PENDAHULUAN DINAMIKA SISTEM BUNYI PANJANG DALAM BAHASA MELAYU DI BALI.

Data di atas memperlihatkan adanya perubahan realisasi fonetis yang konsisten dari representasi fonemis vokal- vokal tersebut. Vokal i direalisasikan sebagai [ɪ] apabila berada pada silabel tertutup, demikian juga vokal e, u, dan o masing-masing direalisasikan sebagai [ɛ], [ʊ], dan [ɔ] apabila terdapat pada distribusi silabel tertutup. Bandingkan realisasi i pada kata ni ni[ni]‘ini’ dengan kata bebir bebir [bebɪr] ‘bibir’. Vokal i direalisasikan sebagai [i] pada ni ni[ni] ‘ini’ karena berada pada silabel terbuka, sedangkan i direalisasikan sebagai [ɪ] pada kata bebir bebir [bebɪr] ‘bibir’ karena berada pada silabel tertutup. Data tersebut memperlihatkan secara konsisten realisasi vokal tegang i menjadi vokal kendur [ɪ]. Demikian juga dengan vokal yang lain, vokal e direalisasikan sebagai [e] pada kata bebir bebir [bebɪr] ‘bibir’ karena berada pada silabel terbuka, sedangkan direalisasikan sebagai [ɛ] seperti pada kata aren aren [arɛn] ‘enau’ karena berada pada silabe tertutup. Kemudian, vokal u direalisasikan sebagai [u] seperti pada kata bute but ə [but ə] ‘buta’ karena berada pada silabel terbuka, sedangkan direalisasikan sebagai [ʊ] seperti pada kata lorus lorus [lorʊs] ‘lurus’ karena berada pada silabel tertutup. Seterusnya, vokal o direalisasikan sebagai [o] seperti pada kata bolo bolo [bolo] ‘buluh’ karena berada pada silabel terbuka, sedangkan direalisasikan sebagai [ɔ] seperti pada kata belok b ə lok [b əlɔɁ] ‘bodoh’ karena berada pada silabel tertutup. Berdasarkan data di atas dapat dirumuskan kaidah realisasi fonetis vokal-vokal tegang tersebut menjadi vokal kendur karena berada pada distribusi silabel tertutup. Untuk itu, kaidah pengenduran vokal tersebut terlihat sebagai berikut. K: Pengenduran Vokal Tegang Kaidah di atas merumuskan bahwa setiap vokal [+tegang] yang biasanya [-rendah] tinggi atau sedang akan mengalami pengenduran dalam realisasi fonetisnya apabila berada pada silabel tertutup silabel yang diakhiri dengan konsonan. Kaidah tersebut akan merealisasikan vokal tegang yang bukan rendah , yaitu i, e, u, o, masing- masing menjadi vokal kendur dalam realisasinya, yaitu [ɪ, ɛ, ʊ, ɔ] apabila diikuti konsonan dalam silabel silabel tertutup. Contoh penerapan kaidah tersebut terlihat dalam proses fonologis berikut ini. aren aren [ar ɛ ] e au bebir bebir [beb ɪr] i ir ______________________________________________________ Bentuk Dasar Fonemis aren bebir Kaidah Pengenduran vokal tegang K Pengenduran [arɛn] [bebɪr] Bentuk Turunan Fonetis [arɛn] [bebɪr] Penerapan kaidah di atas menyebabkan vokal e yang tegang menjadi [E] kendur pada silabel tertutup ren , sedangkan pada silabel be tidak menjadi kendur karena berada pada silabel terbuka. Demikian juga, vokal i yang tegang dalam representasi fonemis menjadi kendur dalam representasi fonetis karena berada pada silabel tertutup bir.

2.1.2 Pelesapan Bunyi Vokal Pelesapan Schwa ə pada Kata Preposisi ke ke

Secara umum bunyi schwa ə tergolong bunyi lemah jika dibandingkan dengan bunyi yang lain, seperti a, i, dan u. Schane 1973:12 menyebut bahwa vokal a, i, dan u merupakan vokal dasar yang ditemukan di hampir semua bahasa di dunia dan vokal tersebut juga merupakan vokal pertama dalam pemerolehan bahasa anak. Semua vokal lain selain ketiga vokal dasar itu terdapat dalam ruang perseptual di antara vokal i, u, dan a tersebut. Sementara itu, bunyi vokal ə hanya V [ - tegang ] __ K - rendah + tegang ditemukan dalam bahasa tertentu saja; kalau pun ada, bunyi tersebut bersifat penyisipan; dan bunyi itu juga mudah hilang dalam pemakaian bahasa. Berdasarkan pernyataan tersebut di atas sangat wajar bila vokal ə dalam bahasa Melayu Loloan Bali ditemukan mudah lesap. Contohnya ditemukan pada pemakaian kata preposisi ke ke berikut ini. 1 Kulu-kilir an kerjaan kao. Ke utara-selatan jalan-jala saja pekerjaa ka u Kalimat di atas menunjukkan pemakaian kata kulu ke utara da kilir ke selata dalam bahasa Melayu Loloan Bali. Selain bentuk kulu ya g erarti ke utara dipakai juga e tuk ke ulu dengan arti ya g sa a, yaitu ke utara . Pe akaia e tuk ke ulu ke utara terlihat pada kali at erikut ya g erupaka kali at ja a a atas perta yaa , Mau ke a a? 2 Aku nak ke ulu lanan. “aya au ke utara dulu Motivasi yang melatarbelakangi pemakaian bentuk abreviasi tersebut adalah situasi dan kondisi pemakaian bahasa faktor fragmatik, yaitu berbahasa secara cepat dan praktis. Kata kulu ke utara digunakan dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan yang biasa normal. Sementara itu, bentuk ke ulu ke utara dipakai dala suasa a pe akaia ahasa ya g pela da e deru g sopa , seperti er i ara dengan orang tua. Pemakaian bahasa biasanormal dalam hal ini dimaksudkan sebagai pemakaian bahasa yang akrab tidak tercermin adanya tinggi-rendah berbahasa, seperti berbicara dengan teman dalam situasi akrab. Hal itu jelas terlihat apabila kalimat 3 dipakai oleh pembicara antarteman golongan muda dalam situasi akrab, seperti berikut ini 2a Aku nak kulu lan. saya au ke utara dulu Kaidah pelesapan schwa ə tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. K – PL 1: V  Ø __ ulu - tinggi ilir - rendah - belakang - depan Kaidah PL 1 merumuskan bahwa vokal tengah tidak rendah schwa akan menjadi lesap apabila berada pada kata ke ke erte u de ga kata ulu utara atau ilir selata . Vokal tersebut berada pada akhir kata, sehingga pertemuan tersebut berada pada posisi antarkata. Kaidah itu pelesapan ətersebut tidak berlaku pada setiap preposisi ke ke dala ahasa Melayu Loloan Bali. Preposisi ke ke tidak berubah ə-nya tidak lesap apabila preposisi tersebut berada di tempat lain. Contoh berikut ini menunjukkan hal itu. 3 Kau liat ke mane dare tu busan. ka u lihat ke a a gadis itu tadi Kelompok kata ke mane ke a a pada kali at e u jukka ah a preposisi ke ke tidak selalu kehilangan ə bila bertemu dengan kata lain. Kaidah pelesapan itu berlaku khusus pada kelompok kata ke ulu ke utara da ke ilir ke selata saja. Peru aha terse ut pu terjadi apa ila