 43,109 - 53,463 57,020 62,602 - 65,835 71,026 74,026 75,070 4,75 26,52 100 7,40 18,11 62,04 1,13 6,65 19,69 28,76 4,47 1,29 5,47 2,29 18,2067 30,0826 35,4486 37,0925 43,0235 44,6344 52,4453 53,4298 56,9158 62,0510 64,9951 70,9504 73,0520 75,0520

Sedangkan pada pola difraktogram katalis yang direduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 2,0 L/jam (C), puncak-puncak difraktogram yang

menunjukkan adanya fasa kristalin Fe yaitu pada 2θ = 44,63 dan 2θ = 64,99 mengalami kenaikan intensitas yang cukup tinggi dan puncak-puncak difraktogram yang menunjukkan adanya fasa kristalin Fe3O4 terlihat mengalami penurunan intensitas.

Tabel 2. Interpretasi antara data yang dari hasil penelitian dari laju alir gas H2 1,8 L/jam dengan data standar Fe3O4 dan Fe sebagai rujukan.


(42)

Data Rujukan Hasil Penelitian untuk Fe untuk Fe3O4

Intensitas

Relatif (%) 2θ Intensitas

Relatif (%) 2θ

Intensitas

Relatif (%) 2θ - - 100 - 20 - - 44,732 - 65,113 30 100 - 30 - 30,133 35,468 - 57,02 - 8 29,5 100 12,4 30,2 30,139 35,481 44.620 57,117 65,058

2.Uji Keasaman Katalis

Keasaman turut memegang peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi aktivitas katalis. Keasaman suatu katalis atau suatu material dapat ditentukan dengan menggunakan metode gravimetri, yaitu dengan menghitung daya adsorbsi katalis terhadap basa yang mana dalam penelitian ini yang digunakan adalah piridin. Banyaknya mol piridin yang teradsorbsi pada situs asam menyatakan kekuatan asam dari katalis (Richardson., 1989). Pada penelitian ini, berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan dalam Lampiran 3, dengan menggunakan metode gravimetri diketahui keasaman per-satu gram katalis Fe3O4 adalah sebesar 1,116 mmol piridin.

Metode spektrofotometri inframerah merupakan data penunjang bagi metode gravimetri untuk mengetahui sisi asam manakah yang berperan dalam mengikat basa dalam hal ini piridin.

Tabel 3. Interpretasi antara data yang dari hasil penelitian dari laju alir gas H2 2,0 L/jam dengan data standar Fe3O4 dan Fe sebagai rujukan


(43)

Spektrum IR katalis Fe3O4 setelah uji keasaman menggunakan basa piridin seperti yang disajikan dalam Gambar 16.

Pada spektrum infra merah situs asam Brønsted-Lowry ditunjukkan pada daerah bilangan gelombang 1485-1500 cm-1, sedangkan situs asam Lewis ditunjukkan pada daerah bilangan gelombang 1447-1460 cm-1 (Tanabe., 1981). Dalam Gambar 16 terlihat adanya puncak serapan dari ion piridinium, yaitu pada 1487,12 cm-1 yang mengindikasikan adanya situs asam Brønsted-Lowry yang berperan pada permukaan katalis. Selain situs asam Brønsted-Lowry, situs asam Lewis (serapan piridin yang berikatan dengan logam) juga berperan pada permukaan katalis Fe3O4, yaitu dengan adanya puncak serapan pada 1448,54 cm-1.


(44)

Adsorbsi piridin pada permukaan katalis Fe3O4 terlihat dengan adanya serapan vibrasi tarik C-H pada daerah 3020-3070 cm-1, serapan vibrasi tarik C-C pada daerah 1590-1660 cm-1, dan serapan vibrasi untuk C-N pada daerah 1000-1250 cm-1. Kemudian pada daerah 3400-3500 cm-1 menunjukkan serapan vibrasi N-H yang bertumpangsuh dengan serapan O-H akibat adsorbsi piridin pada permukaan katalis Fe3O4. Sedangkan serapan pada daerah sekitar 559,36 cm-1 menunjukkan adanya serapan vibrasi untuk Fe-O yang merupakan karakteristik adanya Fe3O4 (Barizuddin. S., 2006).

