ABSTRAK DAMPAK KEBERADAAN PROSTITUSI BAGI MASYARAKAT PANJANG
DAMPAK KEBERADAAN PROSTITUSI BAGI MASYARAKAT PANJANG
(Studi Pada Cafe-Cafe di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung) Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang pelacuran masi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu, masyarakat pada umumnya yang mengutuk keras akan adanya praktikprostitusi seharusnya melakukan tindakan-tindakan untuk menghentikan atau setidaknya dapat mengetahui dan menginformasikan kepada masyarakat dampak yang akan timbul akibat praktik prostitusi. Daerah Panjang adalah daerah pelabuhan yang mana banyak kita jumpai cafe-cafe yang beroperasi pada malam hari, cafe-cafe tersebut menyediakan banyak hiburan bagi para tamu yang datang, oleh karena itu sebagian warga yang tinggal di daerah tersebut mempunyai dampak yang dialami mereka pada kehidupan sehari-hari. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah dampak sosial masyarakat terhadap keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis lakukan maka diperoleh kesimpulan yaitu, keterbatasan pergaulan antar masyarakat, masyarakat merasa terganggu dengan adanya cafe-cafe tersebut dikarenakan alunan suara musik yang keras yang berasal dari cafe-cafe tersebut dan anggapan masyarakat luar daerah Panjang bahwasannya tempat mereka adalah tempat prostitusi
(2)
IMPACT EXISTENCE OF PROSTITUTION COMMUNITY PANJANG (Studies in the cafes in the area of Panjang Bandar Lampung)
Prostitution as a social problem as is seen from the relation of cause and effect and its origin can not be known with certainty, but to brothels mation encountered in everyday life, therefore, the public in general will condemn the practice of prostitution should do actions to stop or at least be aware and inform the public impact that will arise from the practice of prostitution. The length of the harbor area is an area in which we have encountered many cafes that operate at night, these cafes provide plenty of entertainment for the guests who come, therefore most of the people living in the area have experienced their impact on everyday life to-day. The formulation of the problem in this research is the social impact of the existence of the cafes in the area long. Type of research used in this study is a qualitative in-depth interviews. Based on the research and discussion by the author it could be concluded that, the limited interaction between community, community was disturbed by the cafes is due to the strains of loud music coming from the cafe and public perception outside the Long bahwasannya their place is a place of prostitution
(3)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Membicarakan pelacuran sama artinya membicarakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimana pun. Menurut Kartono (1988), pelacuran atau yang sering disebut dengan prostitusi atau pemuas nafsu seks, merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.
Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang pelacuran masi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan ada di hampir setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Masalah prostitusi adalah masalah struktural. Permasalahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat adalah mereka masih memahami masalah prostitusi sebagai masalah moral. Mereka tidak menyadari persepsi moral ini akan mengakibatkan sikap "menyalahkan korban" yang ujungnya menjadikan korban semakin tertindas. Di antara alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Struktur kebijakan tidak memihak kepada kaum yang
(4)
lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin menumpuk harta kekayaannya.
Banyak budaya yang menyebabkan wanita akhirnya menjadi PSK. Koentjoro (2004) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya yang dilakukan di Indramayu, terdapat budaya yang menganggap bekerja sebagai PSK adalah baik dan justru mendapat dorongan orangtua dan keluarga. Bahkan, keluarga menyelenggarakan slametan agar anaknya mendapat banyak pelanggan dan dapat mengirimi uang untuk keluarga di rumah.
Selain itu, masih banyak faktor yang menyebabkan perempuan menjadi PSK. Di antaranya kekerasan seksual seperti perkosaan oleh orang-orang terdekat seperti bapak kandung, paman, atau guru. Faktor lain, penipuan dan pemaksaan dengan berkedok agen penyalur tenaga kerja. Kasus penjualan anak perempuan oleh orang tua sendiri pun juga kerap ditemui.
Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat bahwa wanita sebagai obyek seks. Karenanya, seringkali penanganan dan pencarian solusinya bersikap parsial dan bias. Tuntutan sebagian masyarakat untuk menghilangkan keberadaan prostitusi di satu sisi sangatlah kencang diutarakan, sementara di sisi lain masyarakat juga tidak siap untuk mencarikan jalan keluar secara praktis bila lokalisasi pelacuran dibubarkan.
Selain itu sebagai masyarakat pada umumnya yang mengutuk keras akan adanya praktikprostitusi seharusnya melakukan tindakan-tindakan untuk menghentikan atau setidaknya dapat mengetahui dan menginformasikan kepada masyarakat dampak butuk yang akan timbul akibat praktik prostitusi
(5)
Fenomena pelacuran merupakan salah satu bentuk kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani dan jenis kriminalitas ini banyak didukung oleh faktor ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dimana dalam masyarakat itu sendiri mendapat pemenuhan akan kebutuhan secara manusiawi. Keinginan yang timbul ini merupakan akibat dari nafsu biologismanusia yang sederhana. Ketika semua sumber kepuasan dari semua individu tidak mampu memenuhi kebutuhan, maka jalan keluar pelacuran dapat dipakai sebagai alternatif untuk memenuhinya, dan perubahan dalam sistem ekonomi tidak akan mampu menghilangkan kedua sisi kebutuhan tersebut.
Bentuk prostitusi seperti praktek penjualan jasa seksual atau yang disebut juga pekerja seks komersial selayaknya dianggap sebagai salah satu penyakit masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan terhadap norma perkawinan yang suci. Namun, berkembangnya praktek di sekitar kita tidak dapat dipisahkan dari nilai budaya masyarakat Indonesia sendiri yang memberikan peluang bagi praktek ini untuk terus berkembang dari masa ke masa.
Sampai detik ini, prostitusi belum dapat dihentikan, pemerintah pun seolah-olah melegalkan praktek yang telah mendarah daging di masyarakat Indonesia ini. Padahal masyarakat sendiri sudah banyak mengetahui bentuk ancaman yang akan dihadapinya apabila prostutisnya ini tetap berkembang, seperti ancaman terhadap sex morality, kehidupan rumah tangga, kesehatan, kesejahteraan kaum wanita, dan bahkan menjadi problem bagi pemerintah lokal.
(6)
Aktivitas kehidupan PSK tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Berarti, mereka dapat kita temui hampir di tempat-tempat hiburan, sepanjang jalan-jalan protokol, sudut kota, dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan praktiknya tanpa usaha-usaha menertibkannya.
Selama ini aktivitas mereka berbaur dengan lingkungan sekitar masyarakat dan terkesan makin meluas dilihat dari jumlah dan tempat mereka melakukan transaksi seks (lihat saja bagaimana bebasnya pekerja seks di tempat umum berkeliaran mencari pelanggan). Tentu kita masyarakat resah akan dampak yang dapat merugikan masyarakat dan pencitraan yang ada di sekitar lingkungan kota, seperti halnya survei yang dilakukan di Kota Bandarlampung.
Kalaupun ada sebuah perspektif yang berbeda menyangkut pro-kontra dalam memandang persoalan ini, tidaklah menjadi alasan tidak peduli karena masing-masing tentu memiliki kepentingan. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelesaian permasalahan mereka.
Menurut pemantauan Dinas Sosial, khususnya daerah-daerah tempat prostitusi yang berada di Bandarlampung, meliputi tempat-tempat hiburan dan mereka tersebar beberapa tempat mangkalnya WTS atau PSK. Seperti kawasan daerah Tanjungkarang Pusat, jalan protokol (pada hotel-hotel), eks Pasar Seni Enggal, eks lokalisasi Pemandangan/Pantai Harapan (Panjang), Jl. Pramuka, Jl. Urip Sumoharjo, sepanjang Jl. Yos Sudarso, dan daerah kawasan daerah Telukbetung.
(7)
Sorotan mengenai kegiatan prostitusi atau pelacuran yang bersifat liar (ilegal) dan sporadis pada daerah kota menjadi persoalan urgen dan dibutuhkan penanganan secara humanis. Tentu kita mengingat bagaimana lokalisasi Panjang (Pantai Harapan dan Pemandangan) dibubarkan pemerintah daerah. Akan tetapi, persoalan ini tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Terbukti setelah lokalisasi ditutup, justru mereka pekerja seks sulit diawasi dan makin liar.
Di samping itu, kita memahami keberatan masyarakat sekitar lokalisasi yang merasa terganggu akan praktik legal pelacuran, terutama tokoh agama, masyarakat, pemuda, dan sebagian masyarat akan dampak adanya lokalisasi. Belum lagi ditambah sikap reaktif kelompok masyarakat (ormas agama/pemuda) secara luas melakukan reaksi sosial menentang kegiatan prostitusi. Sebab hal ini bergantung faktor adat istiadat norma susila dan agama yang menentang segala bentuk pelacuran.
Berhubungan dengan aktivitas pola pelacuran yang ada selama ini ada, umumnya mereka berangkat dari keterpaksaan menyangkut persoalan keluarga dan masalah pribadi, traumatik terhadap kekerasan seksual, dan sulitnya pilihan (mencari pekerjaan) di tengah-tengah persoalan yang mengimpit hidup mereka. Hingga mereka terjerumus dalam dunia prostitusi.
