Dampak Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja Terhadap Kehidupan Masyarakat Di Desa Marihat Bukit (1968- 1990)

(1)

DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT MARAJA

TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA

MARIHAT BUKIT (1968- 1990)

SKRIPSI SARJANA

O L E H

NAMA : HELDAWATY SIMANJUNTAK NIM : 030706016

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT MARAJA

TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA

MARIHAT BUKIT (1968- 1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : HELDAWATY SIMANJUNTAK NIM : 030706016

Pembimbing,

Dra. Nurhabsyah. M.si. NIP 131460526

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT MARAJA TERHADAP

KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA MARIHAT BUKIT (1968- 1990) Yang diajukan Oleh

Nama : Heldawaty Simanjuntak NIM : 030706016

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Dra. Nurhabsyah. M.Si. Tanggal,……….

NIP 131460526

Ketua Departemen Ilmu Sejarah,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U Tanggal,……….

NIP 131284309

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT MARAJA TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA MARIHAT BUKIT (1968- 1990) SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

Nama : Heldawaty Simanjuntak Nim : 030706016

Pembimbing

Dra. Nurhabsyah. M.Si. NIP 131460526

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP 131284309


(6)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs. Syaifuddin, MA,Ph. D NIP 132098531

Panitia Ujian :

No. Tanda Tangan

1. (__________________)

2. (__________________)

3. (__________________)

4. (__________________)


(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Menyadari untuk terwujudnya skripsi ini berkat adanya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini sudah selayaknya menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi- tingginya serta rasa hormat kepada:

1. Ayahanda tersayang L. Simanjuntak dan Ibunda Tercinta P. Siahaan yang telah memberikan segala kebutuhan dan dukungan baik moril maupun materil semoga Tuhan selalu memberkati.

2. Adikku Harry Simanjuntak, Freddy Simanjuntak, Arnes Simanjuntak, dan Livia Simanjuntak yang tersayang dimana telah memberikan semangat serta dukungan yang setulus- tulusnya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Bapak Rektor Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA (K) atas kesempatan

yang diberikan kepada penulis untuk mempergunakan segala fasilitas selama perkuliahan.

4. Bapak Drs. Syaiffudin, MA. Ph. D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U. Selaku Ketua Departemen Sejarah di Fakultas Sastra Unversitas Sumatera Utara.

6. Ibu Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah Dra. Nurhabsyah. M.Si. sekaligus sebagai dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan rasa hormat yang sedalam- dalamnya atas keluangan waktu dan kesabaran yang diberikan untuk membimbing sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Ibu Dra. Hj. S. P. Dewi Murni. Selaku Dosen Wali yang juga memberikan kritik dan saran selama perkuliahan.

8. Seluruh Staf Akademika Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara terutama Staf Pengajar Departemen Sejarah.


(8)

9. Bapak Suwanto Pengulu Marihat Bukit dan Samsudin Tampubolon kepala dusun Komplek Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja serta perangkat desa lainnya yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

10. Tulang Sabar Siahaan dan opung D. Sitanggang yang telah banyak memberi bantuan kepada saya dalam terselesainya skripsi ini semoga Tuhan selalu memberkati.

11. Rekan- rekan saya di departemen sejarah, khususnya rekan saya Angkatan ’03 yaitu Refi, Tika, Eltrini, Lia, Christanti, Nathalia, Mega, Mizi, Samuel, Dedi, Bisler, dan yang tidak dapat disebutkan satu- persatu semoga kesuksesan selalu menyertaimu.

12. Rekan- rekan Marakas United 27, Khususnya Kepada Abang Koko, Pardo, Rino, Pak Pos. Dan rekan di Gang Kolam Andi, Khususnya Leo yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan kepada saya dalam terselesainya skripsi ini, semoga kesuksesan selalu menyertaimu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang setulus- tulusnya, dan budi baik kalian akan kukenang dalam hidupku.

Medan, Desember 2007 Penulis


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kahadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skrisi ini.

Adapun skripsi yang ditulis oleh penulis adalah mengenai “ DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT MARAJA TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA MARIHAT BUKIT (1968- 1990). Yang diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Sastra pada Fakultas Sastra USU Medan.

Skripsi ini membahas tentang keadaan masyarakat desa Marihat Bukit setelah berdirinya lokalisasi prostitusi. Dan menjelaskan pengaruh lokalisasi prostitusi terhadap perubahan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat desa Marihat Bukit.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan berupa saran maupun kritik, yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Medan, Desember 2007

Penulis


(10)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Metode Penelitian ... 9

BAB II GAMBARAN UMUM DESA MARIHAT BUKIT ... 12

2.1 Letak dan Keadaan Alam ... 12

2.2 Keadaan Penduduk ... 14

2.3 Mata Pencaharian ... 17

2.4 Pendidikan ... 19

2.5 Agama ... 20

BAB III PENGERTIAN DAN SEJARAH PELACURAN BUKIT MARAJA 23 3.1 Pengertian Pelacuran ... 23

3.1.1 Ciri-ciri dan Fungsi Pelacuran ... 28

3.1.2 Motif-motif Yang Melatarbelakangi Pelacuran ... 31

3.1.3 Akibat-akibat Pelacuran ... 33


(11)

3.2 Sejarah Pertumbuhan Lokalisasi Pelacuran Bukit Maraja ... 36

3.2.1 Pekerja Seks ... 38

3.2.2 Mucikari/Germo ... 46

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH ADANYA LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT MARAJA ... 49

4.1 Pengaruh Lokalisasi Terhadap Kehidupan Masyarakat ... 49

4.1.1 Buruh ... 49

4.1.2 Pedagang ... 50

4.1.3 Pendidikan ... 52

4.1.4 Agama ... 53

4.2 Pengaruh Lokalisasi Prostitusi Terhadap Perubahan Ekonomi Sosial dan Budaya Masyarakat di Desa Marihat Bukit ... 57

4.2.1 Perubahan Ekonomi ... 57

4.2.2 Perubahan Sosial dan Budaya ... 59

4.3 Persepsi Masyarakat Terhadap Berdirinya Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja ... 63

4.4 Hubungan Masyarakat Dengan Para Pengguna Lokalisasi Prostitusi 64 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... vii

DAFTAR INFORMAN ... ix LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

ABSTRAK

Lokalisasi prostitusi yang terdapat di desa Marihat Bukit merupakan suatu bentuk penyimpangan baik dalam agama, adat- istiadat maupu n norma- norma yang berlaku dalam masyarakat. Munculnya lokalisasi prostitusi menimbulkan banyak pertentangan- pertentangan baik yang pro maupun yang kontra dalam masyarakat. Disisi lain prostitusi tidak dapat dihentikan, seiring dengan perjalanan waktu, lokalisasi prostitusi tumbuh dan berjalan dengan berbagai pertimbangan- pertimbangan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Lokalisasi prostitusi baik secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh pada masyarakat terutama dapat berdampak positif maupun negatif.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah adalah ilmu tentang manusia.1

Prostitusi/ pelacuran merupakan salah satu aktivitas yang dijalani oleh sebagian komunitas tertentu, yang menjadi objeknya adalah wanita, yang telibat didalamnya. Keberadaan prostitusi hingga saat ini belum diterima masyarakat. Kegiatan ini merupakan suatu gejala sosial yang merupakan bentuk penyimpangan terhadap norma- norma dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu prostitusi mempunyai akibat bagi masyarakat, terutama bagi peradaban, kesehatan, ekonomi dan moral.

sejarah sebagai ilmu terikat pada prosedur masalah penelitian ilmiah. Manusia bercerita tentang perbuatan masa lalu dan masa kini. Dalam menjalankan kehidupannya manusia melakukan segala aktivitas untuk memperjuangkan hidup, aktivitas itu membawa perubahan yang berdampak bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat positif dan negatif. Manusia selalu mencari cara untuk membuat suatu perubahan dalam kehidupannya yang dipengaruhi oleh keadaan manusia itu sendiri. Keadaan manusia pada masa tertentu kadang memaksanya untuk melakukan hal- hal yang melanggar norma- norma yang terdapat dalam masyarakat maupun agama.


(14)

Prostitusi atau pelacuran merupakan “profesi” yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri, berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas- batas kesopanan. Prostitusi atau pelacuran selalu ada pada semua negara berbudaya. Prostitusi atau pelacuran menjadi masalah sosial. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan industri serta kebudayaan manusia, turut berkembang pula prostitusi atau pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.

Pertumbuhan sejarah pelacuran di Indoensia tidak terlepas dari peradaban bangsa Indonesia itu sendiri,2

Nasib wanita pada masa penjajahan Belanda dan Jepang memakai sistem yang tidak jauh beda dari sistem kerajaan. Aktivitas ini terus berkembang, sampai industri seks sudah terorganisir

Bangsa Indonesia pada masa lalu adalah bangsa dengan berbagai kerajaan. Kekuasaan Raja pada saat itu tidak terlepas hanya menguasai pemerintahan, tetapi semua yang ada di dalamnya termasuk rakyat. Raja berkuasa penuh untuk mendapatkan perempuan yang mereka inginkan untuk dijadikan Selir (Wanita Simpanan). Sekalipun pada masa itu tidak dikatakan Pelacuran tetapi cara- caranya tetap berupa pelacuran.

3

2

Abu Al- Ghigari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, Bandung: Mujahid Press, 2004, hlm. 99.

3

Ibid. hlm.100.

. Pada masa penjajahan wanita- wanita justru semakin tersiksa dengan disebarkannya mereka ke daerah- daerah yang ada di


(15)

Indonesia, dengan menempatkan para wanita di tempat- tempat para prajurit bertugas.

Penyebaran- penyebaran yang dilakukan di berbagai daerah pada masa penjajahan mengakibatkan para wanita pelacur tetap melakukan aktivitas pelacuran. Tidak heran pelacuran menjadi menjamur di Indonesia, dan bukan hanya terdapat di kota- kota besar, tetapi juga terdapat di desa- desa, dengan latar belakang dan perkembangan yang berbeda- beda.

Pelacuran menjadi masalah yang unik dan cukup menarik untuk dibahas karena status hukumnya belum jelas hingga saat ini, tetapi keberadaannya masih ada dan mendapat izin dari pemerintah daerah. Tempat pelacuran yang terlokalisir dilindungi oleh Pemerintah Daerah dan Departemen Sosial, yang pengawasan keamanan dibawah aparat pemerintahan, yang diizinkannya melalui prosedur- prosedur yang ditentukan oleh pemerintah daerah tersebut.

Lokalisasi Bukit Maraja terletak di desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun merupakan salah satu tempat pelacuran yang ada di Sumatera Utara, telah dilokalisir dibawah pengawasan pemerintah daerah. Dulunya nama Bukit Maraja di ambil dari nama sebuah perkebunan Sipef yang diadopsi menjadi nama sebuah desa dan menjadi nama sebuah lokalisasi, yang disebut Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja.