Keasaman situs aktif katalis dapat dijelaskan sebagai berikut: gugus hidroksil dari katalis berikatan kovalen koordinasi dengan piridin membentuk ion piridinium sehingga membentuk pusat aktif Brønsted-Lowry. Reaksi yang terjadi adalah:

H

O M O + O M O--- H

Sedangkan pusat aktif asam Lewis pengikatan gugus piridin dapat dilihat pada reaksi berikut :

O O M O + O M

M merupakan logam besi (Fe) mempunyai situs asam yang dapat mengadsorbsi basa piridin. Logam Fe merupakan unsur golongan transisi yang berkaitan dengan orbital d yang terisi elektron belum penuh.


(45)

Dominasi antara situs asam Brønsted-Lowry dengan Lewis dapat dilihat pada spektra analisis. Dari spektrum dapat dilihat bahwa katalis Fe3O4 relatif didominasi oleh situs asam Brønsted-Lowry. Hal ini ditunjukkan dengan lebih kecilnya % transmitan pada daerah serapan 1487,12 cm-1 bila dibandingkan dengan % transmitan pada daerah 1448,54 cm-1.

3.Analisis SEM-EDS

Analisis menggunakan SEM dilakukan untuk mengevaluasi morfologi permukaan katalis yang telah dihasilkan. Agar morfologi permukaan ini dapat terungkap dengan lebih jelas, analisis dilakukan dengan tiga perbesaran, yakni 1500x, 2000x, dan 20000x. Mikrograf sampel disajikan dalam Gambar 17.

Hasi analisis dengan perbesaran 1500x (Gambar 17A) menunjukkan bahwa partikel-partikel Fe3O4 membentuk kelompok-kelompok (cluster)

Gambar 17. Struktur mikro katalis Fe3O4 (A) dengan perbesaran 1500x dan (B) dengan perbesaran 2000x.


(46)

dengan struktur polimorf (tidak homogen). Diduga pembentukan cluster

ada kaitannya dengan sifat magnet Fe3O4 sehingga partikel condong mengelompok. Untuk memperjelas profil cluster yang teramati, dilakukan

analisis SEM dengan perbesaran 2000x. Hasil analisis dengan perbesaran yang lebih tinggi menunjukkan cluster ini cukup homogen tetapi belum

memberikan informasi tentang bentuk dan ukuran partikelnya. Atas dasar itulah, analisis dilakukan dengan perbesaran 20000x seperti yang disajikan dalam Gambar 18.

Mikrograf dengan perbesaran 20000x seperti yang dapat dilihat dalam Gambar 18 mampu menunjukkan dua informasi penting yakni bentuk partikel dan ukuran partikel yang berada dalam rentang mikron. Dalam Gambar 18 partikel Fe3O4 terlihat tersebar merata dengan bentuk dan ukuran partikel yang kurang homogen, ada yang memiliki bentuk agak

Gambar 18. Struktur mikro katalis Fe3O4 dengan perbesaran 20000x


(47)

bulat memanjang dan ada yang agak bulat hampir membentuk struktur kubik.

Analisis EDX pada sampel Fe3O4 yang diperoleh dari reduksi Fe2O3 menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam dilakukan untuk mengetahui komposisi unsur di dalam sampel. Hasil analisis EDX disajikan dalam Gambar 19.

Berdasarkan hasil analisis EDX dalam Gambar 19, diketahui bahwa struktur mikro sampel hasil reduksi Fe2O3 menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam mengandung komposisi unsur Fe, O, C dan F dengan persen massa relatif unsur Fe sebesar 81,64%, unsur O sebesar 9,97%, Gambar 19. Spektrum EDX dan komposisi sampel Fe3O4 hasil reduksi


(48)

unsur C sebesar 7,26%, dan unsur F sebesar 1,13%. Unsur C dan F kemungkinan besar berasal dari kontaminasi peralatan analisis karena kedua unsur tersebut tidak ada digunakan dalam preparasi sampel. Unsur C kemungkinan berasal dari proses coating (pelapisan) yang dikenakan

pada sampel sebelum dianalisis, sedangkan unsur F diduga berasal dari wadah sampel pada perangkat SEM/EDX.

Berdasarkan komposisi unsur ini dapat diketahui bahwa katalis terdiri dari Fe3O4 sebesar 64,74% dan Fe 35,24%. Cara perhitungan disajikan dalam Lampiran 4.

D. Uji Aktivitas Katalis

Dalam penelitian ini, uji aktivitas katalis dilakukan menggunakan reaktor seperti disajikan dalam Gambar 9 pada bagian metode percobaan.