Ada beberapa penyebab mengapa persoalan prostitusi sulit ditertibkan dan terus marak. Menurut pengamat patologi sosial Kartini Kartono (tokoh pemuda muhammadiyah), dapat dilihat dari indikator meningkatnya aktivitas pelacuran. Pertama, tidak adanya undang-undang atau peraturan yang melarang, membatasi,
(8)
dan mengatur kegiatan pelacuran secara benar menyangkut kegiatan tempat-tempat prostitusi/ hiburan.
Kedua, adanya keinginan dan dorongan manusia menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan, makin tidak terkendali, adanya krisis norma agama dan sosisal sehingga menimbulkan krisisnya moral.
Ketiga, adanya komersialisasi kegiatan seks sebagai bagian pemuasan kebutuhan biologis dalam perspektif dunia industri seks atau penunjang usaha ilegal menjadi legal, baik dari kepentingan biologis, ekonomis maupun politik.
Menganalisis persoalan prostitusi tentu memiliki motif lain, seperti adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita muda untuk menghindari kesulitan hidup adalah alasan klasik. Selain itu, untuk mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas alasan praktis, ditambah lagi faktor persoalan kurangnya pendidikan, trauma kekerasan seksual adalah faktor pendukung aktifitas perkerjaan sebagai WTS.
Menurut aktivitasnya, prostitusi pada dasarnya terbagi dua jenis. Pertama, prostitusi yang terdaftar dan memperoleh perizinan dalam bentuk (lokalisasi) dari pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dibantu pengawasan kepolisian dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan. Umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah/ area tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan, seperti pemberian suntikan untuk menghindari penyakit-penyakit berkenaan dengan prostitusi. Kedua adalah jenis prostitusi yang tidak terdaftar bukan lokalisasi. Adapun yang termasuk kelompok ini ialah mereka yang
(9)
melakukan kegiatan prostitusi secara gelap dan liar, baik perorangan maupun terorganisir.
Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.
Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan. Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat. Kalaupun ingin bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.
Melihat banyaknya PSK yang berkeliaran, tentu masyarakat mengharapkan Pemkot Bandarlampung bersama instansi terkait cepat tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar.
Penyebab perkembangan penyakit HIV/AIDS yang paling utama lebih disebabkan hubungan seks bebas (pelacuran), meluasnya pekerja seks bebas yang masih
(10)
beroperasi di tempat pelacuran dengan lokasi berpindah-pindah tentu berakibat meluasnya penularan penyakit kelamin dan sulitnya pengawasan.
Tudingan prostitusi dianggap sebagai 80% faktor utama tentu beralasan karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya. HIV/AIDS timbul dan berkembang sangat cepat karena dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara yang sedang berkembang paling banyak menghadapi persoalan kasus pelacuran, termasuk pelacuran anak dengan berbagai alasan penyebab.
PSK yang melakukan profesinya dengan sadar/sukarela dan terpaksa berdasarkan motivasi-motivasi tertentu, seperti halnya melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa orang yang menjanjikan pekerjaan, yang terdiri atas sindikat organisasi gelap dengan bujukan dan janji yang manis. Ratusan bahkan ribuan gadis dari desa dijanjikan mendapat pekerjaan, tapi justru dunia prostitusi yang dijadikan pekerjaan mereka.
Praktek-praktek pelacuran biasanya ditolak oleh masyarakat dengan cara mengutuk keras, serta memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya. Namun demikian ada anggota masyarakat yang bersifat netral dengan sikap acuh dan masa bodoh. Disamping itu ada juga yang menerima dengan baik. Sikap menolak diungkapkan dengan rasa benci, jijik, ngeri, takut dll. Perasaan tersebut timbul karena prostitusi dapat mengakibatkan sebagai berikut. :
1. Menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin dan penyakit kulit. Penyakit kelamin tersebut adalah sipilis dan gonorrgoe. Keduanya dapat
(11)
mengakibatkan penderitanya menjadi epilepsi, kelumpuhan, idiot psikotik yang berjangkit dalam diri pelakunya dan juga kepada keturunan.
2. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.
3. Memberi pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya remaja dan anak-anak yang menginjak masa puber.
4. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan minuman keras dan obat terlarang (narkoba).
5. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama.
6. Terjadinya eksploitasi manusia oleh manusia lain yang dilakukan oleh germo, pemeras dan centeng kepada pelacur.
7. Menyebabkan terjadi disfungsi seksual antaralain : impotensi, anorgasme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa dampak keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang ditinjau dari segi :
a. Ketertiban
b. Kehidupan Masyarakat
2. Apa tanggapan informan sekitar tentang adanya cafe-cafe di lingkungan tempat tinggal?
(12)
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang ditinjau dari segi :
a. Ketertiban
b. Kehidupan Masyarakat
2. Untuk menganalisis tanggapan masyarakat dengan adanya keberadaan cafe-cafe di daerah mereka tinggal.
D. Mamfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis ingin menemukan bahwa manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang khususnya konsep diri seorang perempuan pekerja seks komersial. Hal ini akan memberi gambaran dan pengetahuan baru tentang keberadaan pekerja seks komersial dalam dunia realitas masyarakat yang disesuaikan dengan konsep-konsep teoretis dalam perkuliahan khususnya sosiologi lingkungan, sosiologi kesehatan, sosiologi pendidikan.
(13)
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi nyata kepada masyarakat Bandar Lampung atas keberadaan pekerja seks komersial secara mendasar. Harapannya akan muncul motivasi dan niat untuk meninggalkan aktivitas pelacuran dan dapat diterima di masyarakat kembali. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada lembaga yang menangani masalah sosial secara langsung sehingga dapat memudahkan dalam mengambil sebuah kebijakan terhadap keberadaan pekerja seks komersial (PSK).
(14)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Prostitusi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), “Prostitusi” mengandung makna suatu kesepakatan antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual dalam hal mana pihak lelaki membayar dengan sejumlah uang sebagai kompensasi pemenuhan kebutuhan biologis yang diberikan pihak perempuan, biasanya dilakukan di lokalisasi, hotel dan tempat lainnza sesuai kesepakatan.
Secara etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Prostitute / prostitution” yang berarti pelacuran, perempuan jalang, atau hidup sebagai perempuan jalang. Sedangkan dalam realita saat ini, menurut kaca mata orang awam prostitusi diartikan sebagai suatu perbuatan menjual diri dengan memberi kenikmatan seksual pada kaum laki-laki. Koentjoro (2004)
Pelacuran berasal dari bahasa Latin yaitu pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. Sehingga pelacuran atau prostitusi bisa diartikan sebagai perjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks untuk uang. Pelacur wanita disebut prostitue, sundal, balon, lonte; sedangkan pelacur pria disebut gigolo. Pelaku pelacur kebanyakan dilakukan oleh wanita.
(15)
Menurut Bonger dalam Mudjijono (2005) prostitusi adalah gejala sosial ketika wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. Commenge dalam Soedjono (1977) prostitusi adalah suatu perbuatan di mana seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, untuk memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan wanita tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya kecuali yang diperoleh dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang.
Prostitusi secara etimologis berasal dari kata prostitutio yang berarti hal menempatkan, dihadapkan, hal menawarkan. Adapula arti lainnya menjual, menjajakan, namun secara umum diartikan sebagai penyerahan diri kepada banyak macam orang dengan memperoleh balas jasa untuk pemuasan seksual orang itu.
Beberapa pengertian lainnya dari prostitusi (Simanjuntak, 1981)
a)Paulus Moedikdo Moeljono, pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksuil orang itu,
b)Budisoesetyo, pelacuran adalah pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk perbuatan kelamin dengan mendapat upah,
c)Warouw, prostitusi adalah mempergunakan badan sendiri sebagai alat pemuas seksuil untuk orang lain dengan mencapai keuntungan.
(16)
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapatlah ditarik esensi dari perbuatan melacur sebagai berikut:
a) Unsur ekonomis yang berupa pembayaran sebagai tegen prestasi,
b) Unsur umum yang berupa patner yang tidak bersifat selektif, dengan kata lain siapa saja diterima asal diberi uang,
c) Unsur kontiniu yang dilakukan beberapa kali.
B. Pengertian Pekerja Seks Komersial (PSK)
1. Definisi Pekerja Seks Komersial
Pekerja seks komersial (Rakhmat Jalaludin : 2004 ) adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum.
Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom. (Simanjuntak, 1981)
(17)
Menurut Koentjoro (2004) Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki) tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik.
Dalam kehidupan manusia tidak selamanya berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan. Manusia dalam kehidupannya sering menemui kendalakendala yang membuat manusia merasa kecewa dan tidak menemukan jalan keluar sehingga manusia memilih langkah yang kurang tepat dalam jalan hidupnya.
Salah satu jalan pintas dalam perjalanan hidup seorang perempuan akibat cobaan-cobaan hidup yang berat dirasakan, perempuan tersebut terjun dalam dunia pelacuran. Fenomena praktek pelacuran merupakan masalah sosial yang sangat menarik dan tidak ada habisnya untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Mulai dari dahulu sampai sekarang masalah pelacuran adalah masalah sosial yang sangat sensitive yang menyangkut peraturan sosial, moral, etika, bahkan agama mengartikan istilah pelacuran sebagai perihal menjual diri. Berdasarkan maknanya, mereka yang melacurkan diri akan lebih jelas apabila disebut sebagai pelacur.