(16)

Marihat Bukit masih menjalankan adat- istiadat yang berlaku sesuai dengan masing- masing suku, dalam arti masyarakat masih mempertahankan budaya yang dimiliki. Demikian juga dalam hal keagamaan, masyarakat masih menjalankan aktivitas keagamaan sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut.

Terbentuknya lokalisasi Bukit Maraja sampai dengan dikeluarkannya izin dari pemerintah daerah, pada saat itu masyarakat setempat yang kurang setuju melakukan aksi demo untuk menentang diadakannya lokalisasi ini.4

Perkembangan lokalisasi Bukit Maraja sebagai pasar cinta yang telah mendapat izin dari pemerintah daerah, ternyata dapat merubah tingkat perekonomian/pendapatan dan taraf hidup masyarakat setempat. Perubahan- perubahan tersebut tidak hanya dilingkungan fisik dalam pengertian pasar cinta saja, tetapi juga terjadi perubahan dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan sering juga menimbulkan

Tetapi penolakan- penolakan mereka ditolak dengan berbagai alasan- alasan yang sangat mendasar, antara lain supaya aktivitas pelacuran tersebut tidak menjadi tempat pelacuran yang liar, karena akan berdampak buruk terhadap lingkungan masyarakat sekitar desa Marihat Bukit maupun daerah- daerah lain. Selain daripada itu, ditempatkannya lokalisasi pelacuran Marihat Bukit di satu tempat dapat menambah sumber pendapatan daerah. Hal ini terlihat adanya keterkaitan antara pengelola lokalisasi dengan pemerintah daerah.

4


(17)

konflik- konflik seperti tejadinya pertiakaian antara sesama masyarakat desa Marihat Bukit.

Mengingat peluang bisnis dari daerah desa Marihat Bukit sebagai lokalisasi prostitusi sebagai sumber pembangunan ekonomi daerah dan sumber mata percaharian sebagian penduduk telah berlangsung cukup lama, maka yang menjadi masalah adalah bagaimana dampak lokalisasi prostitusi terhadap perubahan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat desa Marihat Bukit. Dari latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji masalah lokalisasi prostitusi dengan judul DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT

MARAJA TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA MARIHAT BUKIT, SIMALUNGUN 1968- 1990. Dalam penelitian ini penulis

membuat batasan waktu yang dimulai sejak tahun 1968, dimana pada tahun tersebut dibentuknya lokalisasi Prostitusi di mulai dengan pembukaan warung- warung di pinggir jalan Asahan Km 22 Bukit Maraja, yang merupakan awal terbentuknya menuju lokalisasi.

Tahun 1990 sebagai batas akhir dalam penulisan ini, karena ditahun ini dapat mewakili perkembangan Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja. Batas kajian penelitian mulai 1968 hingga 1990 tergolong sebagai peristiwa sejarah kontemporer yang memfokuskan penelitian terhadap proses perubahan sosial yang terjadi di desa Marihat Bukit yang tidak dapat dipisahkan dengan berdirinya


(18)

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis mengambil beberapa permasalahan pokok dari peristiwa Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja tahun 1968- 1990. Kajian ini difokuskan terhadap fenomena sosial sekitar peristiwa- peristiwa batas kajian di sekitar desa Marihat Bukit. Untuk lebih mengarahkan penelitian ini maka diambil permasalahan pokok dalam bentuk pertanyaan yaitu :

1. Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat desa Marihat Bukit sebelum dan sesudah adanya Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja?

2. Bagaimana pengaruh Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja terhadap perubahan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di desa Marihat Bukit dalam kurun waktu 1968- 1990?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian itu mempunyai tujuan apa yang ingin dicapai setelah melakukan penelitian , baik bersifat umum ataupun bersifat khusus. Dan setiap orang yang melakukan penelitian mempunyai tujuan yang berbeda- beda.

Dari kronologi dan juga pengalaman Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja akhirnya membentuk sebuah hubungan yang saling menjelaskan yaitu Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja dan masyarakat yang berada di sekitarnya sebagai pelaku utama, dan konflik sosial sebagai akibatnya adalah tujuan dari penelitian ini yang


(19)

akhirnya menjadi sebuah penjelasan yang bermanfaat bagi masyarakat Marihat Bukit maupun masyarakat lainnya.

Maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat desa Marihat Bukit sebelum dan sesudah adanya Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh lokalisasi Bukit Maraja terhadap perubahan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di desa Marihat Bukit dalam kurun waktu 1968- 1990.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Memperluas cakrawala berpikir peneliti dan pembaca untuk mengetahui bagaimana dampak Lokalisasi Prostitusi terhadap perubahan ekonomi sosial masyarakat di desa Marihat Bukit.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya, terutama yang terkait dengan permasalahan ini.

3. Secara akademik penulisan ini untuk menambah literatur dalam penulisan sejarah mengenai Lokalisasi Prostitusi Bukit Maraja.

1.4 Tinjauan Pustaka


(20)

melalui riset yang rutin terhadap kepustakaan yang relevan dengan topik atau objek penelitian. Dengan demikian penelaahan kepustakaan merupakan kegiatan mutlak dalam sebuah proses penelitian. Dalam hal ini akan dikemukan beberapa buku yang mendukung kosep teori sehubungan dengan objek yang diteliti.

Dalam bukunya yang berjudul “SARKEM: Reproduksi Sosial Pelacuran” Mudjijono menjelaskan bahwa satu faktor berkembangnya pelacuran di Inonesia karena tidak adanya undang- undang yang melarang kegiatan pelacuran.5

Menurut Marzuki Umar Sa’abah dalam bukunya yang berjudul “Prilaku

Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam” menjelaskan bahwa

ada beberapa penyebab mengapa wanita menenggelamkan diri ke lembah hitam pelacuran antara lain pertama, hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan dan juga adanya penyiksaan sosial yang dialami dalam keluarga. kedua, rendahnya pendidikan yang dimiliki, kemiskinan, dan masa depan yang tidak jelas. Ketiga, hasrat berpetualang. Keempat, hubungan seks yang terlalu dini yang melibatkan kesuatu pergaulan bebas. Kelima, Timbulnya perasaan benci terhadap

Jadi kegiatan pelacuran terus berkembang sejalan dengan perkembangan jaman. Ketidak jelasan dari status hukum tentang pelacuran. Mudjijono juga menjelaskan bahwa pelacuran itu adalah gejala sosial ketika seorang wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. Dalam hal ini tujuan wanita menjadi pelacur adalah untuk mencari uang.

5

Mudjijono, SARKEM : Reproduksi Sosial Pelacuran ,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, hlm.10.


(21)

ayah yang diletupkan dengan cara melacurkan diri. Keenam, paduan antara kemiskinan, kebodohan, dan kekerasan, dan tekanan penguasa. Ketujuh, masalah dalam keluarga.6

Dalam bukunya yang berjudul “Pelacuran di Indonesia: sejarah dan Perkembangannya” Terence Hull dan kawan- kawan menjelaskan bahwa industri seks dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu industri seks yang terorganisir dan industri seks yang tidak terorganisir.

Wanita pelacur terjerumus dalam kegitan pelacuran ternyata mempunyai banyak faktor tergantung pada masing- masing apa yang dialami para wanita tersebut.

7

Metode sejarah adalah menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau,

Industri seks yang terorganisir dibawah pengawasan Dinas Sosial yang mempunyai stuktur yang pasti. sedangkan industri seks yang tidak terorganisir tidak mempunyai stuktur dan dilakukan dengan bebas tergantung pada individu yang terlibat di dalamnya.

1.5 Metode Penelitian

8

6

Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas kontemporer Umat Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm.73.

7

Terence H. Hll, dkk, Pelacuran Di Indonesia: Sejarah Dan Perkembangannya, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Bekerja Sama Dengan The Ford Foundation, 1997, hlm.59.

begitu juga dalam penelitian ini penulis menggunakan metode untuk mempermudah penelitian agar tercapai hasil yang maksimal.


(22)

Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah harus di dukung oleh metode dan teknik untuk mendapatkan data yang akurat. Adanya pengumpulan data yang di lakukan berdasarkan seleksi dan akurasi yang akan melahirkan suatu tulisan yang bersifat ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Dari judul diatas, tentunya literatur kepustakaannya masih sangat sedikit. Maka yang paling banyak dilakukan penulis adalah studi lapangan (field research). Teknik wawancara merupakan penyaringan atau pengumpulan data yang cukup penting dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan secara mendalam kepada informan, baik kepada yang terlibat dalam lokalisasi Bukit Maraja dan mayarakat setempat yang betul- betul mengetahui dan dapat memberikan informasi yang memadai mengenai permasalahan dalam penelitian. Pengumpulan data melalui wawancara ini lebih menguntungkan, sebab memungkinkan terjadinya suatu proses interaksi dan komunikasi, sehingga dapat di peroleh pengetahuan yang lebih lengkap mengenai sikap, kelakuan, pengalaman dan harapan dari para informan.

Observasi juga dilakukan dengan pengamatan langsung, untuk mendukung keobyektifan dari wawancara yang dilakukan. Dasar pijakan penulis untuk merampungkan penelitian ini, tidak terlepas dari langkah- langkah metode penulisan. Secara kronologis penulis menempuh langkah- langkah penulisan tersebut sebagai berikut:


(23)

a. Heuristik yakni proses pemilihan objek dan pengumpulan informasi atau sumber yang berkaitan dengan tulisan yang sedang dikaji. Informasi ini berupa sumber tertulis yaitu dokumen- dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dengan dizinkannya pendirian lokalisasi tersebut.

b. Kritik intern dan kritik ekstern. Proses ini adalah merupakan langkah bagi penulis untuk mengiring hasil tulisan menjadi seobjektif mungkin dan sesuai dengan kenyataan yang selama ini terjadi. Kritik intern yaitu dimana penulis melihat dan menyelidiki isi dari sumber- sumber sejarah dalam hal ini buku- buku yang berhasil dikumpulkan. Dalam hal ini yang diteliti adalah apakah pernyataan yang dibuat merupakan fakta historis, ini meliputi isi, bahasa, situasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya dilakukan kritik ekstern yang menyelidiki keadaan luar dari sumber- sumber penulisan. Ini meliputi otentik tidaknya tulisan, bentuk kertas dan usia sumber yang bersangkutan.

c. Interpretasi adalah suatu hasil pengamatan dalam menganalisa sumber- sumber dengan pedoman pada fenomena yang telah diselidiki.

d. Historiografi sebagai tahapan akhir dalam sebuah penelitan sejarah. Historigrafi yaitu penulisan sejarah dengan melakukan kegiatan penulisan mengenai masalah atau aspek tertentu tentang manusia pada masa lampau. Historiografi mempunyai peranan penting karena dari penulisan itu akan diketahui apa hasil dari sebuah penelitian.


(24)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA MARIHAT BUKIT

2.1 Letak dan Keadaan Alam

Desa Marihat Bukit adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara. Jarak desa ini ke Ibukota kecamatan adalah 18,5 km, sedangkan ibukota kabupaten 21,5 km sementara ke Ibukota Propinsi adalah 124 km.