Percobaan uji aktivitas katalis ini diawali dengan proses reduksi katalis pada temperatur 500oC selama satu jam dengan menggunakan gas H

2 dengan laju alir 1,8 L/jam dan gas Ar dengan laju alir 1,2 L/jam. Selanjutnya katalis yang telah tereduksi tersebut dialiri dengan campuran gas CO2, H2 dan Ar dengan laju alir total 50 mL/menit dan perbandingan gas CO2 : H2 adalah 1:4. Gas CO2 yang terdapat dalam campuran tersebut akan mengoksidasi katalis tereduki sekaligus menghasilkan gas CO, mengikuti persamaan reaksi berikut.


(49)

Fe3O4 + H2 FeO/Fe + H2O (1)

FeO/Fe + CO2 Fe3O4 + CO (2)

CO2 + H2 CO + H2O

Gas CO yang terbentuk kemudian diharapkan akan bereaksi dengan gas H2 untuk menghasilkan metanol, sesuai dengan persamaan reaksi berikut ini.

CO + 2H2 CH3OH (3)

Dalam kimia, salah satu faktor termodinamis yang sangat berperan menentukan reaksi adalah temperatur. Atas dasar ini, dalam penelitian ini uji aktivitas katalis dilakukan pada empat temperatur yang berbeda, yakni 100, 200, 300, dan 400oC. Hasil percobaan dianalisis dengan kromatografi gas.

Analisis dengan kromatografi gas menghasilkan kromatogram tanpa adanya pita serapan untuk semua keadaan temperatur, seperti yang disajikan dalam Lampiran 6. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi reaksi konversi menjadi metanol, seperti yang diharapkan. Tidak berlangsungnya reaksi seperti yang diharapkan diduga terdapat beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Alasan pertama adalah kemungkinan reaksi yang berlangsung hanya sampai pada konversi gas CO2 menjadi gas CO, sementara reaksi antara gas CO dan gas H2 tidak berlangsung. Kemungkinan ini didukung oleh hasil analisis katalis dengan XRD, seperti disajikan dalam Gambar 20.

+


(50)

Difraktogram sampel pada Gambar 20 menunjukkan kristalinitas sampel sebelum diuji (B) dan setelah diuji (C), serta difraktogram standar (A). Sampel sebelum digunakan diketahui terdiri dari fasa kristalin Fe3O4 dan Fe. Ini mengindikasikan bahwa proses pembuatan katalis berhasil dilakukan hingga 64,74%, sementara 35,24% tereduksi hingga menjadi Fe.

Difraktogram untuk sampel yang sudah diuji menunjukkan adanya tiga fasa kristalin yaitu Fe2O3, Fe3O4, dan Fe, dengan data kecocokan terhadap standar seperti disajikan dalam Tabel 4 berikut.

+

Gambar 20. Difraktogram dari katalis (C) setelah uji aktiitas (B) sebelum uji aktivitas dan (A) difraktogram standar, dimana (#) PCPDF 06-0696 untuk Fe, (*) PCPDF 19-0629 untuk Fe3O4 dan (+) PCPDF 33-0664 untuk Fe2O3.


(51)

Data Rujukan Hasil Penelitian

untuk Fe Untuk Fe2O3 untuk Fe3O4

Intensitas Relatif (%) 2θ

Intensitas Relatif

(%) 2θ

Intensitas Relatif

(%) 2θ

Intensitas Relatif (%) 2θ - - - - 100 - - - 20 - - - - 44,732 - - - 65,113 - 100 - - - 40 - - - - 33,195 - - - 49,545 - - - 30 - 100 8 - - 10 30 - 30,13 - 35,46 37,10 - - 53,46 57,02 - 14,11 8,79 49,95 7,82 100,00 4,05 14,75 18,87 15,03 30,186 33,248 35,580 43,150 44,723 49,558 57,035 62,572 65,097

Komposisi masing-masing fase kristalin pada katalis setelah uji aktivitas tersebut dapat diketahui berdasarkan hasil analisis EDX seperti yangg disajikan pada Gambar 21.

aktivitas dengan data standar Fe2O3, Fe3O4 dan Fe sebagai rujukan.

Gambar 21. Spektrum EDX dan komposisi sampel Fe3O4 hasil setelah uji aktivitas.