(18)
Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi. Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat bahwa wanita sebagai objek seks. Pekerja seks komersial pada umumnya adalah seorang wanita. Wanita adalah mahluk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik. Mempunyai kebutuhan daar yang bermacam-macam sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Wanita/ibu adalah penerus generasi keluarga dan bangsa sehingga keberadaan wanita sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat diperlukan. Wanita/ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga.
2. Jenis-Jenis Pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK)
Seperti jenis kelompok pekerjaan yang lain, pelacuran juga memiliki keragaman. Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa pelacuran terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Penggolongan pelacur ditentukan oleh usia, lokasi, tingkat pendidikan dan daya tarik. (Kartono, 1997)
a. Prostitusi (Koentjoro, 2004).
Untuk tarif pelayanan seks terendah ditawarkan oleh para pelacur jalanan, pelacur seperti ini sering beroperasi selalu berpraktik di tepi jalan atau di lokalisasi liar, di kawasan kumuh, di pasar, di kuburan, di sepanjang rel kereta api dan di lokasi lain yang sulit dijangkau bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan
(19)
dengan pelacur tersebut (Hull dkk, 1997). Pelacur seperti ini digolongkan kedalam pelacurlow class(Kartono, 2003).
Pelacur low class pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus dan kurang berpendidikan (Kartono, 1997). Tarif seorang pelacur low classseperti ini sangat rendah dibandingkan dengan pelacur high class (Hull, 1997). Untuk pelacur tingkat rendah (low class),mbiasanya berusia 11-15 tahun yang belum berpengalaman walaupun banyak diantara pelacur low class yang berusia lebih dari itu (Kartono, 1997). Untuk seorang pelacur low class, jumlah uang yang mereka keluarkan hanya untuk kebutuhan primer dan mendasar seperti makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya (Mudjiono, 2005).
Koentjoro (2004) juga menambahkan beberapa hal yang memotivasi seorang pelacurlow classuntuk menjadi seorang pelacur yaitu:
1. Kemiskinan 2. Pendapatan rendah 3. Pendidikan rendah
4. Tidak memiliki keterampilan 5. Pengangguran
b. Gadis Panggilan(High Class)(Kartono 2003)
Gadis panggilan menurut Kartono (2003) terdiri dari wanita-wanita yang telah bekerja seperti wanita karier dan mahasiswi-mahasiswi. Gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class adalah karena mereka bersedia untuk dipekerjakan melalui layanan jasa informasi tertentu (Feldman dan MacCulloch
(20)
dalam Koentjoro, 2004). Sesuai dengan pernyataan diatas, Mudjiono (2005) mengatakan bahwa pelacur high class memiliki sistem kerja yang tidak menunjukkan adanya tempat lokalisasi (market place) yang terbuka oleh umum seperti yang dilakukan oleh pelacurlow class.
Karena pelacur jenis ini memiliki pendidikan yang tinggi seperi wanita karier dan mahasiswi, maka akan berhubungan dengan tarif pelayanan (Koentjoro, 2004). Semakin tinggi pendidikan pelacur, tarif yang diberikan akan semakin mahal. Harga pelayanan seksual dengan pelacur terpelajar jauh lebih mahal dibandingkan dengan pelacur biasa (low class) karena pelanggan menganggapnya lebih bergengsi (Koentjoro, 2004).
Julian (1986) mengatakan bahwa untuk menjadi seorang pelacur high class, pelacurhigh classtersebut harus menjalani pelatihan selama lebih kurang dua atau tiga bulan. Pelatihan tersebut berisi tentang sikap dan perilaku yang harus mereka berikan kepada pelanggan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Fieldman dan MacCullah (dalam Koentjoro, 2004), ia mengatakan bahwa untuk menjadi pelacur yang profesional diperlukan adanya pelatihan. Oleh karena itu berdasarkan kriteria diatas gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class.
3. Pekerja Seks Berdasarkan Modus Operandinya.
Menurut Koentjoro (2004) Berdasarkan modus operasinya, pekerja seks komersial di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
(21)
a. Terorganisasi
Yaitu mereka yang terorganisasi dengan adanya pimpinan, pengelola atau mucikari, dan para pekerjanya mengikuti aturan yang mereka tetapkan. Dalam kelompok ini adalah mereka yang bekerja di lokalisasi, panti pijat, salon kecantikan.
b. Tidak Terorganisasi
Yaitu mereka yang beroperasi secara tidak tetap, serta tidak terorganisasi secara jelas. Misalnya pekerja seks di jalanan, club malam, diskotik.
4. Penyebab Munculnya Pekerja Seks Komersial
Menurut Rakhmat Jalaluddin (2004 : 10 ) Banyaknya faktor yang melatar belakangi terjerumusnya pekerja seks komersial antara lain adalah :
a. Faktor Ekonomi
Ekonomi adalah pengetahuan dan penelitian azas penghasilan, produksi, distribusi, pemasukan dan pemakaian barang serta kekayaan, penghasilan, menjalankan usaha menurut ajaran ekonomi. Salah satu penyebab faktor ekonomi adalah sulit mencari pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari yang merupakan sumber penghasilan. Ketiadaan kemampuan dasar untuk masuk dalam pasar kerja yang memerlukan persyaratan, menjadikan wanita tidak dapat memasukinya. Atas berbagai alasan dan sebab akhirnya pilihan pekerjaan inilah yang dapat dimasuki
(22)
dan menjanjikan penghasilan yang besar tanpa syarat yang susah. Berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) tahun 2003-2004 menjadi pekerja seks komersial karena iming-iming uang kerap menjadi pemikat yang akhirnya justru menjerumuskan mereka ke lembah kelam.
Alasan seorang wanita terjerumus menjadi pekerja seks adalah karena desakan ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun sulitnya mencari pekerjaan sehingga menjadi pekerja seks merupakan pekerjaan yang termudah. Penyebab lain diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi pekerja seks merupakan pilihan.
Faktor pendorong lain untuk bekerja sebagai PSK antara lain terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup menjadi PSK merupakan pekerjaan yang paling mudah mendapatkan uang.
b. Gaya Hidup
Gaya hidup adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pergeseran norma selalu terjadi dimana saja apalagi dalam tatanan masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan norma hukum seringkali diabaikan demi mencapai sesuatu tujuan.
Kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindari kesulitan hidup, selain itu untuk menambah kesenangan melalui jalan pintas. Dikutip dari TV7.com seorang pengarang best seller “Jakarta Undercover” Moammar MK
(23)
mengungkapkan bahwa pekerja seks komersial sebagian rela menjajakan tubuhnya demi memenuhi kebutuhanlifestyle.
Menjadi pekerja seks dapat terjadi karena dorongan hebat untuk memiliki sesuatu. Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi sesuatu yang ingin dimiliki.
Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari nafkah sebagai PSK.
Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan makin jauhnya agama dari pribadi-pribadi yang terlibat dalam aktifitas prostitusi maupun masyarakat. Pergeseran sudut pandang tentang nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus di miliki.
c. Keluarga yang tidak mampu
Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya.
Masalah yang sering terjadi dalam keluarga adalah masalah ekonomi. Dimana ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan didalam keluarga, sehingga kondisi ini memaksa para orang tua dari kelurga miskin memperkerjakan anaknya sebagai pekerja seks.
(24)
Pelacuran erat hubungannya dengan masalah sosial. Pasalnya kemiskinan sering memaksa orang bisa berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup termasuk melacurkan diri ke lingkaran prostitusi. Hal ini biasanya dialami oleh perempuan-perempuan kalangan menengah kebawah.
d. Faktor Kekerasan
Kekerasan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap seseorang termasuk ancaman dan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena, kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi (Depkes RI, 2003). Dimana salah satu faktor kekerasan adalah:
1) Perkosaan
Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal dimana si korban dipaksa untuk melakukan aktifitas seksual khususnya penetrasi alat kelamin diluar kemauannya sendiri.
Perkosaan adalah adanya prilaku kekerasan yang berkaitan dengan hubungan seksual yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. ( I Made Winaya : 2006 )
Banyaknya kasus kekerasan terjadi terutama kekerasan seksual, justru dilakukan orang-orang terdekat. Padahal mereka semestinya memberikan
(25)
perlindungan dan kasih sayang serta perhatian yang lebih dari pada orang lain seperti tetangga maupun teman.
Seorang wanita korban kesewenangan kaum lelaki menjadi terjerumus sebagai pekerja seks komersial. Dimana seorang wanita yang pernah diperkosa oleh bapak kandung, paman atau guru sering terjerumus menjadi pekerja seks.
Korban pemerkosaan menghadapi situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga di mata masyarakat, keluarga, suami, calon suami dapat terjerumus dalam dunia prostitusi. Artinya tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.
Biasanya seorang anak korban kekerasan menjadi anak yang perlahan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Tetapi di sisi lain juga menimbulkan kegairahan yang berlebihan. Misalnya anak yang pernah diperkosa banyak yang menjadi pekerja seks komersial.
2) Dipaksa / Disuruh Suami
Dipaksa adalah perbuatan seperti tekanan, desakan yang mengharuskan / mengerjakan sesuatu yang mengharuskan walaupun tidak mau.