Secara administratif desa Marihat Bukit mempunyai batas- batas wilayah antara lain :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Nagori Bukit Maraja. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Bahbolon.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Nagori Pematang Sahkuda. - Sebelah Timur berbatasann dengan Nagori Sahkuda Bayu.

Desa Marihat Bukit terletak dengan ketinggian tanah 800 M dari permukaan laut. Banyaknya curah hujan berkisar 1.200 mm/tahun.9

9

Kantor Kepala Desa Marihat Bukit, Tahun 1990.

Suhu udaranya rata- rata 23˚C. Luas wilayah desa Marihat Bukit 389,52 Ha, yang terdiri dari areal pemukiman, persawahan, perladangan, perkebunan Swasta dan perkebunan Rakyat. Untuk lebih jelasnya perincian penggunaan tanah di desa Marihat Bukit dapat dilihat pada tabel sebagai berrikut :


(25)

Tabel I

Tata Guna Tanah Desa Marihat Bukit

No Tata Guna Tanah Luas (Ha)

1. Pemukiman 39,64

2. Persawahan 76

3. Perladangan 38,38

4. Perkebunan Swasta 184,5

5. Perkebunan Rakyat 47

6. Lain- lain 4

Jumlah 389,52

Sumber : Kantor Kepala Desa Marihat Bukit, 1990.

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa, perkebunan swasta merupakan areal yang paling luas, dimana sebagian penduduk bekerja sebagai buruh perkebunan di perkebunan milik swasta yang berupa perkebunan kelapa sawit dan karet. Begitu juga dengan areal perkebunan rakyat yang dimiliki perorangan dan mempekerjakan sebagian masyarakat sebagai buruh di perkebunannya. Sedangkan persawahan hanya sebagian kecil yang menanam padi. Sebagian besar areal persawahan digunakan untuk perikanan yaitu dengan membuat areal sawah tersebut menjadi kolam ikan, sedangkan perladangan digunakan untuk menanam jagung dan pohon ketela.


(26)

Pembangunan sarana- sarana seperti jalan beraspal sudah ada. Jalan beraspal ini menghubungkan antara Pematang Siantar menuju kecamatan Bandar yaitu kota Perdagangan, dan jalur lintas menuju Asahan. Lancarnya jalur transportasi mengakibatkan semakin meningkatnya pembangunan. Disamping sarana sosial ada juga prasarana dan fasilitas umum lainnya, seperti Sekolah Dasar Inpres, Madrasah, dan Posyandu.

2.2 Keadaan Penduduk

Penduduk desa Marihat Bukit bersifat heterogen dengan latar belakang etnis Jawa, Batak Toba, Batak Simalungun, dan Suku- suku campuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel II

Kondisi Penduduk Desa Marihat Bukit Berdasarkan Etnis

No Etnis/ Suku Jumlah Jiwa

1. Jawa 1366

2. Batak Toba 456

3. Batak Simalungun 229

4 Campuran 227

Jumlah 2278


(27)

Berdasarkan data- data diatas dapat dilihat bahwa etnis Jawa adalah etnis mayoritas. Sedangkan etnis campuran ( Cina, India, Karo) merupakan etnis minoritas yang terdapat di desa Marihat Bukit.

Walaupun desa Marihat Bukit merupakan etnis yang heterogen, tetapi dalam pergaulan sehari- hari terdapat rasa solidaritas antara sesama warga tanpa membeda- bedakan suku dan agama. Hal ini dapat dilihat, jika masyarakat Jawa mengadakan upacara adat maupun pesta lainnya mereka turut menghadirinya dan menganggap bagian dan tanggung jawab mereka juga. Begitu juga sebaliknya dengan suku- suku lainnya.

Jumlah penduduk yang tinggal di desa Marihat Bukit menurut sumber data dari kantor kelurahan desa Marihat Bukit tahun 1990, dengan jumlah penduduk sebanyak 2278 Jiwa, masing- masing terdiri dari :

Jumlah laki- laki 1125 jiwa Jumlah Perempuan 1153 jiwa ________ Jumlah 2278 jiwa

Keseluruhan jumlah penduduk tersebut adalah warga negara Indonesia asli dan asing dengan jumlah keluarga sebanyak 463 kepala keluarga (kk). Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini :


(28)

Tabel III

Kondisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

No Kelompok Umur Jumlah Jiwa

1. 0-3 tahun 47

2. 4-6 tahun 56

3. 7-14 tahun 82

4. 15-19 tahun 79

5. 20-26 tahun 178

6. 27-40 tahun 254

7. 41-56 tahun 470

8. 57 keatas 1112

Jumlah 2278

Sumber : Kantor Kepala Desa Marihat Bukit, 1990

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa kelompok umur 0-14 tahun merupakan usia belum produktif. Pada kelompok umur 15-55 tahun merupakan tenaga produktif dalam mencari nafkah, baik pada petani, peternak, dan pekerjaan lainnya. Dengan demikian tingkat usia produktif desa Marihat Bukit lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat usia non produktif.


(29)

2.3 Mata Pencaharian

Untuk mengetahui bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat desa Marihat Bukit, maka perlu mengetahui jenis- jenis mata pencaharian penduduk. Penduduk desa Marihat Bukit memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam antara lain sebagai Karyawan, Pedagang, Petani, Buruh Perkebunan, dan lain- lain.

Etnis Jawa kebanyakan bekerja sebagai buruh di perkebunan swasta maupun pada perkebunan perorangan. Mereka bekerja dengan upah yang diberikan pihak perkebunan dua minggu sekali, jadi dalam 1 bulan menerima 2 kali upah sebagai buruh. Sebagian dari etnis ini ada juga yang mata pencahariannya beternak seperti beternak sapi dan kambing, berdagang, dan bertukang. Sedangkan istri- istri dari rumah tangga tersebut ada menawarkan jasa seperti dengan membuka salon, tukang cuci, berjualan nasi, warung kopi, dan Lain- lain.

Etnis Batak Toba dan Batak Simalungun, lebih dominan bekerja sebagai bertani, beternak, bertambak ikan, dan berdagang. Dalam hal ini bertambak ikan mas yang cukup terkenal. Penduduk mempunyai masing- masing kolam ikan yang di tempatkan di daerah persawahan.

Etnis campuran seperti India, Cina, dan Karo, mereka etnis pendatang yang kebanyakan mata pencahariannya adalah berdagang dengan membuka kios/warung, kedai nasi, dan lain- lain. Apalagi dengan adanya lokalisasi prostitusi Bukit Maraja yang berada di desa Marihat Bukit, membuat usaha mereka


(30)

semakin berkembang, dimana warga setempat dan pendatang dari lokalisasi tersebut banyak menggunakan jasa para pedagang.

Mata pencaharian lain adalah pegawai negeri sipil, seperti, guru SD, dan Bidan Desa. Mereka menjadi guru- guru di sekolah negeri maupun swasta yang mengajar di madrasah. Tetapi penghasilan sebagai guru swasta tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga, untuk itu mereka membuat pekerjaan sampingan ada yang bertani, berjualan, dan lain- lain. Selain itu sebagian penduduk ada juga yang bekerja sebagai tukang ojek, supir angkutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini


(31)

Tabel IV

Kondisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah

1. Pegawai Negeri Sipil 20

2. Pegawai swasta/perkebunan 657

3. ABRI 2

4. Pedagang 135

5. Petani 102

6. Pertukangan 8

7. Buruh Tani 30

8. Jasa 33

9. Pensiunan 27

Jumlah 1014 Sumber : Kantor Kepala Desa Marihat Bukit 1990

Dari tabel tersebut dapat di lihat bahwa, mayoritas penduduk adalah pegawai swasta yaitu karyawan perkebunan milik swasta.

2.5 Pendidikan

Sebagaimana umumnya masyarakat dimana pun berada, akan selalu membutuhkan pendidikan. Demikian halnya penduduk desa Marihat Bukit tahun


(32)

ini sangat rendah. Banyak anak- anak yang putus sekolah, bahkan SD saja tidak tamat. Disatu sisi karena kemiskinan keluarga, kenakalan, kurangnya perhatian orang tua, dan keinginan anak tersebut mencari kerja sehingga putus sekolah. Tetapi ada juga yang melanjut sampai ketingkat SMP, SMU, bahkan ke Perguruan Tinggi. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel sebagai berikut :

Tabel V

Kondisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa

1. Belum Sekolah 274

1. Tidak Tamat SD 432

2. Tamat SD 750

3. Tamat SMP 422

4. Tamat SMU 367

5. Tamat Akademik 23

6. Tamat Sarjana 10

Jumlah 2278 Sumber : Kantor Kepala Desa Marihat Bukit 1990


(33)

2.6 Agama

Penduduk desa Marihat Bukit pada umumnya menganut agama islam, hanya sebagian kecil yang beragama kristen dan budha. Ini disebabkan karena mayoritas penduduk desa Marihat Bukit adalah suku Jawa, yang sebelumnya pernah bekerja sebagai buruh perkebunan asing yang didatangkan dari pulau Jawa. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut :

Tabel VI

Kondisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah

1. Islam 1849

2. Kristen Protestan 271

3. Kristen Khatolik 147

4. Budha 11

Jumlah 2278 Sumber : Kantor Kepala Desa Marihat Bukit 1990

Agama Islam merupakan agama yang terbesar, walaupun demikian kerukunan umat beragama tetap terpelihara dan masing- masing umat beragama menjalankan ibadah dengan aman dan damai. Sarana ibadah di desa ini mulai memadai dengan adanya mesjid, gereja, sedangkan agama Budha membangun


(34)

tempat- tempat sembahyang di rumah mereka masing- masing. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel sebagai berikut :

Tabel VII

Jumlah Sarana Ibadah Di Desa Marihat Bukit

No Jenis Sarana Jumlah

1. Mesjid 2

2. Gereja 1

Jumlah 3


(35)

BAB III

PENGERTIAN DAN SEJARAH PELACURAN BUKIT MARAJA

3.1 Pengertian Pelacuran

Pelacuran/ prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran itu berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan, pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur atau sundal.

Pelacuran merupakan fenomena yang selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia. Hanya perkembangan bentuk pelacuran itu sesuai dengan perkembangan teknologi, industri, dan kebudayaan manusia.

Menurut W.A. Bonger dalam tulisannya “Maatschappelijke Oorzaken der

Prostitutie”. Prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri

melakukan perbuatan- perbuatan seksual sebagai mata pencaharian10

P.J de Bruine Van Amstel menyatakan sebagai berikut, pelacuran adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki- laki dengan pembayaran. Defenisi

. Ini jelas dikatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari- hari dengan jalan melakukan relasi- relasi seksual.


(36)

ini menyatakan adanya unsur- unsur ekonomis, dan penyerahan diri wanita yang dilakukan secara berulang- ulang atau terus- menerus dengan banyak laki- laki.

Peraturan Pemerintah daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan : Wanita susilah adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin diluar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak. Sedangkan peraturan dearah tingkat I Jawa Barat untuk melaksanakan pembatasan dan penertiban masalah pelacuran menyatakan : Pelacur adalah mereka yang melakukan hubungan kelamin diluar pernikahan yang syah.