(52)

Mengacu pada hasil analisis EDX dalam gambar 21, diketahui bahwa komposisi unsur Fe dan O pada sampel katalis setelah melalui proses uji katalitik secara berturut-turut adalah sebesar 95,63% dan 2,82%. Berdasarkan komposisi unsur ini dapat diketahui bahwa katalis terdiri dari Fe3O4 sebesar 7,5%, Fe2O3 sebesar 6,32%, dan Fe sebesar 81,8%.

Terlihat persentase Fe sebelum dan sesudah uji aktivitas mengalami kenaikan sebesar 46,56%. Hal ini memperlihatkan bahwa katalis mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap gas H2 dari pada gas CO2 sehingga cenderung mengalami reduksi. Walaupun diketahui reaksi reduksi lebih dominan, tetapi terbentuknya fase kristalin Fe2O3 pada sampel setelah uji aktivitas, menunjukkan bahwa juga terjadi reaksi oksidasi katalis oleh gas CO2 seperti yang ditunjukkan dengan Persamaan (2). Namun demikian, gas CO yang dihasilkan tidak bereaksi dengan gas H2, terlihat dari tidak adanya metanol yang terdeteksi dengan kromatografi gas seperti telah dipaparkan sebelumnya. Kegagalan reaksi antara gas CO dan H2 kemungkinan diakibatkan oleh pengikatan gas CO oleh permukaan katalis yang tidak mantap sehingga interaksinya dengan gas H2 menjadi sangat terbatas.

Kemungkinan lain yang patut dipertimbangkan adalah karaktersitik katalis, terutama luas permukaan yang belum mampu mendukung reaksi katalitik dengan efisien. Dugaan ini didasarkan padaa data analisis dengan SEM yang menunjukkan bahwa partikel-partikel katalis Fe3O4 membentuk suatu

cluster-cluster yang menyebabkan berkurangnya luas permukaan katalis


(53)

Kemungkinan terakhir adalah reaksi yang berlangsung tidak menghasilkan metanol, tetapi produk lain yang tidak terdeteksi dengan kondisi metode analisis yang diterapkan untuk analisi metanol. Beberapa contoh senyawa yang mungkin terbentuk tetapi tidak dianalisis pada penelitian ini adalah formate, dioximetilen, formaldehida dan senyawa metoksi (Nakatsuji N., 1999).

Gambar 22. Struktur mikro katalis Fe3O4 setelah uji aktivitas (A) dengan perbesaran 5000x dan (B) dengan perbesaran 10000x.


(54)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Dengan metode yang digunakan, katalis Fe2O3 dapat tereduksi menjadi Fe3O4 dengan tingkat capaian persen konversi sebesar 64,74% dan sisanya adalah Fe dengan tingkat capaian persen konversi sebesar 35,24% pada saat diberi asupan gas H2 dengan laju alir sebesar 1,8 L/jam.

2. Situs asam dari katalis Fe3O4 terdiri dari asam Brønsted-Lowry dan asam Lewis, dengan situs asam Brønsted-Lowry lebih mendominasi. 3. Uji aktivitas katalis menunjukkan konversi gas CO2 menjadi metanol

tidak dapat dicapai dengan katalis yang dibuat.

4. Meskipun gagal menghasilkan metanol, dari data penelitian dapat disimpulkan bahwa katalis yang dibuat mampu mengkonversi gas CO2 menjadi gas CO.

5. Reaksi yang dominan terjadi pada uji aktivitas adalah reaksi reduksi, ditunjukkan dengan pembentukan Fe yang mencapai 81,8%.


(55)

B. Saran

Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk:

1. Melakukan penelitian lebih lanjut dengan metode sintesis lain untuk mendapatkan katalis Fe3O4 dengan pencapaian tingkat konversi dan karakteristik katalis yang lebih baik.

2. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan promotor dan/atau pengemban untuk mendukung kinerja katalis dalam mengkonversi gas CO2 menjadi metanol.

3. Melakukan analisis produk-produk lain yang mungkin terbentuk, seperti formate, dioximetilen, formaldehida dan senyawa metoksi.