Istri adalah karunia Tuhan yang diperuntukkan bagi suaminya. Dalam kondisi yang wajar atau kondisi yang normal pada umumnya tidak ada seorang suamipun yang tega menjajakan istrinya untuk dikencani lelaki
(26)
lain. Namun kehidupan manusia di dunia ini sangat beragam lagi berbeda-beda jalan hidupnya, sehingga ditemui pula kondisi ketidak wajaran atau situasi yang berlangsung secara tidak normal salah satunya adalah suami yang tega menyuruh istrinya menjadi pelacur. Istri melacur karena disuruh suaminya, apapun juga situasi dan kondisi yang menyebabkan tindakan suami tersebut tidaklah dibenarkan, baik oleh moral ataupun oleh agama. Namun istri terpaksa melakukannya karena dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mengingat suaminya adalah pengangguran.
e. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik, lingkungan psikososial, lingkungan biologis dan lingkungan budaya. Lingkungan psikososial meliputi keluarga, kelompok, komuniti dan masyarakat. Lingkungan dengan berbagai ciri khusunya memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga, sehingga penyimpangan prilaku yang tidak baik dapat terhindari. Dimana salah satu faktor lingkungan adalah :
1) Seks Bebas
Pada dasarnya kebebasan berhubungan seks antara laki-laki dan wanita sudah ada sejak dahulu, bahkan lingkungan tempat tinggal tidak ada aturan
(27)
yang melarang siapapun untuk berhubungan dengan pasangan yang diinginkannya.
Lingkungan pergaulan adalah sesuatu kebutuhan dalam pengembangan diri untuk hidup bermasyarakat, sehingga diharapkan terpengaruh oleh hal-hal yang baik dalam pergaulan sehari-hari.
Mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas tidak bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang.
Di beberapa kalangan remaja ada yang beranggapan kebebasan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang wajar.
2) Turunan
Turunan adalah generasi penerus atau sesuatu yang turun-temurun. Tidak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi sosial. Melalui keluarga anak belajar berespons terhadap masyarakat dan beradaptasi ditengah kehidupan yang lebih besar kelak.
Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang mempengaruhi perkembangan orang yang ada didalamnya. Adakalanya melalui tindakan-tindakan, perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan. Orang tua atau saudara bersikap atau bertindak sebagai patokan, contoh,
(28)
model agar ditiru. Berdasarkan hal-hal diatas orang tua jelas berperan besar dalam perkembangan anak, jadi gambaran kepribadian dan prilaku banyak ditentukan oleh keadaan yang ada dan terjadi sebelumnya.
Seorang anak yang setiap saat melihat ibunya melakukan pekerjaan itu, sehingga dengan tidak merasa bersalah itupula akhirnya ia mengikuti jejak ibunya. Ibu merupakan contoh bagi anak.
3) Broken Home
Keluarga adalah sumber kepribadian seseorang, didalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Lingkungan keluarga dan orang tua sangat berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang.
Lingkungan rumah khususnya orang tua menjadi sangat penting sebagai tempat tumbuh dan kembang lebih lanjut. Perilaku negatif dengan berbagai coraknya adalah akibat dari suasana dan perlakuan negatif yang di alami dalam keluarga. Hubungan antara pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antar orang tua, saudara menjadi faktor yang penting munculnya prilaku yang tidak baik. Dari paparan beberapa fakta kasus anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya, menjadi anak-anak broken home yang cenderung berprilaku negatif seperti menjadi pecandu narkoba atau terjerumus seks bebas dan menjadi PSK.
(29)
Anak yang berasal dari keluarga broken home lebih memilih meninggalkan keluarga dan hidup sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sering mengambil keputusan untuk berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial, dan banyak juga dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang dikeluarganya tidak terpenuhi.
C. Dampak Prostitusi
Kehidupan para pelaku prostitusi sangatlah primitif. Dilihat dari segi sosiologinya, mereka dipandang rendah oleh masyarakat sekitar, di cemooh, dihina, di usir dari tempat tinggalnya, dan lain – lain sebagainya. Mereka seakan akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresahkan warga sekitar serta mencemarkan nama baik daerah tempat berasal mereka.
Dilihat dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya. Dari aspek kamtibmas praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan criminal. Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.
Semua perilaku pasti memiliki efek di belakangnya, entah itu efek positif maupun negatif. Begitupun pelacuran, karena pelacuran merupakan perilaku yang
(30)
menyimpang dari norma masyarakat dan agama, maka pelacuran hanya akan mengakibatkan efek negatif, antara lain:
a. Menimbulkan dan menyebarkuaskan penyakit kelamin dan kulit, terutama syphilis dan gonorrhoe [kencing nanah].
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakkan.
c. Mendemoralisasikan atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak-anak muda pada masa puber dan adolesensi. d. Berkolerasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika. e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama.
f. Dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satyriasis, ejakulasi premature
Keberadaan prostitusi dalam ketertiban dan kehidupan masyarakat
Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik, yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup, baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani, maupun kebutuhan sosial.Manusia berpacu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya demi mempertahankan kehidupan diri sendiri, maupun keluarganya.
Berbagai upaya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup dikerjakan manusia agar dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Kenyataannya, dalam usaha mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup
(31)
dihadapi adanya kesulitan-kesulitan, terutama yang dialami kaum wanita di Indonesia.
Sering kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja di luar rumah untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga tidaklah mudah karena lapangan kerja yang sangat terbatas di samping tingkat pendidikan yang rendah. Dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki menyebabkan mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat dapat menghasilkan uang. Akhirnya banyak wanita yang dengan terpaksa terjun ke dalam bisnis pelacuran.
Menurut Verkuyt (1984: 133 ), baik dahulu maupun sekarang kita sering berdua haluan, di mana kita melarang pelacuran tetapi sebaliknya kita terima juga sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain mengekang kebutuhan biologis (libido) seksual dapat mengakibatkan bahaya, bahkan menimbulkan gangguan jiwa jika tidak diberi jalan keluar dalam promiskuitas/pelacuran (Soekamto 1996: 103)
Kontradiksi pelacuran dari segi agama dengan keberadaan manusia itu sebagai makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan biologis terkadang membuat kita harus menempatkan secara hati hati. Sebab bila tidak maka manusia akan menganggap nilai-nilai agama dapat di kesampingkan pada saat melakukan pelacuran.
Menurut Gavin Jones (dalam Allison 1995: 21) pelacuran adalah tidak lebih dari pengeksplotasian wanita sebagai pemuas nafsu seks oleh seorang laki-laki
(32)
dan untuk itu diberi imbalan sejumlah uang sesuai dengan tarif atau kesepakatan bersama. Bisnis seks menjalar ke mana-mana, daerah pinggiran makin ramai ketika lokalisasi di tengah kota diusik. Semua kebijakan pemerintah bersifat semu dan malu-malu, kelihatan sekali bahwa pelacuran itu merupakan bentuk kegiatan bisnis yang sangat menjanjikan.
Prostitusi merupakan masalah sosial yang berpengaruh terhadap perkembangan moral. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum. Selanjutnya dengan perkembangan teknologi, industry dan kebudayaan, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai tingkatan yang dilakukan secara terorganisir maupun individu.
Profesi sebagai pelacur dijalani dengan rasa tidak berdaya untuk merambah kemungkinan hidup yang lebih baik. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda, profesi sebagai pelacur mereka jalani tanpa menghiraukan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh praktik pelacuran dapat menyebabkan berbagai permasalahan baik pada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sosialnya.
Permasalahan itu dapat berupa pengaruh pada dirinya, yaitu: (Koentjoro : 2004)
1. Merasa tersisih dari kehidupan sosial (dissosiasi). Seseorang menjadi pelacur pasti merasa tersisih dari pergaulan sosial karena profesi pelacur bukanlah pekerjaan yang halal.
(33)
2. Terjadinya perubahan dalam pandangan hidup. Mereka tidak lagi memiliki pandangan hidup dan masa depan yang baik.
3. Perubahan terhadap penilaian moralnya. Seorang pelacur tidak pernah berpikir mana yang baik dan mana yang buruk, yang penting bagi mereka adalah bagaimana caranya mendapatkan uang dan dapat hidup mewah.
Kepala Dinas Sosial Kota Bandar Lampung Akuan Efendi menegaskan di Kota Tapis Berseri ini sudah tidak ada lokalisasi prostitusi. Kalaupun masih ada, itu jelas ilegal karena sudah ada perda yang mengatur pelarangan tempat prostitusi di kota ini. Akuan mengatakan kalau masih adanya tempat prostitusi itu bukan karena perda larangan prostitusi tidak dijalankan. Melainkan karena memang penyakit masyarakat seperti sulit dihilangkan. Jadi, meski sudah dilarang, lokalisasi kembali tumbuh karena memang ada sebagian masyarakat yang membutuhkannya. (Kompas.Juni 2011)
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung Reflianto menegaskan, tempat-tempat yang menimbulkan kemaksiatan harus ditutup. Oleh karena itu, Refli mengimbau kepada masyarakat untuk membantu pemerintah memberangus tempat-tempat maksiat itu. ’’Daripada akan menimbulkan malapetaka di kemudain hari, bukankan lebih baik dilarang dan dihilangkan dari sekarang,” ujarnya. (Radar Lampung, 12 April 2011)
Refli mengatakan, sesuai peran MUI, maka diminta atau tidak diminta pun akan terus mendorong pemerintah untuk segera menutup tempat-tempat maksiat tersebut. Termasuk tempat-tempat karaoke yang disalahgunakan, juga dilarang dan kalau bisa ditutup karena jelas dapat merusak moral dan akhlak masyarakat.
