Pelesapan Bunyi Vokal Pelesapan Schwa ə pada Kata Preposisi ke ke

situasi pembicaraan akrab sesama teman. Perlu disampaikan bahwa pemakaian bahasa Melayu Loloan Bali umumnya adalah pada situasi informal dalam suasana akrab sesama teman. Dengan demikian, pemakaian bentuk singkatan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk yang dipakai dalam suasana pemakaian bahasa Melayu Loloan yang normal.

2.1.3 Pelesapan Bunyi Konsonan Pelesapan h pada Akhir Kata Seh sih

Dalam bahasa Melayu Loloan, bunyi h pada posisi akhir kata sangat lemah. Jarang ditemukan kata-kata yang berakhir dengan bunyi h. Jika ditemukan dalam beberapa kata, bunyi h dalam kata- kata tersebut terdengar sangat lemah. Sering harus diucapkan berulang-ulang, sehingga bunyi h itu bisa didengar keberadaannya. Misalnya, pada kata makasih teri a kasih atau peluh keri gat sepi tas hanya didengar makasi teri a kasih atau pelu [pəlʊ] keri gat . “e e tara itu, a yak kata ahasa Indonesia yang berakhir dengan h dalam bahasa Melayu Loloan Bali bunyi h-nya menjadi berubah atau lesap. Misalnya, kata bahasa Indonesia taruh, bawah, dan bersih dalam bahasa Melayu Loloan Bali menjadi tarok [tar ɔɁ] taruh , bawak [bawaɁ] a ah , da berse [bərse] ersih . Dalam kata seh sih direalisasika se agai se sih pada pe akaia ahasa or al pada umumnya. Lafal seh [s ɛh] sih dilakuka ila pe akaia ahasa dala suasa a pela atau kata itu umumnya berada pada posisi akhir kalimat. Contoh berikut ini menunjukkan hal tersebut. 4 Nak ape se kau makse aku? Ke apa sih ka u e aksa aku? 5 Kalok aku dak mekot, nak ape seh? Kalau saya tidak ikut, ke apa sih? Kalimat 4 dan 5 menunjukkan perbedaan pemakaian se sih da seh sih . Pada kali at pemakaian se sih u ul kare a kata itu digu aka di te gah kata, sehi gga pelafala ya e deru g cepat dan sebelum artikulasi mengucapkan bunyi h sudah diantisipasi dengan pelafalan bunyi pada kata yang mengikutinya, yaitu bunyi k pada kata kau ka u . “e e tara itu, pada kali at dipakai seh sih kare a kata itu erada pada posisi akhir kali at ya g e deru g pela kare a tidak ada antisipasi pada alat ucap untuk mengucapkan kata berikutnya. Kadang-kadang kata seh sih pada akhir kalimat mendapat penekanan guna memperoleh efek makna khusus, seperti sedang, yang diinginkan oleh pembicara. Kaidah pelesapan bunyi h pada kata seh ‘sih’ dapat dirumuskan sebagai berikut.K-PL 2 K  Ø __ … + malar seh + rendah Kaidah di atas merumuskan bahwa bunyi h pada kata seh sih aka lesap ila erada pada posisi akhir kata di tengah kalimat. Posisi di tengah kalimat sama dengan diikuti oleh kata lain dalam sebuah kalimat. Dengan demikian, rumusan tersebut tidak melesapkan bunyi h pada akhir kata seh sih apa ila kata itu berada pada akhir kalimat. Dinamika sistem bunyi bahasa Melayu di atas juga menggambarkan adanya perubahan perendahanpelemahan dan pelesapan bunyi jika dibandingkan antara bahasa Bali atau Indonesia dengan bahasa Melayu. Seperti kata bibih bahasa Bali dan bibir bahasa Indonesia menjadi bebir dalam bahasa Melayu. Artinya, bunyi i suku pertama kata tersebut menjadi bunyi e. Sementara itu, pelesapan bunyi pepet ə juga ditemukan pada kata ke bahasa Bali seperti ke Tabanan atau ke bahasa Indonesiaseperti ke utara menjadi lesap dalam bahasa Melayu menjadi kulu ke hulu .