(56)

PEMBUATAN KATALIS Fe

3

O

4

DENGAN METODE

SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK KONVERSI

CO

2

MENJADI METANOL

(Skripsi)

Oleh

Sarah Aliana

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(57)

PEMBUATAN KATALIS Fe

3

O

4

DENGAN METODE

SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK KONVERSI

CO

2

MENJADI METANOL

Oleh

SARAH ALIANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(58)

Judul Skripsi : PEMBUATAN KATALIS Fe3O4 DENGAN METODE SOL-GEL DAN UJI

AKTIVITASNYA UNTUK KONVERSI CO2 MENJADI METANOL

Nama Mahasiswa : Sarah Aliana

Nomor Pokok Mahasiswa : 0517011016

Jurusan : Kimia

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Rudy T.M. Situmeang, M.Sc Wasinton Simanjuntak, Ph.D NIP 19600616198811 1001 NIP 19590706198811 1001

2. Ketua Jurusan Kimia

Dr. Andi Setiawan, M.Sc NIP 19580922198811 1001


(59)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Rudy T.M. Situmeang, M.Sc. ...

Sekretaris : Wasinton Simanjuntak, Ph.D ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dra. Ilim, M.S ...

2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Sutyarso, M.Biomed NIP 19570424198703 1001


(60)

PENDIDIKAN FORMAL (SD s.d S1)

PENGALAMAN ORGANISASI

Tahun 1993 – 1999 : SDIT Annur Bandar Jaya Tahun 1999 – 2002 : SLTP Negeri 3 Terbanggi Besar Tahun 2002 – 2005 : SMA Negeri 1 Terbanggi Besar

Tahun 2005 – 2010 : Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung

Periode 2006-2007 : Anggota Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia HIMAKI UNILA

Periode 2007-2008 : Anggota Biro Penerbitan HIMAKI UNILA

NAMA

: Sarah Aliana

Tempat, Tanggal Lahir : Kota Agung, 24 Januari 1987

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Penikahan : Belum menikah

Tinggi / Berat Badan : 158 cm/ 42 Kg

NPM : 0517011016

Nama Orang Tua : Ali Ahmad-Ermalina, S.Pd

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Rumah Telp.

: Jl. Kelapa Tujuh, Lingkungan III. RT 007 RW 003, Bandar Jaya Barat, Lampung Tengah Alamat Saat Ini

Telp.

: Jl. Jend Sudirman No. 120 Rawa Laut, Pahoman, Bandar Lampung.

No. HP : 081279566699

Tgl. Wisuda : 15 Desember 2010

IPK : 3,30

Nilai EVT (TOEFL) : 440


(61)

ASISTEN PRAKTIKUM YANG PERNAH DIJABAT

HOBI

PENELITIAN DAN TUGAS AKHIR

PELATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI PENGALAMAN KERJA

Tahun 2005-2006 : Beasiswa BBM Tahun 2008-2009 : Beasiswa BBM

 Pembuatan Katalis Fe3O4 dengan Metode Sol-Gel dan Uji Aktivitasnya untuk Konversi CO2 menjadi Metanol

 Kimia Dasar I dan 2 untuk Fakultas Pertanian dan MIPA  Teknik Pengendalian Dampak Lingkungan untuk D3 Kimia  Kimia Fisik untuk Fakultas MIPA

 Membaca

 Karya Wisata Ilmiah (BEM FMIPA UNILA, 2006)  Mengoprasikan Komputer

 Safety in Laboratory (Biomassa)

Tgl. UP : 22 Oktober 2009

Tgl. HP : 25 Oktober 2010

Tgl. Kompre : 08 November 2010 UP, HP, KOMPRE


(62)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Unit sel Fe3O4 ... 12

2. Pertumbuhan ukuran partikel dalam sintesis sol-gel ... 13

3. Skema spektrofotometer IR ... 18

4. Skema alat XRD ... 19

5. Difraksi sinar-X oleh kristal ... 20

6. Difraktogram nanopartikel Fe3O4 ... 21

7. Skema alat Scanning Electron Microscope ... 22

8. Bagian dasar kromatografi gas ... 24

9. Reaktor katalis ... 31

10. Larutan Fe-nitrat dalam asam nitrat ... 33

11. Gel yang terbentuk ……… 34

12. Katalis Fe2O3 yang telah dikalsinasi kemudian digerus ... 35

13. Katalis hasil reduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,6 L/jam; 1,8 L/jam; dan 2,0 L/jam ... 36

14. Pola difraksi standar untuk Fe2O3 dan pola difraksi sampel yang direduksi dengan gas H2 sebesar 1,6 L/jam ... 37


(63)