Kedua peraturan tersebut menekankan masalah hubungan kelamin diluar pernikahan, baik mendapatkan imbalan maupun tidak. Sedang pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan:

Barang siapa atau pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak- banyaknya seribu rupiah.

G. May dalam buku “ Encyclopedia of Social Science”. Menuliskan masalah prostitusi sebagai berikut : Prostitution defined as sexual intercource

characterized by barter, promiscuity and emotional indefference. Sedangkan


(37)

promiscuious unchastity for hire ( prostitusi didefenisikan sebagai dekanan/

kecabulan promiskuos yang di persewakan).11

Kartini Kartono mengemukakan defenisi pelacuran sebagai berikut:

May menekankan masalah barter atau perdagangan secara tukar menukar, yaitu menukarkan pelayanan seks dengan bayaran uang, hadiah, atau barang berharga lainnya. Juga mengemukakan promiskuitas yaitu hubungan seks bebas dan ketidakacauan emosional, melakukan hubungan seks tanpa emosi, tanpa perasaan cinta kasih atau afeksi. Pihak pelacur mengutamakan motif komersil, atau mengutamakan keuntungan materi. Sedang pihak laki- laki mengutamakan pemuasan nafsu dan penyaluran hasrat seksual. Diantara kedua defenisi tersebut memberikan batasan “ promiscuity dan promiscuous unchastity” sebagai tingkah laku tuna susila yang profesional.

12

a. Pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola- pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu- nafsu seks tanpa terkendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersional tanpa afeksi sifatnya.

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjual belikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu- nafsu seks, dengan imbalan pembayaran.


(38)

c. Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki- laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah. Perbuatan melacurkan diri ini dilakukan baik sebagai kegiatan sambilan atau pengisi waktu senggang, maupun sebagai pekerjaan penuh atau profesi. Pelacuran wanita disebut dalam bahasa asingnya prostitue, sedangkan penamaan kasarnya adalah sundal, balon, lonte. Maka kira- kira pada tahun- tahun 60-an oleh beberapa pihak terutama para petugas Dinas sosial, digunakan istilah eufemisme untuk memperhalus artinya ialah wanita tuna susila. Sedang pelacur pria disebut

gigolo.

Dengan adanya unsur komersialisasi dan barter seks, perdagangan tukar- menukar seks dengan benda bernilai, maka pelacuran merupakan profesi yang paling tua sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Yang dimaksud dengan kategori pelacuran ini antata lain adalah13

a. Pergundikan, pemeliharaan bini tidak resmi, bini gelap atau perempuan peliharaan. Mereka hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan perkawinan. Gundik- gundik orang asing ini pada zaman pemerintahan Belanda dahulu disebut Nyai.

:

b. Tante girang atau Loose Married Women yaitu wanita yang sudah kawin, namun tetap melakukan hubungan erotik dan seks dengan laki- laki lain, baik secara iseng untuk mengisi waktu kosong, bersenang- senang dan

13

Kartini, Kartono, Psikologi Wanita, Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, Bandung : Alumni, 1977, hlm. 220- 232.


(39)

mendapatkan pengalaman- pengalaman seks lain, maupun secara intensional untuk mendapatkan penghasilan.

c. Gadis- gadis panggilan adalah gadis- gadis dan wanita- wanita biasa yang menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai pelacur, melalui saluran- saluran tertentu. Mereka ini terdiri dari atas ibu- ibu rumah tangga, pelayan- pelayan toko, pegawai- pegawai, buruh- buruh perusahaan, gadis- gadis lanjutan dan para mahasiswa.

d. Gadis- gadis Bar atau B-girls yaitu gadis- gadis yang bekerja sebagai pelayan bar, dan sekaligus memberikan pelayanan seks kepada para pengunjung.

e. Gadis- gadis juvenile delinquent yaitu gadis- gadis muda dan jahat, yang didorong oleh ketidak matangan emosinya dan keterbelakangan inteleknya. f. Gadis- gadis binal atau free girls: di Bandung mereka disebut sebagai

“bagong lieur” ( babi hutan yang mabuk). Mereka itu adalah gadis- gadis

sekolah atau putus sekolah, dengan pendirian yang brengsek dan menyebarluaskan kebebasan seks secara ekstrem untuk mendapatakn kepuasan seksual.

g. Gadis- gadis taxi yaitu gadis- gadis panggilan yang ditawar- tawarkan dibawa ke tempat plesiran dengan taksi-taksi.


(40)

i. Hostes, yaitu pramuria yang menyemarakkan kehidupan malam dalam nightclub. Pada intinya profesi hostes merupakan bentuk pelacuran halus.

Sedang pada hakikatnya hostes itu adalah predikat baru pelacuran.

j. Promiskuitas, yaitu hubungan seks secara bebas dan awut- awutan dengan

pria manapun juga, dilakukan dengan banyak laki- laki.

Dari beberapa pengertian diatas dapat dikatakan bahwa, pergundikan adalah kategori pelacur. Di Indonesia pergundikan ini sudah dikenal, sejak dahulu yaitu pada masa pemerintahan raja- raja atau sultan- sultan, sudah ada bentuk pergundikan, mereka ini memelihara beberapa gundik untuk memenuhi kebutuhan nafsunya, dan anak yang dilahirkan tidak mendapat hak ahli waris yang syah. Hal ini juga di kenal di negara Arab dengan istilah Harem di lingkungan istana hanya untuk melayani kebutuhan seksnya saja14

Di desa- desa, hampir- hampir tidak terdapat pelacur. Jika adapun mereka kebanyakan datang dari kota- kota dan biasanya di tempat- tempat sepanjang jalan . Bentuk pelacuran ini bukan hanya berkembang dikalangan raja- raja, tetapi ditengah- tengah masyarakat juga tumbuh bentuk pelacuran, ada yang bermukim di bordil- bordil dan ada pula yang berpraktek secara menyolok sekali yaitu pelacur- pelacur yang berpraktek di jalan raya terutama di kota- kota.

3.1.1 Ciri- ciri dan Fungsi Pelacuran

14


(41)

yang dilalui truk- truk dan kendaraan umum yang dijadikan lokasi oleh wanita- wanita tuna susila. Sedangkan di kota- kota besar jumlah pelacur 1-2% dari jumlah penduduknya15

a. Mereka melakukan profesinya dengan sadar dan suka rela.

. Mereka beroperasi secara sembunyi- sembunyi, baik secara individual maupun tergabung.

Banyaknya langganan yang dilayani oleh para wanita tuna susilah ialah 5- 50 orang, dalam jangka waktu 12- 24jam. Bahkan di waktu- waktu perang dan masa- masa yang kisruh, mereka tu mampu melayani 6-120 langganan dalam waktu yang sama. Pelacur- pelacur ini bisa digolongkan dalam dua kategori:

b. Mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawan, dijebak dan dipaksa oleh germo- germo yang terdiri atas penjahat- penjahat.16

Ciri- ciri khas pelacur itu adalah17

1. Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya.bisa merangsang selera seks kaum pria.

:

2. Masih muda- muda, 75% dari jumlah pelacur di kota- kota ada dibawah usia 30 tahun. Yang terbanyak ialah 17-25 tahun.

3. Pakaiannya sangat menyolok, beraneka warna, sering- sering aneh untuk menarik perhatian kaum pria.

15

Op, Cit. Hlm. 203.

16

Op, Cit.

17


(42)

4. Menggunakan teknik- teknik seksual yang mekanistik, cepat, tidak hadir secara psikis, tidak pernah bisa mencapai orgasme.

5. Mereka kerap berpindah dari tempat/ kota yang satu ke kota lainya. Biasanya mereka memakai nama samaran dan sering berganti nama.

6. Pelacur- pelacur profesional dari kelas rendah dan menengah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah. Mereka itu pada umumnya tidak mempunyai skill khusus dan kurangnya pendidikan.

7. 60- 80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah mereka yang lemah ingatan. Selebihnya mereka yang ada pada garis- garis yang tidak menentu atau tidak jelas derajat inteligensinya.

Fungsi pelacuran di tengah masyarakat yaitu: 1. Menjadi sumber pelancar dalam dunia bisnis.

2. Menjadi sumber kesenangan bagi kaum politisi yang harus hidup berpisah dengan istri dan keluarganya. Juga dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik tertertu.

3. Menjadi sumber hiburan bagi kelompok dan individu mempunyai jabatan misalnya pedagang, sopir, anggota tentara, pelaut, polisi, buaya- buaya seks, playboy, dan lain- lain.


(43)

4. Menjadi sumber dan pelayanan hiburan bagi orang- orang cacat misalnya pria yang buruk wajah, pincang, buntung, abnormal secara seksual, para penjahat yang selalu dikejar- kejar polisi dan lain- lain.

3.1.2 Motif- motif Yang Melatarbelakangi Pelacuran

Motif- motif yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada wanita itu beraneka ragam antara lain yaitu:

1. Adanya kecenderungan diri pada banyak wanita untuk menghindari diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. 2. Ada nafsu- nafsu seks yang abnormal, tidak terintregasi dalam kepriabdian,

dan keroyalan seks.

3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan- pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

4. Aspirasi materil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian- pakaian indah dan perhiasan mewah.

5. Anak- anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma- norma susila yang dianggap terlalu mengekang dari anak- anak remaja dan lebih menyukai pola “seks bebas”.


(44)

toko, bintang film, dan lain- lain. Namun pada akhirnya, gadis- gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam bordil- bordil dan rumah- rumah pelacuran.

7. Adanya ambisi- ambisi besar dari diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill/ keterampilan.

8. Anak- anak gadis dan wanita- wanita muda yang kecanduan obat bius. Banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat- obatan tersebut.

9. Ajakan teman- teman yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.

10. Oleh pengalaman- pengalaman traumatis dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, dan lain- lain.

Dari beberapa motif diatas dapat dilihat bahwa, motif- motif seorang wanita terjun dalam pelacuran tergantung dari orang yang melakukannya dengan segala alasan atau sebab yang timbul dalam kehidupannya. Dengan demikian wanita- wanita penghibur tersebut seolah- olah merasa puas dengan apa yang dilakukannya tidak memandang baik buruknya suatu perbuatan.


(45)

3.1.3 Akibat- akibat Pelacuran

Ada beberapa akibat- akibat dari pelacuran tersebut dalam diri sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat yaitu :

1. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrohoe( kencing nanah)18.

2. Merusak sendi- sendi kehidupan keluarga. Suami- suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.

3. Mendemolisir atau memberikan demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak-anak muda dan remaja pada masa puber dan adolensensi.

4. Berkolerasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan- bahan narkotika ( ganja, morfin, heroin, dan lain- lain).