2.2 Dinamika Sistem Bunyi ProsodiSuprasegmental Panjang

Bunyi ucapan speech adalah sesuatu yang terjadi atau terbentuk dan terobservasi secara nyata. Getaran alat ucap seseorang, gelombang bunyi yang merambat di udara dan didengar oleh telinga pendengar merupakan sesuatu yang terukur dan nyata. Dengan demikian, analisis fonetik eksperimental yang mampu mengobservasi getaran akustik gelombang bunyi yang digunakan dalam analisis ini sangat relevan digunakan. Untuk itu, perbedaan linguistik dari tekanan terlihat refleksinya dalam konfigurasi yang berbeda dari tinggi nada pitch, panjang length, dan kenyaringan loudness. Dengan kata lain, tekanan dalam analisis ini akan terlihat di dalam gambaran tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara, dan keras lemahnya suara dalam fonetik akustik. Dengan kata lain, bunyi panjang prosodi terlihat dalam realisasinya menyertai tekanan dalam pemakaian bahasa. Seperti terlihat dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan di Bali, penempatan tekanan dalam suku kata menyebabkan suku kata tersebut menjadi lebih menonjol daripada suku kata yang lainnya. Malahan, di dalam beberapa kata, tekanan tersebut bisa menimbulkan kontras. Misalnya, dalam bahasa Melayu Loloan Bali yang juga berlaku dalam bahasa Indonesia, kata ekor ekor di eri teka a ya g berbeda menimbulkan makna kalimat yang berbeda pula. Dalam konteks Berape ekor a a tu? Berapa ekor a a itu? mengacu ke pertanyaan jumlah ekor dari ayam. Sementara itu, apabila kara ekor digunakan dalam konteks Berape éor a a tu? Berapa éor a a itu? mengacu ke pertanyaan jumlah ayam. Suku kata yang mendapat tekanan tersebut disebut suku kata bertekanan, sedangkan yang lainnya disebut suku kata tidak bertekanan. Sama halnya dengan bentuk prosodi panjang dalam bahasa Melayu Loloan Bali. Dalam menganalisis bunyi panjang yang terjadi tersebut digunakan teori mengenai durasi. Durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua durasi sebelah kanan bunyi yang diucapkan ...: tanda ini yang disebut mora. Pada data bahasa Melayu Loloan, ditemukan bunyi panjang, baik pada bunyi vokal maupun konsonan. Panjang terjadi pada tataran kalimat dan pada dasarnya tidak mengubah makna secara literal, tetapi lebih bermakna secara pragmatis, seperti penyampaian emosi tertentu dan penegaskan maksud tuturan, dan faktor kebahasaan lainnya. Penjelasan lebih lanjut diuraikan sebagai berikut.

2.2.1 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Beda Generasi

Pada data dalam tataran kalimat, ditemukan bunyi panjang pada bunyi vokal. Panjang umumnya terjadi pada tataran kalimat deklaratif, terutama tuturan-tuturan ketika informan menanggapi atau menjawab pertanyaan. Salah satu contoh yang ditemukan adalah tuturan deklaratif tu di bawah talanan itu di a ah tale a papa u tuk e giris aha makanan, yang merupakan jawaban atas pertanyaan dimane wak tarok pisaunye? di a a pisau ya apak letakka ? . Pada kali at terse ut, terjadi pemanjangan bunyi vokal [a] pada suku kedua kata a ah . Secara fonetis, tuturan dapat dijabarkan sebagai berikut: 6 Tu di bawah talanan [tu di bawa:h talanan] itu di a ah tale a Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara fonetis, tanda mora digunakan untuk memarkahi bunyi panjang dalam satu tuturan, baik itu dalam satuan kata, frasa, maupun kalimat. Pada o toh . di atas, pe a ja ga terjadi pada frasa di a ah , yaitu pada bunyi vokal [a] pada suku kedua. .Motivasi terjadinya panjang pada bunyi vokal di atas tersirat secara pragmatis, dan tidak mengubah makna literalnya. Panjang terjadi pada kata bawah, secara pragmatis dituturkan penutur untuk lebih menekankan tuturannya pada posisi dari benda yang ditanyakan pisau. Dengan demikian, si penanya dapat dengan mudah menemukan pisau yang dicari. Lebih lanjut, bila kajian diperdalam dengan melihat dinamika yang terjadi pada bunyi panjang tersebut, perlu dilakukan perbandingan dalam realitanya. Berdasarkan atas data yang ditemukan di lapangan, ditunjukkan bahwa terjadi dinamika dalam panjang bunyi vokal pada bahasa Melayu Loloan Bali yang didasarkan atas faktor golongan usia pemakai bahasa tersebut. Faktor yang pertama adalah ketika diperbandingkan antara dua penutur dengan usia yang berbeda. Penutur satuan lingual yang ditunjukkan oleh grafik 4.1 di atas adalah penutur golongan tua usia + 70 tahun dengan durasi panjangnya ucapan bunyi mencapai sekitar 589,98 milidetik. Pada penutur usia muda, terjadi juga bunyi vokal panjang, tetapi jika dibandingkan dengan panjang vokal pada penutur usia tua, durasi pada penutur usia muda cenderung lebih pendek. Pada penutur usia muda umur + 20 tahun, durasinya sekitar 107,39 milidetik

2.2.2 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Dialek

Ketika berbicara tentang dialek dalam bahasa Melayu Loloan Bali, terdapat beberapa dialek yang berkembang mengingat penuturnya tersebar di beberapa wilayah. Dua di antaranya adalah dialek Loloan Timur dan Loloan Barat. Bunyi panjang pada penutur dengan dialek Loloan Timur berdurasi sekitar 589, 98 milidetik. Sementara itu, pada penutur dengan dialek Loloan Barati lebih pendek sekitar 90, 39 milidetik selisih sekitar 499, 59 milidetik. Dilihat dari sejarah perkembangannya, penduduk Loloan Barat dikatakan cenderung memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap perubahan dan perkembangan dibandingkan dengan Loloan Timur. Dengan demikian, di daerah ini banyak terjadi perkawinan campur antara penduduk asli dengan pendatang. Hal tersebut pada akhirnya juga memengaruhi perkembangan bahasa Melayu yang digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.