PCPDF 06-0696 untuk Fe dan PCPDF 19-0629 untuk Fe3O4 ... 39

16. Spektrum IR katalis Fe3O4 setelah uji keasaman ... 42

17. Struktur mikro katalis Fe3O4 dengan perbesaran 1500x dan 2000x ... 44

18. Struktur mikro katalis Fe3O4 dengan perbesaran 20000x ... 45

19. Spektrum EDX dan komposisi sampel Fe3O4 hasil reduksi Fe2O3 dengan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam ... 46

20. Difraktogram dari katalis setelah uji aktivitas, sebelum uji aktivitas, dan difraktogram stándar untuk Fe2O3, Fe3O4 dan Fe ………. 49

21. Spektrum EDX dan komposisi sampel Fe3O4 setelah uji aktivitas ... 50

22. Struktur mikro katalis Fe3O4 setelah uji aktivitas dengan perbesaran 5000x dan 10000x ………..……. 52


(64)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR TABEL vii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penanganan CO2 ... 5

B. Katalis ... 9

1. Katalis Homogen ... 9

2. Katalis Heterogen ... 10

C. Metode Preparasi Katalis ... 12

1. Metode Sol-gel ... 13

2. Pengeringan dan Kalsinasi ... 15

D. Karakterisasi Katalis ... 15


(65)

2. Spektroskopi Infra Merah ………... 17

3. X-Ray Diffraction (XRD) ……….… 19

4. Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray Spectometer (SEM-EDX) ……….……… 21

E. Uji Aktivitas ………...………... 23

1. Kromatografi Gas ………..……….. 23

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

B. Alat dan Bahan ... 26

C. Cara Kerja ... 27

1. Pembuatan Katalis dengan Metode Sol-gel ... 27

2. Kalsinasi ... 27

3. Reduksi ... 28

4. Karakterisasi ... 28

a. Karakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD) ... 28

b. Penentuan Keasaman Katalis ……….. 29

c. Karakterisasi dengan SEM-EDX ... 30

5. Uji Aktivitas Katalis ... 30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar ... 32

B. Pembuatan Katalis dengan Metode Sol-gel ... 33

C. Karakterisasi Katalis ... 37

1.Analisis Struktur Kristak Menggunakan XRD ... 37


(66)

3.Analisis SEM-EDX ... 44 D. Uji Aktivitas Katalis ... 47 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 53 B. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(67)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Interpretasi data dari hasil penelitian dari laju alir gas H2 1,6 L/jam

dengan data standar Fe2O3 sebagai rujukan ... 38 2. Interpretasi data dari hasil penelitian dari laju alir gas H2 1,8 L/jam

dengan data standar Fe3O4 dan Fe sebagai rujukan ... 40 3. Interpretasi data dari hasil penelitian dari laju alir gas H2 2,0 L/jam

dengan data standar Fe3O4 dan Fe sebagai rujukan ... 41 4. Interpretasi data dari hasil penelitian setelah uji aktivitas


(68)

DAFTAR PUSTAKA

Adamson, A. W. 1990. Physical Chemistry of Surfaces. Fifth Edition. Penerbit

John Wiley & Sons, Inc.

Ahmet, C. and Yilmaz, F. 2007. Synthesis and Characterization of 4-(alkylaminoisonitrosacetyl) diphenil eter and Some of Thir Metal

Complexes. Turk .J. Chem. 32 (2008). pp 305-312. Turbitax.

Akbar, S., Hasanain, S. K., Azmat, N. and Nadeem, M. 2004. Synthesis of Fe2O3

Nanoparticles by Sol-gel Methode and Their Structural and Magnetic Characterization. University Islamabad. Pakistan. pp 1-19.

Andriani, 2005. Senyawa Heteropolyacid dan Garam-garamnya sebagai Katalis Heterogen dalam Pelarut Organik. FMIPA Universitas Sumatra Utara:

e-USU Repository.

Bakar, M.A., Tan, W.L., Bakar, N.H.H. 2007. A Simple Synthesis of Size-Reduce Magnetic Nano-Crystal via Aqueous to Toluen Phase-Transfer Method.

Journal of Magnetism and Magnetic Materials 314. pp 1-6.