5. Merusak sendi- sendi moral, susila, hukum, dan agama. Terutama sekali menggoyahkan norma hukum dan agama, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama, kerena digantikan oleh pola pelacuran dan

promiskuitas. Yaitu digantikan dengan pola pemuasan kebutuhan seks dan

kenikmatan seks yang awut- awutan murah serta tidak bertanggungjawab. Bila pola ini telah membudaya, maka rusaklah sendi- sendi kehidupan keluarga yang sehat.


(46)

6. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita- wanit pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya, karena sebagian besar harus diterima dari germo.

3.1.4 Jenis Pelacuran dan Lokalisasi

Suatu aspek penting dari kebijaksanaan pemerintah di industri seks, yang menonjolkan ketidakpastian status hukum bagi pelacuran di Indonesia adalah pendirian lokalisasi resmi bagi para wanita tuna susila. Lokalisasi modern yang di bangun pada awal tahun 1960 merupakan salah satu bagian dari kampanye disiplin sosial dan pengendalian.19

19

Terence H. Hull, dkk. Op. Cit. Hlm 30.

Jenis pelacuran dapat dibagi menurut aktivitasnya, yaitu terdaftar dan tidak terdaftar.

1. Pelacuran yang terdaftar

Pelakunya diawasi oleh bagian dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksa diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.


(47)

2. Pelacuran yang tidak terdaftar

Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang melakukan pelacuran secara gelap- gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya ke dokter.

Tujuan dari lokalisasi adalah:

1. Untuk menjauhkan masyarakat umum, tertutama anak- anak puber dari pengaruh- pengaruh immoril dari praktek pelacuran. Juga menghindarkan gangguan- gangguan kaum pria hidung belang terhadap wanita baik- baik. 2. Memudahkan pengawasan para wanita tuna susila, terutama mengenai kesehatan

dan keamanannya.

3. Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para pelacur, yang pada umumnya pihak yang paling lemah.

4. Memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur, dalam usaha rehabilitasi dan resosialisasi.

5. Kalau mungkin diusahakan pasangan hidup bagi para wanita tuna susila yang benar- benar bertanggung jawab, dan mampu membawanya ke jalan benar.


(48)

3.2 Sejarah Pertumbuhan Pelacuran Bukit Maraja

Sejarah tumbuh dan berkembangnya lokalisasi prostitusi Bukit Maraja di desa Marihat Bukit kabupaten Simalungun. Berawal dari sebuah Perkebunan milik perusahaan asing yaitu perkebunan Sipef yang bernama Bukit Maraja. Pada saat perusahaan itu sangat populer sehingga nama Bukit Maraja diadopsi menjadi nama desa yang bersebelahan dengan perkebunan sipef tersebut.

Keberadaan perkebunan sipef ini menyebabkan munculnya inisiatif masyarakat untuk membuka warung di pinggir jalan, dengan tujuan sebagai tempat persinggahan pengunjung yang ingin beristirahat sejenak menghilangkan lelah. Warung tersebut menyediakan makanan dan minuman, karena letak desa tersebut merupakan jalan lintas Asahan Km 22, maka keadaan ini dimanfaatkan untuk membuka warung sebagai penambah penghasilan masyarakat setempat.

Perkembangan selanjutnya, karena banyaknya pengunjung yang datang. Dan para pelayan warung juga terdiri dari para wanita, lama- kelamaan mereka bukan hanya menyediakan makanan dan minuman saja melainkan menyediakan pelayanan seks bagi para pengunjung yang singgah di tempat tersebut.

Pada tahun 1968 warung yang tadinya hanya satu berkembang menjadi tiga warung yang menyediakan pelayanan seks bagi pemuas nafsu para lelaki hidung belang.20

20

Wawancara, dengan Samsudin Tampubolon, Marihat Bukit tanggal 25 April 2007. Pengunjung warung tersebut kebanyakan dari luar daerah yang menggunakan jasa seks. Karena semakin banyaknya permintaan pengunjung pada


(49)

tahun 1971 warung bertambah menjadi 10 warung yang mempekerjakan wanita- wanita dari luar desa Marihat Bukit, dari kegiatan inilah warung yang tadinya disebut warung penjual makanan dan minuman berubah menjadi warung remang- remang di pinggir jalan.

Semakin maraknya berita tentang warung remang- remang tersebut membuat masyarakat setempat menjadi tidak nyaman dan merasa malu. Karena dengan adanya warung menjadi tempat terselubung akan membuat rusak nama desa tersebut. Akhirnya pada tahun 1971 masyarakat setempat yang kontra atau tidak setuju terhadap pendirian warung mengadakan demonstrasi dan mengobrak- abrik warung- warung tersebut, dan beberapa saat warung- warung tersebut sempat di tutup.

Pada tahun 1972 para pengusaha dan pengelola warung, juga masyarakat yang pro atau setuju terhadap pengadaan warung- warung tersebut meminta solusi kepada Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah). Muspida ini terdiri dari unsur pejabat pemerintah daerah, jaksa setempat, kepala polisi dan komandan militer setempat, untuk mengatur dan mengendalikan secara resmi kompleks pelacuran ini. Para pengusaha mengusulkan untuk melokalisasikan tempat tersebut. Permintaan ini akhirnya disetujui oleh Muspida dan mengendalikan / mengatur secara resmi kompleks pelacuran, tetapi lokasinya tidak dipinggir jalan dan agak menjorok ke dalam sekitar 200 meter. Setelah diadakan musyawarah, akhirnya tahun 1972


(50)

ketentuan yang di buat pemerintah daerah tersebut. Atas persetujuan pemerintah daerah, maka berdirilah lokalisasi prostitusi lembah hitam Bukit Maraja.

3.2.1 Pekerja seks/ Pelacur

Para pekerja seks yang ada di desa Marihat Bukit sebagian besar dari luar daerah, dan kebanyakan dari pulau Jawa, yaitu Jawa Timur. Dari tahun 1968 para pekerja seks awalnya dipekerjakan sebagai pelayan warung, tetapi ternyata bukan sekedar pelayan warung saja melainkan dijadikan sebagai pelayan seks bagi para lelaki hidung belang. Hal ini dapat dimengerti bahwa mereka merasa aman bekerja di pelacuran bila jauh dari tempat asalnya. Tidak semua keluarga pekerja seks mengetahui bahwa mereka bekerja di warung- warung yang menyediakan pelayanan seks. Para pekerja seks sering mengaku kepada keluarganya bahwa mereka bekerja di pabrik- pabrik, toko- toko, dan lain- lain. Dari tahun 1968 aktivitas tersebut mulai berkembang dan pada akhirnya tahun 1971 setelah dilokalisasikan menjadi lokalisasi prostitusi, jumlah pekerja seks semakin bertambah dan pada tahun yang sama pekerja seks mulai terdata di Departemen Sosial. Sejak itu pula sampai tahun 1973 jumlah pekerja seks dari 30 orang menjadi 65 orang, dari tahun 1974- 1980 pekerja seks bertambah menjadi 110 orang, dan pada tahun 1981- 1990 berkembang menjadi 300 orang pekerja seks. Disini terlihat perkembangan pesat lokalisasi ini karena semakin banyaknya permintaan para


(51)

pengunjung. Sedangkan bayaran yang diperoleh para pekerja seks dari para tamu/ pemakai pekerjaan seks umumnya Rp. 5000/ short time.

Faktor- faktor yang mendorong para wanita menjadi pekerja seks kebanyakan didorong oleh kebutuhan ekonomi. Banyak dari mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Tapi ada juga para gadis yang dijebak oleh para mucikari dengan berbagai rayuan untuk menjerumuskan para gadis ke dalam kehidupan pelacuran. Faktor yang lain adalah putus asa dan patah hati karena ditinggal kekasihnya dan mereka yang telah bercerai dari suaminya. Sebagian besar para pekerja seks lokalisasi prostitusi Bukit Maraja adalah para janda.

Umur pekerja seks yang tinggal di lokalisasi yang paling muda adalah umur 16 tahun dan yang paling tua 50 tahun. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(52)

Tabel 2.1 Jumlah Pekerja Seks Berdasarkan Umur di Lokalisasi Pelacuran Bukit Maraja

UMUR (dalam tahun) JUMLAH PSK PERSENTASE

16- 19 31 10,33

20- 24 98 32,66

25- 29 87 29

30- 34 46 15,33

35- 39 23 7,66

40- 49 12 4

50 keatas 3 1

Jumlah 300 100%

Sumber : Data statistik Pemilik Kafe/ Barak dan Pelayan Kafe/Barak di Kabupaten Simalungun 1990.

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa umur pekerja seks jumlah yang paling besar adalah berumur antara 20- 24. Dari umur 24 tahun kebawah mayoritas berstatus janda, hanya sebagian kecil dari status gadis atau belum kawin.

Dari umur 35- 50 tahun keatas jumlah pekerja seks sangat minim, dimana sudah banyak mereka yang keluar dari lokalisasi pelacuran karena kurangnya pengunjung terhadap mereka, dan ada sebagian kecil untuk tetap tinggal di dalam


(53)

lokalisasi pelacuran itu yang bekerja sebagai tukang cuci dan pengasuh anak. Beberapa dari Pekerja Seks menyatakan:

Nama Ani, Umur 40 tahun, Asal Jawa Timur. Berkerja dan bertempat tinggal di Vivi Bar Bukit Maraja selama 20 tahun. Pada awalnya saya tidak ingin menjadi wanita yang seperti ini tetapi saya tidak mempunyai sesuatu untuk diharapkan dari kehidupan saya ini, apalagi setelah kekasih saya meinggalkan saya setelah mendapatkan apa yang sangat berharga dari hidup saya yaitu merenggut kesucian saya. Saya lulus dari SMA dan rencana dari orang tua ingin malanjutkan ke perguruan tinggi. Kehidupan keluarga saya cukup mapan. Tetapi setelah kejadian tersebut saya merasa putus asa dan sepertinya dunia saya hancur. Saya sangat malu pada keluarga tetapi dengan segala kehancuran yang ada, saya menjalani kehidupan ini dengan menjadi pekerja seks. Dan seorang mucikari membawa saya dari Jawa Timur menuju Sumatera dan sampailah di lokasi pelacuran Bukit Maraja. Terkadang hati nurani saya tidak ingin melakukan pekerjaan kotor ini tetapi apa boleh buat, saya sudah terlanjur terjerumus. Pada saat itu banyak tamu yang memanggil saya karena usia saya yang masih muda. Dan sampai sekarang saya masih tinggal di lokalisasi ini dan semakin tua dan tidak ada tamu yang memanggil saya, akhirnya saya mencari pekerjaan yang lain yaitu menjadi tukang cuci para pekerja seks. Mau pulang malu pada keluarga.21

Nama Yustina, umur 36 tahun, asal Rantau Parapat. Berkerja dan bertempat tinggal di Marlboro Bar. Saya terjun ke lokasi pelacuran setelah di tinggal oleh suami saya. Dimana kondisi saya pada saat itu hanya sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki anak yang tidak memiliki penghasilan sendiri. Saya bingung karena tidak adanya pekerjaan yang di dapat dengan mudah untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup saya, saya hampir putus asa dengan berat hati, akhirnya saya mencoba untuk terjun ke dunia pelacuran ini agar mendapat uang lebih mudah dan cepat dengan menjual tubuh saya kepada para lelaki hidung belang. Mulanya rasa