(34)
Beberapa dampak yang ditimbulkan oleh pelacuran adalah: ( Koentjoro : 2004 )
1) Menimbukan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit, seperti Syphilis dan Gonorrhoe (kencing nanah).
2) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya merupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.
3) Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak -anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi.
4) Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin, dan lain-lain).
5) Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama.
6) Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain.
Terjadinya disfungsi seksual, misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satiriasis, ejakulasi prematur, yaitu pembuangan sperma sebelum zakar melakukan penetrasi dalam vagina atau liang senggama, dan lain-lain.
Prostitusi di Kalangan Remaja
Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa di mana individu dalam proses pertumbuhannya terutama fisik telah mencapai ketenangan dalam kematangan. Remaja atau adolescenceberasal dari bahasa latin yaitu "adolescere" yang berarti
(35)
tumbuh atau tumbuh periode pertumbuhan fisiknya sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock 1993: 206).
Dalam memberikan pengertian mengenai remaja dalam masyarakat Indonesia yaitu dengan penetapan tentang batasan remaja berdasarkan batasan usia adalah sulit. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman suku maupun adat istiadat. Maka dari itu tidak adanya keseragaman yang berlaku secara nasional. Namun yang menjadi pedoman umum kita dapat mernakai batasan usia dari 11 -24 tahun dan belum menikah. Adapun seseorang yang telah menikah tidak dapat dikatakan sebagai remaja. Adapun pertimbangan-pertimbangan kita adalah sebagai berikut:
1) Usia 11 tahun merupakan usia yang pada umumnya telah tampak tanda-tanda dari bentuk fisiknya.
2) Usia 11 tahun telah dianggap sudah akil balig.
3) Pada usia tersebut telah memiliki bentuk kesempurnaan dari perkembangan jiwanya.
4) Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal.
5) Pengertian remaja dapat diberi batasan yaitu remaja yang belum menikah.
Menurut Elizabeth. B. Hurlock, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya (Hurlock 1993: 207), yaitu:
(36)
1) Masa remaja sebagai periode yang penting, masa di mana pertentangan fisik yang cepat.
2) Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya.
3) Masa remaja sebagai masa perubahan yang terdiri dari lima perubahan yang sama hampir bersifat universal, yaitu:
- Perubahan meningkatnya emosional
- Perubahan pada struktur tubuh
- Perubahan pada minat dan peran
- Perubahan pada minat dan pola perilaku dan nilai-nilai.
- Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
4) Masa remaja sebagai usia bermasalah
5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas
6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, maksudnya timbulnya anggapan negatif pada masa remaja dari masyarakat.
7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, yakni memandang kehidupan dari kacamatanya dari diri sendiri.
8) Masa remaja sebagai ambang masa remaja yaitu adanya kegelisahan akibat semakin mendekatnya usia kematangan yang sah.
(37)
Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya perilaku seks bebas di kalangan remaja menurut R. Sembiring (2002), yakni:
1) Interaksi dan komunikasi yang kurang baik, baik kualitas dan kuantitas dengan orang tua maupun otoritas lain, untuk itu orang tua terlalu sibuk dan atau remaja enggan serta merasa sukar dan rikuh untuk melaksanakannya.
2) Disiplin hidup yang kurang mantap serta disiplin diri yang tidak terarah sehingga pikiran dan tubuh tidak atau kurang terkendali, terlebih-lebih dalam hal seksualitasnya.
3) Lingkungan hidup remaja masa kini yang cenderung menggelitik atau merangsang remaja, seperti:
- Sarana kebebasan mengungkapkan seksualitas yang tersedia luas berupa club, diskotik, motel, dan panti pijat.
- Fasilitas komunikasi transportasi yang serba mutakhir misalnya telepon, handy talki, taksi dan lain-lain yang pada awalnya untuk kemudahan, namun kenyataannya justru dipakai untuk kemungkaran.
- Merebaknya bahan bacaan dan tontonan pornografis yang begitu mudah diperoleh.
- Pendidikan seks yang tidak atau kurang baik diberikan dirumah maupun di sekolah sehingga informasi lebih banyak diperoleh melalui teman sebaya atau sumber yang tidak atau kurang tahu atau salah tahu tentang seks (Sembiring 1992: 4).
(38)
D. Kerangka Pemikiran
Pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang sudah dikenal sejak masa lampau dan sulit untuk dihentikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Pelacuran ini selain meresahkan masyarakat juga dapat mematikan karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman.
Membicarakan pelacuran sama artinya membicarakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimana pun. Menurut Kartono (1988), pelacuran atau yang sering disebut dengan prostitusi atau pemuas nafsu seks, merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.
Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang pelacuran masi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan ada di hampir setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Masalah prostitusi adalah masalah struktural. Permasalahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat adalah mereka masih memahami masalah prostitusi sebagai masalah moral. Mereka tidak menyadari persepsi moral ini akan mengakibatkan sikap "menyalahkan korban" yang ujungnya menjadikan korban semakin tertindas. Di antara alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Struktur kebijakan tidak memihak kepada kaum yang
(39)
lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin menumpuk harta kekayaannya.
Fenomena pelacuran merupakan salah satu bentuk kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani dan jenis kriminalitas ini banyak didukung oleh faktor ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dimana dalam masyarakat itu sendiri mendapat pemenuhan akan kebutuhan secara manusiawi. Keinginan yang timbul ini merupakan akibat dari nafsu biologismanusia yang sederhana. Ketika semua sumber kepuasan dari semua individu tidak mampu memenuhi kebutuhan, maka jalan keluar pelacuran dapat dipakai sebagai alternatif untuk memenuhinya, dan perubahan dalam sistem ekonomi tidak akan mampu menghilangkan kedua sisi kebutuhan tersebut.
Bentuk prostitusi seperti praktek penjualan jasa seksual atau yang disebut juga pekerja seks komersial selayaknya dianggap sebagai salah satu penyakit masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan terhadap norma perkawinan yang suci. Namun, berkembangnya praktek di sekitar kita tidak dapat dipisahkan dari nilai budaya masyarakat Indonesia sendiri yang memberikan peluang bagi praktek ini untuk terus berkembang dari masa ke masa.
Sesungguhnya, pelacuran merupakan perbuatan terlarang dan dianggap sebagai perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat, serta sudah jelas secara tertulis diharamkan oleh Norma sosial, Undang-undang maupun norma Agama. Meski dilarang sedemikian rupa, namun Bentuk prostitusi yang dianggap termasuk perbuatan zina ini masih saja ada bahkan terorganisir secara professional.
(40)
Bahkan fakta menunjukkan bahwa tempat-tempat yang menyediakan fasilitas perbuatan zina ini disediakan dan dilindungi oleh badan hukum. Konsumen penikmat fasilitas ini pun beragam dari orang miskin sampai orang kaya. Dari kelas taman sampai dengan hotel berbintang dijadikan tempat berkembangnya praktek prostutisi yang jelas-jelas merusak kesehatan moral bangsa.
Sampai detik ini, prostitusi belum dapat dihentikan, pemerintah pun seolah-olah melegalkan praktek yang telah mendarah daging di masyarakat Indonesia ini. Padahal masyarakat sendiri sudah banyak mengetahui bentuk ancaman yang akan dihadapinya apabila prostutisnya ini tetap berkembang, seperti ancaman terhadap sex morality, kehidupan rumah tangga, kesehatan, kesejahteraan kaum wanita, dan bahkan menjadi problem bagi pemerintah lokal.
Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.
Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan. Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat. Kalaupun ingin
(41)
bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.
Melihat banyaknya PSK yang berkeliaran, tentu masyarakat mengharapkan Pemkot Bandarlampung bersama instansi terkait cepat tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar.
(42)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah urutan kerja yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat-alat apa yang diperlukan untuk mengukur maupun mengumpulkan data serta bagaimana melakukan penelitian di lapangan (Nasir,1998: 5). Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Dalam buku Lexy Moleong (2007: 8 ) Penelitian Kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Secara holistik mendiskripsikan dengan bahasa dan kata pada konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Menurut Suyono (1985:307), penelitian kualitatif adalah penelitian dengan metode pengumpulan sebanyak mungkin fakta detail secara mendalam mengenai
(43)
suatu masalah atau gejala guna mendapat pengertian tentang sebanyak mungkin sifat masalah atau gejala itu.
Karena pendapat tersebut di atas sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis untuk menganalisis masalah dampak keberadaan prostitusi bagi masyarakat Panjang, maka tipe penulisan kualitatif penulis rasa tepat digunakan sebagai tipe penelitian pada penelitian ini.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan pada cafe-cafe yang terletak di Jln Yos Yudarso daerah Panjang, Bandar Lampung. Dipilihnya lokasi ini dikarenakan daerah ini sangat terkenal dengan kegiatan prostitusinya, mulai dari warung remang-remang, café, hingga hotel kelas melati yang berada di daerah panjang.
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah pemusatan konsentrasi pada tujuan dari penelitian yang dilakukan. Fokus penelitian harus dinyatakan secara eksplisit untuk memudahkan peneliti sebelum melakukan observasi. Fokus penelitian merupakan garis besar dari pengamatan penelitian, sehingga observasi dan analisa hasil penelitian lebih terarah.