Barizuddin, S. 2006. Mesoporous Iron Oxide Energetic Composites with Slow Burn Rate, Evaluation and Characterization of Monolithic Catalyst For Fischer-Tropsch Synthesis. Petroleum & Coal. Vol 50. pp 56-61.

Blanchard, F., Reymond, J.P., Pommier, B. and Teichner, S.J. 1982. On the Mechanism of the Fischer-Tropsch Synthesis Involving Unreduced Iron Catalyst. Journal of Molecular Catalysis. 17. pp 171-181.

Brewer, L.W. 1998. Gas Chromatography. Springer-Verlag. Berlin. pp 257-276.

Campbell, I.M. 1988. Catalyst at Surfaces. Chapman and Hall. New York.

pp. 1-3.

Cao, X., Prozorov, R., Koltypin, Yu., Kataby, G., Felner, I, and Gedanken, A. 1997. Synthesis of Pure Amorphous Fe2O3. Journal of Material Research. Vol 12. No 2.

Frenzer, G and Maier, W. F. 2006. Amorphorous Pourous Mixed Oxides : Sol-Gel Ways to a Highly Versatile Class of Materials and Catalysts. Annual


(69)

Grabis, J., Steins. I., Rasmane, Dz., and Heidemane, G. 1997. Nanosize NiO/YSZ Powder Produced by ICP Technique. Journal of European Ceramics

Society. 17. pp 1437-1442.

Haider, M., Gogate, M. R., and Davis, R. J. 2009. Fe-promotion of Supported Rh Catalysts for Direct Conversion of Syngas to Ethanol. Journal of Catalyst.

pp 9-16.

Iida, H., Takayanagi, K., Nakanishi, T., and Osaka, T. 2007. Synthesis of Fe3O4

Nanoparticles with Various Sizes and Magnetic Properties by Controlled Hydrolysis. Journal of Colloid and Interface Science 314. pp 274-280.

IPCC. 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation, and Vulnerability.

Cambridge University Press. Cambridge. United Kingdom.

Jamarun, N. 2000. Proses Sol Gel. FMIPA Kimia Universitas Andalas. Padang.

pp 1-40.

Lambert C.K., R.D. Gonzalez. 1998. The importance of measuring the metal content of supported metal catalysts prepared by the sol gel method.

Applied Catalysis A: General 172, pp 233-239.

Lecloux A.J., J.P. Pirard. 1998. Section 4. Catalysts. Surface function High-Temperature Catalysts Through Sol–Gel Synthesis. Journal of

Non-Crystalline Solids 225. pp 146–152.

Meacanizie, J. D. and D. R. Ultrych. 1984. Ultrastructure Processing of Advanced Ceramics. John Wiley and Sons. Inc. New York. pp 15-17.

Moffat, J. B. 1990. Theoretical Aspects of Heterogeneouse Catalysis. New York:

Van Nostrand Reinhold.

Nakatsuji, H. and Hu, Z. M. 1999. Mechanism of Methanol Synthesis on Cu(100) and Zn/Cu(100) Surface: Comparative Dipped Adcluster Model Study.

International Journal of Quantum Chemistry.Vol.77. pp 341-349

National Research Council (NRC). 2001. Climate Change Science: An Analysisof Some Key Questions. National Academy Press. Washington. DC.

Noorjahan, M., V. Durga Kumari, M. Subrahmanyam, Lipsa Panda. 2005.

Immobilized Fe(III)-HY: an Efficient and Stable Photo-Fenton Catalyst.

Applied Catalysis B: Environmental. 57. pp 291–298.

Perdana, F.A. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Partikel Nano Fe3O4 dengan

Templete PEG-1000. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS

Sukolilo.Surabaya.http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-12502-Paper.pdf.


(1)

58

Willard, H.H., Lynne L.M.Jr., John A.D and Frank A.S.Jr. 1988. Instrumental Methods Of Analysis Seventh Edition. Wadsworth Publishng Company. California.

World Health Organization (WHO). 2003. Climate change and human health risks and responses.


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Agung, Kabupaten Tanggamus pada tanggal 24 Januari 1987 sebagai anak pertama dari empat bersaudara buah kasih pasangan Bapak Ali Ahmad dan Ibu Ermalina, S.Pd.

Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) di TK dan SD Islam Terpadu An-nur Bandar Jaya, Lampung Tengah pada tahun 1993 dan 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Negeri 3 Terbanggi Besar, Lampung Tengah pada tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar, Lampung Tengah pada tahun 2005. Penulis diterima di Universitas Lampung pada tahun 2005 melalui jalur PKAB.