Sedangkan penuturan dari pekerja seks lokalisasi prostitusi Bukit Maraja yang masih aktif dalam lokasi tersebut menyatakan :


(54)

penyesalan selalu timbul dalam diri saya. Tapi saya selalu melawan rasa penyesalan itu. Akhirnya saya menjadi terbiasa dan mulai menikmati pekerjaan ini, dan sampai sekarang saya masih dipakai oleh pengunjung baru maupun yang sudah berlangganan22

Nama eva, umur 35 tahun, asal Jawa Tengah, bekerja dan bertempat tinggal di Dwi bar. Saya terjun ke dalam lokalisasi pelacuran Bukit Maraja karena masalah ekonomi, dimana kondisi keluarga saya yang sangat kekurangan, ayah saya hanya seorang kuli yang tidak menetap penghasilannya, harus menghidupi 6 orang anaknya. Melihat kondisi yang seperti ini saya berniat untuk mencari penghasilan sebagai penambah kebutuhan dalam keluarga. Saya mencoba mencari pekerjaan, tetapi hasilnya tidak ada sama sekali, sangat sulit mencari pekerjaan di pulau jawa ini dengan pendidikan yang rendah seperti saya ini. Akhirnya saya berkenalan dengan seorang wanita paruh baya, dia menawarkan pekerjaan kepada saya dengan penghasilan yang memuaskan, tetapi saya di kirim ke Medan tepatnya di desa Marihat Bukit. Saya dibohongi, saya terkejut, saya di suruh menemani para lelaki yang berkunjung ke tempat ini, dan berlanjut sampai akhirnya melayani kebutuhan seks mereka. Hati saya sangat hancur. Saya merasa tubuh saya sangat kotor. Tapi tak ada yang perlu disesali lagi, karena kondisilah yang membuat saya seperti ini. orang tua saya tidak tahu apa yang saya kerjakan disini, setiap bulannya saya mengirim uang hasil pekerjaan kotor ini kepada keluarga saya.

. Kemudian penuturan dari :

23

Alasan mereka terjun menjadi wanita pelacur, yang masih berstatus gadis menyatakan akibat faktor lingkungan. Terlampau keras pendidikan dalam keluarga.

Di lokalisasi pelacuran Bukit Maraja dari 300 pekerja seks, 70 % berstatus janda, dan 21 % yang berstatus gadis atau belum kawin, dan 9 % yang berstatus kawin.

22

Wawancara, dengan Yustina, Pekerja Seks lokalisasi prostitusi Bukit Maraja, 10 Juli 2007.

23


(55)

Sekali ia terlepas dari lingkungan keluarganya maka ia terjerumus ke dalam kehidupan seksual. Mula- mula hanya berdasarkan kebutuhan jasmaniah atau naluri seks dengan pengisian kehampaan kasih sayang, kemudian bersifat materi. Pendidikan keluarga yang bebas, dapat membawa pengaruh buruk terhadap anak wanita, karena sebelum dewasa, anak telah membiarkan diri ke dalam pergaulan hubungan seks dan orang tua atau keluarga tidak mau tahu tentang anak.

Sedangkan wanita pelacur yang mempunyai status janda, ada yang berdasarkan karena kawin dalam usia muda sehingga belum mempunyai kematangan dalam hidup berumah tangga. Timbul percekcokan dalam rumah tangga dengan berbagai dalih yang dapat diterima, terjadilah perceraian dalam usia muda. Alasan mereka terjun kelokasi pelacuran pada umumnya bermotifkan materi dalam masalah kelanjutan hidupnya yaitu membiayai hidup anak atau orang tua, dan ada juga yang menyatakan ia terjun kepelacuran karena keinginan

beravonturisme ( petualangan)24

Pada umumnya para wanita pelacur memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Di lokalisasi pelacuran Bukit Maraja menurut penelitian penulis dari 300 pekerja seks, 22% tidak tamat SD, 62% tamat SD, 12% tamat SMP, 4% tamat SMA.

.

25

24


(56)

Berlainan pula motivasi wanita pelacur yang mempunyai status kawin atau mempunyai suami. Disamping masalah materi untuk menambah biaya hidup atau penghasilan dalam rumah tangga, ada yang bermotifkan karena dimadu oleh suami sehingga ia melarikan diri dari keluarga dan terjun menjadi wanita pelacur.

Kemudian ditinjau mengenai sebab- sebab mereka memilih lokasi pelacuran Bukit Maraja sebagai tempat berpraktek, adalah karena lokasi ini telah mendapat izin, sehingga mereka tidak takut lagi diuber- uber oleh petugas dan merasa aman, tidak ada lagi pemerasan. Keamanan dan kesehatan kami lebih terpelihara26

Tingkat kehidupan para pengunjung yang datang ke lokasi pelacuran Bukit Maraja bermacam- macam, seperti kelas pedagang, pengusaha, petani, buruh, dan ada juga sebagaian kecil pegawai negeri sipil. Disayangkan sekali tindakan- tindakan dari laki- laki yang mengunjungi tempat pelacuran ini dengan mengeluarkan biaya yang demikian banyak untuk pemuas nafsu seksnya saja.

.

Pengunjung yang datang ke lokalisasi pelacuran Bukit Maraja yang berdasarkan status, pada umumnya laki- laki yang sudah berumah tangga (berkeluarga) lebih banyak, dibanding dengan laki- laki yang belum berkeluarga. Pengunjung setiap harinya datang, ada yang pulang dan ada yang menginap setelah selesai mendapat pelayanan seks dari para wanita pelacur.

26


(57)

Terutama bagi laki- laki dari kaum tani dan buruh- buruh yang mempunyai penghasilan yang pas- pasan.

Tahun 1977 lokalisasi ini digunakan untuk proyek rehabilitasi para wanita tuna susila, yang pada waktu itu Bapak Regen Rajagukguk sebagai penghulu pernah mengadakan studi banding ke dolly Jawa Timur tentang pengrehabilitasian lokalisasi pelacuran Bukit Maraja27

Setelah memberikan penyuluhan- penyuluhan maka pemerintah menjadikan lokalisasi ini menjadi sektor pendapatan daerah. Seperti pemungutan pajak dari lokalisasi pelacuran tersebut, dan para pengguna layanannya menyetujui

. Beliau mengusulkan bagaimana supaya pemerintah setempat turun tangan ke lokalisasi pelacuran ini, dalam rangka menyediakan fasilitas seperti pelayanan kesehatan. Dan Dinas sosial membuat pelatihan- pelatihan memasak , salon , menjahit, dan perlengkapan keterampilan serta dana tersebut dari dinas sosial. Contohnya dinas kesehatan juga mengambil sampel darah untuk mendeteksi orang yang terjangkit HIV, dan penyakit IMS (sipilis) dan lain- lain.

Dinas kesehatan kabupaten Simalungun secara kontinu seminggu sekali setiap hari senin melakukan pemeriksaan medis terhadap wanita- wanita pelacur yang ada di lokasi pelacuran Bukit Maraja, terutama mengenai penyakit kelamin. Penyakit kelamin seperti sipilis, Gonorhoe, dan sebagainya yang timbul karena adanya pelacuran.


(58)

pembayaran pajak tersebut. Adanya proyek ini menjadikan pengelola merasa lebih aman, dan karena itu juga tempat ini tidak pernah dirazia oleh aparat. Justru aparatlah yang melindungi mereka kalau ada membuat masalah yang datang dari pengunjung maupun dari luar komplek tersebut.

Hubungan solidaritas sosial para wanita pelacur tersebut dalam bidang- bidang tertentu masih ada, misalnya bila diantara kelompok pelacur terkena musibah atau hal- hal yang tidak diharapkan, mereka bergotong- royong mengummpulkan dana untuk membantu yang bersangkutan. Tetapi berbeda halnya dalam menghadapi langganan. Bila seorang langganan pernah bertamu kepadanya, maka ia tidak menghendaki langganannya itu direbut yang lainnya.

3.2.2 Mucikari/ Germo

Mucikari merupakan tenaga- tenaga penyalur dan yang menampung para

pekerja seks. Para mucikari/ germo yang berada di lokasi pelacuran Bukit Maraja pada umumnya mendapat keuntungan yang besar. Besar kecilnya keuntungan tergantung pada banyaknya jumlah wanita pelacur yang dipeliharanya. Makin banyak wanita pelacur yang dipeliharanya semakin banyak persen yang diterima dari pelayanan wanita pelacur terhadap tamunya. Mucikari menyediakan kamar bagi para tamu yang menggunakan jasa pekerja seks yang mereka pelihara. Di lokalisasi pelacuran Bukit Maraja, harga sewa kamar yang di tetapkan Rp. 1000,00/ kamar. Para mucikari/ germo yang ada di desa ini adalah sebagian pendatang dan


(59)

ada pula penduduk setempat yang telah lama tinggal di desa tersebut. Misnawati sebagai mucikari menuturkan sebagai berikut:

Saya sebagai seorang mucikari yang menyediakan serta mencari wanita- wanita yang berminat sebagai pekerja seks dari luar daerah khususnya dari daerah jawa tengah, dan saya menyediakan tempat tinggal bagi para wanita tersebut. setiap harinya ada saja tamu yang entah dari mana saja membutuhkan cewek- cewek yang ada dibarak saya, walaupun tidak seramai pada hari- hari libur. Yang bayar kepada saya adalah para pekerja saya, bukan tamu. Hasil dari wanita pelacur ini untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Uang dari wanita pelacur inilah yang saya pakai unutk membiayai kebutuhan hidup keluarga saya sehari- hari28

Saya terjun ke dunia pelacuran ini karena saya memang awalnya seorang pekerja seks yang melayani tamu. Penghasilan yang saya peroleh cukup lumayan dengan bekerja secara keras tanpa lelah, tidak peduli gimanapun kondisi saya, pada saat itu saya masih mudah dan banyak tamu yang memakai saya. Akhirnya umur saya semakin tua dan tubuh saya tidak kuat lagi melayani para tamu dan panggilan ke saya sudah mulai berkurang. Akhirnya saya mencoba membangun sebuah bar di komplek ini, dan mempekerjakan wanita- wanita dari luar daerah. Dan saya hanya meminta uang sewa kamar dan penjualan minuman dari mereka. Hasil yang saya peroleh dapat memenuhi kehidupan keluarga saya.

.

Mucikari/ germo lokalisasi prostitusi Bukit Maraja juga menuturkan

alasannya menggunakan tempat ini sebagai pencari penghasilan mereka adalah sebagai berikut :

29

Pada tahun 1971 jumlah mucikari/ germo berjumlah 18 orang. Yang terus berkembang sampai pada tahun 1990 menjadi 81 orang mucikari/ germo. Untuk


(60)

lebih jelasnya jumlah persebaran mucikari/ germo dari tahun 1971- 1990 dan jumlah barak ( rumah untuk melakukan aktivitas pelacuran) , dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Jumlah Mucikari dan Barak dari tahun 1971- 1990

Tahun Mucikari/ germo Barak

1971- 1972 18 18

1973- 1975 30 30

1976- 1978 40 40

1979- 1982 43 43

1983- 1990 81 81

Data : Wawancara dengan Kepala Dusun III Marihat Bukit.