Menurut Lexy J Meleong (2000), fokus penelitian dimaksudkan untk membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan yang tidak relevan, agar tidak dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan, walaupun data itu menarik. Perumusan fokus atau masalah dalam penelitian kualitatif bersifat tentatif, artinya penyempurnaan rumusan fokus atau masalah masih tetap
(44)
dilakukan sewaktu penelitian sudah berada dilapangan berkaitan erat, bahkan seringkali disamakan dengan masalah yang akan dirumuskan dan menjadi acuan dalam penentuan fokus penelitian.
Dengan adanya fokus penelitian, akan menghindari pengumpulan data yang serampangan dan hadiahnya data yang melimpah ruah. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada :
1. Tanggapan masyarakat Panjang atas keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang
2. Dampak keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang di tinjau dari :
a. Sosial
b. Ketertiban
D. Penentuan Informan
Informan adalah orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Faisal (1999),
agar memperoleh informasi yang lebih terbukti, terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan antara lain :
1. Subjek yang lama dan intensif dengan suatu kegiatan atau aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian.
2. Subjek yang masih terkait secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian.
3. Subjek yang mempunyai cukup banyak informasi, banyak waktu, dan kesempatan untuk dimintai keterangan.
(45)
4. Subjek yang berada atau tinggal pada sasaran yang mendapat perlakuan yang mengetahui kejadian tersebut.
Informan yang dipilih dalam penelitian ini ada 6 (enam) orang informan, 1 (satu) informan berasal dari kelurahan setempat dan 5(lima) orang informan adalah warga yang telah lama tinggal di daerah Panjang.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik, yang digabungkan sekaligus dalam mengambil data pada objek penelitian, hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang padat, dan tepat serta komprehensif dengan demikian dapat memenuhi standar data yang valid, dalam arti memiliki tingkat error data yang lebih kecil. Berikut teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.
Menurut Kamus Ilmiah Populer (Indrawan, 2000:187) kata observasi berarti suatu pengamatan yang teliti dan sistematis, dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan metode observasi seperti yang dikatakan Hadi (1983: 136 dan Nurkancana (1990:51-52) adalah:
Suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis baik secara langsung maupun secara tidak langsung pada tempat yang diamati, secara garis besar metode observasi ini mempunyai tiga bagian yakni: Jika dilihat dari rencana kerja terdiri dari: observasi berstruktur, dan tidak berstruktur. Dari sudut posisi observer terdiri dari: Observasi partisipasi, observasi non partisipasi, dan Observasi quasi partisipasi. Serta jika ditinjau dari situasi lokasi yang diobservasi terdiri dari observasi situasi bebas, dan observasi manipulasi.
Dalam proses pengumpulan data dilapangan penelitian, digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
(46)
a. Metode Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistimatis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki”. Dengan demikian metode observasi bisa digunakan dan dilakukan untuk melihat dan mengamati fenomena-fenomena yang dimaksud yang akan turut menentukan hasil dari penelitian yang ada. Adapun observasi yang digunakan adalah observasi non partisan yaitu suatu kegiatan observasi dimana peneliti tidak aktif di dalam kegiatan dari obyek yang diteliti.
a. Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data yang diselenggarakan atau dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sumber data. Dalam hal ini menggunakan jenis wawancara bebas terpimpin yang dimaksud agar tidak terjadi kekakuan tapi terserah dengan pedoman yang diterapkan (Sutrisno Hadi, 2006 : 72). wawancara ditujukan kepada lurah, pihak kepolisian, masyarakat yang berada di lingkungan prostitusi daerah Panjang.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah proses pengumpulan data melalui menghimpun data yang tertulis dan tercetak . menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 15) menyatakan bahwa dokumentasi adalah “Mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat agenda dan sebagainya”
(47)
F. Teknik Analisa Data
Nawawi dan Mimi Martini (1994:189) mengemukakan bahwa tujuan analisa data, adalah untuk menjelaskan, mendeskripsikan, serta menafsirkan hasil penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti. Menurut Usman dan Purnomo Seriyadi (1995:86), tujuan analisis data kualitatif adalah untuk mengungkapkan :
1. Data apa yang masih perlu dicari,
2. Hipotesis apa yang perlu diuji,
3. Pertanyaan apa yang perlu dijawab,
4. Metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan
5. Kesalahan apa yang harus segera diperbaiki.
Dari definisi yang telah dijabarkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis adata adalah suatu usaha untuk mengkaji ulang dari hasil yang telah dilakukan kategori sehingga bisa dijadikan pola yang memiliki relevensi dengan teori-teori yang dilakukan dalam penelitian, yang kemudian ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data menurut Usman dan Purnomo Setiyadi (1995:85-89), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Jika dalam
(48)
penelitian kualitatif terdapat data yang bersifat kuantitatif dalam bentuk angka-angka tersebut jangan dipisahkan dari kata-katanya secara kontekstual, sehingga tidak mengurangi maknanya.
Setelah data atau laporan terkompul dan semakin banyak, maka data tersebut perlu direduksi yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Data-data reduksi direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-waktu diperlukan. Reduksi dapat pula membantu dalam memberikan kode-kode pada spek-aspek tertentu.
2. Penyajian Data
Kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif yang dibantu dengan matrik, grafik, jaringan, tabel, dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman peneliti terhadap informasi yang diperoleh. Data yang semakin bertumpuk-tumpuk itu kurang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh. Oleh sebab itu diperlukan display data. Display data menyajikan data dalam bentuk matrix, network, chart atau grafik, dan sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat menguasai data dan tidak terbenam dengan setumpuk data.
3. Penarikan Kesimpulan
Mencari arti, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa yujuan ulang pada catatan-catatan
(49)
lapangan sehingga data-data yang ada telah di uji validasinya. Untuk mencari makna yang telah diperoleh, maka peneliti berusaha mencari model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi dari data yang didapatkan, peneliti mencoba untuk mengambil kesimpulan. Mula-mula kesimpulan tersebut kabur, tetapi lama kelamaan semakin jelas karena data mendukung. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat dengan cara mengumpulkan data baru.
Dalam suatu laporan penelitian kualitatif, dapat dikatakan ilmiah jika persyaratan validitas, reliabilitas, dan objektivitasnya dapat terpengaruhi. Agar persyaratan tersebut dapat terpenuhi, maka beberapa usaha yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Kreadibilitas
a. Waktu yang digunakan peneliti harus cukup lama
b. Pengamatan terus-menerus
c. Mengadakan triagulasi yaitu memeriksa kebenaran data yang telah diperolehnya kepada pihak-pihak lainnya yang dapat dipercaya
d. Mendiskusiakan dengan teman seprofesi
e. Menganalisis kasus negatif, yaitu ksus-kasus yang bertentangan dengan hasil penelitiannya pada saat-saat tertentu.
f. Menggunakan alat-alat bantu dalam mengumpulkan data seperti tape, recorder, camera, vidiodan sebagainya
(50)
g. Menggunakan member check, yaitu memeriksa kembali informasi responden dengan mengadakan pertanyaan ulang atau mengumpulkan sejumlah informan untuk dimintai pendapatnya tentang data yang telah dikumpulkan.
2. Transferabilitas
Transferabilitas adalah apabila hasil penelitian kualitatif itu telah dapat digunakan atau diterapkan pada kasus atau situasi lainnya. Transferabilitas dapat ditingkatkan dengan cara melkukan penelitian dibeberapa lokasi.
3. Dependabilitas dan Konfirmabilitas
Dependabilitas ialah apabila hasil penelitian memberikan hasil yang sama dengan penelitian yang diulangi oleh pihak lain. Namun dalam penelitian kualitatif, hasil penelitian sukar untuk diulangi oleh puhak lainnya karena desainnya yang emergent, lahir selama penelitian berlangsung. Untuk membuat penelitian kualitatif memenuhi dependebilitas, maka perlu disatukan dengan konfirmabilitas yang dilakukan bersama pembimbing. Pembimbing inilah yang berhak memeriksa kebenaran data tersebut serta penafsirannya.
(51)
BAB V PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diperloleh melalui metode wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang penulis anggap memeiliki kapasitas untuk memberikan informasi. Penulis menentukan pilihan kepada 6 (enam) orang informan dengan deskrpsi sebagai berikut :
Informan I
Nama M Supriyadi, S.Sos, Jenis kelamin laki-laki, Usia 38 tahun, Pendidikan terakhir Sarjana Strata satu (S1), Pekerjaan Lurah Panjang, di tengah kesibukan informan menjadi lurah Panjang peneliti akhirnya bisa bertemu dengan informan dengan maksud ingin mewawancarai informan selaku lurah Panjang. Menurut informan dirinya telah menjadi lurah Panjang sejak tahun 2009 “saya diangkat menjadi lurah kira-kira pertengahan tahun 2009, sebelumnya saya hanya menjadi staff dikeluarahan ini, dan alhamdulliah saya di angkat menjadi lurah Panjang”.