Selama menjadi Mahasiswa, penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMAKI) FMIPA pada periode 2005-2006 sebagai anggota Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia, dan pada periode 2006-2007 sebagai anggota Biro Penerbitan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Dasar I periode 2006-2007 untuk mahasiswa S1 Pertanian jurusan Teknik Hasil Pertanian (THP), praktikum Kimia dasar II periode 2006-2007 untuk mahasiswa S1 Pertanian jurusan Teknik Hasil Pertanian (THP), praktikum Kimia Dasar II periode 2007-2008 untuk mahasiswa S1 Jurusan Fisika FMIPA, praktikum Kimia Fisik I periode 2007-2008 untuk mahasiswa S1


(3)

Jurusan Kimia FMIPA, dan praktikum Teknik Pengolahan Limbah Industri (TPLI) periode 2007-2008 untuk mahasiswa D3 Analisis Kimia.

Pada bulan Juli 2008 penulis menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPPTMGB)


(4)

SANWACANA

Segala puji syukur bagi Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang tak terhingga dan dengan kehendak dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pembuatan Katalis Fe3O4 dengan Metode Sol-gel dan Uji Aktivitasnya untuk Reaksi Konversi CO2 menjadi Metanol” dengan baik. Sholawat dan salam somoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Banyak kesulitan yang didapat dalam pelaksanaan serta dalam penulisan skripsi ini, Alhamdulillahirobbil„alamin dengan pertolongan dari Allah SWT jualah yaitu melalui orang-orang di sekitar penulis, sehingga segala kesulitan tersebut dapat teratasi. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Rudy T.M. Situmeang, M.Sc., selaku pembimbing I atas bimbingan, saran, dan bantuan kepada penulis dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta penulisan skripsi ini.


(5)

2. Bapak Wasinton Simanjuntak, Ph.D., selaku pembimbing II atas bimbingan, kesabaran, kritik dan saran kepada penulis dalam memperbaiki skripsi ini. 3. Ibu Dra. Ilim, M.Sc., selaku penguji atas kritik, saran, serta masukan kepada

penulis.

4. Bapak Dr. Irwan Ginting Suka, M.Sc., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

5. Bapak Andi Setiawan, Ph.D., selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

6. Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan cinta, kasih sayang abadi, perhatian, motivasi, pengorbanan, dan dukungan sepenuh hati baik materi maupun spiritual yang sangat penulis butuhkan serta do‟a tulus ikhlas yang tak henti-hentinya demi kelancaran dan kesuksesan penulis dalam menuntut ilmu.

7. Adik–adikku M. Aldino, Farah Aulia, si kecil Salma Asysyifa Aliy, dan juga Bahariawan atas keceriaan dan canda tawa yang tercipta selama ini. Nenekku tersayang, paman, bunda, paksu, uak, ibu, atas segala doa-doanya. 8. Teguh Jaya Waya Zaiko who has been patient and helpfull as a mentor, your

insight, attention, and guidance have helped me tremendously in understanding the problem that always happen in life.

9. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan saran, motivasi, dukungan, canda tawa, dan doa yang tulus.

10. Sahabat-sahabatku yang baik (mar ulil, mar endah, mar pi2t, marchae, pungi, marpi2e, desy, nenk, yeni, mb evi), terimakasih atas segala


(6)

dukungan, kasih sayang, rasa kebersamaan, dan keceriaan yang selalu kalian hadirkan.

11. Teman-teman di laboratorium, kak bowo, pi2t, nova, mitra, septian, dan termasuk juga mbak dian atas semua diskusinya. I will never forget all the times that we spent together working on our chemistry lab.

12. Teman-teman seperjuanganku Liya, Tika, Kiki, Vonny, Helma, deny, epra, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu–persatu. Perjuangan kita masih panjang, tetap semangat dan pantang mundur.

13. Teman-teman Kimia ‟03, ‟04, ‟06, dan ‟07 FMIPA UNILA terimakasih atas segala dukungannya.

14. Seluruh staf pengajar dan karyawan Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

15. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis berharap semoga Allah SWT mencatat dan membalas semua kebaikan yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat khususnya bagi rekan-rekan mahasiswa dan para pembaca pada umumnya.

Bandar Lampung, Oktober 2010 Penulis