Dari tabel dapat dikatakan bahwa, dari tahun 1971- 1990 perkembangan pelacuran Bukit Maraja semakin berkembang dimana bertambahnya para

mucikari/ germo dan barak- barak. Disini jelas perkembangan pelacuran di

pengaruhi oleh permintaan pengunjung yang datang ke lokasi pelacuran Bukit Maraja.

Para mucikari/ germo dikenakan pajak oleh pemerintah daerah. Dengan adanya pembayaran pajak ini, para mucikari lebih leluasa melakukan aktivitasnya karena mereka dilingungi oleh pemerintah daerah.


(61)

BAB IV

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH ADANYA LOKALISASI PROSTITUSI BUKIT MARAJA

4.1 Pengaruh Lokalisasi Prostitusi Terhadap Kehidupan Masyarakat 4.1.1. Buruh

Mata pencaharian penduduk desa Marihat Bukit yang utama sebelum adanya lokalisasi prostitusi adalah bekerja sebagai buruh perkebunan di perkebunan kelapa sawit milik perusahaan asing yaitu Perkebunan Sipef.

Apabila dilihat dari penghasilan atau upah buruh- buruh tersebut sangatlah pas- pasan. Kadang- kadang mereka kekurangan uang untuk menghidupi keluarga. Akhirnya para buruh berinisiatif untuk mencari pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Berdirinya lokalisasi pelacuran di desa Marihat Bukit sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat setempat, terutama dapat menambah penghasilan tambahan. Selain bekerja sebagai buruh tetap di perkebunan, mereka juga bekerja sampingan seperti, tukang ojek, pedagang asongan, dan sebagainya. Demikian juga para pengguna lokalisasi prostitusi dan penduduk yang tinggal dalam lokalisasi prostitusi, karena jarak menuju lokalisasi cukup jauh, maka dengan adanya ojek tersebut, mereka merasa sangat terbantu. Hasil dari pekerjaan sebagai tukang ojek


(62)

memberi uang lebih kepada para pengojek yang memberikan jasanya untuk mengantar mereka ke tempat tujuannya.

Walaupun demikian tidak semua masyarakat yang menggunakan kesempatan ini untuk tempat mencari nafkah, karena masih ada masyarakat yang tidak setuju, dan mereka merasa kehadiran lokalisasi prostitusi telah kotor dan mencemarkan nama desa tersebut.

4.1.2. Pedagang

Para pedagang yang ada di desa Marihat Bukit pada umumnya beretnis Cina, mereka membuka warung besar seperti grosir, tetapi ada juga etnis lain, seperti Batak, Jawa, dan mereka ini membuka warung sampah (kelontong) karena modal yang tidak memadai. Penghasilan para pedagang ini cukup lumanyan, karena para buruh yang bekerja di perkebunan berbelanja di tempat tersebut, mengingat karena jarak desa ke kota cukup jauh, dan alat transportasi yang kurang memadai. Apalagi setelah adanya lokalisasi prostitusi, maka sejak tahun 1971 menunjukkan adanya peningkatan pendapatan para pedagang karena banyaknya para pengunjung yang datang ke desa tersebut.

Meningkatnya para pengunjung yang datang ke lokalisasi pelacuran ini, terlebih- lebih pada tahun 80-an menjadikan masyarakat semakin tertarik untuk berdagang di lokalisasi pelacuran. Hal ini merupakan peluang besar untuk


(63)

mendapatkan keuntungan bagi masyarakat dalam mencari uang di lokalisasi pelacuran tersebut.

Melihat kondisi yang demikian, masyarakat luar juga tertarik untuk datang ke dalam lokasi pelacuran tersebut untuk mecari uang. Para pedagang yang datang ketempat ini bukan hanya dari desa Marihat Bukit saja tetapi banyak juga yang datang dari luar daerah untuk menjajahkan barang dagangannya di tempat pelacuran tersebut. Barang yang di dagangkan seperti pakaian- pakaian, emas (perhiasan), makanan, rokok, dan lain sebagainya. Penghasilan yang mereka peroleh sangat menguntungkan. Ibu Tukiem menuturkan sebagai berikut :

“ saya sudah dari tahun 1979 berjualan nasi di tempat ini. Saya tinggal di desa selelah. Saya Cukup puas dengan penghasilan yang saya peroleh dari kompleks pelacuran ini karena dengan ini dapat menambahi penghasilan suami saya yang hanya seorang petani. Walaupun banyak omongan- omongan dari luar terhadap saya tentang pekerjaan ini, karena saya mencari uang di tempat kotor seperti ini. Tapi saya tidak peduli, karena ini demi membantu perekonomian keluarga saya. Toh, sampai sekarang saya masih mendapat uang di tempat ini30

.

Para pedagang yang datang ke dalam lokasi pelacuran tersebut mendapat keuntungan yang cukup lumayan. Walaupun terkadang sistem pembayaran yang dipakai mereka adalah utang. Setelah para pengguna lokalisasi ( pelacur, germo, pengunjung) mendapatkan penghasilan, barulah mereka membayarkan utang mereka kepada para pedagang.


(64)

Selain itu terlihat juga bahwa, kerukunan antara pedagang dengan para pelacur cukup baik. Para pedagang tidak merasa malu bekerja atau mencari nafkah di tempat tersebut. Mereka masa bodoh dengan omongan orang yang sering mencelah mereka, seperti mencari nafkah di tempat tersebut dianggap tidak halal.

Adanya lokalisasi prostitusi di desa ini, sangat berpengaruh terhadap pendapatan/ pengahasilan masyarakat setempat maupun masyarakat di luar desa tersebut. Sebagaian masyarakat juga dapat menggantungkan hidupnya di dalam kompleks pelacuran demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

4.1.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat dimanapun berada, namun di desa ini terdapat tingkat pendidikan yang sangat rendah. Hal ini terlihat bahwa banyak terdapat anak- anak yang putus sekolah, bahkan SD saja tidak tamat. Disatu sisi karena faktor kemiskinan keluarga, kenakalan, dan kurangnya perhatian orang tua. Akan tetapi ada juga yang melanjutkan sekolah keluar karena minimnya fasilitas sekolah di desa Marihat Bukit.

Disamping karena faktor yang menyebabkan minimnya tingkat pendidikan, juga terpengaruh oleh berdirinya lokalisasi prostitusi di Marihat Bukit. Mereka tidak mau melanjutkan sekolah karena terpancing dengan mudahnya mencari uang di lokasi prostitusi tersebut. Ada yang memanfaatkan jasa sebagai tukang ojek bagi


(65)

anak laki- laki, anak perempuan sebagai tukang cuci, dan pengasuh anak. Karena mereka menganggap lokasi tersebut sebagai sumber penghasilan uang yang cepat.

Dengan adanya lokalisasi prostitusi tersebut cukup berpengaruh kepada masalah pendidikan anak di desa Marihat Bukit, tetapi dengan perkembangan teknologi dan dengan adanya program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah daerah dan masyarakat mencoba menanggulangi masalah ini. Sejak saat itu, pendidikan mulai berkembang dan banyak anak- anak yang sudah bersekolah.

4.1.4 Agama

Sejak zaman dahulu kala para pelacur selalu dikecam atau dikutuk oleh masyarakat, karena tingkah lakunya yang tidak susila, dan dianggap mengotori sakralitas hubungan seks31

Pada tahun 1968 sejak awal berdiri lokalisasi terjadi pertikaian diantara masyarakat, ada masyarakat yang pro (setuju) dan kontra (tidak setuju) terhadap . Mereka disebut sebagai orang- orang yang melanggar norma moral, adat, dan agama.

Masyarakat desa Marihat Bukit merupakan masyarakat yang beragama dan mempunyai adat istiadat yang cukup baik. Walaupun terdapat agama yang berbeda- beda tetapi hubungan solidaritas antar umat beragama terjalin dengan baik.


(66)

kegiatan pelacuran32

32

Wawancara, dengan Bapak Mardiansyah, Marihat Bukit, tanggal 26 Agustus 2007. . Dari warung remang- remang sampai perkembangannya menjadi lokalisasi prostitusi yang berada di sekitar desa tersebut membuat masyarakat menjadi semakin resah dan ketakutan. Hal ini takut akan berpengaruh terhadap masyarakat setempat, yang juga sangat bertentangan baik dalam agama maupun adat- istiadat.

Dalam agama, baik ditinjau dari Alqur’an maupun injil sangat bertentangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Alqur’an surat Al Isra ayat 32, menyebutkan :

“Dan janganlah kamu sekali- kali melakukan perzinahan, sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan dan jalan yang buruk”.

Sebab perzinahan yaitu persetubuhan antara laki- laki dan perempuan diluar perkawinan itu melanggar kesopanan, merusak keturunan dan, menyebabkan penyakit kotor, menimbulkan persengketaan, ketidakrukunan dalam keluarga, dan malapetaka lainnya.

Dalam buku injil Tuhan berfirman dalam kitab keluaran 20: 14 dan hukum taurat yaitu hukum yang ketujuh yang berbunyi: “ Jangan kamu berbuat jinah”.

Pelacuran merupakan salah satu perjinahan, perjinahan yang dimaksudkan dalam hal ini merupakan persebadanan atau persetubuhan di luar norma- norma pernikahan dan penyimpangan dari norma- norma susila dalam masyarakat.


(67)

Tuhan menganuhgrahkan tubuh ini kepada kita untuk tidak disalah gunakan. Kita harus mempergunakan tubuh ini sesuai dengan kehendaknya. Jadi persetubuan yang dilakukan oleh pelacur dengan langganannya adalah suatu dosa terhadap Tuhan.

Dalam Alkitab tibuh kita ini disebut Rumah Roh Kudus. Jadi kalau kita melacur berarti telah mengotori Rumah Roh Kudus. Kita telah berbuat dosa terhadap diri sendiri dan melah merusak anugrah Tuhan yaitu diri sendiri.

“ larilah dari pada zinah! Maka tiap- tiap dosa lain yang dilakukan orang, yaitu dari luar tubuh itu, tetapi orang yang sundal itu, yaitu berdosa kepada diri sendiri. Atau tidakkah kamu mengetahui bahwa tubuhmu itu adalah Rumah Rohu’lkudus yang diam didalam tubuhmu itu yang telah kamu peroleh dari Allah dan bukan kamu bukan milikmu sendiri”( Alkitab 1 Korintus 6 : 18-19, 1963: 226).

Dalam 1 tesalonika 4 : 3 dan 5 Allah berfirman agar kita wajiblah menjauhkan diri dari pada zinah orang- orang yang menurutkan hawa nafsunyya itu adalah orang kafir.