Menurut informan transaksi prostitusi yang ada di kota Panjang ini telah ditutup sesuai dengan keputusan gubernur tahun 1994 tentang Prostitusi dan sekarang hanya terdapat cafe hiburan malam saja, walaupun demikian sering kali
(52)
cafe-cafe ini dijadikan tempat prostitusi. “sesusai dengan surat keputusan gubernur tahun 1994, no : G / 370/ B. III/ HK/ 1994 tentang pencabutan daerah ini sebagai daerah prostitusi, yang mana semua hak dan kewajiban dicabut oleh pemerintah, tidak ada yang namanya prostitusi, dulu ada pengawasan dari pemerintah daerah, mereka para PSK dibina dengan cara adanya pendekatan sosial keagamaan, ada pengajian diajarkan tentang agama agar para PSK tidak mengulangi lagi dan agar para PSK berhenti dari kegiatan yang haram ini, sedangkan dari segi kesehatan adanya pemeriksaan setiap bulan sekali dari dinas kesehatan yang mana ada utusan dari puskesmas setempat memeriksa kesehatan para wanita pekerja seks, adapunn setahu saya dulu ketika mereka diperiksa kesehatan, menurut data petugas puskesmas kurang lebih 94% para PSK positif terkena G.O”.
Menurut informan keberadaan cafe-cafe ini sering dijadikan tempat prostitusi izin cafe-cafe yang berdiri di daerah Panjang mungkin tak ada izin dari Pemerintah “Sejak dihapuskan nama dari tempat prostitusi ini barulah bermunculan cafe-cafe yang ada di daerah Panjang ini, saya tidak tahu pasti keberadaan cafe-cafe ini telah mengantongi izin dari Pemerintah atau tidak, dan cafe-cafe yang ada disini beroperasi apakah sesuai dengan izin mereka kepada Pemerintah atau tidak dan jelas cafe-cafe disini bukan hanya cafe biasa, akan tetapi cafe yang menyediakan para wanita-wanita untuk dikencani oleh para tamunya”.
Menurut informan keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang ini sangatlah mengganggu, dikarenakan pencemaran nama daerah Panjang sebagai tempat prostitusi dan adanya prostitusi mengganggu kerukunan hidup warga sekitar dikarenakan adanya musik-musik yang kuat sekali ketika malam hari “cafe-cafe yang ada di daerah Panjang ini sudah sangat terkenal sekali, menyediakan
(53)
minuman keras, karokean, dan wanita-wanita, terkadang mungkin lebih dari itu, yaitu transaksi narkoba, oleh karena itu nama daerah Panjang menjadi jelek, mungkin anda tidak merasakan, ketika saya keluar ke daerah lain, mereka menanyakans saya tinggal dimana?, lalu saya jawab : di Panjang. Mereka pun menganggap bahwasannya tempat saya adalah tempat prostitusi, walaupun itu benar karena adanya cafe dan tempat hiburan malam lainnya, sedangkan dari kerukunan warga, warga yang tinggal di daerah ini sangatlah terganggu dengan adanya cafe-cafe ini, mereka yang kerja seharian, dari pagi hingga sore ketika ingin beristirahat terganggu dengan suara musik yang sangat keras yang berasal dari cafe-cafe tersebut”.
Menurut informan walaupun masyarakat yang tinggal di daerah cafe-cafe di Panjang ini terganggu dengan adanya cafe dan tempat hiburan malam, para masyarakat daerah Panjang sering mengadakan pengajian dan mengajak para PSK untuk ikut serta dalam pengajian keagamaan tersebut, “siapa yang tidak terganggu, hidup berdampingan dengan cafe atau tempat hiburan malam yang menyediakan minuman keras dan para wanita, akan tetapi masyarakat Panjang bersama-sama ingin membersihkan nama Panjang ini sebagai daerah prostitusi dengan mengadakan pengajian-pengajian, mengajak para PSK ikut serta dalam pengajian agar jiwa mereka terisi dengan pengertian agama, mengajak mereka untuk sholat, mengaji dan berhenti dari kegiatan yang haram tersebut”.
Menurut harapan informan dengan adanya cafe-cafe dan tempat hiburan malam yang ada di daerah Panjang, hendaknya pemerintah segera menutup tempat yang telah lama dijadikan sebagai tempat maksiat “harapan saya sebagai lurah dan ini adalah harapan masyarakat yang tinggal di daerah Panjang ini, agar tempat
(54)
prostitusi ini benar-benar di tutup, hendaknya pemerintah menutup cafe-cafe yang ada di daerah Panjang, atau menjadikan cafe ini hanya lah cafe biasa yang tidak bisa dijadikan orang sebagai tempat prostitusi, kami masyarakat Panjang ingin nama daerah kami ini bersih dari tempat maksiat, dan kami ingin menghilangkan asumsi masyarakat luar daerah Panjang beranggapan bahwa daerah kami adalah daerah prostitusi”.
Informan II
Nama Firman, Jenis kelamin laki-laki, Usia 40 Tahun, Pendidikan terakhir SMA,pekerjaan wiraswasta, menurut informan dirinya sudah lama tinggal di daerah Panjang, dan informan juga tahu adanya tempat hiburan malam berupa cafe-cafe yang beroperasi di daerah Panjang pada malam hari “ saya sudah lama sekali tinggal disini, ayah saya orang Panjang, ibu saya orang teluk, ayah saya usaha disini, dan saya juga usaha di daerah Panjang ini”
“cafe-cafe yang ada di daerah Panjang ini banyak sekali, yah cafe-cafe ini memang tempat hiburan, banyak orang datang kalo malam hari kesini, walaupun orang yang datang banyak tapi saya liat orang yang datang itu bukan dari daerah sini, saya tahu koq orang-orang komplek yang tinggal disini, di cafe-cafe itu banyak orang yang datang, ada yang karokean, ada yang minum-minum aja, dan ada yang lebih dari itu, yah tau sendiri lagh, tempat hiburan pasti banyak nyediakan hiburan lain-lainnya buat para tamu-tamunya, yah termasuk para perempuan itu lagh, tapi kebanyak perempuan itu bukan dari sini, kebanyakan mereka dari jawa, orang sini sih gak ada kayaknya, pokoknya dari jawa lagh, dari Banten dan Jawa Barat lagh yang banyak”.
(55)
Menurut informan dirinya selalu menjaga keluarganya agar tidak bergaul ke daerah cafe-cafe yang ada di Panjang “saya selalu memperingati istri, anak saya, adek-adek saya yang masih bujang, kalo mau maen jangan ke cafe-cafe itu, saya bilang jangan mencemarkan nama baik keluarga, hidup yang normal-normal aja, biarin aja cafe-cafe itu yang penting jaga jarak, jangan kesana!!”.
Keberadaan cafe-cafe yang ada di daerah dirinya tinggal menurut informan sangat mengganggu karena pengelola membunyikan musik sangat keras dan itu menggangu dirinya ketika sedang beristirhat, “adanya cafe-cafe itu sangat berpengaruh bagi saya dan keluarga walaupun hanya ada pada malam hari, kalo tidur biasanya berisik banget, mereka kan suka ngidupin musik keras-keras, sangat mengganggu sekali lagh,musik yang keras, apalagi kalo kita keluar rumah, mata ingin ngeliat wanita-wanita itu, udah pake pakaian yang minim, pada ngerokok, susah kalo saya keluar malam, ganggu sekali lagh, dalam kehidupan sehari-hari kan tau masyarakat Panjang dan masyarakat luar Panjang sudahh tau ini daerah Panjang daerah cafe-cafe yang banyak hiburannya, jelek lah nama Panjang ini, adek-adek saya kalo malam saya bilangin trus, kalo mau maen jangan kesana, malu-maluin kalo mereka kesana, maen ketempat lain saja”.
Harapan informan atas keberadaan cafe-cafe ini agar ditutup agar tidak menggu warga lainnya “saya ingin cafe-cafe ini ditutup sajalah, supaya gak ganggu warga lain juga, risih rasanya hidup di tempat ini, walaupun saya tinggal sudah lama disini, saya usaha juga di pasar Panjang mau pindah yah gimana, saya udah tinggal disini udah lama, moga pihak yang berwenang menutup tempat ini dengan segera biar gak ada yang beroperasi lagi disini”
(56)
Informan III
Nama Badruddin, Jenis kelamin laki-laki, Usia 42 Tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan wiraswasta, menurut informan dirinya telah lama tinggal di daerah cafe-cafe di Panjang “sudah lama sekali saya tinggal disini, lahir juga disini, hidup saya yah di daerah Panjang ini, nyari uang juga di daerah Panjang”. Menurut informan bahwasannya dirinya mengetahui adanya cafe-cafe hiburan malam yang beroperasi di Panjang “ saya tahu bagaimana cafe-cafe itu beroperasi, ada yang baru buka, ada yang sudah tutup, rame kalo malam di cafe-cafe itu, banyak juga yang datang ke cafe itu”
Menurut informan tentang pergaulan yang dia jalani dengan daerah yang banyak cafe-cafe nya bahwasannya dirinya menjaga jarak dengan para wanita-wanita yang bekerja di tempat hiburan “saya gak pernah ngombrol sama wanita-wanita yang kerja di cafe-cafe itu, yah saya tau lagh mereka, tapi saya gak pernah ngombrol, kalo dengan germonya ya saya tau lah, mereka laki-laki jadinya biasa aja, kalo dengan wanita itu takut lagh, di disangka saya godain lagi, kalo dengan laki-laki nya juga ngombrol biasa aja, mereka juga tau saya tinggal di daerah ini, saya udah punya keluarga, saya punya anak, saling menghormati aja lah, biar gak ribut”.
Dampak dari adanya cafe-cafe yang ada di daerah Panjang menurut informan mencemarkan nama daerah Panjang “daerah Panjang terkenal sekali dengan adanya cafe-cafe yang menyediakan banyak hiburan malamnya, tau sendiri lagh kalo namanya hiburan malam, yang datang para lelaki, yang di sajikan para wanita, walaupun motif cafe-cafe itu adalah tempat karokean atau tempat
(57)
nongkrong, yang disediain juga minuman keras, kaorekan dan wanita-wanita cantik, sebenarnya malu dengan daerah yang di anggap tempat hiburan ini, tapi yah gimana lagi, saya gak bisa berbuat apa-apa, kalo kita kemana gitu, ditanya tinggal dimana? saya jawab di Panjang, anggapan orang udah laen dengan tempat daerah yang saya tinggalin ini”.
Adapun tanggapan informan secara pribadi dengan adanya cafe-cafe di Panjang “saya kan tinggal gak jauh dari cafe-cafe itu, orang yang lewat rumah saya kan banyak yang mau ke cafe-cafe itu, padahal ini gang kecil biasa bukan jalan raya, jadi berisik sekali banyak orang lewat waktu ingin istirahat, ada yang pke knalpot gede itu, jadinya sangat berisik lagh, apalagi musiknya di cafe-cafe itu gede banget, ganggu sekali kalo saya mau istirahat, yah gimana yah, kita kan pagi ampe sore usaha, malam mau istirahat, mau istirhat juga yah begitulah, biasakan aja lah, trus untuk keluarga saya saya melarang anak saya kesana, walaupun di siang hari, saya gak bolehin anak saya lagh kesana, mereka juga tau dan syukurnya mereka ngertiin juga, itu tempat maksiat”
Harapan informan tentang adanya cafe-cafe yang ada di daerah Panjang “harapan saya moga cafe-cafe ini perlahan lahan gak ada lagi, gimana cara Pemerintah Lampung ini lagh nyikapinnya, tau sendiri nama Panjang di mata orang yang tinggal di daerah Lampung ini sudah jelek, terkenal lagh banyak cafe dan hiburan malam, makanya saya harapkan Pemerintah Lampung ini bagaimana caranya untuk menyelesaikan masalah cafe-cafe ini, saya berharap cafe-cafe disini gak beroperasi lagi”.
(58)
Infroman IV
Nama Prasetyo Aji, Jenis kelamin laki-laki, Usia 39 tahun, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan buruh, menurut informan dirinya adalah warga yang telah lama tinggal di daerah Panjang dan informan mengetahui bagaimana keadaan daerah Panjang “saya sudah lama sekali tinggal disini, saya juga kerjanya di Perusahan daerah Panjang ini, yah saya tau lagh bagaimana keadaan daerah yang saya tinggali ini”
Menurut informan dirinya mengetaui secara mendalam keberadaan cafe-cafe yang ada di daerah Panjang “saya tau bagaimana cafe-cafe itu beroperasi, mereka beroperasi menyediakan tempat-tempat hiburan, minuman keras dan para wanita utuk di jadikan teman kencan, dulu nya disini memang tempat prostitusi, tapi kalo gak salah, tahun 90-an sudah di hapus oleh pemerintah, dulu dipasang plang bahwasannya tempat protitusi ini ditutup, tapi sekarang ada cafe-cafe yang menyediakan banyak tempat maksiat, sama saja lagh, prostitusi namanya ditutup, dan cafe-cafe itu juga masih ada, beroperasi tiap malam, apalagi kalo malam minggu, rame banget cafe-cafe itu di datangi para tamu-tamu”.
“saya suka mengombrol dengan pemilik cafe-cafe itu, dengan para perempuan-perempuannya juga kalo siang, kehidupan kalo siang disini biasa aja, seperti di kampung-kampung lainnya, kalo malam yah berubah, jadi cafe-cafe, banyak tamu yang datang, pergaulan saya kalo dengan mereka juga biasa aja, tapi saya menjaga jarak juga sih dengan mereka, yah malaupun PSK dan kerjaannya begituan mau tapi kita biasa aja, biarin aja dia jadi PSK yang penting gak ganggu hidup kita,
(59)
gak ganggu keluarga kita, walaupun sebenarnya gimana yah hidup berdampingan dengan cafe-cafe ini, agak was was juga, banyak maksiatnya disini”.
Menurut informan dampak adanya cafe-cafe yang ada di daerah tempat tinggalnya sangat berpengaruh bagi dirinya maupun keluarganya “daerah tempat saya tinggal ini banyak cafe-cafe nyah, orang yang datang kesini pasti minum, karokean, nyewa wanita-wanita nya, anggapan orang yang tentang daerah saya ini yah daerah tempat maksiat lagh, walaupun kebanyakan tamu yang datang ke cafe-cafe itu bukan orang sini, tapi yah gak enak lah Panjang terkenal dengan daerah maksiatnya, ada cafe-cafe yang menyediakan tempat hiburan, minuman dan wanita, anggapan orang jelek lah tentang daerah saya ini”. Adapun menurut informan dalam kehidupan pribadinya merasa takut akan pergaulan anaknya “anak saya sudah besarlah, sering main juga ketempat teman sebayanya, kalo main harus melewati komplek cafe-cafe itu, yah bagaimana takut kalo lewat sana anak saya nya gak ke kontrol pergaulannya, saya sering ngelarang juga kalo dia mau main kesana, tapi saya kerja, ibunya juga kerja, saya percaya aja ke anak saya supaya gak maen kesana, saya bilang kalo lewat sana yah lewat aja, jangan mampir-mampir kalo di panggil embak-embak yang disana”
Harapan informan tentang keberadaan cafe-cafe yang ada di daerah Panjang agar benar-benar ditutup supaya tidak menggangu warga yang lain yang tinggal di daerah Panjang “saya minta ini di tutup, bagaimana pemerintah ini menanggapinya lagh, coba periksa dulu surat ijinnya, cafe-cafe itu bukan tempat hiburan aja, tapi tempat orang ngamar, nyewa PSK untuk diajaknya menginap, ada PSK yang dibawa lagh, pokoknya supaya tempat ini benar-benar di tutup dan ilang anggapan orang tentang daerah saya ini daerah yang jelek dan kotor”.
(1)
persembahan
bismillahirrahmanirrahim....
ayahanda irsan yunisir lubis dan ibunda Hj Nurbaiti Halim, S.Sos yang telah memberikan cintanya, kasih sayang, dukungan, doa yang tiada henti dan peluk keringatnya untuk keberhasilanku, yang telah menempahku untuk menjadi seseorang yang kuat dan tegar dalam menjalani pelik dan terjalnya kehidupan. Semoga kelak ananda dapat membahagiakan kalian, amin
M. Rizki Imansyah Lubis, S.T abangku tersayang terimakasih doanya dan semangatnya untuk segala hal yang tiada hentinya yang membuatku tumbuh menjadi seorang yang dewasa dan membuatku belajar memaafkan serta memahami arti kehidupan.
Drs. Ikram, M.Si yang sangat mendukung penulis dalam menyelesaikan studinya pada detik-detik terakhir di Universitas, jasanya tidak akan pernah terlupakan, semoga kelak penulis bisa mewujudkan cita-cita sesuai nasehat dan harapannya
sesorang telah dikirimkannya untukku, selalu memberikan motivasi semangat canda tawa kasih sayang, serta doanya untuk keberhasilanku dan rekan-rekan serta sahabat perjuangan di sosiologi dan almamater Universitas Lampung
(2)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana/Ahli Madya), baik di Universitas Lampung maupun perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.
Bandar Lampung, Februari 2013 Yang memberi pernyataan
Mutia Irna Jayanthi Lubis NPM 09611081
(3)
DAMPAK KEBERADAAN PROSTITUSI BAGI MASYARAKAT PANJANG (Studi Pada Cafe-Cafe Di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung)
Oleh
✎ ✏✑✒A IRNA JAYANTHI LUBIS
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ILMU SOSIOLOGI
Pada Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2013
(4)
Judul Skripsi :DAMPAK KEBERADAAN PROSTITUSI BAGI MASYARAKAT PANJANG
(Studi Pada Cafe-Cafe Di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung)
Nama Mahasiswa :M✓✔ ✕ ✖✗✘✙ ✖J✖✚ ✖✙✔✛ ✕✜✓ ✢✕ ✣
Nomor Pokok Mahasiswa : 091611081
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Dra. Anita Damayantie, M.H. NIP 19690304 199403 2 002 2. Ketua Jurusan Sosiologi
Drs. Susestyo, M.Si.
(5)
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua :Drs. Ikram, M.Si ...
Penguji
Bukan Pembimbing :Drs Gunawan Budi Kahono ...
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Drs. H. Agus Hadiawan, M.Si NIP 19580109 198603 1 002
(6)
Paduan Wawancara Tentang Dampak Keberadaan Prostitusi Bagi Masyarakat Panjang
(studi pada cafe-cafe di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung)
Indentitas Informan
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Pendidikan Terakhir :
Pekerjaan :
1. Apa yang anda ketahui tentang prostitusi?
2. Sudah berapa lama anda tinggal di daerah Panjang?
3. Apakah anda mengetahui tentang keberadaan cafe-cafe di Daerah Panjang?
4. Apa tanggapan anda tentang keberadaan cafe-cafe di daerah Panjang? 5. Bagaimana kehidupan sosial anda dengan para pengelola cafe di daerah
Panjang?
6. Apa dampak keberadaan cafe-cafe bagi kehidupan anda sehari-hari? 7. Apa harapan atas keberadaan cafe-cafe yang ada di daerah Panjang?