“ Sebab itu wajiblah kamu menjauhkan dirimu dari pada zinah. Bukannya di dalam keinginan hawa nafsu, seperti orang kafir yang tiada mengenal Allah”. ( Alkitab, 1963 : 275)

Dalam 1 korintus 6 : 9- 10 Allah berfirman bahwa orang- orang yang berbuat jinah tidak akan menjadi kerjaan Allah.


(68)

Dari kutipan tersebut jelaslah bahwa orang- orang yang melacur itu baik wanita, atau pria sangat bertentangan dengan agama. Perbuatan pelacuran adalah suatu dosa, dosa kepada Allah, dosa kepada diri sendiri, dan dosa sesama manusia.

Dosa terhadap Allah karena bertentangan dengan kehendakNya yaitu firman Tuhan yang berbunyi : Janganlah kamu berbuat zinah. Pelacuran adalah salah satu proses perzinahan.

Dosa terhadap diri sendiri. Dalam alkitab tubuh ini disebut Rumah Rohul kudus. Barang siapa yang melacur, berarti berbuat dosa terhadap diri sendiri dan merusak anugerah Tuhan.

Dosa terhadap sesama manusia. Barang siapa berjinah, lupalah ia bahwa persetubuhan itu mengenai seluruh pribadi sesama bersetubuh. Barang siapa menghampiri seorang pelacur, iapun hanya mencari tubuh pelacur dan merusak pribadi atau jiwa pelacur itu. Pelacuran adalah suatu penghinaan yang kasar terhadap sesama manusia. Di dalam seseorang itu seorang manusia dipakai oleh sesamanya untuk memuaskan keinginan yang egoistis.

Si pemakai pelacur memandang si pelacur bukan manusia, tetapi sebagai bahan nikmat, yang hidup. Sungguhpun ia mengadakan hubungan seksuil, namun bukanlah merupakan suatu persekutuan, dalam arti dalam. Pergaulan dengan laki- laki dan seorang pelacur hanya yang bersifat kekelaminan semata- mata. Si lelaki hanya mencari tempat penggunaan alat kelaminnya, sedangkan si pelacur tidak


(69)

menyerahkan prribadinya kepada langganannya tetapi hanya alat kelaminnya. Jadi pelacuran harus diberantas karena merupakan perbuatan dosa.

4.2 Pengaruh Lokalisasi Prostitusi Terhadap Perubahan Ekonomi Sosial dan Budaya Masyarakat Di Desa Marihat Bukit

4.2.1 Perubahan Ekonomi

Secara umum perubahan terjadi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya di dalam masyarakat. Perubahan- perubahan itu terjadi dengan lambat (evolusi) atau dengan cepat (revolusi)33

Ekonomi adalah segala pertukaran khususnya tentang materi yang memenuhi kebutuhan sosial keluarga dan masyarakat. Hidupnya ekonomi berarti hidupnya sosial, tanpa adanya pun yang dicita- citakan tidak akan berhasil atau . Kehidupan manusia itu adalah proses suatu tahap ke tahap lainnya, karena perubahan sebagai proses dapat menunjukkan perubahan ekonomi, sosial, dan budaya, atau berlaku keseluruhannya pada suatu runtutan proses itu. Proses dengan makna sosial pada hakekatnya adalah perjalanan kehidupan suatu masyarakat yang ditunjukkan oleh dinamikanya, baik mengikuti evolusi biologik dalam daur kehidupan, maupun tingkah laku dalam menghadapi situsi sosial mereka yang berubah dengan perkembangan industri dan teknologi yang membawa pengaruh bagi perubahan lingkungan dan tingkah laku.


(70)

hasilnya akan hampa belaka, tetapi apabila di dukung oleh ekonomi yang memadai hasil yang akan diharapkan akan lebih mudah tercapai.

Menurut Lipsey dan Slemer, bahwa ekonomi sebagai ilmu sosial yang khusus membahas persoalan- persoalan disekitar masalah perekonomian. Sedangkan menurut Alfred Marshal : ekonomi sebagai ilmu mempelajari manusia dalam kehidupan sehari- hari, ( Economic is a study of man kind in the ordinary

business life).34

Desa Marihat Bukit yang terbentuk sebagai lokalisasi prostitusi, dengan terbentuknya lokalisasi prostitusi merupakan suatu latar belakang yang menyatakan adanya perbedaan- perbedaan dalam ekonomi yang dicapai dalam masyarakat. Dengan adanya motivasi dan nilai- nilai manusia itu sendiri akan mendorong

Dari kedua pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa, ekonomi dan manusia merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan sebagai pelaksana kegiatan ekonomi. Begitu juga dengan terbentuknya lokalisasi prostitusi di desa Marihat Bukit yang berdampak dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan perekonomian masyarakat tersebut. Hal itu terjadi karena motif yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara para wanita tuna susila dengan masyarakat setempat bahkan dengan para pengunjung yang ingin menikmati cinta sesaat dalam menyalurkan nafsu dan hasrat seksual.

34

Deliarnov, Pengantar Ekonomi Makro, Jakarta: Universtas Indonesia ( UI- Press), 1995, hlm. 7.


(71)

manusia tersebut untuk lebih berusaha lagi meningkatkan taraf hidup mereka dan status sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.

Begitu juga dengan motivasi dan latar belakang para pelacur/ pekerja seks tersebut adalah ekonomi. Dengan menjadi pelacur/ pekerja seks tersebut, maka sangat cepat dan mudah tanpa mengeluarkan pikiran mereka mendapatkan uang apabila dibandingkan dengan mereka yang bekerja di bidang lainnya. Para pengusaha yang menggantungkan usahanya di lokasi pelacuran ini memandang adanya aktivitas pelacuran dapat memicu perkembangan bisnis seperti berjualan, simpan pinjam uang, dan lain sebagainya.

Jadi pada dasarnya terbentuknya lokalisasi prostitusi di desa Marihat Bukit merupakan suatu unsur yang mendorong perkembangan perekonomian masyarakat yang ada di desa tersebut. salah satunya masyarakat desa Marihat Bukit yang kebanyakan bekerja sebagai buruh dan petani, yang mempunyai penghasilan pas- pasan menjadikan lokalisasi prostitusi ini sebagai tempat untuk menambah penghasilan mereka dengan bekerja di tempat itu. Apalagi bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan. Dengan adanya lokasi prostitusi ini dapat meningkatkan pendapatan/ pengahasilan mereka.

4.2.2. Perubahan Sosial Dan Budaya


(72)

terjadi dapat membawa dampak yang positif dan negatif atau yang membawa kemajuan (progres) dan kemunduran (regres).

Perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto adalah sebab- sebab yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri antara lain bertambahnya atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan- penemuan baru, pertentangan atau konflik dalam masyarakat dan terjadinya pemberontakan atau revolusi.35

Sedangkan kata budaya merupakan kependekan kata “ kebudayaan”. Ada sementara ahli yang mengatakan bahwa kata “ budaya” pada dasarnya mengaju pada cipta, rasa, dan karsa, sedangkan hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu sendiri disebut “ kebudayaan”. 36

Apabila deviasi atau penyimpangan tingkah laku berlangsung terus- menerus, dalam jumlah pelacur semakin banyak menjadi kelompok deviant dengan tingkah lakunya yang menyolok, maka terjadilah perubahan pada sikap dan organisasi masyarakat terhadap prostitusi. Terjadi perubahan- perubahan dalam

Berdasarkan hal tersebut diatas, untuk memahami dampak dari lokalisasi prostitusi terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di desa Marihat Bukit, kebudayaan di lihat sebagai pedoman atau kerangka acuan untuk mengadaptasi diri dan menghadapi lingkungan- lingkungan tertentu dengan segala perubahan yang ada dan yang bersifat dinamis.

35

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada. 2001. Hlm 325.

36

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia. 2004. Hlm 9.


(1)

Memperhatikan : Persetujuan Menteri Negara Penerbitan Aparatur Negara dalam suratnya Nomor B/508/I/MENPAN/5/78 tanggal 11 Mei 1978.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN

ORGANISASI DAN TATA KERJA PANTI DAN SASANA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN SOSIAL.

BAB I s/d BAB III BAB IV

PANTI REHABILITASI WANITA TUNA SUSILA

Pasal 44

Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila adalah unit pelaksana teknis dibidang rehabilitasi dan pelayanan sosial dalam ligkungan Departemen Sosial.

Pasal 45

Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial setempat.

Pasal 46

Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila bertugas melaksanakan usaha- usaha rehabilitasi dan pelayanan sosial bagi wanita tuna susila dengan jalan penampungan, pemeliharaan kesehatan, bimbingan, latihan keterampilan, dan penyaluran kedalam masyarakat.


(2)

Pasal 47

Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila berfungsi :

a. Penampungan dan pemeliharaan kesehatan. b. Observasi dan Identifikasi.

c. Pembinaan mentak dan bimbingan kemasyarakatan. d. Pemberian latihan keterampilan.

e. Pelaksaan usaha- usaha penyaluran kedalam masyarakat. f. Pemeliharaan Lanjut.


(3)

Gambar 1 : Sekitar Komplek Lokalisasi Pelacuran Marihat Bukit.

Gambar 2 : Palang depan batas antara pemukiman penduduk dengan Lokalisasi prostitusi


(4)

Gambar : Palang masuk menuju Lokalisasi.

Gambar 4 : Gambar para wanita pekerja seks yang berada di Lokalisasi prostitusi Bukit Maraja


(5)

Gambar : Salah satu Barak tempat para penghuni lokalisasi prostitusi melakukan aktivitasnya


(6)

Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Komdom dalam Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) di Lokalisasi Bukit Maraja Kabupaten Simalungun Tahun 2013

0 58 130

Gambaran Pengetahuan Wanita Pekerja Seks (WPS) Tentang Penyakit HIV/AIDS Dilokalisasi Bukit Maraja Desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 25 113

REVITALISASI KAWASAN BUKIT KERANG BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT DI DESA BARU KECAMATAN HINAI KABUPATEN LANGKAT.

0 5 23

Gambaran Pengetahuan Wanita Pekerja Seks (WPS) Tentang Penyakit HIV AIDS Dilokalisasi Bukit Maraja Desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 14

Gambaran Pengetahuan Wanita Pekerja Seks (WPS) Tentang Penyakit HIV AIDS Dilokalisasi Bukit Maraja Desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 1

Gambaran Pengetahuan Wanita Pekerja Seks (WPS) Tentang Penyakit HIV AIDS Dilokalisasi Bukit Maraja Desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 10

Gambaran Pengetahuan Wanita Pekerja Seks (WPS) Tentang Penyakit HIV AIDS Dilokalisasi Bukit Maraja Desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 29

Gambaran Pengetahuan Wanita Pekerja Seks (WPS) Tentang Penyakit HIV AIDS Dilokalisasi Bukit Maraja Desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 2

Gambaran Pengetahuan Wanita Pekerja Seks (WPS) Tentang Penyakit HIV AIDS Dilokalisasi Bukit Maraja Desa Marihat Bukit Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 26

Pemeriksaan MDT tpa desa bukit

0 1 3